Anda di halaman 1dari 17

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA

TB EKSTRAPARU
C. Martin Rumende
Divisi Respirologi dan Penyakit Kritis, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo

LATAR BELAKANG

Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan global dan


menempati tempat kedua sebagai penyebab kematian akibat infeksi di
seluruh dunia setelah HIV dengan angka prevalensi mencapai 11 juta kasus
(diantara 10 juta sampai 13 juta) kasus pada tahun 2013. Angka ini ekuivalen
dengan 159 kasus per 100.000 populasi. Angka insidens TB sendiri pada
tahun 2013 tersebut didapatkan sebesar 9 juta kasus baru dengan angka
kematian mencapai 1,5 juta kasus, dimana 400.000 kasus diantaranya
dengan HIV (+).1 Indonesia menempatkan ranking ke 5 kasus TB terbanyak
di dunia dengan angka prevalensi 660.000 kasus, angka insidens 430.000
kasus pertahun dan angka kematian 61.000 pertahun.2
Walaupun sebagian besar pasien TB mengenai organ paru, namun pada
15-20% pasien imunokompeten dan 53-62% pasien dengan HIV didapatkan
juga keterlibatkan organ ekstraparu. 3-8 Dari seluruh pasien TB ekstraparu,
yang sering didapat adalah limfadenitis TB (35 %), diikuti dengan pleuritis TB
(20 %), TB tulang dan sendi (10%), TB saluran kemih (9%), TB milier (8%),
meningitis TB (5%), peritonitis TB (3%) dan TB lainnya (10%). 3,4Dalam hal
diagnosis TB walaupun mantoux test telah lama digunakan untuk
menunjang diagnosis, namun tes ini mempunyai spesifisitas yang rendah,
karena dapat menunjukkan hasil positif palsu akibat vaksinasi BCG
sebelumnya dan tidak dapat membedakan antara infeksi TB dengan infeksi
akibat Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT).9,10 Diagnosis TB
ekstraparu seringkali sulit

SIMPOSIU NASKAH LENGKAP PIT IPD 1


karena gejalanya tidak spesifik, sedangkan pemeriksaan Basil Tahan Asam
(BTA) jaringan dan cairan tubuh hasilnya seringkali negatif sehingga seringkali
diperlukan prosedur invasif untuk mendiagnosisnya. 4 Selain pemeriksaan
BTA dan histopatologi, International Standard for TB Care (ISTC) tahun
2014 juga menganjurkan pemeriksaan Gene Xpert MTB/RIF jaringan untuk
mendiagnosis TB ekstraparu, namun hingga saat ini pemeriksaan tersebut
belum dapat dilaksanakan.11

DEFINISI TB EKSTRAPARU

Tuberkulosis ekstraparu adalah infeksi TB yang menyerang organ di


luar paru seperti pleura, perikard, meningen, kelenjar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, peritoneum dan sebagainya. Secara klinis TB
ekstraparu dapat ditegakkan berdasarkan gejala organ ekstraparu yang
terlibat dan ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium rutin,
laboratorium penunjang dan pemeriksaan radiologi yang sesuai.
Limfadenitis TB merupakan bentuk TB ekstraparu yang paling sering
didapat, diikuti dengan pleuritis TB serta TB tulang dan sendi.3,4

PATOGENESIS TB EKSTRAPARU

Infeksi dimulai dengan masuknya kuman TB hingga mencapai alveolus


sehingga akan merangsang respons imun yang non spesifik. Sebagian
besar kuman TB tersebut akan dihancurkan oleh makrofag alveolus yang
merupakan bagian dari respons imun non spesifik. Pada sebagian kecil
kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB tersebut sehingga
kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang
terus berkembang biak akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut.
Pasien yang terinfeksi TB akan mengalami infeksi primer yang biasanya
terlokalisir di paru dan di limfonodi regional. Lokasi pertama koloni kuman
TB di jaringan paru disebut fokus primer Gohn.
Dari fokus primer kuman TB selanjutnya akan menyebar melalui
saluran limfe menuju ke kelenjar limfe regional. Penyebaran ini
menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terlibat sehingga terbentuk kompleks
primer. Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga
terbentuknya kompleks primer disebut sebagai masa inkubasi dari kuman
TB. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman akan tumbuh hingga mencapai
jumlah yang cukup sehingga dapat merangsang respons imun seluler.
Selama masa inkubasi sebelum terbentuknya respons imun seluler, dapat
terjadi penyebaran kuman

2 NASKAH LENGKAP PIT IPD 2017 SIMPOSIUM


melalui limfogen dan hematogen. Adanya penyebaran hematogen tersebut
diharapkan dapat menjelaskan mengapa infeksi TB disebut sebagai
penyakit sistemik. Kuman TB yang menyebar secara hematogen akan
mencapai berbagai organ di seluruh tubuh misalnya otak, tulang, ginjal,
dan paru sendiri. Sebagian kecil kuman TB dalam makrofag yang berada di
berbagai organ tersebut akan menetap dalam bentuk dorman untuk waktu
yang lama. Fokus yang bersifat dorman tersebut tidak menimbulkan gejala
namun berpotensi untuk mengalami reaktivasi. Di kemudian hari bila daya
tahan tubuh pejamu menurun, kuman TB yang dorman akan aktif kembali
sehingga menyebabkan gejala TB ekstraparu sesuai dengan organ yang
terlibat .3,5,6,7,12

GAMBARAN KLINIS DAN DIAGNOSIS TB EKSTRAPARU

Pasien TB ekstraparu dapat menunjukkan gejala sistemik berupa


demam dan berat badan disertai gejala ekstraparu yang berhubungan
dengan sistem organ yang terlibat.3-8

1. Limfadenitis TB.
Limfadenitis TB merupakan manifetasi klinis TB ekstraparu yang paling
sering yang tertama menyerang kelenjar getah bening di daerah servikal
kemudian diikuti dengan kelenjar mediastinal. Pembengkakan kelenjar dapat
terjadi secara unilateral atau bilateral, tunggal maupun multipel, dimana
benjolan ini biasanya tidak nyeri dan berkembang secara lambat dalam
beberapa minggu hinnga bulan. Limfadenitis TB kadang-kadang dapat
membentuk abses yang bila pecah dapat membentuk ulkus yang kronis
(Gambar 1). Diagnosis pasti limfadenitis TB ditegakkan bila didapatkan
gambaran granuloma, sel datia langhans dan nekrosis kaseosa pada
spesimen yang diperoleh dari biopsi kelenjar atau dari aspirasi jarum
halus.13, 14

SIMPOSIU NASKAH LENGKAP PIT IPD 3


Gambar 1. Limfadenitis TB dengan Pembentukan Abses dan Ulkus yang Kronik

4 NASKAH LENGKAP PIT IPD 2017 SIMPOSIUM


2. Pleuritis TB
Gejala yang sering didapatkan pada pleuritis TB adalah batuk kering
dan nyeri dada. Nyeri dada akibat pleuritis ini timbul terutama bila pasien
menarik napas dalam. Sesak napas bisa didapat bila efusi pleura yang
terbentuk semakin banyak. Diagnosis efusi pleura/pleuritis TB ditegakkan
dengan pemeriksaan toraks PA dimana akan didapatkan penumpulan sudut
sinus kostofrenikus serta gambaran meniscus sign (Gambar 2). Lebih lanjut
dengan pemeriksaan spesimen cairan pleura yang diperoleh melalui
torakosentesis akan didapatkan cairan yang bersifat eksudat, dengan
dominasi sel-sel radang kronik dan limfosit, dan bisa juga didapatkan BTA
positif, PCR-TB positif serta peningkatan Adenosine Deaminase (ADA) > 40
U/L.15-17. Dengan pemeriksaan yang lebih invasif yaitu pleuroskopi bisa
didapatkan adanya tuberkel-tuberkel pada pleura parietal dan perlengketan-
perlengketan akibat pembentukan fibrin-fibrin pada efusi pleura yang
kompleks.

Gambar 2. Efusi Pleura Kiri dengan Pembentukan Tuberkel-Tuberkel dan


Fibrin-Fibrin pada Pleura Parietal

3. Tuberkulosis Abdominalis
Keterlibatan abdomen pada TB ekstraparu umumnya mengenai saluran
cerna, peritoneum, hati dan kelenjar getah bening. Gambaran klinis TB
abdominalis umumnya tidak spesifik dapat berupa anoreksia, malaise,
demam yang tidak terlalu tinggi, berat badan menurun, melena, adanya
massa intraabdomen dan walaupun jarang dapat juga menyebabkan abses
hati. Pada laparoskopi bisa didapatkan adanya gambaran tuberkel-
tuberkel pada peritoneum dan dinding usus (Gambar 3). Pada peritonitis
TB diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologis dari
spesimen yang diperoleh baik dari laparoskopi maupun laparatomi. Pada
peritonitis TB

SIMPOSIU NASKAH LENGKAP PIT IPD 5


Gambar 3. Gambaran Tuberkel Multipel pada Dinding Usus dan Peritoneum.

yang disertai dengan pembentukan asites yang cukup banyak, pemeriksaan


cairan peritoneum akan menunjukkan cairan eksudat dengan dominasi sel-
sel limfosit disertai peningkatan ADA > 40 U/L. Abses hati karena TB dapat
ditegakkan bila didapatkan BTA dari spesimen pus yang diperoleh dengan
cara aspirasi abses. Pada TB usus dapat dilakukan kolonoskopi dan biopsi
untuk pemeriksaan histopatologi.14-16

4 Meningitis TB
Manifestasi klinis meningitis TB biasanya berupa demam (tidak terlalu
tinggi),rasa lemah, nafsu makan menurun (anoreksia), nyeri perut, sakit
kepala, mual, muntah, apatis dan iritabel. Pada pemeriksaan neurologis
didapatkan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+). Kelainan
neurologis lain yang bisa didapatkan yaitu kesadaran yang semakin
menurun, stupor, koma, otot ekstensor menjadi kaku dan spasme,
opistotonus, pupil melebar dengan refleks cahaya (-), nadi dan pernapasan
menjadi tidak teratur serta bisa timbul hiperpireksia.
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis meningitis TB
adalah dengan pemeriksaan cairan serebrospinal yang diperoleh dengan
cara pungsi lumbal. Pada pemeriksaan cairan serebrospinal didapatkan
jumlah sel 100-1000 sel/mL dengan dominasi sel-sel limfosit, konsentrasi
protein meningkat dan kadar gula yang rendah. Pemeriksaan BTA langsung
positif hanya pada 10-20% sedangkan BTA kultur positif bisa didapatkan
pada presentasi yang lebih tinggi hingga mencapai 25-80% kasus.
Pemeriksaan PCR yang (+) pada cairan serebrospinal menunjukkan
adanya meningitis TB dengan sensitifitas 56% dan spesifisitas 98%,
sedangkan peningkatan ADA > 8 U/L menunjukkan sensitifitas 59%
dan spesifisitas 96%. Pada

6 NASKAH LENGKAP PIT IPD 2017 SIMPOSIUM


pemeriksaa CT-Scan kepala bisa didapatkan penebalan meningen bagian
basal, hidrosefalus, edema periventrikular dan lesi yang menyerupai massa
akibat adanya tuberkuloma / abses otak (Gambar 4).18, 19

Gambar 4. CT Scan Kepala yang Memperlihatkan Gambaran Tuberkuloma


pada Meningitis TB

5. Perikarditis TB
Manifestasi klinis keterlibatan perikard pada infeksi TB dapat berupa
perikarditis, efusi perikard, tamponade jantung dan perikarditis konstriktiva.
Insidens perikarditis di negara maju adalah 4%, sedangkan di negara
berkembang jauh lebih tinggi hingga mencapai 60%. Perjalanan penyakit
perikarditis TB terdiri dari 4 stadium yaitu dry stage, effusive stage
dengan manifestasi efusi perikard, absortive stage dan constrictive stage
dimana terjadi perikarditis konstriktiva. Kematian pada perikarditis TB dapat
timbul karena komplikasi akut akibat tamponade jantung maupun
komplikasi kronik akibat perikarditis konstriktiva. Efusi perikard akibat
perikarditis TB dapat menyebabkan penurunan curah jantung sehingga
akan didapatkan adanya hipotensi dan perasaan cepat lelah. Cairan dalam
perikard juga akan mengganggu fungsi diastolik jantung sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan atrium kanan dan vena sistemik dan
secara klinis ditandai dengan adanya peningkatan tekanan vena sentral,
hepatomegali, asites dan edema. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan
untuk mendiagnosis perikarditis TB adalah foto toraks, elektrokardiografi,
ekokardiografi dan mantoux test (Gambar 5). Peningkatan ADA cairan
perikard 40 U/L menunjukkan adanya perikarditis TB dengan sensitifitas
88% dan spesifisitas 84%.20, 21

SIMPOSIU NASKAH LENGKAP PIT IPD 7


Gambar 5. Gambaran Foto Toraks dan Ekokardiografi pada Efusi Perikard

6. Tuberkulosis tulang dan sendi


Infeksi TB pada tulang dan sendi diduga terjadi akibat reaktifasi endogen
dari fokus infeksi yang sudah ada sebelumnya atau akibat penyebaran
langsung dari kelenjar limfe paravertebra sehingga menyebabkan spondilitis.
Spondilitis TB terutama mengenai vertebra torakal bagian bawah dan
lumbal bagian atas. Pada tulang panjang, daerah metafisis merupakan
predileksi infeksi TB karena kaya akan pembuluh darah dengan sel-sel
fagosit yang relatif jarang. Infeksi mulanya mengenai daerah subkondral,
kemudian meluas ke tulang rawan, sinovium dan rongga sendi sehingga
memberikan gambaran yang khas berupa erosi metafisis, pembentukan
kista, hilangnya rawan sendi dan penyempitan rongga sendi. Pada vertebra
perubahan akibat inflamasi ini biasanya melibatkan dua korpus vertebra yang
berdekatan beserta diskus intervertebralisnya. Infeksi umumnya dimulai dari
permukaan antero-inferior korpus vertebra yang menyebabkan destruksi
diskus intervertebralis dan vertebra yang berbatasan dengannya, sehingga
terjadi penonjolan akibat angulasi korpus yang disertai dengan obliterasi
diskus. Penonjolan korpus vertebra dapat diraba sebagai gibus (Gambar 6).
Infeksi TB dapat juga menyebabkan terbentuknya abses paravertebra dan
abses psoas yang dapat meluas sampai ke permukaan tubuh. Walaupun
tulang-tulang penyanggah berat badan paling sering terlibat, namun
infeksi TB dapat juga mengenai tulang-tulang dan sendi lainnya.
Manifestasi TB tulang yang paling sering didapat adalah spondilits TB (50-
70%), diikuti dengan TB pada tulang pelvis dan lutut (15-20%) serta TB
pada sendi-sendi lainnya misalnya bahu, siku, ankles dan pergelangan
tangan (15-20%).

8 NASKAH LENGKAP PIT IPD 2017 SIMPOSIUM


Gejala awal spondilitis TB berupa nyeri interkostal yang menjalar dari
tulang belakang ke bagian tengah dada yang disebabkan karena
tertekannya radiks dorsalis di tingkat torakal. Paraplegia (Pott’s
paraplegia) merupakan komplikasi serius yang terjadi pada 30% pasien
dengan spondilitis TB. Gejala klinis yang didapat berupa paraparesis
hingga paraplegia dan nyeri radiks saraf akibat penekanan medula spinalis.
Paraplegia inferior yang timbul pada kedua tungkai bersifat upper motor
neuron (UMN) dan dapat disertai dengan defisit sensorik setinggi gibus atau
setinggi lokasi nyeri. Selain deformitas pada punggung bisa juga
didapatkan adanya pembengkakan pada daerah inguinal akibat adanya
abses psoas.
Pada pemeriksaan foto polos vertebra bisa didapatkan gambaran
osteolitik, destruksi korpus vertebra, penyempitan diskus intervertebralis,
gibus dan adanya massa akibat pembentukan abses paravertebra.
Pada pemeriksaan Magnetic Resonanace Imaging (MRI) gambaran
osteomielitis berupa destruksi korpus vertebra dan gambaran abses
paravertebra yang multilokulated akan tampak lebih jelas, demikian juga
keterlibatan medula spinalis akan mejadi lebih mudah dinilai. Tuberkulosis
yang mengenai tulang pelvis dan lutut umumnya menunjukkan perjalanan
klinis yang bersifat progresif lambat, berupa pembengkakan sendi disertai
rasa nyeri saat bergerak sehingga menyebabkan berkurangnya gerakan
sendi yang bersangkutan. Pada pemeriksaan radiologi didapatkan
perubahan yang tidak spesifik berupa pembengkakan jaringan lunak,
osteopeni pada daerah juxta-articular, penyempitan rongga sendi dan
erosi subkondral.

Gambar 6. Spondilitis TB dengan Pembentukan Gibus

SIMPOSIU NASKAH LENGKAP PIT IPD 9


Aspirasi cairan sendi dan abses periartikular atau biopsi tulang
perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis TB. Basil tahan asam
didapatkan pada 20-25% spesimen cairan sendi, sedangkan kultur BTA
(+) bisa didapatkan hingga 80% spesimen. Selain pemeriksaan
mikrobiologi pemeriksaan histopatologi perlu dilakukan untuk
memperlihatkan adanya radang granulomatosa yang disertai nekrosis
kaseosa pada tulang dan sendi yang terlibat.22-26

7. Tuberkulosis kulit
Tuberkulosis kulit didapatkan pada 0,1-2,5 % pasien dengan kelainan
kulit. Ada 2 bentuk TB kulit yaitu TB kulit milier dan tuberculosis chancre yang
didapat pada pasien yang sebelumnya belum pernah terpapar dengan
kuman M.tuberculosis. Selanjutnya pada pasien yang sudah tersensitisasi
maka manifestasi TB kulit yang akan didapat yaitu lupus vulgaris,
skrofuloderma dan tuberculosis verrucosa (Gambar 7) Diagnosis TB kulit
ditegakkan dengan biopsi kulit untuk pemeriksaan histopatologi dan
pemeriksaan BTA jaringan.13, 15, 16

Gambar 7. Tuberkulosis Kulit

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan penunjang yang


seringkali diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis klinis TB
ekstraparu. Pemeriksaan USG diperlukan pada pasien-pasien dengan
kecurigaan TB peritoneal dan TB genitalia sedangkan ekokardiografi
pada pasien dengan efusi perikard/perikarditis TB. Pemeriksaan radiologi
yang lebih canggih kadang-kadang juga diperlukan dalam tatalaksana TB
ekstraparu. Pemeriksaan CT scan kepala misalnya diperlukan pada pasien

10 NASKAH LENGKAP PIT IPD 2017 SIMPOSIUM


dengan dugaan meningitis TB, sedangkan MRI diperlukan pada pasien
dengan dugaan spondilitis TB.3-7,13,14
Untuk memastikan diagnosis TB ekstraparu seringkali diperlukan
tindakan invasif yaitu pungsi pleura, pungsi asites, pungsi lumbal dan
biopsi jaringan. Dari spesimen yang diperoleh dilakukan pemeriksaan
mikrobiologi dengan pewarnaan BTA langsung, BTA kultur serta
pemeriksaan Xpert MTB/ RIF. Umumnya jumlah kuman TB pada jaringan
ekstraparu lebih sedikit dibandingkan dengan pasien TB paru sehingga
kuman BTA jarang didapat, karena itu diperlukan pemeriksaan kultur dan
pemeriksaan molekular yang cepat. Pemeriksaan BTA langsung pada efusi
pleura karena TB memberikan hasil positif hanya pada 5-10 % kasus, dan
hasil yang sama didapatkan juga pada pemeriksaan LCS pasien meningitis
TB. Pemeriksaan molekuler dengan Xpert MTB/RIF dari bahan cairan pada
pasien dengan pleuritis TB dan meningitis TB memberikan hasil positif
masing-masing 43,7% dan 79,5
%. Pada limfadenitis TB, pemeriksaan Xpert/MTB RIF memberikan hasil
yang lebih baik yaitu 84,9%. Sayangnya walaupun pemeriksaan Xpert/MTB
RIF sudah tersedia di Indonesia namun hingga saat ini pemeriksaannya
hanya dapat dilakukan pada sputum, sedangkan untuk cairan dan jaringan
ekstraparu masih belum dapat dilakukan.11
Aspirasi jarum halus dan biopsi eksisi dapat dilakukan pada
limfadenitis TB untuk konfirmasi diagnosis. Pada efusi pleura dapat
dilakukan pleuroskopi yang merupakan prosedur invasif minimal untuk
melakukan biopsi pleura. Pada peritonitis TB dilakukan tindakan
laparoskopi biopsi dan bahkan laparatomi untuk diagnosis pasti secara
histopatologis. Tindakan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi
dilakukan juga pada pasien dengan TB hati, TB usus, TB tulang/sendi dan
TB kutis. Hasil positif bila didapatkan adanya sel-sel epiteloid, sel datia
Langhans, granuloma dan nekrosis kaseosa.13-15 Pemeriksaan Interferon-
Release Assay (IGRA) merupakan pemeriksaan serologi yang dapat
membantu klinisi dalam menegakkan diagnosis TB ekstraparu.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengukur respons cell-mediated
immunity yaitu dengan mendeteksi adanya sitokin IFN- pada pasien
yang terinfeksi TB.9,10,27-29 Hasil pemeriksaan IGRA yang positif tidak
dapat membedakan antara TB aktif dengan TB laten, sehingga dalam
menginterpretasikan hasil pemeriksaan IGRA tersebut harus selalu
dikaitkan dengan data klinis dan radiologis yang ada. Penelitian meta-
analisis mengenai manfaat IGRA untuk mendiagnosis TB ekstraparu
yang dilakukan oleh Li Fan dkk menunjukkan nilai sensitifitas dan
spesifisitas masing-masing 79% dan 82%. Dalam meta-analisis tersebut

SIMPOSIU NASKAH LENGKAP PIT IPD 11


didapatkan

12 NASKAH LENGKAP PIT IPD 2017 SIMPOSIUM


juga bahwa IGRA menunjukkan sensitifitas yang lebih baik
dibandingkan dengan mantoux test (79% vs 59%), namun dengan
spesifisitas yang tidak jauh berbeda yaitu masing-masing 83% vs 71%.29
Dari penelitian meta- analisis lain yang dilakukan oleh Si-Biao Su dkk
untuk menilai manfaat pemeriksaan IFN- pada peritonitis TB didapatkan
nilai sensitifitas 93% dan spesifisitas 99% dengan nilai duga positif
41,49%.30

TATALAKSANA TB EKSTRAPARU

Secara umum tatalaksana TB ekstraparu dibagi menjadi terapi medika


mentosa dan terapi pembedahan. Terapi medika mentosa dengan
pemberian obat anti TB (OAT) lini pertama merupakan terapi yang utama.
Terapi OAT diberikan dengan menggunakan regimen yang sama seperti
pada terapi TB paru, namun dengan jangka waktu pengobatan yang lebih
lama yaitu 9 bulan. Untuk meningitis TB bahkan disarankan pengobatan
OAT diberikan dalam jangka waktu 9-12 bulan. Pada fase inisial diberikan
rifampisin, INH, etambutol dan pirazinamid, selanjutnya pada fase lanjutan
dengan rifampisin dan INH yang diberikan setiap hari. Terapi medika
mentosa lain yang disarankan yaitu dengan pemberian steroid. Pemberian
steroid terutama disarankan pada meningitis TB dan perikarditis TB karena
telah terbukti efektif untuk mencegah komplikasi jangka panjang yaitu
hidrosefalus dan perikarditis konstriktiva. Untuk meningitis TB diberikan
deksametason 12 mg/ hari atau 0,4 mg/kg BB/hari selama 3 minggu,
kemudian dosis diturunkan secara bertahap dalam 3-5 minggu kemudian,
dengan mengevaluasi perbaikan klinis. Pada perikarditis TB diberikan
prednison 60 mg/hari atau 1 mg/kg BB/hari selama 4 minggu, selanjutnya
dosis diturunkan secara bertahap selama 8 minggu kemudian, dengan
rincian sebagai berikut yaitu 30 mg/hari selama 4 minggu, 15 mg/hari
selama 2 minggu dan 5 mg/hari selama 2 minggu. Walaupun pada efusi
pleura pemberian steroid dapat mempercepat penyembuhan dan
mempercepat perbaikan gejala klinis, namun tidak dapat mencegah
terjadinya komplikasi fibrosis atau penebalan pleura. Pada peritonitis TB
dan TB saluran kemih pemberian steroid tidak disarankan karena
efektifitasnya dalam mencegah terjadinya komplikasi obstruksi usus dan
komplikasi stenosis ureter belum terbukti.31,32
Walaupun terapi OAT terbukti efektif dalam pengobatan TB ekstraparu,
namun tindakan pembedahan kadang-kadang masih diperlukan baik
untuk keperluan diagnosis maupun terapi. Untuk tujuan terapi tindakan
pembedahan kadang-kadang diperlukan pada limfadenitis TB yang

SIMPOSIU NASKAH LENGKAP PIT IPD 13


mengalami supurasi dan pembentukan abses sehingga perlu dilakukan

14 NASKAH LENGKAP PIT IPD 2017 SIMPOSIUM


drainase. Demikian juga pada efusi pleura masif yang menyebabkan
keluhan sesak, perlu dilakukan torasentesis untuk mengeluarkan cairan
efusi tersebut. Pada meningitis TB yang mengalami komplikasi hidrosefalus
harus dilakukan pemasangan ventriculo-peritoneal shunt untuk mencegah
komplikasi lebih lanjut akibat peningkatan tekanan intrakranial. Tindakan
pembedahan juga perlu dilakukan pada pasien perikarditis yang
mengalami komplikasi perikarditis konstriktiva. Demikian juga pada
spondilitis TB yang mengalami komplikasi kifosis yang berat, pasien
dengan defisit neurologis persisten pada tungkai dan pasien dengan
instabilitas vertebra, perlu dilakukan tindakan pembedahan. Tuberkulosis
saluran kemih dapat menyebabkan hidronefrosis akibat striktur ureter,
jika komplikasi tersebut terjadi maka perlu dilakukan tindakan nefrostomi
untuk mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut.31,32

KESIMPULAN

Tuberkulosis ekstraparu masih merupakan masalah kesehatan global


dengan gejala klinis yang bervariasi, tergantung dari sistem organ yang
terlibat. Berbagai jenis pemeriksaan radiologi seringkali diperlukan untuk
membantu menegakkan diagnosis, demikian juga dengan tindakan
invasif untuk memperoleh spesimen cairan atau jaringan. Pemberian OAT
merupakan terapi yang utama dan pada beberapa keadaan diperlukan juga
tindakan pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. The burden of disease caused by TB. Global
tuberculosis report 2014. Geneva : WHO Library Cataloguing-in-Publication
Data; 2014.
2. Kemenkes. Situasi TB di Indonesia. Dalam : Mustikawati DE, Surya A,
penyunting. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. DIRJEN
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011: 12-4.
3. Doucette K, Cooper R. Tuberculosis. In : Fishman JA, Elias JA, Grippi MA, Senior
RM, Pack AI, editors. Fishman s Pulmonary Diseases and Disorders. Toronto :
Mc Graw Hill Medical; 2015.p.2012-26.
4. Wares F, Balasubramanian A, Sharma MSK. Extrapulmonary Tuberculosis :
Management and Control. Global Tuberculosis Report 2013. Geneva : WHO
Library Cataloguing-in-Publication Data, 2013: 95-101.
5. Walter N, Daley CL. Tuberculosis and Nontuberculous Mycobacterial Infections.
In : Spiro SG, Silvestri GA, Agusti A, editors. Clinical Respiratory Medicine.
Philadelphia : ELSEVIER SAUNDERS; 2012.p.383-404.
6. Raviglione MC, O Brien RJ. Tuberculosis. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL,
Hauser SL, Jameson JL, Loscalso J, editors. Harrison s Principles of Internal

SIMPOSIU NASKAH LENGKAP PIT IPD 15


Medicine. Toronto : Mc Graw Hill Medical; 2012.p.1340-58.
7. Hopewell PC, Maeda MK. Tuberculosis. In : Mason RJ, Broaddus VC, Martin TR,
editors. Textbook of Respiratory Medicine. Philadelphia : SAUNDERS ELSEVIER;
2010.p. 776-83.
8. Solovic I, Jonsson J, Korzeniewska M, Chiotan DI, Asciak AP, Slump E, et al.
Challenges in diagnosing extrapulmonary tuberculosis in the European Union.
Published on 2013 March 21. Available from : http://www.eurosurveillance.org.
9. Khalil KF, Ambreen A, Butt T. Comparison of Sensitivity of QuantiFERON-TB
Gold Test and Tuberculin Skin Test in Active Pulmonary Tuberculosis. Journal of
the College of Physicians and Surgeons Pakistan. 2013; 23: 633-6.
10. Panchbhai MS. Evaluation of Quantiferon TB Gold Test for the Diagnosis of
Latent and active tuberculosis. International Journal of Biology. 2011; 3: 122-6.
11. International Standards for Tuberculosis Care.3rd edition, 2014; 9-13.
12. Zumla A, Raviglione M, Hafner R. Fordham von Reyn C. Tuberculosis. The New
Engl J of Med. 2013; 368(8): 745-55.
13. Chandir S, Hussain H, Salahuddin N, Amir M, Ali F, Lotia 1, Khan AJ.
Extrapulmonary Tuberculosis: A retrospective review of 194 cases at a tertiary
care hospital in Karachi, Pakistan. J Pak Med Assoc. 2010; 60: 105-9.
14. Kaye LD, Litlejohn J. An Indonesian Male with Abdominal Pain and Weight Loss:
Abdominal Tuberculosis Presenting with Cervical Lymph Node Enlargement. The
Medicine Forum. 2012; 13: 1-3.
15. Wani RLS. Clinical manifestations of pulmonary and extra-pulmonary
tuberculosis. South Sudan Medical Journal. 2013; 6: 52-5.
16. Pesut DP, Bulajic MV, Lesic AR. Time trend and clinical pattern of extrapulmonary
tuberculosis in Serbia, 1993-2007. Vojnosanit Pregl. 2012; 69: 227-30.
17. Wiwatworapan T, Anantasetagoon T. Extra-Pulmonary Tuberculosis at A
Regional Hospital in Thailand. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2008;
39: 521-25.
18. Kim MJ, Kim HR, Hwang SS, Kim YW, Han SK, Shim YS, Yim JJ. Prevalence
and Its Predictors of Extrapulmonary Involvement in Patients with Pulmonary
Tuberculosis. J Korean Med Sci. 2009; 24: 237-41.
19. Golden MP, Vikram HR. Extrapulmonary Tuberculosis: An Overview. Am Fam
Physician. 2005; 72: 1761-8.
20. Saeed N, UL Islam A, Burki HB, Nizamuddin S. Clinical manifetation of
extrapulmonary tuberculosis. MC. 2012; 18: 80-3.
21. Sharma S, Sarin R, Khalid UK, Singla N, Sharma PP, Behera D. Clinical profile
and treatment outcome of tuberculous lymphadenitis in children using DOTS
strategy. Indian J Tuberc. 2010; 57:4-11.
22. Karstaedt AS. Extrapulmonary tuberculosis among adults: Experience at Chris
Hani Baragwanath Academic Hospital. Johannesburg, South Africa. S Afr Med J.
2014; 104: 22-4.
23. Gomes T, Reis-Santos B, Bertolde A, Johnson JL, Riley LW, Maciel EL.
Epidemiology of extrapulmonary tuberculosis in Brazil : a hierarchical model.
BMC Infectious Diseases. 2014; 14: 1-8.
24. Gunal S, Yang Z, Agarwal M, Koroglu M, Anci Z, Durmaz R. Demographic and
microbial characteristics of extrapulmonary tuberculosis cases diagnosed in
Malatya, Turkey, 2001-2007. BMC Public Health. 2011; 11: 1-8.
25. Leeds IL, Magee MJ, Kurbatova EV, Rio C, Blumberg HM, Leonard MK, et al. Site
of Extrapulmonary Tuberculosis is Associated with HIV Infection. Clin Infect Dis.

16 NASKAH LENGKAP PIT IPD 2017 SIMPOSIUM


2012; 55: 75-81.
26. Gunal Ong A, Creasman J, Hopewell PC, Gonalez LC, Wong M, Jasmer RM, Daley
CL. A molecular epidemiological Assessment of Extrapulmonary Tuberculosis in
San Fransisco. Clin Infect Dis. 2004; 38: 25-31.
27. Saleh MA, Hammad E, Ramadan MM, El-Rahman AA, Enein AF. Use of Adenosine
Deaminase measurements and QuantiFERON in rapid diagnosi of tuberculous
peritonitis. Journal of Medical Microbiology. 2012; 61: 514-9.
28. Feng Y, Diao N, Shao L, Wu J, Zhang S, JinJ, et al. Interferon-Gamma Release
Assay performance in pulmonary and extrapulmonary tuberculosis. March 13,
2012. http://www.plosone.org
29. Fan L, Chen Z, Hao XH, Hu ZY, Xiao HP. Interferon-gamma release assays for
diagnosis of extrapulmonary tuberculosis: a systematic review and meta-
analysis. FEMS Immunol Med Microbiol. 2012: 1-11.
30. Su SB, Qin SY, Guo XY, Luo W, Jiang HX. Assessment by meta-analysis of
interferon-gamma for the diagnosis of tuberculous peritonitis. March 14, 2013.
31. Lee JY. Diagnosis and management of extrapulmonary tuberculosis. Tuberc
Respir Dis. 2015; 78: 47-55.
32. Sia IG, Wieland ML. Current concept in the management of tuberculosis. Mayo
Clin Proc. 2011; 86; 348-61.

SIMPOSIU NASKAH LENGKAP PIT IPD 17

Anda mungkin juga menyukai