Anda di halaman 1dari 19

TATALAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI

PADA KASUS BEDAH DARURAT

Oleh:
Ni Luh Komang Sumi Arcani
dr. I Made Subagiartha,SpAn.KAKV,SH

BAGIAN/SMF ILMU ANESTESIA DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/
RSUP SANGLAH
2017
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN .............................................................................................i


DAFTAR ISI ..........................................................................................................ii
DAFTAR TABEL ...................................................................................................iii
I. Batasan ..........................................................................................................1
II. Masalah ..........................................................................................................2
III. Penatalaksanaan ...........................................................................................2
3.1 Evaluasi ...........................................................................................2
3.2 Persiapan Praanestesia ......................................................................11
3.3 Pilihan Anestesia dan Reanimasi .....................................................13
3.4 Pemantauan selama Operasi .............................................................14
3.5 Terapi Cairan dan Transfusi Darah selama Operasi .........................15
3.6 Pasca Anestesiaa...............................................................................15
DAFTAR PUSTAKA

ii
iii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Klasifikasi Perdarahan ............................................................................ 4


Tabel 3.2 Secondary survey .................................................................................. ..8
I. BATASAN
Trauma multiple merupakan salah satu kasus bedah darurat yang cukup sering
terjadi, dimana pasien dikategorikan mengalami trauma multiple apabila memiliki
injury severity score (ISS) lebih dari 16 poin. ISS tersebut menggambarkan besarnya
kerusakan jaringan yang terjadi pada pasien akibat trauma yang akan berdampak pada
trias kematian yaitu asidois, hipotermia, dan koagulopati.1 Pada tahun 2015 di RSUP
Sanglah Denpasar terdapat 1239 tindakan di ruang operasi IRD yang berkaitan
dengan kasus bedah kegawatdaruratan diantaranya 720 kasus berkaitan dengan cedera
kepala, 455 kasus berkaitan dengan fraktur ekstremitas, dan 64 kasus berkaitan
trauma abdomen.2 Selama proses tindakan tersebut Anestesia pada kasus bedah
darurat mempunyai kekhusuan karena keadaan pasien yang memerlukan bantuan
anestesia reanimasi mulai dari melakukan tindakan resusitasi primer sampai dengan
tindakan anestesia pada proses lanjutan sampai dengan perawatan pasien pasca
operasi sangat bervariasi mulai dari tanpa penyakit dasar yang menyertai sampai
dengan penyakit dasar yang berat, kelainan bedah yang akut yang dialami pasien,
serta interaksi selama pemakaian obat-obatan.3
Anestesia pada kasus bedah darurat merupakan tindakan yang diberikan pada
pasien yang akan menjalani pembedahan darurat sebagai akibat dari penyakit bedah
yang dideritanya secara mendadak dengan tindakan anestesia-analgesia.4
Kasus bedah darurat berdasarkan ancamannya dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:
1. Bedah darurat absolut merupakan kasus bedah darurat yang dikerjakan dalam
kurun waktu 1 (satu) jam setelah diagnosis ditegakkan yang berhubungan
dengan kelainan/gangguan anatomi dan atau fungsi organ vital. Apabila
dilakukan penundaan pembedahan akan berdampak membahayakan jiwa atau
menyebabkan kehilangan anggota badan. 4
2. Bedah darurat relatif adalah kasus bedah darurat yang harus dikerjakan dalam
kurun waktu kurang dari 6 (enam) jam setelah diagnosis ditegakkan, dimana
pada kasusu bedah darurat relatif ini tidak mengancam nyawa atau keselamatan
anggota badan akibat kelainan/gangguan anatomi.4
Penyakit sistemik yang mengancam jiwa pasien seperti status asmatikus,
dekompensasi kordis, dan stadium terminal dari penyakit sistemik yang dideritanya,
akan berdampak pada pertimbangan untuk ditundanya tindakan pembedahan.4
II. MASALAH ANESTESIA DAN REANIMASI

1
2

1. Keterbatasan waktu dalam melakukan evaluasi dan persapan pra-anestesia atau


bedah secara menyeluruh
2. Masalah yang dijumpai tidak menentu dan setiap saat dapat berubah, masalah
ini tergantung atas keadaan pasien serta penyakit dasar yang diderita pasien
3. Perbaikan yang dilakukan selama praoperatif tidak menyeluruh akibat
keterbatasan faktor penunjang baik medis dan non medis
4. Psikologis dari pasien dan keluarga tidak siap, seringkali mengalami ketakutan
dan gelisah yang berlebih
5. Pengosongan lambung terlambat sehingga masih penuh atau terisi oleh
makanan dan cairan
6. Diagnosis dan tindakan bedah yang dilakukan sering tidak menentu akibat dari
faktor 1,2, dan 3 diatas.4
III. PENATALAKSANAAN ANESTESIA DAN REANIMASI
3.1 Evaluasi
3.1.1 Anamnesis
Setiap pemeriksaan memerlukan anamnesis mengenai riwayat terjadinya
kejadian. Biasanya data yang didapat dari anamnesis ini bersumber dari pasien
sendiri, saksi pada saat kejadian, ataupun keluarga. Adapun yang harus digali dari
anamnesis ini ialah riwayat “AMPLE” yaitu (1) Alergi, pasien ataupun kelurga
ditanyakan mengenai apakah pasien mempunyai riwayat alergi obat ataupun
makanan, (2) Medikasi, ditayakan mengenai obat apa saja yang sedang dikonsumsi
pasien saat ini, (3) Past Illness/Pregnancy, ditanyakan apakah pasien mempunyai
riwayat penyakit sistemik seperti diabetes mellitus, hipertensi, asma, dan penyakit
jantung, serta ditanyakan apabila pasien perempuan apakah sedang hamil atau tidak,
(4) Last meal, tanyakan kepada pasien kapan minum dan makan terakhir, (5)
Event/environment, yaitu ditanyakan bagaiman kondisi lingkungan yang berhubungan
saat kejadian trauma terjadi.5
Pasien dengan trauma multiple biasanya disertai dengan keadaan syok. Syok
merupakan suatu sindrom klinis yang terjadi akibat dari gangguan hemodinamik dan
metabolik yang ditandai dengan kegagalan sirkulasi untuk mempertahankan perfusi
yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Pada saat menghadapi pasien syok pastikan
airway baik, breathing adekuat dan sirkulasi ada. Dalam penegakkan diagnosis syok
dapat dilihat dari (1) Systemic Arterial Hypotension merupakan tekanan sistolik arteri
<90 mmHg, MAP <70 mmHg, dan takikardi; (2) Gejala klinis hipoperfusi jaringan
3

dapat dilihat dari kulit yaitu akral teraba dingin atau basah, ginjal yaitu terjadi
penurunan produksi urine, dan neurologi dilihat dari kesadaran pasien apakah
mengalami penurunan kesadaran atau tidak; (3) Hiperlactatemia yaitu kadar laktat >
1,5 mmol per liter. Terdapat beberapa jenis syok berdasarkan mekanisme dan
penyebabnya, diantaranya:6
(1) Syok Hipovolemik biasanya terjadi akibat perdarahan sehingga menurunkan
preload, akibatnya penurunan diastolik filling sehingga terjadi penurunan
cardiac output dan peningkatan systemic vaskular resistance yang akibatnya
terjadi penurunan MAP dan pasien syok. Prinsip penangan pada syok
hipovolemik ialah mengembalikan perfusi jaringan secara cepat dengan
memberikan cairan infus dengan target MAP 60 mmHg dan status mental
normal.
(2) Syok Kardiogenik disebabkan oleh gagal jantung, infark miokard,
disaritmia. Pada syok kardiogenik terjadi peningkatan preload sehingga
afterload dan systemic vaskular resistance mengalami peningkatan
akibatnya menurunkan cardiac output. Prinsip terapinya ialah meningkatkan
cardiac output dan menurunkan beban kerja otot jantung.
(3) Syok Obstruktif terjadi karena emboli paru, pericardial tamponade, dan
tension pneumothorax sehingga menyebabkan penurunan preload akibatnya
terjadi peningkatan systemic vaskular resistance akibatnya cardiac output
menurun. Penatalaksanaan syok obstruktif ini tergantung atas penyebanya.
(4) Syok Distributif disebabkan oleh sepsis, syok neurogenik dan syok
anafilaksis yang mengakibatkan penurunan preload akibatnya terjadi
peningkatan systemic vaskular resistance akibatnya cardiac output menurun
atau meningkat. Penatalaksanaan syok obstruktif ini tergantung atas
penyebanya.6
Pasien dengan trauma multiple seringkali bersamaan dengan perdarahan.
Sebelum memberikan resusitasi, dinilai terlebih dahulu bagaimana kondisi pasien
tersebut apakah terdapat perdarahan atau tidak. Apabila ditemukan perdarahan,
terlebih dahulu harus diklasifikasikan termasuk grade yang mana agar bisa
memberikan terapi yang tepat sesuai dengan klinis pasien.6
4

Tabel 3.1 Klasifikasi Perdarahan


Rinician Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV

Darah hilang
ml <750 750-1000 >1500-2000 >2000
% <15 15-30 >30-40 >40
Detak Jantung <100 >100 <120 >140
Tekanan Normal Normal Menurun Menurun
Darah
Tekanan Nadi Normal Menurun Menurun Menurun
Laju 14-20 20-30 30-40 >40
Pernapasan
Volume Urin >30 20-30 5-15 Tak Terukur
(ml/jam)
Status Mental Agak cemas Lumayan cemas Sangat cemas Panik
Terapi Cairan Kristaloid Kristaloid/Koloid Kristaloid dan Kristaloid dan
darah darah

