Hamin djabumona
Farida mahu
LATAR BELAKANG
Tidak lupa pula shalawat dan salam marilah sama-sama kita hanturkan kepada Baginda nabi
besar Muhammad SAW, yang telah membimbing kita dari jaman kebodohan sampai jaman ilmiah
seperti apa yang kita rasakan saat ini, dan semoga kita semua mendapatkan syafaatnya di Yaumil
akhir kelak.
Selanjutnya kami ucapkan terimakasih banyak kepada pihak yang terus mendukung dalam
penulisan makalah ini. Kami juga sebagai manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, maka kami
sadari dalam penulisan ini tentulah ada kesalahan, maka dari itu kami selaku penulis mohon saran
dan masukannya agar kelak menjadi lebih baik lagi. Dan mudah-mudahan makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
B. Rumusan masalah
BAB II PEMBAHASAAN
AGAM ISLAM
HINDU
BUDHA
KATHOLIK
PROTESTAN
KONGHUCU
KESIMPULAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Di Indonesia ini adalah negara yang kaya akan akan kebudayaan, tradisi dan adat yang
terdapat dari Sabang sampai Merauke. Dengan banyaknya kebudayaan yang ada di
Indonesia ini maka untuk tidak terjadinya suatu gejolak konflik atas maka Indonesia
berasaskan Pancasila sebagai pemersatunya, dengan semboyan bhinneka tunggal Ika.
Kemudian juga di Indonesia ini, selain kaya akan budayanya banyak juga Agama-
agama yang terdapat didalamnya seperti Islam, Katholik, Budha, Hindu, Protestan, dan
Konghucu. Akan tetapi karena Indonesia telah berasaskan Pancasila maka dengan
banyaknya Agama-agama tersebut makan Indonesia akan lebih bersatu karna Indonesia
bukanlah negara agama, kemudian juga banyak nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
B. Rumusan masalah
a. Apakah perbedaan agama yang ada bisa menimbulkan konflik?
b. Mengapa di Indonesia banyak agama-agama?
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam bingkai paradigma nasional, motto Bhineka Tunggal Ika harus mengkristal ke semua
umat beragama, sehingga menjadi pola pikir, pola sikap, dan pola tindak dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Norma kebersamaan (shared norm) dalam
realitas keragaman menjadi landasan utama bagi terbangunnya kerukunan sosial yang
tulus dan permanen. Upaya memahami agama orang lain merupakan hal paling mendasar
yang harus ada dalam relasi kehidupan keberagamaan di Indonesia.
Saling bekerjasama antar penganut dan kelompok agama merupakan puncak dari sikap
saling mengakui dan saling menghormati antar pemeluk agama. Keharmonisan kehidupan
umat beragama yang sejati akan terlihat dari adanya kesamaan keprihatinan (concern)
dan kepentingan yang terwujud dalam tujuan serta aktivitas kolektif yang bermanfaat bagi
kehidupan bersama. Pada hakikatnya semua agama mengajarkan perdamaian (peace),
dan tidak membenarkan kekerasan. Namun demikian, realitasnya tidak sedikit terjadi
aksi-aksi kekerasan atas nama agama. Salah satu alasan mengapa agama begitu mudah
dilekatkan dengan kekerasan, barangkali karena setiap agama memiliki klaim kebenaran
dan misi untuk menegakkan kebenaran tersebut. Sementara itu, banyak penganut agama
yang masih menyalahpahami perdamaian dan nirkekerasan sebagai kompromi dan
kepasifan yang berlawanan dengan misi tersebut. Damai dan konflik adalah dua sisi mata
uang yang saling berkaitan. Terjadinya suasana damai hari ini belum tentu menghapuskan
secara radikal benih konflik, karena konflik dapat muncul kembali ke permukaan yang
disebabkan faktor internal maupun eksternal.
Agama memang dapat diibaratkan seperti pedang bermata dua, di satu sisi ia dapat
menjadi perekat dan pemersatu bagi umat, namun di sisi lain ia juga dapat menjadi
pemicu konflik dalam masyarakat, hal ini tergantung cara memahaminya. Faktanya,
konflik umat beragama seringkali disebabkan oleh adanya perbedaan agama yang tidak
disikapi dengan rasa tasamuh (toleransi) dari masing-masing penganut agama. Masing-
masing merasa menjadi pemegang kebenaran yang berimplikasi bahwa orang lain
dianggap salah. Seharusnya, meyakini suatu agama sebagai “kebenaran absolut” tidak
harus dijadikan legitimasi untuk menyalahkan orang lain.
Dilema agama-agama yang paling serius adalah tatkala berhubungan dengan kalangan di
luar komunitasnya. Hampir semua agama memandang pihak lain lebih rendah, bahkan
cenderung mendiskreditkan ketika berbicara komunitas di luar dirinya. Tantangan yang
dihadapi umat beragama dewasa ini adalah menjalankan misi keagamaan tanpa
menimbulkan benturan dan kerusakan, melainkan membawa kemaslahatan; menebarkan
kebaikan kepada semua kalangan, tanpa mengkompromikan keyakinan, tetapi justru
memperkokohnya.
Agama Sebagai Pendorong Perdamaian
Selama ini, damai seringkali hanya dimaknai secara sempit sebagai ketenangan,
keselamatan, kepasrahan, dan bahkan kompromi. Perdamaian juga umumnya dipahami
sebagai gencatan senjata atau perjanjian mengakhiri pertikaian. Padahal perdamaian yang
hakiki tidak hanya mensyaratkan tiadanya kekerasan langsung, tetapi juga sirnanya
kekerasan yang lebih luas pada tataran sistem dan budaya. Agama memiliki peran sangat
penting, karena menjadi salah satu unsur yang dapat membangun etika sosial, sistem, dan
budaya masyarakat. Dalam aspek doktrin keagamaan, semua agama mengajarkan agar
penganutnya menciptakan dan memelihara kedamaian. Maraknya konflik dan kerusuhan
yang terjadi di beberapa daerah, disebabkan antara lain oleh kurangnya pengetahuan dan
pemahaman sebagian umat beragama terhadap ajaran agama lain, di samping agamanya
sendiri. Keadaan demikian menyebabkan umat beragama yang bersangkutan mempunyai
pandangan keagamaan yang sempit dan eksklusif. Akibatnya mudah menyalahkan orang
lain.
Dalam pemetaan konflik, Galtung memperkenalkan konsep segitiga konflik dan perbedaan
antara kekerasan langsung, kekerasan struktural dan kekerasan budaya, serta
memperkenalkan antara perdamaian negatif dan perdamaian positif. Peace building bagi
Galtung lebih menekankan pada proses jangka panjang, penelusuran dan penyelesaian
akar konflik, mengubah asumsi-asumsi yang kontradiktif, serta memperkuat elemen yang
dapat menghubungkan pihak-pihak yang bertikai dalam suatu formasi baru demi
mencapai perdamaian positif. Andi Knight, ilmuwan politik Kanada dalam bukunya
Building Sustainable Peace, menyatakan peace building terkait dengan dua hal esensial,
yaitu dekonstruksi struktur kekerasan dan merekonstruksi struktur perdamaian. Tujuan
utamanya adalah mencegah atau menyelesaikan konfik serta menciptakan situasi damai
melalui transformasi kultur kekerasan menjadi kultur damai.
Hubungan antar umat beragama di Indonesia kerap terganggu oleh serangkaian konflik
bernuansa kekerasan (violent conflict) yang banyak terjadi di beberapa daerah. Beberapa
konflik keagamaan yang menjadi isu nasional antara lain: konflik komunal Muslim-Kristen
di Poso (1989 -2006), konflik Muslim-Kristen di Ambon (1999-2002), konflik Gereja Yasmin
di Bogor (2008), konflik Gereja HKBP Filadelpia di Bekasi (2009), penyerangan pengikut
Ahmadiyah di Cikeusik (2011), konflik penyerangan penganut Syi’ah di Sampang (2012),
konflik pembakaran masjid di Tolikara Papua (2015), konflik pembakaran gereja di Aceh
Singkil (2015), konflik pembakaran vihara di Tanjung Balai (2016), dan pengusiran warga
Ahmadiyah di Desa Greneng Lombok Timur (2018). Meskipun secara ideal normatif tidak
ada agama yang mengajarkan konflik dan permusuhan, tetapi secara faktual-historis sikap
intoleran, primordialisme, dan radikalisme menjadi bagian dari penyebab atau sumber
konflik. Di sini letak salah satu urgensi mengapa pengarusutamaan (mainstreaming)
budaya damai perlu dilakukan bagi semua pihak terkait. Para tokoh agama berperan
untuk mengartikulasikan pemahaman keagamaan yang moderat dan sejuk, serta
mendorong lahirnya sikap masyarakat pemeluk agama yang saling menghormati terhadap
pemeluk agama lain
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
seperti itulah penjelasan mengenai beragam Agama yang ada
di Indonesia beserta Kitab Suci dan Hari Perayaan Besar masing-
masing. Keragaman Agama yang di Indonesia bukan menjadi
sebuah sumber perpecahan bagi setiap masyarakatnya. Namun,
menjadi suatu kekuatan bagi Negara Indonesia karena
keberagaman tersebut dan sifat toleransi dari setiap agama.