Anda di halaman 1dari 19

CASE REPORT

“ACS Stemi”

Disusun Oleh:

Sarastania Oktatriana

1102008228

Preseptor:

Dr. Ridwan, SpJP

KEPANITRAAN KLINIK MAHASISWA

BAGIAN PENYAKIT DALAM

RSU DR. SLAMET GARUT

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI JAKARTA

PERIODE FEBRUARI – APRIL 2014

ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS DIRI

Nama : Tn. H

Umur : 71 tahun

Agama : Islam

Alamat : Jatiputra

Status Pernikahan : Menikah

Pekerjaan : Pensiunan Pegawai Negeri Sipil

Suku : Sunda

Tanggal Masuk : 26 Februari 2014

Tanggal Keluar : 06 Maret 2014

Ruangan : Intan Sartika

ANAMNESIS

Keluhan Utama

Nyeri dada

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSU dr. Slamet dengan keluhan nyeri dada yang dirasakan sejak 2
hari SMRS. Nyeri dada dirasakan selama  30 menit. Keluhan nyeri dirasakan seperti terhimpit
dan terbakar. Nyeri dirasakan secara tiba-tiba dan akan berkurang saat pasien istirahat. Nyeri
dirasakan di dada sebelah kiri yang menjalar sampai ke punggung dan tangan.

Keluhan disertai dengan sesak nafas. Sesak nafas dirasakan berkurang saat duduk. Sesak
nafas dirasakan bertambah saat pasien berjalan ke kamar mandi.

Keluhan disertai dengan mual tetapi tidak disertai dengan keluhan muntah. Pasien juga
merasakan badannya terasa lemas dan cepat lelah.

Pasien juga mengeluh BAB kurang lancar sejak 2 hari SMRS. Keluhan sulit BAB tidak
disertai dengan keluhan BAK. Tidak terdapat pembengkakakn pada kedua kaki dan tangan
pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien memiliki riwayat penyakit Diabetes Melitus tipe 2 sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga

Ayah pasien memiliki penyakit Diabetes Melitus tipe 2

Riwayat penyakit jantung dalam keluarga tidak ada

Riwayat Alergi

Pasien tidak memiliki alergi obat ataupun makanan

PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan Umum : Sakit Sedang
 Kesadaran : Compos Mentis
 Tekanan Darah : 130/90 mmHg
 Nadi : 80 x/menit
 Pernafasan : 30 x/menit
 Suhu : 36,5
 JVP : 5+3 cm H2O

Organ Tubuh
 Kepala : Normocephal
 Rambut : warna hitam dan sedikit putih
 Kulit : Warna sawo matang
 Telinga : Bentuk oval, tidak ada serumen yang keluar
 Mata : Conjungtiva tidak anemis, Skelra tidak ikterik, eksoftalmus (+)
 Hidung : Pernafasan cuping hidung (-), Septum tidak deviasi
 Mulut : Sianosis per oral (-)
 Leher : Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada pembesaran
KGB
 Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
 Perkusi : batas jantung dalam batas normal, dextra: ICS 5 linea sternalis
dextra, sinistra: ICS 5 linea midclavicula sinistra
 Auskultasi : Bunyi jantung I dan II Reguler, Murmur (-), Gallop (+) SIII
 Pulmonal
 Inspeksi : Bentuk dan pergerakan hemithoraks kanan dan kiri simetris
dalam statis dan dinamis
 Palpasi : Fremitus taktil dan fremitus vocal simetris kanan dan kiri
 Perkusi : Perkusi sonor pada seluruh lapang paru
 Auskultasi : Vesikular breathing sound (Vbs) kanan = kiri, Wheezing -/-,
Rhonki -/-
 Abdomen
 Inspeksi : Datar lembut, umbilicus tidak menonjol
 Auskultasi : Bising usus (+)
 Perkusi : Timpani pada 4 kuadran abdomen, shifting dullness (-)
 Palpasi : Nyeri tekan (-), tidak ada hepatomegaly dan splenomegaly,
undulasi (-)
 Ekstremitas : Edema (-) pada kedua ekstremitas atas dan bawah

Daftar Masalah
- ACS Stemi
- Diabetes Melitus tipe 2

Terapi
- Asering 20gtt/m
- Clopidogrel 1x1 po
- Aptor 1x1 po
- KSR 1x1 po
- Alprazolam 1x1
- Simvastatin 1x20mg
- Ranitidine 2x1 iv
- Arixtra 1x0,5 iv
- Farsix 1x1 iv
- Laxadin syr 1x1

