Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

“Tuberculosis pada Chronic Kidney Disease”

Disusun Oleh:

Sarastania Oktatriana

1102008228

Preseptor:

Dr. Johnson Manurung, Sp.PD

KEPANITRAAN KLINIK MAHASISWA

BAGIAN PENYAKIT DALAM

RSU DR. SLAMET GARUT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI JAKARTA

PERIODE FEBRUARI – APRIL 2014


PENDAHULUAN

Pada saat ini insiden Tuberculosis dilaporkan meningkat secara drastis di seluruh dunia
termasuk Indonesia. Penyakit ini biasanya banyak terjadi di negara berkembang dan yang
mempunyai tingkat sosial ekonomi yang rendah. Penyakit ini termasuk penyakit infeksi yang
menyebabkan kematian (mortalitas) tertinggi dan angka kejadian penyakit (morbiditas) tinggi,
serta memerlukan diagnosa dan terapi yang cukup lama.

Penyakit ini telah diketahui penyebabnya, cara penularannya, faktor yang mempengaruhi
dan dapat disembuhkan asalkan diberi pengobatan yang adekuat. Di Indonesia TBC merupakan
penyebab kematian utama dan angka kesakitan dengan urutan teratas setelah ISPA. Indonesia
menduduki urutan ketiga setelah India dan China dalam jumah penderita TBC di dunia.

Penyakit TBC ini juga dapat mengenai berbagai macam organ di tubuh manusia selain
paru-paru, seperti : ginjal, hepar, otak, dll. Mengingat besarnya insiden TBC di Indonesia serta
luasnya masalah akibat penyakit ini, semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

1|Page
PEMBAHASAN MASALAH

1. DEFINISI
 Gagal Ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis
yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat
yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi
ginjal. Dan ditandai dengan adanya uremia ( retensi urea dan sampah nitrogen lainnya
dalam darah).
Kriteria Penyakit Ginjal Kronik (NKF-KDOQI, 2002)
Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan
manifestasi:
 Kelainan patologis
 Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau
urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)
 Laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
 Tuberkulosis paru (TB)
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis dan merupakan penyakit dengan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi terutama di negara berkembang.3 Tuberkulosis merupakan
penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang menyebar dari satu
orang ke orang lain melalui udara.4 Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronis
yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan menular secara langsung.
2. EPIDEMIOLOGI
 Gagal Ginjal Kronik
Di Amerika Serikat, data tahun 1995 – 1999 menyatakan insiden penyakit
ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini
2|Page
meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta,
diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara – negara
berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40 – 60 kasus perjuta penduduk
pertahun.
 Tuberculosis
Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru
tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam)
positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut
regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari
seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182
kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara
yaitu 350 per 100.000 pendduduk.
Diperkirakan angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta
setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar
kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka
mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat
di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi
mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.
Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah
India dan China. Pada tahun 1998 diperkirakan TB di China, India dan Indonesia
berturut-turut 1.828.000, 1.414.000, dan 591.000 kasus. Perkiraan kejadian BTA di
sputum yang positif di Indonesia adalah 266.000 tahun 1998. Setiap tahun terdapat
250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di Indonesia
tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan
penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut
pada seluruh kalangan usia. Tapi hal ini mungkin akan berubah dimasa dating melihat
semakin meningkatnya laporan infeksi HIV dari tahun ketahun.
3. ETIOLOGI
 Gagal Ginjal Kronik

3|Page
Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus tipe
1 dan tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%). Diabetes melitus adalah suatu keadaan
dimana terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga menyebabkan
kerusakan pada organ-organ vital tubuh seperti ginjal dan jantung serta pembuluh
darah, saraf dan mata. Sedangkan hipertensi merupakan keadaan dimana terjadi
peningkatan tekanan darah yang jika tidak terkontrol akan menyebabkan serangan
jantung, stroke, dan penyakit ginjal kronik. Gagal ginjal kronik juga dapat
menyebabkan hipertensi. Kondisi lain yang dapat menyebabkan gangguan pada ginjal
antara lain :
 Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis (10%), dapat menyebabkan
inflamasi dan kerusakan pada unit filtrasi ginjal. Merupakan penyakit ketiga
tersering penyebab gagal ginjal kronik
 Penyakit keturunan seperti penyakit ginjal polikistik (3%) menyebabkan
pembesaran kista di ginjal dan merusak jaringan sekitar, dan asidosis tubulus.
 Malformasi yang didapatkan oleh bayi pada saat berada di dalam rahim si ibu.
Contohnya, penyempitan aliran urin normal sehingga terjadi aliran balik urin
ke ginjal. Hal ini menyebabkan infeksi dan kerusakan pada ginjal.
 Lupus dan penyakit lain yang memiliki efek pada sistem imun (2%)
 Penyakit ginjal obstruktif seperti batu saluran kemih, tumor, pembesaran
glandula prostat pada pria danrefluks ureter.
 Infeksi traktus urinarius berulang kali seperti pielonefritis kronik.
Penggunaan analgesik seperti acetaminophen (Tylenol) dan ibuprofen (Motrin, Advil)
untuk waktu yang lama dapat menyebabkan neuropati analgesik sehingga berakibat
pada kerusakan ginjal.
 Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis dan stenosis arteri
renalis.
 Penyebab lainnya adalah infeksi HIV, penyakit sickle cell, penyalahgunaan
heroin, amyloidosis, gout, hiperparatiroidisme dan kanker.

