Tatalaksana Anestesia Dan Reanimasi Pada Kasus Bedah Darurat
Tatalaksana Anestesia Dan Reanimasi Pada Kasus Bedah Darurat
Oleh:
Ni Luh Komang Sumi Arcani
dr. I Made Subagiartha,SpAn.KAKV,SH
ii
iii
DAFTAR TABEL
1
2
dapat dilihat dari kulit yaitu akral teraba dingin atau basah, ginjal yaitu terjadi
penurunan produksi urine, dan neurologi dilihat dari kesadaran pasien apakah
mengalami penurunan kesadaran atau tidak; (3) Hiperlactatemia yaitu kadar laktat >
1,5 mmol per liter. Terdapat beberapa jenis syok berdasarkan mekanisme dan
penyebabnya, diantaranya:6
(1) Syok Hipovolemik biasanya terjadi akibat perdarahan sehingga menurunkan
preload, akibatnya penurunan diastolik filling sehingga terjadi penurunan
cardiac output dan peningkatan systemic vaskular resistance yang akibatnya
terjadi penurunan MAP dan pasien syok. Prinsip penangan pada syok
hipovolemik ialah mengembalikan perfusi jaringan secara cepat dengan
memberikan cairan infus dengan target MAP 60 mmHg dan status mental
normal.
(2) Syok Kardiogenik disebabkan oleh gagal jantung, infark miokard,
disaritmia. Pada syok kardiogenik terjadi peningkatan preload sehingga
afterload dan systemic vaskular resistance mengalami peningkatan
akibatnya menurunkan cardiac output. Prinsip terapinya ialah meningkatkan
cardiac output dan menurunkan beban kerja otot jantung.
(3) Syok Obstruktif terjadi karena emboli paru, pericardial tamponade, dan
tension pneumothorax sehingga menyebabkan penurunan preload akibatnya
terjadi peningkatan systemic vaskular resistance akibatnya cardiac output
menurun. Penatalaksanaan syok obstruktif ini tergantung atas penyebanya.
(4) Syok Distributif disebabkan oleh sepsis, syok neurogenik dan syok
anafilaksis yang mengakibatkan penurunan preload akibatnya terjadi
peningkatan systemic vaskular resistance akibatnya cardiac output menurun
atau meningkat. Penatalaksanaan syok obstruktif ini tergantung atas
penyebanya.6
Pasien dengan trauma multiple seringkali bersamaan dengan perdarahan.
Sebelum memberikan resusitasi, dinilai terlebih dahulu bagaimana kondisi pasien
tersebut apakah terdapat perdarahan atau tidak. Apabila ditemukan perdarahan,
terlebih dahulu harus diklasifikasikan termasuk grade yang mana agar bisa
memberikan terapi yang tepat sesuai dengan klinis pasien.6
4
Darah hilang
ml <750 750-1000 >1500-2000 >2000
% <15 15-30 >30-40 >40
Detak Jantung <100 >100 <120 >140
Tekanan Normal Normal Menurun Menurun
Darah
Tekanan Nadi Normal Menurun Menurun Menurun
Laju 14-20 20-30 30-40 >40
Pernapasan
Volume Urin >30 20-30 5-15 Tak Terukur
(ml/jam)
Status Mental Agak cemas Lumayan cemas Sangat cemas Panik
Terapi Cairan Kristaloid Kristaloid/Koloid Kristaloid dan Kristaloid dan
darah darah
retraksi dinding dada, flail chest, trauma tembus atau trama tidak tembus yang terjadi
pada dada. Selanjutnya dengarkan dengan menggunakan stetoskop suara napas pasien
ada atau tidak atau apakah terdengar melemah atau tidak, dengarkan juga apakah
terdapat suara wheezing ataupun rhonki. Terakhir rasakan apakah terdapat atau
tidaknya emfisema subkutan, pergeseran trakea, dan ada tidaknya tulang rusuk yang
patah. Pada saat melakukan penilaian breathing khususnya pada pasien dengan gagal
nafas (respiratory distress) harus diwaspadai akan terjadinya tension pneumothorax
dan hematothorax.3
Circulation dan Kontrol Perdarahan
Penilaian sirkulasi dapat dirasakan dari kualitas dan kuantitas frekuensi nadi
dalam setiap menitnya, tekanan darah, dan perfusi perifer. Tidak adekuatnya sirkulasi
pada pasien trauma ditandai dengan takikardi, lemah atau tidak terabanya arteri
perifer, hipotensi, ekstremitas pucat, dingin, dan sianosis. Prioritas utama yang
dilakukan adalah menghentikan perdarahan yang dilanjutkan dengan mengganti
cairan intravaskular. Pada pasien yang mengalami trauma tembus dada bisa terjadi
henti jantung saat di jalan atau segera sesudah sampai di rumah sakit maka pasien
tersebut segera memerlukan emergency room thoracotomy. Resusitasi torakotomi
bertujuan untuk menghentikan perdarahan yang terlihat dengan membuka
perikardium, menjahit luka di jantung dan dilanjutkan dengan menutup (cross
clamping) aorta diatas diafragma. Pada pasien hamil aterm yang mengalami henti
jantung atau shock hanya dapat dilakukan resusitasi setelah bayinya dilahirkan.3
Disability
Penilian ini dinilai menggunakan Glasgow Coma Scale, pemeriksaan pupil
pada pasien untuk menilai ukuran dan reaksi terhadap cahaya, dan tanda-tanda
lateralisasi dan tingkat (level) cedera spinal. GCS dapat digunakan pada pasien diatas
3 (tiga) tahun pada keadaan cedera kepala atau cedera lainnya yang dapat membuat
penurunan kesadaran untuk menilai tingkat kesadaran pasien, namun pada usia
dibawah 3 (tiga) tahun skala verbal yang digunakan menyesuaikan.3 Perlu diketahui
bagaimana mechanism of injury pada pasien dengan trauma multiple untuk
menyingkirkan faktor-faktor yang dapat mempengeruhi peningkatan cedera pada
saraf pusat. Penurunan kesadaran yang terjadi pada pasien trauma terjadi akibat
penurunan oksigenasi dan/atau perfusi ke otak atau disebabkan oleh trauma langsung
pada otak. Penggunaan obat-obatan dan narkoba juga dapat mengganggu kesadaran
7
pasien, apabila kedua hal tersebut sudah disingkirkan maka penyebab penurunan
kesadaran kemungknan hipoksia dan hipovolemia.5,7
Exposure
Pada bagian exposure pasien dilepaskan seluruh pakaiannya dari kepala
sampai kaki dengan cara menggunting untuk melihat apakah ada jejas, trauma,
ataupun kelainan yang ditemukan. Selanjutnya penting agar pasien tetap dalam
kondisi hangat, maka gunakan selimut untuk membungkus tubuh pasien. Apabila
dicurigai pasien mengalami cedera tulang belakang dapat dipasang in line
immobilization. 5,7
Secondary Survey
Secondary survey dilakukan setelah primary suvey dilakukan, resusitasi
dilakukan, dan keadaan hemodinamik pasien membaik. Secondary survey ialah
melakukan pemeriksaan dari kepala sampai kaki ( head to toe examination). Pada
secondary survey ini, juga dilakukan pemeriksaan penunjang sesuai dengan temuan
klinis pasien.5
Tabel 3.2 Secondary survey
Hal yang Identifikasi Penilaian Penemuan Konfirmasi
dinilai Klinis
Tingkat - Beratnya - Skor GCS - ≤8 trauma - CT scan
kesadaran trauma kapitis berat - Ulangi tanpa
kepala - 9-12 trauma relaksasi otot
sedang
- 13-15
trauma
ringan
Pupil - Jenis trauma - Ukuran -‘mass effect’ - CT san
kapitis - Bentuk - Diffuse axonal
- Luka pada - Reaksi injury
mata - Perlukaan
mata
Kepala - Luka pada - Inspeksi - Luka pada - CT scan
kulit kepala adanya kulit kepala
- Fraktur pada luka dan - Fraktur
tulang fraktur Impresi
tengkorak - Palpasi - Fraktur basis
adanya cranii
fraktur
Muskoloskel - Luka - Inspeksi: - Fraktur tulang - Foto tulang
etal jaringan deformitas wajah wajah
lunak - Palpasi : - Cedera - CT scan
- Fraktur krepitus jaringan tulang
- Kerusakan lunak wajah
8
saraf
- Luka dalam
mulut/gigi
Leher - Cedera pada - Inspeksi - Deformitas - Foto servikal
tulang - Palpasi Laring - Angiografi/
- Fraktur - Auskultasi - Emfisema Doppler
servikal subkutan - Esofagoskop
- Kerusakan - Hematoma i
vaskular - Murmur - Laringoskopi
- Cedea - Tembusnya
esofagus platisma
- Gangguan - Nyeri, nyeri
neurologis tekan C-spine
Thoraks - Perlukaan - Inspeksi - Jejas, - Foto toraks
dinding - Palpasi deformitas, - CT scan
toraks - Auskultasi gerakan - Angiografi
- Emfisema parodoksal - Bronchosk
subkutan - Nyeri tekan opi
- Pneumo/hem dada, - Tube
atotoraks krepitus torakostomi
- Cedera - Bising nafas - Perikardios
bronkus berkurang intesis
- Kontusio - Bunyi - USG
paru jantung jauh Trans-
- Kerusakan - Krepitasi Esofagus
aorta mediastinum
torakalis - Nyeri
punggung
hebat
Abdomen/Pi - Perlukaan - Inspeksi - Nyeri, nyeri - DPL/USG
nggang dd. - Palpasi tekan abd. Abdomen
Abdomen - Auskultas - Iritasi - CT scan
- Cedera i peritoneal - Laparotomi
intra- - Temukan (cedera organ - Foto
peritoneal arah visceal, dengan
- Cedera penetrasi cedera kontras
reroperitone peritoneal) - Angiografi
al
Pelvis - Cedera - Palpasi - Cedera - Foto pelvis
Genito- simfisi Genito- - Urogram
urinarius pubis urinaria (Uretrografi
- Fraktur untuk (hematuria) , Sistografi,
Pelvis pelebaran - Fraktur IVP)
- Nyeri pelvis - CT scan
tekan - Perlukaan dengan
tulang perneum, kontrasi
pelvis vagina,
- Tentukan rektum
instabilita
s pelvis
9
- Inspeksi
perineum
- Pem.
Rektum/
Vagina
Medula - Trauma - Pemeriksa - ‘mass effect’ - Foto polos
spinalis kapitis an unilateral - MRI
- Trauma motorik - Tetraparesis
medula - Pemeriksa - Paraparesis
spinalis an - Cedera radiks
- Trauma sensorik saraf
saraf perifer
Colomna - Fraktur - Respon - Fraktur atau - Foto Polos
vertebralis - Instabilitas verbal dislokasi - CT scan
kolimna V. terhadap
- Kerusakan nyeri,
saraf tanda
lateralisa
si
- Nyeri
tekan
- Deformit
as
Ekstremitas - Cedera - Inspeksi - Jejas, - Foto polos
jaringan - Palpaso pembengkaka - Doppler
lunak n, pucat - Pengukura
- Fraktur - Mal- n tekanan
- Kerusakan alignment kompartem
sendi - Nyeri, nyeri en
- Defisit tekan, - Angiografi
neuo- krepitasi
vaskular - Pulsasi
hilang/berkur
ang
- Komparteme
n
dengan penunjang diagnosis penyakit dalam/bedah; pada operasi ringan dan rawat
jalan pemeriksaan lain terkait dengan penunjang diagnosis penyakit dalam/bedah.4
Pemeriksaan radiologis dilakukan sesuai dengan indikasi pasien, serta dilakukan
konsultasi dengan disiplin atau bidang penyakit lain terkait dengan masalah klinis
yang dijumpai. 4
Pada kasus darurat sambil menunggu untuk dilakukan induksi, koreksi
terhadap gangguan fungsi sistem organ prabedah dilakukan secara bersamaan diruang
resusitasi UGD atau di kamar operasi UGD sesuai degan keedararuratan medis yang
diderita oleh pasien. 4
Berdasarkan evaluasi perioperatif, maka dapat ditentukan status fisik pasien
pra anestesia yang digolongkan menjadi 5 (lima) kelas yaitu ASA 1 ialah pasien
penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik, ASA 2 ialah pasien penyakit bedah
dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, ASA 3 yaitu pasien penyakit bedah
disertai dengan penyakit sistemik berat yang disebabkan berbagai penyebab tetapi
tidak mengancam nyawa, ASA 4 ialah pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit
sistemik berat yang secara langsung mengancam kehidupannya, dan ASA 5 yaitu
pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik berat yang sudah tidak
mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak selama dalam 24 jam pasien akan
meninggal. Pada kasus dengan multiple trauma memerlukan pembedahan yang
dilakukan secara darurat, maka harus dicantumkan tanda E (emergency) di belakang
angka.8
3.2.4 Infus
Pada pasien dengan status fisik 1 (satu) sampai 2 (dua) yang direncanakan
operasi ringan sampai sedang berikan cairan kristaloid. Pada pasien yang mengalami
dehidrasi atau gangguan hemodinamik berikan koreksi cairan sesuai dengan
kebutuhan pasien. Apabila perlu lakukan pemasangan kateter yang sentral untuk
memantau terapi cairan yang diberikan.4
mencegah terjadinya regurgitasi. Manuver sellick ini dilakukan sampai PET terpasang
dan balonnya sudah dikembangkan dengan udara. Selanjutnya berikan suksinikholin
1-2 mg/kgBB IV secara cepat, dimana suksinikholin ini digunakan sebagai agen
neuromuskular blok untuk RSI yang mempunyai tujuan yang sama yaitu onset yang
cepat sehingga dapat melakukan intubasi dengan cepat dan mengurangi risiko
terjadinya aspirasi. Penggunaan rukorunium dosis tinggi 0,9-1,2 mg/kg dapat
digunakan sebagai pengganti agen RSI akan tetapi memerukan onset yang lebih
lama.9,11
Lanjutkan pemberian oksigenasi sampai pasien henti nafas dan tidak boleh
melakukan ventilasi tekanan positif dan lakukan laringoskopi dan dilanjutkan dengan
intubasi PET. Kembangkan segera balon/kaf PET dan lepaskan manuver sellick, lalu
hubungkan PET yang telah terpasang dengan mesin anestesia dan berikan nafas
buatan. Pemerliharaan anestesia dilakukan dengan inhalasi atau balans dan nafas
terkendali. Ekstubasi PET dilakukan apabila pasien sudah sadar dan mampu bernafas
spontan secara adekuat dan jalan nafas pasien bersih. Harus tetap diwaspadai
kemungkinan terjadinya regurgitasi atau muntah pasca dilakukan ekstubasi, apabila
hal tersebut terjadi lakukan suction segera. Pada kasus-kasus dengan risiko tinggi
tidak dilakukan ekstubasi PET, melainkan pasien langsung dikirim ke ruang terapi
intensif untuk mendapatkan terapi lebih lanjut.9
NSIDs tidak dianjurkan pada pasien dengan acute kidney injury atau pasien dengan
perdarahn pasca operasi.9
Sedangkan pasien dengan risiko tinggi yang disertai dengan koma, keadaan
hemodinamik yang tidak stabil, dan ancaman gagal nafas maka pasien dirawat di
ruang terapi intensif untuk perawatan dan terapi lebih lanjut.3 Pada saat dirawat di
ruang terapi intesif beberapa masalah yang dihadapi ialah keadaan nyeri akut pasca
operasi, hipotermia, koagulopati, ketidakseimbangan kadar kalsium, fresh forezen
plasma (FFP), fibrinogen dan crypresipitate, antifibrinolitik, sindrom kompartemen
abdominal, stress ulcer, asidosis, acute respiratory distress syndrome (ARDS) dan
acute lung injury (ALI), dan sepsis.12
DAFTAR PUSTAKA
16