Anda di halaman 1dari 3

Negosiasi Distributif dalam Film JOY

Oleh : Galih Ridho Ibrahim

Sebagaimana judulnya, film Joy (2015) berpusat pada cerita tokoh utamanya yang bernama
Joy, layaknya sebuah cerita biografi. Film ini memang disusun berdasarkan kisah nyata dari
seorang perempuan bernama Joy Mangano, tetapi tidak 100 persen dari seluruh naskah cerita
disadur dari realita hidup Joy Mangano. Ada beberapa bagian yang diadaptasi dari hidup
tokoh-tokoh perempuan lainnya yang mungkin dalam film ini tak disebut secara spesifik
namanya.

Menonton film ini seperti membayangkan menjadi Joy, ataupun seperti mendengar kisah
yang diceritakan dengan sabar oleh seorang nenek (dalam film ini adalah nenek dari Joy,
sebagai narator) tentang Joy. Dari awal film, penonton disuguhkan kenyataan hidup Joy yang
rumit, tetapi dalam bungkus drama-komedi yang membuatnya tampak tak terlalu getir.
Sebagai seorang perempuan yang tergolong masih muda, ia harus menghidupi kedua anaknya
pasca perceraian dengan suaminya (yang sebenarnya masih berelasi baik dengannya dan
bahkan tinggal di basement rumahnya), ibunya (yang sehari-hari hanya mengurung diri di
dalam kamarnya bersama televisi dengan soap opera), neneknya yang sudah lanjut usia,
ditambah lagi dengan ayahnya, yang tiba-tiba diusir oleh istri ketiganya dan harus mengungsi
kembali ke rumah Joy—hanya dengan pekerjaan Joy sebagai karyawan customer service di
maskapai penerbangan. Cukup pelik, iya kan?

Ketika semuanya makin pelik, Joy teringat akan mimpi masa kecilnya yang sudah di
kuburnya selama tujuh belas tahun lalu. Mimpi yang terkait erat dengan kemampuan
kreatifnya untuk menemukan solusi-solusi akan permasalahan hidup dengan wujud benda
yang paling konkrit. Mimpi sebagai penemu (inventor).Mimpi yang dimulai dengan
rumah-rumahan kertas, dimana segala imajinasinya tersalurkan secara bebas—tetapi dalam
sekejap, rusak di tangan ayah dan ibunya yang kala itu tengah ribut ingin bercerai. Sebuah
simbolisasi yang tidak sepele, tentu. Rumah-rumahan kertas ini menjadi prolog dan epilog
yang menyenangkan dalam film Joy (2015).

Selanjutnya, kita bisa menebak apa yang terjadi: Joy tentu saja berusaha mengejar mimpinya
kembali—hanya saja, tunggu dulu, siap-siap dengan rute ups-downs perjalanan Joy yang
membuat penonton tersenyum di masa-masa penuh harapan, lalu tertegun di masa-masa
terpuruk, secara bergantian beberapa kali. Perjuangan yang panjang, membutuhkan segala
ketekunan dan kesabaran, bergulat dengan masa-masa sulit, berat dan mematahkan hati juga.
Justru disitulah terletak keunikan film ini. Bagaimana detail perjalanan Joy menjadi female
entrepreneur sukses dikisahkan dan disoroti. Hal ini ikut disokong oleh perpaduan antara
dialog, adegan, dan pengambilan sudut gambar kamera yang saling melengkapi satu sama
lain. Contohnya, dalam adegan dimana Joy harus menunggu begitu lama bersama suaminya
untuk bertemu Neil Walker dari salah satu TV-kabel, dengan kain pel dan ember di sebelah
mereka. Atau, ketika Joy harus mempromosikan kain pel inovatifnya di parkiran K-Mart,
sampai ia didatangi polisi yang mengusirnya pergi. Atau, ketika ia harus mendengar kata-kata
yang melemahkan hatinya dari perusahaan pengecer besar yang menolak membeli kain
pelnya. Jelas, film ini tidak hanya menceritakan kesuksesan Joy yang tanpa kerikil sampai
batu sandungan besar.

Ada Pula adegan-adegan yang simbolik semata tanpa dialog dan kata-kata, tapi tetap
meninggalkan kesan yang memukau para penonton. Salah satunya adalah adegan dimana Joy
menggunting sendiri rambutnya yang panjang menjadi pendek tanpa ragu, setelah ia selesai
membereskan urusan hak cipta. Adegan lainnya adalah adegan dimana Joy meminta izin pada
tetangga pabrik ayahnya untuk ikut mencoba memegang senapan dan menembak botol-botol
kaca untuk melampiaskan emosinya yang sedang bergulung-gulung setelah perdebatan
dengan beberapa anggota keluarganya yang tak suportif.

Selain itu, selain penokohan Jennifer Lawrence yang begitu baik memerankan Joy, jangan
lupa menyimak bagaimana tokoh-tokoh laki-laki dalam film ini digambarkan sangat patriarki,
dalam penokohan yang berpadu dengan naskah bergenre komedi-drama yang muncul sebagai
dark jokes satir terhadap isu kesetaraan gender yang tengah diperjuangkan, yang kadangkala
membuat penonton terkejut atau geleng-geleng kepala. Salah satunya tampak dalam adegan
dan dialog Joy dengan Rudy, ayahnya. Simak bagaimana Rudy memberikan kata sambutan
pada pesta pernikahan Joy, yang sangat sarkas dengan membawa-bawa cerita tentang cerita
kegagalan pernikahannya yang telah terjadi dua kali, khususnya dengan ibu dari Joy. Tentu
bukan hal yang wajar dan layak dilakukan di pesta pernikahan anaknya sendiri.

Lebih Dekat dengan Sosok Joy

“First of all, even if I was a cleaning lady, so what? There is no shame in hard work. And
second of all, I’m trying to sell a new mop, not used mops. And third of all, don’t, don’t take
any guff from anybody. You know, don’t let it in.”

—Joy, dalam Joy (2015)


Joy adalah seorang perempuan muda yang tak lepas dari realita hidup yang pelik. Bagi Joy,
keluarga adalah salah satu realita yang kurang menyenangkan itu. Joy berasal dari keluarga
yang ‘tidak bisa’, membuatnya merasa seperti terperangkap dan terpenjara. Ibunya adalah
istri kedua dari ayahnya yang adalah seorang duda dengan satu anak. Kemudian, ketika ia
masih kecil, ayah dan ibunya berpisah, lalu ayahnya menikah lagi untuk kali ketiga.
Hubungan Joy dengan ayah dan kakak tirinya (half-sister) bisa disimpulkan sebagai relasi
yang rumit. Berulang kali, mereka berdua (bersama pasangan ayahnya yang keempat)
menjadi pengkritik yang tidak mendukung atau memberikan back up kepada Joy di
masa-masa sulitnya membangun bisnis—tapi anehnya, mereka pun merasa memiliki andil
dan kepemilikan dalam bisnis Joy. Bahkan, setelah Joy sudah mandiri dengan kondisi
finansial bisnisnya. Anehnya, sebagaimana relasi love-hate dalam keluarga, Joy tidak
memutuskan hubungan dengan mereka. Mereka tetap ia anggap sebagai keluarga.
Beruntung Joy masih memiliki Mimi, neneknya. Pun sahabatnya, Jackie, yang selalu
mendukungnya. Bahkan Tony, mantan suaminya yang ternyata lebih cocok menjadi
sahabatnya daripada suaminya. Tiga orang ini menjadi support system Joy, hingga ia menjadi
seorang female entrepreneur sukses.

Sebelum terjun sebagai female entrepreneur, Joy adalah seorang ibu dari dua anak yang
masih kecil, seorang janda yang telah bercerai dari suaminya, seorang perempuan muda yang
tidak memiliki privilese ekonomi untuk memulai bisnis. Joy adalah seorang anak dari
sandwich generation yang juga harus bertanggung-jawab mengurus ibunya, neneknya, dan
ayahnya. Sejak masih kecil, ia juga adalah seorang penemu (inventor) yang kreatif.

Kain pel yang bisa memeras sendiri adalah penemuan pertamanya yang ia perjuangkan hak
patennya sebagai pebisnis perempuan pemula. Bagaimana Joy bisa menemukan kain pel
dengan inovasi baru ini juga berdasar pada pengalamannya sebagai perempuan yang belum
bisa lepas dari tanggung-jawab domestik keluarga. Tangannya pernah terluka baret oleh
pecahan-pecahan kaca gelas ketika ia memeras kain pel. Joy menyadari betapa repot dan
kotornya pekerjaan mengepel rumah. Para perempuan yang mengerjakan pekerjaan rumah
tangga membutuhkan kain pel yang lebih praktis: bisa memeras sendiri dengan rekayasa
model dan bisa dicopot untuk langsung dimasukkan ke mesin cuci setelah selesai. Beres.
Perempuan tak perlu bersusah-payah lagi hanya untuk mengepel. Bermula dari kain pel
inovatif, Joy akhirnya menemukan dan membuat 100 hak paten atas produk-produknya yang
lain.

Joy digambarkan sebagai perempuan independen, perempuan mandiri. Sejak prolog tentang
karya rumah-rumahan kertasnya, Joy kecil telah berkata, “No, I do not need a prince. This is
a special power, I do not need a prince.” Ia adalah perempuan dengan mimpi yang besar, yang
menggunakan keberdayaan yang akhirnya ia miliki untuk kembali menolong
perempuan-perempuan lainnya. Melalui usaha yang baru dirintisnya, Joy memberdayakan
para perempuan di area rumahnya sebagai pekerja. Ia juga membuka kesempatan yang luas
bagi perempuan-perempuan lainnya untuk mengajukan produk penemuan mereka ke
perusahaannya.

Sosok Joy dalam film Joy (2015) mewakili perempuan-perempuan yang tak menyerah
terhadap mimpi-mimpinya, meskipun untuk meraih mimpi-mimpi itu dibutuhkan 1.001 jalan
yang harus ditempuh naik dan turun. Sosok Joy mewakili para perempuan yang bangkit lagi
setelah pernah patah dan menyerah lama, yang menolak lupa. Sosok Joy mewakili para
female entrepreneur yang membuktikan bahwa mereka juga bisa, para perempuan yang juga
berusaha memberdayakan perempuan-perempuan lainnya. Sosok Joy mewakili para
perempuan yang menolak membatasi kapabilitas dan kapasitas diri mereka, hanya karena
label yang dilekatkan oleh laki-laki di dunia profesi yang didominasi patriarki.

Anda mungkin juga menyukai