4|Page
FAKTOR RESIKO
Faktor resiko gagal ginjal kronik diantara lain : pasien dengan diabetes
melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berusia lebih dari 50 tahun, individu
dengan riwayat diabetes melitus, hipertensi dan penyakit ginjal dalam keluarga serta
kumpulan populasi yang memiliki angka tinggi diabetes atau hipertensi seperti
African Americans, Hispanic Americans, Asian, Pacific Islanders, dan American
Indians.
 Tuberculosis
Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium
bovis, sangat jarang disebabkan oleh Mycobacterium avium. Mycobacterium
merupakan kuman batang tahan asam, yang dapat hidup selama berminggu-minggu
dalam keadaan kering, tapi mati dengan suhu 60°C dalam cairan suspensi selama 15-
20 menit. Mycobacterium memiliki ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um.
Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak ( Lipid ). Lipid inilah
yang membuat kuman Jebih tahan terhadap asam sehinnga disebut bakteri tahan asam
(BTA) . Kuman dapat tahan hidup pada keadaan kering maupun dingin, karena
kuman berada dlam keadaan dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit
kembali dan menjadi aktif kembali.
Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih
menyukai jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen
pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apikal
paru-paru merupakan tempat predileksi tuberkulosis.
4. KLASIFIKASI
 Gagal Ginjal Kronik
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1,73m²)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≥ 90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG ringan 60 – 89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG sedang 30 – 59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG berat 15 – 29

5|Page
5 Gagal ginjal < 15 atau dialysis
Klasifikasi atas dasar penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcroft – Gault sebagai berikut :

LFG (ml/mnt/1,73m²) = (140 – umur) X berat badan *)


72 X kreatinin plasma (mg/dl)

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Diagnosis Etiologi


Penyakit Tipe Mayor (contoh)
Penyakit ginjal diabetes Diabetes mellitus tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non diabetes  Penyakit glomerular (penyakit autoimun,
infeksi sistemik, obat, neoplasma)
 Penyakit vascular (penyakit pembuluh darah
besar, hipertensi, mikroangipati)
 Penyakit tubulointerstisial (pielonefritis
kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)
 Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada transplantasi  Rejeksi kronik
 Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)
 Penyakit recurrent (glomerular)
 Transplant glomerulopaty

 Tuberculosis
Pada TBC penentuan klasifikasi dibagi menjadi dua yaitu klasifikasi penyakit dan
klasifikasi tipe penderita seperti di bawah ini :
1.1. Klasifikasi Penyakit
1) Tuberculosis Paru

6|Page
Tuberculosis paru adalah tuberculosis yang menyerang jaringan
paru, tidak termasuk pleura (selaput paru).
Berdasarkan pemeriksaan dahak, TB paru dibagi menjadi 2 yaitu :
 Tuberculosis Paru BTA positif
 Tuberculosis Paru BTA negatif
2) Tuberculosis Extra Paru
Tuberculosis yang menyerang organ tubuh selain jaringan paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung, kelenjar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain.
Berdasarkan tingkat keparahannya, TB Extra Paru dibagi menjadi 2 yaitu :
 Tuberculosis Extra Paru Ringan
Misal : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudatif unilateral, tulang
(kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
 Tuberculosis Extra Paru Berat
Misal : meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudatif dupleks, TB tulang belakang, TB usus, TB Ginjal, TB
saluran kencing dan alat kelamin.
1.2. Klasifikasi Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.
Ada beberapa tipe penderita, yaitu :
1) Kasus Baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan (30 dosis harian).
2) Kambuh (relaps) adalah penderita TB yang sebelumnya pernah
mendapatkan terapi TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan darah
BTA positif.
3) Pindahan (transfer in) adalah penderita TB yang sedang mendapatkan
pengobatan di suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke
kabupaten ini. Penderita tersebut harus membawa surat rujukan / pindahan
(FORM TB 09).

