Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Medis Penyakit Skizofrenia

1. Definisi

Skizofrenia adalah suatu bentuk psikosa fungsional dengan gangguan

utama pada proses pikir serta disharmoni (keretakan, perpecahan)

antara proses pikir, afek atau emosi, kemauan dan psikomotor disertai

distorsi kenyataan, terutama karena waham dan halusinasi, asosiasi

terbagi-bagi sehingga timbul inkoherensi (Direja, 2015).

2. Tanda gejala

Menurut Hawari (2017), gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi dalam 2

(dua) kelompok yaitu gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif

merupakan gejala yang mencolok, mudah dikenali, menganggu

keluarga dan masyarakat serta merupakan salah satu motivasi keluarga

untuk membawa pasien berobat. Salah satu gejala positif yang paling

sering terjadi pada pasien skizofrenia adalah halusinasi. Menurut

Maramis (2016) Pasien skizofrenia diperkirakan lebih dari 90%

mengalami halusinasi, yaitu gangguan persepsi dimana klien

mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi dan menurut

Yosep (2016) halusinasi bila dibiarkan dan tidak mendapatkan

pengobatan maupun perawatan yang maksimal, lebih lanjut dapat

menyebabkan perubahan perilaku seperti agresi, bunuh diri, menarik


diri dari lingkungan dan dapat membahayakan diri sendiri, orang lain

dan lingkungan.

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui

penyebab dari halusinasi (Stuart, 2015), yaitu:

a. Pemeriksaan darah dan urine, untuk melihat kemungkinan infeksi

serta penyalahgunaan alkohol dan NAPZA.

b. EEG (elektroensefalogram), yaitu pemeriksaan aktivitas listrik otak

untuk melihat apakah halusinasi disebabkan oleh epilepsi.

c. Pemindaian CT scan dan MRI, untuk mendeteksi stroke serta

kemungkinan adanya cedera atau tumor di otak.

4. Penatalaksanaaan

Penatalaksanaan medis pada pasien halusinasi yang mengarah pada

diagnosa medis skizofrenia, khususnya dengan halusinasi, yaitu:

a. Psikofarmakologi

Menurut Hawari (2017), jenis obat psikofarmaka, dibagi dalam 2

golongan yaitu:

1) Golongan generasi pertama (typical)

Obat yang termasuk golongan generasi pertama, misalnya:

Chorpromazine HCL (Largactil, Promactil, Meprosetil),

Trifluoperazine HCL (Stelazine), Thioridazine HCL (Melleril), dan

Haloperidol (Haldol, Govotil, Serenace).

2) Golongan kedua (atypical)

8
Obat yang termasuk generasi kedua, misalnya: Risperidone

(Risperdal, Rizodal, Noprenia), Olonzapine (Zyprexa), Quentiapine

(Seroquel), dan Clozapine (Clozaril).

b. Psikotherapi

Terapi kejiwaan atau psikoterapi pada klien, baru dapat diberikan

apabila klien dengan terapi psikofarmaka sudah mencapai tahapan

dimana kemampuan menilai realitas sudah kembali pulih dan

pemahaman diri sudah baik. Psikotherapi pada klien dengan gangguan

jiwa adalah berupa terapi aktivitas kelompok (TAK).

c. Terapi somatik

Beberapa jenis terapi somatik, yaitu:

1) Restrain

Restrain adalah terapi dengan menggunakan alat-alat mekanik atau

manual untuk membatasi mobilitas fisik klien (Riyadi & Purwanto,

2015).

2) Seklusi

Seklusi adalah bentuk terapi dengan mengurung klien dalam ruangan

khusus (Riyadi & Purwanto, 2015).

3) Foto therapy atau therapi cahaya

Foto terapi atau sinar adalah terapi somatik pilihan. Terapi ini

diberikan dengan memaparkan klien sinar terang (5-20 kali lebih

terang dari sinar ruangan) (Riyadi & Purwanto, 2015).

