Divisi Gastroenterohepatologi
Tuberkulosis Peritoneal
Zulfahmi Zulfa, Imelda Rey, Taufik Sungkar, Ihamd, Juwita Sembiring, Masrul lubis,
Leonardo B.Dairi, Mabel Sihombing, Gontar Siregar, Lukman Hakim Zain
Divisi Gastroenterohepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan
PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) dapat melibatkan seluruh bagian saluran pencernaan dari mulut sampai
anus, peritoneum dan sistem pankreatobilier. Organ yang paling sering terkena adalah
ileosekal. Hal ini disebabkan karena stasis fisiologis yang tinggi pada daerah tersebut,
tingginya tingkat penyerapan cairan dan elektrolit, aktivitas pencernaan minimal dan
berlimpahnya jaringan limfoid di tempat tersebut. Telah terbukti bahwa sel M pada Peyer’s
patches dapat menfagositosis basil BCG. Tuberkulosis peritoneal dapat berasal dari
penyebaran kelenjar getah bening, lesi usus atau dari salpingitis TB pada wanita.
Tuberkulosis kelenjar getah bening abdomen dan TB peritoneal dapat terjadi tanpa
keterlibatan gastrointestinal pada sepertiga kasus.1,2
1
dengan outcome yang buruk pada pasien karena tidak mendapatkan pengobatan dini. WHO
memperkirakan sepertiga populasi dunia terinfeksi M. tuberculosis dengan prevalensi
tertinggi TB di Asia Tenggara. Selain itu, meningkatnya TB yang resistan terhadap obat
menjadi masalah baru di dunia termasuk Indonesia.3,4
PREVELENSI
Tuberkulosis peritoneal lebih sering dijumpai pada wanita dibanding pria dengan
perbandingan 1,5:1 dan lebih sering dijumpai pada usia dekade ke 3 dan 4. Prevalensinya
sekitar 4,9 % dari seluruh kasus tuberkulosis dan 59,8% dari keseluruhan kasus tuberkulosis
abdominal. Di Amerika Serikat penyakit ini menempati urutan keenam terbanyak diantara
penyakit tuberkulosis ekstra paru sedangkan peneliti lain menemukan bahwa hanya sekitar 5-
20% dari penderita tuberkulosis peritoneal dengan TB paru yang aktif. 4 Di Asia dan Afrika
dimana kasus tuberkulosis masih banyak dijumpai, tuberkulosis peritoneal masih merupakan
masalah yang penting.7,8
2
PATOGENESIS
GAMBARAN KLINIS
Ada dua jenis presentasi klinis TB peritoneal yaitu akut dan kronis. Pada kasus yang akut,
pasien datang dengan peritonitis akut dan bila peritoneum dibuka akan keluar cairan
berwarna jerami dengan tuberkel yang tersebar di peritoneum dan omentum mayor. Pada
3
kasus kronis presentasi klinisnya berupa nyeri perut, demam, penurunan berat badan, asites
dan massa abdomen. Sumber infeksi dapat berasal dari limfadenitis mesenterika, TB usus
atau dari penyebaran hematogen tuberkulosis paru. Tuberkulosis peritoneal terjadi dalam 3
bentuk: (1) Tipe basah dengan asites; 2) Tipe kistik (loculated) dengan pembengkakan
abdomen yang terlokalisir; 3) Tipe fibrotik dengan massa abdomen yang terdiri dari
penebalan mesenterika dan omentum dengan lipatan usus yang dirasakan sebagai benjolan di
perut. Sering pula didapatkan kombinasi dari ketiga tipe di atas.1,5
Presentasi klinis tuberkulosis abdominal dapat akut, kronik atau akut pada kronik.
Gejala dan tanda TB tidak spesifik dan bermacam-macam. Penurunan berat badan, demam
ringan, batuk kronis, mudah lelah, anoreksia, berkeringat malam hari merupakan gejala dan
tanda akibat sitokin yang dilepaskan oleh makrofag teraktivasi yaitu IL-1 dan TNF alfa,
bukan oleh organisme itu sendiri. Hu dkk. di Taiwan melaporkan manifestasi klinis TB
abdomen pada 14 pasien yaitu nyeri perut (71,4%), distensi abdomen (57,1%), asites (50%),
penurunan berat badan (42,9%), demam (35,7%), massa abdomen (21,4%), konstipasi
(21,4%), sepsis (21,4%), tinja berdarah (7,1%) dan tanda-tanda peritoneal (7,1%).3,10
Sebagian besar pasien memiliki gejala konstitusional demam (40-70%), nyeri (80-
95%), diare (11- 20%), konstipasi, konstipasi dan diare bergantian, penurunan berat badan
(40-90%), anoreksia dan malaise. Nyeri dapat bersifat kolik karena adanya obstruksi lumen,
atau nyeri tumpul dan kontinyu bila melibatkan kelenjar getah bening mesenterika. Gambaran
klinis lainnya tergantung pada lokasi, perjalanan penyakit dan luasnya keterlibatan organ.
