Anda di halaman 1dari 14

TUGAS KELOMPOK

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

“Hukum Benda Dalam Hukum Perdata Internasional (HPI)”


Studi Kasus: IKEA vs IKEMA (PT. Angsa Daya)

ANGGOTA KELOMPOK
Andi Reza Adriansyah
Efendi
Ditasya Anisa Riani
Meydina Margaretha Munthe
Siti Fatimah
Vivicha Ema Thereza Marthinu

PRODI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS


UNIBA 2019
A. Kasus Posisi
IKEA adalah kelompok usaha multinasional yang dirintis oleh Ingvar
Kamprad di Elmtaryd, Swedia pada tahun 1943. Merek IKEA merupakan
milik Inter IKEA Systems yang merupakan akronim dari 4 kata yaitu Ingvar
yang merupakan nama pendiri perusahaan, Ingvar mendirikan IKEA pada usia
17 tahun, ia mengawali bisnisnya dengan menjual jam tangan dan pena yang
dia impor sendiri dari luar negeri, dan juga menjual sejumlah pemantik api
untuk rokok, Ingvar menjalankan bisnisnya dari sebuah lumbung pertanian
keluarga. Kemudian ia mengembangkannya berdasarkan pesanan lewat pos
dengan menggunakan mobil van susu untuk pengiriman.
Memasuki umur 21 tahun, Ingvar mulai menjual perabot dari toko
IKEA yang pertama, terletak di Almhult, sebuah kota di Swedia Selatan. Pada
tahun 1951 ia memproduksi katalog IKEA pertama, Ingvar secara pribadi
menulis teks katalog ini sampai tahun 1953. Sejak tahun 1953, IKEA
berkonsenterasi pada furniture. Seiring berjalannya waktu bisnis Ingvar
melebar, dalam buku berjudul: The IKEA: Story Ingvar Kamprad disebutkan,
Ingvar memulai bisnis furniture pada 1950, saat itu Ingvar memasarkan
produk furniture dari sejumlah pengrajin. Pada tahun 1963 IKEA mulai
membuka toko pertamanya di luar negara Swedia tepatnya di kota Asker
Norwegia hingga tahun-tahun berikutnya IKEA terus membuka toko atau
gerainya di berbagai belahan dunia. setelah puluhan tahun menggeluti bisnis
itu.
Hingga saat ini Ingvar memiliki 33 pusat distribusi IKEA di seluruh
dunia. Pusat distribusi ini yang menjadi jantung aliran barang dari pemasok ke
took toko IKEA di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Tahun 2014
memang menjadi tahun pertama IKEA membuka toko atau gerainya di
Indonesia, namun menilik sejarah, IKEA sebenarnya sudah sejak lama
menginjakkan kaki di tanah air. General Manager IKEA Indonesia Mark
Magee mengatakan Indonesia sudah menyuplai produk IKEA sejak 1991,
Terdapat sekitar 550 produk furniture dan dekorasi rumah tangga yang
diproduksi di Indonesia dan dijual di 364 gerai IKEA di seluruh dunia.
Jauh sebelum toko pertamanya di Indonesia dibuka di kawasan Alam
Sutera, Tangerang, pada tahun 2014 yang lalu, Inter IKEA Systems sudah
melakukan pengajuan permohonan pendaftaran merek ke Direktorat Jenderal
Kekayaan Intelektual. Termasuk di antaranya merek IKEA untuk kelas barang
21 (perkakas rumah-tangga) yang didaftar pada bulan Oktober 2006 dengan
nomor pendaftaran IDM000092006, dan merek IKEA untuk kelas barang 20
(perabotan rumah tangga) yang didaftar pada bulan Oktober 2010 dengan
nomor pendaftaran IDM000277901.
Tahun 2011 di mana IKEA Swedia juga mengalami kasus peniruan
merek mereka, di mana pada saat itu IKEA Swedia menggugat PT. Angsa
Daya yang menggunakan “IKEMA” sebagai merek mereka. IKEA menilai
bahwa IKEMA tidak beriktikad baik dengan meniru merek “IKEA”,
B. Kajian Teoritik
1. Pengertian dan Pengaturan atas Hukum Benda dalam Hukum Perdata
Internasional
Bidang hukum benda merupakan salah-satu bagian dari kajian Hukum
Perdata Internasional, disampingnya terdapat bidang hukum perkawinan dan
bidang hukum kontrak. Bidang hukum benda dalam Hukum Perdata
Internasional juga terkait dengan bidang perkawinan, dalam bidang hukum
benda diatur tentang tata cara dan asas-asas mengajukan gugatan terhadap
suatu benda, membeli suatu benda di luar negeri, membalik-nama kan benda
yang ada di luar negeri ataupun yang dilakukan oleh WNA di Indonesia.
Hukum Perdata Internasional perihal perbedaan pada dasarnya
memperlihatkan dua macam perbedaan yaitu;
a) Perbedaan antara benda bergerak dan benda tidak bergerak
b) Perbedaan antara hak-hak yang secara mutlak. Absolut dan langsung
melekat pada suatu barang (zakelijke rechten), yaiut berlaku terhadap
segenap orang dan hak-hak yang melekat pada suatu barang secara
relatif dan tidak langsung yaitu hanya berlaku terhadap orang-orang
tertentu dan beradannya adalah melalui suatu perjanjian antara dua
orang (persoonlijke rechten).
Selain dengan bentuk bergerak dan tidak bergerak juga terdapat benda tak
berwujud, yakni meliputi utang-piutang, hak milik perusahaan (saham) dan
hak kekayaan intelektual.
2. Asas-Asas Hukum Benda Dalam Hukum Perdata Internasional
Dalam kaitan ini, teori Hukum Perdata Internasional mengenal dua asas utama
yang menetapkan bahwa klarifikasi semana itu harus dilakukan berdasarakan:
a) Hukum dari tempat gugatan atas benda itu diajukan (lex fori)
b) Hukum dari tempat benda berada/terletak (lex situs)
1) Status Benda Tetap
Asas umum yang diterima dalam Hukum Perdata Internasional
menetapkan bahwa status banda tetap ditetapkan berdasarkan lex situs atau
hukum dari tempat benda berada/terletak. Asas ini juga dimuat dalam pasal 17
Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie.
2) Status Benda Bergerak
Beberapa asas Hukum Perdata Internasional yang menyangkut penentuan
status benda bergerak, anatara lain, menetapkan berdasarkan:
a) Hukum dari tempat pemegang hak atas benda tersebut
b) Hukum dari tempat pemegang hak atas benda tersebut
c) Hukum dari tempat benda terletak
3) Status Benda Tak berwujud
Benda yang dikategorikan ke dalam “benda tidak berwujud” biasanya
meliputi utang piutang, hak milik perindustrian, atau hak milik intelektual.
Asas Hukum Perdata Internasional yang relevan dengan usaha penentuan
status benda tak berwujud, di antaranya, menetapkan bahwa yang
diberlakukan adalah sistem dari tempat:
a) Kreditur atau pemegang hak atas benda itu berkewarganegaraan
b) Gugatan atas benda itu diajukan
c) Pembuat perjanjian utang piutang
d) Yang sistem hukumnya dipilih oleh para pihak dalam perjanjian
yang menyangkut benda-benda
3. Hukum Benda Dalam Lingkup Hukum Perdata dan Hukum Benda
Dalam Konteks Hukum Perdata Internasional
Hukum Perdata Internasional ini yang mana terdapat unsur asing maka
terdapat asas tambahan untuk menentukan status benda yaitu:
a) Asas Nasionalitas
Asas nasionalitas yang disebut juga asas kebangsaan, secara umum
merupakan: asas yang menempatkan kepentingan, keperluan dan untuk
sepenuhnya bagi masyarakat di suatu wilayah negara tersebut.12
b) Asas Domicile
Asas domisili (domicile) yang dimaksudkan disini hendaknya diartikan
sesuai dengan konsep yang tumbuh di dalam sistem-sistem hukum
common law, dan yang umumnya diartikan sebagai permanent home atau
“tempat hidup seseorang secara permanen”. Berdasarkan asas ini status
dan kewenangan personal seseorang ditentukan berdasarkan hukum
domicile (hukum tempat kediaman permanen) orang tersebut.13
c) Lex Situs atau Lex Sitae
memiliki makna bahwa perkara-perkara yang menyangkut benda-
benda tidak bergerak (immovables) tunduk pada hukum dari dimana
benda itu berada/terletak.14
d) Lex Fori
asas ini mendasarkan kepada hukum dan tempat gugatan atas benda itu
diajukan.
e) Lex Loci Contractus
Asas ini merupakan asas tertua yang dilandasi prinsip locus regit
actum. Berdasarkan asas ini “the proper law of contract” adalah hukum
dari tempat pembuatan kontrak. Yang dimaksud dengan “tempat
pembuatan kontrak” dalam konteks Hukum Perdata Internasional adalah
tempat dilaksanakannya “tindakan terakhir” (last act) yang dibutuhkan
untuk terbentuknya kesepakatan (agreement). Prinsip ini masih dapat
digunakan untuk menetapkan hukum yang berlaku terhadap transaksi
maupun perjanjian yang dibuat di pekan-pekan raya perdagangan (trade
fairs) internasional, dalam arti bahwa sistem hukum dari tempat
penyelenggaraan pekan raya itulah yang dapat dianggap sebagai “the
proper law of the contract”
f) Choice of Law
Sistem hukum yang dipilih oleh para pihak dalam perjanjian yang
menyangkut benda-benda itu.

C. Analisis Kasus
1) Pengadilan Yang Berwenang
Pengadilan yang berwenang untuk menangani perkara IKEA vs IKEMA
adalah Pengadilan Indonesia. Karena hal ini sejalan dengan prinsip yurisdiksi in
rem atau dikenal pula yurisdiksi forum rei sitae. Perwujudan dari yurisdiksi in
rem melalui Forum Rei Sitae yakni penguasaan negara atas benda yang situsnya
berada di wilayah teritorialnya. Dalam praktiknya, gugatan atas dasar kebendaan
dalam hal ini nama domain yang terkait merek diajukan ke pengadilan dimana
benda tersebut berada atau didaftarkan. Disinipun, merek dapat dikatakan
sebagai hak benda karena merek merupakan objek hak milik dan memiliki nilai
ekonomis.
Dalam kaitannya dengan kasus di atas, IKEA Swedia berusaha untuk
membatalkan pendaftaran merek IKEMA Indonesia. karena IKEMA dinilai
telah meniru IKEA. maka IKEA Swedia perlu mengikuti proses hukum yang
berlaku di Indonesia. Hal ini sesuai dengan prinsip yurisdiksi forum rei sitae,
dimana perkara menyangkut benda tidak bergerak tunduk kepada hukum
dimana benda tersebut berada. Kesimpulannya, pengadilan yang berwenang
untuk menangani perkara IKEA vs IKEMA adalah Pengadilan Indonesia,
karena saat IKEMA mendaftarkan diri sebagai merek, IKEMA mendaftar di
Indonesia.
2) Apakah Termasuk Peristiwa HPI ?
Menurut hakim sesuai dengan kewenanganya, perkara IKEA vs
IKEMA termasuk kedalam Peristiwa Hukum Perdata Internasional.
Karena perkara tersebut telah memenuhi unsur asing. Dimana unsur asing
disini bisa kita lihat, dimana IKEA yang merupakan kelompok usaha
multinasional yang dirintis oleh Ingvar Kamprad di Elmtaryd, Swedia pada
tahun 1943. Tahun 2014 menjadi tahun pertama IKEA membuka toko atau
gerainya di Indonesia. IKEA bermasalah dengan pengusaha asal Indonesia.
Dimana IKEA Swedia berpendapat bahwa perusahaan mereka telah
mengalami kasus peniruan merek dengan perusahaan IKEMA asal Indonesia.
Sehingga pada saat itu IKEA Swedia menggugat PT. Angsa Daya yang
menggunakan “IKEMA” Hal ini yang dinilai memiliki kesamaan dan dinilai
sebagai bentuk peniruan merek. Terlebih IKEA asal Swedia tersebut
berpandangan bahwa merek nya jauh lebih berkembang dan lebih maju.
Sebelum akhirnya IKEA menggugat ke pengadilan.
Intinya kasus tersebut termasuk kedalam hukum perdata internasional
karena ada unsur asing, yaitu konflik hubungan antara pengusaha Indonesia
(IKEMA) dengan perusahaan asal Swedia (IKEA) berkaitan dengan
permasalahan merek.
3) Kualifikasi Hukum Apa
Hakim berpandangan, bahwa dalam kasus IKEA vs IKEMA termasuk ke
dalam Kualifikasi Hukum Kebendaan. Karena pada dasarnya hukum benda
memiliki cakupan yang sangat luas. Bukan hanya merujuk benda yang dapat
dilihat dan diraba saja. Benda dikategorikan, ada benda yang berwujud dan
tidak berwujud ada juga benda bergerak dan tidak bergerak. Permasalahan
merek yang dipersengketakan antara IKEA vs IKEMA termasuk kedalam
hukum kebendaan, tepatnya benda tidak berwujud.
Benda tak berwujud seperti hak cipta, paten, merek tidak diatur oleh KUH
Perdata tetapi diatur dengan undang-undang tersendiri. Lebih lanjut hakim
berpandangan bahwa, berbicara mengenai merek, merek merupakan suatu
karya yang diciptakan oleh seseorang berdasarkan hasil jerih payahnya sendiri
dengan tingkat intelektualitas yang tinggi. Oleh karena itu, negara
memberikan apresiasi kepada pemilik merek karena telah mampu
menciptakan suatu hasil karya baru dengan cara memberikan hak khusus bagi
pemilik merek untuk menggunakan merek tersebut secara bebas namun tetap
dalam koridor hukum yang ada dan tidak mengganggu kepentingan orang lain.
Disamping itu pemilik merek juga diberikan hak untuk menikmati hak
ekonomi dari hasil karyanya tersebut. Adanya hak ekonomi yang diberikan
oleh negara kepada pemilik merek, maka dapat disimpulkan bahwa merek
memiliki nilai ekonomis. Jika kita melihat pada pengertian benda, maka
terdapat 2 unsur utama yang harus dipenuhi agar sesuatu barang dapat
dikategorikan sebagai benda sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 499
KUH Perdata yaitu, merupakan hak milik, dan memiliki nilai ekonomis.
Meskipun undang-undang merek tidak mengatur dan mengkategorikan
merek sebagai benda, tetapi apabila kita melihat pada pengertian benda yang
terdapat dalam KUH Perdata, maka pada dasarnya merek termasuk dalam
kategori benda karena merek merupakan objek hak milik dan memiliki nilai
ekonomis.

4) Hukum Negara Mana Yang Berlaku ?


Hakim berpendapat bahwa dalam menentukan hukum mana yang berlaku
maka hal ini berkaitan dengan lex causae. Yang paling relevan adalah hukum
negara Indonesia. Karena ketika berbicara mengenai kualifikasi dalam kasus
ini mengenai benda tidak berwujud, maka yang relevan, hakim merujuk
kepada primsip Lex Rei Sitae ( Lex Situs ) hukum yang berlaku atas suatu
benda adalah hukum dari tempat dimana benda itu terletak atau berada, bisa
benda bergerak, berwujud dan tidak berwujud. Dalam praktiknya, gugatan atas
dasar kebendaan dalam hal ini nama domain yang terkait merek diajukan
ketika benda tersebut didaftarkan yaitu di Indonesia, mengingat benda yang
menjadi objek gugatan yaitu merek IKEMA melakukan pendaftaran merek di
Indonesia, maka hukum yang diberlakukan atas penerapan Rei Sitae adalah
Hukum Indonesia. Lalu relevan juga ketika hakim mendasarkan pada prinsip
Lex Fori, yaitu tempat gugatan atas benda itu diajukan. Artinya keduanya
sama-sama di Indonesia.

5) Titik taut primer dan Titik Taut Sekunder


Titik taut primer adalah sekumpulan fakta yang melahirkan atau
menciptakan suatu hubungan HPI. IKEA yang merupakan suatu usaha
multinasional yang dimiliki oleh INGVAR KAMPRAD seorang
berkebangsaan Swedia dan berkedudukan di 2 Hullenbergweg, NL-1101
BL Amsterdam, The Netherlands sedangkan IKEMA adalah usaha nasional
yang berada dinaungan PT. Angsa Daya yang berkedudukan di Pusat
Perdagangan Bahan Bangunan, Jl. Mangga Dua Raya, Blok F2 No.3-5,
Jakarta 10730 dan terdaftar di Indonesia. Dalam hal ini sudah terpenuhinya
unsur asing yang merupakan syarat dari peristiwa HPI, yaitu
kewarganegaraan pemilik IKEA yang berkewarganegaraan Swedia dan
berkedudukan di Amsterdam, The Netherlands.
Titik taut sekunder adalah sekumpulan faktar yang menentukan
hukum mana yang harus digunakan. Tempat terletaknya benda adalah di
Indonesia. Benda disini berarti merek tersebut yang digugat yaitu IKEMA
yang terdaftar di Dirjen Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia. Serta Lex
Locti Actus, tempat dilangsungkannya perbuatan yang bertempat di
Indonesia. Pendaftaran gugatan yang terdaftar di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat yang berada di Indonesia.

6) Bagaimana Penyelesaianya Menurut Hukum Negara Tersebut.


Menurut hakim yang memiliki yuridiksi atas perkara tersebut, hakim
berpandangan bahwa peristiwa ini termasuk kedalam HPI dengan kualifikasi
hukum kebendaan, dan hukum yang diterapkan untuk mengadili perkara
tersebut adalah hukum Indonesia. Apabila merujuk kepada hukum negara
Indonesia, Indonesia dalam hukum positifnya memang mengakui dan
melindungi hak merek. Misalnya Berkaitan dengan merek sebagai benda tidak
berwujud termaktub dalam UU tentang merek dan juga diatur dalam
Burgerlijk Wetboek benda dibedakan menjadi dua, yaitu benda berwujud
(material), dan benda tidak berwujud (immaterial) sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 503 BW. Sedangkan benda tidak berwujud itu sendiri disebut
dengan hak sebagaimana ketentuan Pasal 499 BW. Atau dalam UU Nomor 20
Tahun 2016, ditegaskan bahwa Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang
diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka
waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan
izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.
Hakim melihat perkara IKEA vs IKEMA, dimana IKEA berdalih
bahwa IKEA adalah merek terkenal karena memiliki 375 gerai di 46 negara
dan telah dipergunakan di beberapa negara di dunia antaranya yang pertama di
Swedia, Thailand, Kanada, Singapura dan masih banyak lagi. Bahwa merek
Ikema milik PT. Angsa Daya mempunyai persamaan pada keseluruhan atau
setidak-tidaknya mempunyai kesamaan pada pokoknya dengan merek terkenal
IKEA, dan putusan tersebut menyatakan batal terhadap merek Ikema milik
PT. Angsa Daya. Sementara itu IKEMA berpandangan, bahwa IKEMA pun
merek terkenal dalam jenis keramik dan tegel dan IKEMA telah terdaftar pada
13 Desember 2006 sebagai itikad baik. Merek IKEMA terdaftar untuk kelas
19 sedangkan IKEA kelas yang berbeda yaitu kelas 21, 24, 11, 35 dan 42.
Kelas yang dimaksud adalah klasifikasi merek produk yang dibuat Ditjen Hak
atas Kekayaan Intelektual (Haki) Kementerian Hukum dan HAM.
Pada akhirnya hakim berpandangan bahwa penerapan Pasal 6 ayat 1
huruf b UU Haki yang dijadikan dasar untuk adanya persamaan pada
pokoknya tidak tepat. Karena berbeda kelas, IKEMA yakin konsumen tidak
akan tertipu, terkecoh dan bingung dengan produk keramik dan tegel IKEMA
terlebih berdasarkan pandangan ahli Bahasa mengenai kedua kata antara
Ikema dan Ikea. PT Angsa Daya selaku produsen IKEMA lalu menunjukan
bukti kartu tanda anggota Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki)
dan tanda penghargaan sebagai pembayar pajak ke 133 di Jakarta pada 1995
silam. Sehingga itikad tidak baik sebagaimana didalihkan oleh pihak IKEA
dinilai tidak terbukti. Sehingga hakim berpandangan bahwa, gugatan IKEA
terhadap IKEMA ditolak, sehingga keberadaan IKEA di Indonesia tetap legal.
(Putusan Nomor 39/Merek/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst) jo Putusan MA No. 697
K/Pdt.Sus/2011) jo Putusan MA 165 PK/Pdt.Sus/2012.

7) Hasil Putusan dari tingkat Pengadilan Negeri, Kasasi dan Peninjauan


Kembali di Mahkamah Agung
a. Putusan No 39/Merek/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst (Di Pengadilan Negeri)
Penggugat : Inter IKEA Systems B.V
Tergugat I : PT. Angsa Daya
Tergugat II : Pemerintah Republik Indonesia (cq. Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, cq. Direktorat Hak Merek)
Hasil putusan :
1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk sebahagian
2. Menyatakan bahwa penggugat adalah satu-satunya pemilik yang sah
dan pemegang hak serta pemakai atas merek terkenal IKEA dan
kombinasi-kombinasinya
3. Menyatakan bahwa merek IKEA milik penggugat adalah merupakan
merek terkenal
4. Menyatakan merek IKEMA terdaftar atas nama tergugat I, nomor
registrasi : IDM000247161 mempunyai persamaan pada keseluruhan
atau setidak-tidaknya mempunyai persamaan pada pokoknya dengan
merek terkenal IKEA dan kombinasi-kombinasinya milik penggugat
5. Menyatakan tergugat I mempunyai itikad baik dalam mengajukan
permohonan pendaftaran merek IKEMA yang kemudian telah
terdaftar dalam daftar umum merek tergugat II dibawah No.
Registrasi : IDM000247161
6. Menyatakan batal atas pendaftaran merek IKEMA milik tergugat I
yang telah terdaftar dibawah No. Registrasi : IDM000247161, kelas
barang 19, dari daftar umum merek tergugat II dengan segala akibat
hukumnya
7. Memeritahkan kepada tergugat II untuk mentaati dan melaksanakan
putusan dengan segala akibat hukumya
8. Menghukum tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam
perkara ini sebesar Rp.641.000,- (enam ratus empat puluh satu ribu
rupiah)
9. Menolak gugatan penggugat selain dan selebihnya
Diputuskan pada Selasa, 19 Juli 2011
b. Putusan No. 687 K/Pdt.Sus/2011 (Tingkat Kasasi)
Penggugat : PT. Angsa Daya
Tergugat I : Inter IKEA Systems B.V
Tergugat II : Pemerintah Republik Indonesia (cq. Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, cq. Direktorat Hak Merek)
Hasil putusan :
- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. Angsa Daya
tersebut
- Menghukum pemohon kasasi/tergugat I untuk membayar biaya
perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta
rupiah)
Diputuskan pada Kamis, 5 Januari 2012
c. Putusan No. 165 PK/Pdt.Sus/2012 (Peninjauan Kembali)
Penggugat : PT. Angsa Daya
Tergugat I : Inter IKEA Systems B.V
Tergugat II : Pemerintah Republik Indonesia (cq. Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, cq. Direktorat Hak Merek)
Hasil putusan :
- Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari pemohon
peninjauan kembali : PT. Angsa Daya
- Membatalkan putusan Nomor 697 K/Pdt.Sus/2011 tanggal 5 Januari
2012
- Menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya
- Menghukum termohon peninjauan kembali untuk membayar ongkos
perkara dalam semua tingkat peradilan dan pemeriksaan peninjauan
kembali yang dalam pemeriksaan peninjauan kembali ditetapkan
sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah)
Alasan-alasan yang diajukan oleh penggugat dapat dibenarkan menurut
pertimbangan hakim oleh karena Judex Facti dan Judex Juris salah
menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut :
Bahwa kelas barang milik pemohon peninjauan kembali (kelas 19)
berbeda dengan kelas barang merek IKEA milik termohon peninjauan
kembali/penggugat (kelas 11,21,24,35 dan 42) sehingga dengan demikian
penerapan Pasal 6 ayat (1) huruf b yang dijadikan dasar untuk adanya
persamaan pada pokoknya tidak tepat. Selanjutnya Pasal 6 ayat (2) tidak
dapat diterapkan dalam perkara a quo karena peraturan yang mengatur
persyaratan tertentu tersebut belum diatur yaitu untuk menerapkan
persamaan pada pokoknya untuk barang berbeda kelas sehingga
ketentuan belum dapat diimplementasikan.
Alasan lainnya yaitu membuktikan bahwa merek “IKEMA” tidak
memiliki persamaan bunyi dan pengucapan dan makna dengan merek
“IKEA” sehingga tidak ada persamaan pada pokoknya, kata “IKEA”
sendiri berasal dari gabungan nama depan pendiri perusahaan, nama
keluarga pendiri, nama pertaniann tempat pendiri dewasa, dan nama
kelompok gereja dimana pendiri sebagai salah satu anggotanya
I = adalah Ingvar, nama depan pendiri perusahaan IKEA
K = adalah Kamprad, nama keluarga pendiri perusahaan IKEA
E = adalah Elmtaryd, nama pertanian tempat Ingvar Kamprad beranjak
dewasa
A = adalah Agunnaryd, nama kelompok gereja dimana Ingvar Kamprad
sebagai salah satu anggotanya
Sedangkan kata “IKEMA” diambil dari bahasa mandarin dengan alasan
diantaranya, bahwa salah satu pemegang saham dan direksi PT. Angsa
Daya fasih berbahasa mandarin dan mempunyai shio kuda. Yang
memiliki arti “Secepat Kuda” , dengan kuda yang merupakan simbol
kuat, tangguh dan pintar sehingga Direksi PT. Angsa Daya berharap agar
produk keramik dan tegel baru yang akan diproduksi dapat berkembang.
Dan masih banyak alasan-alasan yang merupakan daya beda yang
diajukan oleh pemohon.

D. KESIMPULAN
Dalam perkara IKEA vs IKEMA (PT.Angsa Daya) dapat
disimpulkan bahwa kasus tersebut tepat diadili berdasarkan pengadilan di
Indonesia, begitupun halnya kasus tersebut termasuk dalam kasus perdata
internasional. Dikarenakan, kasus tersebut mengandung unsur asing.
perkara tersebut termasuk kedalam kualitifikasi hukum kebendaan tidak
berwujud yang diselesaikan di pengadilan Indonesia. Keputusan akhir
memutuskan bahwa keberadaan IKEMA tidak bertentangan dengan
penggunaan hak merek. Sehingga keberadaannya tetap legal di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai