Anda di halaman 1dari 16

BAB III

REFLEKSI TEOLOGIS

Pada bab I, penulis sudah memaparkan deskripsi GKS Jemaat Kahambi Kalelangu sebagai

lokus penelitian dan deskripsi tentang perkebunan dan pabrik tebu. Pada Bab II penulis

mendeskripsikan dan menganalisa hasil penelitian terhadap faktor dan dampak dari keberadaan

perkebunan tebu bagi jem

aat setempat. Pada Bab III, penulis mengupayakan suatu refleksi teologis terhadap

pemahaman jemaat tentang keberadaan perkebunan tebu dan dampaknya bagi jemaat Kahambi

Kalelangu, Klasis Pahunga Lodu. Landasan teologis terbagi dalam dua bagian, pertama:

Landasan teologis terhadap peran gereja tentang penyelamatan seluruh ciptaan menurut Alkitab

Perjanjian Lama, Kejadian 1:24-31, kedua: Bagaimana peran gereja dalam menanggapi

persoalan yang terjadi.

3.1. Landasan Teologis Terhadap Peran Gereja Tentang Penyelamatan Seluruh Ciptaan

3.1.1. Landasan Teologis Terhadap Peran Gereja Tentang Penyelamatan

Seluruh Ciptaan Menurut Alkitab Perjanjian Lama

Dalam kitab Kejadian 1:24-31, dalam teks ini menyatakan dengan jelas mandat Allah

kepada manusia dan Ia memberikan tanggung jawab kepada manusia atas alam tidak

untuk keserakahannya tetapi untuk kebutuhannya dalam masa sekarang dan masa yang

akan datang. Kehidupan akan terus berlanjut jika alam semesta terpelihara. Sebab segala

sesuatu yang punah tentunya tidak akan kembali seperti pada kedaan sebelumnya.
Di satu pihak, kita adalah satu dengan seluruh alam, merupakan bagian dari alam,

dan sama-sama berstatus makhluk. Di lain pihak, kita berbeda dengan alam, karena kita

diciptakan menurut gambar Allah dan diberikan kekuasaan. Tetapi, kita juga menikmati

tingkat pengalaman yang lebih tinggi, yaitu: kita tidak seperti hewan dan kita seperti

Allah. Kita mampu berpikir, memilih, membuat, mencintai, berdoa, dan menjalankan

kekuasaan. Itulah posisi menengah kita, posisi berada di antara Tuhan dan alam, antara

Pencipta dan ciptaan-Nya.1

Menurut kesaksian Perjanjian Lama, Allah menciptakan dengan perantaraan Firman

yang berwibawa penuh dengan senantiasa menghasilkan tindakan: “Berfimanlah…maka

jadi” (Kej. 1:3); “jadilah demikian” (Kej. 1:7, 9, 11, 15, 24). Semuanya baik, bahkan baik

sekali (Kej.1:31). Ciptaan melaui Firman menjamin bahwa semuanya dijadikan

sebagaimana dimaksudkan Allah. melalui Firman yang sama Tuhan juga

memperkenalkan rencana menentukan peranan dan tugas segala makhluk yang

diciptakan-Nya (Bnd. Yosef Schreiner).2

Tuhan menempatkan manusia di taman untuk melayani, (ibr.:abad; Indonesia/Arab:

mengabdi kepada Allah; LAI: mengusahakan, Kej 2:15) dan memeliharanya

(sebagaimana orang tua memelihara anak, peternak memelihara ternaknya, dan orang

yang taat kepada Allah memelihara hukum-hukum-Nya). Manusia diberi kuasa untuk

menamai dan memanfaatkan tanah, tetapi ia harus menjaga ladang, kebun, sawah tetap

subur sehingga ia dapat memberi makanan turun-temurun kepada umat manusia dalam

kesadaran bahwa apa pun usaha manusia, Allah saja yang memberikan pertumbuhan.

