Anda di halaman 1dari 5

Daun di Atas Bantal adalah sebuah filem Indonesia tahun 1998 yang diciptakan

oleh Garin Nugroho. Filem ini pernah dikirim untuk penghargaan Academy Award

mewakili Indonesia. Filem ini juga ditayangkan pada sesi Un Certain Regard dalam

Festival Film Cannes 1998. Filem ini menceritakan tentang tiga orang anak jalanan,

yaitu Sugeng, Heru, dan Kancil, dalam kehidupan seharian di Yogyakarta.

Pada pendapat saya, berdasarkan filem daun di atas bantal, hubungan

persekitaran fizakal mempunyai hubungan dengan elemen sosial dan budaya.

Persekitan seseorang akan mempengaruhi kehidupan seharianya. Jika persekitaran

yang ada di sekeliling kita menunjukkan contoh yang positif, maka kita juga boleh

menjadi baik dan begitu juga sebaliknya. Hal ini dapat dilihat dari aspek gaya hidup

yang dijalankan oleh Sugeng, Heru, dan Kancil. Meskipun mereka hidup dalam

kemiskinan, berasal dari rumah tangga yang pecah, mereka ingin lepas dari

kemiskinan dan berharap memperoleh pendidikan.

Mereka juga bekerja untuk mendapatkan sumber makanan. Contohnya, mereka

mengemis, menjual ganja, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan jalanan lainnya.

Pekerjaan yang mereka lakukan tidak bermoral disebabkan faktor tempat tinggal

mereka, mereka bergaya seperti punk tanpa menyadari apa dan mengapa punk

boleh lahir. Mereka tidak perlu tahu apa itu punk yang penting apa yang mereka

lakukan adalah “meniru” dan apa yang ditiru itu dianggap sebagai cara pelariannya

melawan ketidak berdayaan itu. Sebenarnya mereka meniru punk tanpa disadari

sudah melahirkan semangat “perlawanan” itu dengan caranya sendiri. Mereka tidak

mendapat didikan agama yang baik. Mereka terdedah dengan perbuatan yang

negatif seperti menjual ganja. Dengan menjual ganja mereka dapat memperolehi

sedekit gaji. Mereka tiada sumber lain untuk mendapatkan wang. Mereka amat

mudah dipengaruhi.

Mereka tinggal bersama dan di asuh oleh seorang ibu angkat yang bernama

Asih. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil dekat dengan pasar dan stesen kereta

api. Setiap hari, Asih melakukan berbagai jenis pekerjaan untuk menampung hidup

mereka. Asih bekerja menjual kembang dan batik untuk mencukupi keperluan
harian. Asih juga harus berhadapan dengan kemiskinan yang setiap hari menjerat

lehernya. Kancil, Heru, Sugeng, mereka bertiga harus menjalani kerasnya kehidupan

jalanan yang akrab dengan rasa lapar. Sebagai anak jalanan dan fakir miskin

harusnya mereka dipelihara oleh negara. Mereka sepatutnya diberi peluang untuk

mendapatkan pendidikan.

Kebanyakan anak-anak di kawasan tersebut bekerja dibawah umur telah,

menghisap merokok, mencuri, mabuk, dibulii, hisap gam, budak perempuan sekolah

menjadi pelacur, pergaulan bebas, buta huruf, tidak membayar hutang kepada

penjual. Kehidupan mereka sangat tidak terurus. Kehidupan yang sangat dijalankan

dikawasan ini sangat hina. Contohnya, suami Asih yang selalu mendesak dan

meminta wang pada Asih bisa menjadi suatu gambaran bahwa suami yang

seharusnya menjadi pelindung Asih malah menyakiti Asih dan melihatnya sebagai

“pohon duit” yang digoyang terus menerus. Sungguh kejam jika ‘suami’ yang

seharusnya memberikan rasa aman dan tanggungjawab menjaga isterinya ini malah

selalu melakukan perbuatan yang tidak baik padanya. Kejadian-kejadian ini

selalunya diketahui oleh anak-anak jagaan Asih dan menyebabkan membuat mereka

berani melawan atau menyakiti hatinya dengan cara lain iaitu melawan aturan,

melawan Asih. Mereka berani melawan disebabkan mereka melihat dan mendengar

suami Ashi memarahinya. Mereka hilang rasa hormat terhadap Asih.

Permasalahan terjadi apabila “kewarganegaraan” itu terkait dengan lembaga

formal iaitu identiti diri. Idetiti manusia dalam konsep negara itu adalah yang

tercatat pada lembaga pencatatan dan memiliki kad pengenalan seperti KTP,

passport, memiliki sijil lahir, dan kad yang lainya. Dengan tidak adanya pencatatan

itu maka “kewarganegaraan” menjadi tidak ada dan negara tidak akan mengakuinya

seperti yang berlaku pada Sugeng. Hal ini kerana, Sugeng tidak memiliki identit

maka dia tidak dapat dikuburkan. Heru yang tidak memiliki “identit” telah dibuat

identiti palsu. Perjuangan membentuk keberadaan yang menjadi satu identiti itu

berjalan sejak manusia lahir, baik keberadaan atau identiti itu dibentuk oleh “orang

lain” maupun oleh “sendiri”, contohnya, nama itu diberikan oleh “orang lain”, bayi
itu sendiri tidak berdaya dan tidak sanggup memilih nama, ketika sudah mampu,

karena mempunyai pengaruh “yang lain” baik secara sadar maupun tidak sadar

maka “sendiri” itu akan membuat nama lain sebagai identiti.

Identiti juga boleh beragam macamnya, seperti Sugeng yang mengenakan jaket

coklat, bagi sekelompok preman yang hendak balas dendam, jaket coklat adalah

identiti. Identiti di Indonesia ini amat sukar dan membingungkan, sebagai contoh

masalah agama sebagai identiti dan yang diberikan oleh negara adalah pilihan untuk

memilih satu dari enam pilihan agama yang ditawarkan yang jelas-jelas berlawanan

dengan UUD 1945 pasal 28 E, belum lagi permasalahan identiti kewarganegara.

Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-

orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.

Istilah asli dan tidak asli juga sudah menjadi satu identiti lagi yang akan memisah-

misahkan rakyat Indonesia. Kewarganegaraan bukan sekedar status tertentu, yang

ditentukan seperingkat hak dan kewajiban. Kewarganegaraan adalah jati diri, yakni

pengejawantahan keanggotaan seseorang dalam sebuah komuniti.

Maka Sugeng dan Heru yang tidak memiliki identiti sebagai warga negara boleh

dianggap sebagai migran yang tidak memiliki jati diri menurut politik. Karena tidak

memiliki identiti maka mereka tetap akan tersingkir oleh sistem politik yang ada dan

berbagai aturan yang seharusnya berbicara kesetaraan dan persamaan hak seperti

yang termaktub. Kembali lagi pada konsep alienasi sosial dan juga peminjaman

kekuasaan oleh sekelompok orang, disini kita bisa melihat bahwa identit itu adalah

permainan dari sekelompok orang dan digunakannya identiti itu sebagai upaya

pelanggengan kekuasaan, dan kelompok yang tidak diperlukan dan yang teralienasi

itu tidak perlu diberi identitas secara legal formal tapi kadang ada juga pemberian

identiti untuk mengalienasi seperti tulisan “ET” ( eks tapol ) yang ditorehkan dikad

tanda penduduk atau juga pemberian kod tertentu untuk golongan keturunan yang

dilakukan pada masa Orde Baru. Identiti akhirnya merambah kemana-mana, tidak

sekedar identiti atau tidak beridentiti tapi stigma yang dilekatkan bagi mereka dan

pilihan-pilihan yang terbatas untuk dipilih. Mereka bukan warganegara Indonesia.


Mereka telah melakukan migrasi.

Namun keperitan kehidupan tidak membuat Asih, Kancil, Heru, dan Sugeng

kehilangan sisi kemanusiaanya. Walaupun hubungan mereka tidak begitu baik tapi

mereka mempunyai rasa saling membutuhkan dan saling melindungi satu sama lain.

Heru yang selalu bergaduh dengan Asih, membelikan mainan untuk mengusir tikus

karena dia tahu Asih takut dengan tikus. Sugeng yang memaki suami Asih karena

tidak mahu ibu angkatnya dihina, hingga akhirnya dia menjadi sasaran untuk

dipukul. Hal emosi juga berlaku ketika Heru balik dan makan menggunakan

mulutnya seperti anjing. Asih menuduhnya mencuri ayam karena tangan Heru

berlumuran dengan darah. Mereka bergaduh sehingga akhirnya Heru mengatakan

bahwa itu adalah darah kancil. Kancil meninggal karena terhantuk terowong ketika

berada di atas kereta api karena lari dari Heru yang hendak mengambil bantalnya.

Asih begitu terpukul mendengar kematian kancil. Sejak itu Heru tidak mahu mencuci

tangannya. Heru sangat menyesal dengan perbuatan yang telah dia lakukan

sehingga menyebabkan Kancil meninggal. Tidak lama setelah kejadian itu Heru

menghilang dan kembali lagi dengan membawa wang dan memakai pakaian bagus.

Heru ingin memberi wang kepada Asih tetapi Asih menolak. Beberapa hari kemudian

terdengar kabar bahawa mayat Heru ditemukan ditempat sampah. Heru menjadi

mangsa penipuan ansuran. Sugeng pun akhirnya menyusul Kancil dan Heru. Sugeng

mati disebabkan dia ditikam menggunakan pisau oleh sekelompok orang yang

mengira dia adalah orang yang mereka cari. Kematian yang tiba-tiba ini menjadi

pukulan berat bagi Asih. Hidup mereka sebagai anak jalanan begitu menyedihkan

sampai nasib malang berupa kematian menjemput dengan cara yang sangat

tragedis. Ditambah lagi mayat Sugeng tidak diterima untuk dikembumikan karena

tidak memiliki identiti.

Melihat filem ini sebagai persoalan-persoalan masyarakat yang kompleks, kita

hanya melihat sekilas-sekilas saja. Karena begitu cepat permasalahan yang satu ke

permasalahan yang lain. Terlihat saling tumpang tindih. Tetapi itulah yang terjadi di
masyarakat. Persoalan yang terjadi saling terkait dan begitu banyak. Sebagai

sutradara Garin sangat peka menangkap realitas sosial sekitarnya dan merakamnya

menjadi bentuk visual yang dramatis. Penggunaan movement camera yang dinamis

memberikan kesan hidup anak jalanan yang tidak pernah selesa dan tenang.

Walaupun mereka tidak mendapat didikan agama yang cukup mereka juga masih

mempunyai sikap berperikemanusian. Mereka mempunyai nilai kasih sayang sesama

mereka.

Anda mungkin juga menyukai