“ACS Stemi”
Disusun Oleh:
Sarastania Oktatriana
1102008228
Preseptor:
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS DIRI
Nama : Tn. H
Umur : 71 tahun
Agama : Islam
Alamat : Jatiputra
Suku : Sunda
ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri dada
Pasien datang ke IGD RSU dr. Slamet dengan keluhan nyeri dada yang dirasakan sejak 2
hari SMRS. Nyeri dada dirasakan selama 30 menit. Keluhan nyeri dirasakan seperti terhimpit
dan terbakar. Nyeri dirasakan secara tiba-tiba dan akan berkurang saat pasien istirahat. Nyeri
dirasakan di dada sebelah kiri yang menjalar sampai ke punggung dan tangan.
Keluhan disertai dengan sesak nafas. Sesak nafas dirasakan berkurang saat duduk. Sesak
nafas dirasakan bertambah saat pasien berjalan ke kamar mandi.
Keluhan disertai dengan mual tetapi tidak disertai dengan keluhan muntah. Pasien juga
merasakan badannya terasa lemas dan cepat lelah.
Pasien juga mengeluh BAB kurang lancar sejak 2 hari SMRS. Keluhan sulit BAB tidak
disertai dengan keluhan BAK. Tidak terdapat pembengkakakn pada kedua kaki dan tangan
pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Alergi
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Pernafasan : 30 x/menit
Suhu : 36,5
JVP : 5+3 cm H2O
Organ Tubuh
Kepala : Normocephal
Rambut : warna hitam dan sedikit putih
Kulit : Warna sawo matang
Telinga : Bentuk oval, tidak ada serumen yang keluar
Mata : Conjungtiva tidak anemis, Skelra tidak ikterik, eksoftalmus (+)
Hidung : Pernafasan cuping hidung (-), Septum tidak deviasi
Mulut : Sianosis per oral (-)
Leher : Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada pembesaran
KGB
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung dalam batas normal, dextra: ICS 5 linea sternalis
dextra, sinistra: ICS 5 linea midclavicula sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II Reguler, Murmur (-), Gallop (+) SIII
Pulmonal
Inspeksi : Bentuk dan pergerakan hemithoraks kanan dan kiri simetris
dalam statis dan dinamis
Palpasi : Fremitus taktil dan fremitus vocal simetris kanan dan kiri
Perkusi : Perkusi sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikular breathing sound (Vbs) kanan = kiri, Wheezing -/-,
Rhonki -/-
Abdomen
Inspeksi : Datar lembut, umbilicus tidak menonjol
Auskultasi : Bising usus (+)
Perkusi : Timpani pada 4 kuadran abdomen, shifting dullness (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), tidak ada hepatomegaly dan splenomegaly,
undulasi (-)
Ekstremitas : Edema (-) pada kedua ekstremitas atas dan bawah
Daftar Masalah
- ACS Stemi
- Diabetes Melitus tipe 2
Terapi
- Asering 20gtt/m
- Clopidogrel 1x1 po
- Aptor 1x1 po
- KSR 1x1 po
- Alprazolam 1x1
- Simvastatin 1x20mg
- Ranitidine 2x1 iv
- Arixtra 1x0,5 iv
- Farsix 1x1 iv
- Laxadin syr 1x1
Perencanaan Diagnostik
o EKG
o Thoraks PA
PROGNOSIS
GDS: 247
R/ besok pulang
06/03/14 Tidak ada T : 120/80 ACS Stemi PTx:
keluhan KG: 231 Codein 2x10mg po
PEMBAHASAN MASALAH
DEFINISI
Merupakan spektrum manifestasi akut dan berat yang merupakan keadaan kegawatdaruratan dari
koroner akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dan aliran darah
(Kumar, 2007). Infark miokardium menunjukan terbentuknya suatu daerah nekrosis miokardium
akibat iskemia total. MI akut yang dikenal sebagai “serangan jantung”, merupakan penyebab
tunggal tersering kematian diindustri dan merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di
negara maju (Kumar, 2007).
FAKTOR RESIKO
Faktor risiko dibagi menjadi menjadi dua kelompok besar yaitu faktor risiko konvensional dan
faktor risiko yang baru diketahui berhubungan dengan proses aterotrombosis (Braunwald, 2007).
Faktor risiko yang sudah kita kenal antara lain merokok, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes
melitus, aktifitas fisik, dan obesitas. Termasuk di dalamnya bukti keterlibatan tekanan mental,
depresi. Sedangkan beberapa faktor yang baru antara lain CRP, Homocystein dan Lipoprotein(a)
(Santoso, 2005).
Di antara faktor risiko konvensional, ada empat faktor risiko biologis yang tak dapat diubah,
yaitu: usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Hubungan antara usia dan timbulnya
penyakit mungkin hanya mencerminkan lebih panjangnya lama paparan terhadap faktor-faktor
aterogenik (Valenti, 2007).
Wanita relatif lebih sulit mengidap penyakit jantung koroner sampai masa menopause, dan
kemudian menjadi sama rentannya seperti pria. Hal ini diduga oleh karena adanya efek
perlindungan estrogen (Verheugt, 2008).
Faktor-faktor risiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses
aterogenik. Faktor-faktor tersebut adalah peningkatan kadar lipid serum, hipertensi, merokok,
gangguan toleransi glukosa dan diet tinggi lemak jenuh, kolesterol, dan kalori.
SKA umumnya terjadi pada pasien dengan usia diatas 40 tahun. Walaupun begitu, usia yang
lebih muda dari 40 tahun dapat juga menderita penyakit tersebut. Banyak penelitian yang telah
menggunakan batasan usia 40-45 tahun untuk mendefenisikan “pasien usia muda” dengan
penyakit jantung koroner atau infark miokard akut (IMA). IMA mempunyai insidensi yang
rendah pada usia muda (Wiliam, 2007).
EPIDEMIOLOGI
Infark miokard akut merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di Negara maju. Laju
mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi
sebelum pasien mencapai rumah sakit. Angka kejadian NSTEMI lebih sering di bandingkan
dengan STEMI (Bassand, 2007).
PATOFISIOLOGI
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner
berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya
banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat
pada lokasi injury vaskular, dimana injury ini di cetuskan oleh faktor-faktor seperti
merokok,hipertensi dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis mengalami fisur, ruptur
atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi
trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis
menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis
dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin
rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap
terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, efinefrin, serotonin)
memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboxan A2
(vasokontriktor lokal yang poten). Selain aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi
reseptor glikoprotein IIb/IIIa.
Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap
sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF)
dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet
yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelets dan agregasi.
Kaskade koagulasi di aktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi prothrombin menjadi trombin, yang
kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan
mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang
jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme
koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Alwi, 2006).
PENATALAKSANAAN
TERAPI INISIAL
Terapi awal untuk pasien dengan angina antara lain aspirin, oksigen,nitrogliserin dan
morfin sulfat. Biasanya disingkat dengan MONA yaitu singkatan darimorfin, oksigen,
nitrogliserin, aspirin (meskipun tidak sesuai dengan urutan yangsebenarnya). Pasien dapat
diberikan aspirin dengan dosis 162-325 mg per oral (dapat digerus atau dikunyah) secepat
mungkin setelah serangan timbul, kecuali ada kontraindikasi. Aspirin menghambat agregasi
trombosit dan vasokonstriksi dengan menghambat produksi tromboksan A2. Aspirin
dikontraindikasikan pada pasien dengan ulkus peptikm, kelainan perdarahan, dan alergi terhadap
penisilin. Oksigen diberikan melalui kanul nasal dengan kecepatan 2-4 L/menit untuk menjaga
SaO2 lebih dari 90%. Perhatikan tanda-tanda hipoksemia, seperti konfusi, agitasi, restlessness,
pucat, dan perubahan pada temperatur kulit. Dengan meningkatnya jumlah oksigen yang
dialirkan ke miokard, penambahan oksigen akan mengurangi nyeri yang berhubungan dengan iskemik
miokard. Nitrogliserin tablet (0,3-0,4 mg) harus diberikan sublingual setiap lima menit, hingga
tiga kali pemberian. Nitrogliserin menyebabkan dilatasi arteri dan vena, yang akan menurunkan
baik preload dan afterload dan menurunkan kebutuhan oksigen jantung. Tersedia dalam bentuk
tablet atau spray atau juga dapat diberikan secara intravena. Karena nitrogliserin dapat
menyebabkan hipotensi, pasien sebaiknya berada di tempat tidur atau diposisikan duduk sebelum
pemberian obat. Jika setelah pemebrian sebanyak tiga kali rasa nyeri tidak menghilang atau
berkurang dapat diberikan nitrogliserin intravena dimulai dengan dosis 10-20 mcg per menit dan
perlahan-lahan dititrasi 10 mcg setiap 3-5 menit hingga rasa nyerinya berkurang atau pasien
menjadi hipotensi. Dosis maksimum adalah 200 mcg per menit. Nitrogliserin
dikontraindikasikan pada pasien yang mengkonsumsi sildenafil (viagra) 24 jam sebelumnya. Jika
pasien tidak membaik setelah pemebrian nitrogliserin, maka dapatdiberikan morfin sulfat dengan
dosis inisial 2-4 mg intravena dapat diulang setiap 5hingga 15 menit hingga rasa nyeri dapat
terkontrol. Morfin menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena, menurunkan preload dan afterload,
dan kemampuan analgesiknya dapat mengurangi nyeri dan kecemasan yang diakibatkan SKA.