7|Page
4) Kasus berobat setelah lalai (pengobatan setelah default / droup out) adalah
penderita TB yang kembali berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif setelah putus berobat 2 bulan atau lebih.
5) Gagal terapi
 Adalah penderita BTa positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 atau lebih.
 Adalah penderita BTA negatif, rongen positif yang menjadi BTA
positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
6) Lain – lain
Semua penderita lain yang tidak memenuhi persyaratan tersebut
diatas. Termasuk dalam kelompok ini adalah kasus kronik (adalah
penderita yang masih BTa positif setelah menyelesaikan pengobatan ulang
dengan kategori 2).
5. PATOFISIOLOGI
 Gagal Ginjal Kronis
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit
yang mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang
lebih sama. Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan massa ginjal mengakibatkan
hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa. Hal ini mengakibatkan
terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah
glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti
dengan penurunan fungsi nefron yang progresif. Perubahan fungsi neuron yang
tersisa setelah kerusakan ginjal menyebabkan pembentukan jaringan ikat, sedangkan
nefron yang masih utuh akan mengalami peningkatan beban eksresi sehingga terjadi
lingkaran setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus. Demikian
seterusnya, keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan
Gagal Ginjal Terminal (GGT) atau End Stage Renal Disease (ESRD). Adanya
peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi
sistemik, nefrotoksin dan hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut

8|Page
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas
tersebut. (2)
Dengan adanya penurunan LFG maka akan terjadi : (5)
 Anemia
Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan penurunan
produksi eritropoietin sehingga tidak terjadi proses pembentukan eritrosit
menimbulkan anemia ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, penurunan
kadar Hb dan diikuti dengan penurunan kadar hematokrit darah. Selain itu
GGK dapat menyebabkan gangguan mukosa lambung (gastripati uremikum)
yang sering menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya toksik uremik
pada GGK akan mempengaruhi masa paruh dari sel darah merah menjadi
pendek, pada keadaan normal 120 hari menjadi 70 – 80 hari dan toksik
uremik ini dapat mempunya efek inhibisi eritropoiesis
 Sesak nafas
Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus
juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I.
Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II.
Angiotensin II merangsang pelepasan aldosteron dan ADH sehingga
menyebabkan retensi NaCl dan air volume ekstrasel meningkat
(hipervolemia) volume cairan berlebihan ventrikel kiri gagal memompa
darah ke perifer LVH peningkatan tekanan atrium kiri peningkatan
tekanan vena pulmonalis peningkatan tekanan di kapiler paru edema paru
sesak nafas
 Asidosis
Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolik dapat terjadi akibat penurunan
kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai dengan penurunan
kadar bikarbonat (HCO3) dan pH plasma. Patogenesis asidosis metabolik pada
gagal ginjal kronik meliputi penurunan eksresi amonia karena kehilangan

9|Page
sejumlah nefron, penurunan eksresi fosfat, kehilangan sejumlah bikarbonat
melalui urin. Derajat asidosis ditentukan oleh penurunan pH darah. Apabila
penurunan pH darah kurang dari 7,35 dapat dikatakan asidosis metabolik.
Asidosis metabolik dpaat menyebabkan gejala saluran cerna seperti mual,
muntah, anoreksia dan lelah. Salah satu gejala khas akibat asidosis metabolik
adalah pernapasan kussmaul yang timbul karena kebutuhan untuk
meningkatkan eksresi karbon dioksida untuk mengurangi keparahan asidosis
 Hipertensi
Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga
menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus
juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I.
Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II.
Angiotensin II memiliki efek vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan
tekanan darah.
 Hiperlipidemia
Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak bebas oleh
ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia.
 Hiperurikemia
Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di dalam
darah (hiperurikemia). Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan
pengendapan kristal urat dalam sendi, sehingga sendi akan terlihat
membengkak, meradang dan nyeri.
 Hiponatremia
Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran hormon
peptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada tubulus
ginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan penurunan jumlah
nefron, natriuresis akan meningkat. Hiponatremia yang disertai dengan retensi
air yang berlebihan akan menyebabkan dilusi natrium di cairan ekstraseluler.
Keadaan hiponetremia ditandai dengan gangguan saluran pencernaan berupa

