Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. L
Jenis kelamin : Laki-laki
No. RM : 045709
Tanggal lahir : 01/12/1980 (39 Tahun)
Alamat : Desa Bendowata
Tanggal Pemeriksaan : 15 Maret 2019

II. ANAMNESIS
 Anamnesis : Autoanamnesis
 Keluhan Utama : Nyeri dada
 Anamnesis Terpimpin :
 Nyeri dada dirasakan sejak ± 4 jam SMRS, nyeri dirasakan seperti tertekan
menjalar ke bahu kiri dan tangan kiri, nyeri dialami sekitar ± 15 menit
dipengaruhi oleh aktivitas.
 Sesak (-), Sakit kepala (-), Mual (-), Muntah (-), Nyeri ulu hati (-)
 Riwayat Hipertensi tidak dketahui, Riwayat DM tidak ada.
 Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama tidak ada.

III. PEMERIKSAAN FISIS


• Status Generalisasi : Sakit sedang/GCS 15 (composmentis)
• Status Vitalis :
TD : 160/90 mmHg
N : 76 x/menit
P : 18 x/menit
S : 36.2⁰C, axilla
• Kepala :
Ekspresi : Biasa
Simetris muka : Simetris kiri = kanan
Deformitas : (-)
Rambut : Hitam, lurus, sukar dicabut
• Mata :
Eksoptalmus/Enoptalmus : (-)
Gerakan : Ke segala arah
Kelopak Mata : Edema (-)
Konjungtiva : Anemis (-)
Sklera : Ikterus (-)
Kornea : Jernih, cekung (-)
Pupil : Bulat isokor diameter 2,5 mm
• Telinga
Pendengaran : Dalam batas normal
Tophi : (-)
Nyeri tekan di prosesus mastoideus : (-)
• Hidung :
Perdarahan : (-)
Sekret : (-)
• Mulut:
Bibir : Pucat (-), kering (-)
Lidah : Kotor (-), tremor (-)
Tonsil : T1 – T1, hiperemis (-)
Faring : Hiperemis (-)
Gigi geligi : Caries dentis (-)
Gusi : Hiperemis (-)
• Leher :
Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran
DVS : normal
Pembuluh darah : normal
Kaku kuduk : (-)
• Dada :
Inspeksi :
Bentuk : Simetris kiri = kanan, normochest
Sela iga : Dalam batas normal
 Paru
Palpasi :
Nyeri tekan : (-)
Massa tumor : (-)
Perkusi :
Paru kiri : Sonor
Paru kanan : Sonor.
Auskultasi :
Bunyi pernapasan : Vesikuler kiri = kanan
Bunyi tambahan : Rh -/- , Wh -/-
• Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Thrill (-)
Perkusi : Batas atas ICS II sinistra
Batas kanan linea parasternalis dekstra
Batas kiri linea axilla anterior sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni regular, bunyi tambahan (-)
 Perut
Inspeksi : Datar, ikut gerak napas, massa tumor (-)
Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal
Palpasi : Nyeri tekan (-), Massa tumor (-)
Hepar tidak teraba pembesaran
Lien tidak teraba pembesaran
Perkusi : Timpani
 Alat Kelamin
Tidak dilakukan pemeriksaan
 Anus dan Rektum
Tidak dilakukan pemeriksaan
 Punggung
Palpasi : Nyeri tekan (-), Massa tumor (-)
Gerakan : Dalam batas normal
Lain-lain : Tidak ada skoliosis
• Ekstremitas :
Ekstremitas atas : edema (-), teraba hangat, turgor kulit baik
Ekstremitas bawah : edema (-), teraba hangat, turgor kulit baik

