Anda di halaman 1dari 3

Seimbangkan PTM dan Pembelajaran Online

Sejumlah sekolah di berbagai daerah mulai menyelenggarakan Pembelajaran Tatap Muka


Terbatas (PTMT). Dilaksanakannya Pembelajaran Tatap Muka (PTM) menua pro dan kontra di
kalangan masyarakat; yang pro beralasan karena pembelajaran online yang sudah nyaris
setahun setengah lebih berjalan meningkatkan learning loss serta memperparah learning gap.

Bagi yang kontra, PTM bisa menjadi kluster baru penyebaran Covid-19 yang mulai melandai, dan
memilih untuk tetap mengedepankan keselamatan. Kasus Covid yang tinggi pada anak-anak --
12,6% anak positif Covid 19 (Satgas Covid-19, 25/6/2021)-- masih menghantui orangtua. Ini
menjadi wajar karena mengedepankan keselamatan jiwa di atas segalanya.

Kalau kita merujuk pada kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim
bersama dengan Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Kesehatan, panduan
PTMT memang sudah sangat ketat; mematuhi prokes, pendidik harus sudah divaksin, PTM
hanya dilaksanakan 50% dan dikombinasikan dengan PJJ, kantin sekolah ditutup, serta kegiatan
ekstra ditiadakan.

Tapi kita juga harus belajar dari kejadian sebelumnya, ketika pemerintah mengeluarkan
kebijakan PTMT dengan buku panduan pembelajarannya pada awal Juni 2020, tapi pada akhir
Juni pemerintah kembali mengoreksi kebijakan PTMT seiring dengan kian melonjaknya kasus
Covid-19 sehingga nyaris semua sekolah kembali melaksanakan PJJ. Kejadian itu memang tak
diharapkan terulang, tapi kita harus siap dengan segala kemungkinan yang terjadi, yakni
melaksanakan PTM dengan protokol yang ketat sambil juga meningkatkan kualitas
pembelajaran online.

Pendidikan yang Hilang

Pendidikan adalah proses menuntun, mengetahui, dan melatih peserta didik agar menjadi
manusia seutuhnya dengan belajar dari proses kehidupan. Selama masa pandemi Covid-19, ada
banyak yang hilang dari proses pendidikan. Berdasarkan banyak kajian, pembelajaran online
belum maksimal sehingga learning loss dan learning gap serta hilangnya penguatan karakter
peserta didik menjadi ancaman serius bagi masa depan.

Learning loss terjadi karena kualitas pembelajaran yang hanya memindahkan ruang kelas ke
dalam kelas online telah membuat anak jenuh, motivasi belajar anak rendah, serta orangtua
yang juga stres. Pendekatan, strategi, dan teknik mengajar online ternyata belum bisa
membangkitkan gairah peserta didik. Ini tentu bisa dimaklumi karena Covid-19 datang sebagai
bencana yang tak direncanakan, tapi ini bisa menjadi pelajaran bagi semua untuk berbenah ke
depannya.
Sedangkan learning gap terjadi karena adanya disparitas infrastruktur. Indonesia memiliki 75
ribu desa dan 20 ribu di antaranya belum terhubung internet. Indonesia juga memiliki 214 ribu
sekolah, ada 80 ribu sekolah yang belum terhubung ke internet. Ironisnya sekolah yang
terhubung ke internet hanya digunakan jaringannya saat UNBK, alias saat ujung akhir sekolah
saja. Dalam keseharian jaringan itu tak digunakan, bagaimana guru dan peserta didik menjadi
terlatih dalam literasi digital.

Bagi daerah perkotaan yang tingkat literasi digital dan teknologinya sudah berkembang, proses
pembelajaran online berjalan lebih optimal. Makanya ada sebuah penelitian, dilakukan
Cambridge Internasional pada 2018, yang menunjukkan bahwa pelajar Indonesia adalah salah
satu pengguna teknologi tertinggi tertinggi di dunia dalam penggunaan ruang komputer (40),
disusul dengan Amerika Serikat.

Riset itu juga dikonfirmasi dengan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII)
2018 juga menunjukkan, penetrasi pengguna internet dalam bidang pendidikan juga tinggi. Ada
sekitar tujuh dari sepuluh siswa dan 92 persen mahasiswa menggunakan internet (Pancawati,
2020).

Persoalan itu muncul ketika kita melihat data itu secara keseluruhan; akan muncul ketimpangan.
Dari data pengguna internet itu, ternyata separuh lebih berada di Pulau Jawa, disusul wilayah
Sumatera (21,6 persen), kemudian 10,9 persen di kawasan Sulawesi-Maluku-Papua (10,9%), lalu
di Kalimantan sebanyak 6,6 persen, serta Bali dan Nusa Tenggara sebanyak 5,2 persen
(Asosiasi Penyelenggara jasa Internet Indonesia, 2019).

Ketimpangan pengguna internet antara Jawa dan luar Jawa memang masih menjadi kendala
utama. Kalau kita lihat Kontribusi Pengguna Internet per Provinsi di Sumatera dari Seluruh
Pengguna Internet paling tinggi adalah Sumatera Utara (6,3%), disusul Sumatera Barat (2,6%),
Riau (2,1%), Jambi (1,4%) dan yang paling rendah adalah bangka Belitung (0,8%).

Untuk Kontribusi Pengguna Internet per Provinsi di Kalimantan dari Seluruh Pengguna Internet
paling tinggi adalah Provinsi Kalimantan Barat (2,1%) dan paling rendah adalah Kalimantan
Utara (0,3%). Sementara Kontribusi Pengguna Internet per Provinsi di Jawa dari Seluruh
Pengguna Internet paling tinggi adalah Jawa Barat (16,7%) dan paling rendah adalah Jogjakarta
(1,6%).

Dan, Kontribusi Pengguna Internet per Provinsi di Sulawesi-Maluku-Papua dari Seluruh


Pengguna Internet paling tinggi adalah Sulawesi Selatan dan paling rendah adalah Sulawesi
Barat dan Papua Barat, yakni 0,3% (Asosiasi Penyelenggara jasa Internet Indonesia, 2019).

Dari ketimpangan akses infrastruktur digital tersebut, dengan adanya kebijakan belajar dari
rumah yang secara serentak dilakukan di seluruh Indonesia, maka akan ada banyak sekolah dan
orangtua yang menjadi korban. Di sinilah learning gap akan menjadi ancaman serius bagi dunia
pendidikan.

Dampak paling krusial dari pendidikan masa pandemi Covid-19, selain learning loss dan learning
gap adalah hilangnya aspek fundamental dari pendidikan, yakni proses menuntun yang
berkaitan dengan karakter individu dan sosial. Generasi pendidikan di saat Covid-19 adalah
generasi yang kehilangan stimulasi bagaimana cara merasa, melihat, menghargai, menghormati
dan bersosialisasi dengan teman-teman dalam berorganisasi dalam kehidupan mini di sekolah.

Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Online

Dengan porsi PTM 50% dan PJJ 50% serta ketidakpastian tingkat penyebaran Covid-19 ke
depan, tantangan utama adalah membuat kualitas pembelajaran online setara dengan
pembelajaran tatap muka. Pembelajaran online harus sudah diproyeksikan menjadi bagian
inheren dari perkembangan teknologi digital dalam dunia pendidikan, bukan hanya respons
darurat saat pandemi.

Tapi untuk meningkatkan pembelajaran online memang tidak mudah, butuh penguatan di
segala lini, mulai dari peningkatan kompetensi guru, pendekatan, strategi dan teknik
pembelajaran, media yang digunakan serta penguatan orangtua dan pemerataan infastruktur
pembelajaran.

Setelah nyaris satu setengah tahun lebih, persoalan ketimpangan infrastruktur pendidikan yang
menghambat proses pembelajaran online harus segera dibenahi. Pemerintah, baik dari pusat
atau pun daerah, harus memberikan perhatian lebih bagi daerah, sekolah, dan peserta didik yang
mengalami keterbatasan sarana dan prasarana untuk melaksanakan pembelajaran.

Faktor lain yang tak kalah penting adalah meningkatkan kompetensi guru dan orangtua.
Berkaca dari pembelajaran online selama ini, banyak orangtua dan anak yang mengeluh dan
stres karena mayoritas guru hanya memindahkan kelas dari sekolah ke dalam pembelajaran
online, tanpa ada perubahan pendekatan, teknik, dan media yang inovatif, minim projek dan
umpan balik, sehingga siswa hanya sibuk mengerjakan tugas.

Selain kompetensi guru, penguatan peran orangtua sebagai pendamping anak ketika belajar di
rumah juga butuh dikuatkan. Ketika ada pembelajaran online, yang menjadi guru
sebenarnya—yang menfasilitasi, memantau dan menjadi teman diskusi di rumah—adalah
orangtua. Maka pembelajaran online kualitasnya bisa lebih baik apabila ada kolaborasi yang
kuat dan saling mendukung antara sekolah, guru, serta orangtua peserta didik.

Najamuddin Muhammad peneliti Lembaga Kajian Pendidikan dan Kebudayaan (LKPK)

Anda mungkin juga menyukai