10 | P a g e
kram, diare dan muntah.
 Hiperfosfatemia
Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat sehingga
fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika kelarutannya
terlampaui, fosfat akan bergabung deng Ca2+ untuk membentuk kalsium fosfat
yang sukar larut. Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan mengendap di sendi
dan kulit ( berturut-turut menyebabkan nyeri sendi dan pruritus)
 Hipokalsemia
Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat. Keadaan
hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid sehingga
memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi demineralisasi
tulang (osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat konsentrasi fosfat di
dalam plasma tetap rendah dengan menghambat reabsorbsinya diginjal. Jadi
meskipun terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma
tidak berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun pada
insufisiensi ginjal, eksresinya melalui ginjal tidak dapat ditingkatkan sehingga
konsentrasi fosfat di plasma meningkat. Selanjutnya konsentrasi CaHPO4
terpresipitasi dan konsentrasi Ca2+ di plasma tetap rendah. Oleh karena itu,
rangsangan untuk pelepasan PTH tetap berlangsung. Dalam keadaan
perangsangan yang terus-menerus ini, kelenjar paratiroid mengalami
hipertrofi bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH. Kelaina yang
berkaitan dengan hipokalsemia adalah hiperfosfatemia, osteodistrofi renal dan
hiperparatiroidisme sekunder. Karena reseptor PTH selain terdapat di ginjal
dan tulang, juga terdapat di banyak organ lain ( sistem saraf, lambung, sel
darah dan gonad), diduga PTH berperan dalam terjadinya berbagai kelainan di
organ tersebut.
Pembentukan kalsitriol berkurang pada gahal ginjal juga berperan dalam
menyebabkan gangguan metabolisme mineral. Biasanya hormon ini
merangsang absorpsi kalsium dan fosfat di usus. Namun karena terjadi
penurunan kalsitriol, maka menyebabkan menurunnya absorpsi fosfat di usus,

11 | P a g e
hal ini memperberat keadaan hipokalsemia
 Hiperkalemia
Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma
meningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel –sel ginjal
sehingga mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma. Peningkatan
konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal akan menyebabkan peningkatan sekresi
hidrogen, sedangkan sekresi kalium di ginjal akan berkurang sehingga
menyebabkan hiperkalemia. Gambaran klinis dari kelainan kalium ini
berkaitan dengan sistem saraf dan otot jantung, rangka dan polos sehingga
dapat menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya refleks tendon dalam,
gangguan motilitas saluran cerna dan kelainan mental.
 Proteinuria
Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari kerusakan
ginjal pada GGK seperti DM, glomerulonefritis dan hipertensi. Proteinuria
glomerular berkaitan dengan sejumlah penyakit ginjal yang melibatkan
glomerulus. Beberapa mekanisme menyebabkan kenaikan permeabilitas
glomerulus dan memicu terjadinya glomerulosklerosis. Sehingga molekul
protein berukuran besar seperti albumin dan immunoglobulin akan bebas
melewati membran filtrasi. Pada keadaan proteinuria berat akan terjadi
pengeluaran 3,5 g protein atau lebih yang disebu dengan sindrom nefrotik.
 Uremia
Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari uremia
pada GGK adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal sehingga dapat
terjadi akumulasi ureum dalam darah. Urea dalam urin dapat berdifusi ke
aliran darah dan menyebabkan toksisitas yang mempengaruhi glomerulus dan
mikrovaskularisasi ginjal atau tubulus ginjal. Bila filtrasi glomerulus kurang
dari 10% dari normal, maka gejala klinis uremia mulai terlihat. Pasien akan
menunjukkan gejala iritasi traktus gastrointestinal, gangguan neurologis, nafas
seperti amonia (fetor uremikum), perikarditis uremia dan pneumonitis uremik.
Gangguan pada serebral adapat terjadi pada keadaan ureum yang sangat tinggi

12 | P a g e
dan menyebabkan koma uremikum.
 Tuberculosis

Mycobacterium tuberculosis termasuk bakteri gram positif dan berbentuk


batang. Umumnya Mycobacterium tuberculosis menyerang paru dan sebagian kecil
organ tubuh lain. Kuman ini mempunyai sifat khusus, yakni tahan terhadap asam
pada pewarnaan, hal ini dipakai untuk identifikasi dahak secara mikroskopis sehingga
disebut sebagai basil tahan asam (BTA). Mycobacterium tuberculosis cepat mati
dengan matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup pada tempat yang gelap dan
lembab. Kuman dapat dormant atau tertidur sampai beberapa tahun dalam jaringan
tubuh.
Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif pada waktu
batuk atau bersin. Penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada
suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut
terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam
13 | P a g e
tubuh manusia melalui pernafasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari
paru kebagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, saluran nafas, atau
penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang
penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin
tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila
hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut
dianggap tidak menular. Seseorang terinfeksi tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi
droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Secara klinis, tuberkulosis dapat terjadi melalui infeksi primer dan pasca
primer. Infeksi primer terjadi saat seseorang terkena kuman tuberkulosis untuk
pertama kalinya. Setelah terjadi infeksi melalui saluran pernafasan, di dalam alveoli
(gelembung paru) terjadi peradangan. Hal ini disebabkan oleh kuman tuberkulosis
yang berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru. Waktu terjadinya infeksi
hingga pembentukan komplek primer adalah sekitar 4-6 minggu. Kelanjutan infeksi
primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan respon daya tahan tubuh
dapat menghentikan perkembangan kuman TB dengan cara menyelubungi kuman
dengan jaringan pengikat. Ada beberapa kuman yang menetap sebagai “persister”
atau “dormant”, sehingga daya tahan tubuh tidak dapat menghentikan
perkembangbiakan kuman, akibatnya yang bersangkutan akan menjadi penderita
tuberkulosis dalam beberapa bulan. Pada infeksi primer ini biasanya menjadi abses
(terselubung) dan berlangsung tanpa gejala, hanya batuk dan nafas berbunyi. Tetapi
pada orang-orang dengan sistem imun lemah dapat timbul radang paru hebat, ciri-
cirinya batuk kronik dan bersifat sangat menular.
Infeksi pasca primer terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah infeksi
primer. Ciri khas tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan
terjadinya efusi pleura.
Risiko terinfeksi tuberkulosis sebagian besar adalah faktor risiko eksternal,
terutama adalah faktor lingkungan seperti rumah tak sehat, pemukiman padat dan
kumuh. Sedangkan risiko menjadi sakit tuberkulosis, sebagian besar adalah faktor
internal dalam tubuh penderita sendiri yang disebabkan oleh terganggunya system

14 | P a g e
kekebalan dalam tubuh penderita seperti kurang gizi, infeksi HIV/AIDS, dan
pengobatan dengan immunosupresan.
Penderita tuberkulosis paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah
sembuh (BTA negatif) masih bisa mengalami batuk darah. Keadaan ini seringkali
dikelirukan dengan kasus kambuh. Pada kasus seperti ini, pengobatan dengan obat
antituberkulosis (OAT) tidak diperlukan, tapi cukup diberikan pengobatan simtomatis.
Resistensi terhadap OAT terjadi umumnya karena penderita yang menggunakan obat
tidak sesuai atau patuh dengan jadwal atau dosisnya. Resistensi ini menyebabkan
jenis obat yang biasa dipakai sesuai pedoman pengobatan tidak lagi dapat membunuh
kuman.
6. MANIFESTASI KLINIS
 Gagal Ginjal Kronis
GEJALA KLINIS
Pada gagal ginjal kronik, gejala – gejalanya berkembang secara perlahan. Pada
awalnya tidak ada gejala sama sekali, kelainan fungsi ginjal hanya dapat diketahui
dari pemeriksaan laboratorium. Sejalan dengan berkembangnya penyakit, maka lama
kelamaan akan terjadi peningkatan kadar ureum darah semakin tinggi (uremia). Pada
stadium ini, penderita menunjukkan gejala – gejala fisik yang melibatkan kelainan
berbagai organ seperti :
 Kelainan saluran cerna : nafsu makan menurun, mual, muntah dan fetor
uremik
 Kelainan kulit : urea frost dan gatal di kulit.
 Kelainan neuromuskular : tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya
konsentrasi menurun, insomnia, gelisah.
 Kelainan kardiovaskular : hipertensi, sesak nafas, nyeri dada, edema.
 Gangguan kelamin : libido menurun, nokturia, oligouria
Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang
ginjal, pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat.
Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang
progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai

15 | P a g e
pada LFG sebesar 60 % pasien masih belum merasakan keluhan (asimptomatik), tapi
sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar
30 % mulai terjadi keluhan pada seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan
kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG kurang 30 % pasien
memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan
tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan
lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih,
infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan
keseimbangan air seperti hipo atau hipervolumia, gangguan keseimbangan elektrolit
antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15 % akan terjadi gejala dan
komplikasi yang lebih serius dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal
(renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan
ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
 Tuberculosis
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala
respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
 Gejala respiratorik
 Batuk-batuk lebih dari 2 minggu
 Batuk darah
 Sesak napas
 Nyeri dada.
 Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala
sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang
pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum
terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada gejala
batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan
selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
 Gejala sistemik
 Demam

16 | P a g e
 Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun.
 Gejala tuberkulosis ekstra paru
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak
nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat
gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak
napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
7. DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN
 Gagal Ginjal Kronik
Gambaran Laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi :
a) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningakatan kadar ureum dan kreatinin
serum, dan penurunan LFG
c) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin,
peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau
hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolic.
d) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast,
isostenuria
Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi :
a) Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio – opak
b) Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran terjadinya pengaruh
toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan
c) Pielografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi
d) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa,
kalsifikasi.

17 | P a g e
e) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi
Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi
Dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana
diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan dan bertujuan untuk mengetahui
etiologi, menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi yang sudah
diberikan. Kontraindikasi pada ukuran ginjal yang mengecil, ginjal polikistik,
hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal
nafas, dan obesitas.
 Tuberculosis
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ
yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau
sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 & S2), serta daerah
apeks lobusinferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara
napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan
paru, diafragma & mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi
suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di
daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold abscess.
Pemeriksaan Bakteriologik
1) Bahan pemeriksasan Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman
tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan
diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).

18 | P a g e
2) Cara pengumpulan dan pengiriman bahan Cara pengambilan dahak 3 kali
(SPS):
 Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
 Pagi (keesokan harinya)
 Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3
hari berturut-turut. Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk
cairan dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar,
berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah
pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat
dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke
laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek,
atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9%
3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke
dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan
telah tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan
pemeriksaan laboratorium.
Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan
pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos.
Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
a) Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat
bagian tengahnya.
b) Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian
tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml.
c) Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada
satu ujung yang tidak mengandung bahan dahak.
d) Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang
aman, misal di dalam dus.

19 | P a g e
e) Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam
kantong plastik kecil.
f) Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan
melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi.
g) Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal
pengambilan dahak.
h) Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat
laboratorium.
3) Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain. Pemeriksaan bakteriologik dari
spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan
jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara:
4) Pemeriksaan mikroskopik: Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk
screening) lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah
bila:
a) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif
b) 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada
fasilitas foto toraks, kemudian o bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA
positif o bila 3 kali negatif : BTA negatif

Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD


(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and
Lung Disease) : Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif 1)
Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan. 2) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
3) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+). 4) Ditemukan
>10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).
Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst Skala Bronkhorst (BR) :
1) BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan. 2) BR II :
ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang. 3) BR III : ditemukan 20-60
20 | P a g e
batang per 10 lapang pandang. 4) BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang
pandang. 5) BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang.
Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan
metode konvensional ialah dengan cara : 1) Egg base media: Lowenstein-Jensen
(dianjurkan), Ogawa, Kudoh. 2) Agar base media : Middle brook.
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan
dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than
tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara,
baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin
maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul.
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral,
top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat
memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologik
yang dicurigai sebagai lesi TB aktif:
a) Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru
dan segmen superior lobus bawah.
b) Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan
atau nodular.
c) Bayangan bercak milier.
d) Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
a) Fibrotik
b) Kalsifikasi
c) Schwarte atau penebalan pleura
Luluh paru (destroyed Lung):
1) Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,
biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran radiologik luluh paru
terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikavitas dan fibrosis parenkim paru. Sulit

21 | P a g e
untuk menilai aktivitas lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran
radiologik tersebut.
2) Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses
penyakit. Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan
pengobatan dapat dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA negatif):
 Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang
terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan
prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis 5), serta tidak dijumpai kavitas.
 Lesi luas. Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
3 PENATALAKSANAAN
 Gagal Ginjal Kronik
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :
1) Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Waktu yang tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya
penurunan LFG. Bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi
terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
2) Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG untuk
mngetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien.
3) Memperlambat perburukan fungsi ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi
glomerulus. Cara untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus adalah :
 Pembatasan asupan protein
Karena kelebihan protein tidak dapat disimpan didalam tubuh tetapi di
pecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama
dieksresikan melalui ginjal selain itu makanan tinggi protein yang
mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion anorganik lainnya
juga dieksresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi

22 | P a g e
protein pada penderita gagal ginjal kronik akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lainnya dan
mengakibatkan sindrom uremia. Pembatasan asupan protein juga
berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat
selalu berasal dari sumber yang sama dan untuk mencegah terjadinya
hiperfosfatemia

Pembatasan Asupan Protein dan Fosfat pada Penyakit Ginjal Kronik

LGF ml/menit Asupan protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari


>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi
0,6 – 0,8/kg/hari,
termasuk > 0,35
25 - 60 < 10 g
gr/kg/hr nilai biologi
tinggi
0,6 – 0,8/kg/hari,
termasuk ≥ 0,35 dr/kg/hr
protein nilai biologis
5 - 25 < 10 g
tinggi atau tambahan 0,3
g asam amino esensial
atau asam keton
0,8/kg/hari (+1 gr protein/
g proteinuria atau 0,3 g/kg
<60(sind.nefrotik) <9g
tambahan asam amino
esensial atau asam keton
4) Terapi farmakologi
Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertensi
(ACE inhibitor) disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko
kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat perburukan
kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerular dan hipertrofi
glomerulus
5) Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
23 | P a g e
Dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG < 15
ml/mnt. Berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.
 Tuberculosis
Kategori 1
 2RHZE / 4R3H3
 2RHZE / 4RH
 2RHZE / 6HE
Obat ini diberikan untuk : penderita baru TBC Paru BTA positif, Penderita TBC Paru
BTA negatif Rontgen Positif yang “sakit berat” dan Penderita TBC Extra Paru Berat.
Kategori 2
 2RHZES / RHZE / 5R3H3E3
 2RHZES / RHZE / 5RHE
Obat ini diberikan untuk : penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure),
Penderita dengan pengobatan secara lalai (after default).
Kategori 3
 2RHZ / 4R3H3
 2RHZ / 4RH
 2RHZ / 6HE
Obat ini diberikan untuk : penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan,
pemderita extra paru ringan, yaitu : TBC kelenjar limfe (limfadenitis), pleuritis
eksudativa unilateral, TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan
kelenjar adrenal.
Kategori 4
 INH seumur hidup dan vit B6 10 mg
 Second line OAT, mis : Kanamycin, Quinolon.
Obat ini diberikan untuk : penderita TBC Paru Kronis, BTA positif walau sudah
selesai terapi kategori 1, TBC BTA positif setelah retreatment.
OAT Sisipan (RHZE)
 Bila pada akhir tahap intensif katagori 1 atau pengobatan ulanh katagori 2,
BTA masih positif, diberikan OAT sisipan selama 1 bulan.

24 | P a g e
Saat ini telah dilakukan pengobatan TBC secara efektif dan dalam waktu yang
relative singkat. Program pengobatan tersebut dikenal dengan nama DOTS (Direct
Observed Treatment Shortcourse). Oabat yang digunakan adalah kombinasi
Rifampicin, Isoniazid, Pyrazinamid, Ethambutol dan Streptomycin. Pengobatan
dilakukan dalam waktu 6-8 bulan secara intensif dengan diawasi seorang PMO
(Pengawas Menelan Obat) untuk meningkatkan ketaatan penderita dalam inum obat.
PengobatanTBC dengan Gagal Ginjal
 Pemilihan OAT seperti Isoniasid (H), Rifampicin (R), dan Pirasinamid (Z) untuk
pasien dengan gagal ginjal dianjurkan, karena ketiga obat tersebut dapat di
ekskresi melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak
toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada pasien-pasien
dengan gangguan ginjal.
 Sedangkan Streptomicin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu
harus di hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila
fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomicin tetap dapat
diberikan dengan dosis sesuai faal gijal.
 Panduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah
2RHZ/6RH.
 2RHZ artinya pada fase intensif digunahan Rifampicin, INH, dan Pirazinamid,
setiap hari selama 2 bulan.
 6RH pada fase lanjutan.
4 PENCEGAHAN
 Gagal Ginjal Kronik
Untuk dapat menghindari dan mengurangi resiko gagal ginjal kronis ini, anda perlu
menerapkan beberapa tips berikut ini :
 Jika anda pengkonsumsi minuman beralkohol, minumah dengan tidak
berlebihan. Namun alangkah lebih baik jika anda menghindari minuman
tersebut.
 Jika anda menggunakan obat tanpa resep yang dijual bebas, ikutilah petunjuk
penggunaan yang tertera pada kemasan. Penggunaan obat dengan dosis yang