Namun, morfin dapat menyebabkan hipotensi dan depresi pernapasan, sehingga tekana darah,
frekuensi napas, tingkat SaO2 harus dimonitor.
TERAPI LANJUTAN
Terapi lanjutan dimaksudkan untuk memperbaiki outcome pasien SKA. Penggunaan beta
bloker secara dini selama atau setelah infark miokard masih kontroversial. Menurut ACC dan
AHA pada tahun 2008, beta bloker menurunkan angka reinfark dan kematian akinat aritmia pada
pasien STEMI dan NSTEMI namun tidak secara langsung menurunkan angka kematian,
terutama pada pasien dengan gagal jantung atau hemodinamik yang tidak stabil. Jika tidak
terdapat kontraindikasi beta bloker dapat diberikan dalam waktu 24 jam dan diteruskan setelah
keadaan membaik. Pasein yang mendapat terapi beta bloker harus dimonitor untuk keadaan
hipotensi, bradikardi, gejala gagal jantung, hipoglikemi, dan bronkospasme. ACE inhibitor
menurunkan resiko disfungsi ventrikel kanan dan kematian pada pasien dengan SKA dan harus
diberikan dalam waktu 24 jam dan diteruskan kecuali terdpaat kontraindikasi. Perlu diawasi
untuk keadaan hipotensi, jumlah urin berkurang, batuk, hiperkalemia, dan insufisiensi ginjal
pada pengguna ACE inhibitor. Pada paseinyang intoleransi denganACE inhibitor, angiotensin
reseptor bloker dapat digunakan sebagai terapi alternatif. Statin harus diberikan pada pasein SKA
dengan kadar kolesterol lebih dari 100mg/dL. Kadar lemak dan kolesterol harus selalu dikontrol
pada pasien SKA.
Clopidogrel (plavix) menghambat agragasi trombosit dan dapat diberikan pada pasien
andina tak stabil atau NSTEMI yang alergi terhadap penisilin. Clopidogrel juga dapat diberikan
sebagai tambahan pada terapi aspirin dan tidak boleh diberikan pada pasien yang akan menjalani
operasi bypass arteri koroner dalam waktu 5 hingga 7 hari ke depan karena meningkatkan resiko
perdarahan. Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa merupakan anti platelet yang digunakan untuk angina
tak stabil dan NSTEMI yang dijadwalkan akan dilakukan tindakan diagnostik invasif. Pilihan
untuk terapi antikoagulan pada pasien dengan angina tak stabil atau NSTEMI antara lain
enoxaparin (Lovenox), unfractionated heparin, bivalirudin (Angiomax) dan fondaparinux
(Arixtra). Enoxaparin dan unfractionated heparin sangat direkomendasikan pada pasien yang
memilih panegobatan konservatif, namun fondaparinux dipilih unutk mereka yang memiliki
reiko tinggi perdarahan.
TERAPI REPERFUSI
Stratifikasi Resiko
Delapan puluh persen pasien dengan angina tak stabil dapat distabilkan dalam 48 jam
setelah diberi terapi medikamentosa secara agresif. Pasien-pasien ini kemudian membutuhkan
pemeriksaan lebih lanjut dengan tread-mill test atau ekokardiografi untuk menentukan apakah
pasien cukup dengan terapi medikamentosa atau pasien membutuhkan pemeriksaan angiografi
dan selanjutnya tindakan revaskularisasi. Pasein yang termasuk resiko rendah antara lain pasien
yang tidak mempunyai angina sebelumya, dan sudah tidak ada serangan angina, sebelumnya
memakai obat anti angina dan ECG normal atau tak ada perubahan dari sebelumnya; enzim
jantung tidak meningkat termasuk troponin dan biasanya usia masih muda. Resiko sedang bila
ada angina yang baru dan makin berat, didapatkan angina pada waktu istirahat, tak
ada perubahan segmen ST, dan enzim jantung tidak meningkat. Risiko tinggi bila pasien
mempunyai angina waktu istirahat, angina berlangsung lama atau angina pasca infark;
sebelumnya sudah mendapat terapi yang intensif, usia lanjut, didapatkan perubahan segmen ST
yang baru, didapatkan kenaikan troponin, dan ada keadaan hemodinamik yang tidak stabil. Bila
manifestasi iskemia datang kembali secraa spontan atau pada waktu pemeriksaan, maka pasien
sebaiknya dilakukan angiografi. Bila pasien tetap stabil dan termasuk risiko rendah maa terapi
medikamentosa sudah cukup. Hanya pasien dengan risiko tinggi yang membutuhkan tindakan
invasif segera, dengan kemungkinan tindakan revaskularisasi.