Anda di halaman 1dari 18

TUBERKULOSIS ABDOMINAL

a. Definisi

TB Abdominal merupakan kasus yang paling umum dari TB ekstra


paru, yang terdiri dari tuberkulosis dari saluran pencernaan,
peritoneum, omentum, mysentery, dan kelenjar getah bening, serta
organ abdomen lainnya seperti hati, limpa, dan pankreas. Kasus TB
ekstra paru melibatkan 11-16% dari semua pasien tuberkulosis yang
mana 3-4% diantaranya merupakan kasus dengan TB abdominal.

TB Abdominal dapat meniru berbagai kondisi perut lainnya dan


hanya tingkat kecurigaan yang tinggi yang dapat membantu dalam
diagnosis, jika tidak segera terjawab atau tertunda dapat
mengakibatkan morbiditas tinggi dan kematian.

Patogenesis peritonitis TB didahului dengan infeksi M.


Tuberculosis yang menyebar secara hematogen ke organ-organ di luar
paru termasuk di peritoneum. Cara lain adalah melalui penjalaran
langsung dari kelenjar mesenterika atau dari TB usus. Pada
peritoneum terbentuk tuberkel dengan massa perkijuan yang dapat
membentuk satu kesatuan. Pada perkembangan selanjutnya, omentum
dapat menggumpal di daerah epigastrium dan melekat pada organ-
organ abdomen, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan
obstruksi usus. Di lain pihak, elenjar limfe yang terinfeksi dapat
membesar, menyebabkan penekanan pada vena porta dengan akibat
pelebaran vena dinding abdomen dan asites.

b. Epidemiologi

Tuberkulosis abdominal ini telah jarang di temui di negara maju,


sedangkan di negara berkembang masih tinggi frekwensinya. Sejak
ditemukan khemoterapi anti tuberkulostatika frekwensinya telah jauh
berkurang, sebelumnya Hunges et al melaporkan 20-50% kematian
karena tuberkulosis abdominal. Ada pula yang menyatakan bahwa
meningkatnya TB ekstra paru disebabkan oleh immunodefiensi virus
dan kelainan–kelainan immunosupresif lainnya.

Tuberkulosis abdominal dapat menyerang semua umur tetapi


biasanya ditemukan pada orang dengan umur antara 21-31 tahun
dengan presentase 44,4%. Seperti juga dilaporkan banyak penulis,
perbandingannya sebanding antara pria dan wanita (1 : 1).

c. Patofisiologi

Tuberkulosis abdominal dapat terjadi secara primer ataupun


sekunder karena adanya focus tubercular di organ lain di dalam tubuh.
Tuberkulosis pada saluran pencernaan dapat terjadi karena
mengkonsumsi susu atau makanan yang telah terinfeksi dengan
Mycobacterium bovis sehingga terbentuk tuberculosis intestinal
primer, namun sekarang kasus ini telah langka. Infeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan TB abdominal dapat
disebabkan hal-hal sebagai berikut:

 Penyebaran TB paru primer di masa kecil;

 Menelan dahak yang terinfeksi pada penderita TB paru aktif;

 Penyebaran hematogen dari fokus aktif TB paru atau TB


militer;

 Mycobacteria dapat menyebar ke organ lain yang berdekatan


dengan organ yang terinfeksi;

 Penyebaran limfatik dari kelenjar getah bening mesenterik


yang terinfeksi;

 Cairan empedu akibat adanya tubercular granuloma pada hati.


Lokasi yang dapat terlibat pada tuberculosis abdominal:

1) Saluran cerna

2) Peritoneum, misalnya asites

3) Kelenjar getah bening

4) Organ padat, misalnya hati, limpa dan pankreas.

TB gastrointestinal merupakan 70-78% kasus dari tuberculosis


abdominal. Daerah ileocecal adalah yang paling sering terlibat
karena melimpahnya jaringan limfoid (Peyer’s patch) diikuti oleh
usus besar dan jejunum. Tuberkulosis juga dapat mengenai
lambung, duodenum dan kerongkongan, namun kasusnya jarang.
Tiga karakteristik lesi usus yang diakibatkan oleh TB adalah: (i)
ulcerative, (ii) hypertrophic dan (iii) stricturous atau constrictive.
Kombinasi dari ketiga lesi juga dapat terjadi seperti ulcero-
konstriktif atau ulcerohypertrophic. Striktur biasanya terjadi
sebagai hasil penyembuhan cicatrical dari lesi ulseratif pada usus.
Sebagian besar kasus tuberkulosis gastrointestinal melibatkan
kelenjar getah bening dan jaringan peritoneal.

Keterlibatan peritoneal terjadi pada 4-10% pasien tuberkulosis


ekstra paru (TBEP). Tubercular peritonitis dapat terjadi melalui
penyebaran langsung tuberkulosis dari organ intra-abdominal dan
kelenjar getah bening yang ruptur, atau secara hematogen.
Keterlibatan Peritoneal mungkin dalam bentuk perlekatan
peritoneal atau cairan eksudatif dalam rongga peritoneum
(ascites).

Tuberkulosis limfadenitis ditemukan pada sekitar 25% kasus


TB ekstra paru. Penyakit ini terutama sering terjadi di kelompok
usia muda dan lebih sering pada pasien yang terinfeksi HIV.
Terutama disebabkan oleh M.bovis, namun sekarang sebagian
besar disebabkan oleh M.tuberculosis. KGB yang terlibat terutama
di daerah mesenterika atau retro-peritoneal. itu Kelenjar getah
bening dapat menunjukkan kaseasi atau pengapuran. TB pada
intestinal, KGB, dan peritoneal mungkin juga terjadi dalam
berbagai permutasi dan kombinasi.

d. Manifestasi Klinis

Tuberkulosis abdominal biasanya bermanifestasi sebagai TB


limfadenitis, TB peritonitis, dan TB hepatosplenic atau pankreas.
Pada anak-anak, bentuk TB peritoneal dan TB limfadenitis lebih
umum daripada TB intestinal.

Presentasinya dapat bervariasi dari tanpa gejala (tidak sengaja


ditemukan pada laparotomi) sampai ke akut, akut pada penyakit
kronis atau penyakit kronis menahun. Manifestasi klinis tergantung
pada lokasi dan organ yang terlibat. Gejalanya terutama mencakup (i)
Gejala konstitusional (demam, malaise, anemia, keringat malam,
kehilangan berat badan, lemas), dan (ii) gejala dan tanda-tanda
lokal sesuai dengan lokasi dan organ yang terlibat. Presentasi klinis
TB intestinal dapat dilihat pada Tabel II.1.
Pemeriksaan fisik abdomen dapat menunjukkan tanda-tanda asites,
benjolan di perut, atau visible peristaltic dengan pelebaran usus.
Namun, pemeriksaan abdomen ini tidak memberikan gambaran pasti
apakah hal tersebut diakibatkan oleh TB abdominal.

Karena manifestasi klinisnya bervariasi, tuberkulosis abdominal


dapat menyerupai salah satu dari hal berikut:

1) Neoplasma ganas, misalnya limfoma, karsinoma

2) Radang usus

3) Sirosis hati terutama pada TB peritoneal

4) Massa ileocaecal dapat meniru benjolan apendiks atau


keganasan caecum atau kondisi lainnya.

Kecurigaan yang tinggi dengan penggunaan modalitas


diagnostik yang tepat akan membantu dalam mendiagnosis
penyakit ini.

e. Diagnosis
Isolasi BTA merupakan gold standard untuk mendiagnosis TB
paru tetapi sulit untuk menetapkan diagnosis dari berbagai bentuk
tuberkulosis abdominal. Sejauh ini, diagnosis TB abdominal didapat
dengan ditemukannya TB pada jaringan secara histologis (misalnya
ditemukan tuberkel dengan kaseasi atau kuman BTA dalam lesi) atau
temuan operasi sugestif TB atau inokulasi pada hewan atau kultur
jaringan yang menghasilkan pertumbuhan M. tuberculosis. Sekarang,
dengan semakin majunya tehnik radio-imaging, Lingenfelser
menetapakan kriteria baru untuk mendiagnosis TB abdominal:

1. Manifestasi klinis yang menunjukkan TB;

2. Hasil radio-imaging mengindikasikan TB abdominal;

3. Bukti histopatologi atau mikrobiologis TB dan;

4. Merespon terapi pengobatan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1) Pemeriksaan darah didapatkan anemia, leukopenia, dan


meningkatnya LED;

2) Biokimia serum, kadar albumin serumnya rendah. Transaminase


serum normal. Fosfatase alkali serum dapat meningkat pada TB
hati.

3) PPD test / Mantoux, menjadi bukti pendukung dalam


mendiagnosis tuberculosis abdominalis pada 55-70% pasien jika
positif. Namun, hasil yang negatif juga mungkin didapatkan pada
sepertiga pasien.

Tes Mantoux yang negatif pada pasien TB dapat disebabkan oleh:

a) Imunosupresi atau malnutrisi


b) TB luar biasa baru atau TB milier

c) Mononuclear adherent cell menekan limfosit T yang


tersensitasi dalam darah perifer atau

d) Penekanan PPD-reaktif T-limfosit.

Namun, uji tuberkulin yang dilakukan berikutnya (setelah 6-8


minggu) akan selalu positif pada pasien-pasien ini.

4) Tehnik Pencitraan:

Plain X-ray abdomen and chest

Plain X-ray abdomen (posisi tegak dan terlentang) berguna


sebagai pemeriksaan penunjang sederhana. Tehnik pencitraan ini
dapat menunjukkan adanya multiple airfluid dan pelebaran dari
usus jika ada obstruksi usus akut maupun subakut. Kalsifikasi
KGB abdominalis juga menunjukkan adanya suatu TB.

X-ray dada yang dilakukan secara bersamaan, dapat


mengungkapkan adanya TB paru sembuh maupun aktif pada 22-
80% kasus.

Barium Studies

Studi kontras barium berguna dalam mendiagnosis TB


intestinal. Barium meal follow through adalah yang terbaik untuk
mendiagnosis adanya lesi intestinal. Lesi intestinal yang sangat
mungkin merupakan suatu TB biasanya menunjukkan multiple
stricture distended pada caecum atau ileum terminal, mucosal
irregularity, segmentation of barium column (pola malabsorpsi),
pembesaran KGB abdominalis, serta adhesi usus.

Pada TB intestinal di daerah ileosekal biasanya ditemukan


adanya penebalan katup ileosekal dengan triangle appereance,
pelebaran saecum dan/ atau katup yang lebar menganga dengan
penyempitan dari terminal ileum (an inverted umbrella sign,
dikenal sebagai Fleischner sign)
Ultrasound

Ultrasonografi (USG) bermanfaat dalam mendiagnosis TB


ekstraintestinal (peritoneal, kelenjar getah bening). USG abdomen
biasanya menunjukkan adanya massa di dalam usus kecil dengan
penebalan dinding, omentum yang menggulung, dan loculated
ascites. Kadang tampak adanya puing-puing echogenic (dilihat
sebagai untaian halus) dalam TB ascites, karena kandungan fibrin
yang tinggi pada cairan asites eksudatif. Pada TB peritoneum
biasanya ditemukan penebalan peritoneal dan KGB.

Computed Tomography (CT)

CT scan abdomen lebih baik dari USG untuk mendeteksi


high density ascites, limfadenopati dengan kaseasi, penebalan
dinding usus dan irregular soft tissue density di daerah omentum.
Limfadenopati merupakan manifestasi paling umum TB yang
sering ditemukan pada CT scan.
Endoscopy

Endoskopi memvisualisasikan lesi TB secara langsung,


oleh karenanya pemeriksaan ini berguna dalam mendiagnosis TB
kolon dan gastro-duodenum, serta membantu mengkonfirmasi
diagnosis dengan mendapatkan bukti histopatologi tuberkulosis.
Pada TB colon biasanya tampak mucosal nodul dan berbagai
ukuran ulcers yang patognomonik Temuan colonoscopic lainnya
termasuk hyperemic mucosa, pseudopolyps dan cobblestone
appereance.

Laparoscopy

Pemeriksaan laparoskopi merupakan metode yang efektif


dalam mendiagnosis TB peritonitis karena (i) secara langsung
memvisualisasi peritoneum yang meradang dan menebal bertabur
tuberkel milier kuning keputihan dan (ii) biopsi peritoneum akan
menegakkan diagnosis. Laparoskopi dapat menegakkan diagnosis
yang akurat pada 80-90% pasien. Hati, limpa dan omentum juga
dapat diperiksa pada laparoskopi, organ-organ tersebut juga
dipenuhi dengan tuberkel pada TB hepatosplenic

Ascitic Tap (Parasentesis)

Cairan asites dalam kasus TB biasanya bersifat eksudatif


(protein > 3 g%) dengan gradien serum albumin asites <1,1 g%.
Adanya aktivitas adenosine deaminase (ADA) dalam
cairan asites merupakan penanda sensitif dan spesifik untuk
tuberculosis. ADA adalah enzim yang terdapat pada T-limfosit
dan makrofag, oleh karena itu, enzim ini akan meningkat karena
stimulasi limfosit T dalam merespon antigen mikobakterium.
ADA dapat ditemukan bernilai false negative pada individu
dengan immunocompromised.

Interferon-γ (INF-γ) merupakan immuneregulator penting


yang diproduksi oleh T-limfosit yang terstimulasi saat merespon
antigen spesifik, mampu mengaktifkan makrofag, dan
meningkatkan aktivitas bakterisidanya terhadap M. tuberculosis.
Tingginya kadar INF-γ dapat ditemukan pada cairan ascites akibat
tuberkulosis non-tubercular. Ditemukannya ADA dan INF-γ
dalam cairan asites meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas
estimasi diagnosis TB asites.

Serodiagnosis

Polymerase chain reaction (PCR) assay untuk mendeteksi


M. tuberculosis dalam spesimen biopsi endoskopi menunjukkan
hasil yang menjanjikan.

Soft Tissue Biopsy and Culture

Prosedur diagnostik invasif pada kasus yang dicurigai suatu


TB abdominal, dilakukan pada organ yang terlibat (kelenjar getah
bening, usus, peritoneum, hati), aspirasi sumsum tulang untuk
kultur mungkin berguna dan memiliki hasil diagnostik yang baik
pada kasus TB milier, terutama pada pasien yang terinfeksi HIV.
f. Penatalaksanaan

Pengobatan tuberkulosis abdominal sama seperti tuberkulosis paru,


berupa terapi antitubercular selama minimal 6 bulan, 2 bulan awal
HREZ (isoniazid, rifampisin, etambutol dan pirazinamid) diikuti oleh
4 bulan HR direkomendasikan pada semua pasien dengan TB
adbdominal Sebelumnya, terapi antitubercular pada kasus TB
abdomen diperpanjang sampai 8-12 bulan, tetapi penelitian baru-baru
ini menemukan bahwa terapi 6 bulan sama efektifnya dengan terapi
rejimen 12 bulan.

Sebelumnya, kortikosteroid digunakan untuk menurunkan fibrosis


selama penyembuhan, mencegah perkembangan obstruksi, tapi
sekarang sudah jarang digunakan karena dapat menunda
penyembuhan dan merupakan factor predisposisi perforasi atau
obstruksi lebih lanjut. Penelitaan saat ini menunjukkan bahwa lesi
usus bahkan dapat berhasil diobati dengan obat antitubercular tanpa
operasi.

Terapi pembedahan dilakukan untuk mengelola komplikasi seperti


obstruksi, perforasi (tanpa atau dengan akses atau fistula) dan
perdarahan masif yang tidak merespon terapi konservatif. Pada kasus
striktur dapat dilakukan stricturoplasty atau reseksi segmen dari usus
yang terlibat. Pada kasus perforasi dikelola dengan reseksi dan
anastomosis, bukan dengan penutupan sederhana (simple closure)
untuk menghindari pembentukan fistula. 1. Tujuan pengobatan TB
adalah:

- Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan


produktivitas

- Mencegah kematian karena penyakit TB aktif atau efek


lanjutannya

- Mencegah kekambuhan
- Mengurangi transmisi atau penularan kepada yang lain

- Mencegah terjadinya resistensi obat serta penularannya

2. Prinsip pengobatan TB

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai


berikut:

- OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis


obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan
kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis tetap (OAT
KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan

- Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan


pengawasan langsung (DOT= Directly Observed Treatment)
oleh seorang Pengawas Minum Obat (PMO)

- Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal


(intensif) dan lanjutan.

3. Tahap awal (intensif): 2-3 bulan

- Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari


dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat

- Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,


biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun
waktu 2 minggu

- Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif


(konversi) dalam 2 bulan.

4. Tahap lanjutan : 4-7 bulan


- Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama

- Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister


sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

Pada umumnya lama pengobatan adalah 6-8 bulan. Panduan obat


yang digunakan terdiri dari panduan obat utama dan tambahan.

Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

1. Jenis obat lini pertama adalah:


- INH
- Rifampisin
- Pirazinamid
- Etambutol
- Streptomisin

2. Jenis obat lini kedua adalah:


- Kanamisin
- Kapreomisin
- Amikasin
- Kuinolon
- Sikloserin
- Etionamid/ Protionamid
- Para-Amino Salisilat (PAS)
- Obat-obatan yang efikasinya belum jelas (Makrolid,
amoksisilin+asam klavulanat, linezolid, clofazimin)

OAT lini kedua hanya digunakan untuk kasus resisten obat,


terutama TB multidrug resistant (MDR). Beberapa obat seperti
kapreomisin, sikloserin, etionamid dan PAS belum tersedia di pasaran
Indonesia tetapi sudah digunakan pada pusat pengobatan TB-MDR.
Efek samping OAT

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek


samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena
itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting
dilakukan selama pengobatan.

1. Isoniazid (INH)

Efek samping ringan : tanda-tanda keracunan pada saraf tepi, kesemutan,


rasa terbakat di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan
pemberian piridoksin dosis 100mg perhari atau vitamin B kompleks. Pada
keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah
menyerupai defisiensi piridoksin (sindrom pellagra)

Efek samping berat: hepatitis imbas obat yang timbul pada 0,5% pasien.
Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan
pengobatan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus.

2. Rifampisin

Efek samping ringan yang hanya memerlukan pengobatan simtomatis


ialah:

- Sindrom flu: demam, mengigil dan nyeri tulang

- Sindrom perut: sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah, diare

- Sindrom kulit: gatal-gatal kemerahan

Efek samping yang berat tapi jarang terjadi adalah:

- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT
harus distop dan pentalaksaan sesuai pedomam TB pada keadaan
khusus
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila
salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan
dan jangan diberikan lagi

- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air
mata dan air liur. Warna merah tersebut terjadi karena metabolisme obat
dan tidak berbahaya.

3. Pirazinamid

Efek samping utama ialah hepatitis imbah obat. Nyeri sendi juga dapat
terjadi (beri aspirin) dan terkadang dapat menyebabkan serangan arthritis
Gout, hal ini karena berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat.
Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan.

4. Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa


berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau.
Meskipun demikian keracunan okuler tergantung pada dosis yang dipakai,
jarang bila dosisnya 15-25 mg/kgBB perhari atau 30mg/kgBB yang
diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal
dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol
tidak diberikan pada anak karena resiko kerusakan okuler sulit di deteksi.

5. Streptomisin

Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan


dengan keseimbangan dan pendengaran. Resiko meningkat seiring dengan
dosis yang digunakan dan umur pasien juga pada gangguan fungsi ekskresi
ginjal. Gejala efek samping yang terlihat adalah telinga mendenging
(tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat
dipulihkan bila obat dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25 gr.
Reaksi hipersensitivitas terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba,
disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping
sementara dan ringan seperti kesemutan disekitar mulut dan telinga yang
mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila hal ini mengganggu
dosis dapat dikurangi 0,25 gr

Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh


diberikan pada perempuan hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran
janin.

Pendekatan berdasarkan gejala digunakan untuk penatalaksanaan


efek samping umum yaitu mayor dan minor. Pada umumnya, pasien yang
mengalami efek samping minor sebaiknya tetap melanjutkan pengobatan
TB dan diberikan pengobatan simtomatis. Apabila pasien mengalami efek
samping berat (mayor), OAT penyebab dapat dihentikan dan pasien
dirujuk ke pusat kesehatan yang lebih besar atau dokter paru.
DAFTAR PUSTAKA

1. D.K. Bhargava. Abdominal Tuberculosis: Current Status in Elsevier


Journal. [database on Sciencedirect] 2207. [12-12-2019].

2. Depkes RI. 2008. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis


Cetakan ke-2. Jakarta; 616.995.24/Ind/P

3. Fativah Isbaniyah, dkk. TUBERKULOSIS Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksaan di Indonesia. Jakarta: PDPI. 2011: 1-64.

http://www.apiindia.org/pdf/medicine_update_2007/102.pdf

4. Rahajoe N, dkk. 2005. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak Edisi ke-2.


Jakarta: UKK Respirologi PP IIDAI

5. SN Chugh dan Vinesh Jain. Abdominal Tuberculosis – Current Concepts


in Diagnosis and Managemet. In: Medicine Update. [database on
apiindia.org] 2007: 600-607 [12-12-2019]. Available from:

6. V.K. Kapoor. Abdominal Tuberculosis in Elsevier Journal. [database on


Sciencedirect] 2007. [12-12-2019].

7. WHO. Treatment of Tuberculosis: Guidelines for National Programmes


4th Edition. Geneva. 2009. WHO/HTM/TB/2009.420

8. Zulkifli Amin, Asril Bahar. Tuberkulosis Paru. Dalam :Sudoyo A.W,


Setiyohadi B, Alwi I, dkk, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi
V Jilid III. Jakarta: Interna Publishing. 2009: 2230-2239.

Anda mungkin juga menyukai