Junaidi Abdillah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jalan Haji Mundzir, Ciputat, Tangerang, Banten
E-mail: jonet_abd@yahoo.com
Abstract: Reconstruction of Epistemology Indonesian Fiqh jinayah and Its Relevance for the
Development of National Law. Transformation of fiqh jinayah into the national criminal legal system
is still causing a long debate, both in concept and implementation level. Fiqh Jinayah heritage that
tends to be Arabic centric makes it looks less elegant. As the result, agenda of fiqh jinayah legislation
reaps some pros and cons. Instead, the application of fiqh jinayah both literally and symbolically also
carries resistance. Thus, the reconstruction of Indonesian fiqh jinayah methodology is an absolute
agenda. Therefore, by using the socio-historical approach, this study aims to find new epistemological
fiqh jinayah construct that is Indonesia minded by revising fiqh jinayah epistemology in the philosophy
of science discourse.
Keyword: taqnîn, ushûl al-fiqh, jarîmah
187
188| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 2 Juli 2013
transformasi dan legislasi fiqh jinâyah Jinâyah nasional. Ketakutan mereka bisa dimaklumi,
sebagai pengganti KUHP di Indonesia masih sebab jika bentuk-bentuk hukum dalam
sebatas cita-cita. fiqh jinâyah diadaptasi dan diterapkan
Dalam konteks inilah muncul problem sepenuhnya, maka akan banyak dijumpai
serius yang dirumuskan dalam pertanyaan orang yang dipotong tangannya, atau orang
mendasar, bagaimana memahami dan me- yang dirajam hingga meninggal karena
laksanakan fiqh jinâyah sebagai bagian terbukti berzina.
hukum Islam dalam konteks keindonesiaan?. Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa
Dengan kata lain, bagaimana memasukkan untuk melakukan formalisasi fiqh jinâyah
fiqh jinâyah sebagai bagian dari sistem tata sebagai hukum nasional di Indonesia,
hukum nasional bangsa Indonesia? bukanlah persoalan yang mudah. Hal ini
Untuk menjawab persoalan di atas tidak disebabkan beberapa hal. Pertama, realitas
terlalu mudah karena banyak asumsi yang bangsa Indonesia yang plural harus di-
berkembang di masyarakat, baik dari kalangan pertimbangkan. Kedua, pembenahan dari
umat Islam sendiri maupun non-Muslim. aspek konsepsi, strategi dan metode pe-
Pertama, dari kalangan umat Islam, terutama rumusan fiqh jinâyah, sehingga hukum
dari golongan kulturalistik, memandang Islam yang dihasilkan, meminjam istilah
formalisasi hukum Islam (termasuk fiqh Roscuo Pound, tidak bertentangan dengan
jinâyah) akan membuka peluang intervensi kesadaran hukum masyarakat Indonesia dan
negara terhadap agama. Negara dalam hal ini kompotebel dengan karakteristik tatanan
tidak diperkenankan campur tangan, apalagi hukum nasional yang didambakan.
melakukan pembatasan dan mendorong Berangkat dari realitas di atas, maka
wilayah “hukum Islam yang resmi” dan agenda yang paling mendesak untuk dilakukan
“hukum Islam yang tidak resmi”. Terlebih, adalah membongkar dan merajut kembali
formalisasi hukum Islam yang dikhawatirkan bangunan fiqh jinâyah. Disadari bahwa
akan dijadikan alat penguasa untuk menindas bentuk-bentuk hukum fiqh jinâyah selama
umat Islam sendiri.3 ini sarat dengan tradisi hukum adat Arab
Pada sisi lain, ada sebagian kelompok pra-Islam. Karenanya untuk mempertemukan
umat Islam yang “bersikukuh” bahwa hukum fiqh jinâyah dan hukum nasional adalah
Islam, termasuk fiqh jinâyah, harus menjadi mengkaji aspek epistemologi fiqh jinâyah
bagian dari hukum nasional baik simbol Indonesia itu sendiri. Karenanya, tulisan
maupun substansinya, termasuk sepenuhnya ini fokus dengan objek epistemologi.5 Sebab
mengadopsi bentuk-bentuk hukuman yang epistemologi merupakan bagian dari filsafat
secara literal tercantum dalam Alquran.4 ilmu yang menjadi pijakan awal penentuan
Sebab dengan formalisasi tersebut, hukum asal muasal hukum. Singkatnya, sesuai
Islam dapat berjalan efektif, bersifat memaksa fungsinya epistemologi sebagai science of
dan mempunyai kekuatan hukum.
Kedua, kekhawatiran umat non-Muslim 5
Epistemologi adalah salah satu dari tiga tiang penyangga
jika fiqh jinâyah diadopsi menjadi hukum yang dibahas dalam filsafat ilmu. Dua lainnya yaitu ontologi
dan aksiologi. Ontologi menyangkut tentang hakikat apa yang
dikaji atau “science of being qua”. Sedangkan epistemologi adalah
bagaimana cara ilmu pengetahuan melakukan pengkajian
3
Selengkapnya baca dalam buku karya Abdul Ghofur, dan menyusun tubuh pengetahuannya, atau studi filsafat
Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia: Studi atas yang membahas ruang lingkup dan batas-batas pengetahuan.
Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 28. Sementara aksiologi adalah untuk apa ilmu yang telah tersusun
4
Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi tersebut dipergunakan, atau lazim dikenal dengan “theory of
dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: value”. Lihat Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy,
Gramedia, 2007), h. 26-27. (Toronto, New Jersey: Littlefield Adam & Co, 1976), h. 32.
Junaidi Abdillah: TRekonstruksi Epistemologi Fiqh Jinâyah Indonesia dan Relevansinya |189
knowledge dan ilmu yang paling menentukan struktur pengetahuan menjadi kerangka pikir
corak dan karakteristik konstruksi sebuah dan landasan terbentuknya fiqh berwawasan
ilmu pengetahuan (baca: hukum). Dengan keindonesiaan.
membedah aspek ini, penulis berharap Terkait dengan problema epistemologi
menemukan model integrasi fiqh jinâyah dan fiqh jinâyah itu sendiri, dalam hal ini
ke dalam sistem hukum nasional. Mohammed Arkoun menegaskan bahwa
dalam khazanah keilmuan keislaman
Epistemologi dalam Bingkai tradisional, yang dimaksud dengan
Ushûl al-Fiqh epistemologi dalam hukum pidana Islam
adalah disiplin ilmu ushûl al-fiqh atau yang
Epistemologi merupakan bagian dari kajian
dikenal dengan teori hukum Islam.9 Ushûl
filsafat. 6 Bahkan Amin Abdullah me-
al-fiqh merupakan metodologi terpenting
mandang bahwa epistemologi merupakan
yang ditemukan oleh dunia pemikiran Islam
salah satu cabang dari filsafat ilmu yang
dan tidak dimiliki umat lainnya.10
memperbincangkan “pengetahuan”. Hal ini
didasarkan bahwa perbincangan epistemologi Kedudukan ushûl al-fiqh sebagai epis-
tidak dapat meninggalkan persoalan-per- temologi hukum pidana Islam (jinâyah)
soalan yang terkait dengan sumber ilmu bersifat mutlak. Sebab disiplin inilah yang
pengetahuan dan beberapa teori tentang mempunyai kaidah-kaidah dasar yang harus
kebenaran.7 diperhatikan dalam merumuskan hukum
Islam. Selain itu, ushûl al-fiqh juga dinilai
Para ahli filsafat ilmu menyatakan
sebagai metodologi penetapan hukum.
bahwa dalam kajian epistemologi, paling
Sebagai sebuah epistemologi, ushûl al-
tidak ada tiga problema umum yang menjadi
fiqh sudah layak dan memadai. Pasalnya,
kajian didalamnya. Yaitu persoalan hakikat
bahwa ushûl al-fiqh di dalamnya memuat
pe ngetahuan, validitas kebenaran serta
kriteria-kriteria yang dibutuhkan bagi sebuah
sumber dan metode untuk memperoleh
epistemologi: hakikat, sumber dan metode
pengetahuan. 8 Dengan demikian tiga
serta validitas yang kesemuanya telah teruji
problem ini akan dibedah dalam tulisan
dalam pembentukan hukum Islam dari
ini terutama epistemologi fiqh jinâyah.
waktu ke waktu. Dalam beberapa literatur
Dengan demikian, jika pengertian juga disepakati bahwa ushûl al-fiqh sangat
epistemologi tersebut dikaitkan dengan fiqh identik dengan metodologi hukum Islam.
jinâyah Indonesia, maka epistemologi hukum
Permasalahannya sekarang, dalam pan-
pidana Islam mengacu pada kajian tentang
dangan pemikir Muslim kontemporer, dalam
hakikat, validitas sumber dan metode serta
rentang ratusan tahun keilmuan hukum
Islam dunia (termasuk Indonesia), kajian
6
Hal ini dimaknai sebagai bagian filsafat yang dengan metodologi hukum Islam (ushûl al-fiqh)
sengaja berusaha menjalankan refleksi atas pengetahuan manusia
itu disebut “epistemologi”, atau ajaran tentang pengetahuan. banyak diwarisi dan didominasi kitab-
Lihat selengkapnya Jacques Veuger MSF, Epistemologi, kitab ushûl al-fiqh karya al-Syâfi’i dan
(Yogyakarta: Fakultas Filsafat Gadjah Mada, 1970), h. 1.
7
M. Amin Abdullah, Dimensi Epistemologi-Metodologis
Pendidikan Islam, dalam Jurnal Filsafat, XXI, (Yogyakarta:
9
Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, 1995) h. 9. Mohammed Arkoun, The Concept of Authority in
Bandingkan dengan Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Islamic Thought, dalam Klaus Ferdinand and Mehdi Mozaffari
Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, (ed.), “Islam: State and Society, (London: Curzon Press, 1998),
1996), h. 208. Bandingkan pula dengan Miska Muhammad h. 62.
10
Amin, Epistemologi Islam, Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, M. Amin Abdullah, “Paradigma Alternatif Pengembangan
(Jakarta: UI-Press, 1983), h. 2. Ushûl al-Fiqh dan Dampaknya pada Fiqh Kontemporer”, dalam
8
Harold H. Titus et.al., Persoalan-persoalan Filsafat, terj. AiNûr Rofiq (ed.), Mazhab Yogya: Menggagas Paradigma Ushûl al-
M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) h. 187-188. Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: ar-Ruzz, 2002), h. 117.
190| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 2 Juli 2013
pengikutnya.11 Ahmad Rofiq juga menilai bagi pencuri, kesaksian kaum perempuan
bahwa muatan kitab-kitab ushûl al-fiqh, tidak dapat menjadi bukti dalam perkara-
terutama kitab-kitab ushûl al-fiqh Syâfi’iyyah, perkara pidana, kaum laki-laki lebih tinggi
langka dan jarang dijumpai bahasan yang tingkatannya dari pada perempuan dan
membicarakan metodologi hukum Islam lain-lainya. Bentuk-bentuk hukuman pidana
semisal istihsân, istishlâh dan sâdd al-dzarî’ah. tersebut, menurut Munawwir Sjadzali, adalah
Kajian-kajiannya lebih banyak metode hukuman bernuansa Arab.15 Realitas inilah
analogi (qiyâs) selain sumber Alquran, yang mendorong perlu dilakukannnya
Sunnah dan Ijma’. Pembicaraan tentang rekonstruksi fikih yang berwawasan ke-
tema ijtihad dalam kitab-kitab tersebut dapat indonesiaan.16 Produk-produk hukum di atas
dibenarkan sepanjang dalam frame qiyâs.12 merupakan hasil dari konstruksi epistemologi
Padahal dalam kurun waktu sekian abad era klasik dan skolastik.17
kemudian, pengikut al-Syâfi’i, yakni al-Ghazâli Secercah harapan muncul pada abad
mengkritik tajam metode qiyâs dengan ke-14 M dengan gagasan al-Syâtibi dengan
mengatakan, “man qâla anna al-qiyâsa wa al- maqâshid al-syari’ah nya. Namun sayang,
ijtihâda lafdzâni faqad khatha’” (barang siapa gagasan ini lahir ketika umat Islam dalam era
yang mengatakan bahwa qiyas dan ijtihad kemunduran dan dalam tradisi keterpakuan
adalah dua kata yang sama, maka ia telah teks. Sehingga teori mashlahah Syâtibi, kendati
melakukan kesalahan).13 Tidak mengherankan mempunyai potensi besar untuk melakukan
jika kemudian para pemikir kontemporer sistematisasi aturan-aturan syariah, tidak
semisal Hasan al-Turâbi, Muhammad dikembangkan dan diimplementasikan oleh
‘Abid al-Jâbiri, Hassan Hanâfi, Mohammed sarjana-sarjana Muslim setelahnya. Bahkan
Arkoun dan lainnya memandang urgen perlu nyaris hilang dan ditemukan kembali oleh
dilakukannya rekonstruksi ilmu ushûl al-fiqh Muhammad Abduh dan Muhammad ibnu
dan dikembangkan sesuai kebutuhan zaman. ‘Asyur lebih dari satu abad kemudian.18 Sejak
Dalam konteks Indonesia, pemikiran berakhirnya era Syâtibi, kajian ushûl al-fiqh
hukum Islam, termasuk bidang jinâyah, mengalami degadrasi luar biasa terutama
disinyalir masih banyak diwarnai pemikiran pada aspek subastansi dan metodologi.
bernuansa Arab dan Timur Tengah yang Baru pada abad ke-18 M sampai saat ini
sejatinya dalam beberapa hal tidak relevan bermunculan para pemikir yang berkesadaran
dengan kesadaran hukum masyarakat
Indonesia yang telah melembaga dalam 15
Munawwir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta:
Paramadina, 1997), h. 4-26. Lihat juga Syafiq Hasyim, Hal-
hukum adat. Akibatnya, ada bagian-bagian hal yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-isu Keperempuanan dalam
tertentu dari hukum Islam yang kurang Islam: Sebuah Dokumentasi, (Bandung: Mizan, 2001) h. 197.
Bandingkan juga dengan tesis Abdullahi Ahmed al-Na’im dalam
mendapat sambutan hangat dari masyarakat Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan Syari’ah,
Indonesia.14 Dalam bidang fiqh jinâyah, dapat terj. Sri Murniati (Bandung: Mizan, 2007) h. 46-50.
16
disaksikan bahwa hukum potong tangan Ide ini banyak digagas oleh banyal tokoh seperti KH.
Hasbi ash-Shiddieqy, Hazairin, KH. Ibrahim Hossein, KH. ‘Ali
Yafie, Qodry A. ‘Azizy, KH. Sahal Mahfudl dan lainnya.
17
Diketahui bahwa pada awal abad ke-7 H, kajian-kajian
11
Martin Van Bruinessan, Kitab Kuning, Pesantren dan metodologi ushûl al-fiqh masih berbasis pada literalisme dalam
Tarekat, (Bandung: Mizan, 1995), h. 112-124. menginterpretasikan ayat-ayat, dan qiyâs dalam hal ini masih
12
Ahmad Rofiq, Kritik Metodologi Hukum Islam menjadi prosedur utama untuk memperluas hukum-hukum
Indonesia, dalam Anang Haris Himawan (ed.), “Epistemologi syariah ketika berhadapan dengan realitas. Metode demikian
Syara”, (Semarang: IAIN Walisongo Press, 1998), h. 100-103. menurut al-Jâbiri mengandung kelemahan dan kekurangan.
13
Abû Hamid al-Ghazali, al-Mushtasyfa min ‘Ilmi al- Sebab, dengan hanya mengandalkan metode qiyâs, umat Islam
Ushûl, (Bayrut: Dar al-Fikr, t.t.) h. 229. dipaksa membayangkan masa sekarang dengan masa Imam
14
Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Syari’at Islam Syâfi’i yang secara historis telah jauh berbeda kondisinya.
18
Menjawab Tantangan Zaman, (Jakarta: Bulan Bintang, 1966), Louay Safi, Ancangan Metodologi Alternatif, terj. Imam
h. 41-42. Khoiri, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), h. 143.
Junaidi Abdillah: TRekonstruksi Epistemologi Fiqh Jinâyah Indonesia dan Relevansinya |191
untuk merekonstruksi metodologi hukum qishâsh21 atau diyat,22 jarîmah hudûd, dan
Islam. Ada sederet nama diantaranya Fazlur jarîmah ta’zîr. 23 Bentuk hukuman yang
Rahman, Muhammad al-Na’im, Muhammed diterapkan bagi pelaku pidana dikategorikan
Arkoun, dan Syahrûr. Pada era inilah dalam dua bentuk yaitu hudûd, 24 dan
konstruksi dan sistematika serta bangunan ta’zîr.25 Dalam kasus qishâsh dan diyat,
metodologi hukum Islam (ushûl al-fiqh) yang para ulama berbeda pendapat. Ada yang
selama ini ada dipertanyakan lagi. memandang qishâsh dan diyat masuk dalam
Berangkat dari elaborasi di atas, penulis kategori hudûd. Namun mayoritas ulama
berusaha memamparkan epistemologi fiqh berpandangan keduanya tidak termasuk
jinâyah dari klasik hingga kontemporer. Hal hudûd.26 Ada satu bentuk hukuman lagi
ini dilakukan dalam rangka menemukan selain hudûd dan ta’zîr yakni kifarat.27
konstruksi bangunan hukum pidana Islam
Indonesia yang sesuai dengan kebutuhan 21
Qishâsh terkait dengan pembunuhan dan pencederaan
zaman. Berikut ini dikupas tiga aspek dalam anggota badan yang pelakunya diancam dengan tindakan yang
sama, lihat Q.s al-Baqarah [2]: 178, Q.s. al-Mâidah [5]: 45, Q.s.
wacana epistemologi. al-Nisa [4]: 92. Ayat-ayat tersebut berbicara tentang qishâsh dan
diyat.
22
Sementara diyat adalah ganti rugi (denda) bagi pelaku
Fiqh Jinâyah: Aspek Sosio-historis tindak pidana ketika qishâsh tidak jadi dilaksanakan karena
pemaafan dan bagi pembunuh semi sengaja dan tidak sengaja.
23
Alquran dan Sunnah tidaklah turun dan Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya,
(Bandung: Pustaka Setia, 2011), h. 233.
lahir pada ruang yang kosong dan hampa. 24
Hudûd adalah segala bentuk hukuman yang telah di-
Artinya, pada saat Nabi menyampaikan tentukan oleh Alquran dan Sunnah. Semisal had zina. Dalam
Islam, had zina ada tiga bentuk hukuman yang diancamkan
risalah kenabiannya, dunia Arab pra-Islam yaitu hukum jilid (cambuk), pengasingan (taghrib) bagi mereka
sudah penuh dengan tradisi dan kebudayaan. yang ghairu muhshan (pezina yang belum menikah) dan rajam
bagi pezina yang sudah menikah, lihat Q.s al-Nûr [24]: 2.
Dalam bidang hukum Arab pra-Islam, Had qadzaf yakni hukuman (had) bagi qadzaf adalah didera
Sayyid ‘Abd al-Majid sebagaimana dikutip delapan puluh kali dan kesaksiannya ditolak selama hidup,
lihat Q.s. al-Nûr [24]: 4. Had sariqah (pencurian), jelas dengan
Paydar, menggambarkan bahwa telah terjadi potongan tangan, lihat Q.s. al-Mâidah [4]: 38. Had hirabah
pengadopsian hukum Islam terhadap hukum (perampokan), dengan empat bentuk yaitu: (1) hukuman mati,
(2) hukuman mati dengan penyaliban, (3) potong tangan dan
Arab.19 kaki, dan (4) pengusiran (al-nafyu). Hukuman ini disesuaikan
Ruang lingkup kajian fiqh Jinâyah yang dengan kualitas kejahatan pelaku pidana, lihat Q.s. al-Mâidah
[4]: 33. Dan yang terakhir had riddah (murtad) dan had baghyu
mencakup berbagai aspek,20 sementara dalam (pemberontak).
25
hal jarîmah terbagi dalam tiga hal yakni Sedangkan ta’zîr adalah bentuk hukuman yang tidak
ditentukan bentuknya oleh Alquran dan Sunnah. Ta’zîr adalah
hukuman yang bersifat pendidikan (ta’dîb) terhadap perbuatan
dosa atau kemaksiatan yang tidak diancamkan dengan had
dan kifârat. Dengan kata lain, setiap perbuatan maksiat yang
hukumannya berupa kifârat atau hudûd yang sudah ditetapkan
19
Sebagaimana dalam ungkapannya bahwa Bangsa dalam Alquran dan Hadis diancam dengan hukuman ta’zîr .
Arab memiliki hukum sendiri yang mereka praktikkan dalam Berbeda dengan ketiga jenis hukuman yang lain, penentuan
kehidupan sehari-hari. Islam mengakui beberapa dari hukum bentuk dan kadar hukuman jenis ta’zîr diserahkan pada ke-
adat tersebut dan menghapus sebagian yang lain. Mereka bijakan pemegang kekuasaan (ulîl amri). Lihat Ahsin Sakho
menghindari perkawinan dengan ibu-ibu serta anak-anak Muhammad (ed.), Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Jakarta:
mereka, dan hal ini diakui Islam. Sedangkan menikahi janda- PT Kharisma Ilmu, 2008), h. 90-91.
26
janda dari ayah mereka yang dianggap oleh Islam sulit dipahami Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Raja Grafindo
dihapus oleh Nabi. Praktik hukuman potong tangan karena Persada, 2000), h. 10-14.
27
seorang pencuri juga mendapat dukungan dan dilegitimasi Sedangkan kifârat adalah hukuman tertentu yang di-
oleh Islam. Lihat Manouchehr Paydar, Legitimasi Negara Islam: ancamkan terhadap pelanggaran (maksiat) tertentu atau terhadap
Problem Otoritas Syari’ah dan Politik Penguasa, terj. M. Maufur pembunuhan tak sengaja dengan tujuan menghapuskan dosa
el-Khoiri, (Yogyakarta: Fajar Baru Pustaka, 2003), h. 133. pelakunya. Bentuk-bentuk hukuman ini serta pelanggaran dan
20
Pencurian, perzinaan, menuduh orang berbuat zina ancaman hukumannya telah ditetapkan dalam nas. Bentuk
(al-qadzaf), mengonsumsi barang yang memabukkan (khamr), hukuman jenis kifârat ada tiga macam: (a) memerdekakan
membunuh atau melukai, mencuri, merusak harta orang lain, hamba sahaya; (b) berpuasa; (c) memberi santunan kepada orang
dan jarîmah (melakukan kekacauan dan semacamnya berkaitan miskin berupa makanan dan pakaian. Adapun pelanggaran yang
dengan hukum kepidanaan) diancam dengan kifârat adalah: (a) pembunuhan tak sengaja;
192| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 2 Juli 2013
30
(b) bersenggama suami isteri pada siang hari bulan Ramadan; Lihat selengkapnya Abdullahi Ahmed al-Na’îm,
(c) pelanggaran sumpah; (d) menyetubuhi isteri yang telah di- Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, HAM dan
dzihar; dan (e) pelanggaran terhadap ihrâm pada ibadah haji. Hubungan Internasional dalam Islam (Towards an Islamic
28
Majid Khuddari, War and Peace in The Law of Islam, Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International
terj. Kuswanto, (Yogyakarta: Tarawang Press, 2002), h. 17. Law), terj. Ahmad Suaedi dan Amiruddin Arrani, (Yogyakarta:
29
Majid Khuddari, War and Peace in The Law of Islam, LkiS 1994), bab 4 dan bab 7.
31
h. 18. Majid Khuddari, War and Peace in The Law of Islam,
Junaidi Abdillah: TRekonstruksi Epistemologi Fiqh Jinâyah Indonesia dan Relevansinya |193
Berbeda dengan teori objektivisme bayani.43 Yakni sebuah metode yang murni
rasionalistik yang banyak direpresentasikan berangkat dari gaya penalaran Arab yang
ulama-ulama Muktazilah. 41 Sebagaimana tidak dimiliki oleh budaya dan peradaban
pernyataan tokoh Muktazilah Abu Husain lain. Nalar bayâni merupakan nalar pertama
al-Basri yang mengilustrasikan akal manusia yang dikenal bangsa Arab terutama dalam
mempunyai kekuatan sebagai sumber hukum, ilmu-ilmu fundamental seperti fiqh, ulûm
dengan ungkapan: al-qur’an, filologi dan sebagainya. Nalar
“...jika seseorang mujtahid hendak me- bayani dibangun di atas dasar diskontinuitas
ngetahui hukum suatu kasus, maka ia dan propabilitas. Nalar ini menafikan teori
wajib menyelidiki lebih dahulu bagai- kausalitas atau adanya tentang sistem hukum
mana hukum kasus itu menurut akal, alam. Inilah kelemahan nalar bayâni. Sebab
kemudian menyelidiki apakah hukum akan selalu terkungkung dengan bayangan
akal tersebut telah berubah karena masa lalu dengan basis qiyâs-nya. Tidak
adanya dalil naql. Jika tidak ada, maka mengherankan jika al-Jâbiri tidak sependapat
dipertahankan hukum akal itu. Dan, jika dengan qiyâs sebagai satu-satunya metode
ada maka dipegangi hukum baru yang dalam berijtihad.
ditentukan oleh dalil naqli tersebut..” 42 Baru setelah bangsa Arab bersentuhan
Sepenggal kutipan di atas meng in- dan berdialog dengan filsafat dan tasawuf,
dikasikan bahwa akal diposisikan pada mereka mengenal epistemologi lainnya
tempat utama dalam proses penggalian dan yakni burhâni dan irfâni. Lebih lanjut,
penentuan hukum Islam. Akal dalam hal al-Jâbiri menegaskan bahwa umat Islam
ini ditempatkan sebagai penentu awal baik- sudah saatnya menghidupkan kedua nalar
buruk. Sedangkan wahyu bersifat konfirmatif tersebut. Terutama nalar burhâni yang
atas akal. Hal ini tentunya berbanding tidak meredup bersamaan tenggelamnya kekuasaan
lurus dengan pandangan ulama Asy’ariyyah Abbasiyah. Di bawah bayang-bayang Hijaz,
yang menilai kualitas baik-buruk hanya dapat umat Islam era skolastik takut keluar dari
dicapai oleh wahyu. Artinya, baik-buruk mainsstream bahwa pembicaraan hukum
bukanlah sesuatu yang esensial dalam dirinya Islam hanya berpusat pada wahyu serta
sendiri, melainkan karena ditentukan sebagai hanya mengandalkan pendekatan linguistik.
yang baik dan buruk oleh wahyu. Elaborasi di atas akhirnya dapat
Terlepas dari polemik di atas, penulis meng hantarkan pemahaman bahwa jika
ingin mengetengahkan gagasan al-Jâbiri epistemologi hukum Islam dikontekstualisasi-
yang mengkritik atas dominasi dan kan dalam konteks Indonesia, maka wahyu
determinasi teori subjektivisme teistik. al- (revelation) bukanlah satu-satunya sumber
Jâbiri menyatakan bahwa subjektivisme pengetahuan. Namun juga melibatkan dan
teistik sangat dipengaruhi epistemologi menyertakan akal (reason) dan indra sebagai
pendamping wahyu. Teori dominasi wahyu
atas akal dan indera pada era klasik-skolastik
41
Teori ini menyatakan bahwa rasio (akal) sangat ber- saatnya dibongkar dan dikonstruk dengan
wenang menentukan hukum tanpa adanya wahyu. Tegasnya,
hukum Allah terhadap perbuatan itu tergantung penilaian rasio penalaran gaya baru. Dengan demikian, dapat
manusia. Jika dipandang baik, maka baik pula di sisi Allah ditegaskan bahwa epistemologi fiqh jinâyah
sehingga diperintahkan. Sebaliknya, jika dinilai buruk maka
buruk pula menurut Allah sehingga dilarang. Pengetahuan
manusia tentang baik buruk menjadi norma yang mengikat
43
dirinya untuk berbuat sesuai dengan pengetahuan. Muhammad ‘Abid al-Jâbiri, Formasi Nalar Arab: Kritik
42
Abû al-Husain al-Basri al-Mu’tazily, al-Mu’tamad fi Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Interreligius (Takwîn
Ushûl al-Fiqh, Juz II, (Damaskus: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, al-‘Aql al-‘Arabi), terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: IrciSoD,
t.t.), h. 908-909. 2003), h. 121-130.
196| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 2 Juli 2013
Indonesia menempatkan ketiga sumber yakni demikian, maka Alquran bukanlah buku
wahyu, akal dan indera sebagai sumber. hukum (the book of law), tetapi lebih
Ketiganya diposisikan sederajat dan bersifat kepada kitab yang mengandung nilai-nilai
antinomis. Dalam filsafat antinomi, sesuatu dan ajaran-ajaran yang bersifat etis yang
yang sepintas tampak bertentangan, bertolak berkenaan hukum dan aktivitas lainnya
belakang, sejatinya bisa berdampingan dan (the sources of law).45
seiring saling melengkapi. Dengan skema argumentasi demikian,
Setali tiga uang, terkait dengan metode maka pemberlakuan fiqh jinâyah dalam
hukum Islam, epistemologi fiqh jinâyah pengertiannya yang formal dan ideologis
Indonesia harus mampu mengambil tidaklah begitu penting. Justru yang ter-
tradisi lama yang tentunya masih relevan penting adalah bahwa adanya jaminan
dengan tradisi modern dan sesuai dengan tumbuhnya nilai-nilai dasar etis yang telah
perkembangan ilmu pengetahuan modern ditetapkan dalam Alquran. Jika demikian
dengan model integrasi maqashidy dan halnya, maka tidak ada alasan teologis untuk
eklektisisme.44 Dalam rangka memanfaatkan menolak gagasan-gagasan politik mengenai
tradisi lama yang baik, epistemologi di kedaulatan rakyat, negara-bangsa sebagai
Indonesia harus mampu membangkitkan tiga unit teritorial yang sah dan prinsip-prinsip
nalar: bayâni, burhâni dan irfâni sekaligus. umum teori politik modern lainnya. Dengan
Tentunya dengan fokus pada kajian sosial- kata lain, sesungguhnya tidak ada alasan
historis fiqh jinâyah termasuk mengakomodasi yang kuat untuk meletakkan Islam dalam
tradisi masyarakat lokal, rasionalisasi hukum posisi yang berseberangan dengan sistem
Islam dan pengembangan teori maslahat. politik modern.
Sesuai dengan kaidah al-Muhâfadzatu ‘ala
al-qadîmi al-shâlih wa al-akhdzu bi al-jadîd
c. Validitas Hukum
al-ashlah. Selain itu, menurut penulis, yang
tidak kalah penting dalam berijtihad juga Kajian tentang validitas hukum Islam dalam
menggunakan ilmu-ilmu alam dan sosial bingkai epistemologi tidak bisa lepas dari
yang berkembang di Barat selama perangkat tradisi dan konsep qath’i dan dzanni dalam
keilmuan tersebut sesuai dengan problema penetapan hukum Islam. Kedua konsep
hukum pidana yang dikaji. tersebut sering dijadikan mujtahid sebagai
parameter dalam menentukan validitas
Dalam konteks sumber dan metode
sebuah hukum. Dalam hal ini Alquran
fiqh jinâyah, pemikiran bahwa Islam
diposisikan sebagai dalil yang paling pasti
tidak meletakkan suatu pola baku tentang
valid (qath’i) baik dipandang dari asalnya
teori negara yang harus diterapkan oleh
(tsubût) maupun kehujjahannya (dalâlah).
umat Islam. Dengan spektrum demikian,
Konsekuensinya, muatan dan bentuk hukum
maka istilah negara (dawlah) tidak dapat
dalam Alquran tidak perlu diragukan lagi
ditemukan dalam Alquran. Kendati terdapat
serta sudah menjadi kesepakatan ulama.
berbagai ungkapan dalam Alquran yang
Walhasil, mujtahid tidak diperkenankan
merujuk kepada kekuasaan politik dan
untuk menafsirkan apalagi menyimpang dari
otoritas, akan tetapi ungkapan-ungkapan
teks-teks Alquran. Pengecualian untuk teks-
ini hanya bersifat insidental dan tidak ada
pengaruhnya bagi teori politik. Dengan
45
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran
dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina,
44
Qadri A. Azizy, Eklektisisme Hukum Islam: Kompetisi 1998), h. 76-78. Lihat juga Topo Santoso, Menggagas Hukum
antara Hukum Islam dan Hukum Nasional, (Yogyakarta: Gama Pidana Islam: Penerapan Syari’at Islam dalam Konteks Modernitas,
Media, 2002). (Bandung: Asyâmil Press dan Grafika, 2001).
Junaidi Abdillah: TRekonstruksi Epistemologi Fiqh Jinâyah Indonesia dan Relevansinya |197
teks yang disinyalir masih bersifat dugaan mendatangkan beberapa keuntungan: (1)
(dzanni). konsep ini telah merobohkan bangunan
Warisan konsep qath’i dan dzanni ulama ilmu yang dikotomis yang menghambat
klasik sebenarnya mengandung banyak gairah berpikir dan berijtihad di kalangan
segi, baik metodologis maupun historis. umat Islam; (2) dengan hal ini para ulama
Secara metodologis, jelas sangat susah akan lebih berkonsentrasi dengan formulasi
untuk menyamakan persepsi antara para yang lebih praksis-fungsional sehingga lebih
mujtahidin, berkaitan dengan wilayah qath’i menjaga kemaslahatan; (3) dalam rangka
dan dzanni. Dimungkinkan sekali terjadi merawat poin nomor 2, para ulama dapat
perbedaan pandangan di antara ulama terkait memanfaatkan sumber-sumber lain semisal
kepastian sebuah teks. Bagi sebagian ulama akal dan piranti ilmu-ilmu modern. Dengan
mungkin dinilai qath’i namun tidak bagi demikian hasil pikirannya mendekati harapan;
ulama lainnya.46 Teks-teks hukum terkait dan (4) dapat memperluas wilayah ijtihad.49
dengan kesaksian wanita, hukuman potong Dari beberapa analisis di atas, dalam
tangan bagi pencuri, rajam dan jilid bagi konteks Indonesia, maka konstruk validitas
pezina, qishâsh dan diyat pada umumnya fiqh jinâyah idealnya tidak hanya menjadikan
dipandang sesuatu yang qath’i karenanya dalil-dalil yang atomistik atau bersifat
tidak boleh ditafsir ulang. Padahal dalam mandiri dalam menentukan valid tidaknya
kasus potong tangan bagi pencuri, menurut sebuah hukum. Artinya, untuk menentukan
al-Jâbiri, hanya dengan cara demikian valid atau tidaknya hukum harus didukung
hukuman pada saat itu dilakukan. Sosio- dalil yang komprehensif dengan metode
kultur masyarakat Arab yang nomadik dan kolaborasi induktif. Selain itu, untuk
infrastruktur yang tidak memadai, mustahil memperluas spektrum dan materi ijtihad,
melakukan hukuman dengan selain potong dalam konteks Indonesia yang plural dari
tangan.47 Inilah pentingnya kajian sosio- segala aspeknya, validitas hukum pidana
historis dalam ayat-ayat hukum pidana. Islam, sudah saatnya tidak menggantungkan
Tidak mengherankan jika Masdar F. pada konsep qath’i dan dzanni warisan ulama
Mas’udi mencoba membongkar konsep klasik-skolastik yang dipandang sudah tidak
dikotomis yang membingungkan antara lagi relevan. Namun lebih menekankan pada
wilayah qath’i dan dzanni. Dalam perspektif bagaimana konsep qath’i hanyalah konsep
Masdar, yang dimaksud dengan qath’i adalah normatif yang fundamental dan universal.
nilai-nilai fundamental dan universal seperti Sementara konsep dzanni adalah bentuk
keadilan, kesetaraan, persamaan, kemaslahatan implementasi praksis-fungsional dalam rangka
dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud mewujudkan nilai-nilai normatif tersebut
dengan dzanni adalah bentuk-bentuk praktis dan sudah barang tentu validitasnya sangat
dalam rangka mewujudkan nilai-nilai fun- dipengaruhi perubahan kondisi, lingkungan,
damental dan universal tersebut.48 Dengan ruang dan waktu.
reinterpretasi konsep qath’i dan dzanni Terkait dengan validitas hukum pidana
tersebut, maka menurut Imam Syaukani Islam, dapat ditegaskan bahwa sesungguhnya
eternalitas Alquran itu tidak terletak pada arti
46
teksnya (dzâhir al-nash), melainkan terletak
Ilyas Supena dan Muh. Fauzi, Dekonstruksi dan
Rekonstruksi Hukum Islam, h. 255-256. pada prinsip dan cita-cita moralnya yang
47
Muhammad Abid al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan
Syari’ah, h. 165.
48 49
Masdar Farid Mas’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Imam Syaukani, Rekonstruksi Hukum Islam dan
Perempuan: Dialog Fikih Perempuan, (Bandung: Mizan, 1997), Relevansinya Terhadap Pembangunan Hukum Nasional, (Jakarta:
h. 29-32. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 230-236.
198| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 2 Juli 2013
abadi, yang dinilai paling valid dan qath’i. khamr dan sebagainya. Bentuk hukuman
Alquran bukanlah kitab undang-undang semacam ini dilaksanakan dengan tujuan
yang siap saji. Karena bagaimanapun, ia untuk menebus dosa dan kesalahan yang
merupakan hasil dari proses dialogis antara telah dilakukan.52 Pendekatan jawabir ini
pesan-pesan samawi yang abadi dengan yang nampaknya dijadikan model penerapan
kondisi aktual Bumi pada saat Alquran perda syari’at di Provinsi Nangroe Aceh
diturunkan. Darussalam yang dalam praktiknya banyak
Lebih dari itu, bahwa nilai keabadian menuai badai kritik dari para pemikir hukum
dan universalitas Alquran terletak pada Islam.53
prinsip moralnya, maka pernyataan hukum Selain pendekatan jawabir, menurut
(legal specific) semisal hukum potong tangan, penulis, ada pendekatan yang lebih elegan
rajam, dera dan sebagainya tidak berlaku dan lebih kompatibel jika diterapkan di
secara universal. Hukuman-hukuman itu Indonesia, yakni pendekatan zawajir. Dalam
hanyalah solusi dan bersifat tentatif atas pendekatan ini, epistemologi fiqh jinâyah
peristiwa-peristiwa yang muncul pada saat Indonesia hukuman dalam pidana Islam yang
Alquran diturunkan.50 dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana
Dengan kata lain, bahwa hukuman itu tidak harus persis atau sama dengan apa yang
merupakan suatu produk transaksi antara secara tekstual tercantum dalam Alquran
keabadian Allah dan situasi ekologi aktual dan hadis. Pelaku boleh dihukum dengan
bangsa Arab abad ke-7. Karenanya bentuk bentuk hukuman apa saja. Dengan catatan,
hukuman bisa berubah-ubah sesuai dengan hukuman tersebut mampu mencapai tujuan
kondisi waktu dan tempat (taghayyur al- hukum yaitu menjadikan pelaku jera, dan
ahkâm bi taghyyur al-azminah wa al-amkinah). menimbulkan rasa takut bagi seseorang ntuk
Dengan catatan tetap mencerminkan nilai melakukan tindak pidana.
dan prinsip Alquran yang sering dikenal Pendekatan zawajir memang mirip
dengan maqâshid al-syarî’ah. dengan teori batas (hudûd) yang ditawarkan
Syahrûr. Perbedaannya, teori hudûd
mempunyai kelemahan pada sisi penetapan
Pendekatan Zawajir
hukum potong tangan bagi pencuri sebagai
Terkait dengan pendekatan legislasi fiqh hukuman maksimal (hadd al’alâ). Dengan
jinâyah paling tidak ada dua model pen-
dekatan yang dilakukan oleh para ahli
52
hukum, yakni pendekatan jawabir (paksaan) Di sinilah letak perbedaan yang mendasar dalam hal
melihat hubungan antara bentuk hubungan antara bentuk
dan pendekatan zawajir (pencegahan).51 hukuman dan tujuan hukuman dalam tradisi hukum pidana
Pendekatan jawabir adalah menghendaki Islam dan hukum pidana Barat. Dalam hukum pidana Islam,
bentuk hukuman yang diberikan kepada pelaku kejahatan
pelaksanaan hukuman pidana persis seperti mempunyai ekses religius seperti pengampunan atas dosa di
hukuman yang secara tekstual literal di- samping juga mempunyai motif untuk penjeraan bagi pelaku
supaya tidak melakukan/mengulangi kejahatan kembali. Berbeda
sebutkan di dalam nash Alquran dan hadis, dengan tradisi hukum pidana Barat yang hanya bertujuan untuk
semisal potong tangan bagi pencuri, rajam ekses penjeraan. Untuk lebih detail baca Muhari Agus Susanto,
Paradigma Baru Hukum Pidana, (Malang: Pustaka Pelajar dan
dan jilid bagi pezina, cambuk bagi peminum Averroes Press, 2002).
53
Lihat Perda NAD Qanun Provinsi Daerah Istimewa
Aceh No.5/2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam, Perda/
50
Charles Kurzman, Liberal Islam; A Sourcebook, (London: Qanun NAD No. 7/2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan
Mc Millan, 1998), h. 80-89. Lihat pula Fazlurrahaman, Islam, Adat, Qanun No. 11/2002 tentang Syariat Bidang Ibadah,
terj. Ahsin Muẖammad, (Jakarta: Pustaka, 1990). Akidah, dan Syi’ar Islam di Aceh, Qanun NAD No. 12/2003
51
Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, h. 86- tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya, Perda/Qanun NAD
87. Lihat juga Ibrahim Hosen, Pembaruan Hukum Islam di No. 13/2003 tentang Maisir (perjudian), Perda/Qanun No.
Indonesia, (Jakarta: Putra Harapan, 1990) h. 126-128. 14/2003 tentang Khalwat (Mesum).
Junaidi Abdillah: TRekonstruksi Epistemologi Fiqh Jinâyah Indonesia dan Relevansinya |199
model yang demikian, maka teori batas tidak objektif tersebutlah, menurut penulis, me-
bisa diterapkan secara dalam segala bentuk rupakan faktor yang paling menentukan
ruang dan waktu. Sebab, jika hukuman untuk pemberian hukuman berat, sedang
potong tangan dipandang sebagai hukuman atau ringan.
yang maksimal, maka tujuan dari pemberian Dalam perspektif historis, kita bisa
hukuman agar membuat jera bagi pelaku dan belajar dari Umar ibn Khattab yang tidak
orang lain, dimungkinkan tidak tercapai. memotong tangan pencuri dalam kondisi
Dalam kasus seorang pencuri kambuhan paceklik. Tesis al-Jâbiri, bahwa hukuman
misalnya, tentunya hukuman yang tepat potong tangan bagi pencuri dalam konteks
tentunya tidak cukup dengan dipotong masyarakat era awal Islam merupakan bentuk
tangannya. Pada titik inilah, pendekatan hukuman yang dipandang paling rasional.
zawajir yang sifatnya lebih umum akan lebih Ketika kehidupan masyarakat yang nomaden
sesuai diterapkan di Indonesia. Sebab dalam dan infrastruktur masyarakat belum lengkap.
pendekatan ini, hukuman bisa maksimal dan Kasus-kasus tersebut memberikan pelajaran
bisa minimal tergantung pada kebutuhan.54 bahwa permasalahan ekonomi menjadi kajian
Jika ditelaah lebih mendalam, sebenarnya utama sebelum memberlakukan potongan
ada korelasi kuat antara bentuk hukuman tangan.
dan tingkat kejeraan para pelaku tindak Berbeda lagi jika masalah hukum pidana
pidana. Hanya saja, dalam kasus hukum dalam konteks keindonesiaan. Di masyarakat
potong tangan yang terdapat dalam fiqh Lampung misalnya, orang yang membunuh
jinâyah, epistemologi hukum Indonesia dapat dituntut balas untuk dibunuh juga.
tidak menjadikannya sebagai satu-satunya Demikian juga di Papua, Madura dan lainnya.
bentuk hukuman yang diterapkan. Namun Nyawa harus dibalas dengan nyawa. Dalam
bisa saja dalam bentuk yang lebih berat, perspektif fiqh jinâyah ada kesamaan dengan
hukuman mati misalnya, atau justru bisa qishâsh selain juga harus membayar denda
jadi lebih ringan. Semuanya tergantung yang sama dengan hukuman diyat. Dan
pada kondisi objektif lingkungan dan pe- memungkinkan pula bisa dimaafkan tanpa
laku. Kondisi objektif lingkungan bisa saja kompensasi apapun. Dalam kasus masyarakat
berkaitan dengan tradisi (proses pidana) Lampung dan Papua misalnya, seseorang
yang terdapat dalam suatu masyarakat atau pembunuh bisa bebas bahkan menjadi kerabat
kondisi sosial-ekonomi dan faktor lainnya. terbunuh setelah sebelumnya melakukan ritual
Sedangkan kondisi objektif pelaku bisa saja tertentu. Semisal menyembelih kerbau dalam
berkaitan dengan tingkat kesadaran beragama kasus masyarakat Lampung dan memotong
dan tingkat sosial ekonomi. Kedua kondisi babi bagi masyarakat Papua. Kesadaran-
kesadaran sosiologis-historis semacam ini-
54
Teori zawajir ini ternyata sejalan dengan teori behavioral lah yang mestinya dipahami betul oleh
prevention. Artinya, hukuman pidana harus dilihat sebagai cara para ahli hukum di Indonesia. Dengan
agar yang bersangkutan tidak lagi berada dalam kapasitas untuk
melakukan tindak pidana (incapacitation theory) dan pemidanaan model pendekatan semacam inilah, upaya
dilakukan untuk memudahkan dilakukannya pembinaan, yang memasukkan fiqh jinâyah ke dalam rancangan
bertujuan untuk merehabilitasi si terpidana sehingga ia dapat
merubah kepribadiannya menjadi orang baik yang taat pada KUHP baru lebih mudah dilakukan.
aturan (rehabilitation theory). Teori ini merupakan pengembangan
dari deterrence theory yang berharap efek pencegahan dapat timbul Transformasi fiqh jinâyah ke dalam
sebelum pidana dilakukan (before the fact inhabition), misalnya hukum pidana nasional saat ini sesuatu yang
melalui ancaman, contohnya keteladanan dan sebagainya; dan
intimidation theory yang memandang bahwa pemidanaan itu seharusnya niscaya.55 Hal tersebut bukan
merupakan sarana untuk mengintimidasi mental si terpidana.
Lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran
55
dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998). Pada tahun 2001, pemerintah Indonesia telah membuat
200| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 2 Juli 2013
saja karena mayoritas masyarakat Indonesia pemidanaan modern. Upaya objektivikasi ini
adalah Muslim, tetapi juga karena secara bukan bertujuan untuk menghilangkan fiqh
historis fiqh jinâyah Islam pernah hidup di jinâyah itu sendiri. Melainkan semata-mata
bumi Indonesia. Namun demikian, hukum untuk menghindari kesalahpahaman yang
pidana Islam (fiqh jinâyah) yang ditawarkan tidak perlu. Dengan metode ini diharapkan
harus hukum pidana yang dinamis, elastis fiqh jinâyah secara substansial tetap bisa
sejalan dengan karakteristik bangsa Indonesia menjadi bagian dari masyarakat Muslim,,
yang pluralistik, tanpa mengabaikan tujuan- meski simbol-formal tidak begitu nampak
tujuan syari’ah. dipermukaan. Inilah yang menurut penulis
Diakui, upaya ini akan menemui sesuai dengan kaidah mâ lâ yudraku kulluhu
sejumlah problem, semisal problem lâ yutraku kulluhu.
historisitas, sosial-budaya, institusional Di akhir catatan tulisan ini, dengan
dan kendala internal hukum pidana Islam rekonstruksi epistemologi fiqh jinâyah
sendiri. Kendala-kendala ini harus dicarikan Indonesia, maka gagasan transformasi
solusinya agar transformasi ini dapat berjalan tersebut harus dipetakan wilayah fiqh jinâyah
dengan baik. Mempertimbangkan problem- yang substansial (qath’i) dan yang parsial
problem di atas, maka model penerapan (dzanni). Dalam konteks dan bidang hudûd
hukum pidana Islam yang paling tepat misalnya, tujuh bidang seperti zina, qadzaf,
adalah dengan mengkompromikan fiqh syurb al-khamr dan lainnya, delik pidana
jinâyah dengan hukum pidana (warisan sudah saatnya dicover dalam hukum pidana
Belanda) yang berlaku saat sekarang ini. nasional. Namun penulis melihat dalam hal
Artinya, penerapannya tidak harus formal- bentuk hukuman tidak harus sama dengan
tekstual, akan tetapi substansial-kontekstual. tawaran Alquran. Sebab hukuman potong
Dengan demikian, hukum pidana Indonesia tangan, rajam dan sebagainya merupakan
mendatang benar-benar dapat diterima oleh wasîlah bukan ghâyah.
seluruh lapisan masyarakat dan diharapkan Dalam titik inilah menarik untu
mampu membentuk masyarakat Indonesia mencermati gagasan Ibrahim Hosen yang
yang taat hukum serta berakhlak mulia. menekankan pendekatan ta’aqquli dalam
Akhirnya, dalam konteks kajian fiqh hukum pidana Islam. Pendekatan ini sangat
jinâyah keindonesiaan, epistemologinya lebih penting dalam mengedepankan aspek
memilih untuk melakukan upaya akomodasi zawajir-nya.56 Yakni hukuman dilakukan
adat dan tradisi hukum pidana lokal (local agar pelaku pidana merasa jera, tidak akan
wisdom) yang berkembang. Tentunya setelah mengulangi perbuatan tersebut. Dengan
dilakukannya objektivikasi baik dari aspek demikian, maka bentuk hukuman tidak
istilah-istilah teknis dan bentuk-bentuk terikat pada bunyi teks (nas). Atas dasar
hukumannya. Dari apek peristilahan se- ini seorang pencuri bisa saja dihukum selain
dapat mungkin tidak menggunakan istilah potong tangan. Asalkan hukuman tersebut
atau huruf Arab, dan dari aspek bentuk mampu membuat jera pelaku dan tidak akan
dapat dikompromikan dengan teori-teori mengulanginya lagi, dan membuat orang lain
takut. Demikian halnya dengan hukuman
pelaku tindak pidana hudûd lainnya.
rancangan undang-undang Hukum Pidana terdiri dari 647 pasal
yang dalam beberapa pasalnya telah memasukkan fiqh jinâyah Ibrahim Hosen dipandang orang yang
ke dalam kitab tersebut. Namun demikian, hingga saat ini
kitab undang-undang tersebut masih sebatas draf yang belum
disahkan oleh DPR. Lebih detailnya lihat Ahmad Djazuli,
56
Ilmu Fiqh: Penggalian dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: http://fai.uhamka.ac.id/post.php?idpost=20- ftn62
Kencana, 2010) h. 193-194. diakses tanggal 20 Mei 2013.
Junaidi Abdillah: TRekonstruksi Epistemologi Fiqh Jinâyah Indonesia dan Relevansinya |201
setuju bahwa sanksi hukum bentuk potong Kasus lain adalah meminum minuman
tangan dan rajam tidak relevan diterapkan keras, KUHP memandang perbuatan ter-
di Indonesia. Menurutnya, potong tangan, sebut bukan suatu delik, selama tidak
dera dan rajam bukanlah tujuan hukum membahayakan orang lain. Sedangkan hukum
itu sendiri, melainkan sebagai instrumen pidana Islam menganggapnya sebagai jarîmah,
membuat pelaku pidana jera. Karenanya walaupun pelakunya tidak membahayakan
dalam konteks ini, syari’at menjadi relatif, orang lain. Hal ini disebabkan hukum Islam
bisa dirubah dan dikontekstualisasikan.57 berpijak pada akhlak mulia dan kemaslahatan
Lebih lanjut, menurut Hosen, hukum masyarakat, termasuk individu itu sendiri.
tidak bergantung pada sebuah benda atau Tentu banyak lagi jarîmah yang bisa
barang yang dihasilkan, tetapi terkait dengan dijadikan delik dalam hukum pidana positif.
perbuatan manusia (mukallaf). Selain itu, Namun demikian, jarîmah-jarîmah tersebut
pemutusan sebuah hukum sangat terkait haruslah dipahami secara kontekstual,
dengan masâlik al-‘illat. dinamis dan elastis, sehingga benar-benar
Berdasarkan epistemologi seperti di atas, layak dijadikan bagian dari hukum pidana
maka transformasi fiqh jinâyah menjadi nasional. Sebagai contoh adalah jarîmah
hukum nasional terbuka untuk diterima riddah yang konsepnya belum jelas.
masyarakat Indonesia. Dalam kasus zina Dari segi bentuk hukuman fiqh jinâyah
misalnya, KUHP tidak menganggap kasus sering mendapat kritik akibat masih di-
zina ghairu muhsan (persetubuhan ilegal terapkannya ketentuan rajam dan jilid
antara dua orang yang belum menikah (cambuk). Dalam hukum Islam belakangan
atau tidak terikat dalam perkawinan, atas ini diusulkan adanya perubahan orientasi
dasar suka sama suka) sebagai suatu tindak jinâyat. Dahulu, pemidanaan dalam Islam
pidana. Zina dalam KUHP hanya mencakup dimaksudkan sebagai unsur pembalasan dan
persetubuhan ilegal antara dua orang, penebusan dosa. Inilah yang melatarbelakangi
atau salah-satunya, yang sudah menikah. lahirnya teori jawabir. Namun telah muncul
Tampaknya, KUHP tidak melihat adanya teori baru yang menyatakan bahwa tujuan
unsur kejahatan pada kasus zina ghairu jinayat itu adalah untuk menimbulkan rasa
muhsan, karena tidak ada pihak yang merasa ngeri bagi orang lain agar tidak berani
dirugikan. Secara sekilas mungkin benar, melakukan tindak pidana. Teori yang
akan tetapi jika dikaji lebih jauh, perbuatan belakangan ini dikenal dengan teori zawajir.
tersebut bukan saja akan merugikan keluarga Jadi, bagi penganut teori jawabir, hukuman
dan masyarakat setempat, bahkan kedua potong tangan dan qishâs itu diterapkan apa
pelaku tersebut. Zina dapat merusak tatanan adanya sesuai bunyi nas, sedangkan penganut
masyarakat, bertentangan dengan akhlak yang teori zawajir berpendapat bahwa hukuman
mulia, bertentangan dengan agama, bahkan tersebut bisa saja diganti dengan hukuman
bertentangan dengan budaya nasional yang lain, semisal hukuman penjara, asalkan efek
ketimuran. Delik zina ini pun seharusnya yang ditimbulkan mampu membuat orang
bisa diubah dari delik aduan menjadi delik lain jera untuk melakukan tindak pidana.
biasa.
Dengan demikian, bentuk-bentuk
hukuman fisik, seperti rajam dan potong
57
tangan, sedapat mungkin dihindari atau
http://fai.uhamka.ac.id/post.php?idpost=20- ftn63
diunduh tanggal 20 Mei 2013. Pandangan Hosen tentang diberikan kriteria yang ekstra ketat dan
zawajir ditentang keras oleh Satria Effendi. Menurut Effendi, memenuhi tujuan penjatuhan hukuman
dalam hukum potong tangan terdapat fungsi jawabir dan zawajir.
Menanggapi reaksi ini Hosen mengatakan bahwa ia merupakan tersebut yaitu represif dan preventif.
wasîlah bukan tujuan atau ghâyah.
202| AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 2 Juli 2013