4) ECT (Electro Convulsif Therapie)

9
ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik

dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik

(Riyadi & Purwanto, 2015).

d. Rehabilitasi

Rehabilitasi merupakan suatu kelompok atau komunitas

dimana terjadi interaksi antara sesama penderita dan dengan para

pelatih (sosialisasi), pada masa rehabilitasi ini juga pasien dapat

diberikan terapi musik instrumental.

B. Konsep Dasar Masalah Keperawatan Halusinasi

1. Definsi

Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana klien

mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi, suatu pencerapan

panca indera tanpa ada rangsangan dari luar (Maramis, 2016). Halusinasi

adalah terganggunya persepsi sensori seseorang, dimana tidak terdapat

stimulus (Yosep, 2016). Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia

dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan ekternal

(dunia luar). Klien memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan

tanpa ada objek atau rangsangan yang nyata (Direja, 2015).

Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

halusinasi adalah suatu gangguan persepsi dimana klien mempersepsikan

sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi, tanpa ada objek atau rangsangan yang

nyata.

10
2. Data Mayor Minor

Menurut Keliat et al., (2019) tanda dan gejala halusinasi dikategorikan

menjadi mayor dan minor, yaitu:

a. Mayor

1) Subyektif: mendengar suara orang bicara tanpa ada orangnya, melihat

benda, orang atau sinar tanpa ada objeknya, menghidu bau-bauan

yang tidak sedap seperti bau badan padahal tidak, merasa pengecapan

yang tidak enak, merasakan rabaan atau gerakan badan.

2) Objektif: bicara sendiri, tertawa sendiri, melihat ke satu arah,

mengarahkan telinga kea rah tertentu, tidak dapat memfokuskan

pikiran, diam sambil menikmati halusinasinya.

b. Minor

1) Subjektif: sulit tidur, khawatir, takut.

2) Objektif: konsentrasi buruk, disorientasi waktu, tempat, orang atau

situasi, afek datar, curiga, menyendiri, melamun, mondar-mandir,

kurang mampu merawat diri.

3. Etiologi halusinasi

Faktor-faktor penyebab halusinasi menurut Stuart (2015) terdiri dari

faktor predisposisi dan faktor presipitasi, yaitu:

a. Faktor predisposisi

1) Biologis

Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan

respon neurobiologist yang maladaptif baru mulai dipahami.

2) Psikologis

11
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi

respon dan kondisi psikologis klien.

3) Sosial budaya

Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi seperti

kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusahan, bencana alam)

dan kehidupan yang terisolasi disertai stres.

b) Faktor presipitasi

Faktor presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah:

1) Biologis

Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak yang mengatur

proses informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk

dalam otak akibat ketidakmampuan untuk secara selektif menanggapi

stimulus yang diterima oleh otak untuk diinterpresikan.

2) Stres lingkungan

Ambang toleransi terhadap stres yang berinteraksi terhadap stressor

lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.

3) Sumber koping

Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi

stressor.

4. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan medis pada pasien halusinasi yang mengarah pada

diagnosa medis skizofrenia, khususnya dengan halusinasi, yaitu:

a. Psikofarmakologi

12
Menurut Hawari (2017), jenis obat psikofarmaka, dibagi dalam 2

golongan yaitu:

1) Golongan generasi pertama (typical)

Obat yang termasuk golongan generasi pertama, misalnya:

Chorpromazine HCL (Largactil, Promactil, Meprosetil),

Trifluoperazine HCL (Stelazine), Thioridazine HCL (Melleril), dan

Haloperidol (Haldol, Govotil, Serenace).

2) Golongan kedua (atypical)

Obat yang termasuk generasi kedua, misalnya: Risperidone

(Risperdal, Rizodal, Noprenia), Olonzapine (Zyprexa), Quentiapine

(Seroquel), dan Clozapine (Clozaril).

b. Psikotherapi

Terapi kejiwaan atau psikoterapi pada klien, baru dapat diberikan

apabila klien dengan terapi psikofarmaka sudah mencapai tahapan

dimana kemampuan menilai realitas sudah kembali pulih dan

pemahaman diri sudah baik. Psikotherapi pada klien dengan gangguan

jiwa adalah berupa terapi aktivitas kelompok (TAK).

c. Terapi somatik

Beberapa jenis terapi somatik, yaitu:

1) Restrain

Restrain adalah terapi dengan menggunakan alat-alat mekanik atau

manual untuk membatasi mobilitas fisik klien (Riyadi & Purwanto,

2015).

13
2) Seklusi

Seklusi adalah bentuk terapi dengan mengurung klien dalam ruangan

khusus (Riyadi & Purwanto, 2015).

3) Foto therapy atau therapi cahaya

Foto terapi atau sinar adalah terapi somatik pilihan. Terapi ini

diberikan dengan memaparkan klien sinar terang (5-20 kali lebih

terang dari sinar ruangan) (Riyadi & Purwanto, 2015).

4) ECT (Electro Convulsif Therapie)

ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik

dan menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik

(Riyadi & Purwanto, 2015).

d. Rehabilitasi

Rehabilitasi merupakan suatu kelompok atau komunitas

dimana terjadi interaksi antara sesama penderita dan dengan para

pelatih (sosialisasi), pada masa rehabilitasi ini juga pasien dapat

diberikan terapi musik instrumental.

Terapi Musik Instrumental

1. Definisi

Terapi musik adalah keahlian menggunakan musik atau elemen

musik untuk meningkatkan, mempertahankan, serta mengembalikan

kesehatan mental, fisik, emosional dan spiritual (Setyoadi & Kushariyadi,

2018). Terapi musik adalah teknik yang digunakan untuk penyembuhan

suatu penyakit dengan menggunakan bunyi atau irama tertentu. Jenis musik

14
yang digunakan dalam terapi musik dapat disesuaikan dengan keinginan,

misalnya musik klasik, instrumentalia, musik berirama santai, orchestra dan

musik modern lainnya (Potter & Perry, 2015).

Musik instrumental adalah suatu komposisi atau rekaman musik

tanpa lirik atau vokal yang dihasilkan melalui alat musik. Pada lagu populer,

musik instrumental menggunakan sedikit unsur suara manusia, seperti jazz,

musik elektronika, dan sejumlah besar musik klasik Eropa. Pada musik

komersial, beberapa lagu pada suatu album mungkin berupa instrumental

yang merupakan salinan sama persis dari lagu dalam album tersebut, tanpa

adanya unsur vokal. Kompleksitas musik instrumental merangsang

kompleksitas bagian otak, makin banyak bagian otak makin beragam

kemampuan manusia. Ada beberapa jenis musik instrumental yang dianggap

memiliki dampak yang relatif universal oleh sebagian besar orang. Musik-

musik memiliki kesan dan dampak psikofisik yang relatif sama, seperti

menimbulkan kesan rileks, santai, cenderung membuat detak nadi bersifat

konstan, memberi dampak menenangkan dan menurunkan stress (Bellavia,

2015).

Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa terapi

musik instrumental adalah teknik dengan menggunakan musik, bunyi atau

irama berupa instrumental (komposisi atau rekaman musik tanpa lirik atau

vocal) untuk meningkatkan, mempertahankan, serta mengembalikan

kesehatan mental, fisik, emosional dan spiritual.

15
2. Tujuan

Berikut merupakan tujuan terapi musik intrumental menurut Yanuarita

(2015), Sahpitri (2014) dan Campbell (2018) terdapat sepuluh tujuan terapi

musik, yaitu:

a. Relaksasi, mengistirahatkan tubuh dan pikiran

Terapi musik dapat memberikan kesempatan bagi tubuh dan

pikiran untuk mengalami relaksasi yang sempurna. Dalam kondisi

relaksasi yang sempurna tersebut, seluruh sel dalam tubuh akan

mengalami reproduksi, penyembuhan alami berlangsung serta produksi

hormon tubuh diseimbangkan dan pikiran mengalami penyegaran.

b. Meningkatkan kecerdasan

Penelitian yang dilakukan oleh Frances Rauscher et.all dari

Universitas California telah membuktikan tentang hal ini. Penelitian ini

juga membuktikan masa dalam kandungan dan bayi adalah waktu yang

tepat menstimulasi otak anak agar menjadi cerdas.

c. Meningkatkan motivasi

Motivasi merupakan hal yang hanya bisa dihasilkan dari perasaan

dan mood (suasana hati) tertentu. Dari hasil penelitian, ternyata jenis

musik tertentu bisa meningkatkan motivasi, semangat dan meningkatkan

level energi seseorang.

d. Pengembangan diri

Musik yang didengarkan menentukan kualitas pribadi diri. Hasil

penelitian membuktikan bahwa seseorang yang mempunyai masalah

perasaan, biasanya cenderung mendengarkan musik yang sesuai dengan

16
perasaanya. Apabila musik yang didengarkan adalah musik motivasi,

perasaan yang bermasalah akan berubah secara sendirinya menjadi lebih

menyenangkan.

e. Meningkatkan kemampuan mengingat

Terapi musik dapat meningkatkan daya ingat dan mencegah

kepikunan. Hal ini terjadi karena bagian otak yang memproses musik

terletak berdekatan dengan memori (ingatan). Atas dasar inilah maka

banyak sekolah-sekolah modern di Amerika dan Eropa untuk

meningkatkan prestasi akademik siswa menerapkan terapi musik.

f. Kesehatan jiwa

Berawal dari pendapat seorang ilmuan Arab, Abu Nasr al-Farabi

(873-950 M) yang dituangkan dalm bukunya “Great Book About

Music”, yaitu musik dapat membuat rasa tenang, sebagai pendidikan

moral, mengendalikan emosi, pengembangan spiritual, serta

penyembuhan gangguan psikologi.

g. Mengurangi rasa sakit

Musik berkerja pada sistem saraf otonom yaitu bagian sistem saraf

yang bertanggung jawab mengontrol tekanan darah, denyut jantun, fungsi

otak, mengontrol perasaan dan emosi. Ketika seseorang sakit, dia akan

merasa takut, frustasi dan marah, hal inilah yang membuat otot-otot

tubuh menjadi menegang sehingga menyebabkan rasa sakit yang semakin

parah. Mendengarkan musik dapat menimbulkan rasa rileks untuk

meregangkan otot-otot yang tegang.

17
h. Menyeimbangkan tubuh

Menurut penelitian para ahli, stimulasi musik membantu

menyeimbangkan organ keseimbangan yang terdapat di telinga dan otak.

Jika organ keseimbangan sehat, maka kerja organ tubuh lainnya juga

menjadi seimbang dan lebih sehat.

i. Meningkatkan kekebalan tubuh

Riset yang dilakukan para ahli mengenai efek musik terhadap

tubuh manusia, telah menyimpulkan bahwa: Apabila jenis musik yang

didengar sesuai dan dapat diterima oleh tubuh manusia, dapat bereaksi

dengan mengeluarkan sejenis hormon (serotonin). Hormon tersebut dapat

menimbulkan rasa nikmat sehingga tubuh akan menjadi lebih kuat

dengan mmeningkatnya sistem kekebalan tubuh dan membantu menjdi

lebih sehat.

j. Meningkatkan olahraga

Mendengarkan musik ketika berolahraga dapat menjadikan

olahraga yang lebih baik dengan beberapa cara, di antaranya

meningkatkan daya tahan, meningkatkan mood dan mengalihkan dari

setiap pengalaman yang tidak nayaman selama olahraga.

