Anda di halaman 1dari 175

Sastra Perancis dan Frankofon:

Konsep Dasar, Tokoh, dan Karya

Dr. Mohamad Syaefudin, M.Pd.


Suluh Edhi Wibowo, S.S., M.Hum.
Yogas Ardiansyah, S.Pd., M.Hum.

Editor:
Saroni Asikin
SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:
KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
PENULIS
Dr. Mohamad Syaefudin, M.Pd., dkk.

Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang


All Right Reserved
Hak cipta © Dr. Mohamad Syaefudin, M.Pd., dkk. 2023

PENYUNTING
Saroni Asikin
Shafira Rahmadani

ILUSTRATOR SAMPUL
Sekar Putri Lintang

PENATA LETAK
Dinar Hardini

Diterbitkan oleh Omera Pustaka


Anggota Ikapi
Alamat Kantor: Ajibarang Kulon, Banyumas, Jawa Tengah
Surel: omeracreative@gmail.com

Cetakan I, Januari 2023


Ukuran Buku: 14 x 21 cm

Halaman: 173 Halaman


ISBN: 978-623-5883-89-2

Sanksi Pelanggaran Pasal 113


Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014
Tentang Hak Cipta

1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf i untuk penggunaan secara komersial dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak
cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal
9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan atau huruf h, untuk penggunaan secara komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
3. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak
melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9
ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan atau huruf g, untuk penggunaan secara komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
4. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan
dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami persembahkan ke hadirat Allah Swt.


yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk bisa
menyelesaikan buku ajar Kesusasteraan Prancis dan Frankofon
ini. Buku ini merupakan bahan mata kuliah Littérature
Française et Francophone di Program Studi Pendidikan Bahasa
Prancis UNNES.
Buku ini berisi rangkuman dua karya besar dalam
khazanah kesusastraan di negara Perancis dan di negara-
negara Frankofon. Tujuan buku ajar ini tidak lain untuk
memudahkan pemahaman yang berasal dari berbagai
sumber karya sastra dalam bahasa Prancis asli yang relatif
sulit bagi mahasiswa di semester awal.
Usaha penerbitan kumpulan cerita ini didukung oleh
Fakultas Bahasa dan Seni UNNES sehingga kami sangat
berterima kasih kepada Dekan Fakultas Bahasa dan Seni
yang telah mendukung program jurusan. Tidak lupa kami

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
III
mengucapkan terima kasih kepada Penerbit Omera
Pustaka yang mengelola naskah hingga menjadi buku.
Kami berharap semoga buku ini mendapat tempat di
hati pembaca serta kami mengapresiasi masukan, kritikan
demi perbaikan buku sejenis. Akhir kata, kami mengucapkan
terima kasih bagi yang telah meluangkan waktu untuk
membaca buku ini.

Semarang, 2 September 2022

Penulis

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


IV KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................. III


DAFTAR ISI............................................................................ V

BAB 1 Kesusastraan Abad Pertengahan............................ 1


1.1 Periode Abad Pertengahan..................................................1
1.2 Bentuk Karya Sastra Abad Pertengahan..........................3
1.3 Chanson de Roland..................................................................4
1.4 Kisah Raja Arthur......................................................................6
1.5 Roman de Renard.................................................................. 10
BAB 2 Era Renaissance...................................................... 15
2.1 Konsep dan Awal Mula Renaissance.............................. 15
2.2 Medici Penggerak dari Italia.............................................. 19
2.3 Tujuan Gerakan Renaissance............................................. 21

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
V
2.4 Puisi “Grands Rhétoriqueurs”............................................. 25
2.5 Prosa Panjang......................................................................... 28
2.6 Cerita Pendek.......................................................................... 30
2.7 Humanisme............................................................................. 34
BAB 3 Sastra Abad XVII..................................................... 37
3.1 Pierre Corneille (1606 — 1684)......................................... 38
3.2 Molière (1622 — 1673)........................................................ 40
BAB 4 Sastra Abad XVIII.................................................... 43
4.1 Roman Abad XVIII ................................................................. 44
4.2 Puisi Abad XVIII....................................................................... 46
BAB 5 Sastra Abad XIX...................................................... 49
5.1 Latar Belakang Sosio-historis yang Kesusastraan
Prancis Abad XIX. .................................................................. 49
5.2 Kelahiran Aliran Romantis Prancis................................... 51
5.3 Aliran Lain dalam Sastra Pada Abad ke XIX.................. 52
5.4 Honoré de Balzac .................................................................. 54
5.5 Emile Zola ................................................................................ 58
5.6 Victor Hugo ............................................................................. 61
BAB 6 Sastra dan Seni Abad XX........................................ 65
6.1 Kubisme.................................................................................... 66
6.2 Fauvisme................................................................................... 68
6.3 Sastrawan Prancis Abad XX: Exupery Sang
Pangeran Kecil........................................................................ 70

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


VI KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
6.4 Jacques Prévert ..................................................................... 75
6.5 Georges Perec......................................................................... 80
Bab 7 Konsep Frankofon................................................... 85
7.1 Pengantar................................................................................. 85
7.2 Sastra dari Maghreb............................................................. 88
Bab 8 Sastra dari Afrika Tengah..................................... 109
Bab 9 Sastra dari Kanada................................................ 123
9.1 Periode Prancis: 1534—1760..........................................126
9.2 Hegemoni Inggris: 1760—1830.....................................129
9.3 Kebangkitan Sastra dan Budaya: 1830—1930..........132
9.4 Modern-Post Modern: 1930 Hingga Kini....................136
9. 5 Beberapa Penulis dan Karyanya....................................138

DAFTAR PUSTAKA............................................................ 157


BIOGRAFI PENULIS.......................................................... 163

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
VII
BAB 1
Kesusastraan
Abad Pertengahan

Pada bab ini, akan dijelaskan awal mula kesusastraan


Prancis dan bentuknya. Pembaca akan mempelajari
pengertian kesusastraan abad pertengahan, periodisasi
atau pembabakan kesusastraan di abad pertengahan dan
beberapa bentuk serta karya utama kesusastraan era tersebut,
yakni berupa kidung atau puisi dan roman dengan dua ikon
pentingnya, Roman de Roland, dan Legenda Raja Arthur.
Dengan mengawali pembelajaran pada periode kesusastraan
abad pertengahan, pembaca diharapkan memperoleh
informasi lengkap mengenai karya sastra sebermula dalam
kesusastraan Prancis.

1.1 Periode Abad Pertengahan


Kesusastraan Prancis abad Pertengahan dimulai kurang
lebih pada tahun 1000 Masehi dan berlangsung hingga tahun
1500 Masehi. Seputar tahun 1000 dianggap sebagai tonggak
dimulainya Prancis berdiri sebagai sebuah bangsa, seiring
dengan semakin luruh dan memudarnya pengaruh Romawi.
Karya sastra yang lahir dalam kurun waktu itu memakai

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
1
bahasa Latin atau bahasa Prancis kuno yang dinamakan
la langue d’oc (di Prancis selatan, meliputi wilayah Catalan,
Occitan, dan Provence) dan la langue d’oïl (di Prancis utara,
meliputi daerah Piccard dan Anglo-Normand).
Sebelum memakai bahasa Latin, bangsa Gaule (Prancis
kuno) menggunakan bahasa Celtik, yang berangsur-angsur
memudar seiring pengaruh bahasa Latin, dimulai pada abad
V hingga berakhirnya abad pertengahan. Dari tempatnya
berasal, bahasa Latin ragam tulis (disebut juga sebagai latin
klasik) digunakan pada ranah pendidikan dan pengajaran,
upacara keagamaan, penulisan temuan teknologi, dan
penulisan dokumen hukum, termasuk di dalamnya adalah
penulisan karya sastra. Sementara bahasa Latin pasaran (Latin
vulgaire) dipakai sebagai bahasa percakapan antar sesama
pedagang atau pun prajurit sehingga bahasa jenis inilah
yang secara perlahan menyebar dan perkembangan pada
penduduk Prancis, yang kemudian menjadi ragam bahasa
Prancis utara dan selatan. Seiring perkembangan, pada abad
ke IX, bahasa bawaan pendudukan Romawi tersebut sudah
sangat berbeda dari bahasa Latin sendiri, ditandai dengan
perlu adanya sebuah catatan khusus bila hendak mempelajari
Injil, yang masih tertulis dalam bahasa Latin awal. Pada abad
ke XIII, ragam bahasa Prancis yang digunakan oleh warga
Paris (l’Île-de-France) telah memberi pengaruh yang luas
terhadap ragam-ragam bahasa lain sehingga oleh pemerintah
kerajaan ditetapkan sebagai bahasa resmi, dan menjadi
dasar perkembangan bahasa Prancis klasik (disebut juga
sebagai bahasa Prancis kuno). Dokumen-dokumen yang lahir
pada era antara abad ke IX hingga abad XIII disebut sebagai
dokumen berbahasa Prancis kuno, sementara dokumen

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


2 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
yang muncul dari abad XIV hingga abad XVI, disebut sebagai
bahasa Prancis pertengahan.

