Anda di halaman 1dari 5

LAPORAN DINAS

WORKSHOP ”PRACTICAL APPROACH IN EMERGENCY


ARRYTHMIAS”

A. Dasar Pelaksanaan : Meningkatkan pemahaman dan kemampuan petugas di


Fasyankes dalam menangani kegawatdaruratan kasus aritmia
B. Hari/Tanggal : Jum’at – Minggu / 10 – 12 November 2021
C. Materi/TEMA : 1. General Principle in Management of Arrythmic Patients in
the Emergency Department oleh dr. Rafdi Amadis, Sp.JP
2. Management of Bradyarrthmias in Emergency Setting oleh
dr. Ragil Nur Rosyadi, Sp.JP
3. Supraventricular Arrythmias in Emergency Setting oleh dr.
Anna Budiarti, Sp.JP
4. Atrial Flutter and Fibrilation in the Emergency Setting oleh
dr. Budi Baktijasa, Sp.JP
5. Wide QRS Complex Tachycardia in the Emergency Setting
oleh dr. Radin Julario, Sp.JP
D. Penyelenggara : ACSA (Airlangga Cardiovascular Symposium, Continuing
Medical Education, Surabaya Cardiology Update, Airlangga
Cardiovascular Expert Meeting) in Conjunction with 2 nd
Indovascular Symposium and Workshop
E. Hasil Kegiatan :

1 Management of Arrythmic Patients in the Emergency Department: General


Principles
Aritmia adalah kondisi ritme jantung selain ritme sinus jantung normal dengan laju
denyut jantung 60-100x per menit. Bradiaritmia adalah kondisi dimana laju denyut jantung
kurang dari 60x per menit, biasanya simptomatis atau tidak stabil secara hemodinamik bila laju
denyut jantung kurang dari 50x per menit. Pada beberapa orang, seperti pada atlet yang terlatih,
kondisi bradiaritmia bisa saja fisiologis. Sedangkan takiaritmia adalah kondisi dimana laju
denyut jantung lebih dari 100x per menit, biasanya simptomatis atau secara hemodinamik tidak
stabil bila laju denyut jantung lebih dari 150x per menit. Takiaritmia yang merupakan komplek
sempit biasanya berasal dari supraventrikular, sedangkan komplek lebar berasal dari
ventrikular. Baik komplek sempit maupun komplek lebar dapat berupa reguler maupun ireguler.
Pada kasus dengan latar emergensi, ketrampilan membaca EKG sangat diperlukan agar
dapat menangani kasus aritmia dengan baik dan tepat. Selain itu, penting juga memperhatikan
stabilitas hemodinamik pasien. Bila penyebabnya bersifat reversibel, maka pemberian terapi
sesuai kausa dapat memperbaiki kondisi pasien.
2 Management of Bradyarrithmias in Emergency Setting

Alur penanganan bradikardia mengikuti algoritma ACLS. Selain berfokus pada


penanganan bradikardia, penting juga untuk mengetahui penyebabnya. Perlu mengevaluasi
apakah bradikardia murni berasal dari kelainan jantung atau berasal dari kelainan metabolik
lainnya.

3 Supraventricular Arrythmias in Emergency Setting


Aritmia supraventikular merupakan gangguan irama jantung yang berasal dari nodus
sinus, jaringan atrial, accessory pathways dan junctional area. Istilah SVT secara umum adalah
takikardia (atrial rates yang lebih dari 100x per menit pada saat istirahat) yang mekanismenya
meliputi jaringan dari bundle His atau atasnya. Secara epidemiologis, wanita lebih banyak
mengalami SVT dibandingkan dengan pria.
4 Atrial Flutter and Fibrilation in the Emergency Setting
Atrial Fibrilasi merupakan disaritmia jantung yang paling sering dijumpai. Secara umum,
penanganan AF terdiri dari rate control, rhythm control, dan antikoagulan.
a. AF dengan hemodinamik tidak stabil
Kondisi hemodinamik tidak stabil meliputi sinkope, edema pulmonal akut,
ongoing myocardial ischemia, hipotensi simptomatis, atau shock kardiogenik. Pasien
AF dengan hemodinamik tidak stabil perlu intervensi berupa kardioversi dan setelah
itu diberikan antikoagulan.
b. AF dengan sindroma koroner akut
Sindroma koroner akut merupakan salah satu kondisi hemodinamik yang tidak
stabil pada pasien AF. Kardioversi harus segera diberikan, sementara injeksi
amiodarone dapat diberikan sebagai pilihan kedua. Antikoagulan juga tetap
diberikan. Pada pasien AF dengan SKA, pemberian golongan P2Y12 diberikan
sampai 6 bulan setelah PCI maupun fibrinolisis.
c. AF dengan stroke akut atau perdarahan intrakranial
1 dari 6 kasus stroke ditemukan adanya AF. Stroke akut dengan AF merupakan
stroke yang digolongkan berat dibanding dengan stroke dengan etiologi lainnya.
penggunaan obat antikoagulan juga memerlukan pemilihan waktu yang tepat, karena
pemberian yang terlalu dini dapat meningkatkan resiko perdarahan intrakranial. Obat
antikoagulan diberikan 4-14 hari setelah stroke iskemik akut. Pemberian obat
antikoagulan yang rutin dan sesuai anjuran juga dapat dijadikan sebagai usaha
preventif terjadinya stroke sekunder.
d. AF dengan gagal jantung
Pada kondisi AF yang disertai dengan gagal jantung, detak jantung optimal
yang direkomendasikan adalah di bawah 100x per menit. Pemberian obat-obatan rate
control dapat disesuaikan berdasarkan tipe gagal jantung. Beta-blockers, diltiazem,
dan verapamil dapat diberikan pada HFpEF. Sedangkan pada HFrEF dapat diberikan
beta-blockers dan digoxin. Amiodarone dapat dipertimbangkan sebagai rate control
pada kedua kondisi tersebut, tetapi hanya direkomendasikan pada saat akut saja.
Hemodinamik yang tidak stabil bisa saja membutuhkan kardioversi emergensi.
Apabila medikasi gagal, ablasi nodus AV dapat dilakukan.
5 Wide QRS Complex Tachycardia in the Emergency Setting
Takiaritmia dengan kompleks QRS lebar didefinisikan sebagai kondisi dimana denyut
jantung per menit melebihi 100x dengan durasi kompleks QRS lebih dari 120 ms pada
gambaran EKG. Penanganan yng dapat diberikan adalah kardioversi. Bila komples reguler,
dapat diberikan 100 J, sedangkan pada konpleks irreguler dapat diberikan sesuai dosis
defibrilasi. Saat ini sedang dikembangkan metode ablasi, meskipun masih jarang dijadikan
pilihan terapeutik pertama.

F. Kesimpulan :
1. Penting untuk menguasai teknik membaca EKG dalam setting gawat darurat.
2. Penilaian dan ketajaman pemeriksaan tenaga medis juga dapat menunjang
diagnosis dan tatalaksana pasien dengan kelainan irama jantung.
3. Mempertimbangkan kondisi pasien secara keseluruhan, karena kelainan irama
jantung juga dapat ditimbulkan dari kondisi klinis lain.
4. Algoritma yang menjadi pilihan utama adalah algoritma sesuai ACLS.
5. Selalu memeriksa kondisi pasien setiap selesai pemilihan terapi untuk assesment
terbaru agar dapat menentukan tindakan sesuai algoritma yang sesuai.
6. Bila terdapat penyakit penyerta lain, maka harus dipertimbangkan dalam
pemilihan regimen obat.
7. Selalu mempertimbangkan untuk konsultasi kepada yang lebih ahli untuk
penanganan lebih optimal.

G. Tindak Lanjut :
Menguatkan kemampuan semua petugas medis dalam menangani kasus kelainan irama
jantung di Puskesmas Sememi dengan melakukan sosilalisasi dan pelatihan hasil webinar.
H. Rekomendasi Kapus :
................................................................................................................................................................
................................................................................................................................................................
................................................................................................................................................................
................................................................................................................................................................
................................................................................................................................................................
................................................................................................................................................................

Petugas :

1. dr. Niwara Shanti : …………….

2. dr. Kezia Seraphine : ……………..

Mengetahui,
Kepala Puskesmas Sememi

(dr.Lolita Riamawati,M.Kes)
NIP. 19690826 200212 2 003

Anda mungkin juga menyukai