25 | P a g e
terlalu tinggi dan berlebihan akan dapat merusak ginjal. Jika anda mempunyai
sejarah keturunan berpenyakit ginjal, konsultasikan pada dokter tentang obat
apa yang sesuai dengan anda.
 Jagalah berat badan anda dengan selalu berolahraga secara teratur.
 Jangan merokok dan jangan pernah berniat untuk mencoba merokok.
 Selalu kontrol kondisi medis anda dengan bantuan dokter ahli untuk
mengetahui kemungkinan peningkatan resiko gagal ginjal agar segera diatasi.
 Tuberculosis
Edukasi dan pencegahan penyakit tuberculosis paru, antara lain:
 Tinggal di rumah. Jangan pergi kerja atau sekolah atau tidur di kamar dengan
orang lain selama beberapa minggu pertama pengobatan untuk tbc aktif.
 Anjuran kepada pasien untuk rutin minum obat, sesuai anjuran resep dari
dokter.
 Menerapkan pola hidup sehat untuk menurunkan risiko terkena obesitas.
 Makanan harus tinggi karbohidrat dan tinggi protein.
 Ventilasi ruangan. Kuman TBC menyebar lebih mudah dalam ruang tertutup
kecil dimana udara tidak bergerak. Jika ventilasi ruangan masih kurang,
membuka jendela dan menggunakan kipas untuk meniup udara dalam ruangan
luar.
 Tutup mulut menggunakan masker. Gunakan masker untuk menutup mulut
kapan saja ketika di diagnosis tb merupakan langkah pencegahan TBC secara
efektif. Jangan lupa untuk membuangnya secara tepat.
 Meludah hendaknya pada tempat tertentu yang sudah diberi desinfektan (air
sabun).
 Imunisasi BCG diberikan pada bayi berumur 3-14 bulan.
 Menghindari udara dingin.
 Mengusahakan sinar matahari dan udara segar masuk secukupnya ke dalam
tempat tidur.
 Menjemur kasur, bantal,dan tempat tidur terutama di pagi hari.

26 | P a g e
 Semua barang yang digunakan penderita harus terpisah begitu juga
mencucinya dan tidak boleh digunakan oleh orang lain.
5 PROGNOSIS
 Gagal Ginjal Kronik
Penyakit GGK tidak dapat disembuhkan sehingga prognosis jangka
panjangnya buruk, kecuali dilakukan transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang
dilakukan sekarang ini, bertujuan hanya untuk mencegah progresifitas dari GGK itu
sendiri. Selain itu, biasanya GGK sering terjadi tanpa disadari sampai mencapai
tingkat lanjut dan menimbulkan gejala sehingga penanganannya seringkali terlambat.
 Tuberculosis
Prognosis umumnya baik jika infeksi terbatas di paru, kecuali jika infeksi
disebabkan oleh strain resisten obat atau pasien berusia lanjut dengan debilitas atau
mengalami gangguan kekebalan yang beresiko tinggi menderita tuberkulosis milier.

27 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

1. Sherwood, Lauralee. Sistem Kemih. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG ; 2001. p. 463 – 503.
2. Sudoyo, A. W dkk. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi
V. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK UI ; 2009. p. 1035 – 1040.
3. Kamaludin Ameliana. 2010. Gagal Ginjal Kronik. Jakarta : Bagian Ilmu Penyakit Dalam
UPH.
4. Clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification and
stratification, New York National Kidney Foundation, 2002.
5. Silbernagl, S dan Lang, F. Gagal Ginjal kronis. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi.
Cetakan I. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 2007. p. 110 – 115.
6. Amin Z, Bahar S. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I ,
Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI , 2006: 998-1005, 1045-9.
7. Price. A,Wilson. L. M. Tuberkulosis Paru. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit, bab 4, Edisi VI. Jakarta: EGC, 2004 : 852-64
8. NN. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. 17 Maret 2013. Diunduh dari
http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BPN_2007.pdf
9. Gerakan Terpadu Nasional Penanganan TB. 2007. Buku Pedoman Nasional Penanggulangan
TB. edisi 2. cetakan pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.2006. Tuberkulosis, Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia, Citra Grafika, Jakarta.
11. Anonym. 2003. Prevalence and Incidence of Tuberculosis, (Cureresearch), Available:
http://www.Cureresearch.com/Tuberculosis/Prevalence.htm (Akses: 17 Maret 2013)
12. Joshua Burrill, FRCR ● Christopher J. Williams, FRCR ● Gillian Bain, FRCR et all .
Tuberculosis ; Radiological Review . Radiographics Vol 27 No.5 Pg.1255-1265 . September-
October 2007
13. Rasad, Sjahriar. Radiologi Diagnostik. Edisi 2. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2005.

28 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai