Anda di halaman 1dari 3

Golek Garwo: Dari Kesunyian ke Kesunyian yang Liyan

Wahyu Utami | 2020 | 30 min | 15+

Oleh: Ridho Sabdalillah

Jodoh di tangan Tuhan, idiom yang bertahun-tahun hilir mudik baik di media massa
maupun kehidupan nyata. Namun berbeda nasibnya di dunia “Golek Garwo” jodoh
menjadi panggung pertemuan dua insan, tanpa ada campur tangan jodoh-menjodohi. Murni
sebagai wadah persinggahan atau adu untung, lebih tepatnya ‘kalau cocok, ya angkut’.
Sebagai wadah perjodohan Golek Garwo terasa komplit dengan paket yang diberikan, mulai
dari pernikahan gratis sampai bulan madu gratis. Karena sejauh yang saya tahu, untuk
pernikahan dan bulan madu, setidaknya kita menghamburkan uang.

Dunia Golek Garwo berkisah tentang tantangan-tantangan dua sejoli yang menikah pada usia
senja, kisah ini ditawarkan Wahyu Utami Sutradara sebagai gambaran bagaimana dua
pasangan rentan secara usia memupuk sebuah hubungan.

Golek Garwo, film pendek Wahyu Utami berdurasi tiga puluh menit. Pada adegan-adegan
awal penonton akan disuguhkan pada kesengsaraan sunyi berkepanjangan dari protagonis kita
bernama Basri (62 Tahun) seorang buruh, sebagaimana ia hidup sendiri, makan sendiri dan
tidak ada teman untuk bercerita. Kemudian pada sebuah adegan lain di film, ia menghubungi
anaknya (yang tinggal di Kalimantan), “Apakah kamu setuju kalau Bapak menikah lagi?” dan
anaknya menjawab “Terserah Bapak.”

Dari potret kesunyian Basri, kita mendapatkan sebuah gambaran betapa rapuh ia terhadap
kesunyian yang merundung usia senjanya. Berangkat dari premis itu Basri berkeinginan
untuk memiliki pasangan untuk menutupi kesendiriaannya, tanpa menunggu durian jatuh dari
pohonya, ia malah lebih memilih untuk memanjat pohon durian terseebut. Sering kali saya
melihat kawan atau orang-orang terdekat saya, kalau permasalahan jodoh mereka bahkan ada
yang berdo’a tiga hari tiga malam, ada yang berfafifu sampai khatam Das Kapital; dan
bahkan ada yang mengunakan jasa santet-menyantet. Sedangkan Basri langsung mengarungi
biro jodoh bernama Golek Garwo. Alhasil ia bertemu Mursiyem (56 Tahun) sebagai
pasangan yang akan dinikahinya.
Pada sebuah adegan, mereka ditanya “Apa arti sebuah pernikahan bagi mereka?” kedua
pasangan itu hanya berdiam diri (Meskipun mereka sudah pernah menikah sebelumnya).
Jawaban seperti apa sebenarnya yang kita harapkan dari pertanyaan arti sebuah pernikahan
itu, pertanyaan itu kemudian berlari-lari dalam kepala saya. Karena selama ini tidak pernah
saya membayangkan arti sebuah pernikahan, kalaupun terbayang pasti pertama kali
yang saya pikirkan adalah melanjutkan roda Kapitalisme. Buruk memang, tapi mau
bagaimana lagi.

Saya ingin mengutip Marx dalam sebuah esai “The Basis of The Family” yang ditulis
Friedrich Engels, kenapa saya membayangkan pernikahan itu melanjutkan roda
Kapitalisme. Sebagaimana konsep kepemilikan itu sendiri, yang sering menimbulkan
eksploitasi suami terhadap istri atau orangtua terhadap anak. Apa lagi di tempat saya, sampai
hari ini masih menganut idiom ‘banyak anak banyak rejeki’.

Ketika persepsi pernikahan dilaksanakan di atas mobil brimob sebuah potret pernikahan
bercampur aduk dengan atribut negara yang digambarkan secara epik oleh Wahyu Utami.
Dengan mas kawin yang diganti bendera merah putih dan pembacaan teks Pancasila. Saya
melihatnya sebagai sesuatu makna simbolis. Saya membayangkan pernikahan itu
sebagai agenda agama dan negara. Sebagaimana pernikahan dalam agama adalah
sesuatu yang sakral, sedangkan pernikahan dalam negara untuk menambah alat
produksi. Kesakralan yang bersalam dengan kapitalisme. Tentu pemaknaan ini
berbeda bagi setiap penonton, tergantung falsafah hidup Anda sendiri.

Menurut saya adegan pernikahan ini tampaknya dihadirkan oleh Wahyu Utami hanya sebatas
puncak bahasa sinematik belaka, supaya membekas dalam benak penonton (lebih tepatnya
dalam benak saya sendiri).

Marjinalitas dan Kesendirian

Film-film Wahyu Utami sebelumnya selalu menyoroti isu-isu orang rentan atau orang
terpinggirkan, baik di wilayah kelompok maupun pribadi. Kenyataan itu cukup membuat
saya tertarik dengan isu yang dibawanya, apakah pendekatan Wahyu Utami kali ini
mampu meletakkan tokoh dalam Golek Garwo sebagai manusia rentan?.
Dalam The Unseen Words (2017) Wahyu Utami menggambarkan kehidupan kelompok
disabilitas netra yang melakukan latihan rutin untuk sebuah pentas ketoprak. Sedangkan
dalam Welu de Fasli (2015) film ini berkisah tentang seorang anak berusia empat tahun
bernama Fasli yang hidup di Manggarai, NTT. Fasli ditinggalkan oleh Ayahnya yang sudah
meninggal dan Ibunya pergi ke Kalimantan tanpa meninggalkan kabar, kisah ini berkutat
pada keseharian Fasli sebagai anak sebatang kara dalam menjalani hidupnya. Wahyu Utami
dan Ishak Iskandar menggambarkan marjinalitas dan kesendirian dalam hidup Fasli.

Ketika Golek Garwo dibuka dengan potret kesunyian berkepanjangan dari sosok Basri yang
berumur 62 tahun, tentu pada usia itu kehidupan seseorang akan rentan terhadap kesepian,
penyakit dan bahkan maut.

Golek Garwo hanyalah sebatas wadah pencarian jodoh bagi Basri, tempat ia menaruh
harapan akan terbebas dari belenggu kesepian. Namun setelah menikah dengan Mursiyem,
belenggu kesunyian masih merenggut tubuh dan jiwanya. Sebab mereka hidup di rumah
masing-masing dan sibuk dengan pekerjaan masing-masing−untuk bertemu pun mereka
harus mengatur jadwal. Ternyata pernikahan yang dibayangkan Basri tidak menjawab
harapannya akan terbebas dari belenggu kesunyian itu, Basri masihlah seorang yang rapuh
dan rentan akan kesunyian.

Bisa jadi, Wahyu Utami masih merangkul isu-isu orang rentan dan terpinggirkan. Saya
berharap pada pertemuan-pertemuan yang akan datang saya dapat menyaksikan durasi yang
lebih panjang dengan isu apa pun yang di bawanya.

Anda mungkin juga menyukai