18
3. Prinsip Pelaksanaan

Terapi musik sangat mudah diterima organ pendengaran dan

kemudian melalui saraf pendengaran disalurkan ke bagian otak yang

memroses emosi. Musik klasik mampu memperbaiki konsentrasi, ingatan

dan persepsi spasial. Pada gelombang otak, gelombang alfa mencirikan

perasaan ketenangan dan kesadaran yang gelombangnya mulai delapan

hingga 13 hertz. Semakin lambat gelombang otak, semakin santai, puas dan

damailah perasaan kita, jika seseorang melamun atau merasa dirinya berada

dalam suasana hati yang emosional atau tidak terfokus, musik klasik dapat

membantu memperkuat kesadaran dan meningkatkan organisasi metal

seseorang jika didengarkan selama 10-15 menit (Damayanti, Jumaini, &

Utami, 2015).

Prinsip dalam terapi musik menurut Sahpitri (2015), meliputi:

a. Semua makhluk hidup adalah musikal dan masing-masing memiliki

design tersendiri dalam proses penyembuhan.

b. Musik merupakan ekpresi dari emosi yang ditimbulkan oleh faktor-faktor

dalam musik itu sendiri.

c. Musik merupakan fasilitator antara terapis dengan tubuh klien, sehingga

tubuh atau fisik akan memberi respon terhadap energi yang dialirkan.

d. Musik merupakan sumber emosi kebahagiaan, karena musik

menghasilkan hormon betha-endorphin dalam tubuh manusia.

e. Secara alamiah musik memberi hiburan bagi manusia, melalui tarian,

drama, nyanyian dan sebagainya

19
4. Prosedur Pengunaan

Menurut Setyoadi & Kushariyadi (2018), langkah-langkah

pemberian terapi musik, yaitu.

a. Persiapan

1) Persiapan alat dan lingkungan

a) Kursi dan meja

b) Kaset CD musik rindik, tape recorder atau mp3 jenis musik klasik

c) Lingkungan yang tenang, nyaman dan bersih

2) Persiapan klien

a) Jelaskan tujuan, manfaat, prosedur pelaksanaan, serta meminta

persetujuan klien untuk mengikuti terapi musik

b) Posisikan tubuh klien secara nyaman dan rileks

b. Prosedur

1) Memberi kesempatan klien memilih jenis musik

2) Mengaktifkan tape recorder dan mengatur volume suara sesuai dengan

selera klien.

3) Mempersilakan klien mendengarkan musik selama minimal 15 menit.

4) Saat klien mendengarkan musik arahkan untuk focus dan rileks

terhadap lagu yang didengar dan melepaskan semua beban yang ada.

5) Setelah musik berhenti klien dipersilakan mengungkapkan perasaan

yang muncul saat musik tersebut diputar serta perubahan yang terjadi

dalam dirinya.

20
Adapun SPO Terapi Musik Instrumental, yaitu sebagai berikut:

Tabel 2.1 SPO Terapi Musik Instrumental

NO PROSEDUR

Teknik terapi yang digunakan untuk penyembuhan suatu penyakit


dengan menggunakan bunyi atau irama tertentu. Jenis musik yang
digunakan dalam terapi musik dapat disesuaikan dengan
keinginan, misalnya musik instrumentalia, klasik, musik berirama
santai, orchestra, dan musik modern lainnya

B. Tujuan
Sebagai acuan dalam proses memberikan terapi musik intrumental
kepada pasien dengan gangguan jiwa

C. Prosedur

1. Persiapan

a. Membuat kontrak dengan klien sesuai dengan indikasi

b. Mempersiapkan alat (kursi, meja dan audiotape recorde/mp3),


lingkungan yang tenang, nyaman dan bersih serta persiapan
pasien.