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


• Laboratorium:
Darah Rutin (15-03-2019)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
WBC 7.7 4 - 10 x 103/ mm3
Lyimfosit 27.4 20 – 40 %
Monosit 3.5 2-8%
Granulosit 68.9 45-70 %
RBC 5.57 4–6 x 106/ mm3
HGB 15.2 14 - 18 g/dl
HCT 44.8 37-48%
MCV 80.5 80-100 fl
MCH 27.2 26-34 pg
MCHC 33.9 32-36 g/dl
Trombosit 226 150-400 x 103/mm3

Kimia Darah (15-03-2019)


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
GDS 130 <180 mg/dl
• EKG

Interpretasi
1. Irama : Sinus Rhytme
2. Frekuensi : 75 kali/menit
3. Regularitas : Regular
4. Aksis : normoaksis
5. Interval P-R : 0,16 detik
6. QRS rate : durasi 0,08 detik
7. Segmen ST : ST elevasi pada lead V2-V3
8. Gelombang T : T inverted pada III, aVF

Kesimpulan: SR, HR 75x/mnt, STEMI anterior

V. DIAGNOSIS KERJA
- ACS STEMI
- Hipertensi Grade II

VI. PLANNING
 Pengobatan:
- O2 2 lpm via nasal kanul
- IVFD NaCl 0.9% 20 tpm
- ISDN 5 mg sublingual/ekstra
- Aspilet 80 mg 2 tab/ekstra
- Clopidogrel 75mg 4 tab/ekstra
- Captopril 12.5 mg 2x1
 Konsul DPJP :
Terapi lanjut
VII. RESUME
Seorang laki-laki berusia 39 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan nyeri
dada dirasakan sejak ± 4 jam SMRS, nyeri dirasakan seperti tertekan menjalar ke
bahu kiri dan tangan kiri, nyeri dialami sekitar ± 15 menit dipengaruhi oleh
aktivitas.
Sesak (-), Sakit kepala (-), Mual (-), Muntah (-), Nyeri ulu hati (-). Riwayat
Hipertensi tidak dketahui, Riwayat DM tidak ada. Riwayat penyakit dengan
keluhan yang sama tidak ada.
Pada pemeriksaan fisis didapatkan : Tanda vital: TD 160/90 mmHg, Nadi 76
x/menit, pernapasan 18 x/menit, suhu axilla 36.2⁰C. Pada pemeriksaan fisis thorax
ditemukan bunyi pernapasan rhonki -/-, wheezing -/-, BJ I/II murni reguler, bising
jantung (-). Pada pemeriksaan penunjang, pemeriksaan laboratorium dalam batas
normal. EKG SR, HR 75 x/menit, STEMI anterior.
Berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang
yang telah dilakukan maka diagnosis pasien ini adalah ACS STEMI dan
Hipertensi Grade II.

VIII. FOLLOW UP
Perawatan Tanggal S (Subjektif) O (Objektif) Instruksi
Hari ke- A (Assesment) P (Planning)
1 15/03/19 S: Nyeri dada kiri, menjalar. - IVFD NaCl 20 tpm
(Interna) Sesak (-) - ISDN 10 mg 3x1 (ekstra
O: TD 160/90 mmHg ISDN 5mg jika nyeri
Thorax BP vesikuler, Rh -/-, Wh dada)
-/-, BJ I/II murn reguler, bissing - Clopidogrel 75mg 1x1
jantung (-) - Aspilet 80mg 1x1
A: - Chest Pain - Lansoprazole 30 mg 2x1
- CAD - Simvastatin 20mg 1x1
- Inj. Ranitidin
50mg/12j/iv
- Alprazolam 0.5mg 1x1
2 16/03/19 S: Nyeri dada (+), menjalar. - Terapi lanjut
(Interna) Sesak (-)
O: TD 120/80 mmHg
Thorax BP vesikuler, Rh -/-, Wh
-/-, BJ I/II murn reguler, bissing
jantung (-)
A: - Chest Pain
- CAD
3 17/03/19 S: Nyeri dada (+), sesak (-) - Terapi lanjut
(Interna) O: TD 130/90 mmHg
Thorax BP vesikuler, Rh -/-, Wh
-/-, BJ I/II murn reguler, bissing
jantung (-)
A: - Chest Pain
- CAD
4 18/03/19 S: Nyeri dada (↓), sesak (-) - Terapi lanjut
(Interna) O: TD 130/80 mmHg
Thorax BP vesikuler, Rh -/-, Wh
-/-, BJ I/II murn reguler, bissing
jantung (-)
A: - Chest Pain
- CAD
5 18/03/19 S: Nyeri dada (↓↓), KU baik - Aff Infus
(Interna) O: TD 130/80 mmHg - ISDN 10mg 3x1
Thorax BP vesikuler, Rh -/-, Wh - Clopidogrel 75mg 1x1
-/-, BJ I/II murn reguler, bissing - Aspilet 80mg 1x1
jantung (-) - Lansoprazole 30 mg 2x1
A: CAD - Alprazolam 0.5mg 1x1
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Infark miokard akut adalah kerusakan jaringan akibat gangguan aliran
darah koroner parsial hingga total ke miokard secara akut. Apabila
a.koronaria yang utama tersumbat, maka akan terjadi infark miokard
transmural yang mana kerusakan jaringannya mengenai seluruh dinding
miokard. Pada EKG tampak ST-segmen elevasi dan gelombang Q-patologis
yang disebut STEMI (ST-segmen elevasi miokard infark). STEMI merupakan
bagian dari sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pektoris
tidak stabil, infark miokard akut tanpa elevasi ST (NSTEMI) dan infark
miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) (Kabo, 2012; Liwang & Wijaya,
2014).

B. Patofisiologi

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara


mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. STEMI terjadi jika thrombus arteri koroner terjadi secara cepat
pada lokasi injuri vascular, di mana injury injuri ini dicetuskan oleh factor-
faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid (Alwi, 2009).
Adanya penumpukan lemak yang berlebihan serta infiltasi sel busa
berhubungan dengan fissure dan ruptur plak. Trombosis lokal akan terbentuk
karena ruptur plak yang sudah ada sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan
perubahan komposisi plak dan penipisan fibrous cap (protein matriks
ekstraselular) yang menutupi plak tersebut. Penelitian histologis
menunjukkan plak coroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai
fibrous cap yang tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Inti lipid yang
terdapat pada plak matur merupakan substrat utama pembentukan thrombus
yang kaya platelet. Pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP,
epinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan
melepaskan tromboksan A2 (vasokontriktor lokal dan poten). Selain itu
aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein
IIb/IIIa sehingga memiliki afinitas tinggi terhadap factor von Willebrand
(vWF) dan fibrinogen. Faktor ini akan menunjang adhesi platelet pada
permukaan trombosit dan jaringan kolagen sehingga menghasilkan aggregasi
platelet (Alwi, 2009; Kabo, 2012)
Apabila terjadi kontak dengan darah, tissue factor pada endotel yang
rusak berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade enzimatik yang
mengakibatkan konversi protrombin menjadi thrombin dan fibrinogen
menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan
mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri dari agregat trombosit dan fibrin
(Kabo, 2012; Alwi, 2009).

C. Faktor Risiko
Ada empat faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah,
yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Resiko aterosklerosis
koroner meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit yang serius jarang
terjadi sebelum usia 40 tahun. Faktor resiko lain masih dapat diubah,
sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik. Faktor-faktor
tersebut adalah abnormalitas kadar serum lipid, hipertensi, merokok, diabetes,
obesitas, faktor psikososial, konsumsi buah-buahan, diet dan alkohol dan
aktivitas.
Menurut Anand (2008), wanita mengalami kejadian infark miokard
pertama kali tahun lebih lama daripada laki-laki. Perbedaan onset infark
miokard pertama ini diperkirakan dari berbagai faktor resiko tinggi yang yang
mulai muncul pada wanita dan laki-laki ketika berusia muda. Wanita agaknya
realtif kebal terhadap penyakit ini sampai menopouse, dan kemudian menjadi
sama rentanya seperti pria. Hal ini diduga karena adanya efek perlindungan
estrogen.
Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor resiko adalah
hiperlipidemia. Hiperlipidemia adalah peningkatan kadar kolesterol atau
trigliserida serum diatas batas normal. The National Cholesterol Education
Program (NCEP) menemukan kolesterol LDL sebagai faktor penyebab
penyakit jantung koroner. The Coronary Primary Prevention Trial (CPPT)
memperlihatkan bahwa penurunan kadar kolesterol juga menurunkan
mortalitas akibat infark miokard.
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140
mmHg atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan tekanan
darah sistemik meningkatkan resistensi vaskuler terhadap pemompaan darah
dari ventrikel kiri. Akibatnya kerja jantung bertambah, sehingga ventrikel kiri
hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pompa. Bila proses aterosklerosis
terjadi, maka penyediaan oksigen untuk miokard berkurang. Tingginya
kebutuhan oksigen karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya
kadar oksigen yang tersedia.
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar
50%. seorang perokok pasif mempunyai resiko terkena infark miokard.
Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar
25-49% penyakit jantung koroner di negara berkembang berhubungan dengan
peningkatan indeks masa tubuh (IMT). Overweight didefinisikan sebagai
IMT > 25-49 kg/m2 dan obesitas dengan IMT >30 kg/m3. Obesitas sentral
adalah obesitas dengan kelebihan lemak berada di abdomen. Biasanya
keadaan ini juga berhubungan dengan kelainan metabolik seperti peninggian
kadar trigliserida, peurunan HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi
sistemik, resistensi insulin dan diabetes melitus tipe II.
Faktor psikososial seperti peningkatan seperti peningkatan steres kerja,
rendahnya dukungan sosial, personalitas yang tidak simpatik, ansietas dan
depresi secara konsisten meningkatkan resiko terkena aterosklerosis.
Resiko terkena penyakit infark miokard meningkat pada pasien yang
mengkonsumsi diet ang rendah serat , kurang vitamin C dan E dan bahan-
bahan polisistemikal. Mengkonsumsi alkohol satu atau dua sloki kecil per
hari ternyata sedikit mengurangi resiko terjadinya infark miokard. Namun,
bila mengonsumsi berlebihan, yaitu lebih dari dua sloki kecil perhari, pasien
memiliki peningkatan resiko terkena penyakit.

Faktor Resiko
Tidak dapat diubah Dapat diubah
- Usia (laki-laki >45 tahun - Hiperlipidemia (LDL-C) : batas
- Perempuan >55 tahun atau atas 130-159 mg/dl, tinggi >160
menopause prematur tanpa mg/dl
terapi penggantian estrogen - HDL-C rendah : < 30 mg/dl
- Riwayat CAD - Hipertensi
- Merokok sigaret
- Diabetes Melitus
- Obesitas
D. Manifestasi Klinik
Keluhan utama adalah sakit dada yang terutama dirasakan di daerah
sternum,bisa menjalar ke dada kiri atau kanan, ke rahang, ke bahu kiri dan
kanan dan pada lengan. Penderita melukiskan seperti tertekan, terhimpit,
diremas-remas atau kadang hanya sebagai rasa tidak enak di dada. Walau
sifatnya dapat ringan, tapi rasa sakit itu biasanya berlangsung lebih dari
setengah jam. Jarang ada hubungannya dengan aktifitas serta tidak hilang
dengan istirahat atau pemberian nitrat.
Rasa nyeri hebat sekali sehingga penderita gelisah, takut, berkeringat
dingin dan lemas. Kulit terlihat pucat dan berkeringat, serta ektremitas
biasanya terasa dingin. Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus
infark miokard berat nadi menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia
juga sering dijumpai. Tekanan darah menurun atau normal selama beberapa
jam atau hari. Dalam waktu beberapa minggu, tekanan darah kembali normal.
Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang
melemah. Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior,
terdengar pulsasi sistolik abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot
jantung. Penemuan suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas
suara jantung dan paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda
disfungsi ventrikel jantung.
Gejala klinis menurut buku Ilmu Penyakit Dalam :
1. STEMI
Gejalanya yang ditimbulkan yaitu :
Plak arteriosklerosis mengalami fisur
Rupture atau ulserasi
Jika kondisi local atau sistemik akan memicu trombogenesis,
sehingga terjadi thrombus mural pada lokasi rupture yang
mengakibatkan oklusi arteri koroner.
2. NSTEMI
Gejala yang ditimbulkan yaitu :
Nyeri dada dengan lokasi khas atau kadang kala diepigastrium dengan
ciri seperti diperas, perasaan seperti diikat, perasaan terbakar, nyeri
tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan.

E. Penegakan Diagnosis
1. Anamnesis
Nyeri dada khas infark miokard berupa nyeri dada substernal dan
menjalar ke lengan kiri, bahu, atau leher. Kualitas nyeri berupa nyeri
tumpul seperti rasa tertindih, atau rasa berat yang berlangsung lebih dari
20 menit dengan intensitas nyeri makin lama makin bertambah. Tidak
hilang dengan istirahat atau pemberian nitrat. Disertai gejala otonom
seperti keringat dingin, mual, muntah, sesak, berdebar-debar, atau lemas.
Kadang-kadang rasa nyeri tidak ada dan penderita hanya mengeluh
lemah,banyak keringat, pusing, palpitasi, dan perasaan akan mati.
2. Pemeriksaan fisik
Penderita nampak sakit, muka pucat, kulit basah, dan dingin.Tekanan
darah bisa tinggi, normal, atau rendah. Dapat ditemui bunyi jantung kedua
yang pecah paradoksal, irama gallop. Kadang-kadang ditemukan pulsasi
diskinetik yang tampak atau teraba di dinding dada pada IMA inferior.
3. EKG
Nekrosis miokard dilihat dari 12 lead EKG. Selama fase awal
miokard infark akut, EKG pasien yang mengalami oklusi total arteri
koroner menunjukkan elevasi segmen ST. Kemudian gambaran EKG
berupa elevasi segmen ST akan berkembang menjadi gelombang Q.
Sebagian kecil berkembang menjadi gelombang non-Q. Pada STEMI
inferior, ST elevasi dapat dilihat pada lead II, III, dan aVF.
4. Pemeriksaan laboratorium
Nekrosis miokardium menyebabkan pelepasan protein intraseluler,
protein intraseluler akan masuk dalam ruang interstitial dan masuk ke
sirkulasi sistemik melalui mikrovaskuler lokal dan aliran limfatik. Oleh
sebab itu, nekrosis miokard dapat dideteksi dari pemeriksaan protein
dalam darah yang disebabkan kerusakan sel. Protein-protein tersebut
antara lain aspartate aminotransferase (AST), lactate dehydrogenase,
creatine kinase isoenzyme MB (CK-MB), mioglobin, carbonic anhydrase
III (CA III), myosin light chain (MLC) dan cardiac troponin I dan T
(cTnI dan cTnT). TnT adalah yang paling sensitif dan dapat terdeteksi di
dalam darah dalam waktu 2-4 jam setelah IMA muncul. Nilai positif
troponin adalah diatas 0,1 ug/dl. Peningkatan kadar serum protein-protein
ini mengkonfirmasi adanya infark miokard.

F. Penatalaksanaan
1. Terapi Reperfusi
Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner,
meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi
kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau
takiaritmia ventrikular yang maligna.
Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai
terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time
untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor
penting terhadap luas infark dan outcome pasien.Efektivitas obat
fibrinolitik dalam menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi
fibrinolitik yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam
pertama) dapat menghentikan infark miokard dan menurunkan angka
kematian.
Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada
pasien.Jika terapi reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan fibrinolitik),
semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi fibrinolitik, maka semakin
kuat keputusan untuk memilih PCI.Jika PCI tidak tersedia, maka terapi
reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko.
Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah
PCI dapat dikerjakan.

a. Percutaneous Coronary Interventions (PCI)


Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa
didahului fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif
dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa
jam pertama infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari
fibrinolitik dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan
dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang
yang lebih baik.11,16 PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok
kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun), risiko perdarahan
meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika
bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat
fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas,
dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di
beberapa rumah sakit.
b. Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk
(door to needle time < 30 menit) bila tidak terdapat
kontraindikasi.Tujuan utamanya adalah merestorasi patensi arteri
koroner dengan cepat. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara
lain tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase
(TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan memicu konversi
plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan trombus fibrin.
Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan
penurunan elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit pemberian
fibrinolitik. Fibrinolitik tidak menunjukkan hasil pada graft vena,
sehingga pada pasien paska CABG datang dengan IMA, cara reperfusi
yang lebih disukai adalah PCI.
Kontraindikasi terapi fibrinolitik :
A. Kontraindikasi absolut
1) Setiap riwayat perdarahan intraserebral
2) Terdapat lesi vaskular serebral struktural (malformasi AV)
3) Terdapat neoplasia ganas intrakranial
4) Strok iskemik dalam 3 bulan kecuali strok iskemik akut dalam
3 jam
5) Dicurigai diseksi aorta
6) Perdarahan aktif atau diastasis berdarah (kecuali menstruasi)
7) Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3
bulan
B. Kontraindikasi relatif
1. Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali
2. Hipertensi berat tak terkendali saat masuk ( TDS >180 mmHg
atau TDS>110 mmHg)
3. Riwayat strok iskemik sebelumnya >3 bulan, dementia, atau
diketahui patologi intrakranial yang tidak termasuk
kontraindikasi
4. Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (>10menit) atau
operasi besar (<3 minggu)
5. Perdarahan internal baru dalam 2-4 minggu
6. Pungsi vaskular yang tak terkompresi
7. Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan >5 hari
sebelumnya atau reaksi alergi sebelumnya terhadap obat ini
8. Kehamilan
9. Ulkus peptikum aktif
10. Penggunaan antikoagulan baru : makin tinggi INR makin
tinggi risiko perdarahan.
C. Obat Fibrinolitik
1) Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin.
Pasien yang pernah terpajan dengan SK tidak boleh diberikan
pajanan selanjutnya karena terbentuknya antibodi. Reaksi
alergi tidak jarang ditemukan. Manfaat mencakup harganya
yang murah dan insidens perdarahan intrakranial yang rendah.
2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Global Use of
Strategies to Open Coronary Arteries (GUSTO-1) trial
menunjukkan penurunan mortalitas 30 hari sebesar 15% pada
pasien yang mendapatkan tPA dibandingkan SK. Namun, tPA
harganya lebih mahal disbanding SK dan risiko perdarahan
intrakranial sedikit lebih tinggi.
3) Reteplase (retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan
keamanan sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III
trial dengan dosis bolus lebih mudah karena waktu paruh yang
lebih panjang.
4) Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup
memperbaiki spesisfisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap
plasminogen activator inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari
TIMI 1- B menunjukkan tenekteplase mempunyai laju TIMI 3
flow dan komplikasi perdarahan yang sama dibandingkan
dengan tPA.
Terapi fibrinolitik pada STEMI akut merupakan salah
satu terapi yang manfaatnya sudah terbukti, tetapi mempunyai
beberapa risiko seperti perdarahan.

2. Terapi lainnya
ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua
pasien dengan STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-platelet
(aspirin, clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated
Heparin (UFH) / Low Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat,
penyekat beta, ACE-inhibitor, dan Angiotensin Receptor Blocker.
a. Anti trombotik
Antiplatelet dan antitrombin yang digunakan selama fase awal
STEMI berperan dalam memantapkan dan mempertahankan patensi
arteri koroner yang terkait infark. Aspirin merupakan antiplatelet
standar pada STEMI. Menurut penelitian ISIS-2 pemberian aspirin
menurunkan mortalitas vaskuler sebesar 23% dan infark non fatal
sebesar 49%.
Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah
komplikasi trombosis pada pasien STEMI yang menjalani PCI.
Penelitian ADMIRAL membandingkan abciximab dan stenting
dengan placebo dan stenting, dengan hasil penurunan kematian,
reinfark, atau revaskularisasi segera pada 20 hari dan 6 bulan pada
kelompok abciximab dan stentin.
Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis
adalah unfractionated heparin (UFH). UFH intravena yang diberikan
sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik
fibrin relatif, membantu trombolisis dan memantapkan serta
mempertahankan patensi arteri yang terkait infark.Dosis yang
direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000U)
dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000
U/jam).Activated partial thromboplastin time selama terapi
pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal
jantung kongestif, riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi
2 dimensi atau fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli
paru sistemik dan harus mendapatkan terapi antitrombin kadar
terapetik penuh (UFH atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan terapi
warfarin minimal 3 bulan.
b. Thienopiridin
Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin
untuk pasien dengan hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk
pasien dengan STEMI yang menjalani reperfusi primer atau
fibrinolitik.
Penelitian Acute Coronary Syndrome (ACOS) registry
investigators mempelajari pengaruh clopidogrel di samping aspirin
pada pasien STEMI yang mendapat perawatan dengan atau tanpa
terapi reperfusi, menunjukkan penurunan kejadian kasus jantung dan
pembuluh darah serebral (kematian, reinfark non fatal, dan stroke non
fatal). Manfaat dalam penurunan kematian terbesar pada kelompok
pasien tanpa terapi reperfusi awal (8%), yang memiliki angka
kematian 1 tahun tertinggi (18%).
c. Penyekat Beta
Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat
yaitu manfaat yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan
yang diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk
pencegahan sekunder setelah infark. Penyekat beta intravena
memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan oksigen miokard,
mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko
kejadian aritmia ventrikel yang serius.
Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian
besar pasien termasuk yang mendapatkan terapi inhibitor ACE,
kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal
jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok
jantung, hipotensi ortostatik, atau riwayat asma).
d. Inhibitor ACE
Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan
memberikan manfaat terhadap penurunan mortalitas dengan
penambahan aspirin dan penyekat beta. Penelitian SAVE, AIRE, dan
TRACE menunjukkan manfaat inhibitor ACE pada pasien dengan
risiko tinggi (pasien usia lanjut atau infark anterior, riwayat infark
sebelumnya, dan atau fungsi ventrikel kiri menurun global). Kejadian
infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor
ACE menahun pasca infark.
Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pada pasien
STEMI. Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada
pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan
pemeriksaan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri
secara global, atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau
pasien hipertensif.

G. Komplikasi

1. Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan
ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini
disebut remodelling ventricular yang sering mendahului berkembangnya
gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark.
Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan
dengan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada
apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang
nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.
2. Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama
kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia
mempunyai korelasi dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada
awal (10 hari infark) dan sesudahnya
3. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90%
terjadi selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok
kardiogenik mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.
4. Infark ventrikel kanan
Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang
berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau
tanpa hipotensi.
5. Aritmia paska STEMI
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem
saraf autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di
zona iskemi miokard.
6. Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua
pasien STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif
dalam mencegah aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI.
7. Takikardia dan fibrilasi ventrikel
Takikardi dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia
sebelumnya dalam 24 jam pertama.
8. Fibrilasi atrium
9. Aritmia supraventrikular
10. Asistol ventrikel
11. Bradiaritmia dan Blok
12. Komplikasi Mekanik
Ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur dinding
ventrikel.

H. Prognosis

Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA :


1. Klasifikasi Killip, berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana ; S3
gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik
2. Klasifikasi Forrester, berdasarkan monitoring hemodinamik indeks
jantung dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)
3. TIMI risk score, adalah sistem prognostik paling akhir yang
menggabungkan anamnesis sederhana dan pemeriksaan fisik yang dinilai
pada pasien STEMI yang mendapat terapi trombolitik.
TABEL .Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut

Klas Defenisi Mortalitas %

I Tak ada tanda gagal jantung kongestif 6

II + S3 dan atau ronki basah 17

III Edema paru 30-40

IV Syok kardiogenik 60-80

TABEL Klasifikasi Forrester untuk Infark Miokard Akut

Klas Indeks kardiak PCWP (mmHg) Mortalitas %


(L/min/m2)

I >2,2 <18 3

II >2,2 >18 9

III <2,2 <18 23

IV <2,2 >18 51
DAFTAR PUSTAKA

1. Liwang, Frans & Ika Wijaya. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4. 2012.
Jakarta: Media Aesculapius

2. Alwi, Idrus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Interna Publishing

3. Kabo, Peter. Bagaimana menggunakan obat-obat kardiovaskular secara


rasional. 2012, Balai Penerbit FKUI

4. Aaronson PI, Ward JPT. 2010. At A Glance: Sistem Kardiovaskular, Edisi


Ketiga. Jakarta: Erlangga

5. Kabo peter. 2014. Bagaimana Menggunakan Obat-Obat Kardiovaskular


Secara Rasional. Jakarta: FKUI

6. Guyton AC. Hall, JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
2007

7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. 2010.

8. Fauci, Braunwald, dkk. 17thEdition Harrison’s Principles of Internal


Medicine. New South Wales: McGraw Hill. 2010.

9. Antman EM, Hand M, Armstrong PW, et al. Focused update of the


ACC/AHA 2004 guidelines for the management of the patients with ST-
elevation myocardial infarction : a report of the American College of
Cardiology American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines. 2008;51:210–247.

10. Fesmire FM, Bardy WJ, Hahn S, et al. Clinical policy: indications for
reperfusion therapy in emergency department patients with suspected
acute myocardial infarction. American College of Emergency Physicians
Clinical Policies Subcommittee (Writing Committee) on Reperfusion
Therapy in Emergency Department Patients with Suspected Acute
Myocardial Infarction. Ann Emerg Med. 2006;48:358–383.

11. Werf FV, Bax J, Betriu A, Crea F, Falk V, Fox K, et al. Management of
acute myocardial infarction in patients presenting with persistent ST-
segment elevation: the Task Force on the Management of ST-Segment
Elevation Acute Myocardial Infarction of the European Society of
Cardiology. Eur Heart J 2008;29:2909–2945.

12. ISIS 2 Collaborative Group: Randomized trial of intravenous


streptokinase, oral aspirin, both or neither among 17.187 cases of
suspected AMI. Lancet.1986; 1:397.

13. Montalescot G, Barragan P, Wittenberg O, et al, for the ADMIRAL


(Abciximab before Direct Angioplasty and Stenting in Myocardial
Infarction Regarding Acute and Long-Term Follow Up) Investigators.
Platelet Glycoprotein IIb/IIIa inhibition with coronary stenting for acute
myocardial infarction. N Engl J Med. 2001;344:1895-903.

14. Zeymer U, Gitt AK, Jünger C, et al. Acute Coronary Syndromes (ACOS)
registry investigators Effect of clopidogrel on 1-year mortality in hospital
survivors of acute ST-segment elevation myocardial infarction in clinical
practice. Eur Heart J 2006;27:2661–66.

Anda mungkin juga menyukai