Umumnya onset berlangsung lama dengan lebih dari 70% pasien sudah memiliki gejala klinis
lebih dari 4 bulan sebelum ditegakkan diagnosis definitif. Selain itu, dapat terjadi distensi
abdomen yang disebabkan baik oleh asites atau obstruksi parsial. Pada pemeriksaan fisik,
didapatkan nyeri tekan abdomen difus, namun tanda klasik perut pucat jarang ditemukan.
Tuberkulosis peritoneal patut dicurigai pada pasien berisiko tinggi atau pasien
immunocompromise dengan ascites, demam, gejala konstitusional yang tidak dapat dijelaskan
sumbernya dan nyeri perut difus.3,10
Nyeri perut kronis, sub akut atau obstruksi usus akut, perut pucat dan peristaltik yang
dapat terlihat, diare bergantian dengan konstipasi, massa abdomen dapat diraba di fossa iliaka
kanan dan gambaran klinis peritonitis akut jika kelenjar getah bening mesenterika mengalami
pengejuan dan mensekresi isinya ke dalam rongga peritoneum menyebabkan tuberkulosis
peritoneal. Gangguan ini mirip dengan penyakit yang melibatkan organ abdomen seperti
inflammatory bowel disease, kanker kolon, infeksi abdomen dan ascites dengan penyebab
4
apapun. TB abdomen merupakan kondisi yang dapat diobati, namun diagnosis TB abdomen
sering tertunda, sehingga meningkatkan morbiditasnya. Hal ini disebabkan karena presentasi
klinisnya kabur, non-spesifik dan dapat menyerupai penyakit lain. Pasien datang dengan
gambaran klinis pneumoperitoneum terutama jenis ulseratif, anemia, tampak sakit kronis,
malnutrisi, hemoptisis bila disertai TB paru dan clubbing finger. Pasien kebanyakan tidak
divaksinasi dan memiliki riwayat kontak TB yang positif.1,3
DIAGNOSIS
1. Laboratorium :
Pada pemeriksaan darah tepi sering dijumpai adanya anemia penyakit kronis,
leukositosis ringan ataupun leukopenia, trombositosis, gangguan faal hati dan sering dijumpai
laju endap darah (LED) yang meningkat. Pemeriksaan tes tuberkulin hasilnya sering negatif.
Sirosis hati sering ditemui bersama-sama dengan tuberkulosis peritoneal.6,11,12,13
2. Tes Tuberkulin
Kemampuan uji ini untuk mendiagnostik TB sangat terbatas karena sensitifitas dan
spesifisitasnya yang relatif rendah serta ketidakmampuannya untuk membedakan antara
infeksi aktif dan laten. 6
5
4. Adenosine Deaminase Activity (ADA)
ADA merupakan enzim katalisator reaksi deaminasi adenosine menjadi inosin, dan
juga merupakan enzim esensial dalam pathway katabolik purin. Pada tubuh manusia
konsentrasi ADA yang paling tinggi dijumpai pada jaringan limfoid, dan dalam hal ini ADA
berperan untuk proses proliferasi dan diferensiasi dari limfosit, khususnya limfosit T, dan
enzim ini juga ikut berperan dalam maturasi transformasi monosit menjadi makrofag. Oleh
karena itu, ADA dapat dijadikan indikator signifikan untuk imunitas seluler yang sedang
aktif. Kadar ADA dapat meningkat pada TB karena adanya stimulasi sel T oleh antigen
Mycobacterium.15,16
Terdapat 2 isomer ADA yang umum dikenal yaitu, ADA-1 dan ADA-2. Dimana
ADA-1 dapat ditemukan pada semua sel tubuh termasuk eritrosit, sementara ADA-2 hanya
dijumpai pada makrofag dan monosit. Pengukuran kadar serum ADA pada manusia yang
sehat mencerminkan kadar ADA-2 sebagai komponen utama secara keseluruhan. Kadar ADA
akan meningkat pada komponen cairan biologis tubuh akibat infeksi yang merangsag aktivasi
makrofag. Kadar serum ADA dapat diukur dengan 2 metode, yaitu Giusti dan Non-Giusti
Methode, dan kit komersial untuk pengukuran ini dikenal dengan nama Diazyme yang
merupakan modifikasi metode Giusti.16,17
ADA dapat meningkat pada beberapa penyakit infeksi tertentu seperti tuberkulosis,
lepra, brucellosis, HIV, hepatitis viral, mononucleosis infeksiosa dan liver sirosis. Menurut
Gupta dkk nilai ADA dengan Cutt off >30 u/l mempunyai sensitifitas 100% dan spesifitas
94,1%. Sementara menurut Gimene dkk kadar ADA >40 u/l mempunyai sensitifitas 100%
dan spesifitas 99% dimana nilai ini dapat mengurangi false positif dari sirosis hati atau
malignansi.15,16
Hafta A dkk dalam suatu penelitian membandingkan konsentrasi ADA pada pasien
tuberkulosis peritoneal dibandingkan dengan pasien tuberkulosis peritoneal yang komorbid
dengan sirosis hati dan pasien yang hanya menderita sirosis hati saja. Mereka mendapatkan
hasil bahwa nilai ADA 131,1 ± 38,1 u/l pada pasien tuberkulosis peritoneal, 29 ± 18,6 u/l
pada pasien tuberkulosis peritobeal dengan sirosis hati dan 12,9 ± 7 u/l pada pasien yang
hanya dengan sirosis hati. Namun pada pasien dengan konsentrasi protein yang rendah
dijumpai nilai ADA yang sangat rendah sehingga mereka menyimpulkan bahwa pada
konsentrasi asites dengan protein yang rendah, maka nilai ADA dapat menjadi false negatif.
Pada kasus seperti ini dapat dilakukan pemeriksaan gamma interferon.17
Bargava dkk melakukan penelitian terhadap kadar ADA pada cairan ascites dan
serum penderita tuberkulosis peritoneal. Kadar ADA >36 u/l pada cairan ascites dan >54 u/l
6
pada serum mendukung diagnosis tuberkulosis peritoneal. Perbandingan cairan asites dan
serum (rasio ADA asites / serum) > 0,984 mendukung suatu tuberkulosis peritoneal. Rasio ini
lebih tingggi pada tuberkulosis peritoneal dibandingkan pada kasus lain seperti sirosis, sirosis
dengan spontaneous bacterial peritonitis dan Budd chiary sindrom.13 Sathar MA dkk
melaporkan bahwa ADA dengan cut-off >30 U/L mempunyai sensitifitas 93%, spesifisitas
96%, PPV 93%, NPV 96% dan akurasi mencapai 95%.18
7
secara signifikan lebih tinggi pada tuberkulosis peritoneal dibandingkan peritoneal
carsinomatosis. Tumor marker seperti CEA dan Ca 19-9 juga meningkat pada kedua grup
namun secara signifikan lebih tinggi pada grup peritoneal carsinomatosis.21
7. Pemeriksaan Rontgen
Pemeriksaan rontgen pada sistem pencernaan mungkin dapat membantu jika disertai
kelainan usus kecil atau usus besar.13
8. Ultrasonografi
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat dilihat adanya cairan dalam rongga
peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-kantong). Menurut Rama &
Walter B, gambaran USG tuberkulosis yang sering dijumpai antara lain cairan yang bebas
8
atau terlokalisasi dalam rongga abdomen, abses dalam rongga abdomen, masa didaerah
ileosaecal, pembesaran kelenjar limfe retroperitoneal, adanya penebalan mesenterium,
perlengketan lumen usus, penebalan omentum dan adanya septa-septa yang kemungkinan
besar terbentuk oleh karena tingginya kandungan fibrin pada cairan asites yang bersifat
eksudat. Namun septa-septa ini juga bias dijumpai pada kasus asites oleh karena malignansi.
Tuberkel pada peritoneum jarang sekali dapat terlihat pada ultrasound karena ukurannya yang
sangat kecil. Mizzunoe dkk berhasil menggunakan USG sebagai alat Bantu biopsi dalam
menegakkan diagnosa tuberkulosis peritoneal.20
Ultrasound examination of the abdomen showed the presence of interloop ascitic fluid with
fibrotic branch (panel A). Mesenteric thickening (panel B). The use of linear probe (5-8 Mhz)
showed thickening of the peritoneal wall (panel C) and enlarged lymph nodes with
mesenteric thickening (panel D).