2. Orientasi
a. Mengucapkan salam terapeutik

b. Menanyakan perasaan klien dan menjelaskan tujuan kegiatan

c. Menjelaskan aturan main:


- Klien harus mengikuti kegiatan dari awal sampai akhir
- Bila ingin keluar dari kelompok harus meminta izin
- Lama kegiatan 15 menit
3. Kerja

a. Memberikan kesempatan pasien jenis musik yang akan


didengarkan atau terapis memberikan terapi sesuai dengan
kebutuhan pasien

b. Mengakifkan audiotape recoder/mp3 dan mengatur volume suara


sesuai dengan selera pasien

21
c. Mempersilakan pasien mendengarkan musik selama minimal 15
menit

d. Mengarahkan agar pasien tetap fokus dengan lagu yang


didengarkannya

4. Terminasi

a. Menanyakan perasaan klien setelah selesai diberikan terapi musik

b. Memberi pujian atas keberhasilan pasien

c. Menganjurkan agar klien untuk melakukan terapi musik secara


teratur

C. Asuhan Keperawatan Pasien dengan: Halusinasi

1. Pengkajian

Data penting yang perlu dikaji pada pasien dengan halusinasi

(Damaiyanti & Iskandar, 2017) yaitu:

a. Jenis halusinasi

1) Halusinasi Pendengaran

Data Objektif: Bicara atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab,

menyedengkan telinga kearah tertentu, menutup telinga.

Data Subjektif: Mendengar suara-suara atau kegaduhan, mendengar

suara yang mengajak bercakap-cakap, mendengar suara menyuruh

melakukan sesuatu yang berbahaya.

2) Halusinasi Penglihatan

Data Objektif : Menunjuk-nunjuk kearah tertentu, ketakutan pada

sesuatu yang tidak jelas.

Data Subjektif : Melihat bayangan, sinar, bentuk kartoon, melihat

hantu atau monster.

22
3) Halusinasi Penghidu

Data Objektif : Menghidu seperti sedang membaui bau-bauan tertentu,

menutup hidung.

Data Subyektif : Membaui bau-bauan seperti bau darah, urin, faeces,

kadang-kadang bau itu menyenangkan.

4) Halusinasi Pengecap

Data Objektif : Sering meludah, muntah.

Data Subyektif : Merasakan rasa seperti darah, urin atau faeces.

5) Halusinasi Perabaan

Data Objektif : Menggaruk-garuk permukaan kulit.

Data Subyektif : Mengatakan ada serangga di permukaan kulit, merasa

seperti tersengat listrik.

b. Isi halusinasi.

Data dikaji dengan menanyakan suara siapa yang didengar, berkata

apabila halusinasi yang dialami adalah halusinasi dengar, atau apa bentuk

bayangan yang dilihat oleh klien bila jenis halusinasinya adalah

halusinasi penglihatan, bau apa yang tercium untuk halusinasi penghidu,

rasa apa yang dikecap untuk halusinasi pengecapan, atau merasakan apa

di permukaan tubuh bila halusinasi perabaan.

c. Waktu dan frekuensi halusinasi.

Data dikaji dengan menanyakan kepada klien kapan pengalaman

halusinasi muncul, berapa kali sehari, seminggu atau bulan, pengalaman

halusinasi itu muncul, bila mungkin klien diminta menjelaskan kapan

persisnya waktu terjadi halusinasi tersebut. Informasi ini penting untuk

23
mengidentifikasi pencetus halusinasi dan menentukan bilamana klien

perlu diperhatikan saat mengalami halusinasi.

d. Situasi pencetus halusinasi

Perlu diidentifikasi situasi yang dialami klien sebelum mengalami

halusinasi. Data dapat dikaji dengan menanyakan kepada klien peristiwa

atau kejadian yang dialami sebelum halusinasi muncul. Selain itu, juga

bisa mengobservasi apa yang dialami klien menjelangkan muncul

halusinasi untuk memvalidasi pernyataan klien.

e. Respon klien.

Untuk menentukan sejauh mana halusinasi telah mempengaruhi klien

bisa dikaji dengan menanyakan apa yang dilakukan oleh klien saat

mengalami pengalaman halusinasi. Apakah klien masih bisa

mengontrol stimulus halusinasi atau sudah tidak berdaya lagi terhadap

halusinasi.

Menurut Keliat et al., (2019) tanda dan gejala halusinasi dikategorikan

menjadi mayor dan minor, yaitu:

a. Mayor

1) Subyektif: mendengar suara orang bicara tanpa ada orangnya, melihat

benda, orang atau sinar tanpa ada objeknya, menghidu bau-bauan

yang tidak sedap seperti bau badan padahal tidak, merasa pengecapan

yang tidak enak, merasakan rabaan atau gerakan badan.

2) Objektif: bicara sendiri, tertawa sendiri, melihat ke satu arah,

mengarahkan telinga kea rah tertentu, tidak dapat memfokuskan

pikiran, diam sambil menikmati halusinasinya.

24
b. Minor

3) Subjektif: sulit tidur, khawatir, takut.

4) Objektif: konsentrasi buruk, disorientasi waktu, tempat, orang atau

situasi, afek datar, curiga, menyendiri, melamun, mondar-mandir,

kurang mampu merawat diri.

2. Diagnosa Keperawatan

Penulisan diagnosa keperawatan menurut Keliat et al., (2019) adalah:

a. Halusinasi

b. Kurang tidur

c. Isolasi sosial

d. Mengurung diri

e. Kurang kegiatan social

3. Intervensi Keperawatan

Beberapa tujuan dari asuhan keperawatan menurut Keliat et al.,

(2019) adapun tujuan dan intervensi asuhan keperawatan pada pasien

dengan halusinasi, yaitu:

a. Tujuan asuhan keperawatan

c. Intervensi keperawatn

1) Kaji tanda dan gejala halusinasi, penyebab dan kemampuan pasien

mengatasinya.

2) Jelaskan terjadinya halusinasi

3) Tidak mendukung dan tidak membantah halusinasi pasien.

4) Latih pasien melawan halusinasi dengan menghardik.

5) Latih pasien mengabaikan halusinasi dengan bersikap cuek.

25
6) Latih pasien mengalihkan halusinasi dengan bercakap-cakap dan

melakukan kegiatan teratur (terapi musik).

7) Latih pasien minum secara benar.

8) Diskusikan manfaat yang didapatkan setelah mempraktikkan latihan

mengendalikan halusinasi.

9) Berikan pujian pada pasien saat mampu mempraktikkan latihan

mengendalikan halusinasi.

Menurut Damaiyanti & Iskandar (2017) stategi pelaksanaan (SP)

pada pasien halusinasi, terdiri dari SP pasien dan SP Keluarga, yaitu:

1) SP 1 Pasien

a) Identifikasi jenis halusinasi pasien

b) Identifikasi isi halusinasi pasien

c) Identifikasi waktu halusinasi pasien

d) Identifikasi frekuensi halusinasi pasien

e) Diskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien

f) Beri pendidikan kesehatan tentang pengertian halusinasi, jenis

halusinasi yang dialami pasien, tanda dan gejala halusinasi, serta

proses terjadinya halusinasi

g) Jelaskan cara merawat pasien dengan halusinasi

2) SP 2 Pasien

a) Evaluasi jadwal kegiatan harian pasien

b) Latih pasien mengendalikan halusinasi dengan cara bercakap-cakap

dengan orang lain

c) Anjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

26
3) SP 3 Pasien

a) Evaluasi jadwal kegiatan harian pasien

b) Latih pasien mengendalikan halusinasi dengan cara melakukan

kegiatan

c) Anjurkan pasien memasukan kedalam jadwal kegiatan harian

4) SP 4 Pasien

a) Evaluasi jadwal kegiatan harian pasien

b) Beri pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara teratur

c) Anjurkan pasien memasukkan kedalam jadwal kegiatan harian

5) SP 1 Keluarga

a) Identifikasi situasi yang dapat menimbulkan halusinasi pasien

b) Identifikasi respon pasien terhadap halusinasi

c) Ajarkan pasien menghardik halusinasi

d) Anjurkan pasien memasukkan cara menghardik ke dalam kegiatan

harian

6) SP 2 Keluarga

a) Latih keluarga mempraktikan cara merawat pasien dengan halusinasi

b) Latih keluarga melakukan cara merawat langsung pada pasien

halusinasi

7) SP 3 Keluarga

a) Bantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum

obat (perencanaan pulang)

b) Jelaskan tindakan tindak lanjut pasien setelah pulang

27
4. Impelementasi Keperawatan

Difokuskan pada pemberian terapi musik instrumental, dengan

menggunakan strategi pelaksanaan (SP), sebagai berikut:

a. SP 1 Pasien

1) Mengidentifikasi jenis halusinasi pasien

2) Mengidentifikasi isi halusinasi pasien

3) Mengidentifikasi waktu halusinasi pasien

4) Mengidentifikasi frekuensi halusinasi pasien

5) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat

pasien

6) Memberikan pendidikan kesehatan tentang pengertian halusinasi, jenis

halusinasi yang dialami pasien, tanda dan gejala halusinasi, serta

proses terjadinya halusinasi

7) Menjelaskan cara merawat pasien dengan halusinasi

b. SP 2 Pasien

1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien

2) Melatih pasien mengendalikan halusinasi dengan cara bercakap-cakap

dengan orang lain

3) Menganjurkan pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

c. SP 3 Pasien

1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien

2) Melatih pasien mengendalikan halusinasi dengan cara melakukan

kegiatan

3) Menganjurkan pasien memasukan kedalam jadwal kegiatan harian

28
d. SP 4 Pasien

1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien

2) Memberikan pendidikan kesehatan tentang penggunaan obat secara

teratur

3) Menganjurkan pasien memasukkan kedalam jadwal kegiatan harian

e. SP 1 Keluarga

1) Mengidentifikasi situasi yang dapat menimbulkan halusinasi pasien

2) Mengidentifikasi respon pasien terhadap halusinasi

3) Mengajarkan pasien menghardik halusinasi

4) Menganjurkan pasien memasukkan cara menghardik ke dalam

kegiatan harian

f. SP 2 Keluarga

1) Melatih keluarga mempraktikan cara merawat pasien dengan

halusinasi

2) Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung pada pasien

halusinasi

g. SP 3 Keluarga

1) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk

minum obat (perencanaan pulang)

2) Menjelaskan tindakan tindak lanjut pasien setelah pulang

5. Evaluasi

Hasil evaluasi yang didapatkan pada asuhan keperawatan pada pasien


dengan halusinasi adalah penurunan tanda dan gejala halusinasi, dan
peningkatan kemampuan pasien mengendalikan halusinasi, dengan kriteria
hasil:

29
a. Kognitif, pasien mampu: menyebutkan penyebab halusinasi,

menyebutkan karakteristik halusinasi yang dirasakan (jenis, isi,

frekuensi, durasi, waktu, situasi yang menyebabkan dan respons),

menyebutkan akibat yang ditimbulkan dari halusinasi, menyebutkan cara

yang selama ini digunakan untuk mengendalikan halusinasi dan

menyebutkan cara mengendalikan halusinasi yang tepat.

b. Psikomotor, pasien mampu: melawan halusinasi dengan menghardik,

mengabaikan halusinasi dengan bersikap cuek, mengalihan halusinasi

dengan cara distraksi yaitu bercakap-cakap dan melakukan aktivitas

(terapi musik), minum obat secara teratur.

c. Afektif, pasien mampu: merasakan manfaat cara-cara mengatasi

halusinasi, membedakan perasaan sebelum dan sesudah latihan.

30

Anda mungkin juga menyukai