Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

MIKROBIOLOGI DAN PARASITOLOGI


PENYAKIT TIPUS(DEMAM TIFOID) DAN OBATNYA

Dosen Pengampu : Dra. MASNIAH, M.Kes., Apt

Disusun Oleh :
Nama : SYAHMAHI SANTOSO
Kelas : 1B
Nim : P07539022 080

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MEDAN


JURUSAN FARMASI
T.A 2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Prevalensi demam tifoid di Indonesia sebesar 1,60%, tertinggi terjadi pada


kelompok usia 5–14 tahun, karena pada usia tersebut anak kurang
memperhatikan kebersihan diri serta kebiasaan jajan sembarangan yang dapat
menyebabkan penularan penyakit demam tifoid. Prevalensi menurut tempat
tinggal paling banyak di pedesaan dibandingkan perkotaaan, dengan pendidikan
rendah dan dengan jumlah pengeluaran rumah tangga rendah (Depkes RI,
2008).

Komplikasi serius dapat terjadi hingga 10%, khususnya pada individu yang
menderita tifoid lebih dari 2 minggu dan tidak mendapat pengobatan yang
adekuat. Case Fatality Rate (CFR) diperkirakan 1–4% dengan rasio 10 kali lebih
tinggi pada anak usia lebih tua (4%) dibandingkan anak usia ≤4 tahun (0,4%).
Pada kasus yang tidak mendapatkan pengobatan, CFR dapat meningkat hingga
20%.

Di negara-negara lain, pada umumnya tantangan yang dihadapi dalam


program pengendalian tifoid adalah adanya resistensi terhadap antibiotik, dan
pemeriksaan laboratorium yang kurang praktis dan dengan sensitivitas yang
rendah, sehingga sebagian kasus tidak terdiagnosis. Di Indonesia, masalah rumit
yang sering timbul adalah masalah karier (carrier) atau relaps dan resistensi.4
Penyakit ini dapat sembuh sempurna, tetapi jika tidak ditangani dengan baik,
maka selain dapat menyebabkan seseorang menjadi karier atau relaps, dan
resistensi, juga menimbulkan komplikasi seperti perforasi dan kematian.
BAB II
PERMASALAHAN

A. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian tipes(demam tifoid)?

2. Bagaimana gejala penyakit tipes?

3.Obat apakah yang digunakan untuk mengatasi tipes?

B. Tujuan

1. Mengetahui pengertian tipes

2. Mengetahui gejala penyakit tipes

3. Mengetahui obat yang digunakan untuk mengatasi tipes


BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Demam tifoid adalah penyakit infeksi bakteri yang menyerang sistem
pencernaan manusia yang disebabkan oleh Salmonella typhi dengan gejala
demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan
dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Rampengan, 2007).

Penularan penyakit ini adalah melalui air dan makanan yang terinfeksi
Salmonella typhi. Kuman Salmonella dapat bertahan lama dalam makanan.
Dengan adanya penularan tersebut dapat dipastikan higyene makanan dan
higyene personal sangat berperan dalam masuknya bakteri ke dalam makanan
(Kusuma, 2015). Demam tifoid dapat berakibat fatal jika tidak dirawat.
Penyakit ini dapat berlangsung selama tiga minggu sampai sebulan. Penyebab
paling umum kematian akibat demam tifoid adalah perforasi usus atau
pendarahan usus, yang selanjutnya menimbulkan peritonitis.

Diagnosis demam tifoid ditegakkan berdasarkan riwayat demam 7 hari


atau lebih dengan minimal satu dari gejala/tanda terkait tifoid (diare,
mual/muntah, nyeri perut, anoreksia, konstipasi, perut kembung, lidah kotor,
hepatomegali, atau splenomegali) dan laboratorium berupa tes tubex ≥4 atau
titer widal Salmonella typhi O ≥1/320, tanpa disertai dengan kesadaran
menurun, kejang, pendarahan usus berupa melena atau perforasi usus, syok atau
koma.

Obat-obat lini pertama dalam pengobatan demam tifoid adalah


kloramfenikol, tiamfenikol atau ampisilin/amoksisilin. Kloramfenikol masih
merupakan pilihan utama untuk pengobatan demam tifoid karena efektif,
murah, mudah didapat, dan dapat diberikan secara oral. Umumnya perbaikan
klinis sudah tampak dalam waktu 72 jam dan suhu akan kembali normal dalam
waktu 3-6 hari, dengan lama pengobatan antara 7-14 hari. Namun demikian,
dalam lima tahun terakhir telah dilaporkan kasus demam tifoid berat pada anak
bahkan fatal yang disebabkan oleh adanya resistensi obat ganda terhadap
Salmonella typhi (multiple drugs resistance (MDR).
Disamping itu pemakaian kloramfenikol dapat menimbulkan efek samping
berupa penekanan sumsum tulang dan yang paling ditakuti terjadinya anemia
aplastik. Sefalosporin generasi III (seftriakson, sefotaksim, sefiksim),
fluorokuinolon (siprofloksasin, ofloksasin, perfloksasin) dan azitromisin saat ini
sering digunakan untuk mengobati demam tifoid MDR. Lama pemberian
antibiotik pada semua kelompok antibiotik adalah 7 hari.

Adapun obat tipes yang diberikan bisa secara tradisional. Berdasarkan


penelitian Putry (2015) obat tradisional untuk pengobatan penyakit tifus salah
satunya dengan menggunakan daun keji beling, sedangkan menurut Efendi
(2013) pengobatan penyakit tifus secara alami dengan mengonsumsi buah sawo
muda atau mentimun. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kuntorini dkk.
(2013) menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan tertinggi terdapat pada bagian
daun.

Berdasarkan penelitian terdahulu, ekstrak etanol daun binahong dan


ekstrak daun kelor dapat menghambat aktivitas bakteri Salmonella typhi, hal ini
karena ekstrak daun binahong mengandung zat aktif flavonoid, saponin,
alkaloid dan polifenol (Dewanty, 2011) dan ekstrak daun kelor mengandung zat
aktif di antaranya adalah saponin, tanin, triterpenoid dan flavonoid (Pertiwi,
2014). Sumber daya alam yang dapat dijadikan obat alternatif adalah tanaman
kersen (Muntingia calabura L.), tanaman ini mudah dijumpai di Indonesia.
Menurut Khasanah dkk. (2014) ekstrak etanol daun kersen mengandung tanin,
saponin dan flavonoid yang salah satu zat aktifnya bersifat antibakteri dan
antioksidan.

Sasaran utama kandungan antibakteri dalam ekstrak etanol daun kersen


adalah menghambat sintesis dinding sel karena menurut Agung dkk. (2013)
mekanisme antibakteri pada flavonoid mampu menyebabkan kerusakan
permeabilitas dinding sel bakteri, mikrosom dan lisosom sebagai hasil interaksi
antara flavonoid dengan DNA bakteri sedangkan saponin termasuk dalam
kelompok antibakteri yang dapat mengganggu permeabilitas membran sel
mikroba sehingga mengakibatkan kerusakan membran sel dan menyebabkan
keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel mikroba yaitu protein,
asam nukleat, nukleotida dan lain-lain.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian dapat disimpulkan bahwa program pengendalian
tifoid belum terlaksana secara optimal di Indonesia seperti dalam program
pengendalian serta meningkatnya kasus-kasus karier atau relaps dan resistensi.

Pengobatan tipes dapat dilakukan secara medis maupun tradisional seperti


penggunaan kloramfenikol, tiamfenikol atau ampisilin/amoksisilin, sefalosporin
generasi III, fluorokuinolon, azitromisin, daun keji beling, sawo muda,
mentimun, daun binahong, daun kelor, daun kersen dan masih banyak lagi.

SARAN
Untuk menghindari terjangkitnya penyakit tipes yang dapat disebabkan dari
pencemaran air, maka tindakan yang dapat kita lakukan yakni dengan
melakukan penyaringn/ filtrasi dan menambahkan zat lain seperti tawas, klor
maupun kaporit. Tidak lupa perialku hidup bersih, makan makanan yang sehat,
serta memiliki sarana pembungan tinja (jamban) yang baik sehingga tidak
mengontaminasi air.
DAFTAR PUSTAKA

Purba, I. E., Wandra, T., Nugrahini, N., Nawawi, S., & Kandun, N. (2016).
Program pengendalian demam tifoid di Indonesia: tantangan dan
peluang. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 26(2), 99-108.

Ulfa, F., & Handayani, O. W. K. (2018). Kejadian demam tifoid di wilayah


kerja Puskesmas Pagiyanten. HIGEIA (Journal of Public Health Research and
Development), 2(2), 227-238.

Rampengan, N. H. (2016). Antibiotik terapi demam tifoid tanpa komplikasi


pada anak. Sari Pediatri, 14(5), 271-6.

Handayani, N. I. W., Khamid, M. N., & Nugraheni, A. Y. (2017). Antibactery


Activities Of Ethanol Extract 70% Kersen Leaves (Muntingia calabura L.) On
The Bacteria Salmonella typhi. STIKES DUTAGAMA KLATEN, 9(2), 20-28.

Anda mungkin juga menyukai