Anda di halaman 1dari 5

CONTOH SOAL KASUS I

Seorang perempuan usia 72 tahun dirujuk ke IGD RS Bhayangkara dengan keluhan


adanya perdarahan dari mulut, ketika pasien sedang berjalan di dalam rumahnya tiba-
tiba pasien tergelincir dan terjatuh dengan mulut membentur lantai terlebih dahulu.
Riwayat penyakit sistemik penyakit jantung, hipertensi dan diabetes mellitus tipe II,
sejak 10 tahun yang lalu. Pasien mengonsumsi obat aspilet, dan metformin. Respirasi
22 kali permenit, tekanan darah 140/80 mmHg, Pemeriksaan klinis terdapat Terdapat
Luka sobek terbuka pada gingiva dan bibir regio gigi 11-21 dan berrukuran sekitar
2x0,5x0,5 cm dengan tepi ireguler dan dasar otot. Mobilitas derajat 3 gigi 11, 21 dan
bergeser dengan tulang alveolar yang dapat digerakan.

1. Apa diagnosis kasus tersebut ?


S : Usia 72 th, Riwayat Hipertensi, Konsumsi Aspilet,
Perdarahan karna jatuh, area gigi terbentur
O : Ekstra Oral : DBN
Intra Oral : Luka sobek terbuka disertai perdarahan area gusi dan bibir
regio 11, 21 berukuran 2x0,5x0,5 cm.
Gigi 11 dan 21 goyang derajat 3, tulang alveolar dapat digerakan
A : Fraktur dento-alveolar regio 11 dan 21, disertai vulnus laceratum daerah
gingiva dan labial regio 11 dan 21.

2. Bagaimana penatalaksanaan dan menejemen kasus tersebut ?


a) Menenangkan pasien, dan kontrol perdarahan local dengan kasa yang di
beri asam traneksamat
b) Konsul ke dokter Sp. Pd Jaga, karna pasien memiliki kondisi hipertensi
dan DM yang mengkonsumsi obat.
c) Lakukan wound irigasion/ debridement dengan cara luka jaringan lunak
diirigasi dengan larutan NaCl 0,9 %.
d) Lakukan anestesi selanjutnya Luka dijahit dengan simple interrupted
suture dengan benang silk 4,0.
e) Lakukan pencabutan gigi 11 dan 21.
f) Pasien diresepkan Amoxicillin (500mg, 3 x 1 tab), Ranitidin (150mg, 2
x 1 tab) dan Ibuprofen (400mg, 3 x 1 tab) selama 5 hari.
g) Pasien diinstruksikan untuk menjaga kebersihan rongga mulut, diet
regular dan aplikasi gel (agen regenerative) contoh : asam hialuronat
pada daerah vulnus laceratum gingiva dan bibir atas yang dijahit dan
disarankan untuk kontrol Post Operatif 7 hari kemudian

3. Apa sajakah factor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam perawatan


pasien tersebut?
a) Faktor umum :
(1) Umur dan tingkat kooperatif pasien; (2) kondisi penyakit sistemik dan
obat yang dikonsumsi, (2) kerjasama multidisiplin ilmu baik sejawat
maupun penunjang.
b) Faktor Lokal :
(1) Kondisi Perdarahan (2) Durasi antara trauma dan perawatan yang
dilakukan; (3) Lokasi dan perluasan; (4) Trauma pada gigi permanen; (5)
Ada tidaknya fraktur pada pendukung tulang; (6) Kesehatan jaringan
periodontal dan gigi yang tersisa

Bahan Bacaan : Penatalaksanaan kasus kegawatdaruratan fraktur dentoalveolar pada pasien usia
lanjut dengan penyakit sistemik ( Ariyanto Suryo Karyono1*, Winarno Priyanto1 , Abel Tasman Yuza2 ,
Fathurachman3 .) Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas
Padjadjaran, Indonesia
CONTOH SOAL KASUS II

Pasien Wanita usia 32 tahun, datang dengan keluhan ingin mencabutkan gigi belakang
bawah kiri nya yang tinggal sisa akar. Gigi sering menimbulkan gusi disekitarnya
bengkak dan terahir sakit sekitar dua pekan yang lalu, kondisi saat ini tidak sakit.
Pemeriksaan extra oral didapatkan limfonodi submandibular dextra teraba kenyal tak
sakit. Pemeriksaan intra oral, gigi 36 sisa akar, ditutupi dengan gingival polip yang
mudah berdarah, dan terdapat fistula. Druk dan perkusi (-). Dokter gigi memutuskan
untuk melakukan pencabutan gigi tersebut, beberapa saat setelah dilakukan
mandibular blok menggunakan lidocaine, pasien mengeluhkan dirinya merasa seperti
tercekik, sakit kepala, dadanya seperti ditekan, gelisah dan bibirnya serta langit-
langitnya terasa gatal, hingga pasien menegeluarkan air mata dan matanya bengkak.
Pasien terlihat semakin lemas lambat laun mengalami kehilangan kesadaran.

1. Kondisi apa yang dialami pasien tersebut, dan bagaimana bisa terjadi/
bagaimana patofisiologinya ?
Syok anafilaktik.
Syok Anafilaktik merupakan reaksi hipersensitivitas dengan gejala yang
timbul segera setelah terpajan alergen serta dapat mengancam nyawa. Syok
anafilaktik ditandai dengan adanya penurunan tekanan darah dan kolaps
sirkulasi, merupakan kondisi gawat darurat yang seyogyanya mendapatkan
penanganan yang tepat dan cepat.
Pada reaksi anafilaktik terjadi karena adanya pengeluaran mediator-
mediator oleh sel mast dan sel basofil yang bersifat sistemik. Terdapat 3 fase
yaitu fase sensitisasi yaitu individu setelah terpapar bahan alergen dan
selanjutnya menghasilkan antibodi IgE yang dikeluarkan oleh sel B. Kemudian
dilanjutkan dengan fase aktivasi yaitu antibodi IgE akan berikatan dengan
reseptor IgE yang terletak pada permukaan sel mast atau sel basofil. Ikatan
antara antibodi IgE dan reseptor tersebut memicu degranulasi seluler yang akan
melepaskan mediator-mediator seperti histamin, triptase, kimase, dan
prostaglandin, Fase efektor merupakan dampak klinis pada syok organ sebagai
akibat pelepasan mediator-mediator tersebut.
Diagnosis anafilaktik berdasarkan kriteria Sampson yaitu pertama, onset
akut (dalam hitungan menit sampai beberapa jam) dengan melibatkan jaringan
kulit dan mukosa atau keduanya dan minimal salah satu didapatkan keluhan
sistem respirasi atau penurunan tekanan darah, kolaps, sinkope atau
inkontinensia. Kedua, ditemukan gambaran klinis pada dua organ atau lebih
segera pasca paparan dan ketiga terjadi penurunan tekanan darah segera pasca
paparan yaitu tekanan sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan lebih dari
30% dari tekanan darah sebelumnya segera setelah pasien terpapar alergen
tanpa ditemukan penyebab syok lainnya. Gejala yang muncul saat anafilaktik
bervariasi dengan manifestasi sesuai target organ yaitu sistem kulit mukosa,
sistem pernafasan, sistem kardiovaskuler, sistem gastrointestinal dan sistem
lainnya. Gejala klinis akibat reaksi umum dari alergi adalah lesu, lemah, rasa
tidak enak yang sulit dilukiskan, rasa tidak nyaman di perut dan dada dan
timbulnya rasa gatal. Pada sistem kulit dan mukosa dapat ditemukan tanda dan
gejala berupa eritema seluruh tubuh, urtikaria dengan pruritus dan angioedema.
Tanda klinis lain seperti rhinorrhea dan Conjunctiva Vascular Injection (CVI)
dapat terjadi pada pasien anafilaktik.

2. Bagaimana prosedur pertolongan pertama yang harus diberikan kepada


pasien di poli gigi?
Anamnesis dan pemeriksaan fisik tepat sebagai dasar diagnosis
anafilaksis dan epinefrin merupakan terapi utama pada kondisi tersebut.

Penanganan Utama dan segera :


1. Hentikan pemberian obat / antigen penyebab.
2. Baringkan penderita dengan posisi tungkai lebih tinggi dari kepala
3. Berikan Adrenalin 1 : 1000 (1mg/ml), segera secara IM dengan dosis 0,3 –
0,5 ml ( anak : 0,01 ml/kgbb), dapat diulang tiap lima menit, pada tempat
suntikan atau sengatan dapat diberikan 0,1 – 0,3 ml.
4. Pemberian Adrenalin IV apabila terjadi tidak ada respon pada pemberian
secara IM, atau terjadi kegagalan sirkulasi dan syok, dengan dosis
(dewasa) : 0,5 ml Adrenalin 1 : 1000 (1mg/ml) diencerkan dalam 10 ml
larutan garam faali dan diberikan selama 10 menit.
5. Bebaskan jalan nafas dan awasi vital sign ( tensi, nadi, respirasi) sampai
syok teratasi.
6. Pasang infus dengan larutan glukosa faali bila tekanan darah sitole kurang
dari 100mmhg.
7. Pemberian oksigen 5 – 10 L/menit

Penanganan Tambahan :
1. Difenhidramin injeksi 50 mg, dapat diberikan bila timbul urtikaria.
2. Hydrokortison injeksi 7 – 10 mg/kgbb, dilanjutkan 5 mg/kgbb setiap 6
jam atau Deksametason 2 – 6 mg/kgbb, untuk mencegah reaksi berulang.
Antihistamin dan Kortikosteroid tidak untuk mengatasi syok anafilaktik.
3. Pemberian Aminofilin IV , 4 – 7 mg/kgbb selama 10 – 20 menit bila
terjadi tanda – tanda bronkospasme, dapat diikuti dengan infuse 0,6
mg/kgbb/jam, atau bronkodilator aerosol ( terbutalin, salbutamol)

Bahan bacaan :
Departemen Kesehatan RI. 2002. Pedoman Pengobatan Dasar..
Seorang penderita syok anafilaktik dengan manifestasi takikardi supraventrikular Tjok Prima Dewi
Pemayun1* , Ketut Suryana. Universitas Udayana

Anda mungkin juga menyukai