Anda di halaman 1dari 18

TUGAS KELOMPOK

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL A

“Hukum Benda Dalam Hukum Perdata Internasional (HPI)”


Studi Kasus: IKEA vs IKEMA (PT. Angsa Daya)

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Ahmad Ramli, S.H., M.H., FCB. Arb.
Dr. Muhammad Amirullah, S.H., M.H.
Helitha Novianti, S.H., M.H.

KELOMPOK 17
Mohammad Robi Rismansyah (110110160025)
Aditya Nurahmani (110110160063)
Bayu Fadhlurrahman (110110160040)
Arham Ahmad Farhan (110110160069)
Daud Hamonangan (110110160036)

PRODI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS PADJADJARAN
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Atas rahmat dan
karuniaNya, Alhamdulilah kita semua diberikan nikmat panjang umur dan sehat
wal’afiat. Sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah ini.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata
Internasional (HPI) sekaligus untuk menjawab rasa penasaran penulis mengenai
hukum benda dalam konteks hukum perdata internasional.
Makalah ini tidak dapat terwujud tanpa bimbingan dan dukungan dari
semua pihak yang telah membantu. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. H. Ahmad Ramli, S.H., M.H., FCB. Arb, Dr. Muhammad
Amirullah, S.H., M.H., Helitha Novianti, S.H., M.H. sebagai dosen
pengampu mata kuliah Hukum Perdata Internasional kelas A yang telah
banyak memberikan ilmu dan pembelajaran kepada penulis;
2. Orang tua yang telah memberikan dukungan baik itu moril maupun
materil kepada penulis.
3. Teman-teman yang selalu memberikan semangat dan dukungan sehingga
Makalah ini bisa terwujud.
Dengan dapat diselesaikanya Makalah ini penulis berharap Makalah yang
dibuat ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Tidak lupa kami mengharapkan
saran dan kritikan berkaitan dengan Makalah yang dibuat sebagai bahan evaluasi
bagi kami dalam pembuatan Makalah selanjutnya.

Jatinangor, 10 Oktober 2018

Penulis
A. Kasus Posisi
IKEA adalah kelompok usaha multinasional yang dirintis oleh Ingvar
Kamprad di Elmtaryd, Swedia pada tahun 1943. Merek IKEA merupakan
milik Inter IKEA Systems yang merupakan akronim dari 4 kata yaitu Ingvar
yang merupakan nama pendiri perusahaan, Ingvar mendirikan IKEA pada usia
17 tahun, ia mengawali bisnisnya dengan menjual jam tangan dan pena yang
dia impor sendiri dari luar negeri, dan juga menjual sejumlah pemantik api
untuk rokok, Ingvar menjalankan bisnisnya dari sebuah lumbung pertanian
keluarga. Kemudian ia mengembangkannya berdasarkan pesanan lewat pos
dengan menggunakan mobil van susu untuk pengiriman.
Memasuki umur 21 tahun, Ingvar mulai menjual perabot dari toko
IKEA yang pertama, terletak di Almhult, sebuah kota di Swedia Selatan. Pada
tahun 1951 ia memproduksi katalog IKEA pertama, Ingvar secara pribadi
menulis teks katalog ini sampai tahun 1953. Sejak tahun 1953, IKEA
berkonsenterasi pada furniture. Seiring berjalannya waktu bisnis Ingvar
melebar, dalam buku berjudul: The IKEA: Story Ingvar Kamprad disebutkan,
Ingvar memulai bisnis furniture pada 1950, saat itu Ingvar memasarkan
produk furniture dari sejumlah pengrajin. Pada tahun 1963 IKEA mulai
membuka toko pertamanya di luar negara Swedia tepatnya di kota Asker
Norwegia hingga tahun-tahun berikutnya IKEA terus membuka toko atau
gerainya di berbagai belahan dunia. setelah puluhan tahun menggeluti bisnis
itu.
Hingga saat ini Ingvar memiliki 33 pusat distribusi IKEA di seluruh
dunia. Pusat distribusi ini yang menjadi jantung aliran barang dari pemasok ke
took toko IKEA di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Tahun 2014
memang menjadi tahun pertama IKEA membuka toko atau gerainya di
Indonesia, namun menilik sejarah, IKEA sebenarnya sudah sejak lama
menginjakkan kaki di tanah air. General Manager IKEA Indonesia Mark
Magee mengatakan Indonesia sudah menyuplai produk IKEA sejak 1991,
Terdapat sekitar 550 produk furniture dan dekorasi rumah tangga yang
diproduksi di Indonesia dan dijual di 364 gerai IKEA di seluruh dunia.
Jauh sebelum toko pertamanya di Indonesia dibuka di kawasan Alam
Sutera, Tangerang, pada tahun 2014 yang lalu, Inter IKEA Systems sudah
melakukan pengajuan permohonan pendaftaran merek ke Direktorat Jenderal
Kekayaan Intelektual. Termasuk di antaranya merek IKEA untuk kelas barang
21 (perkakas rumah-tangga) yang didaftar pada bulan Oktober 2006 dengan
nomor pendaftaran IDM000092006, dan merek IKEA untuk kelas barang 20
(perabotan rumah tangga) yang didaftar pada bulan Oktober 2010 dengan
nomor pendaftaran IDM000277901.
Tahun 2011 di mana IKEA Swedia juga mengalami kasus peniruan
merek mereka, di mana pada saat itu IKEA Swedia menggugat PT. Angsa
Daya yang menggunakan “IKEMA” sebagai merek mereka. IKEA menilai
bahwa IKEMA tidak beriktikad baik dengan meniru merek “IKEA”,

B. Kajian Teoritik
1. Pengertian dan Pengaturan atas Hukum Benda dalam Hukum Perdata
Internasional

Hukum perdata internasional pada dasarnya adalah sebuah disiplin


ilmu yang rumit, Sudargo Gautama dalam bukunya “Pengantar Hukum
Perdata Internasional Indonesia” menyebutkan bahwa dalam hukum perdata
internasional ini banyak menimbulkan perdebatan antara para ahli hukum.
Perdebatan muncul bahkan antara apakah HPI (Hukum Perdata Internasional)
ini bersifat nasional atau internasional? Para ahli terbagi menjadi dua aliran
internasionalistis sejak dari dahulu ingin menganggap bahwa kaidah-kaidah
HPI itu bersifat supra-nasional yang mana menurut Sudargo Gautama ini
berarti HPI itu ada untuk semua Negara-negara di dunia dan semua Negara di
dunia haruslah tunduk kepada sistem HPI tersebut.
Anggapan ini adalah tidak tepat menurut beliau, meninjau dari
pendapat seorang ahli hukum Perancis, Niboyet, dalam buku berjudul “Traite
de Droit International Prive Francais” bahwa “demikian banyak negara-
negara yang menjadi anggota dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (United
Nations), demikian banyak pula sistem-sistem HPI”.1 Sudargo Gautama
berpendapat bahwa HPI menjadi anggota atau tidak menjadi anggota
Perserikatan Bangsa-Bangsa bukan menjadi penentu sebuah Negara untuk
memiliki atau tidak memiliki HPI, mereka semua memiliki HPI tersendiri
yang berlaku di Negara mereka.2
Pengertian “internasional” pada istilah hukum perdata internasional
(private international law, internationales privatrecht, droit international
prive) disini bukan diartikan sebagai “internationes” bukan berarti bahwa
sumber Hukum Perdata Internasional adalah internasional. Sebaliknya sumber
Hukum Perdata Internasional adalah nasional belaka. Istilah “internasional”
tidak merujuk pada sumber hukumnya, tetapi istilah “internasional ini hanya
merujuk pada fakta-faktanya, materinya, “feiten complex”, casus positive
itulah yang bersifat internasional. Itulah yang memperlihatkan adanya
hubungan-hubungan internasional.3
Hukum Perdata Internasional dirumuskan sebagai berikut;
“keseluruhan aturan dan keputusan hukum yang menunjukkan
stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan
hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-peristiwa antara
warga negara pada satu waktu tertentu memperlihatkan titik-titik
pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua
atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan-kuasa-tempat,
(pribadi) dan soal-soal”.

Jadi disini yang ditekankan adalah perbedaan dalam lingkungan-kuasa-


tempat dan soal-soal serta pembedaan dalam sistim satu Negara dengan lain
Negara, artinya ada unsur luar negerinya (foreign element) atau unsur asing.4
Sederhananya dari keterangan yang diperoleh dari Sudargo Gautama ini
dapat kita tarik kesimpulan bahwa hukum perdata internasional adalah hukum
nasional yang terdapat unsur asing di dalamnya.5 Kesimpulan ini bukan tanpa
sebab dijadikan seperti demikian, melihat bahwa dalam bidang hukum

1
Pendapat Niboyet dalam bukunya Traite de Droit International prive Francais yang dikutip oleh
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Bandung:Alumni, 1992,
hlm 2.
2
Ibid., hlm 3.
3
Ibid., hlm 3-4.
4
Ibid., hlm 21.
5
Beliau menambahkan bahwa “bukan sumbernya yang internasional tetapi hubungan-
hubungannya adalah internasional. Ada hubungan luar negerinya, ada unsur asingnya”.
kontrak internasional, beliau pun memberikan definisi sederhana mengenai
hukum kontrak internasional yang sebenarnya masih dalam lingkup Hukum
Perdata Internasional ini sebagai berikut; “kontrak internasional adalah suatu
kontrak nasional yang didalamnya terdapat unsur asing (foreign element)”.6
Bidang hukum benda merupakan salah-satu bagian dari kajian Hukum
Perdata Internasional, disampingnya terdapat bidang hukum perkawinan dan
bidang hukum kontrak. Bidang hukum benda dalam Hukum Perdata
Internasional juga terkait dengan bidang perkawinan, dalam bidang hukum
benda diatur tentang tata cara dan asas-asas mengajukan gugatan terhadap
suatu benda, membeli suatu benda di luar negeri, membalik-nama kan benda
yang ada di luar negeri ataupun yang dilakukan oleh WNA di Indonesia.
Hukum Perdata Internasional perihal perbedaan pada dasarnya
memperlihatkan dua macam perbedaan yaitu;7
a) Perbedaan antara benda bergerak dan benda tidak bergerak
b) Perbedaan antara hak-hak yang secara mutlak. Absolut dan langsung
melekat pada suatu barang (zakelijke rechten), yaiut berlaku terhadap
segenap orang dan hak-hak yang melekat pada suatu barang secara
relatif dan tidak langsung yaitu hanya berlaku terhadap orang-orang
tertentu dan beradannya adalah melalui suatu perjanjian antara dua
orang (persoonlijke rechten).
Selain dengan bentuk bergerak dan tidak bergerak juga terdapat benda tak
berwujud, yakni meliputi utang-piutang, hak milik perusahaan (saham) dan
hak kekayaan intelektual.
2. Asas-Asas Hukum Benda Dalam Hukum Perdata Internasional

Kesulitan selalu timbul apabila pembahasan tentang benda dan hak-hak


kebendaan dalam HPI sehubungan dengan benda tetap (imoveables), benda
bergerak (movable) dan benda tak berwujud (intangibles) karena setiap sistem
hukum menetepkan kriteria serta klarifikasi tentang benda yang berbeda-beda.

6
Pendapat Sudargo Gautama ini dimuat dalam bukunya yg berjudul “Kontrak Dagang
Internasional”, dikutip dalam buku Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional,
Bandung:Refika Aditama, cet ke-III, 2010. Hlm 1 dan 3.
7
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perdata Internasional, Jakarta:N.V. Van Dorp & Co.,
cet ke-II, 1954, hlm 110.
Karena itu, pertanyaan yang penting dalam Hukum Perdata Internasional
adalah berdasarkan hukum mana klarifikasi jenis benda itu harus
dilakukan. Dalam kaitan ini, teori Hukum Perdata Internasional mengenal dua
asas utama yang menetapkan bahwa klarifikasi semana itu harus dilakukan
berdasarakan:8
a) Hukum dari tempat gugatan atas benda itu diajukan (lex fori)
b) Hukum dari tempat benda berada/terletak (lex situs)
1) Status Benda Tetap
Asas umum yang diterima dalam Hukum Perdata Internasional
menetapkan bahwa status banda tetap ditetapkan berdasarkan lex situs atau
hukum dari tempat benda berada/terletak. Asas ini juga dimuat dalam
pasal 17 Algemene Bepalingen van wetgeving voor Indonesie.9
2) Status Benda Bergerak
Beberapa asas Hukum Perdata Internasional yang menyangkut
penentuan status benda bergerak, anatara lain, menetapkan berdasarkan:10
a) Hukum dari tempat pemegang hak atas benda tersebut
b) Hukum dari tempat pemegang hak atas benda tersebut
c) Hukum dari tempat benda terletak
3) Status Benda Tak berwujud
Benda yang dikategorikan ke dalam “benda tidak berwujud” biasanya
meliputi utang piutang, hak milik perindustrian, atau hak milik intelektual.
Asas Hukum Perdata Internasional yang relevan dengan usaha penentuan
status benda tak berwujud, di antaranya, menetapkan bahwa yang
diberlakukan adalah sistem dari tempat:11
a) Kreditur atau pemegang hak atas benda itu berkewarganegaraan
b) Gugatan atas benda itu diajukan
c) Pembuat perjanjian utang piutang
d) Yang sistem hukumnya dipilih oleh para pihak dalam perjanjian
yang menyangkut benda-benda

8
Bayu Seto Hardjowahono, Hukum Perdata Internasional, Bandung: PT Citra Aditya Bhakti,
2013, hlm 77
9
Ibid
10
Ibid, hlm 78
11
Ibid
3. Hukum Benda Dalam Lingkup Hukum Perdata dan Hukum Benda
Dalam Konteks Hukum Perdata Internasional
Perbedaan Hukum Benda Dalam Lingkup Hukum Perdata dan Hukum
Benda dalam Konteks Hukum Perdata Internasional yaitu terletak pada
hukum benda dalam Hukum Perdata Internasional yang mengandung
unsur asing (foreign elements).
Jadi, dalam Hukum Perdata Internasional ini untuk menentukan status
yang harus diberlakukan atas suatu benda tak hanya berdasarkan
klasifikasi jenis benda saja seperti dalam hukum perdata yang berdasarkan
klasifikasi benda seperti benda berwujud/tak berwujud, benda
bergerak/benda tak bergerak, benda dipakai habis/benda tidak dipakai
habis, benda sudah ada/benda akan ada, benda dalam perdagangan/benda
di luar perdagangan,benda dapat dibagi/benda tak dapat dibagi, benda
terdaftar dan tak terdaftar akan tetapi dalam Hukum Perdata Internasional
ini yang mana terdapat unsur asing maka terdapat asas tambahan untuk
menentukan status benda yaitu:
a) Asas Nasionalitas

Asas nasionalitas yang disebut juga asas kebangsaan, secara umum


merupakan: asas yang menempatkan kepentingan, keperluan dan untuk
sepenuhnya bagi masyarakat di suatu wilayah negara tersebut. 12
b) Asas Domicile

Asas domisili (domicile) yang dimaksudkan disini hendaknya


diartikan sesuai dengan konsep yang tumbuh di dalam sistem-sistem
hukum common law, dan yang umumnya diartikan sebagai permanent
home atau “tempat hidup seseorang secara permanen”. Berdasarkan
asas ini status dan kewenangan personal seseorang ditentukan
berdasarkan hukum domicile (hukum tempat kediaman permanen)
orang tersebut.13
c) Lex Situs atau Lex Sitae
12
Ibid
13
Ibid, hlm 138
memiliki makna bahwa perkara-perkara yang menyangkut benda-
benda tidak bergerak (immovables) tunduk pada hukum dari dimana
benda itu berada/terletak.14
d) Lex Fori
asas ini mendasarkan kepada hukum dan tempat gugatan atas
benda itu diajukan.15
e) Lex Loci Contractus
Asas ini merupakan asas tertua yang dilandasi prinsip locus regit
actum. Berdasarkan asas ini “the proper law of contract” adalah
hukum dari tempat pembuatan kontrak. Yang dimaksud dengan
“tempat pembuatan kontrak” dalam konteks Hukum Perdata
Internasional adalah tempat dilaksanakannya “tindakan terakhir” (last
act) yang dibutuhkan untuk terbentuknya kesepakatan (agreement). Di
masa modern teori ini tampaknya sudah tidak memadai lagi, terutama
bila dikaitkan dengan kontrak-kontrak yang diadakan antara pihak-
pihak yang tidak berhadapan satu sama lain. Semakin banyak kontrak
yang dibuat dengan bantuan sarana komunikasi modern seperti telex,
telegram, facsimile, sehingga penentuan locus contractus menjadi sulit
dilakukan. Prinsip ini masih dapat digunakan untuk menetapkan
hukum yang berlaku terhadap transaksi maupun perjanjian yang dibuat
di pekan-pekan raya perdagangan (trade fairs) internasional, dalam arti
bahwa sistem hukum dari tempat penyelenggaraan pekan raya itulah
yang dapat dianggap sebagai “the proper law of the contract”16
f) Choice of Law
Sistem hukum yang dipilih oleh para pihak dalam perjanjian yang
menyangkut benda-benda itu.17
g) The Most Substantial Connection
Yang memiliki kaitan yang paling nyata dan substansial terhadap
transaksi yang menyangkut benda tersebut.18

14
Sudargo Gautama, Op.Cit, hlm 30
15
Bayu Seto, Op.cit, hlm 174
16
Ibid, hlm 178
17
Sudargo Gautama, Op.cit, hlm 31
18
Bayu Seto, Op.cit, hlm 175
h) The Most Characteristic Connection.
Dipelopori oleh Rabel dan A. Schnitzer, menurut teori ini, sistem
hukum yang seyogyanya menjadi the proper law of contract adalah
sistem hukum dari pihak yang dianggap memberikan prestasi yang
khas dalam suatu jenis / bentuk kontrak tertentu. Pihak yang
prestasinya dalam perjanjian tentang benda yang bersangkutan tampak
paling khas dan karakteristik (the most characteristic connection).
Dalam teori ini kewajiban untuk melakukan suatu prestasi yang
paling karakteristik merupakan tolok ukur penentuan hukum yang akan
mengatur perjanjian itu. Dalam setip kontrak dapat dilihat pihak mana
yang melakukan prestasi yang paling karakteristik dan hukum dari
pihak yang melakukan prestasi yang paling karakteristik ini adalah
hukum yang dianggap harus dipergunakan, karena hukuminilah yang
terberat dan sewajarnya dipergunakan. Misalnya dalam perjanjian jual
beli, maka pihak penjual yang dianggap melakukan prestasi yang
paling karakteristik.19

4. Hak Milik sebagai Hak Kebendaan


Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya terkait hukum benda, bahwa
pada dasarnya hukum benda memiliki cakupan yang sangat luas. Subekti
dalam bukunya pokok-pokok hukum perdata menjelaskan bahwa suatu benda
bergerak karena sifatnya ialah benda yang tidak tergabung dengan tanah atau
dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan, seperti barang perabot
rumah tangga.20
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek
memberikan batasan pengertian mengenai merek yaitu tanda yang berupa
gambar, nama, kata-kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau
kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan
digunakan dalam kegiatan perdagangan.21 Merek merupakan bagian dari Hak
Kekayaan Intelektual. Hal ini serupa dengan hak cipta, hak paten,

19
Sudartgo Gautama, Hukum Perdata dan Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1980, hlm
180
20
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, hlm 61-62
21
Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek
perlindungan varietas tanaman dan tata letak sirkuit terpadu yang kesemuanya
itu merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual dan merupakan hak
kebendaan immaterial yang dapat beralih atau dialihkan.22
Pasal 3 UU Merek memberikan pengertian mengenai hak merek yang
terdapat dalam merek itu sendiri yaitu hak merek merupakan hak eksklusif
yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftar
umum merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek
tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.23
Hak eksklusif yang diberikan negara kepada pemilik merek tersebut diberikan
dengan maksud untuk mengapresiasi pemilik merek karena telah berhasil
menciptakan suatu karya dengan hasil jerih payahnya sendiri dan oleh
karenanya pemilik merek tersebut diberikan hak khusus untuk menggunakan
merek tersebut secara bebas namun harus tetap sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku serta tidak menganggu orang lain. Di samping itu
pemilik merek diberikan juga perlindungan hukum dalam jangka waktu
tertentu untuk bisa menikmati hak ekonomi dari hasil karya nya tersebut.24
Pasal 503 KUH Perdata menyatakan bahwa tiap-tiap kebendaan adalah
berwujud dan tidak berwujud. “Benda” yang dimaksud dalam KUH Perdata
adalah benda berwujud seperti kendaraan bermotor, tanah dan lain-lain.25
Sedangkan benda tak berwujud seperti hak cipta, paten, tidak diatur oleh KUH
Perdata tetapi diatur dengan undang-undang tersendiri. Definisi benda dapat
kita temukan dalam Pasal 499 KUH Perdata yang menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan benda atau “zaak” adalah segala sesuatu yang dapat
menjadi objek hak milik.26 Yang dapat menjadi obyek hak milik dapat berupa
barang dan dapat pula berupa hak, seperti hak cipta, hak paten dan lain-lain.
Definisi mengenai hak milik itu sendiri terdapat dalam Pasal 570 KUH
Perdata yang menyatakan bahwa Hak milik adalah hak untuk menikmati
kegunaan suatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap

22
Bekartini Caroline, Pengkualifikasian Merek Sebagai Benda Untuk Dapat Dijadikan Objek
Jaminan, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 34, No. 1, Februari 2016, hlm 105
23
Lihat Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek
24
Op. Cit, hlm 106
25
Lihat Pasal 503 KUHPerdata
26
Lihat Pasal 499 KUHPerdata
kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan
undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan
yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain.27
Perlu diperhatikan bahwa obyek hak milik yang dimaksud dalam Pasal 570
KUH Perdata hanyalah obyek yang memiliki nilai ekonomis.
Merek merupakan suatu karya yang diciptakan oleh seseorang berdasarkan
hasil jerih payahnya sendiri dengan tingkat intelektualitas yang tinggi. Oleh
karena itu, negara memberikan apresiasi kepada pemilik merek karena telah
mampu menciptakan suatu hasil karya baru dengan cara memberikan hak
khusus bagi pemilik merek untuk menggunakan merek tersebut secara bebas
namun tetap dalam koridor hukum yang ada dan tidak mengganggu
kepentingan orang lain.28 Disamping itu pemilik merek juga diberikan hak
untuk menikmati hak ekonomi dari hasil karyanya tersebut. Adanya hak
ekonomi yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek, maka dapat
disimpulkan bahwa merek memiliki nilai ekonomis.29
Jika kita melihat pada pengertian benda, maka terdapat 2 unsur utama
yang harus dipenuhi agar sesuatu barang dapat dikategorikan sebagai benda
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 499 KUH Perdata yaitu:30
1. Merupakan hak milik;
2. Memiliki nilai ekonomis.

Merujuk kepada dua unsur benda di atas, dapat ditarik kesimpulan,


meskipun undang-undang merek tidak mengatur bahwa merek merupakan
benda sehingga dapat dijadikan objek jaminan, namun apabila kita melihat
unsur utama dari benda, maka dapat dikatakan bahwa merek merupakan benda
dan oleh sebab itu dapat dijadikan sebagai jaminan.

27
Lihat Pasal 570 KUHPerdata
28
Op.Cit, hlm 107
29
Ibid
30
Ibid
C. Analisis Kasus
1) Pengadilan Yang Berwenang
Pengadilan yang berwenang untuk menangani perkara IKEA vs
IKEMA adalah Pengadilan Indonesia. Karena hal ini sejalan dengan prinsip
yurisdiksi in rem atau dikenal pula yurisdiksi forum rei sitae. Perwujudan dari
yurisdiksi in rem melalui Forum Rei Sitae yakni penguasaan negara atas benda
yang situsnya berada di wilayah teritorialnya. Dalam praktiknya, gugatan atas
dasar kebendaan dalam hal ini nama domain yang terkait merek diajukan ke
pengadilan dimana benda tersebut berada atau didaftarkan. Disinipun, merek
dapat dikatakan sebagai hak benda karena merek merupakan objek hak milik
dan memiliki nilai ekonomis.
Dalam kaitannya dengan kasus di atas, IKEA Swedia berusaha untuk
membatalkan pendaftaran merek IKEMA Indonesia. karena IKEMA dinilai
telah meniru IKEA. maka IKEA Swedia perlu mengikuti proses hukum yang
berlaku di Indonesia. Hal ini sesuai dengan prinsip yurisdiksi forum rei sitae,
dimana perkara menyangkut benda tidak bergerak tunduk kepada hukum
dimana benda tersebut berada. Kesimpulannya, pengadilan yang berwenang
untuk menangani perkara IKEA vs IKEMA adalah Pengadilan Indonesia,
karena saat IKEMA mendaftarkan diri sebagai merek, IKEMA mendaftar di
Indonesia.

2) Apakah Termasuk Peristiwa HPI (Titik Taut Primer) ?


Menurut hakim sesuai dengan kewenanganya, perkara IKEA vs
IKEMA termasuk kedalam Peristiwa Hukum Perdata Internasional.
Karena perkara tersebut telah memenuhi unsur asing. Dimana unsur asing
disini bisa kita lihat, dimana IKEA yang merupakan kelompok usaha
multinasional yang dirintis oleh Ingvar Kamprad di Elmtaryd, Swedia pada
tahun 1943. Tahun 2014 menjadi tahun pertama IKEA membuka toko atau
gerainya di Indonesia. IKEA bermasalah dengan pengusaha asal Indonesia.
Dimana IKEA Swedia berpendapat bahwa perusahaan mereka telah
mengalami kasus peniruan merek dengan perusahaan IKEMA asal Indonesia.
Sehingga pada saat itu IKEA Swedia menggugat PT. Angsa Daya yang
menggunakan “IKEMA” Hal ini yang dinilai memiliki kesamaan dan dinilai
sebagai bentuk peniruan merek. Terlebih IKEA asal Swedia tersebut
berpandangan bahwa merek nya jauh lebih berkembang dan lebih maju.
Sebelum akhirnya IKEA menggugat ke pengadilan.
Intinya kasus tersebut termasuk kedalam hukum perdata internasional
karena ada unsur asing, yaitu konflik hubungan antara pengusaha Indonesia
(IKEMA) dengan perusahaan asal Swedia (IKEA) berkaitan dengan
permasalahan merek.

3) Kualifikasi Hukum Apa


Hakim berpandangan, bahwa dalam kasus IKEA vs IKEMA termasuk ke
dalam Kualifikasi Hukum Kebendaan. Karena pada dasarnya hukum benda
memiliki cakupan yang sangat luas. Bukan hanya merujuk benda yang dapat
dilihat dan diraba saja. Benda dikategorikan, ada benda yang berwujud dan
tidak berwujud ada juga benda bergerak dan tidak bergerak. Permasalahan
merek yang dipersengketakan antara IKEA vs IKEMA termasuk kedalam
hukum kebendaan, tepatnya benda tidak berwujud.
Benda tak berwujud seperti hak cipta, paten, merek tidak diatur oleh KUH
Perdata tetapi diatur dengan undang-undang tersendiri. Lebih lanjut hakim
berpandangan bahwa, berbicara mengenai merek, merek merupakan suatu
karya yang diciptakan oleh seseorang berdasarkan hasil jerih payahnya sendiri
dengan tingkat intelektualitas yang tinggi. Oleh karena itu, negara
memberikan apresiasi kepada pemilik merek karena telah mampu
menciptakan suatu hasil karya baru dengan cara memberikan hak khusus bagi
pemilik merek untuk menggunakan merek tersebut secara bebas namun tetap
dalam koridor hukum yang ada dan tidak mengganggu kepentingan orang lain.
Disamping itu pemilik merek juga diberikan hak untuk menikmati hak
ekonomi dari hasil karyanya tersebut. Adanya hak ekonomi yang diberikan
oleh negara kepada pemilik merek, maka dapat disimpulkan bahwa merek
memiliki nilai ekonomis. Jika kita melihat pada pengertian benda, maka
terdapat 2 unsur utama yang harus dipenuhi agar sesuatu barang dapat
dikategorikan sebagai benda sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 499
KUH Perdata yaitu, merupakan hak milik, dan memiliki nilai ekonomis.
Meskipun undang-undang merek tidak mengatur dan mengkategorikan
merek sebagai benda, tetapi apabila kita melihat pada pengertian benda yang
terdapat dalam KUH Perdata, maka pada dasarnya merek termasuk dalam
kategori benda karena merek merupakan objek hak milik dan memiliki nilai
ekonomis.

4) Hukum Negara Mana Yang Berlaku ?


Hakim berpendapat bahwa dalam menentukan hukum mana yang berlaku
maka hal ini berkaitan dengan lex causae. Yang paling relevan adalah hukum
negara Indonesia. Karena ketika berbicara mengenai kualifikasi dalam kasus
ini mengenai benda tidak berwujud, maka yang relevan, hakim merujuk
kepada primsip Lex Rei Sitae ( Lex Situs ) hukum yang berlaku atas suatu
benda adalah hukum dari tempat dimana benda itu terletak atau berada, bisa
benda bergerak, berwujud dan tidak berwujud. Dalam praktiknya, gugatan atas
dasar kebendaan dalam hal ini nama domain yang terkait merek diajukan
ketika benda tersebut didaftarkan yaitu di Indonesia, mengingat benda yang
menjadi objek gugatan yaitu merek IKEMA melakukan pendaftaran merek di
Indonesia, maka hukum yang diberlakukan atas penerapan Rei Sitae adalah
Hukum Indonesia. Lalu relevan juga ketika hakim mendasarkan pada prinsip
Lex Fori, yaitu tempat gugatan atas benda itu diajukan. Artinya keduanya
sama-sama di Indonesia.

5) Bagaimana Penyelesaianya Menurut Hukum Negara Tersebut.


Menurut hakim yang memiliki yuridiksi atas perkara tersebut, hakim
berpandangan bahwa peristiwa ini termasuk kedalam HPI dengan kualifikasi
hukum kebendaan, dan hukum yang diterapkan untuk mengadili perkara
tersebut adalah hukum Indonesia. Apabila merujuk kepada hukum negara
Indonesia, Indonesia dalam hukum positifnya memang mengakui dan
melindungi hak merek. Misalnya Berkaitan dengan merek sebagai benda tidak
berwujud termaktub dalam UU tentang merek dan juga diatur dalam
Burgerlijk Wetboek benda dibedakan menjadi dua, yaitu benda berwujud
(material), dan benda tidak berwujud (immaterial) sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 503 BW. Sedangkan benda tidak berwujud itu sendiri disebut
dengan hak sebagaimana ketentuan Pasal 499 BW. Atau dalam UU Nomor 20
Tahun 2016, ditegaskan bahwa Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang
diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka
waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan
izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.
Hakim melihat perkara IKEA vs IKEMA, dimana IKEA berdalih
bahwa IKEA adalah merek terkenal karena memiliki 375 gerai di 46 negara
dan telah dipergunakan di beberapa negara di dunia antaranya yang pertama di
Swedia, Thailand, Kanada, Singapura dan masih banyak lagi. Bahwa merek
Ikema milik PT. Angsa Daya mempunyai persamaan pada keseluruhan atau
setidak-tidaknya mempunyai kesamaan pada pokoknya dengan merek terkenal
IKEA, dan putusan tersebut menyatakan batal terhadap merek Ikema milik
PT. Angsa Daya. Sementara itu IKEMA berpandangan, bahwa IKEMA pun
merek terkenal dalam jenis keramik dan tegel dan IKEMA telah terdaftar pada
13 Desember 2006 sebagai itikad baik. Merek IKEMA terdaftar untuk kelas
19 sedangkan IKEA kelas yang berbeda yaitu kelas 21, 24, 11, 35 dan 42.
Kelas yang dimaksud adalah klasifikasi merek produk yang dibuat Ditjen Hak
atas Kekayaan Intelektual (Haki) Kementerian Hukum dan HAM.
Pada akhirnya hakim berpandangan bahwa penerapan Pasal 6 ayat 1
huruf b UU Haki yang dijadikan dasar untuk adanya persamaan pada
pokoknya tidak tepat. Karena berbeda kelas, IKEMA yakin konsumen tidak
akan tertipu, terkecoh dan bingung dengan produk keramik dan tegel IKEMA
terlebih berdasarkan pandangan ahli Bahasa mengenai kedua kata antara
Ikema dan Ikea. PT Angsa Daya selaku produsen IKEMA lalu menunjukan
bukti kartu tanda anggota Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki)
dan tanda penghargaan sebagai pembayar pajak ke 133 di Jakarta pada 1995
silam. Sehingga itikad tidak baik sebagaimana didalihkan oleh pihak IKEA
dinilai tidak terbukti. Sehingga hakim berpandangan bahwa, gugatan IKEA
terhadap IKEMA ditolak, sehingga keberadaan IKEA di Indonesia tetap legal.
(Putusan Nomor 39/Merek/2011/PN.Niaga.Jkt.Pst) jo Putusan MA No. 697
K/Pdt.Sus/2011) jo Putusan MA 165 PK/Pdt.Sus/2012. 31

D. Kesimpulan

Dalam perkara IKEA vs IKEMA (PT Angsa Daya) penulis menarik


kesimpulan bahwa kasus tersebut tepat diadili berdasarkan forum pengadilan di
Indonesia, begitupun halnya kasus tersebut termasuk kedalam kasus Perdata
Internasional. Dikarenakan, kasus tersebut mengatur mengenai hubungan hukum
lintas negara (unsur asing). Perkara tersebut termasuk kedalam kualifikasi hukum
kebendaan tidak berwujud yang diselesaikan di pengadilan Indonesia. Keputusan
akhir memutuskan bahwa keberadaan IKEMA tidak bertentangan dengan
penggunaan hak merek. Sehingga keberadaanya tetap legal di Indonesia.

31
Lihat Putusan MA 165 PK/Pdt.Sus/2012.
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Bayu Seto Hardjowahono, Hukum Perdata Internasional, Bandung: PT Citra


Aditya Bhakti, 2013.
Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, Bandung:Refika
Aditama, cet ke-III, 2010.
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa Sudargo Gautama,
Hukum Perdata dan Dagang Internasional, Bandung: Alumni, 1980
Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Bandung:
Alumni, 1992
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perdata Internasional, Jakarta:N.V.
Van Dorp & Co., cet ke-II, 1954

Sumber Lainnya:
Helitha Novianthy Muchtar, Muhamad Amirulloh, Tasya Safiranita, Penerapan
Prinsip Yurisdiksi In Rem (Forum Rei Sitae) dalam Gugatan Orang
Terkenal Terhadap Cybersquatter di Indonesia, Jurnal Rechtsvinding,
Vol. 7 No. 2, Agustus 2018

Peraturan Perundang-Undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek

Anda mungkin juga menyukai