3.1.2 Pemeriksaan Fisik


Pada pasien trauma dilakukan pemerikaan awal yang dibagi menjadi 2 (dua)
yaitu primary survey dan secondary survey. Primary survey dilakukan selama 2-5
menit yang meliputi ABCDE yaitu airway, breathing, circulation, disability
neurologis, dan exposure (lingkungan). Pada saat keadaan pasien dengan
hemodinamik tidak stabil harus dulakukan resusitasi terlebih dahulu. Pada pasien
dengan keadaan kritis, resusitasi dan penilaian awal dilakukan secara bersamaan
dengan sejawat bedah. Pada saat resusitasi sampai mendapatkan penanganan,
monitoring dasar seperti ECG, NIBP, dan pulse oxymetri harus tetap dipantau.
Resusitasi pada pasien trauma terdiri dari 2 fase yaitu kontrol perdarahan, dan
melakukan terapi definitif untuk penanganan traumanya.3
Primary Survey
Selama melakukan primary survey, pemeriksa harus mengenali tanda-tanda
yang mengancam nyawa, apabila ditemukan gejala tersebut maka harus dilakukan
resusitasi terlebih dahulu. Penilaian primary survey dilakukan secara berurutan namun
simultan antara penilaian satu dengan lainnya.5
5

Airway dan Cervical control


Tiga aspek penting dalam evaluasi awal pada pasien trauma ialah pasien
memerlukan bantuan hidup dasar, adanya kemungkinana cedera tulang cervical, dan
kemungkian terjadinya kegagalan dalam melakukan intubasi trakea. Melakukan
bantuan hidup dasar secara efektif dapat mencegah terjadinya hipoxia dan
hipercapnea, dimana keadaan tersebut berperan dalam penurunan kesadaran pasien.
Prioritas utama pada pasien kegawatdaruratan ialah membebaskan dan menjaga jalan
nafas. Apabila pasien dapat berbicara dengan baik, biasanya airway pasien bagus
(clear), namun pada pasien tidak sadar membutuhkan bantuan airway dan ventilator.
Gejala seperti snoring (mengorok), gurgling, stridor, dan gerakan dada yang
parodoksikal merupakan tanda-tanda adanya obstruksi nafas. Pasien dalam keadaan
tidak sadar selalu pikirkan kemungkinan adanya benda asing yang menyumbat jalan
nafas pasien. Manajemen airway lanjut (advance) seperti ETT, krikotirotomi, dan
trakeostomi diindikasikan pada pasien yang mengalami apnea, obstruksi persisten,
cedera kepala berat, trauma maksilofacial, cedera leher dengan hematom, dan trauma
dada berat.3
Pasien yang mengalami cedera leher atau cervical perlu mendapat perhatian
khusus, yang ditandai dengan nyeri leher, nyeri yang dirasakan sangat hebat, terdapat
defisist neurologis, intoksikasi, dan kehilangan kesadaran pada saat kejadian. Apabila
terdapat salah satu tanda tersebut, walaupun tanpa ditemukan jejas diatas tulang
klavikula dapat dicurigai pasien mengalami trauma leher, untuk mencegah
hiperekstensi leher dapat dilakukan manuver jaw thrust untuk membebaskan jalan
nafas pasien, serta dilakukan pemasangan cervical collar pada tulang cervical dan
spinal akan membantu dalam menguragi ekstensi pada saat dilakukan laringoskopi
dan intubasi trakea. Pada saat pasien dengan truma multiple mengalami penurunan
atau distorsi pada anatomi pernapasan bagian wajah yang dapat mengganggu
pemberian ventilasi melalui face mask atau pada saat terjadi perdarahan di saluran
pernapasan maka dilakukan krikotiroidotomi dan trakeostomi. Pada pasien apnea
yang memerlukan intubasi segera dapat dilakukan intubasi nasal, akan tetapi intubasi
nasal ini dihindari dilakukan pada pasien yang mengalami fraktur wajah atau basis
cranii.3
Breathing
Penilaian ventilasi dilakukan dengan cara look (dilihat), listen (didengar), dan
feel (dirasakan). Pada saat melakukan look (dilihat) perhatikan ada tidaknya sianosis,
6

retraksi dinding dada, flail chest, trauma tembus atau trama tidak tembus yang terjadi
pada dada. Selanjutnya dengarkan dengan menggunakan stetoskop suara napas pasien
ada atau tidak atau apakah terdengar melemah atau tidak, dengarkan juga apakah
terdapat suara wheezing ataupun rhonki. Terakhir rasakan apakah terdapat atau
tidaknya emfisema subkutan, pergeseran trakea, dan ada tidaknya tulang rusuk yang
patah. Pada saat melakukan penilaian breathing khususnya pada pasien dengan gagal
nafas (respiratory distress) harus diwaspadai akan terjadinya tension pneumothorax
dan hematothorax.3
Circulation dan Kontrol Perdarahan
Penilaian sirkulasi dapat dirasakan dari kualitas dan kuantitas frekuensi nadi
dalam setiap menitnya, tekanan darah, dan perfusi perifer. Tidak adekuatnya sirkulasi
pada pasien trauma ditandai dengan takikardi, lemah atau tidak terabanya arteri
perifer, hipotensi, ekstremitas pucat, dingin, dan sianosis. Prioritas utama yang
dilakukan adalah menghentikan perdarahan yang dilanjutkan dengan mengganti
cairan intravaskular. Pada pasien yang mengalami trauma tembus dada bisa terjadi
henti jantung saat di jalan atau segera sesudah sampai di rumah sakit maka pasien
tersebut segera memerlukan emergency room thoracotomy. Resusitasi torakotomi
bertujuan untuk menghentikan perdarahan yang terlihat dengan membuka
perikardium, menjahit luka di jantung dan dilanjutkan dengan menutup (cross
clamping) aorta diatas diafragma. Pada pasien hamil aterm yang mengalami henti
jantung atau shock hanya dapat dilakukan resusitasi setelah bayinya dilahirkan.3
Disability
Penilian ini dinilai menggunakan Glasgow Coma Scale, pemeriksaan pupil
pada pasien untuk menilai ukuran dan reaksi terhadap cahaya, dan tanda-tanda
lateralisasi dan tingkat (level) cedera spinal. GCS dapat digunakan pada pasien diatas
3 (tiga) tahun pada keadaan cedera kepala atau cedera lainnya yang dapat membuat
penurunan kesadaran untuk menilai tingkat kesadaran pasien, namun pada usia
dibawah 3 (tiga) tahun skala verbal yang digunakan menyesuaikan.3 Perlu diketahui
bagaimana mechanism of injury pada pasien dengan trauma multiple untuk
menyingkirkan faktor-faktor yang dapat mempengeruhi peningkatan cedera pada
saraf pusat. Penurunan kesadaran yang terjadi pada pasien trauma terjadi akibat
penurunan oksigenasi dan/atau perfusi ke otak atau disebabkan oleh trauma langsung
pada otak. Penggunaan obat-obatan dan narkoba juga dapat mengganggu kesadaran
7

pasien, apabila kedua hal tersebut sudah disingkirkan maka penyebab penurunan
kesadaran kemungknan hipoksia dan hipovolemia.5,7
Exposure
Pada bagian exposure pasien dilepaskan seluruh pakaiannya dari kepala
sampai kaki dengan cara menggunting untuk melihat apakah ada jejas, trauma,
ataupun kelainan yang ditemukan. Selanjutnya penting agar pasien tetap dalam
kondisi hangat, maka gunakan selimut untuk membungkus tubuh pasien. Apabila
dicurigai pasien mengalami cedera tulang belakang dapat dipasang in line
immobilization. 5,7
Secondary Survey
Secondary survey dilakukan setelah primary suvey dilakukan, resusitasi
dilakukan, dan keadaan hemodinamik pasien membaik. Secondary survey ialah
melakukan pemeriksaan dari kepala sampai kaki ( head to toe examination). Pada
secondary survey ini, juga dilakukan pemeriksaan penunjang sesuai dengan temuan
klinis pasien.5
Tabel 3.2 Secondary survey
Hal yang Identifikasi Penilaian Penemuan Konfirmasi
dinilai Klinis
Tingkat - Beratnya - Skor GCS - ≤8 trauma - CT scan
kesadaran trauma kapitis berat - Ulangi tanpa
kepala - 9-12 trauma relaksasi otot
sedang
- 13-15
trauma
ringan
Pupil - Jenis trauma - Ukuran -‘mass effect’ - CT san
kapitis - Bentuk - Diffuse axonal
- Luka pada - Reaksi injury
mata - Perlukaan
mata
Kepala - Luka pada - Inspeksi - Luka pada - CT scan
kulit kepala adanya kulit kepala
- Fraktur pada luka dan - Fraktur
tulang fraktur Impresi
tengkorak - Palpasi - Fraktur basis
adanya cranii
fraktur
Muskoloskel - Luka - Inspeksi: - Fraktur tulang - Foto tulang
etal jaringan deformitas wajah wajah
lunak - Palpasi : - Cedera - CT scan
- Fraktur krepitus jaringan tulang
- Kerusakan lunak wajah
8

saraf
- Luka dalam
mulut/gigi
Leher - Cedera pada - Inspeksi - Deformitas - Foto servikal
tulang - Palpasi Laring - Angiografi/
- Fraktur - Auskultasi - Emfisema Doppler
servikal subkutan - Esofagoskop
- Kerusakan - Hematoma i
vaskular - Murmur - Laringoskopi
- Cedea - Tembusnya
esofagus platisma
- Gangguan - Nyeri, nyeri
neurologis tekan C-spine
Thoraks - Perlukaan - Inspeksi - Jejas, - Foto toraks
dinding - Palpasi deformitas, - CT scan
toraks - Auskultasi gerakan - Angiografi
- Emfisema parodoksal - Bronchosk
subkutan - Nyeri tekan opi
- Pneumo/hem dada, - Tube
atotoraks krepitus torakostomi
- Cedera - Bising nafas - Perikardios
bronkus berkurang intesis
- Kontusio - Bunyi - USG
paru jantung jauh Trans-
- Kerusakan - Krepitasi Esofagus
aorta mediastinum
torakalis - Nyeri
punggung
hebat
Abdomen/Pi - Perlukaan - Inspeksi - Nyeri, nyeri - DPL/USG
nggang dd. - Palpasi tekan abd. Abdomen
Abdomen - Auskultas - Iritasi - CT scan
- Cedera i peritoneal - Laparotomi
intra- - Temukan (cedera organ - Foto
peritoneal arah visceal, dengan
- Cedera penetrasi cedera kontras
reroperitone peritoneal) - Angiografi
al
Pelvis - Cedera - Palpasi - Cedera - Foto pelvis
Genito- simfisi Genito- - Urogram
urinarius pubis urinaria (Uretrografi
- Fraktur untuk (hematuria) , Sistografi,
Pelvis pelebaran - Fraktur IVP)
- Nyeri pelvis - CT scan
tekan - Perlukaan dengan
tulang perneum, kontrasi
pelvis vagina,
- Tentukan rektum
instabilita
s pelvis
9

- Inspeksi
perineum
- Pem.
Rektum/
Vagina
Medula - Trauma - Pemeriksa - ‘mass effect’ - Foto polos
spinalis kapitis an unilateral - MRI
- Trauma motorik - Tetraparesis
medula - Pemeriksa - Paraparesis
spinalis an - Cedera radiks
- Trauma sensorik saraf
saraf perifer
Colomna - Fraktur - Respon - Fraktur atau - Foto Polos
vertebralis - Instabilitas verbal dislokasi - CT scan
kolimna V. terhadap
- Kerusakan nyeri,
saraf tanda
lateralisa
si
- Nyeri
tekan
- Deformit
as
Ekstremitas - Cedera - Inspeksi - Jejas, - Foto polos
jaringan - Palpaso pembengkaka - Doppler
lunak n, pucat - Pengukura
- Fraktur - Mal- n tekanan
- Kerusakan alignment kompartem
sendi - Nyeri, nyeri en
- Defisit tekan, - Angiografi
neuo- krepitasi
vaskular - Pulsasi
hilang/berkur
ang
- Komparteme
n

3.1.3 Pemeriksaan Laboratorium yang harus dilakukan


Pada operasi besar dilakukan pemeriksaan darah rutin yaitu hemoglobin,
hematokrit, leukosit, trombosit, platelet, waktu perdarahan, dan waktu pembekuan;
pemeriksaan kimia darah yaitu gula darah, ureum dan kreatinin serum, protein dan
apabila memungkinkan periksa elektrolit dan analisis gas darah, pemeriksaan reduksi
dan protein urin, serta pemeriksaan lain terkait dengan penunjang diagnosis penyakit
dalam/bedah serta untuk menyingkirkan diagnosis banding yang lain; pada saat
operasi dilakukan pemeriksaan darah rutin, reduksi urin dan pemeriksaan lain terkait
10

dengan penunjang diagnosis penyakit dalam/bedah; pada operasi ringan dan rawat
jalan pemeriksaan lain terkait dengan penunjang diagnosis penyakit dalam/bedah.4
Pemeriksaan radiologis dilakukan sesuai dengan indikasi pasien, serta dilakukan
konsultasi dengan disiplin atau bidang penyakit lain terkait dengan masalah klinis
yang dijumpai. 4
Pada kasus darurat sambil menunggu untuk dilakukan induksi, koreksi
terhadap gangguan fungsi sistem organ prabedah dilakukan secara bersamaan diruang
resusitasi UGD atau di kamar operasi UGD sesuai degan keedararuratan medis yang
diderita oleh pasien. 4
Berdasarkan evaluasi perioperatif, maka dapat ditentukan status fisik pasien
pra anestesia yang digolongkan menjadi 5 (lima) kelas yaitu ASA 1 ialah pasien
penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik, ASA 2 ialah pasien penyakit bedah
dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, ASA 3 yaitu pasien penyakit bedah
disertai dengan penyakit sistemik berat yang disebabkan berbagai penyebab tetapi
tidak mengancam nyawa, ASA 4 ialah pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit
sistemik berat yang secara langsung mengancam kehidupannya, dan ASA 5 yaitu
pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik berat yang sudah tidak
mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak selama dalam 24 jam pasien akan
meninggal. Pada kasus dengan multiple trauma memerlukan pembedahan yang
dilakukan secara darurat, maka harus dicantumkan tanda E (emergency) di belakang
angka.8

3.2 Persiapan Praanestesia


3.2.1 Persiapan Rutin
Selama persiapan preoperatif harus digali secara langsung pada pasien
mengenai penyakit saat ini, penyakit sebelumnya, riwayat operasi sebelumnya,
riwayat anestesia, riwayat alergi, riwayat penggunaan obat, riwayat merokok dan
mengkonsumsi alkohol, dan obstructive sleep apnea serta pada pasien dengan
penyakit kardio-respirasi harus benar-benar dievaluasi terlebih dahulu. Pasien dengan
penyakit dasar kardio-respirasi harus dievalusi gejala dan tingkat keparahan angina,
batuk produktif, orthopnea, ataupun paroxysmal norcturnal dyspnoe. Pada kasus
bedah darurat, pemeriksaan fisik yang harus dilakukan difokuskan adalah mencari
abnormalitas atau disfungsi pada organ kardio-respirasi, karena dapat menjadi
penyulit teknik anestesi saat dilakukan operasi. Apabila ditemukan basal crepitation,
11

pitting oedema dan peningkatan tekanana vena jugularis secara signifikan


menunjukkan terjadinya keruskan fungsi ventrikel dan berkurangnya aliran darah ke
jantung. Pemeriksaan EKG dan pemeriksaan fisik yang seksama juga sangat
diperlukan untuk mengekslusi aritmia dan adanya murmur yang mengindikasik
adanya penyakit katup jantung, karena hal tersebut dapat meningkatkan risiko
tindakan anestesi.4,9

3.2.2 Persiapan Khusus


Pada pasien bedah darurat dengan trauma multiple lakukan koreksi keadaan
patologis disesuaikan dengan waktu dan kesempatan yang tersedia, terutama koreksi
terhadap masalah-masalah oksigenasi dan stabilisasi hemodinamik yang harus
diutamakan sebelum dilakukan tindakan anestesia dan pembedahan. Persiapan yang
dilakukan pada kasus bedah darurat dengan trauma multiple sangat terbatas terutama
masalah puasa, sehingga diperlukan upaya untuk mencegah terjadinya aspirasi asam
lambung. Muntah atau regurgitasi dari isi lambung dapat dibarengi dengan aspirasi isi
lambung kedalam cabang trakeobronkial, sedangkan reflek protektif laring menurun
sebagai akibat dari obat-obat anestesi. Obat yang dapat digunakan seperti, golongan
antagonis reseptor H2 seperti famotidine, cimetidine, nizatidine, dan ranitidine yang
dapat diberikan secara IV 5-10 menit atau IM 30-45 menit sebelum induksi; selain itu
diberikan juga antasid peroral 30-45 menit sebelum induksi seperti alluminium
hidroksida dan magnesium hidroksida. Selain itu, diperlukan juga pemasangan pipa
nasogastrik dan dihisap secara berkala untuk upaya pengosongan lambung.4,9
3.2.3 Premedikasi, sesuai dengan kebutuhan
Tujuan dari pemberian obat premedikasi adalah menimbulkan rasa nyaman,
mengurangi seksresi kelenjar dan menekan refleks vagus, memperlancar atau
memudahkan induksi, mengurangi dosis anestesia, dan mengurangi rasa sakit dan
kegelisahan pasca bedah. Pasien dengan keadaan koma tidak perlu diberikan obat
premedikasi. Pasien dengan kasus trauma multiple biasanya mengalami stress dan
kesakitan sehingga diberikan obat sedatif dan analgetik golongan seperti golongan
benzodiazepine seperti midazolam yang diberikan secara IM atau IV dengan dosis 1-
2, mg atau dengan dosis yang disesuaikan. Midazolam mempunyai efek sedasi 2 (dua)
sampai 3 (tiga) kali lebih poten dibandingkan dengan diazepam. Antikolinergik
diberikan apabila pasien tidak memiliki demam dan takikardi.4,10
12

3.2.4 Infus
Pada pasien dengan status fisik 1 (satu) sampai 2 (dua) yang direncanakan
operasi ringan sampai sedang berikan cairan kristaloid. Pada pasien yang mengalami
dehidrasi atau gangguan hemodinamik berikan koreksi cairan sesuai dengan
kebutuhan pasien. Apabila perlu lakukan pemasangan kateter yang sentral untuk
memantau terapi cairan yang diberikan.4

3.3 Pilihan Anestesia dan Reanimasi


3.3.1 Anestesia Regional
Anestesia regional digunakan pada kasus bedah darurat pada bagian ekstremitas
misalnya pasien dengan reduksi fraktur atau dislokasi. Pendekatan anestesia pada
operasi ekstremitas atas dengan melakukan blok pada plexus brakialis melalui aksila
atau supraklavikula. Terdapat efek minimal pada sistem kardiovaskular serta efek
analgesia yang lebih panjang pada saat post operatif. Pada ekstremitas bawah
dilakukan teknik blok subararachnoid, epidural dan blok femur. Penggunaan blok
spinal dan epidural kontraindikasi terhadap cairan atau volume ekstraselular yang
tidak adekuat. Penggunaan regional anestesia lebih berbahaya dibandingkan anestesia
umum pada keadaan truma intraabdominal.9
3.3.2 Anestesia Umum
Berikan preoksigenasi dengan fraksi oksigen 100% selama 3 (tiga) sampai 5
(lima) menit atau sampai volume tidal O2 mencapai >85% sebelum induksi kepada
pasien. Induksi dilakukan dengan teknk Rapid sequence induction (RSI), dimana
teknik ini memerlukan waktu yang sangat minimal pada saat pasien mengalami
penurunan kesadaran dan dilakukannya intubasi. Teknik RSI ini dilakukan pada
pasien-pasien dengan keadaan kasus bedah darurat dimana pasien tidak atau
melakukan puasa minimal sehingga dapat mencegah aspirasi asam lambung. Selain
itu, pada saat dilakukan induksi, posisikan kepala pasien lebih tinggi untuk mencegah
terjadinya regurgitasi isi lambung. Berikan obat penurun kesadaran secara cepat
kepada pasien sebelum melakukan intubsi trakea berupa thiopental 4-5 mg/kg IV
sebagai salah satu contoh agen RSI. Obat lain yang dapat digunakan sebagai alternatif
adalah etomidate 0,1-0,3 mg/kg dan ketamine 1,5 mg/kg, akan tetapi ketamine ini
dapat menekan sistem kardiovaskular namun sangat dianjurkan digunakan pada
pasien dengan keadaan syok berat. Setelah pasien tertidur, lakukan manuver sellick
dengan cara memberikan penekanan pada tulang krikoid ke arah posterior untuk
13

mencegah terjadinya regurgitasi. Manuver sellick ini dilakukan sampai PET terpasang
dan balonnya sudah dikembangkan dengan udara. Selanjutnya berikan suksinikholin
1-2 mg/kgBB IV secara cepat, dimana suksinikholin ini digunakan sebagai agen
neuromuskular blok untuk RSI yang mempunyai tujuan yang sama yaitu onset yang
cepat sehingga dapat melakukan intubasi dengan cepat dan mengurangi risiko
terjadinya aspirasi. Penggunaan rukorunium dosis tinggi 0,9-1,2 mg/kg dapat
digunakan sebagai pengganti agen RSI akan tetapi memerukan onset yang lebih
lama.9,11
Lanjutkan pemberian oksigenasi sampai pasien henti nafas dan tidak boleh
melakukan ventilasi tekanan positif dan lakukan laringoskopi dan dilanjutkan dengan
intubasi PET. Kembangkan segera balon/kaf PET dan lepaskan manuver sellick, lalu
hubungkan PET yang telah terpasang dengan mesin anestesia dan berikan nafas
buatan. Pemerliharaan anestesia dilakukan dengan inhalasi atau balans dan nafas
terkendali. Ekstubasi PET dilakukan apabila pasien sudah sadar dan mampu bernafas
spontan secara adekuat dan jalan nafas pasien bersih. Harus tetap diwaspadai
kemungkinan terjadinya regurgitasi atau muntah pasca dilakukan ekstubasi, apabila
hal tersebut terjadi lakukan suction segera. Pada kasus-kasus dengan risiko tinggi
tidak dilakukan ekstubasi PET, melainkan pasien langsung dikirim ke ruang terapi
intensif untuk mendapatkan terapi lebih lanjut.9

3.4 Pemantauan selama Operasi


Pada saat ditemukan tanda-tanda kembalinya transmisi neuromuskular akibat
terdegradasinya suksinilkolin maka berikan non depolarisasi neuromuskular.
Pemilihan obat yang digunakan tergantung dari kondisi pasien dan efek dari induksi
pasien pada keadaan kardiovaskular. Obat yang digunakan secara rutin berupa
rukoronium dan antrakuranium, akan tetapi secara farmakokinetik antakuranium pada
pasien geriatri harus digunakan secara rasional dan dalam pengawasan ketat. Sebagai
analgesia selama operasi dapat diberikan morfin 1-5 mg atau fentanyl 25-100 µg
secara intravaskular. Pada kasus bedah darurat penggunana morfin lebih dianjurkan
secara berulang dibandingkan fentanyl sebab penggunaan fentanyl yang berulang
akan menimbulkan penimbunan dan memerlukan waktu eliminasi yang lebih lama.
Obat lain yang dapat digunakan pada kasus bedah darurat dengan trauma multiple
adalah penggunaan ketamin dosis rendah 0,15 mg/kg dan parasetamol intravaskular.
NSAIDs dapat digunakan pada pasien usia muda dengan ASA 1 dan 2, penggunaan
14

NSIDs tidak dianjurkan pada pasien dengan acute kidney injury atau pasien dengan
perdarahn pasca operasi.9

3.5 Terapi Cairan dan Transfusi Darah selama Operasi


Untuk menjaga volume intravaskular dalam batas normal maka kehilangan darah
dan cairan tubuh harus diganti segera dengan pemberian kristalod atau kombinasi
koloid. Pasien dengan perdarah masif dapat dikoreksi dengan cairan kristaloid 3 (tiga)
sampai 4 (empat) kali dari volume darah yang hilang atau dengan cara pemberian
kolid dengan rasio 1:1 sampai mencapai titik transfusi yang diinginkan. Hal tersebut
dapat ditentukan dari hasil hematokrit dan volume darah pasien. Pasien diberikan
transfusi darah apabila terjadi perdarahan >20% dari perkiraan volume darah pasien,
apalagi perdarahan masih berlangsung. Pada pasien dengan risiko tinggi dan disertai
dehidrasi, gangguan hemodinamik, perdarahan, dan anemia sebelum operasi setelah
dilakukan terapi cairan dan transfusi darah, dilanjutkan dengan pemantauan tekanan
vena sentral selama operasi berlangsung.3

3.6 Pasca Anestesia


Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan rawat inap, harus diberikan secara
tepat analgesia dan terapi cairan. Penanganan nyeri pasca operasi dapat diberikan
NSAIDs, asetaminophen, dan gapapetin. Pada keadaan nyeri ringan sampai sedang
pasca operasi dapat diberikan asetaminophen, ibuprofen, hidrokordon atau oxykodon
secara oral. Untuk pemberian secara IV dapat diberikan ketolorac tromethamine 15-
30 mg pada orang dewasa atau asetaminophen 15 mg/kg atau 1 gram pada pasien
dengan BB> 50 kg.3
Pada pasien dengan status fisik ASA 1-2 dapat dirawat di ruang pulih sesuai
dengan tatalaksana pasca anestesia, lakukan pemantauan secara rutin untuk
kemungkinan terjadinya muntah atau regurgitasi yang dapat menimbulkan aspirasi.
Pasien pasca blok subarakhnoid lakukan pemantauan hemodinamik secara rutin.
Pasien dapat dikirim atau dikembalikan ke ruangan apabila sudah memenuhi kriteria
pemulihan diantaranya pasien dengan orientasi baik penuh, kemampuan untuk
mempertahankan pernafasan dengan baik dan tidak ada komplikasi pasca bedah.
Sebelum pasien dikirim ke ruangan pasien harus diobservasi selama 20-30 menit
setelah pemberian opioid parenteral terakhir.3
15

Sedangkan pasien dengan risiko tinggi yang disertai dengan koma, keadaan
hemodinamik yang tidak stabil, dan ancaman gagal nafas maka pasien dirawat di
ruang terapi intensif untuk perawatan dan terapi lebih lanjut.3 Pada saat dirawat di
ruang terapi intesif beberapa masalah yang dihadapi ialah keadaan nyeri akut pasca
operasi, hipotermia, koagulopati, ketidakseimbangan kadar kalsium, fresh forezen
plasma (FFP), fibrinogen dan crypresipitate, antifibrinolitik, sindrom kompartemen
abdominal, stress ulcer, asidosis, acute respiratory distress syndrome (ARDS) dan
acute lung injury (ALI), dan sepsis.12
DAFTAR PUSTAKA

1. Yose Antara I, Wiargitha I, Mahadewa T. Validitas New Injury Severity Score


(NISS) dalam Mendeteksi Terjadinya Koagulopati pada Pasien Trauma
Multiple. Jurnal Bedah Nasional. 2017;1(1):16-18.
2. Halim R. Prehospital Insult dan NISS > 50 Mempengaruhi Mortalitas Pasien
Trauma Tumpul Abdomen di Rumah Sakit Sanglah Periode Tahun 2015
(tesis). Denpasar: Universitas Udayana. 2016.
3. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, Kleinman W, Nitti GJ, Nitti TJ, Raya J,
Bedford RF, Bion JF, Butterworth J, Cohen NH. Clinical anesthesiology. New
York: McGraw-hill; 2002.
4. Mangku G, Senapathi TG. Buku ajar ilmi anestesia dan reanimasi. Jakarta:
Indeks. 2010.
5. American College Of Surgeons Commitee On Trauma. Initial Assessment and
Management. USA Dalam ATLS Student Course Manual 9th; 2013.
6. Guyton A.C, dan Hall, J.E. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12.
Penterjemah: Ermita I, Ibrahim I. Singapura: Elsevier
7. Miller RD, Eriksson LI, Fleisher LA, Wiener Kronish JP, Young WL.
Anesthesia. Elsevier Health Science; 2009 Jun 24.
8. Erin E. Hurwitz, M.D.; Michelle Simon, M.D.; Sandhya R. Vinta,
M.D.; Charles F. Zehm, M.D.; Sarah M. Shabot, M.D.; Abu Minhajuddin,
Ph.D.; Amr E. Abouleish, M.D., M.B.A. Adding Examples to the ASA-
Physical Status Classification Improves Correct Assignment to Patients. The
Journal of the American Society of Anesthesiologist. 2017;216:614-620.
9. Alan R. Aitkenhead’s. Smith&Aitkenhead’s Textbook of Anesthsia Churchill
Livingstone. 2013.
10. Stoelting RK, Miller RD. Basic of anesthesia. Churchill Livingstone,;2015
May 22.
11. Gray D, Morris C. The Principles and Conduct of Anesthesia for Emergency
Surgery. Britian: The Association of Anesthetist of Great Britain and Ireland.
2013.
12. Rindarto, Listiyanto PJ, Leksana E. Pengelolaan Pasca Operasi dan Rawat
Intensif pada Pasien Trauma. Jurnal Anestesiologi Indonesia. 2010;2(1):36-
43.

16

Anda mungkin juga menyukai