PEMERIKSAAN PENUNJANG HASIL LABORATORIUM

Laboratorium Tanggal 27 Februari 2014


o Gula Darah Sewaktu : 288

Perencanaan Diagnostik
o EKG
o Thoraks PA
PROGNOSIS

Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam

Quo ad Functionam : Dubia ad Malam

Quo ad Sanasionam : Dubia ad Bonam


CATATAN LANJUTAN – Rawat Inap

Tanggal Subjektif Objektif Analisis Perencanaan


27/02/14  Sesak nafas  KU : SS KS : CM ACS Stemi PDx:
1 minggu T : 120/70 R : 25 Cek darah lengkap
yang lalu N : 80 S : 36,5
 Sesak Mata : Ca -/- Si -/- PTx:
semakin berat Thorax :  Asering 20 gtt/m
saat Cor: S1S2 reguler  Fasorbit + Asering
melakukan M (-) G (-) mikrodrip 15gtt/m
aktivitas Pulmo: Vbs Ka = Ki  Ranitidine 2x1 iv
ringan Rh -/- Wh -/-  Farsix 1x1 iv
 Pasien pernah Abd : BU (+) NT (-)  KSR 1x1 po
di rawat di Eks: Edema (-) kedua  Arixtra 0,5mg 1x1
ekstremitas atas dan
rumah sakit  CPG 1x1 po
tahun 2006 bawah
 Aptor 1x1 po
 Simvastatin
1x20mg
 Alprazolam 1x1
 Laxadin syr

------------------------------------------------ Alih Rawat ICU -------------------------------------------------


27/03/14  Sesak nafas KU : SB KS : CM ACS Stemi PTx:
19.30 dirasakan T : 150/80 R : 29  Asering 20 gtt/m
sudah lebih N : 82 S : 36,4  Fasorbit + Asering
dari Mata : Sekret (+) mikrodrip 15gtt/m
sebelumnya Ca -/- Si -/-  Ranitidine 2x1 iv
Thorax :  Farsix 1x1 iv
Cor: S1S2 reguler  KSR 1x1 po
M (-) G (+) S3  Arixtra 0,5mg 1x1
Pulmo: Vbs Ka = Ki  CPG 1x1 po
Rh -/- Wh -/-
 Aptor 1x1 po
Abd: BU (+) NT (-)
 Simvastatin
Eks: Edema (-) kedua eks.
1x20mg
Atas dan bawah
 Alprazolam 1x1
 Laxadin syr

28/02/14  Sesak (+) GDS : 288 ACS Stemi PTx:


14.00  Nyeri dada EKG : ST Elevasi  Fasorbid drip
Anterior  Arixtra 1x2,5mg
T : 171/109  Farsix 1x2 amp iv
HR : 95x  KSR 2x1 po
 Metformin
2x500mg
(Obat lain semua
diteruskan)

28/02/14  Batuk dahak KU : SS KS : CM ACS Stemi PTx:


17.00  Nyeri pada T : 137/86 R : 32 Ramipril 1x5mg
bekas infus N : 91 S : af (Obat lain semua
Mata : Ca -/- Si -/- diteruskan)
Thorax :
Cor: S1S2 irreguler
M (-) G (+) S3
Pulmo: Vbs Ka = Ki
Rh -/- Wh -/-
Abd: BU (+) NT (-)
Eks: Edema (-) kedua eks.
Atas dan bawah
01/03/14  Batuk KU : SS KS : CM ACS Stemi PTx:
10.10  Sesak T : 130/80 R : 28 (Terapi dilanjutkan)
N : 115 S : af

02/03/14  Batuk KU : SS KS : CM ACS Stemi PTx:


berdahak T : 117/95 R : 25 (Terapi dilanjutkan)
 Sesak nafas N : 97 S : af
berkurang Mata : Ca -/- Si -/-
Thorax :
Cor: S1S2 irreguler
M (-) G (+) S3
Pulmo: Vbs Ka = Ki
Rh -/- Wh -/-
Abd: BU (+) NT (-)
Eks: Edema (-) kedua eks.
Atas dan bawah

