Anda di halaman 1dari 4

ِ ُ‫ َم ْن ي ُِر ِد هللاُ بِ ِه خَ يْراً ي‬:‫ قَا َل َرسُو ُل هللا صلى هللا عليه وسلم‬:‫ قَا َل‬،‫ع َْن َأبِي

هُ َر ْي َرةَ رضي هللا عنه‬


‫ رواه البخاري‬.ُ‫صبْ ِم ْنه‬
Artinya, “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: ‘Rasulullah saw bersabda: ‘Siapa saja
yang Allah kehendaki mendapatkan kebaikan maka Allah akan memberinya ujian’.” (HR Al-
Bukhari).

Sumber: https://islam.nu.or.id/nikah-keluarga/teladan-sikap-sahabat-nabi-dalam-menghadapi-
ujian-keluarga-Kdo3V

1. Memperkuat Hubungan dengan Allah SWT

Handzalah bin Abi Amir merupakan sosok pemuda Anshar yang tangguh dari Kabilah Aus. Ia
juga menjadi salah satu sahabat Nabi yang sangat tunduk kepada perintahnya.
Suatu hari, Handzalah menikah di Madinah dengan seorang perempuan yang dicintainya
bernama Jamilah binti Abdullah.
Perjalanan asmara antara Handzalah dan Jamilah disebut-sebut sebagai kisah cinta sahabat Nabi
yang mengharukan karena harus mengutamakan rasa cintanya kepada Allah.
Dikisahkan setelah hari pernikahan Handzalah, ia meminta izin kepada Rasulullah untuk
bermalam bersama istinya. Rasulullah pun mengizinkan.
Layaknya pasangan yang baru menikah Handzalah dan Jamilah diselimuti rasa bahagia dengan
menyandang status baru sebagai suami-istri.
Akan tetapi suasana kota Madinah saat itu memang tengah mencekam karena isu peperangan.
Sejumlah prajurit Muslim banyak bersiaga di berbagai sudut kota.
Meski mencekam, di malam itu juga Handzalah sedang menikmati malam pengantin bersama
istri tercinta.
Malam kebahagiaan telah berlalu setelah terbitnya fajar. Handzalah pun melaksanakan salat
Subuh namun ia segera kembali ke pelukan istrinya.
Di saat bersamaan terdengar sayup-sayup suara yang menyerukan "Mari Berjihad" sebagai
pertanda dari Rasulullah untuk memerintah perang.
Berat sekali pilihan Handzalah kala itu karena harus memenuhi perintah Rasulullah dan
meninggalkan istri tercintanya seorang diri tepat pada malam pernikahannya yang pertama.
Namun karena keteguhan hati, pendirian, serta kepatuhannya kepada Rasulullah dan agama, ia
pun bergegas memenuhi panggilan perang tersebut.
Begitupun dengan istri Handzalah. Jamilah sangat mendukung suaminya untuk ikut dalam
peperangan karena rasa cinta keduanya kepada Allah juga lebih tinggi.
Jamilah hanya bisa memeluk dan menatap Handzalah sebagai tanda perpisahan melepas
kepergian sang suami untuk berjihad melawan kaum Quraisy pada Perang Uhud.
Sebuah pedang dibawa Handzalah untuk berperang. Keadaan dirinya saat pergi tidak sempat
mandi junub.
Dalam keadaan junub Handzalah segera bergabung dengan para prajurit Muslim Rasulullah,
sambil menghadap musuh dari kaum kafir Abu Sufyan.
Pada sesi pertama prajurit Muslim mampu mengalahkan musuh, namun kawanan Muslim
kembali diserang dari belakang.
Saat itu juga Handzalah dihantam pedang dan belati oleh kaum kafir Quraisy sambil dilempari
anak panah serta tombak. Tubuh Handzalah terbujur dan meninggal.
Setelah peperangan Rasul mulai mencari tahu satu per satu prajurit Muslim yang gugur dalam
perang Uhud.
Tidak berselang lama Rasul melihat jasad Handzalah dalam keadaan bersih dari bercak darah.
Bahkan rambutnya basah, padahal kondisi Bukit Uhud gersang tanpa air.
Semua yang melihat takjub, namun sahabat Nabi memberitahu bahwa Handzalah baru saja
menikah dan ia dalam keadaan junub.
Nabi pun mengatakan, "Aku melihat dia telah dimandikan oleh para malaikat di antara langit dan
bumi."
"Handzalah meninggal dengan status syahid dimuliakan oleh para malaikat karena keteguhan
membela Islam," tulis Muhammad Nasrulloh dalam buku Kisah-kisah Inspiratif Sahabat Nabi
tentang Handzalah yang Dimandikan Malaikat.
Kabar meninggalnya Handzalah sampai pada Jamilah yang tengah menanti kepulangan suaminya
usai berperang.
Rasa sedih mendalam menyelimuti hati Jamilah, ia tidak pernah menyangka akan menjanda
secepat itu setelah hari pernikahannya yang baru digelar.
Kepergian Handzalah memang sangat cepat dan mengukir sebuah kisah cinta sahabat Nabi yang
mengharukan. Namun Jamilah tetap bersabar serta ikhlas melepasnya ke pangkuan Allah.
Sejak saat itu Handzalah tidak sekadar dijuluki mujahid melainkan mendapat sebutan Ghasilul
Malaikah, yakni orang yang disucikan makhluk Allah yakni para malaikat.

ٍ ِ‫ت َأ ْي ِدي ُك ْم َويَ ْعفُو ع َْن َكث‬


}‫ير‬ ْ َ‫صيبَ ٍة فَبِ َما َك َسب‬ َ ‫{ َو َما َأ‬
ِ ‫صابَ ُك ْم ِم ْن ُم‬

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu
sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS asy-
Syuura:30).

Inilah makna ucapan salah seorang ulama salaf yang mengatakan, “Sungguh (ketika) aku
bermaksiat kepada Allah, maka aku melihat (pengaruh buruk) perbuatan maksiat tersebut pada
tingkah laku istriku…“[8].

2. Saling Menjaga Ibadah

Quran Surah Al-Ashr 1-3 yang artinya: “Demi waktu, sesungguhnya manusia itu benar benar dalam
kerugian Kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, dan nasihat menasihati supaya
mentaati kebenaran, dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran”.

dengan melaksanakan perintah Allah ini seorang hamba –dengan izin Allah Ta’ala– akan
melihat pada diri istri dan anak-anaknya kebaikan yang akan menyejukkan pandangan matanya
dan menyenangkan hatinya. Dan ini merupakan harapan setiap orang beriman yang
menginginkan kebaikan bagi diri dan keluarganya. Oleh karena itulah Allah Ta’ala memuji
hamba-hamba-Nya yang bertakwa ketika mereka mengucapkan permohonan ini kepada-Nya,
dalam firman-Nya,

}ً‫{ َوالَّ ِذينَ يَقُولُونَ َربَّنَا هَبْ لَنَا ِم ْن َأ ْز َوا ِجنَا َو ُذ ِّريَّاتِنَا قُ َّرةَ َأ ْعي ٍُن َواجْ َع ْلنَا لِ ْل ُمتَّقِينَ ِإ َماما‬
“Dan (mereka adalah) orang-orang yang berdoa: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami
isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah
kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa” (QS al-Furqan:74).

Imam Hasan al-Bashri ketika ditanya tentang makna ayat di atas, beliau berkata, “Allah akan
memperlihatkan kepada hambanya yang beriman pada diri istri, saudara dan orang-orang yang
dicintainya ketaatan (mereka) kepada Allah. Demi Allah tidak ada sesuatupun yang lebih
menyejukkan pandangan mata seorang muslim dari pada ketika dia melihat anak, cucu, saudara
dan orang-orang yang dicintainya taat kepada Allah Ta’ala“[10].

3. Saling Mencintai dengan Mencurahkan Perhatian

} َ‫ْض َع ُد ٌّو ِإاَّل ْال ُمتَّقِين‬ ُ ‫{اَأْل ِخاَّل ُء يَوْ َمِئ ٍذ بَ ْع‬
ٍ ‫ضهُ ْم لِبَع‬

“Orang-orang yang berkasih sayang pada waktu itu (di akhirat) menjadi musuh satu sama
lainnya, kecuali orang-orang yang bertaqwa” (QS az-Zukhruf:67)

4. Bersabar Satu Sama Lain

‫ُوف فَِإ ْن َك ِر ْهتُ ُموهُ َّن فَ َع َسى َأ ْن تَ ْك َرهُوا َش ْيًئا َويَجْ َع َل‬
ِ ‫اشرُوهُ َّن بِ ْال َم ْعر‬
ِ ‫َو َع‬
‫”هَّللا ُ فِي ِه َخ ْيرًا َكثِي ًرا‬
Artinya: “(Wahai para suami) perlakukanlah istri-istri kalian dengan cara yang baik. Jika
kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah). Karena boleh jadi kalian tidak menyukai
sesuatu, padahal ternyata Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya”. QS. An-Nisa’
(4): 19.

5. Maafkan Kesalahan Mereka

Surah al-A’raf [7] Ayat 199: Perintah Agar Menjadi Orang Yang Pemaaf

Perintah untuk memaafkan kesalahan orang lain juga disebutkan dalam Al-Qur’an. Salah satunya
adalah surah al-A’raf [7] ayat 199 yang berbunyi:

١٩٩ َ‫َن ا ْل ٰج ِهلِيْن‬ ِ ‫ُخ ِذ ا ْل َع ْف َو َوْأ ُم ْر بِا ْل ُع ْر‬


ْ ‫ف َواَ ْع ِر‬
ِ ‫ضع‬
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-
orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf [7] ayat 199).

Menurut al-S’adi dalam kitabnya, Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan, surah
al-A’raf [7] ayat 199 merangkum tentang sikap terpuji dalam bersosialisasi di masyarakat, mulai
dari berinteraksi dengan baik seperti memaafkan orang lian, tidak saling bertikai, hingga
memerintahkan segala perbuatan baik dan mencegah berbagai tindakan keburukan (saling
tolong-menolong dalam ketakwaan).

Kata khudz atau ambillah bermakna memperoleh sesuatu untuk dimanfaatkan atau digunakan
untuk memberi mudarat. Dalam kata ini terkandung arti memilih dari sekian banyak pilihan.
Artinya, Allah swt memerintahkan manusia – melalui kata khudz – untuk memilih memaafkan
kesalahan orang lain dibandingkan sikap-sikap lain yang mungkin dilakukan seperti membalas,
marah, mengamuk, dan dendam (Tafsir al-Misbah [5]: 351).

Kemudian, maaf yang dimaksud dari surah al-A’raf [7] ayat 199 bukanlah sekedar ucapan
belaka, melainkan memaafkan dengan sepenuh hati. Kata al-afwu atau maaf diambil dari akar
kata yang terdiri dari huruf ‘ain, fa, dan waw akar ini memiliki dua kemungkinan makna, yakni
meninggalkan sesuatu dan memintanya. Dari sini, kita dapat memahami bahwa seorang yang
telah memaafkan kesalahan orang lain berarti ia benar-benar meninggalkan (menghapus)
kesalahan tersebut.

Sedangkan al-Biqa’i memaknai khudz al-afwa dalam arti ambillah apa yang telah Allah
anugerahkan, tanpa bersusah payah menyulitkan diri. Dengan kata lain surah al-A’raf [7] ayat
199 memerintahkan kita untuk menganggap entang kesalahan orang lain, tidak membesar-
besarkannya, dan memaafkan dengan tulus bahkan sebelum orang yang bersangkutan meminta
maaf (Tafsir al-Misbah [5]: 352).

Selain memerintahkan untuk memaafkan kesalahan orang lain, surah al-A’raf [7] ayat 199 juga
mengaharkan kita untuk memerintahkan kepada kebaikan dengan cara yang makruf atau sesuai
dengan kondisi masyarakat setempat agar kebaikan tersebut bisa diterima dengan baik. Kata
makruf pada ayat ini bermakna kebajikan yang universal, jelas, diketahui dan sesuai norma
masyarakat serta tidak bertentangan dengan syariat (Marah Labid [1]: 413).

Anda mungkin juga menyukai