1
Jhon Stott, Isu-isu Global, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2015. Hlm. 163-168
2
Christoph Barth dan Marie Claire Barth, Teologoi Perjanjian Lama 1, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017.
Hlm 28-29
Kuasa manusia baru menghasilkan karya yang baik bila dijalankan dalam tanggung

jawab terhadap Khalik.3

Orang yang sejahtera adalah orang yang memiliki tanah dan memelihara tanahnya

itu. Sebaliknya ketiadaan tanah memimpin kepada kemiskinan dan perbudakan. Tanah

adalah warisan nenek moyang, milik leluhur yang diberikan kepada keturunan mereka

dari generasi ke generasi. Setiap generasi bertanggungjawab untuk meneruskan tanah

warisan itu kepada generasi seterusnya. Keberlanjutan keluarga ditentukan oleh

keberlanjutan kepemilikan tanah oleh keluarga yang bersangkutan. Tanpa tanah, masa

depan kesejahteraan keluarga tidak dapat dijamin. Tanah adalah tempat di mana kita

menimba makanan untuk dibagi kepada seluruh anggota keluarga. Di atas tanah tumbuh

tanaman. Tak satupun makanan manusia yang tidak berasal dari dan berhubungan dengan

tanah. Semua makhluk hidup dan bergerak, termasuk binatang, hidup dari apa yang

tumbuh di atas tanah. Tanah adalah periuk kehidupan, tempat kita mengelolah hidup. Di

atas tanah manusia bergumul untuk hidupnya.4

Menurut kesaksian Alkitab, ada hubungan yang sangat erat antara manusia dan

tanah. Istilah ibrani untuk manusia adalah ‘adam, sedangkan istilah untuk tanah adalah

adamah.” Manusia diciptakan dari tanah (Kejadian 2:7) yang dihembusi napas Allah dan

akan kembali ke tanah itu (Kej. 3:17). Tanah adalah asal mula manusia dan tempat

terakhir manusia kembali. Menurut kejadian 2:19 juga binatang-binatang, termasuk

burung-burung di udara, diciptakan dari tanah. Ketika manusia diberikan mandat untuk

berkuasa atas alam, merawat, dan memeliharanya, Allah melihat itu baik (Kej. 1:28-31).

3
Ibid, hlm 37
4
Zakaria J. Ngelow dan Lady Paula R. Mandalika, Teologi Tanah, Makassar: OASE INTIM, 2015, hlm. 25-
26
Ketika manusia jatuh ke dalam dosa, bukan saja manusia yang menanggung penderitaan,

namun tanah juga terkutuk akibat perbuatan manusia itu (Kej. 3:17).

Manusia dan tanah juga saling membutuhkan. Tanah diciptakan Allah sebelum

manusia. Di atas tanah tumbuh berbagai pohon yang dapat manusia ambil untuk dimakan.

Tanah dan semua yang hidup di atasnya menunjang kehidupan manusia. Namun tanah,

demikian kitab kejadian, juga membutuhkan manusia untuk memelihara dan

mengusahakannya (Kej. 2:5, 15). Manusia ditempatkan di tanah itu untuk mengusahakan

tanah itu. Tugas Adam adalah mengerjakan tanah (Kej. 2:5), merawat dan menjaganya

(Kej. 2:15). Tugas manusia adalah untuk membawa damai bagi tanah (adamah). Dengan

mengerjakan damai sejahtera/Shalom bagi tanah, manusia pun akan mengalami damai

sejahtera itu. Shalom ada ketika kita melaksanakan tanggung jawab kita kepada Allah

maupun kepada tanah.5

Dalam kisah-kisah Penciptaan (Kitab Kejadian 1:1-2 dan 2:2-25) tanah (erets)

dihidupkan oleh Firman Allah dan menjadi sumber kehidupan bagi tanaman, burung,

binatang, termasuk manusia yang semuanya memperoleh hidupnya dari bumi (Kej. 1:11).

Tanah, atau bumi, mempunyai nilai dalam dirinya, memiliki daya yang menumbuhkan

kehidupan. Dan manusia diberi “kuasa (kabash) atas tanah” (Kej. 1:28). Walau kata

“berkuasa” bisa mereduksikan tanah menjadi tidak lebih dari satu “benda” atau “barang”

yang manusia bisa taklukkan. Nyatanya artian ini selama tiga abad terakhir telah

membawa kita ke serkularisasi penggunaan tanah dengan segala dampak negatifnya:

pencemaran, penggundulan, penandusan bumi. Kabash dapat diartikan pula sebagai

“memiliki”, sebagaimana seorang raja “memiliki” rakyatnya dengan memimpin,

5
Ibid, hlm, 30-31
menggembalakan, bertanggungjawab atas nasibnya (Kej. 2:15; 19:20). Jadi, manusia

“berkuasa” atas tanah untuk memeliharanya dengan penuh rasa bertanggung jawab

(Tisera 2002, 9-11).6

Dalam teks 1 Raja-raja 21:1-16 dikisahkan tentang Nabot, seorang pemilik kebun

anggur di samping istana raja Ahab. Raja Ahab yang menginginkan kebun anggur tesebut

kemudian menawarkan kepada Nabot agar kebun tersebut diberikan kepadanya. Ia akan

memberikan kebun anggur lain sebagai penggantinya atau uang sebagai pembayaran

kebun tersebut. Namun, Nabot menolak dengan tegas dan menyatakan kepada raja Ahab:

“kiranya TUHAN menghindarkan aku daripada memberikan milik pusaka nenek

moyangku kepadamu.”

Nabot memahami bahwa tanah adalah pemberian TUHAN yang diberikan kepada

nenek moyangnya. Dalam Alkitab TB, kata nahalah diterjemahkan dengan milik pusaka.

Milik pusaka bisa kita mengerti sebagai bagian yang dimiliki dan diberikan turun-

temurun dari nenek moyang, diteruskan dari generasi ke generasi. Pengertian milik

pusaka disini perlu dilihat dalam kaitan pengakuan umat bahwa tanah sebenarnya adalah

pemberian Tuhan. Dalam 1 Raja-raja 8:36, diungkapkan “Kiranya Engkau menurunkan

hutan atas tanah-Mu yang telah Kauberikan kepada umat-Mu menjadi milik pusaka.”

Bagian ini hanya contoh kecil yang menggambarkan bagaimana orang Israel tidak

melihat tanah sebagai milik pribadi saja tetapi merupakan milik bersama yang diwariskan

6
Ibid. hlm. 69
dari Tuhan. Nenek moyang mereka mewariskan tanah dari Tuhan dan mereka harus

memeliharanya sebagai milik pusakanya.7

Pembicaraan antara Nabot dan raja Ahab memperlihatkan secara jelas dua pandangan

berbeda tentang tanah. Dari pihak raja Ahab, tanah dilihat sebagai suatu kepemilikan

yang dapat ditukar. Sementara dari perspektif Nabot, tanah dilihat sebagai sebuah

warisan dari generasi ke generasi yang harus tetap dijaga. Nabot menyadari bahwa ia

hanyalah pemilik sementara dari tanah itu dan masih ada generasi sesudahnya yang akan

menjadi pemilik berikutnya. Dari jawabnya, Nabot memahami tanah tersebut tidak hanya

sebatas geografis tetapi terkait langsung dengan identitas diri dan akar dirinya, juga

dengan nenek moyangnya serta genersi sesudahnya.8

Salah satu karakter kuat dari status tanah di dalam narasi Alkitab adalah status

relasional tanah dengan manusia. Khususnya di dalam Perjanjian Lama, tanah

ditempatkan di dalam relasi antara Allah, sebagai Pencipta sebagai pemilik tunggal dan

manusia sebagai penerima anugerahNya dan yang dipercayakan untuk mengelola.

Artinya dalam status kepemilikan, Allah mempunyai hak milik tunggal atas tanah dan

manusia “hanya” mempunyai hak pakai.

Dengan demikian secara relasional terdapat relasi segi-tiga antara tanah, manusia dan

Allah: tanah sebagai pemberian, manusia yang diberi, dan Allah sang Pemberi. Dalam

banyak hal, konsep relasional seperti ini sebagai per-tanda awal kisah relasional manusia

dan sang Penciptanya. Sistem hukum tradisional di Indonesia, yang dikenal dengan hak

ulayat pun mengandung sinergitas dengan konsep relasional tanah di PL. Tanah, di dalam

7
Zakaria J. Ngelow dan Lady Paula R. Mandalika, Teologi Tanah, Makassar:OASE INTIM, 2015, hlm, 241-
242
8
Ibid, hlm 243-244
konsep hak ulayat didefinisikan sebagai pemberian para leluhur yang tidak dapat

diperjualbelikan, karena sifat kepemilikannya komunal. Baik Perjanjian Lama maupun

hukum ulayat mengandung kritik keras terhadap budaya konsumtif dan sikap degradatif
9
terhadap tanah, yang menjadikan tanah sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan.

3.2. Suatu Refleksi Teologis Terhadap Pemahaman Jemaat Tentang Keberadaan

Perkebunan Tebu

3.2.1. Allah Menderita Bersama Ciptaan-Nya

Allah adalah Allah yang eko-universal. Allah tidak saja sebagai pencipta manusia,

melainkan juga sebagai Pencipta alam semesta. Ia menciptakan seluruh yang ada di

bumi dan memberikan hidup kepada seluruh makhluk serta memberikan mandat

kepada ciptaan-Nya untuk dapat hidup selaras. Yang kemudian mandat itu juga

ditujukan kepada masyarakat di wilayah Mburukullu dan seluruh kehidupan yang ada

di dalamnya. Allah menciptakan semua isi dunia “baik adanya”.

Kita harus memahami bahwa tindakan memelihara alam tidak hanya sebatas

untuk alam tidak rusak dan manusia dapat melangsungkan hidupnya. Namun, lebih

daripada itu merupakan sikap pertanggung jawaban kita atas mandat Allah. Aruna

Gnadassan mengatakan:

Kini, di tengah krisis lingkungan, umat Kristen hendak memikirkan teologi

ciptaan sebagai teologi kehidupan dan melihat dunia sebagai rumah (oikos)

yang di dalamnya semua makhluk dapat hidup bersama. Kwok Pui Lan

mengatakan, “Allah yang pengasih menghormati hidup, Ia prihatin kepada

9
Ibid, hlm. 352-353
mereka yang menderita dan berusaha agar semua makhluk-Nya dapat

berkembang.”10

Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia dan alam memiliki keterkaitan yang sangat

erat. Dari proses penciptaan dan penempatan manusia di Taman Eden, proses

keterkaitan ini terlihat sangat jelas (Kej.2) keterkaitan tersebut kemudian memberi

manusia tanggung jawab lebih untuk mengusahakan dan memelihara alam semesta

sesuai dengan kehendak Tuhan. Namun, seperti yang dikatakan oleh Inabuy, bahwa

tugas tersebut haruslah dikerjakan dalam batas-batas kewenangan yang diberikan

Tuhan kepadanya. Artinya bahwa manusia harus mampu menjauhkan diri dari sikap

serakah yang mengeksploitasi alam tanpa belas kasihan.

Inabuy mengatakan bahwa manusia bisa menjadi penghambat tetapi juga menjadi

penolong bagi alam, tergantung dari penghayatan terhadap tanggung jawab.

Kebutuhan hidup memang tidak bisa dihindari namun bukan berarti manusia harus

memaksakan untuk mengambil berlebihan dari alam. Manusia diberikan wewenang

dari Allah untuk memanfaatkan alam tetapi di dalamnnya, manusia harus

memberikan kesempatan kepada alam untuk berkembang.11

Allah menderita karena ciptaan-Nya dirusak, demikianlah pada

masa mitis purbakala. Apalagi sekarang, dengan krisis

lingkungan, ketika makin banyak jenis tumbuhan dan binatang

yang punah, ketika makin banyak kerusakan ekosistem yang

indah, air dan udara tercemar, dan makhluk-makhluk menderita.

10
Christoph Barth dan Marie Claire Barth, Teologoi Perjanjian Lama 1, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017.
Hlm. 16
11
Junus E. E. Inabuy, Spiritualitas Ekoteologi Kristen Kontekstual, Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2021. Hlm.
81-82
Manusia yang dipinggirkan mengalami makin banyak penyakit

dan kecelakan. Merusak ciptaan Tuhan adalah dosa yang

mendukakan Roh yang menghidupkan segala sesuatu. 12

Tindakan pengelolahan hutan untuk perkebunan tebu dengan tujuan kesejahteraan

dan pertumbuhan perekonomian adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan, sebab

alam tidak saja untuk pemenuhan kebutuhan manusia semata, tetapi juga ciptaan

yang lain seperti ribuan hewan, ribuan tumbuhan, ribuan pepohonan, ribuan burung,

ribuang batu dan ribuan keanekaragaman hayati yang hidup dan ada di dalam

hutan/alam. Allah menciptakan alam tidak hanya semata-mata untuk

keberlangsungan hidup manusia, tetapi seluruh ciptaan-Nya.

Mandat Allah kepada manusia atas ciptaan yang lain bukanlah supaya manusia

menjadi “allah” atas sesama ciptaan, melainkan Allah menghendaki kita

berhubungan langsung dengan-Nya melalui kehadiran-Nya dalam diri setiap ciptaan-

Nya. Ketika manusia memperoleh air yang melimpah, padang yang luas, hutan yang

lebat, hewan ternak melalui itu semua Allah mau menyatakan diri-Nya kepada

manusia bahwa Allah senantiasa memelihara hidup segenap ciptaan-Nya. Allah

selalu menggunakan paradigma makanan sehari-hari dalam memaknai kehadiran

diri-Nya di bumi. Jika alam rusak dan penderitaan menghampiri hidup manusia

seringkali manusia menyalahkan Allah tanpa berpikir bahwa manusia itu sendiri

yang mendatangkan penderitaan atas hidupnya dan kehidupan generasi penerusnya.

Mandat yang Allah berikan sebagai bentuk bahwa Allah tidak hanya

memperhatikan kehidupan saat ini tetapi Allah juga memperhatikan kehidupan pada

12
Christoph Barth dan Marie Claire Barth, Teologoi Perjanjian Lama 1, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017.
Hlm. 49
masa mendatang. Alam memang dapat rusak secara alami, tetapi kerusakan alam

karena campur tangan manusia jauh lebih susah dan butuh waktu yang tidak sedikit

untuk alam dapat menyembuhkan dirinya.

Allah menciptakan sejuta keanekaragaman hayati karena Allah tahu fungsi dan

peranan masing-masing sehingga kehidupan di alam ini mengalami keseimbangan

yang stabil dan dinamis. Manusia bukanlah tuan atas ciptaan yang lain yang

membuat manusia mempunyai hak mengambil, tetapi kurang menyadari dirinya

sebagai pelayan yang berkewajiban untuk memelihara. Etika Kristen menghendaki

manusia memainkan peranannya, bukan hanya, dan bahkan tidak seharusnya sebagai

tuan, tetapi sebagai hamba yang melayani.13

Allah memberikan kuasa kepada manusia atas alam semesta untuk melayani,

memelihara, sebagaimana orang tua memelihara anak, peternak memelihara

ternaknya, dan orang yang taat kepada Allah memelihara hukum-hukum-Nya.

Kekuasaan yang diberikan Allah tidak untuk sewenang-wenangnya terhadap alam

tetapi manusia bertanggung jawab untuk menjaga dan memperhatikan kehidupan di

dalamnya. Kesejahteraan seluruh ciptaan adalah ketika relasi antara sesama ciptaan

dan Sang Pencipta terjalin dengan baik seperti mandat yang telah Allah firmankan

dalam kitab Kejadian. Allah memelihara seluruh ciptaan-Nya.

Ketika manusia diberikan mandat untuk berkuasa atas alam, merawat, dan

memeliharanya, Allah melihat itu baik (Kej. 1:28-31). Ketika manusia jatuh ke dalam

dosa, bukan saja manusia yang menanggung penderitaan, namun tanah juga terkutuk

13
Martinus Ngabalin, “Ekoteologi : Tinjauan Teologi Terhadap Keselamatan Lingkungan Hidup,”
Caraka:Jurnal Teologi Biblika dan Praktika, Vol 1, No 2. (September 2020):132-133
akibat perbuatan manusia itu (Kej. 3:17). Damai sejahtera adalah ketika kita

melaksanakan tanggung jawab kita kepada Allah maupun kepada tanah.

Kita tidak memiliki kebebasan untuk berbuat sekehendak kita atas lingkungan

alam; kita tidak berhak memperlakukannya sesuka hati kita. “Berkuasa atas”

bukanlah sinonim dari “menguasai” (dengan seenaknya atau keras)”, apa lagi

“menghancurkan.” Oleh karena lingkungan alam telah dipercayakan kepada kita, kita

perlu mengelolanya secara bertanggung jawab dan seproduktif mungkin untuk

kepentingan kita sendiri maupun generasi yang akan mendatang.

Manusia hidup karena ada alam sebagai “rumah”, sebagai karunia Allah. Erari

mengatakan bahwa “manusia boleh makan ikan tanpa harus membunuh semua

plankton dengan mendinamit ikan dan rumahnya. Manusia boleh saja menebang

pohon untuk kepentingan pembangunan sosial ekonomi, tanpa harus membabat

seluruh hutan rimba yang terbentuk ratusan tahun lamanya. Sumber mineral dapat

dimanfaatkan, tanpa harus menghancurkan seluruh ekosistem sungai, lembah,


14
gunung, dan laut disekitarnya. Kehancuran alam semesta tidak hanya membawa

duka dan derita pada kehidupan di dalamnya tetapi sebagai Pencipta, Allah juga turut

merasakan penderitan daripada Ciptaan-Nya. Penderitaan Allah dapat kita lihat

melalui kehencuran alam semesta. Allah menderita bersama seluruh ciptaan-Nya.

3.2.2. Panggilan Gereja Sebagai Agen Penyelamat Manusia dan Alam Semesta

Sebagai Bentuk Pertanggungjawaban Kepada Sang Pencipta

Ngelow dan Paula pun bicara tentang gereja bahwa keselamatan adalah

pembebasan. Dalam konteks kita, maka pembebasan dimaknai terutama sebagai

pembebasan secara politik dan ekonomi. Gereja yang terlibat dalam solidaritas serta
14
Karel Phil Erari, Spirit Ekologi Integral, Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2017. Hlm 3-4
pembebasan itu adalah gereja yang mengambil bagian dalam karya penebusan

Kristus. Solidaritas yang membebaskan membawa gereja untuk menghayati

tanggungjawab penata-layanan alam semesta demi keutuhan ciptaan.15

Gereja hadir di dunia tidak hanya bertanggung jawab atas hubugan manusia

dengan Allah. Namun, Gereja adalah agen penyelamat seluruh ciptaan sebagai

bentuk pertanggung jawaban kepada Sang pencipta. Gereja memilik peranan penting

dalam memberitakan kabar keselamatan tidak hanya kepada manusia, tetapi seluruh

ciptaan (alam). GKS Kahamabi Kalelangu melalui mimbar, ibadah-ibadah rumah

tangga, ibadah pemuda, ibadah sekolah minggu, dan waktu perkunjungan kepada

jemaat mampu menjadi agen penyelamat seluruh ciptaan demi kesejahteraan,

kebaikan, dan keutuhan semua makhluk ciptaan Allah. gereja sebagai penyambung

lidah Allah memberikan pemahaman kepada jemaatNya bahwa lingkungan hidup

perlu dijaga kelestariannya. Gereja berperan untuk menumbuhkan rasa peduli dan

tanggung jawab jemaat terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi tidak hanya

kepada manusia dewasa, tetapi anak-anak perlu diberikan pemahaman sehingga sejak

dari kecil mereka menyadari bahwa mereka adalah bagian dari alam. dan mereka

menghidupi rasa solidaritas terhadap sesama ciptaan (alam) sejak dini. Pembentukan

karakter anak sejak dini tentang sadar akan lingkungan yang sehat dan tidak sehat

menjadi hal penting.

Dengan demikian, gagasan Kristus sebagai Kepala segala sesuatu tidak terlepas

dari kasih yang dianugerahkan Allah melalui dan di dalam Kristus, bahkan gagasan

ini memperlihatkan bahwa Allah merengkah dan mempersatukan segala sesuatu

dalam diriNya. Gagasan Kristus sebagai kepala gereja sekaligus segala sesuatu
15
Zakaria J Ngelow dan Lady Paula R. Mandalika, Teologi Tanah, Makassar: Yayasan Oase Intim, 2015.
mengindikasikan bahwa fokus Kristus tidak hanya pada umatNya tetapi seluruh alam

semesta. Dengan demikian, kasih yang ada pada diriNya sebagai Kepala alam

semesta ialah kasih yang tanpa batas.

Dalam pembahasan Kristus sebagai Kepala alam semesta ini, Kristus tetap

berkaitan dengan gereja karena Kristus adalah Kepala alam semesta sekaligus Kepala

gereja. Ernest Best menjelaskan bahwa gereja akan lengkap dengan adanya Kristus

dan Kristus akan lengkap dengan adanya tubuh atau gereja. Hal tersebut berkaitan

dengan gereja yang digunakan oleh Kristus sebagai sarana untuk mewujudkan

tujuannya di bumi. Gereja merupakan tempat Kristus bertahta dan Kristus sebagai

Kepala menentukan dan memelihara keharmonisan anggota tubuh-Nya di tengah

dunia. Kata memelihara menunjukkan bahwa Kristus tidak sedang mendominasi

tetapi Kristus berupaya untuk menyatakan keharmonisan. Dengan demikian, Kristus

tidak hanya menempatkan gereja sebagai alat untuk mencapai tujuan-Nya tetapi

gereja juga menjadi tempat tujuan. Hal tersebut dikatakan O’Brien dalam buku The

Letter to the Ephesians. Menurutnya, gereja menjadi tempat tujuan Allah dan Paulus

berharap bahwa gereja memahami dirinya (gereja) sebagai tujuan ilahi yang berperan

dalam konteks dunia.

Gereja sebagai tubuh dari Kepala alam semsta berperan dalam menyatakan

tujuan-Nya. Bentuk peran tersebut melihat gagasan Kristus sebagai Kepala alam

semesta yang bukan mendominasi karena kekuasaannya atas alam semsta tetapi

mneyatakan kasih kepada alam semesta ini. Hal ini dapat disebutkan sebagai gereja

mewujudkan misinya dalam dunia. 16

16
Tasingkem dan Asigor P. Sitanggang, “Kristus Merengkuh Alam Semesta: Gagasan Kristus Sebagai
Kepala Segala Sesuatu dalam Efesus 1:10, 22.” Jurnal Teologi Cultivation, Vol 5, No 2 (Desember 2021):29-30
Gereja sebagai agen penyelamat berarti gereja berperan penting sebagai lanjutan

tangan Allah yang bekerja menyatakan keselamatan kepada segenap ciptaan (alam

semesta). Itu berarti bahwa seruan tentang menjaga dan memelihara bumi tidak

selesai dalam pewartaan-pewartaan mimbar melainkan diwujudnyatakan dalam

tindakan nyata. Sebagai agen penyelamat gereja harus peka dalam mendengar keluh

kesah alam dengan melihat dan menata alam secara baik sebagaimana yang Allah

mandatkan. Dengan demikian, gereja benar-benar menjalankan tugasnya sebagai

agen penyelamat yang telah bertanggung jawab menjaga dan memelihara bumi.

Sebab seruan kabar keselamatan (Injil) tidak saja diperdengarkan kepada dunia tetapi

sekaligus dirasakan oleh dunia. Tidak saja untuk segelintir ciptaan tetapi untuk

segenap ciptaan. Sebab pemulihan Allah menyeluruh (manusia, hewan, tumbuhan,

bebatuan dll). Oleh karena itu, sebagai agen, gereja bertanggung jawab menjalankan

amanat/tugas yang Allah embankan.

Rangkuman

Manusia dan alam adalah kesatuan yang tidak dapat terpisahkan. Ada kebergantungan antar

sesama ciptaan. Allah menciptakan manusia dan alam. manusia dan alam adalah sebagais sesama

ciptaan. Tetapi yang menjadi pembeda adalah karena manusia diciptakan menurut Gambar Allah

dan diberikan akal budi sebagai karunia daripada Allah. manusia diberikan kerpecayaan lebih

kepada manusia terhadap ciptaan yang lain oleh karena Allah ingin menyatakan kasihNya

kepada semua ciptaan-Nya dan dapat merasakan kehadiran-Nya melalui keberadaan ciptaan lain.

Tanah diciptakan Allah sebelum manusia. Di atas tanah tumbuh berbagai pohon yang dapat

manusia ambil untuk dimakan. Tanah dan semua yang hidup di atasnya menunjang kehidupan
manusia. Tanah, atau bumi, mempunyai nilai dalam dirinya, memiliki daya yang menumbuhkan

kehidupan. Salah satu karakter kuat dari status tanah di dalam narasi Alkitab adalah status

relasional tanah dengan manusia. Khususnya di dalam Perjanjian Lama, tanah ditempatkan di

dalam relasi antara Allah, sebagai Pencipta sebagai pemilik tunggal dan manusia sebagai

penerima anugerahNya dan yang dipercayakan untuk mengelola. Artinya dalam status

kepemilikan, Allah mempunyai hak milik tunggal atas tanah dan manusia “hanya” mempunyai

hak pakai. Mandat Allah kepada manusia atas ciptaan yang lain bukanlah supaya manusia

menjadi “allah” atas sesama ciptaan, melainkan Allah menghendaki kita berhubungan langsung

dengan-Nya melalui kehadiran-Nya dalam diri setiap ciptaan-Nya. Allah adalah Allah yang

ekouniversal. Ia merasakan penderitaan yang menimpa ciptaanNya yang menurutnya sangat baik

dan teramat baik itu. Gereja memiliki peranan penting dalam memberikan pemahaman kepada

jemaat dan setiap orang percaya akan hunungannya dengan sesama ciptaan dan Sang Pencipta.

Anda mungkin juga menyukai