Anda di halaman 1dari 15

TB Hati Primer

Yudi Apriyanto
Ummi Maimunah

Pendahuluan
Tuberkulosis masih menjadi tantangan kesehatan dunia dengan prevalensi
tinggi di negara berkembang. Pada tahun 1993, World Health Organization
(WHO) telah mencanangkan TB sebagai Global Emergency. Berdasarkan Global
Tuberculosis Report 2020 yang diterbitkan oleh WHO, diperkirakan pada tahun
2019 terdapat 10 juta kasus baru. Kasus TB di Indonesia diperkirakan pada tahun
2019 terdapat 845.000 kasus baru, sebanyak 19.000 kasus baru di antaranya
merupakan kasus TB-HIV positif. (Isbaniah et al, 2021)
TB hati primer merupakan bentuk TB ekstra paru yang jarang ditemui, dan
hanya sedikit kasus yang telah dilaporkan dalam literatur di seluruh dunia.
Kejadian TB hati yang tidak disertai dengan kejadian TB di organ lain merupakan
kejadian yang langka. Keterlibatan hati terjadi pada 10-15% pasien TB paru,
dilaporkan lebih sering pada pasien dengan TB diseminata dan dalam seri otopsi.
(Jain et al., 2014; Mourad et al., 2014)
Manifestasi klinis TB hati tidak spesifik disebabkan karena keterlibatan
sistem hepatobilier. Demam tinggi, nyeri perut bagian atas, penurunan berat badan
dan hepatomegali adalah temuan klinis yang paling sering diamati. Ikterus jarang
terjadi, dilaporkan sebanyak 35% dari semua kasus dan biasanya bersifat
obstruktif, dan menyerupai kondisi lain yang menyebabkan obstruksi bilier
ekstrahepatik sehingga membuat diagnosis TB hati lebih sulit. Diagnosis TB hati
tergantung pada temuan granuloma epiteloid kaseosa atau terdapat basil tahan
asam (BTA) dalam nanah yang diaspirasi atau dari biopsi. Kewaspadaan terhadap
penyakit ini akan membantu tatalaksana yang cepat dan dapat mencegah
morbiditas serta mortalitas. (Bandyopadhyay & Maity, 2013; Mourad et al., 2014)

Epidemiologi
Meskipun prevalensi TB menurun dengan cepat di seluruh dunia setelah
penggunaan obat anti tuberkulosis (OAT) pada tahun 1940-an, telah terjadi
peningkatan kasus TB sejak epidemi sindrom defisiensi imun yang didapat tahun
1980-an, perkembangan strain TB multidrug-resistant (MDR), dan peningkatan
jumlah pasien imunodefisiensi. Distribusi global kasus TB hati yang dilaporkan

Tinjauan Kepustakaan Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam


FK Unair-RSUD Dr. Soetomo
paling banyak di Afrika Sub-Sahara dan Asia Tenggara, yang distribusinya mirip
dengan TB paru. Perkiraan kejadian TB hati dapat dibuat menggunakan data dari
penelitian yang dilakukan oleh Essop et al dan Tai et al, yang menemukan TB hati
pada sekitar 1% dari semua kasus TB aktif. (Zheng et al, 2021)
Penyebaran hematogen melalui arteri hepatik dari fokus paru adalah
etiologi yang paling sering dari TB hati. Organ ekstrapulmoner lainnya, seperti
kelenjar getah bening perut, merupakan sumber penyebaran milier yang jarang.
Pada TB hati lokal, penyebaran terutama terjadi melalui vena porta dari fokus di
saluran pencernaan. TB hati milier ditandai dengan penyebaran difus dari hati,
dengan tuberkel berukuran kurang dari 2 mm yang terletak di lobulus hati. TB hati
lokal biasanya ditandai dengan tuberkel berdiameter lebih dari 2 mm terletak di
dekat wilayah ujung porta. TB hati lokal cenderung menyebabkan lebih banyak
kerusakan hepatoselular daripada TB hati milier. (Zheng et al, 2021)
TB hati paling sering menyerang orang dalam kelompok usia 11 sampai
50 tahun, dengan insidens puncak pada dekade kedua kehidupan. TB hati
terisolasi lebih sring pada dekade keempat hingga keenam kehidupan. Kejadian
TB hati laki-laki dibandingkan dengan perempuan adalah 2:1. TB hati primer
diamati pada sekitar 1% dari semua kasus TB hati. Di sisi lain, keterlibatan hati
dapat dilihat pada hampir 70% dari kasus TB yang menyebar. (Jain et al., 2014;
Zheng et al, 2021)
TB hati primer telah dilaporkan di beberapa negara. Laporan dari India
pada tahun 2014 terdapat satu kasus TB primer dengan manifestasi klinis
menyerupai gagal hati akut. Kasus tersebut diketahui setelah dilakukan otopsi
kematian yang ditemukan multipel kaseosa pada sel epitel granuloma dengan
infiltrasi sel inflamasi mononuklear dari pemeriksaan hati. Dilakukan pula
pemeriksaan pewarnaan basil tahan asam dan Polymerase Chain Reaction (PCR)
untuk Mycobacterium tuberculosis dengan hasil positif dan tidak ditemukan bukti
adanya infeksi TB di lokasi lain. (Jain et al., 2014)
Penelitian retrospektif di India pada tahun 2019 melaporkan 5 kasus TB
hati primer dengan gambaran klinis dan radiologis menyerupai keganasan atau
metastasis keganasan tetapi hasil pemeriksaan histopatologi menunjukkan TB.
Pemeriksaan histopatologi menunjukkan 5 kasus tersebut merupakan inflamasi
granuloma nekrosis. Granuloma berada di area periporta dan tidak menunjukkan
gejala klinis. Kondisi hati yang kaya akan peredaran darah dan adanya sistem

2
retikuloendotelial memfasilitasi terjadinya TB hati primer yang membentuk
granuloma. (Niyogi et al., 2019)
Laporan kasus di Korea pada tahun 2015 ditemukan 2 kasus hepatitis
primer dengan karakteristik menyerupai kolangiokarsinoma. Pada kasus tersebut
ditemukan TB hati setelah dilakukan pemeriksaan patologi post-operasi
dikarenakan gambaran radiologis sesuai dengan karakteristik kolangiokarsinoma.
(Park, 2015)

Patogenesis
TB abdomen merupakan manifestasi yang jarang terjadi di antara berbagai
TB ekstra paru. Penyebaran hematogen atau limfatik dari TB aktif, penyebaran
langsung dari jaringan terinfeksi yang berdekatan, reaktivasi fokus dorman di
abdomen setelah penyebaran hematogen selama infeksi primer sebelumnya atau
tertelan kuman TB dapat menyebabkan TB abdomen. (Akici et al., 2019)
TB hati jarang terdeteksi diantara pasien dengan TB abdomen. TB hati
hampir selalu merupakan bentuk sekunder dari TB di organ lain. TB hati primer
berarti bahwa lesi TB di hati merupakan hasil dari basil tuberkel yang
mendapatkan akses ke vena portal dari fokus TB yang kecil atau berukuran
mikroskopis di usus, dan selanjutnya terjadi penyembuhan di tempat masuk tanpa
meninggalkan bekas. Levine mengklasifikasikan TB hati menjadi: (1) TB milier;
(2) TB paru dengan keterlibatan hati; (3) TB hati primer; (4) tuberkuloma atau
abses fokal; dan (5) TB kolangitis. Keterlibatan hati pada TB milier merupakan
bagian dari penyakit sistemik yang menyerang hati, merupakan bentuk yang
paling umum terjadi pada 50-80% kasus karena penyebaran basil TB melalui
arteri hepatik. (Akici et al., 2019; Park, 2015)
Infeksi TB pada hati ditransmisikan pada saat prenatal, perinatal dan
postnatal. Transmisi TB hati saat prenatal dan perinatal melalui vena umbilikal
atau cairan amnion dan adanya TB pada plasenta ibu. Transmisi postnatal TB hati
melalui penyebaran hematogen yang berasal dari organ lain atau aliran limfonodi
hepatopetal. Penyebaran hematogen dari organ lain lebih sering ditemukan
daripada penyebaran melalui aliran limfonodi. (Chaudhary, 2014)
Rute transmisi antara TB milier dan TB hati primer berbeda. Pada TB
milier, penyebaran terjadi secara hematogen, sementara pada TB hati primer, basil
tuberkel mencapai hati melalui vena porta dari usus. TB hati milier yang
diakibatkan oleh penyebaran hematogen akan menyebabkan episode intermiten

3
Tinjauan Kepustakaan Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK Unair-RSUD Dr. Soetomo
sehingga bisa menimbulkan banyak tuberkel fokal berukuran kecil di hati. (Park,
2015)
Mekanisme TB hati primer dimulai dari TB intestinal primer yang
mengalami ulserasi kecil di usus halus. Ulserasi tersebut menjadi titik akses untuk
basil TB memasuki vena porta dan menuju parenkim hati. Ulserasi mengalami
resolusi sempurna dan bermanifestasi menjadi TB hati primer. Kondisi
lingkungan hati yang rendah oksigen menyebabkan basil TB tidak berkembang.
Pada saat pertama kali terdapat basil TB, dapat terbentuk granuloma. Kondisi
lingkungan hati yang kaya aliran darah dan terdapat sistem retikuloendotelial
memfasilitasi terbentuknya granuloma. Granuloma biasanya terletak di dekat
saluran porta dimana hati masih dapat berfungsi dengan baik, sehingga sebagian
besar pasien memiliki gejala yang minimal atau bahkan asimtomatik. (Niyogi et
al., 2019; Prabhudesai, et al., 2019)
Granuloma merupakan mekanisme pertahanan utama pejamu yang terdiri
atas makrofag dan sel T. Pembentukan granuloma pada TB hati meliputi beberapa
tahap yaitu:
1. Makrofag menelan Mycobacterium tuberculosis.
2. Presentasi makrofag dari produk protein mikobakteria ke reseptor limfosit
CD4+.
3. Limfosit CD4+ berdiferensiasi menjadi prekursor limfosit T helper (Th0),
kemudian berdiferensiasi menjadi limfosit Th1 atau Th2.
4. Limfosit Th1 mensekresikan interleukin-2 (IL-2) dan interferon gamma (IFN-
γ).
5. IFN-γ meningkatkan regulasi enzim lisosom dan reactive oxygen species
(ROS) dalam makrofag.
6. Rekrutmen makrofag dan limfosit lebih lanjut disertai dengan pencernaan
mikobakteria yang sedang berlangsung. (Sneh et al., 2011)

4
Gambar 1. Pembentukan granuloma pada TB hati
Granuloma ditemukan di spesimen biopsi hati pada 25% pasien dengan
TB paru dan 80% dari pasien dengan TB ekstra paru. Koeksistensi HIV dan HBV
dengan M. tuberculosis harus diperhatikan dan bukti infeksi HIV atau status
imunodefisiensi lainnya harus dipastikan pada pasien dengan TB hati. (Sneh et al.,
2011)
M. tuberculosis atau produk M. tuberculosis memberi stimulasi pada
makrofag, monosit, sel dendritik, dan sel limfosit T untuk menginduksi produksi
sitokin. Sitokin tipe I yang merupakan sitokin proinflamasi antara lain TNF- α,
IL-1β, IL-6, IFN-γ, IL-12, dan sitokin lain berperan dalam membunuh M.
tuberculosis secara langsung atau berperan dalam pembentukan granuloma.
(Crevel, et al., 2002)
Sitokin berperan penting dalam imunoregulator terhadap proses infeksi.
Jumlah yang berlebih dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan disfungsi organ.
Sitokin yang berperan dalam pembentukan granuloma juga dapat mempengaruhi
terjadinya gejala-gejala sistemik seperti demam, penurunan nafsu makan, anemia,
hipoalbumin, dan malnutrisi. Gejala sistemik dapat dipengaruhi oleh beberapa
sitokin yang bekerja bersama-sama. Sitokin yang sama juga dapat mempengaruhi
lebih dari satu gejala sistemik. (Crevel, et al., 2002)

5
Tinjauan Kepustakaan Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK Unair-RSUD Dr. Soetomo
Gambar 2. Imunopatogenesis TB

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis TB hati primer tidak spesifik dan kecurigaan klinis yang
tinggi diperlukan untuk mendiagnosis penyakit ini. Tatalaksana medis TB hati
sebenarnya mudah tetapi jika tidak diobati dapat menyebabkan gagal hati dan
akhirnya kematian. Nyeri perut, demam dan penurunan berat badan merupakan
gejala klinis yang paling sering. Hepatomegali ditemukan pada hampir 80 – 96%
pasien dan tampak sebagai neoplasma atau abses hati, dapat disertai dengan
peningkatan alkali fosfatase dan kadar transaminase normal. Hati menjadi keras
dan bernodul pada sebagian kasus yang menyerupai neoplasma sehingga gejala
klinis yang ditimbulkan sama seperti pada kasus neoplasma. Konsistensi hati
menjadi kenyal seperti abses hati pada 36% kasus. Splenomegali tampak pada 25
– 55% pasien. (Alvarez, 2006; Chaudary, 2014; Vincent, 2015)
Ikterus dilaporkan pada 35% kasus dan seringkali obstruksi. Gagal hati
akut pada tahap awal tidak terkait dengan tanda objektif, tetapi pada disfungsi
yang parah dapat menimbulkan ikterus disertai dengan tanda-tanda neurologis
seperti gangguan tidur, mengantuk, kebingungan dan akhirnya koma. (Park, 2015)

Tabel 1. Gejala dan tanda klinis pada TB hati (Chaudhary, 2014)

6
Di India dilaporkan kasus pasien dengan demam ringan, penurunan nafsu
makan selama 15 hari, nyeri perut, urin berwarna kuning, ikterik selama 3 hari
disertai muntah, konstipasi dan oligouria selama 2 hari. Pasien juga mengalami
penurunan kesadaran dan kesulitan bernapas 1 hari sebelum datang ke rumah
sakit. Pada saat rawat inap pasien mengalami syok septik sehingga meninggal
sebelum 48 jam, kemudian dilakukan otopsi dan ditemukan bukti terdapat TB di
hati yang tidak ditemukan di tempat lain sehingga diagnosis akhir pasien adalah
TB hati primer dengan gagal hati akut dan ensefalopati. (Jain et al., 2014)
Gagal hati terutama tipe fulminan dengan durasi kurang dari tujuh hari,
penyebab terseringnya adalah virus hepatitis (65%) dan zat hepatotoksik seperti
obat-obatan dan racun. Hal ini menjelaskan pentingnya pemeriksaan analisis
toksikologi. Komplikasi yang berpotensi fatal adalah edema otak, perdarahan
gastrointestinal, serta hipoglikemia dan gagal ginjal dengan ketidakseimbangan
elektrolit. Enzim tipikal metabolisme hati juga kadar bilirubin merupakan
parameter penting dan dapat diperiksa post-mortem. Apabila analisis toksikologi
dan parameter biokimia memberikan hasil normal dapat menjadi dasar koma
hepatikum diduga karena TB hati. (Sneh et al., 2014)
Diagnosis
Diagnosis TB hati primer sulit. Kriteria diagnosis TB hati primer adalah
terdapat bukti infeksi TB yang baru, inflamasi granulomatosa nekrotikan pada hati
dan tidak adanya lesi TB lama di tempat lain. Pemeriksaan yang dapat dilakukan
adalah biopsi hati dan kultur disertai dengan pemeriksaan klinis dan radiologis
untuk menyingkirkan penyakit ekstrahepatik. (Sneh, 2011)
1. Pemeriksaan Radiologi
Pencitraan, termasuk USG, CT, dan MRI memainkan peranan penting
dalam deteksi dan diagnosis lesi di hati. TB hati diklasifikasikan menjadi tiga sub-
kelompok: parenkim, serohepatik dan kolangitis tuberkular. Lesi parenkim
selanjutnya disubklasifikasikan menjadi pola mikronodular, makronodular, dan
campuran mikronodular-makronodular. Mikronodular TB hati ditujukan pada

7
Tinjauan Kepustakaan Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK Unair-RSUD Dr. Soetomo
gambaran TB hati milier dengan ukuran diameter nodul <2 cm. Bentuk
makronodular memiliki nodul berukuran ≥2 cm, dapat multipel atau menyerupai
tumor atau massa yang besar. (Vincent, 2015; Yang et al., 2020)
Bentuk mikronodular merupakan hasil penyebaran hematogen dari basil
TB pada organ lain. Lesi mikronodular memilki resolusi yang kecil dan sulit
ditemukan dengan ultrasonografi (USG) dan computed tomography (CT),
seringkali pada USG tampak sebagai lesi hipoechoic dengan ‘bright liver pattern’.
Kondisi akut TB hati milier dapat menampakkan gambaran low attenuation
dengan central enhancement pada CT dan dapat berbentuk kalsifikasi pada kasus
kronik. Gambaran mikronodular TB hati harus dibedakan dengan metastasis,
limfoma, infiltrasi sel leukemia, sarkoidosis dan infeksi jamur. (Harisingheni, et
al, 2000; Vincent, 2015)

Gambar 3. Gambaran USG TB hati menunjukkan lesi hypoechoic multipel

Gambar 4. Gambaran CT scan pada kasus TB hati milier

Bentuk makronodular TB hati lebih jarang ditemui, seringkali akibat


konglomerasi granuloma milier. Lesi makronoduler TB memiliki berbagai macam
sebutan termasuk tuberkuloma, pseudotumoral TB dan abses TB. Gambaran USG
TB hati makronoduler tampak sebagai lesi hipoechoic atau komplek massa.
Gambaran tersebut pada CT tampak sebagai low attenuation dengan atau tanpa

8
peripheral enhancement. Hypoenhancing atau non-enhancing area lesi sentral
menunjukkan area nekrosis kaseosa dengan peripheral enhancing pada jaringan
luar yang mengalami granulasi. Lesi low attenuation dengan central enhancement
dapat menunjukkan kondisi akut penyakit. Gambaran kondisi kronis menampakan
enhancement yang lebih sedikit pada nekrosis kaseosa sentral. Lesi makronodular
dapat muncul sebagai bull’s eye appearance (lesi target) yang menunjukkan
kalsifikasi sentral atau central enhancement dengan area sekelilingnya mengalami
low attenuation atau ring enhancement pada CT. Tanda ini dapat memberikan
petunjuk tetapi bukan merupakan tanda patognomis khusus TB hati. (Vincent,
2015; Yu, et al., 2004)

Gambar 5. Gambaran CT scan TB hati bentuk makronodular

Sebagian besar lesi pada TB hati berukuran kecil. Lesi nodular besar, yang
memiliki diameter >3 cm jarang terlihat. Bristowe menjelaskan tuberkuloma
makronodular pertama kali pada tahun 1858. Debray et al juga menggunakan
istilah ''pseudotumor''. Selain lesi soliter tunggal, dapat juga berupa nodul atau
abses multipel. Penampakan polimorfik TB hati yang menyerupai keganasan
primer atau metastatik menyulitkan penegakan diagnosis terutama sebelum
dilakukan pemeriksaan patologi. (Akici et al., 2019; Park, 2015)
MRI tetap menjadi modalitas pencitraan non-invasif yang berharga untuk
deteksi TB hati. Untuk diagnosis TB hati, akurasi MRI lebih tinggi daripada CT.
Lesi TB nodular menunjukkan nodul hypointense dengan hypointense rim pada
pencitraan T1. Pencitraan T2 menunjukkan nodul hypointense, isointense atau
hyperintense dengan intense rim yang lebih sedikit. Gambaran pencitraan TB hati
dapat berupa lesi multipel dengan densitas yang bervariasi. Hal ini menunjukkan
bahwa terdapat lesi pada tahap patologis yang berbeda di TB hati, termasuk TB
granuloma, nekrosis liquefaksi, fibrosis atau kalsifikasi, sehingga sangat sulit

9
Tinjauan Kepustakaan Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK Unair-RSUD Dr. Soetomo
untuk membedakan antara TB hati primer dengan keganasan jika hanya
menggunakan modalitas pencitraan. (Akici et al., 2019; Park, 2015)

Gambar 6. Gambaran MRI TB hati menunjukkan lesi multipel

Seperti tumor ganas lainnya, TB hati menunjukkan aviditas FDG pada F-


18 FDG PET/CT. Aviditas FDG juga terlihat pada tumor nekrotik seperti
karsinoma hepatoseluler, iCCA, dan karsinoma metastatik sehingga F-18 FDG
PET/CT tidak berguna untuk membedakan TB hati dari massa nekrotik hati
lainnya. (Akici et al., 2019; Park, 2015)

Gambar 6. Lesi menunjukkan keterlibatan FDG mulipel pada PET-CT

2. Pemeriksaan Patologi Anatomi


Pemeriksaan patologi lesi hati penting untuk diagnosis TB hati
dikarenakan gambaran, temuan laboratorium, dan manifestasi klinis yang
membingungkan. Biopsi jarum halus perkutan merupakan metode diagnostik yang
tepat. Biopsi hati dengan laparoskopi dapat dilakukan apabila dengan biopsi jarum
halus perkutan tidak dapat menegakkan diagnosis.

10
Gambar 7. Lesi fish like dan ireguler pada gambaran makroskopik setelah eksisi
bedah

Gambaran histologis karakteristik TB hati adalah granuloma. Granuloma


hati disebabkan oleh respons imunologis cell-mediated terhadap antigen TB dan
terdiri dari makrofag fokal, termasuk sel Kupffer yang bersatu membentuk sel
raksasa Langerhans dengan limfosit dan fibroblas di sekitarnya. Granuloma dapat
berupa nekrotikan atau non-nekrotikan, dan kaseosa (jaringan nekrotik tampak
seperti keju) atau tidak kaseosa. Granuloma kaseosa ditemukan pada 51-83%
pasien TB hati. Granuloma multipel dapat bergabung membentuk tuberkuloma
besar, dan nekrosis kaseosa dan likuifaksi dari tuberkuloma dapat menyebabkan
abses tuberkular. (Hickey et al., 2015)

Gambar 8. Pewarnaan H & E biopsi hati menunjukkan granuloma kaseosa

3. Pemeriksaan Mikrobiologi

11
Tinjauan Kepustakaan Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK Unair-RSUD Dr. Soetomo
Pemeriksaan basil tahan asam (BTA) dalam spesimen biopsi hati
merupakan pemeriksaan yang ideal dilakukan, karena BTA paling mudah
ditemukan pada nekrosis kaseosa. Namun, sensitivitas pewarnaan BTA rendah
(0–45%) dan kultur juga rendah (10–60%). Hal ini menunjukkan bahwa tidak
ditemukannya BTA belum tentu menyingkirkan TB, khususnya di daerah
endemik TB. Apabila tidak ditemukan basil tuberkel dari spesimen biopsi, adanya
granuloma kaseosa dalam pemeriksaan histologis dapat bersifat diagnostik. (Park,
2015)
Uji tuberkulin dapat digunakan dan dapat memberikan hasil positif. PCR
telah dilaporkan sebagai pemeriksaan yang lebih banyak berguna untuk diagnosis
TB hati. Identifikasi M. tuberculosis menggunakan PCR diketahui lebih mudah
dan sering berhasil dibandingkan dengan metode konvensional. PCR memiliki
sensitivitas 58% dan spesifisitas 96%, dan apabila dikombinasikan dengan uji
tuberkulin akan meningkatkan angka deteksi. (Dhali, et al., 2021)
Sebuah literatur menyebutkan bahwa dari 96 pasien dengan TB hati
menunjukkan gambaran histologis granuloma (95,8%), kaseosa (83,3%), dan
BTA terkait dengan granuloma (9%). Hal ini dikarenakan tekanan oksigen yang
rendah di hati tidak baik untuk pertumbuhan mikobakteri, sehingga basil tuberkel
sangat jarang ditemukan pada TB hati. Bahkan dalam situasi di mana pasien telah
menjalani prosedur pembedahan sebelum diagnosis atau hasil PCR dan pewarnaan
negatif, ada alasan rasional untuk memberikan pengobatan anti tuberkulosis.
(Park, 2015)

Tatalaksana
TB hati yang timbul bersamaan dengan TB paru diberikan tatalaksana
sesuai standar pengobatan TB paru. TB hati yang berbentuk granuloma dan abses
diberikan terapi seperti pada TB ekstraparu. Terapi anti tuberkulosis adalah kunci
untuk mengobati TB hati primer. Semakin meningkatnya kejadian TB yang
resistan terhadap obat, terapi 4 jenis obat (isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan
etambutol) dianjurkan. Publikasi terbaru menganjurkan pilihan pengobatan ini
untuk hampir semua bentuk TB yang sensitif terhadap obat pada orang dewasa
termasuk periode 2 bulan fase intensif isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan
etambutol, diikuti 4 bulan isoniazid dan rifampisin. Regimen ini menyembuhkan
lebih dari 90% pasien dengan TB. Durasi waktu optimal untuk mengobati TB hati
masih kontroversial, tetapi 6-12 bulan tampaknya efektif untuk sebagian besar

12
pasien. TB hati tidak meningkatkan risiko hepatotoksisitas akibat obat anti TB
(OAT) meskipun dengan kombinasi penggunaan isoniazid dan rifampisin dalam
waktu lama. Keamanan penggunaan OAT pada TB hati tetap harus diwaspadai
terhadap kejadian hepatitis imbas obat. (Sonika & Kar, 2012)
Pasien umumnya tidak memerlukan intervensi bedah lebih lanjut setelah
selesai terapi anti tuberkulosis, tetapi pembedahan biasanya diperlukan dalam
kasus kompresi bilier terkait TB yang menyebabkan ikterus, hipertensi portal, atau
perdarahan bilier, atau bila diagnosisnya tidak pasti. (Li et al., 2021)
Tidak ada data terkontrol yang cukup untuk merekomendasikan
penggunaan kortikosteroid pada semua kasus TB hati, baik pada TB hati primer
atau pada penyebaran TB ke hati dari organ lain. Glukokortikoid mungkin
memiliki peran dalam pengobatan TB hati yang tidak merespon dengan baik
terhadap terapi anti tuberkulosis standar. (Li et al., 2021)

Ringkasan
TB hati primer merupakan bagian dari TB hepatobilier yang jarang
ditemui, hanya dilaporkan di beberapa negara dengan endemis TB. TB hati primer
sulit didiagnosis karena manifestasi klinis dan gambaran radiologisnya tidak
spesifik, dapat menyerupai keganasan hati primer atau metastasis dari keganasan
di tempat lain. Manifestasi klinis paling sering adalah demam tinggi, nyeri perut
bagian atas, penurunan berat badan, hepatomegali, dan ikterus. Gambaran
radiologis TB hati primer diklasifikasikan sebagai bentuk mikronodular (< 2 cm),
makronodular (≥2 cm), dan campuran mikronodular-makronodular. Penegakan
diagnosis TB hati primer dapat dilakukan dengan pemeriksaan patologi anatomi
dan pemeriksaan mikrobiologi (pewarnaan basil tahan asam, kultur
Mycobacterium tuberculosis atau identifikasi menggunakan PCR).
Tatalaksana TB hati primer berupa obat anti TB (OAT) yang efektif,
dimana obat dan rejimennya disesuaikan dengan tingkat keparahan dan fungsi hati
pasien. TB hati yang timbul bersamaan dengan TB paru diberikan tatalaksana

13
Tinjauan Kepustakaan Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK Unair-RSUD Dr. Soetomo
sesuai standar pengobatan TB paru. TB hati yang berbentuk granuloma dan abses
diberikan terapi seperti pada TB ekstraparu.

Daftar Pustaka

Akici, M., Bozkurt, E., Ozdemir, C., & Kaya, F. (2019). Primary hepatic
tuberculosis mimicking malignancy. Int Surg J; 6(9):3078-3082.
http://dx.doi.org/10.18203/2349-2902.isj20194037.
Alvarez, S. Z. (2006). Hepatobiliary tuberculosis. Phil J Gastroenterol, 2, 1–10.
Bandyopadhyay, S., & Maity, P. K. (2013). Hepatobiliary tuberculosis. Journal of
Association of Physicians of India, 61(6), 404–407.
Chaudhary, P. (2014). Hepatobiliary tuberculosis. Annals of Gastroenterology,
27(3), 207–211.
Crevel, R. van, Ottenhoff, T. H. M., & Meer, J. W. M. van der. (2002). Innate
Immunity to Mycobacterium tuberculosis. Clinical Microbiology Reviews,
15(2), 294–309. https://doi.org/10.1128/CMR.15.2.294.
Dhali, A., Dhali, G. K., Ghosh, R., & Sarkar, A. (2021). Primary Tubercular
Granulomatous Hepatitis Presenting as Fluctuating Jaundice. International
Journal of Mycobacteriology, 320-323. https://doi.org/
10.4103/ijmy.ijmy_92_21.
Harisingheni, M., McLoud, T., Shepard, A., & Al, E. (2000). Tuberculosis from
head to toe. Radiographics2, 20, 449–470.
Hickey, A. J., Gounder, L., Moosa, M. Y. S., & Drain, P. K. (2015). A systematic
review of hepatic tuberculosis with considerations in human
immunodeficiency virus co-infection. BMC Infectious Diseases; 15:209.

14
https://doi.org/10.1186/s12879-015-0944-6.
Isbaniah, F., Burhan E., Sinaga, B. Y. M., Yanifitri, D. B., Handayani, D.,
Harsini, … Sugiri, Y. J. R. (2021). TB: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. 1-2.
Jain, D., Aggarwal, H. K., Jain, P., & Pawar, S. (2014). Primary hepatic
tuberculosis presenting as acute liver failure. Oxford Medical Case Reports,
2014(9), 153–155. https://doi.org/10.1093/omcr/omu058.
Li, W., Tang, Y. F., Yang, X. F., & Huang, X. Y. (2021). Misidentification of
hepatic tuberculosis as cholangiocarcinoma: A case report. World J Clin
Cases; 9(31): 9662-9669. https://doi.org/10.12998/wjcc.v9.i31.9662
Mourad, M. M., Liossis, C., Algarni, A., Kumar, S., & Bramhall, S. R. (2014).
Primary hepatic tuberculosis in immunocompetent adults: a UK case series.
OMCR 2014, 149-150, https://doi.org/10.1093/omcr/omu056.
Niyogi, D., Goel, M., Shinde, R. S., & Patkar, S. (2019). Primary hepatic
tuberculosis: A rare occurrence. Annals of Hepato-Biliary-Pancreatic
Surgery, 23(1), 80. https://doi.org/10.14701/ahbps.2019.23.1.80.
Park, J. I. (2015). Primary hepatic tuberculosis mimicking intrahepatic
cholangiocarcinoma: Report of two cases. Annals of Surgical Treatment and
Research, 89(2), 98–101. https://doi.org/10.4174/astr.2015.89.2.98.
Prabhudesai, R., Lawande, D., Gondal, G., & Keny, S. (2019). Primary hepatic
tuberculosis masquerading as intrahepatic cholangiocarcinoma. Indian
Journal of Tuberculosis, 66(2), 310–313.
https://doi.org/10.1016/j.ijtb.2017.12.017.
Sneh, S., Promil, J., Garima, A., Pratibha, D., Sunita, S., & Rajeev, S. (2011).
Primary hepatic tuberculosis: A rare but fatal clinical entity if undiagnosed.
Asian Pacific Journal of Tropical Medicine, 498-499.
Sonika, U., & Kar, P. (2012). Tuberculosis and liver disease: management issues.
Tropical Gastroenterology : Official Journal of the Digestive Diseases
Foundation, 33(2), 102–106. https://doi.org/10.7869/tg.2012.25.

Vincent, R. Tatco, M. M. A. M.-S. and J. A. U. (2015). the Many Faces of


Hepatic Tuberculosis. 1(November), 1–6. https://doi.org/10.1111/j.1467-
7660.2010.01658.x.
Yang, C., Liu, X., Ling, W. Song, B., & Liu, F. (2020). Primary isolated hepatic
tuberculosis mimicking small hepatocellular carcinoma. Medicine; 99:41.
http://dx.doi.org/10.1097/MD.0000000000022580
Yu, R., Zhang, S., Wu, J., & Li, R. (2004). Imaging diagnosis of 12 patients with
hepatic tuberculosis. World J Gastroenterol, 1(10(11)), 1639–1642.
Zheng, S. M., Lin N., Tang, S. H., Yang, J. Y., Wang, H. Q., Luo, S. L., Zhang
Y., & Mu D. (2021). Isolated hepatic tuberculosis associated with portal
vein thrombosis and hepatitis B virus coinfection: A case report and review
of the literature. World J Clin Cases; 9(30): 9310-9319. https://
doi.org/10.12998/wjcc.v9.i30.9310

15
Tinjauan Kepustakaan Departemen-SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK Unair-RSUD Dr. Soetomo

Anda mungkin juga menyukai