Gambar 2. USG Abdomen pada Tuberkulosis Peritoneal20
9. CT Scan
Pada pemeriksaan CT tidak dijumpai gambaran yang khas, namun adanya gambaran
peritoneum yang berpasir dan didukung dengan gejala klinis yang ada maka diagnosa
tuberkulosis peritoneal dapat dipertimbangkan. Rodriguez E dkk melakukan penelitian yang
membandingkan tuberkulosis peritoneal dan karsinoma peritoneal yaitu dengan melihat
gambaran CT Scan terhadap peritoneum parietalis. Adanya peritoneum yang licin dengan
penebalan yang minimal dan pembesaran yang jelas menunjukkan suatu peritoneum
9
tuberkulosis sedangkan adanya nodul yang tertanam dan penebalan peritoneum yang teratur
menunjukkan suatu peritoneal carsinomatosis.12,23
Gambar 3. CT scan dengan kontras menunjukkan omentum caking dan penebalan peritoneum
yang licin
10
Biopsi dapat ditujukan pada tuberkel-tuberkel secara terarah atau pada jaringan lain
yang diduga mengalami kelainan dengan menggunakan alat biopsi khusus sekaligus dapat
mengeluarkan cairan.Walaupun pada umumnya gambaran peritonoskopi tuberkulosis
peritoneal dapat dikenal dengan mudah, namun gambaran gambarannya bisa menyerupai
penyakit lain seperti peritoneal karsinomatosis. Peritonoskopi tidak selalu mudah dikerjakan.
Dari suatu laporan, 4 kasus dari total 30 kasus tidak dilakukan peritonoskopi karena secara
teknis dianggap berbahaya dan sukar dikerjakan. Adanya perlengketan jaringan yang luas
merupakan hambatan dan kesulitan dalam memasukkan trokar dan lebih lanjut lagi, ruangan
yang sempit di dalam rongga abdomen juga dapat menyulitkan pemeriksaan. Alat
peritonoskopi bisa terperangkap didalam suatu rongga yang penuh dengan perlengketan,
sehingga sulit untuk mengenali gambaran anatomi alat-alat yang normal dan dalam keadaan
demikian maka sebaiknya dilakukan laparotomi diagnostik.6,21
11. Kultur
Kultur merupakan pemeriksaan gold standard untuk diagnostik TB. Hasil kultur
positif menjadi diagnostik pasti bagi penyakit TB, namun demikian jika hasil kultur negatif,
diagnosa TB masih dapat ditegakkan hanya berdasarkan tanda dan gejala. Pemeriksaan basil
tahan asam (BTA) kurang dari 5 % hasilnya yang positif dan dengan kultur cairan ditemukan
kurang dari 20% hasilnya yang positif.1,8 Namun beberapa peneliti mendapatkan hasil sekitar
66% kultur BTA positif dan akan lebih meningkat lagi sampai 83% bila menggunakan kultur
11
cairan asites yang telah disentrifugasi dengan jumlah cairan lebih dari 1 liter. Hasil kultur
cairan asites ini dapat diperoleh dalam waktu 4-8 minggu. 6,7,11 Pemeriksaan kultur dari biopsi
terarah dengan panduan laparoskopi bisa didapatkan 75% ditemukan BTA yang positif.21
14. Laparatomi
Dahulu laparotomi eksplorasi merupakan tindakan diagnosa yangs sering dilakukan,
namun saat ini pembedahan hanya dilakukan jika dengan cara yang lebih sederhana tidak
didapatkan kepastian diagnosa atau jika dijumpai indikasi yang mendesak seperti obstruksi
usus, perforasi dan adanya cairan asites yang bernanah.6,21
PENATALAKSANAAN
12
Semua pasien dengan TB abdomen harus diberikan anti tuberkulosis dengan waktu
pemberian standar. Lama pengobatan berbeda di pusat-pusat pengobatan di dunia.
Pengobatan dengan tiga rejimen obat selama sembilan bulan telah digunakan sebagai
pengobatan anti tuberkulosis. Beberapa penulis merekomendasikan pengobatan tuberkulosis
abdomen selama satu sampai satu setengah tahun.24,25
Terapi bedah yang dianjurkan saat ini masih konservatif. Striktur yang menyebabkan
penyempitan lumen lebih dari setengah diameter awal dan yang menyebabkan dilatasi atau
hipertrofi proksimal, diterapi dengan strikturplasti. Segmen usus yang terdapat beberapa
striktur atau striktur tunggal panjang diterapi direkomendasikan untuk reseksi. Reseksi
dilakukan segmental dengan margin 5 cm.5,9
Dua laporan penelitian menunjukkan bahwa lesi usus obstruktif dapat disembuhkan
dengan obat antituberkulosis saja tanpa operasi. Anand et al melaporkan striktur TB
mengalami resolusi klinis dan radiologis dengan terapi obat bahkan pada pasien dengan
obstruksi usus subakut. Mereka melakukan terapi medis pada 39 pasien dengan gejala
obstruktif. Setelah 1 tahun, 91% menunjukkan perbaikan klinis dan 70% resolusi komplit
secara radiologis serta operasi hanya 3 kasus (8%). Prediktor untuk indikasi operasi adalah
13
striktur panjang (> 12 cm) dan lesi multipel. Observasi serupa dilakukan oleh
Balasubramanian et al., dimana waktu yang dibutuhkan untuk resolusi gejala obstruktif rata-
rata selama 6 bulan.5,9
KESIMPULAN
Tuberkulosis peritoneal adalah peradangan pada peritoneum parietal atau visceral yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Oleh karena perjalanan penyakitnya
yang berlangsung perlahan-lahan dan sering tanpa keluhan atau gejala klinis yang tidak khas
mengakibatkan diagnosa sering terlambat. Namun dengan pemeriksaan diagnostik,
laboratorium dan pemeriksaan penunjang seperti analisa cairan asites, ADA, IGRA, PCR,
biomarker seperti CA-125 dan CA 19-9 serta pemeriksaan penunjang lainnya dapat
membantu dalam menegakkan diagnosa.
Gold standard diagnosa adalah kultur BTA dimana dengan biopsi terarah ke daerah
tuberkel dengan panduan laparoskopi, 75% bisa didapatkan kultur BTA yang positif. Dengan
pemberian obat anti tuberkulosa yang adekuat selama 9-18 bulan biasanya pasien akan
sembuh, namun jika diagnosa terlambat ditegakkan maka prognosis menjadi kurang baik oleh
karena bisa dijumpai perlengketan yang luas. Pemberian kortikosteroid masih merupakan hal
yang kontroversial walaupun dari beberapa studi kortikosteroid terbukti dapat mengurangi
asites, perlengketan, peradangan dan angka kesakitan.
14
Daftar Pustaka
15
15. Mathur PC, Tiwari KK, Trikha S. Diagnostic Value of Adenosine Deaminase Activity
(ADA) in Tubercular Serositis. Indian Journal of Tuberculosis 2006;53:92-95.
16. Boonyagars L, Kiertiburanakul S. Use of adenosine deaminase for the diagnosis of
tuberculosis: A review. J Infect Dis Antimicrob Agents 2010;27:111-118.
17. Hafta A. Adenosin deaminase activity in the diagnosis of peritoneal tuberculosiswith
cirrhosis http://wwwcu.edu.tr/fakulteler/tf/tfd/97-2-9.htm
18. Sathar MA, Simjee AE, Coovadia YM, et al. Ascitic fluid γ interferon concentrations
and adenosine deaminase activity in tuberculous peritonitis. Gut 1999;36:415-421.
19. Kang SJ, Kim JW, Baek JH, et al. Role of ascites adenosine deaminase in
differentiating between tuberculous peritonitis and peritoneal carsinomatosis. World J
Gastroenterology 2012;18(22):2837-2843.
20. Atzori S, Vidili G and Delitala G. Usefulness of ultrasound in the diagnosis of
peritoneal tuberculosis. J Infect Dev Ctries 2012; 6(12): 886-890
21. Miyaoka H, Uesugi K, Shigematsu S. Clinical Course of tuberculous Peritonitis
Determined by Laparoscopy. Internal Med 2010;49:293-297
22. Dooley DP, Carpenter JL, Rademacher S. Adjunctive Corticosteroid Therapy for
Tuberculosis: A Critical Reappraisal of the Literature. Clin Infect Dis 1997;25:872-
87.
23. Sood R. Diagnosis of Abdominal Tuberculosis: Role of Imaging. Journal Indian
Academy of Clinical Med 2001;2:169-177.
24. Departement of Health Republic of South Africa, 2014. TB Treatment in Special
Circumstances in: National Tuberkulosis Management 2014 pp 65-70. Pretoria, South
Africa.
25. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Dirjen
PPPL), 2014. Tatalaksana Pasien Tuberkulosis in: Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
16