GDS: 247

03/03/14 Tidak ada T : 129/76 HR : ACS Stemi PTx:


keluhan 82x/m  Fasorbid drip
Ureum: 0,9  Arixtra (stop)
 Farsix 1x2 amp iv
 Clopidogrel 1x15
 Simvastatin 1x20
 Ranitidine 2x1
amp
 Syr Laxadine
3xc1
 KSR 1x1 po
 Metformin 2x500
 Ramipril 1x5mg
 Glimepiride
1x1mg
 Alprazolam 0-0-
½
04/03/14 Tidak ada T : 120/80 ACS STemi PTx:
keluhan (terapi dilanjutkan)

05/05/14 Tidak ada T : 110/80 ACS Stemi PTx:


keluhan KG: 220 Glimipiride 1x2mg
Ramipril 1x2,5mg

R/ besok pulang
06/03/14 Tidak ada T : 120/80 ACS Stemi PTx:
keluhan KG: 231 Codein 2x10mg po
PEMBAHASAN MASALAH

 Apakah diagnosis pasien ini sudah tepat?


 Anamnesis : Pasien merasakan nyeri dada. Nyeri dada dirasakan seperti terbakar dan
terhimpit. Nyeri dada dirasakan secara tiba-tiba dan akan berkurang jika pasien
beristirahat. Nyeri dirasakan menjalar ke punggung dan lengan. Keluhan juga disertai
dengan sesak nafas dan mual.
 Pemeriksaan fisik : Pada pasien ditemukan bunyi jantung III dan ditemukan JVP yang
meningkat.
 Apakah penatalaksanaan pasien ini sudah tepat?
o Fasorbid
 Komposisi : Isosorbide dinitrate
 Indikasi : Terapi dan profilaksis angina pektoris.
 Kontra indikasi : Glaukoma, anemia, hipertiroid, peningkatan TIK, infark
miokardium.
 Efek samping : Sakit kepala, hipotensi ortostatik, wajah/leher panas dan
kemerahan, gangguan GI, denyut nadi cepat, ruam kulit(jarang).
o Ranitidine
 Komposisi : Ranitidin HCl
 Indikasi : hipersekresi patologis atau ulkus usus dua belas jari yang sulit
diatasi.
 Kontra indikasi : Hipersensitif
 Efek samping : Sakit kepala, Susunan saraf pusat, jarang terjadi : malaise,
pusing, mengantuk, insomnia, vertigo, agitasi, depresi, halusinasi,
Kardiovaskuler, jarang dilaporkan : aritmia seperti takikardia, bradikardia,
atrioventricular block, premature verticular beats, Gastrointestinal :
konstipasi, diare, mual, nyeri perut, jarang dilaporkan : pancreatitis,
Muskuloskeletal, jarang dilaporkan : artralgia dan myalgia.
o Farsix, ampul 10mg/ml 1x1 iv
 Komposisi : Furosemid
 Indikasi : Edema yang berhubungan dengan gagal jantung kongestif, sirosis
hati, penyakit ginjal. Sebagai terapi tambahan pada edema paru akut.
 Kontra indikasi : Gangguan fungsi ginjal, oliguria, hipokalemia, hiponatremia,
hipotensi.
 Efek samping : hiperurisemia, hipokalemia, hiponatremia, anoreksia, azotemia,
reaksi hipersensitif, reaksi dermatologi, gangguan gastrointestinal, denyut
jantung tidak teratur, reaksi hematologi, rasa haus.
o KSR, tablet 600mg, 1x1 po
 Komposisi : KCL
 Indikasi : Pendegahan dan pengobatan hipokalemia
 Kontra indikasi : Gagal ginjal tahap lanjut, penyakit Addison yang tidak
diobati, dehidrasi akut, hiperkalemia, obstuksi gastrointestinal.
 Efek samping : Gagal ginjal tahap lanjut, penyakit Addison yang tidak diobati,
dehidrasi akut, hiperkalemia, obstuksi gastrointestinal.
o Arixtra
 Komposisi : Fondaparinux Na
 Indikasi : Mencegah kejadian tomboembolik pd pasien yg menjalani bedah
ortopedik mayor pada tungkai bawah.
 Kontra indikasi : Pendarahan aktif yang bermakna secara klinis, endokarditis
bakterial akut, gangguan ginjal berat (bersihan kreatinin < 30 mL/mnt)
 Efek samping : Anemia, pendarahan, trombositopenia, purpura, hasil tes
fungsi hati abnormal, edema.
o Clopidogrel
 Komposisi : Clopidogrel
 Indikasi : Mengurangi terjadinya aterosklerosis (infrak miokardial, stroke, dan
kematian vaskuler) pada pasien dengan aterosklerosis terdokumentasi oleh
stroke yang baru terjadi, infark miokardial, atau penyakit arteri perifer yang
telah pasti.
 Kontra indikasi : Pendarahan patologik,pendarahan intrakranial, tukak
lambung.
 Efek samping : Reaksi alergi, sinkop.palpitasi,astenia,iskemik nekrosis,gagal
jantung,kram kaki, konstipasi, vertigo,muntah.
o Aptor
 Komposisi : Acetylsalicylic Acid
 Indikasi : Pengobatan dan pencegahan angina pectoris dan infark miokard,
demam, nyeri pasca vaksinasi, sakit gigi, nyeri otot dan nyeri saraf.
 Kontra indikasi : Tukak peptik, kelainan pendarahan, asma.
 Efek samping : Gangguan gastrointestinal, pusing, reaksi hipersensitif.
o Simvastatin
 Komposisi : Simvastatin
 Indikasi : Sebelum memulai terapi dengan simvastatin, singkirkan dulu
penyebab hiperkolesterolemia sekunder (misal: diabetes melitus tidak
terkontrol, hipertiroidisme, sindroma nefrotik, disproteinemia, penyakit hati
obstruktif, alkoholisme serta terapi dengan obat lain) dan lakukan pengukuran
profil lipid total kolesterol, HDL kolesterol dan trigliserida.
Penurunan kadar kolesterol total dan LDL pada penderita hiperkolesterolemia
primer, bila respon terhadap diet dan penatalaksanaan non farmakologik saja
tidak memadai.
Simvastatin meningkatkan kadar kolesterol HDL dan karenanya menurunkan
rasio LDL/HDL serta rasio kolesterol total/LDL. Meskipun mungkin
bermanfaat mengurangi kolesterol LDL yang meninkat pada penderita dengan
hiperkolesterolemia campuran dan hipertrigliseridemia (dengan
hiperkolesterolemia sebagai kelainan utama), namun simvastatin belum diteliti
pada kelainan utama berupa peningkatan kadar Chylemicron.
 Kontra indikasi :
- Pasien yang mengalami gagal fungsi hati atau pernah mengalami gagal
fungsi hati.
- Pasien yang mengalami peningkatan jumlah serum transaminase yang
abnormal.
- Pecandu alkohol.
- Bagi wanita hamil dan menyusui.
- Hipersensitif terhadap simvastatin.
 Efek samping :
- Sakit kepala, konstipasi, nausea, flatulen, diare, dispepsia, sakit perut,
fatigue, nyeri dada dan angina.
- Astenia, miopathy, ruam kulit, rhabdomyolisis, hepatitis,
angioneurotik edema terisolasi.
o Alprazolam
 Komposisi : Alprazolam
 Indikasi :
- Antiansietas termasuk neurosis ansietas, gejala-gejala ansietas
- Antidepresi termasuk ansietas yang berkaitan dengan depresi
- Antipanik termasuk penyakit-penyakit atau gangguan panik dengan
atau tanpa agoraphobia
 Kontra indikasi : Penderita yang hipersensitif terhadap benzodiazepin,
penderita glaukoma sudut sempit akut, penderita insufisiensi pulmonari akut
 Efek samping :
- Yang sering terjadi: drowsiness, kekeringan, sakit kepala ringan
- Yang jarang terjadi: perubahan berat badan, nervousness, gangguan
memori/amnesia, gangguan koordinasi, gangguan gastrointestinal dan
manifestasi autonomik, pandangan kabur, sakit kepala, depresi,
insomnia tremor
- Seperti benzodiazepin yang lain, dapat terjadi: stimulasi, agitasi,
kesulitan berkonsentrasi, konfusi, halusinasi, peningkatan tekanan
intraokular
- Pernah dilaporkan pada penggunaan benzodiazepin ansiolotik, seperti :
distonia, iritabilitas, anoreksia, fatique, gangguan bicarajaund/’ce
lemah otot, gangguan libido, irregularitas menstruasi, inkontinensia,
retensi urin dan abnormal fungsi hati.
o Metformin
 Komposisi : Metformin HCl
 Indikasi :
- Diabetes mellitus yang baru terdiagnosis sesudah dewasa, dengan atau
tanpa kelebihan berat badan dan bila gagal ginjal dengan diet.
- Terapi kombinasi pada penderita yang tidak responsive terhadap terapi
tunggal sulfonylurea.
- Obat penunjang untuk mengurangi dosis insulin.
 Kontra indikasi : penyakit kardiovaskular, gagal ginjal, gagal hati, dehidrasi,
peminum alcohol, koma diabetik, ketoasidosis, infark miokard, penyakit
kronis akut yang berkaitan dengan hipoksia jaringan, syok, insufisiensi paru,
riwayat asidosis laktat.
 Efek samping : Anoreksia, gangguan perut, mual, muntah, rasa logam pada
mulut, diare, asidosis laktat, anemia megaloblastik, pneumonitis dan vasculitis.
ACS Stemi

DEFINISI
Merupakan spektrum manifestasi akut dan berat yang merupakan keadaan kegawatdaruratan dari
koroner akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dan aliran darah
(Kumar, 2007). Infark miokardium menunjukan terbentuknya suatu daerah nekrosis miokardium
akibat iskemia total. MI akut yang dikenal sebagai “serangan jantung”, merupakan penyebab
tunggal tersering kematian diindustri dan merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di
negara maju (Kumar, 2007).

FAKTOR RESIKO
Faktor risiko dibagi menjadi menjadi dua kelompok besar yaitu faktor risiko konvensional dan
faktor risiko yang baru diketahui berhubungan dengan proses aterotrombosis (Braunwald, 2007).
Faktor risiko yang sudah kita kenal antara lain merokok, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes
melitus, aktifitas fisik, dan obesitas. Termasuk di dalamnya bukti keterlibatan tekanan mental,
depresi. Sedangkan beberapa faktor yang baru antara lain CRP, Homocystein dan Lipoprotein(a)
(Santoso, 2005).
Di antara faktor risiko konvensional, ada empat faktor risiko biologis yang tak dapat diubah,
yaitu: usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Hubungan antara usia dan timbulnya
penyakit mungkin hanya mencerminkan lebih panjangnya lama paparan terhadap faktor-faktor
aterogenik (Valenti, 2007).
Wanita relatif lebih sulit mengidap penyakit jantung koroner sampai masa menopause, dan
kemudian menjadi sama rentannya seperti pria. Hal ini diduga oleh karena adanya efek
perlindungan estrogen (Verheugt, 2008).
Faktor-faktor risiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses
aterogenik. Faktor-faktor tersebut adalah peningkatan kadar lipid serum, hipertensi, merokok,
gangguan toleransi glukosa dan diet tinggi lemak jenuh, kolesterol, dan kalori.
SKA umumnya terjadi pada pasien dengan usia diatas 40 tahun. Walaupun begitu, usia yang
lebih muda dari 40 tahun dapat juga menderita penyakit tersebut. Banyak penelitian yang telah
menggunakan batasan usia 40-45 tahun untuk mendefenisikan “pasien usia muda” dengan
penyakit jantung koroner atau infark miokard akut (IMA). IMA mempunyai insidensi yang
rendah pada usia muda (Wiliam, 2007).

EPIDEMIOLOGI
Infark miokard akut merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di Negara maju. Laju
mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi
sebelum pasien mencapai rumah sakit. Angka kejadian NSTEMI lebih sering di bandingkan
dengan STEMI (Bassand, 2007).
PATOFISIOLOGI
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah
oklusi trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner
berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya
banyak kolateral sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat
pada lokasi injury vaskular, dimana injury ini di cetuskan oleh faktor-faktor seperti
merokok,hipertensi dan akumulasi lipid.
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis mengalami fisur, ruptur
atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi
trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis
menunjukkan plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang tipis
dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis klasik terdiri dari fibrin
rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar sehingga STEMI memberikan respon terhadap
terapi trombolitik.
Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, efinefrin, serotonin)
memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboxan A2
(vasokontriktor lokal yang poten). Selain aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi
reseptor glikoprotein IIb/IIIa.
Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap
sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF)
dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet
yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelets dan agregasi.
Kaskade koagulasi di aktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak.
Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi prothrombin menjadi trombin, yang
kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan
mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang
jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme
koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Alwi, 2006).

DIAGNOSIS DAN PEMERIKSAAN


Pada anamnesis perlu ditanyakan dengan lengkap bagaimana kriteria nyeri dada yang di
alami pasien, sifat nyeri dada pada pasien STEMI merupakan nyeri dada tipikal (angina). Faktor
resiko seperti hipertensi,diabetes melitus, dislipidemia, merokok, serta riwayat penyakit jantung
koroner di keluarga (Alwi, 2006). Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum
terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress, emosi, atau penyakit medis lain yang
menyertai. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, tetapi variasi sirkadian di
laporkan dapat terjadi pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.
Pada pemeriksaan fisik di dapati pasien gelisah dan tidak bisa istirahat. Seringkali
ektremitas pucat di sertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit dan
banyak keringat di curigai kuat adanya STEMI. Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah
S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung
kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara
(Alwi, 2006).
Selain itu diagnosis STEMI ditegakan melalui gambaran EKG adanya elevasi ST kurang lebih
2mm, minimal pada dua sadapan prekordial yang berdampingan atau kurang lebih 1mm pada 2
sadapan ektremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat,
memperkuat diagnosis (Alwi, 2006).

PENATALAKSANAAN
TERAPI INISIAL
Terapi awal untuk pasien dengan angina antara lain aspirin, oksigen,nitrogliserin dan
morfin sulfat. Biasanya disingkat dengan MONA yaitu singkatan darimorfin, oksigen,
nitrogliserin, aspirin (meskipun tidak sesuai dengan urutan yangsebenarnya). Pasien dapat
diberikan aspirin dengan dosis 162-325 mg per oral (dapat digerus atau dikunyah) secepat
mungkin setelah serangan timbul, kecuali ada kontraindikasi. Aspirin menghambat agregasi
trombosit dan vasokonstriksi dengan menghambat produksi tromboksan A2. Aspirin
dikontraindikasikan pada pasien dengan ulkus peptikm, kelainan perdarahan, dan alergi terhadap
penisilin. Oksigen diberikan melalui kanul nasal dengan kecepatan 2-4 L/menit untuk menjaga
SaO2 lebih dari 90%. Perhatikan tanda-tanda hipoksemia, seperti konfusi, agitasi, restlessness,
pucat, dan perubahan pada temperatur kulit. Dengan meningkatnya jumlah oksigen yang
dialirkan ke miokard, penambahan oksigen akan mengurangi nyeri yang berhubungan dengan iskemik
miokard. Nitrogliserin tablet (0,3-0,4 mg) harus diberikan sublingual setiap lima menit, hingga
tiga kali pemberian. Nitrogliserin menyebabkan dilatasi arteri dan vena, yang akan menurunkan
baik preload dan afterload dan menurunkan kebutuhan oksigen jantung. Tersedia dalam bentuk
tablet atau spray atau juga dapat diberikan secara intravena. Karena nitrogliserin dapat
menyebabkan hipotensi, pasien sebaiknya berada di tempat tidur atau diposisikan duduk sebelum
pemberian obat. Jika setelah pemebrian sebanyak tiga kali rasa nyeri tidak menghilang atau
berkurang dapat diberikan nitrogliserin intravena dimulai dengan dosis 10-20 mcg per menit dan
perlahan-lahan dititrasi 10 mcg setiap 3-5 menit hingga rasa nyerinya berkurang atau pasien
menjadi hipotensi. Dosis maksimum adalah 200 mcg per menit. Nitrogliserin
dikontraindikasikan pada pasien yang mengkonsumsi sildenafil (viagra) 24 jam sebelumnya. Jika
pasien tidak membaik setelah pemebrian nitrogliserin, maka dapatdiberikan morfin sulfat dengan
dosis inisial 2-4 mg intravena dapat diulang setiap 5hingga 15 menit hingga rasa nyeri dapat
terkontrol. Morfin menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena, menurunkan preload dan afterload,
dan kemampuan analgesiknya dapat mengurangi nyeri dan kecemasan yang diakibatkan SKA.
Namun, morfin dapat menyebabkan hipotensi dan depresi pernapasan, sehingga tekana darah,
frekuensi napas, tingkat SaO2 harus dimonitor.
TERAPI LANJUTAN
Terapi lanjutan dimaksudkan untuk memperbaiki outcome pasien SKA. Penggunaan beta
bloker secara dini selama atau setelah infark miokard masih kontroversial. Menurut ACC dan
AHA pada tahun 2008, beta bloker menurunkan angka reinfark dan kematian akinat aritmia pada
pasien STEMI dan NSTEMI namun tidak secara langsung menurunkan angka kematian,
terutama pada pasien dengan gagal jantung atau hemodinamik yang tidak stabil. Jika tidak
terdapat kontraindikasi beta bloker dapat diberikan dalam waktu 24 jam dan diteruskan setelah
keadaan membaik. Pasein yang mendapat terapi beta bloker harus dimonitor untuk keadaan
hipotensi, bradikardi, gejala gagal jantung, hipoglikemi, dan bronkospasme. ACE inhibitor
menurunkan resiko disfungsi ventrikel kanan dan kematian pada pasien dengan SKA dan harus
diberikan dalam waktu 24 jam dan diteruskan kecuali terdpaat kontraindikasi. Perlu diawasi
untuk keadaan hipotensi, jumlah urin berkurang, batuk, hiperkalemia, dan insufisiensi ginjal
pada pengguna ACE inhibitor. Pada paseinyang intoleransi denganACE inhibitor, angiotensin
reseptor bloker dapat digunakan sebagai terapi alternatif. Statin harus diberikan pada pasein SKA
dengan kadar kolesterol lebih dari 100mg/dL. Kadar lemak dan kolesterol harus selalu dikontrol
pada pasien SKA.
Clopidogrel (plavix) menghambat agragasi trombosit dan dapat diberikan pada pasien
andina tak stabil atau NSTEMI yang alergi terhadap penisilin. Clopidogrel juga dapat diberikan
sebagai tambahan pada terapi aspirin dan tidak boleh diberikan pada pasien yang akan menjalani
operasi bypass arteri koroner dalam waktu 5 hingga 7 hari ke depan karena meningkatkan resiko
perdarahan. Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa merupakan anti platelet yang digunakan untuk angina
tak stabil dan NSTEMI yang dijadwalkan akan dilakukan tindakan diagnostik invasif. Pilihan
untuk terapi antikoagulan pada pasien dengan angina tak stabil atau NSTEMI antara lain
enoxaparin (Lovenox), unfractionated heparin, bivalirudin (Angiomax) dan fondaparinux
(Arixtra). Enoxaparin dan unfractionated heparin sangat direkomendasikan pada pasien yang
memilih panegobatan konservatif, namun fondaparinux dipilih unutk mereka yang memiliki
reiko tinggi perdarahan.

TERAPI REPERFUSI
Stratifikasi Resiko
Delapan puluh persen pasien dengan angina tak stabil dapat distabilkan dalam 48 jam
setelah diberi terapi medikamentosa secara agresif. Pasien-pasien ini kemudian membutuhkan
pemeriksaan lebih lanjut dengan tread-mill test atau ekokardiografi untuk menentukan apakah
pasien cukup dengan terapi medikamentosa atau pasien membutuhkan pemeriksaan angiografi
dan selanjutnya tindakan revaskularisasi. Pasein yang termasuk resiko rendah antara lain pasien
yang tidak mempunyai angina sebelumya, dan sudah tidak ada serangan angina, sebelumnya
memakai obat anti angina dan ECG normal atau tak ada perubahan dari sebelumnya; enzim
jantung tidak meningkat termasuk troponin dan biasanya usia masih muda. Resiko sedang bila
ada angina yang baru dan makin berat, didapatkan angina pada waktu istirahat, tak
ada perubahan segmen ST, dan enzim jantung tidak meningkat. Risiko tinggi bila pasien
mempunyai angina waktu istirahat, angina berlangsung lama atau angina pasca infark;
sebelumnya sudah mendapat terapi yang intensif, usia lanjut, didapatkan perubahan segmen ST
yang baru, didapatkan kenaikan troponin, dan ada keadaan hemodinamik yang tidak stabil. Bila
manifestasi iskemia datang kembali secraa spontan atau pada waktu pemeriksaan, maka pasien
sebaiknya dilakukan angiografi. Bila pasien tetap stabil dan termasuk risiko rendah maa terapi
medikamentosa sudah cukup. Hanya pasien dengan risiko tinggi yang membutuhkan tindakan
invasif segera, dengan kemungkinan tindakan revaskularisasi.

Seleksi Strategi Reperfusi


Beberapa hal harus dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi, Antara lain:
 Waktu onset gejala. Waktu onset untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting luas
infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam menghancurkan thrombus
sangat tergantung waktu. Terapi fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam pertama
(terutama dalam jam pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan secara
dramatis menurunkan angka kematian. Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang
mengalami infark menjadi paten, kurang lebih tergantung pada lama gejala pasien yang
menjalani PCI. Beberapa laporan menunjukkan tidak ada pengaruh keterlambatan waktu
terhadap laju mortalitas jika PCI dikerjakan setelah 2-3 jam setelah gejala.
 Risiko STEMI Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam menilai
risiko mortalitas pada pasien STEMI. Jika estimasi mortalitas dengan fibrinolysis sangat
tinggi, seperti pada pasien dengan syok kardiogenik, bukti klinis menunjukkan strategi
PCI lebih baik.
 Risiko perdarahan. Pemilihan terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada
pasien. Jika tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi
fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, manfaat
terapi reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko.
 Waktu yang dibutuhkan untuk transportasi ke laboratorium PCI. Adanya fasilitas kardiologi
intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan. Untuk fasilitas yang
dapat mengerjakan PCI, penelitian menunjukkan PCI lebih superior dari reperfusi
farmakologis. Jika
 composite end point kematian, infark miokard rekuren non fatal atau stroke dianalisis,
superioritas PCI terutama dalam hal penurunan laju infark miokard non fatal berulang.

Percutaneous Coronary Intervention (PCI)


Intervensi koroner perkutan, biasanya angioplasti dan/atau stenting tanpa didahului
fibrinolisis disebut PCI primer. PCI ini efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika
dilakukan dalam beberapa jam pertama IMA. PCI primer lebih efektif daripada fibrinolisis dalam
membuka arteri koroner yang tersumbat dandikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan
panjang yang lebih baik. Dibandingkan fibrinolisis, PCI lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik
(terutama pasien <75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada minimal 2 atau
3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolisis. Namun demikian
PCI lebih mahal dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa RS.
Fibrinolisis
Tujuan utama fibrinolisis adalah restorasi cepat patensi arteri koroner. Terdapat beberapa
macam obat fibrinolitik antara lain:
tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (rpA).
Semua obat ini bekerja dengan cara memicu konversi plasminogen menjadi plasmin, yang
selanjutnya melisiskan trombus fibrin. Terdapat 2 kelompok, yaitu: golongan spesifik fibrin
seperti tPA dan nonspesifik fibrin seperti streptokinase.Target terapi reperfusi adalah aliran TIMI
grade 3 (menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark dengan aliran normal), karena
perfusi penuh pada arteri koroner yang terkena infark menunjukkan hasil yang lebih baik dalam
membatasi luasnya infark, mempertahankan fungsi ventrikel kiri dan menurunkan laju
mortalitas jangka pendek dan panjang. tPA dan aktivator plasminogen spesifik fibrin lain sepeti rPA
dan TNK lebih efektif daripada streptokinase dalam mengembalikan perfusi penuh, aliran
koroner TIMI grade 3 dan memperbaiki survival sedikit lebih baik. Obat-obat fibrinolitik antara lain:
Streptokinase (SK). Merupakan fibrinolitik nonspesifik fibrin. Pasien yang pernah terpajan
dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya karena terbentuknya antibodi. Reaksi alergi
sering ditemukan. Manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan intra
kranial yang rendah.
Tissue plasminogen activator (tPA, alteplase). GUSTO-1 trial menunjukkan penurunan
mortalitas 30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapat tPA disbanding SK. Namun harganya
lebih mahal dari SK dan risiko perdarahan intrakranial sedikit lebih tinggi. Reteplase (retavase).
INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan sebanding SK dan sebanding tPA pada
GUSTO trial III, dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang.
Tenekteplase (TNKase). Keuntungannya mencakup memperbaiki spesifisitas fibrin dan
resistensi tinggi terhadap PAI-1. Laporan awal dari TIMI 10 B menunjukkanTNKase memiliki
laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan yang sama dibandingkan dengan tPA.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai