Anda di halaman 1dari 16

Reading Assignment Sudah Dibacakan tanggal

Divisi Gastroenterohepatologi

Presentator : dr. Zulfahmi Zulfa dr. Imelda Rey, SpPD

Tuberkulosis Peritoneal

Zulfahmi Zulfa, Imelda Rey, Taufik Sungkar, Ihamd, Juwita Sembiring, Masrul lubis,
Leonardo B.Dairi, Mabel Sihombing, Gontar Siregar, Lukman Hakim Zain
Divisi Gastroenterohepatologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) dapat melibatkan seluruh bagian saluran pencernaan dari mulut sampai
anus, peritoneum dan sistem pankreatobilier. Organ yang paling sering terkena adalah
ileosekal. Hal ini disebabkan karena stasis fisiologis yang tinggi pada daerah tersebut,
tingginya tingkat penyerapan cairan dan elektrolit, aktivitas pencernaan minimal dan
berlimpahnya jaringan limfoid di tempat tersebut. Telah terbukti bahwa sel M pada Peyer’s
patches dapat menfagositosis basil BCG. Tuberkulosis peritoneal dapat berasal dari
penyebaran kelenjar getah bening, lesi usus atau dari salpingitis TB pada wanita.
Tuberkulosis kelenjar getah bening abdomen dan TB peritoneal dapat terjadi tanpa
keterlibatan gastrointestinal pada sepertiga kasus.1,2

Menurut WHO sepertiga populasi dunia berisiko terinfeksi tuberkulosis (TB)


terutama di Asia dan Afrika. Keterlibatan organ ekstrapulmonal dari infeksi tuberkulosis
diperkirakan sebanyak 10-15% bila tidak disertai infeksi HIV, sedangkan prevalensinya akan
meningkat menjadi 50-70% bila disertai koinfeksi HIV.1

Dengan meningkatnya infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan penggunaan


terapi imunosupresif, insiden TB juga meningkat pada masyarakat berpenghasilan rendah.
Diagnosis TB abdomen sulit ditegakkan karena presentasi klinis gejala dan tandanya
nonspesifik. Selain itu, dapat menyerupai banyak penyakit seperti keganasan, infeksi bakteri
dan inflamasi lainnya. Diagnosis yang terlambat atau misdiagnosis berhubungan langsung

1
dengan outcome yang buruk pada pasien karena tidak mendapatkan pengobatan dini. WHO
memperkirakan sepertiga populasi dunia terinfeksi M. tuberculosis dengan prevalensi
tertinggi TB di Asia Tenggara. Selain itu, meningkatnya TB yang resistan terhadap obat
menjadi masalah baru di dunia termasuk Indonesia.3,4

Tuberkulosis abdominal merupakan salah satu manifestasi ekstrapulmonal yang


paling tingi prevalensinya. Organ yang terserang pada tuberkulosis abdominal meliputi
omentum, usus, hati, limpa, traktus genital wanita, peritoneum visceral dan parietal. 5

Di negara yang sedang berkembang tuberkulosis peritoneal masih sering dijumpai


termasuk di Indonesia. Pada saat ini dilaporkan bahwa kasus tuberkulosis peritoneal di negara
maju semakin meningkat dan peningkatan ini sesuai dengan meningkatnya insiden AIDS di
negara maju.6

PREVELENSI

Tuberkulosis peritoneal lebih sering dijumpai pada wanita dibanding pria dengan
perbandingan 1,5:1 dan lebih sering dijumpai pada usia dekade ke 3 dan 4. Prevalensinya
sekitar 4,9 % dari seluruh kasus tuberkulosis dan 59,8% dari keseluruhan kasus tuberkulosis
abdominal. Di Amerika Serikat penyakit ini menempati urutan keenam terbanyak diantara
penyakit tuberkulosis ekstra paru sedangkan peneliti lain menemukan bahwa hanya sekitar 5-
20% dari penderita tuberkulosis peritoneal dengan TB paru yang aktif. 4 Di Asia dan Afrika
dimana kasus tuberkulosis masih banyak dijumpai, tuberkulosis peritoneal masih merupakan
masalah yang penting.7,8

Gambar 1. Diagram Tuberkulosis ekstraparu di United States, 1993-2006

2
PATOGENESIS

Tuberkulosis peritoneal seringkali dihubungkan dengan fokus primer tuberkulosis di tempat


lain terutama paru, namun hanya sepertiga kasus yang terbukti secara klinis maupun
radiologis terinfeksi tuberkulosis paru. Sebagaimana TB ekstrapulmonal lainnya, basil TB
dengan jumlah yang lebih kecil daripada yang didapatkan pada TB paru, menyebabkan
kerusakan yang lebih besar. Kombinasi dari rendahnya jumlah basil TB, relatif sulitnya akses
dan tidak diketahuinya sumber infeksi TB ekstrapulmonal menyebabkan sulitnya diagnosis
secara laboratoris.1,9

Mekanisme yang digunakan oleh basil tuberkulosis untuk mencapai saluran


pencernaan adalah: (1) Penyebaran hematogen dari fokus paru primer di masa kecil,
kemudian mengalami reaktivasi; (2) Tertelannya basil TB pada dahak pasien dengan fokus
paru aktif; (3) Penyebaran langsung dari organ yang berdekatan; dan (4) Penyebaran melalui
saluran limfe dari kelenjar getah bening yang terinfeksi.1,2

Sebelumnya diyakini bahwa sebagian besar kasus disebabkan re-aktivasi fokus


dorman, namun penelitian terbaru menggunakan DNA fingerprinting menunjukkan bahwa
40% kasus disebabkan re-infeksi.9

Pada tuberkulosis peritoneal, peritoneum dilapisi oleh beberapa tuberkel putih


kekuningan. Peritoneum menjadi tebal dan hiperemis serta warnanya tidak mengkilap lagi.
Omentum juga menebal. Striktur dapat terjadi akibat penyembuhan sikatriks dari ulkus TB
yang sirkuler. Adanya oklusi arterial dapat menyebabkan iskemia sehingga juga berkontribusi
terhadap terjadinya striktur.1,9

Kelenjar getah bening mesenterika dapat membesar, kusam atau mengalami


pengkejuan. Granuloma yang khas hanya dapat dilihat pada kelenjar getah bening
mesenterika. Hal ini umumnya didapatkan pada pasien yang telah mendapat terapi
antituberkulosis, sebaliknya, jarang dijumpai adanya granuloma di usus namun tidak ada
granuloma di kelenjar getah bening drainasenya.1,5

GAMBARAN KLINIS

Ada dua jenis presentasi klinis TB peritoneal yaitu akut dan kronis. Pada kasus yang akut,
pasien datang dengan peritonitis akut dan bila peritoneum dibuka akan keluar cairan
berwarna jerami dengan tuberkel yang tersebar di peritoneum dan omentum mayor. Pada

3
kasus kronis presentasi klinisnya berupa nyeri perut, demam, penurunan berat badan, asites
dan massa abdomen. Sumber infeksi dapat berasal dari limfadenitis mesenterika, TB usus
atau dari penyebaran hematogen tuberkulosis paru. Tuberkulosis peritoneal terjadi dalam 3
bentuk: (1) Tipe basah dengan asites; 2) Tipe kistik (loculated) dengan pembengkakan
abdomen yang terlokalisir; 3) Tipe fibrotik dengan massa abdomen yang terdiri dari
penebalan mesenterika dan omentum dengan lipatan usus yang dirasakan sebagai benjolan di
perut. Sering pula didapatkan kombinasi dari ketiga tipe di atas.1,5
Presentasi klinis tuberkulosis abdominal dapat akut, kronik atau akut pada kronik.
Gejala dan tanda TB tidak spesifik dan bermacam-macam. Penurunan berat badan, demam
ringan, batuk kronis, mudah lelah, anoreksia, berkeringat malam hari merupakan gejala dan
tanda akibat sitokin yang dilepaskan oleh makrofag teraktivasi yaitu IL-1 dan TNF alfa,
bukan oleh organisme itu sendiri. Hu dkk. di Taiwan melaporkan manifestasi klinis TB
abdomen pada 14 pasien yaitu nyeri perut (71,4%), distensi abdomen (57,1%), asites (50%),
penurunan berat badan (42,9%), demam (35,7%), massa abdomen (21,4%), konstipasi
(21,4%), sepsis (21,4%), tinja berdarah (7,1%) dan tanda-tanda peritoneal (7,1%).3,10
Sebagian besar pasien memiliki gejala konstitusional demam (40-70%), nyeri (80-
95%), diare (11- 20%), konstipasi, konstipasi dan diare bergantian, penurunan berat badan
(40-90%), anoreksia dan malaise. Nyeri dapat bersifat kolik karena adanya obstruksi lumen,
atau nyeri tumpul dan kontinyu bila melibatkan kelenjar getah bening mesenterika. Gambaran
klinis lainnya tergantung pada lokasi, perjalanan penyakit dan luasnya keterlibatan organ.
Umumnya onset berlangsung lama dengan lebih dari 70% pasien sudah memiliki gejala klinis
lebih dari 4 bulan sebelum ditegakkan diagnosis definitif. Selain itu, dapat terjadi distensi
abdomen yang disebabkan baik oleh asites atau obstruksi parsial. Pada pemeriksaan fisik,
didapatkan nyeri tekan abdomen difus, namun tanda klasik perut pucat jarang ditemukan.
Tuberkulosis peritoneal patut dicurigai pada pasien berisiko tinggi atau pasien
immunocompromise dengan ascites, demam, gejala konstitusional yang tidak dapat dijelaskan
sumbernya dan nyeri perut difus.3,10

Nyeri perut kronis, sub akut atau obstruksi usus akut, perut pucat dan peristaltik yang
dapat terlihat, diare bergantian dengan konstipasi, massa abdomen dapat diraba di fossa iliaka
kanan dan gambaran klinis peritonitis akut jika kelenjar getah bening mesenterika mengalami
pengejuan dan mensekresi isinya ke dalam rongga peritoneum menyebabkan tuberkulosis
peritoneal. Gangguan ini mirip dengan penyakit yang melibatkan organ abdomen seperti
inflammatory bowel disease, kanker kolon, infeksi abdomen dan ascites dengan penyebab

4
apapun. TB abdomen merupakan kondisi yang dapat diobati, namun diagnosis TB abdomen
sering tertunda, sehingga meningkatkan morbiditasnya. Hal ini disebabkan karena presentasi
klinisnya kabur, non-spesifik dan dapat menyerupai penyakit lain. Pasien datang dengan
gambaran klinis pneumoperitoneum terutama jenis ulseratif, anemia, tampak sakit kronis,
malnutrisi, hemoptisis bila disertai TB paru dan clubbing finger. Pasien kebanyakan tidak
divaksinasi dan memiliki riwayat kontak TB yang positif.1,3

DIAGNOSIS
1. Laboratorium :
Pada pemeriksaan darah tepi sering dijumpai adanya anemia penyakit kronis,
leukositosis ringan ataupun leukopenia, trombositosis, gangguan faal hati dan sering dijumpai
laju endap darah (LED) yang meningkat. Pemeriksaan tes tuberkulin hasilnya sering negatif.
Sirosis hati sering ditemui bersama-sama dengan tuberkulosis peritoneal.6,11,12,13

2. Tes Tuberkulin
Kemampuan uji ini untuk mendiagnostik TB sangat terbatas karena sensitifitas dan
spesifisitasnya yang relatif rendah serta ketidakmampuannya untuk membedakan antara
infeksi aktif dan laten. 6

3. Analisa Cairan Asites


Pada pemeriksaan analisa cairan asites umumnya memperlihatkan eksudat dengan
protein > 3 gr/dl dan jumlah sel diatas 100-3000 sel/ml. Biasanya lebih dari 90% adalah
limfosit disertai peningkatan LDH. Cairan asites yang purulen dapat ditemukan begitu juga
cairan asites yang bercampur darah (serosanguinous).7,12,14
Pada tuberkulosis peritoneal, perbandingan serum asites albumin (SAAG) rasionya <
1,1 gr/dl namun hal ini juga bisa dijumpai pada keganasan, sindroma nefrotik, penyakit
pankreas, kandung empedu atau kelainan pada jaringan ikat. Nilai SAAG >1,1 gr/dl
menunjukkan cairan asites akibat hipertensi portal. Pada tuberkulosis peritoneal,
perbandingan glukosa cairan asites dengan serum <0,96 sedangkan pada asites dengan
penyebab lain rationya >0,96. Penurunan PH (Power Hidrogen) cairan asites dan peningkatan
kadar laktat dapat dijumpai pada tuberkulosis peritoneal dan hal ini berbeda signifikan
dengan cairan asites pada sirosis hati yang steril. Sayangnya pemeriksaan PH dan kadar laktat
cairan asites ini kurang spesifik karena hal ini juga bias dijumpai pada kasus asites oleh
karena keganasan atau spontaneous bacterial peritonitis.6,10,12

5
4. Adenosine Deaminase Activity (ADA)
ADA merupakan enzim katalisator reaksi deaminasi adenosine menjadi inosin, dan
juga merupakan enzim esensial dalam pathway katabolik purin. Pada tubuh manusia
konsentrasi ADA yang paling tinggi dijumpai pada jaringan limfoid, dan dalam hal ini ADA
berperan untuk proses proliferasi dan diferensiasi dari limfosit, khususnya limfosit T, dan
enzim ini juga ikut berperan dalam maturasi transformasi monosit menjadi makrofag. Oleh
karena itu, ADA dapat dijadikan indikator signifikan untuk imunitas seluler yang sedang
aktif. Kadar ADA dapat meningkat pada TB karena adanya stimulasi sel T oleh antigen
Mycobacterium.15,16
Terdapat 2 isomer ADA yang umum dikenal yaitu, ADA-1 dan ADA-2. Dimana
ADA-1 dapat ditemukan pada semua sel tubuh termasuk eritrosit, sementara ADA-2 hanya
dijumpai pada makrofag dan monosit. Pengukuran kadar serum ADA pada manusia yang
sehat mencerminkan kadar ADA-2 sebagai komponen utama secara keseluruhan. Kadar ADA
akan meningkat pada komponen cairan biologis tubuh akibat infeksi yang merangsag aktivasi
makrofag. Kadar serum ADA dapat diukur dengan 2 metode, yaitu Giusti dan Non-Giusti
Methode, dan kit komersial untuk pengukuran ini dikenal dengan nama Diazyme yang
merupakan modifikasi metode Giusti.16,17
ADA dapat meningkat pada beberapa penyakit infeksi tertentu seperti tuberkulosis,
lepra, brucellosis, HIV, hepatitis viral, mononucleosis infeksiosa dan liver sirosis. Menurut
Gupta dkk nilai ADA dengan Cutt off >30 u/l mempunyai sensitifitas 100% dan spesifitas
94,1%. Sementara menurut Gimene dkk kadar ADA >40 u/l mempunyai sensitifitas 100%
dan spesifitas 99% dimana nilai ini dapat mengurangi false positif dari sirosis hati atau
malignansi.15,16
Hafta A dkk dalam suatu penelitian membandingkan konsentrasi ADA pada pasien
tuberkulosis peritoneal dibandingkan dengan pasien tuberkulosis peritoneal yang komorbid
dengan sirosis hati dan pasien yang hanya menderita sirosis hati saja. Mereka mendapatkan
hasil bahwa nilai ADA 131,1 ± 38,1 u/l pada pasien tuberkulosis peritoneal, 29 ± 18,6 u/l
pada pasien tuberkulosis peritobeal dengan sirosis hati dan 12,9 ± 7 u/l pada pasien yang
hanya dengan sirosis hati. Namun pada pasien dengan konsentrasi protein yang rendah
dijumpai nilai ADA yang sangat rendah sehingga mereka menyimpulkan bahwa pada
konsentrasi asites dengan protein yang rendah, maka nilai ADA dapat menjadi false negatif.
Pada kasus seperti ini dapat dilakukan pemeriksaan gamma interferon.17
Bargava dkk melakukan penelitian terhadap kadar ADA pada cairan ascites dan
serum penderita tuberkulosis peritoneal. Kadar ADA >36 u/l pada cairan ascites dan >54 u/l

6
pada serum mendukung diagnosis tuberkulosis peritoneal. Perbandingan cairan asites dan
serum (rasio ADA asites / serum) > 0,984 mendukung suatu tuberkulosis peritoneal. Rasio ini
lebih tingggi pada tuberkulosis peritoneal dibandingkan pada kasus lain seperti sirosis, sirosis
dengan spontaneous bacterial peritonitis dan Budd chiary sindrom.13 Sathar MA dkk
melaporkan bahwa ADA dengan cut-off >30 U/L mempunyai sensitifitas 93%, spesifisitas
96%, PPV 93%, NPV 96% dan akurasi mencapai 95%.18

5. CA-125 dan CA 19-9


Pemeriksaan lain adalah CA-125 yang termasuk tumor associated glycoprotein yang
terdapat pada permukaan sel. CA-125 merupakan antigen yang terkait karsinoma ovarium.
CA-125 dilaporkan juga meningkat pada keadaan benigna dan maligna, sekitar 80%
meningkat pada keganasan ovarium, 26% pada trimester pertama kehamilan, endometriosis,
myoma uteri, salpingitis juga pada kanker primer ginekologi yang lain seperti endometrium,
tuba falopi, endocervix. CA-125 juga meningkat pada keganasan pankreas, ginjal, kolon dan
juga pada kondisi yang bukan keganasan seperti gagal ginjal kronik, penyakit autoimum,
sirosis hati serta pada kondisi peradangan peritoneum seperti tuberkulosis.7,12
Beberapa laporan menemukan peningkatan kadar CA-125 pada penderita tuberkulosis
peritoneal seperti yang dilaporkan oleh Sinsek H (Turkey 1996) dan Zain LH (Medan 1996).
Zain LH menemukan pada 8 kasus tuberkulosis peritoneal dijumpai peningkatan kadar CA-
125 dengan kadar rata-rata 370,7 u/ml (66,2– 907 u/ml) dan menyimpulkan bila dijumpai
peninggian serum CA-125 disertai dengan cairan asites yang eksudat, jumlah sel > 350/mm 3
dengan dominan limfosit serta klinis yang mendukung, maka tuberkulosis peritoneal dapat
dipertimbangkan sebagai diagnosa.14
Beberapa peneliti menggunakan CA-125 ini untuk melihat respon pengobatan
tuberkulosis peritoneal seperti yang dilakukan Mas MR dkk (Turkey 2000) menemukan CA-
125 yang sama tingginya dengan CA-125 pada kanker ovarium yaitu dengan kadar rata-rata
475,80 ± 5,8 u/ml dan setelah pemberian obat anti tuberkulosa selama 4 bulan nilainya
menjadi normal. Teruya J dkk pada tahun 2000 di Jepang menemukan peningkatan kadar CA
19-9 pada serum dan cairan asites penderita tuberkulosis peritoneal dan setelah diobati
selama 6 minggu dijumpai penurunan CA19-9 menjadinormal.20
Kang SJ dkk (Korea selatan 2012) melaporkan bahwa dijumpai perbedaan yang
signifikan nilai ADA antara tuberkulosis peritoneal dengan peritoneal carsinomatosis dimana
dengan cut off >21 IU/L memiliki sensitivitas 92%, spesifisitas 85%, PPV 88,5% dan NPV
89,5%. Mereka juga melaporkan serum CRP, kadar limfosit pada cairan asites dan SAAG

7
secara signifikan lebih tinggi pada tuberkulosis peritoneal dibandingkan peritoneal
carsinomatosis. Tumor marker seperti CEA dan Ca 19-9 juga meningkat pada kedua grup
namun secara signifikan lebih tinggi pada grup peritoneal carsinomatosis.21

6. Interferon-Gamma Realease Assays (IGRA)


Cara kerja IGRA ini didasarkan kepada kemampuan M.tuberculosis antigen
menstimulasi host untuk menghasilkan interferon gamma (IFN-γ) yang dikembangkan dari
pemahaman bahwa sel T yang tersensitisasi oleh M. tuberculosis akan melepaskan suatu
sitokin TH1 yang didominasi oleh IFN-γ bila mereka terpapar kembali dengan antigen
mycobacterial. IGRA dapat membedakan TB laten dengan post vaksinasi BCG, atau dengan
spesies mikobakteria lingkungan (non-tuberculous mycobacteria/NTM), karena BCG tidak
mengandung antigen, dan NTM tidak memiliki kemampuan seperti antigen TB untuk
merangsang pembentukan sitokin.21
Sathar MA melaporkan bahwa konsentrasi γ-interferon secara signifikan lebih tinggi
pada tuberkulosis peritoneal (mean 6-70 U/ml) dibandingkan pada malignansi dan sirosis
(p<0,0001) dimana dengan nilai cut off ≥3,2 U/ml memiliki sensitifitas 93%, spesifisitas
98%, PPV dan NPV 96% serta akurasi mencapai 96%. Mereka juga mendapatkan hubungan
signifikan yang kuat antara peningkatan nilai ADA dan γ interferon (r=0,72; p<0,0001)
sehingga gabungan antara kedua pemeriksaan ini mempunyai akurasi yang sangat baik dalam
menegakkan diagnosa tuberkulosis peritoneal. Sayangnya IGRAs belum dapat dilakukan di
Indonesia dan biaya pemeriksaannya cukup mahal.21
Pada suatu studi yang membandingkan nilai ADA pada pasien tuberkulosis peritoneal
denngan HIV-seropositif dan HIV-seronegatif ternyata tidak dijumpai perbedaan yang
signifikan sehingga ADA tetap dapat digunakan sebagai marker yang baik dalam
menegakkan diagnosa tuberkulosis peritoneal.22

7. Pemeriksaan Rontgen
Pemeriksaan rontgen pada sistem pencernaan mungkin dapat membantu jika disertai
kelainan usus kecil atau usus besar.13

8. Ultrasonografi
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat dilihat adanya cairan dalam rongga
peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-kantong). Menurut Rama &
Walter B, gambaran USG tuberkulosis yang sering dijumpai antara lain cairan yang bebas

8
atau terlokalisasi dalam rongga abdomen, abses dalam rongga abdomen, masa didaerah
ileosaecal, pembesaran kelenjar limfe retroperitoneal, adanya penebalan mesenterium,
perlengketan lumen usus, penebalan omentum dan adanya septa-septa yang kemungkinan
besar terbentuk oleh karena tingginya kandungan fibrin pada cairan asites yang bersifat
eksudat. Namun septa-septa ini juga bias dijumpai pada kasus asites oleh karena malignansi.
Tuberkel pada peritoneum jarang sekali dapat terlihat pada ultrasound karena ukurannya yang
sangat kecil. Mizzunoe dkk berhasil menggunakan USG sebagai alat Bantu biopsi dalam
menegakkan diagnosa tuberkulosis peritoneal.20

Ultrasound examination of the abdomen showed the presence of interloop ascitic fluid with
fibrotic branch (panel A). Mesenteric thickening (panel B). The use of linear probe (5-8 Mhz)
showed thickening of the peritoneal wall (panel C) and enlarged lymph nodes with
mesenteric thickening (panel D).
Gambar 2. USG Abdomen pada Tuberkulosis Peritoneal20

9. CT Scan
Pada pemeriksaan CT tidak dijumpai gambaran yang khas, namun adanya gambaran
peritoneum yang berpasir dan didukung dengan gejala klinis yang ada maka diagnosa
tuberkulosis peritoneal dapat dipertimbangkan. Rodriguez E dkk melakukan penelitian yang
membandingkan tuberkulosis peritoneal dan karsinoma peritoneal yaitu dengan melihat
gambaran CT Scan terhadap peritoneum parietalis. Adanya peritoneum yang licin dengan
penebalan yang minimal dan pembesaran yang jelas menunjukkan suatu peritoneum

9
tuberkulosis sedangkan adanya nodul yang tertanam dan penebalan peritoneum yang teratur
menunjukkan suatu peritoneal carsinomatosis.12,23

Gambar 3. CT scan dengan kontras menunjukkan omentum caking dan penebalan peritoneum
yang licin

10. Peritonoskopi (Laparoskopi)


Peritonoskopi / laparoskopi merupakan cara yang relatif aman, mudah dan terbaik
untuk mendiagnosa tuberkulosis peritoneal terutama bila ada cairan asites dan sangat berguna
untuk menegakkan diagnosa pada pasien-pasien muda dengan simptom sakit perut yang tidak
jelas penyebabnya. Laparoskopi dapat mendiagnosa tuberkulosis peritoneal sekitar 85%-95%
dan dengan biopsi yang terarah dapat dilakukan pemeriksaan histologi dan bisa ditemukan
adanya gambaran granuloma sebesar 85- 90% dari seluruh kasus.21
Gambaran yang dapat dilihat pada pemeriksaan peritonoskopi/laparoskopi adalah:
1. Tuberkel kecil ataupun besar dengan ukuran yang bervariasi yang dijumpai tersebar
luas pada dinding peritoneum dan usus dan dapat pula dijumpai tuberkel pada
permukaan hati atau alat lain. Tuberkel dapat bergabung dan membentuk suatu nodul.
2. Perlengketan bisa bervariasi mulai dari perlengketan yang sederhana sampai bentuk
perlengketan yang hebat (luas) diantara alat-alat didalam rongga peritoneum. Keadaan
ini bisa merubah letak anatomi yang normal. Permukaan hati dapat melengket pada
dinding peritoneum dan sulit untuk dikenali. Perlengketan diantara usus, mesenterium
dan peritoneum bisa terjadi dengan sangat ekstensif.
3. Peritoneum sering mengalami perubahan dengan permukaan yang sangat kasar dan
kadang-kadang berubah gambarannya menyerupai nodul.
4. Cairan eksudat atau purulen dan kadang sampai hemorhagis.21

10
Biopsi dapat ditujukan pada tuberkel-tuberkel secara terarah atau pada jaringan lain
yang diduga mengalami kelainan dengan menggunakan alat biopsi khusus sekaligus dapat
mengeluarkan cairan.Walaupun pada umumnya gambaran peritonoskopi tuberkulosis
peritoneal dapat dikenal dengan mudah, namun gambaran gambarannya bisa menyerupai
penyakit lain seperti peritoneal karsinomatosis. Peritonoskopi tidak selalu mudah dikerjakan.
Dari suatu laporan, 4 kasus dari total 30 kasus tidak dilakukan peritonoskopi karena secara
teknis dianggap berbahaya dan sukar dikerjakan. Adanya perlengketan jaringan yang luas
merupakan hambatan dan kesulitan dalam memasukkan trokar dan lebih lanjut lagi, ruangan
yang sempit di dalam rongga abdomen juga dapat menyulitkan pemeriksaan. Alat
peritonoskopi bisa terperangkap didalam suatu rongga yang penuh dengan perlengketan,
sehingga sulit untuk mengenali gambaran anatomi alat-alat yang normal dan dalam keadaan
demikian maka sebaiknya dilakukan laparotomi diagnostik.6,21

Gambar 4. Laparoskopi Tuberkulosis Peritoneal: tampak adhesi atau perlengketan disertai


tuberkel-tuberkel berwarna putih kekuningan21

11. Kultur
Kultur merupakan pemeriksaan gold standard untuk diagnostik TB. Hasil kultur
positif menjadi diagnostik pasti bagi penyakit TB, namun demikian jika hasil kultur negatif,
diagnosa TB masih dapat ditegakkan hanya berdasarkan tanda dan gejala. Pemeriksaan basil
tahan asam (BTA) kurang dari 5 % hasilnya yang positif dan dengan kultur cairan ditemukan
kurang dari 20% hasilnya yang positif.1,8 Namun beberapa peneliti mendapatkan hasil sekitar
66% kultur BTA positif dan akan lebih meningkat lagi sampai 83% bila menggunakan kultur

11
cairan asites yang telah disentrifugasi dengan jumlah cairan lebih dari 1 liter. Hasil kultur
cairan asites ini dapat diperoleh dalam waktu 4-8 minggu. 6,7,11 Pemeriksaan kultur dari biopsi
terarah dengan panduan laparoskopi bisa didapatkan 75% ditemukan BTA yang positif.21

12. Pemeriksaan histopatologi


Pada pemeriksaan histologi bisa dijumpai granuloma, nekrosis perkejuan dan sel datia
langerhans.21

Gambar 5. Pemeriksaan histopatologi pada biopsi dengan laparoskopi: tampak granuloma


dengan sel epitel dan nekrosis perkejuan 21

13. Polimerase Chain Reaction (PCR)


PCR telah dipakai secara luas untuk menegakkan diagnosa TB paru dan TB ekstra
paru dengan sensitifitas 85-90%. Kelebihan yang dimiliki metode ini adalah kemampuannya
untuk memberikan hasil pemeriksaan yang cepat dan tingkat akurasi yang tinggi; tetapi biaya
pemeriksaan masih mahal, serta metode pemeriksaan yang rumit, sehingga penggunaannya
masih sangat terbatas terutama di negara miskin.7,12

14. Laparatomi
Dahulu laparotomi eksplorasi merupakan tindakan diagnosa yangs sering dilakukan,
namun saat ini pembedahan hanya dilakukan jika dengan cara yang lebih sederhana tidak
didapatkan kepastian diagnosa atau jika dijumpai indikasi yang mendesak seperti obstruksi
usus, perforasi dan adanya cairan asites yang bernanah.6,21

PENATALAKSANAAN

12
Semua pasien dengan TB abdomen harus diberikan anti tuberkulosis dengan waktu
pemberian standar. Lama pengobatan berbeda di pusat-pusat pengobatan di dunia.
Pengobatan dengan tiga rejimen obat selama sembilan bulan telah digunakan sebagai
pengobatan anti tuberkulosis. Beberapa penulis merekomendasikan pengobatan tuberkulosis
abdomen selama satu sampai satu setengah tahun.24,25

Sebelumnya, durasi terapi tuberkulosis peritoneal selama 18-24 bulan, kemudian


menjadi 1 tahun dan sekarang durasi kemoterapi 6 bulan dianggap sudah cukup. Semua
pasien tuberkulosis peritoneal harus menerima terapi anti TB konvensional selama minimal 6
bulan yaitu 2 bulan awal dengan rejimen rifampisin, isoniazid, pirazinamid, etambutol dan 4
bulan berikutnya menggunakan rifampisin dan isoniazid. Beberapa penulis
merekomendasikan penambahan kortikosteroid pada pasien dengan TB peritoneal untuk
mengurangi komplikasi adhesi.5,9

Sebelum munculnya kemoterapi, mortalitas tuberkulosis peritoneal sebesar 60%,


namun saat ini sebagian besar dapat disembuhkan dengan obat yang tersedia. Semua pasien
harus mendapat terapi antituberkulosis konvensional selama minimal 6 bulan termasuk 2
bulan fase intensif dengan rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol. Suatu penelitian
acak membandingan efek kemoterapi dari terapi 6 bulan dengan 12-bulan menggunakan
etambutol dan isoniazid (suplementasi streptomisin pada 2 minggu pertama) dilakukan di
Tuberculosis Research Center, Chennai, melibatkan 193 pasien dewasa. Hasilnya didapatkan
cure rate masing-masing sebesar 99 dan 94%. Namun banyak dokter memperpanjang lama
pengobatan dari 12 bulan menjadi 18 bulan.1,3

Terapi bedah yang dianjurkan saat ini masih konservatif. Striktur yang menyebabkan
penyempitan lumen lebih dari setengah diameter awal dan yang menyebabkan dilatasi atau
hipertrofi proksimal, diterapi dengan strikturplasti. Segmen usus yang terdapat beberapa
striktur atau striktur tunggal panjang diterapi direkomendasikan untuk reseksi. Reseksi
dilakukan segmental dengan margin 5 cm.5,9
Dua laporan penelitian menunjukkan bahwa lesi usus obstruktif dapat disembuhkan
dengan obat antituberkulosis saja tanpa operasi. Anand et al melaporkan striktur TB
mengalami resolusi klinis dan radiologis dengan terapi obat bahkan pada pasien dengan
obstruksi usus subakut. Mereka melakukan terapi medis pada 39 pasien dengan gejala
obstruktif. Setelah 1 tahun, 91% menunjukkan perbaikan klinis dan 70% resolusi komplit
secara radiologis serta operasi hanya 3 kasus (8%). Prediktor untuk indikasi operasi adalah

13
striktur panjang (> 12 cm) dan lesi multipel. Observasi serupa dilakukan oleh
Balasubramanian et al., dimana waktu yang dibutuhkan untuk resolusi gejala obstruktif rata-
rata selama 6 bulan.5,9

Hal yang paling mengkhawatirkan dari tuberkulosis adalah mewabahnya isolat


resisten obat multipel (MDR) yang seringkali gagal diterapi dengan isoniazid dan rifampisin
(2 obat anti-TB utama). Namun, data dari sebuah penelitian terbaru menunjukkan bahwa
MDR TB adalah penyakit yang dapat disembuhkan dengan pendekatan diagnosis dan
protokol pengobatan yang tepat menggunakan obat lini kedua5,9

KESIMPULAN

Tuberkulosis peritoneal adalah peradangan pada peritoneum parietal atau visceral yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Oleh karena perjalanan penyakitnya
yang berlangsung perlahan-lahan dan sering tanpa keluhan atau gejala klinis yang tidak khas
mengakibatkan diagnosa sering terlambat. Namun dengan pemeriksaan diagnostik,
laboratorium dan pemeriksaan penunjang seperti analisa cairan asites, ADA, IGRA, PCR,
biomarker seperti CA-125 dan CA 19-9 serta pemeriksaan penunjang lainnya dapat
membantu dalam menegakkan diagnosa.
Gold standard diagnosa adalah kultur BTA dimana dengan biopsi terarah ke daerah
tuberkel dengan panduan laparoskopi, 75% bisa didapatkan kultur BTA yang positif. Dengan
pemberian obat anti tuberkulosa yang adekuat selama 9-18 bulan biasanya pasien akan
sembuh, namun jika diagnosa terlambat ditegakkan maka prognosis menjadi kurang baik oleh
karena bisa dijumpai perlengketan yang luas. Pemberian kortikosteroid masih merupakan hal
yang kontroversial walaupun dari beberapa studi kortikosteroid terbukti dapat mengurangi
asites, perlengketan, peradangan dan angka kesakitan.

14
Daftar Pustaka

1. Mimidis K, Ritis K, Kartalis G, 2014. Peritoneal tuberculosis. Annals of


Gastroenterology 18(3):325-329.
2. Anand B, 2012. Abdominal tuberkulosis. In Textbook of Clinical Gastroenterology
and Hepatology 2nd edition. Wiley-Blackwell Publishing, Chicester, UK pp 342-348.
3. Uzunkoy A, Harma M, Harma M, 2016. Diagnosis of abdominal tuberculosis:
Experience from 11 Cases and Review of the Literature. World J Gastroenterol
24:3647-3549.
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2014. Pengobatan Tuberkulosis Pada
Keadaan Khusus in: Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsensus TB). Pedoman
Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia.
5. Sarkar DN, Amin R, Mohammed H, Azhar M, Faiz M, 2011. Abdominal tuberkulosis
– A Review. Bangladesh J Medicine 22: 51-59.
6. Zain LH. Tuberkulosis peritoneal. Dalam : Noer S ed. Buku ajar ilmu penyakit dalam
Jakarta Balai penerbit FKUI. 2015: 727-730.
7. Sharma MP, Bhatia V. Abdominal tuberculosis. Indian J Med Res 2004;126:305-315.
8. Peto HM, Pratt RH, Harrington TA, et al. Epidemiology of Extra pulmonary
Tuberculosis in the United States, 1993-2006. Clinical Infectious Dis 2009;49:1350-7.
9. Sanai FM, Bzeizi KM, 2005. Systematic Review: Tuberculous Peritonitis –
Presenting Features, Diagnostic Strategies and Treatment. Aliment Pharmacol Ther
22: 685–700.
10. Hu ML, Lee CH, Kuo CM, Huang CC, Tai WC, Chang KC, Lee CM, Shuah KC,
2009. Abdominal Tuberculosis: Analysis of Clinical Features and Outcome of Adult
Patients in Southern Taiwan. Chang Gung Med J 32:509-16.
11. Sulaiman A. Peritonitis tuberkulosa. Dalam : Sulaiman A, Daldiyono, Akbar N,Rani
A Buku ajar gartroenterologi hepatologi Jakarta : Infomedika 1990: 456-61.
12. Byrnes V, Chopra S. Tuberculous peritonitis. last updated: Oct 3, 2014.
Available at www.uptodate.com.
13. Lazarus AA, Thilagar B. Abdominal Tuberculosis. Dis Mon 2007;53:32.
14. Zain LH.Peran analisa cairan asites dan serum Ca 125 dalam mendiagnosa TBC
peritoneum Dalam : Acang N, Nelwan RHH, Syamsuru W. Padang: KOPAPDIX,
1996:95.

15
15. Mathur PC, Tiwari KK, Trikha S. Diagnostic Value of Adenosine Deaminase Activity
(ADA) in Tubercular Serositis. Indian Journal of Tuberculosis 2006;53:92-95.
16. Boonyagars L, Kiertiburanakul S. Use of adenosine deaminase for the diagnosis of
tuberculosis: A review. J Infect Dis Antimicrob Agents 2010;27:111-118.
17. Hafta A. Adenosin deaminase activity in the diagnosis of peritoneal tuberculosiswith
cirrhosis http://wwwcu.edu.tr/fakulteler/tf/tfd/97-2-9.htm
18. Sathar MA, Simjee AE, Coovadia YM, et al. Ascitic fluid γ interferon concentrations
and adenosine deaminase activity in tuberculous peritonitis. Gut 1999;36:415-421.
19. Kang SJ, Kim JW, Baek JH, et al. Role of ascites adenosine deaminase in
differentiating between tuberculous peritonitis and peritoneal carsinomatosis. World J
Gastroenterology 2012;18(22):2837-2843.
20. Atzori S, Vidili G and Delitala G. Usefulness of ultrasound in the diagnosis of
peritoneal tuberculosis. J Infect Dev Ctries 2012; 6(12): 886-890
21. Miyaoka H, Uesugi K, Shigematsu S. Clinical Course of tuberculous Peritonitis
Determined by Laparoscopy. Internal Med 2010;49:293-297
22. Dooley DP, Carpenter JL, Rademacher S. Adjunctive Corticosteroid Therapy for
Tuberculosis: A Critical Reappraisal of the Literature. Clin Infect Dis 1997;25:872-
87.
23. Sood R. Diagnosis of Abdominal Tuberculosis: Role of Imaging. Journal Indian
Academy of Clinical Med 2001;2:169-177.
24. Departement of Health Republic of South Africa, 2014. TB Treatment in Special
Circumstances in: National Tuberkulosis Management 2014 pp 65-70. Pretoria, South
Africa.
25. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Dirjen
PPPL), 2014. Tatalaksana Pasien Tuberkulosis in: Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

16

Anda mungkin juga menyukai