1.2 Bentuk Karya Sastra Abad Pertengahan


Dilihat dari sisi bentuk, karya sastra pada abad
Pertengahan dapat digolongkan menjadi dua bentuk, yakni
yang ditulis dalam bentuk sajak, syair atau puisi (verse) dan
yang ditulis dalam bentuk novel (roman). Namun, perbedaan
bentuk ini tidak perlu dijadikan sebagai batasan baku.
Sebagian besar karya memang ditulis dalam bentuk larik-
larik syair yang disampaikan dengan cara dilagukan (poesie
lyrique) oleh troubadour dan trouvère. Sedangkan yang
dimaksud sebagai roman, tidak lain adalah karya yang juga
ditulis dalam bentuk sajak dengan jumlah bait yang sangat
panjang sehingga mampu memuat berbagai kisah dan
kejadian (layaknya sebuah novel). Chretien de Troyes (1190)
adalah contoh dari karya bentuk tersebut. Selain karya itu,
Yvain ou le Chevalier au Lion (1170), Lancelot ou le Chevalier de
la Charrette (1175), dan Perceval ou le Conte du Graal adalah
(1175) adalah karya-karya serupa yang di kemudian waktu,
digubah, dan diturunkan menjadi berbagai jenis versi dan
cerita, termasuk Roman de la Rose yang muncul belakangan
(1230) yang sudah mengusung ragam bahasa alegoris.
Sebagian kecil karya lain sudah mulai ditampilkan dalam
bentuk drama atau teater mula, atau ragam tema baru yang
memuat unsur borjuis dan satir (di antaranya adalah Isopeth
dan Roman de Renart, muncul di abad XII), serta tema moral
dan pengajaran (Livre pour L’enseignement de ses Filles du
Chevalier de La Tour Landry, muncul pada 1373).

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
3
Tema utama syair yang diangkat pada masa awal
kemunculannya banyak didominasi oleh kisah epik para
ksatria (chevalier), tuan tanah (seigneur), atau raja (roi).
Karya-karya itu dikenal dengan nama Chanson de Geste.
Istilah “geste” berasal dari bahasa Latin “gesta”, yang berarti
tindakan (action). Jadi, definisi la Chanson de Geste adalah
cerita yang mengisahkan aksi keberanian dan kepahlawanan.
Dalam perkembangannya, muncul tema yang disebut
sebagai roman courtois, yakni cerita bertema bangsawan dan
ksatria, tetapi mengandung tema asmara, percintaan, atau
hubungan berkasih sayang antar sesama manusia. Justru
pada akhirnya, tema yang terdapat dalam roman courtois ini
mampu berkembang menjadi kisah sedemikian panjang dan
dominan, salah satunya dalam Arthur et les Chevaliers de la
Table Ronde.

1.3 Chanson de Roland

Gambar 1 Sampul Chanson de Roland gubahan Joseph


Bédier (https://www.babelio.com/livres/)

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


4 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Salah satu la Chanson de Geste yang paling terkenal
adalah kisah tentang Roland, atau yang lebih dikenal dengan
nama la Chanson de Roland. Kidung ini dianggap sebagai
kisah kepahlawanan (epos) Prancis yang tertua dan terindah.
Syair epik ini kemungkinan besar ditulis pada awal abad XII.
Meskipun begitu, masyarakat umum baru mengenalnya pada
tahun 1837, setelah dipublikasikannya manuskrip Oxford
yang sejatinya ditulis sekitar pada tahun 1170.
Kidung ini mengangkat kisah kematian Comte de Roland
yang heroik di tangan orang Sarassin di wilayah Prancis
selatan, berbatasan dengan Spanyol. Roland merupakan
seorang bangsawan dari wilayah Bretagne yang berperan
dalam penaklukan Spanyol. Konon ia adalah keponakan
Charlemagne, raja pertama dinasti Carolingien Prancis. Pada
tahun 778, dalam perjalanan pulang ke Prancis, pasukan garis
belakang pimpinan Roland disergap oleh orang Sarassin di
celah Roncevaux di daerah Pyrenia, Perancis Selatan.
Hingga detik terakhir kehancuran pasukannya, Roland
bersikeras tidak mau meniup trompet demi memanggil bala
bantuan. Ia ingin menunjukkan kepada Charlemagne bahwa
dirinya sendiri mampu mengatasi lawan. Akhirnya ia pun
tewas karena arogansi dan nafsunya sendiri yang ingin dikenal
sebagai pahlawan. Dalam kisah sesungguhnya, pasukan garis
belakang Charlemagne pimpinan Roland tidaklah disergap
oleh orang Sarassin, tetapi oleh orang-orang Basque yang
melakukan perlawanan terhadap Charlemagne.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
5
Gambar 2 Ilustrasi Pertempuran Pasukan Roland
(https://wordpress.com/tag/song-of-roland/)

1.4 Kisah Raja Arthur


Karya sastra novel atau roman pada abad pertengahan
banyak dipengaruhi oleh legenda dan mitologi Celtik.
Mitologi paling terkenal adalah kisah Raja Artur dan Ksatria
Meja Bundar (Arthur et les Chevaliers de la Table Ronde). Kisah
ini adalah epos yang paling terkenal setelah Kisah Perang
Troya dan Petualangan Odysseus (Iliad dan Odyssey).
Seperti halnya ciri khas sebuah epos, kisah raja Arthur
ini ditulis dalam bentuk puisi yang panjang sekali. Epos ini
dikisahkan dari kastil seigneur ke kastil seigneur yang lain
oleh para troubadour dan trouvère (penyair yang bertugas
sebagai tukang cerita, pada abad Pertengahan). Kisah ini
dikenal pula dengan sebutan la Légande Arthurienne.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


6 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Arthur adalah raja dari kerajaan Camelot. Ia adalah putra
seorang seigneur yang bernama Uther Pendragon dengan
Yangraine. Sebenarnya Yangraine bukanlah istrinya. Gorlois
adalah istri resmi Uther yang merupakan bangsawan dari
Cornuoailles (Cornwall). Uther Pendragon bisa mempunyai
anak dari istri orang lain dengan bantuan penyihir Melin.
Alkisah, Uther tergila-gila kepada Yangraine. Ia meminta
bantuan Merlin l’Enchanteur (Merlin sang Penyihir) agar
mengubah dirinya menjadi Gorlois, suami Yangraine.
Yangraine mengira bahwa Gorlois palsu di hadapannya
adalah suaminya sungguhan sehingga mau digauli hingga
akhirnya mengandung.
Saat sudah menjadi raja di Camelot, Arthur lalu menikahi
Guenièvre (Guinevere). Pernikahan tersebut ditentang Merlin
karena ia tahu bahwa Guenièvre sudah menjalin hubungan
asmara dengan Lancelot du Lac, salah seorang ksatria Arthur
sendiri. Namun, akhirnya ia merestui pernikahan tersebut
dengan menghadiahkan kado pernikahan yang berupa La
Table Ronde.

Gambar 3 Lukisan Raja Arthur dan Ratu Guenièvre


(matheatre.fr)

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
7
Legenda Arthur ini sudah populer sejak abad Pertengahan
melalui antologi roman karya Chrétien de Troyes yang
berjudul Les Romans de la Table Ronde. Ada lima bagian dalam
roman ini yakni (1) kisah Erec et Énide, (2) Cligés, (3) Le Chevalier
à la Charette, (4) Le Chevalier au Lion dan (5) Le Conte du Graal
ou Le Roman de Perceval.
Kisah Arthur et les Chevaliers de la Table Ronde mempunyai
tema utama, yakni La Quête du Graal (Pencarian Cawan Graal).
Konon, Le Graal atau Cawan Grail adalah cawan suci yang
digunakan untuk menampung darah Yesus, saat lambung
kanannya ditusuk tombak oleh seorang serdadu Romawi.

Gambar 4 Lukisan Penyalibab Yesus dan Cawan Suci


(fr.wikipedia.orag)

Menurut legenda, cawan Graal itu dibawa oleh Joseph


Arimathea dari tanah Palestina ke Eropa Barat. Namun, cawan
tersebut kemudian hilang tak tentu rimbanya. Kabar tentang

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


8 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
cawan Graal yang hilang tersebut menarik perhatian Arthur,
seiring dengan semakin berkembangnya agama Katolik di
wilayah kerajaannya.
Ia lalu memerintahkan ke-150 orang Ksatria Meja Bundar
(Les Chevaliers de la Table Ronde) untuk mencari cawan suci
itu. Pencarian cawan Graal oleh para Ksatria Meja Bundar itu
diwarnai dengan banyak sekali motif. Kejayaan, kekayaan,
dan ketenaran adalah motif yang paling banyak mengotori
hati para Ksatria Meja Bundar. Padahal Graal adalah cawan
suci yang harus ditemukan dengan kesucian hati, jiwa, dan
pikiran.
Dari semua ksatria yang mencari Graal, hanya Galahad,
ksatria yang termuda, yang beruntung mendapatkannya. Ia
berhasil menjalankan misi religius yang berbahaya tersebut
karena memiliki niat bersih, tulus, dan ikhlas.
Kisah tentang Arthur berbentuk cerita berbingkai,
alias cerita yang di dalamnya terdapat banyak cerita lain.
Selain La Quête du Graal, kisah utama Arthur banyak
membicarakan tentang kehidupan pribadi dan peristiwa
kematiannya, kehidupan para Ksatria Meja Bundar, serta akhir
kerajaan Camelot yang menyedihkan. Akhir legenda Arthur
berpangkal pada permusuhan Arthur dengan Mordred,
putra kandungnya. Mordred sebenarnya adalah anak Arthur
yang didapatkannya secara tidak disengaja dari Morgana Le
Fay, kakak kandungnya. Arthur dan Morgana berhubungan
asmara dalam keadaan tidak sadar dalam ritual Solstice d’Été.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
9
Mordred pernah menjadi salah satu anggota Ksatria Meja
Bundar, namun ia berkhianat. Mordred membelot memihak
kaum Saxon dari Jerman demi menggulingkan Arthur dari
kekuasaan. Dalam pertempuran Camlann melawan kaum
Saxon, Arthur terluka parah di tangan Mordred. Sebaliknya,
ia berhasil membunuh Mordred. Raja Arthur yang sekarat
dijemput dengan kapal ke Avallon yang merupakan pulau
misterius yang diyakini sebagai tempat peristirahatan Arthur
yang terakhir.
Dapat disimpulkan bahwa, kesusastraan Abad
Pertengahan berlangsung sejak abad XI dan berjalan selama
lima abad. Bentuk karya sastra abad pertengahan berupa
kidung atau puisi dan roman dengan dua ikon pentingnya
Roman de Roland, dan Legenda Raja Arthur. Kisah Kesatria
Meja Bundar juga menjadi bagian penting dalam roman ini.
Tema sastra Abad Pertengahan adalah puja-puji terhadap raja
dan ksatria, pengagungan Gereja dan pencarian Cawan Suci
Graal, serta sesekali dibumbui dengan asmara. Persebaran
karya pada masa itu bertumpu pada peran pencerita yang
membawakan sastra tersebut secara lisan, biasanya atas
undangan bangsawan ataupun penguasa.

1.5 Roman de Renard


Sastra ber-genre dongeng dan fabel memiliki porsi cukup
banyak dalam sastra Prancis modern. Cerita seperti ini, seperti
umumnya pada sastra-sastra negeri lain, diperuntukkan bagi
pembaca kanak-kanak, untuk memberi gambaran tentang

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


10 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
norma, sopan-santun dan nilai baik-buruk. Genre cerita ini
sudah dimulai sejak lama sekali, bahkan jauh ke belakang ke
zaman Abad Pertengahan. Berbeda dengan fabel modern,
fabel zaman Abad Pertengahan tidak hanya dikonsumsi oleh
anak dan remaja, tetapi lebih diperuntukkan bagi pembaca
berusia dewasa. Hal ini disebabkan karena fabel pada masa
itu adalah gaya bahasa satir dan alegoris yang banyak
memainkan lambang, simbol, dan kiasan. Fabel yang paling
terkenal pada masa itu adalah sekumpulan cerita Roman
de Renard. Cerita ini menjadi fondasi dan cerita fabel pada
generasi berikutnya, seperti yang banyak ditulis oleh Charles
Perrault dan Jean de la Fontaine.
Roman de Renard (atau disebut juga Roman de Renart)
adalah antologi cerita dari masa abad Pertengahan yang
tokohnya adalah hewan-hewan yang berperan sebagaimana
layaknya manusia. Karya ini pertama kali ditulis dalam bahasa
Prancis Kuno kurang lebih pada tahun 1200 Masehi.
Tokoh yang menjadi sentra penceritaan adalah Renard
atau rubah yang berkarakter ceria dan jenaka, namun
sekaligus licik dan tega hati. Cerita ini sebenarnya adalah
kumpulan puisi yang sebagian besar bersifat anonim (tidak
diketahui pengarangnya), ditulis dalam kurun waktu yang
berbeda-beda (yaitu antara tahun 1170-1250), namun
dihimpun menjadi satu lebih kurang di abad XIII.
Meskipun sebagian besar anonim, tetapi beberapa nama
muncul sebagai penulis kisah ini, yakni antara lain Pierre
de Saint-Cloud, Richard de Lisson, le marquis Guillaume de
Madoc, dan le Prêtre de la Croix-en-Brie.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
11
Ada yang menyebut bahwa Le Roman De Renard adalah
epos dunia binatang, atau lebih tepatnya adalah parodi satiris
La Chanson De Geste dan roman courtois yang mengagung-
agungkan kasta ksatria.

Gambar 5 Beberapa ilustrasi dalam Le roman de Renard


(Berbagai sumber dari Google)

Le roman de Renard lahir dari pemikiran pihak-pihak yang


tidak menyukai sistem sosio-politis di Prancis. Sifatnya ironis,
penuh sindiran, realis, dan, bahkan cenderung bebas, tapi
mengandung pesan moral yang bagus dan mengena.
Penciptaan Le Roman de Renard ini didasarkan atas
kebencian kepada struktur sosio-politis Prancis yang
dianggap terlalu semena-mena terhadap rakyat jelata.
Namun, untuk berkonfrontasi secara terbuka mereka tidak
berani sehingga diciptakanlah kisah satiris ini.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


12 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Roman de Renard terdiri dari 27 cerita yang masing-
masing berdiri sendiri. Tokoh utamanya selalu sama, yaitu
rubah. Si rubah ini dikisahkan selalu beradu akal dengan
serigala jahat yang bernama Ysengrin.
Di Prancis, hewan yang dianggap paling cerdik dan paling
licik adalah rubah. Sedangkan serigala adalah binatang yang
kuat dan buas, tetapi terlalu lugu, bahkan cenderung bodoh
sehingga dia selalu menjadi bulan-bulanan kelicikan si rubah.
Dalam kisah tersebut, Renard adalah perwujudan
golongan borjuis yang ingin membalas perlakuan sewenang-
wenang kaum bangsawan (yang disimbolkan dengan
Ysengrin).
Tokoh-tokoh yang berperan dalam kisah le roman de
Renard antara lain:
™™ Rubah (renard) = Renard
™™ Serigala (loup) = Ysengrin
™™ Singa jantan (lion) = Noble
™™ Singa betina (lionne) = Dame Fière
™™ Ayam jantan (coq) = Chantecler
™™ Siput (limaçon) = Tardif
™™ Beruang (ours) = Brun
™™ Kucing (chat) = Tibert
™™ Keledai (âne) = Bernard

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
13
Semua hewan tersebut hidup di hutan yang seakan-akan
merupakan sebuah kerajaan layaknya kerajaan manusia, dan
mereka mempunyai peran masing-masing dalam “kerajaan
satwa” itu.
Ke-27 kisah dalam le roman de Renard antara lain:
™™ Les Jambons d’Ysengrin
™™ Ysengrin Fait Moine
™™ La Pêche aux Anguilles
™™ Chantecler le Coq
™™ Tibert le Chat
™™ La Queue de Tibert
™™ À la Cour du Roi Noble

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


14 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
BAB 2
Era Renaissance

Bab ini menjelaskan periode renaissance dalam


kesusastraan Prancis, meliputi konsep dasar, periode waktu,
serta genre-genre karya sastra yang muncul pada era tersebut,
disertai ulasan ringkas atas peristiwa dan pemikiran yang
menyertai kemunculannya.

2.1 Konsep dan Awal Mula Renaissance


Secara etimologis, kata “Renaissance“ berasal dari kata
“Re” artinya kembali: mengulangi, dan “Naissance” (dalam
bahasa Prancis, kata ini adalah nomina dari verba “naître”)
yang memiliki arti kelahiran. Jadi secara harfiah, Renaissance
artinya adalah “kelahiran kembali”. Gerakan ini bertujuan
untuk melahirkan kembali peradaban Greco-latin (Yunani-
Romawi) yang telah sirna akibat runtuhnya kekaisaran
Romawi Barat pada abad ke-5 Masehi.
Keberadaan Renaissance bermula dari Florencia, Italia.
Sejak Kekaisaran Romawi Barat yang berjaya berabad-abad
runtuh pada tahun 476 M, Italia mengalami kemunduran. Kota-
kota pelabuhan menjadi sepi dan perdagangan di kawasan
Laut Tengah (Mediterania) dikuasai pedagang muslim dari
abad ke-8 hingga abad ke-11. Kota-kota pelabuhan itu baru

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
15
kembali ramai selama berlangsung Perang Salib (abad ke-11
hingga abad ke-13), hal ini disebabkan oleh aktivitas militer
pasukan perang yang diarahkan menuju Yerusalem. Barulah
setelah Perang Salib, aktivitas perdagangan di kota-kota
pelabuhan kembali marak. Seturut hal itu, muncullah kota-
kota dagang di Italia yang cukup penting seperti Genoa,
Florencia (atau Firenze untuk sebutan sekarang), Venezia, dan
Pisa. Muncul pula banyak keluarga kaya, yang salah satunya
keluarga Medici dari Florencia. Pandangan hidup masyarakat
Italia pun berubah. Mereka ingin keluar dari bayang-bayang
tradisionalisme Abad Pertengahan. Abad pertengahan bagi
orang Eropa adalah masa kesuraman karena kehidupan
dipenuhi oleh peperangan, kelaparan, dan wabah penyakit.
Mereka yang selamat dari keduanya mempertanyakan
nilai penting keberadaan institusi, baik pemerintahan
maupun agama yang dianggap gagal mencegah peperangan
dan menanggulangi wabah.
Beberapa kalangan juga mempertanyakan doktrin gereja.
Pada kenyataannya dominasi gereja memengaruhi segala
aspek kehidupan, termasuk memengaruhi keputusan politik
para raja. Banyak kebijakan raja yang hanya menguntungkan
gereja. Siapa pun yang bertentangan dengan gereja akan
dihukum.
Pemikiran manusia pada Abad Pertengahan mendapat
doktrin dari gereja yang memandang kehidupan seseorang
selalu dikaitkan dengan tujuan akhir. Pemikiran tentang ilmu
pengetahuan banyak diarahkan kepada teologi. Pemikiran
filsafat yang berkembang melahirkan filsafat skolastik yaitu
suatu gerakan filsafat yang dilandasi oleh teologi.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


16 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Tentu saja muncul ketidakpuasan dan penolakan-
penolakan terhadap berbagai pembatasan yang dilakukan
kerajaan atas saran dari gereja. Sebagian kalangan
menginginkan pembaharuan yang diawali dengan reformasi
di bidang kejiwaan (psikologi), kemasyarakatan, dan
kegerejaan (keagamaan) di Italia pada pertengahan abad
XIV. Selain itu, Renaisans muncul juga dikarenakan adanya
pertumbuhan kota-kota dagang yang makmur. Perdagangan
memang mengubah perasaan pesimistis (pada Abad
Pertengahan) menjadi optimistis. Begitu pula penghapusan
sistem stratifikasi sosial (kelas sosial) masyarakat agraris yang
feodalistis memunculkan kebebasan dalam berpikir. Aliran
pemikiran humanisme pun lahir. Dukungan dari keluarga
saudagar kaya makin menggelorakan semangat Renaisans
tersebar ke seluruh Italia dan Eropa.
Pada dasarnya, gerakan Renaisans yang dimulai di Italia
membawa perubahan besar dalam hal penciptaan seni,
termasuk karya sastra dan ideologi pada periode 1300-1600
Masehi. Istilah “Renaisans” digunakan oleh para sejarawan
karena istilah tersebut berarti “kelahiran baru”. Di mana kaum
terpelajar, pria, dan wanita, ingin kembali ke budaya klasik
zaman Yunani dan Romawi dengan perspektif baru. Hal ini
tercermin dalam inovasi dalam segala hal, terutama sastra
dan seni. Akibatnya, nilai-nilai baru juga berkembang.
Kota-kota perdagangan tumbuh dan berkembang di
bagian utara Italia sementara bagian lain Italia dan seluruh
Eropa tetap dicirikan oleh daerah pedesaan. Seperti
disebutkan, pertumbuhan kota adalah kekuatan pendorong

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
17
di balik kebangkitan gerakan Renaisans. Karakter urban yang
menjadi tempat pertemuan banyak orang dari berbagai
tempat memungkinkan bertemunya beragam ide. Tidak
dapat dimungkiri bahwa kota merupakan tempat di mana
pertumbuhan dan perkembangan dapat dicapai.
Namun, wabah melanda Eropa dalam bentuk Black Death
(wabah pes) pada tahun 1300-an. Wabah Pes ini membunuh
sekitar 60% penduduk Eropa. Tentu saja, kehidupan ekonomi
terpengaruh oleh epidemi, terutama karena penurunan
jumlah pekerja. Tenaga kerja yang tidak banyak menyebabkan
tingginya tuntutan upah pekerja. Pengusaha yang terbebani
tidak dapat mengembangkan bisnis mereka dan dengan
demikian beralih ke dunia seni.
Di kota-kota perdagangan muncul orang-orang kaya dari
bisnis perdagangan mereka karena kota-kota seperti Milan
dan Florence kecil, para saudagar kaya menjadi dominan
dalam kehidupan politik. Bahkan, singkatnya, bisa dikatakan
bahwa mereka mendominasi kehidupan politik. Tidak seperti
bangsawan yang kedudukan sosialnya berdasarkan warisan,
saudagar memperoleh status sosial yang tinggi melalui
usahanya sendiri. Dengan demikian, mereka menganggap
bahwa kekuasaan mereka dalam politik adalah hasil
pencapaian pribadi, bukan warisan. Cara berpikir inilah yang
menjadi bibit Renaisans.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


18 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
2.2 Medici Penggerak dari Italia
Salah satu keluarga saudagar kaya yang muncul sebagai
pemimpin politik adalah keluarga Medici di Florence.
Sejak tahun 1200-an, negara-Kota Florentia telah menjadi
pemerintah republik yang dikenal sebagai Republik Florentia.
Selama Renaissance, bagaimanapun, Florence diperintah
oleh keluarga bankir, keluarga Medici. Mereka memiliki bank
di sebagian besar wilayah Italia dan Eropa.
Dapat dikatakan bahwa kontribusi keluarga Medici
terhadap kemunculan dan perkembangan zaman Renaisans
sangat besar. Apa kontribusi mereka? Kontribusi mereka
terlihat dalam upaya mengembangkan dunia seni dan
pemikiran di Florence, serta dalam kebijakan politik yang
mendukung kehidupan yang damai dan stabil di Italia.
Mereka mendukung dan mendorong seniman dan pemikir
untuk mengembangkan bidangnya.
Keluarga Medici berasal dari daerah pedesaan kecil
bernama Murgello, di utara Florence. Ketika mereka pertama
kali tiba di Kota Florence pada abad ke-13, mereka mulai
mengembangkan bisnis tenun wol. Keuntungan dari kegiatan
bisnis ini mereka kembangkan ke berbagai jenis bisnis.
Dengan kekayaannya yang terus bertambah, Giovanni di
Bicci de Medici (1360—1429) mendirikan Medici Bank, yang
menjadikannya orang terkaya di Florencia, sebagaimana
tercatat dalam bukunya The House of the Medici: The Medici
The Rise and Fall of Christopher Hibbert (Morrow Press, London,
1975) karena status mereka yang kaya, keluarga Medici terlibat

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
19
dalam kehidupan politik. Namun dalam politik, mereka
sangat suka berada di belakang layar. Mereka menikmati
menghasilkan uang dan jaringan dalam politik untuk tujuan
bisnis. Bahkan, seperti yang ditulis Schevill (1936:113), ketika
Cosimo de’ Medici, kepala keluarga Medici, terpilih sebagai
salah satu penguasa (hakim) Republik Florentia pada tahun
1434, dialah yang mengatur otoritas hakim.
Cosimo dikenal sebagai pemimpin yang efektif, negosiator
yang brilian, dan berhasil membawa Kota Florence pada
stabilitas dan kemakmuran. Sebelum Cosimo mengambil alih
kekuasaan, Florencia selalu tidak stabil secara politik karena
kehadiran beberapa faksi dalam beberapa klan berpengaruh.
Ketika Cosimo meninggal pada tahun 1464, ia digantikan
oleh putranya, Piero. Anak tidak memiliki kekuatan ayah.
Setelah kematian Piero, putranya Lorenzo menggantikannya
pada tahun 1469. Dialah yang tercatat dalam sejarah sebagai
Lorenzo Il Magnifico (Lorenzo yang luar biasa). Dia dianggap
sebagai pemimpin hebat yang membawa perdamaian dan
kemakmuran ke Florence dan wilayah bawahannya. Namun,
pada saat yang sama, bisnis keluarga De Medici menurun,
secara langsung mempengaruhi kekuasaan mereka atas
Florencia.
Dominasi keluarga Medici bukan tanpa pesaing. Banyak
keluarga tidak menyukai kekayaan dan kekuasaan mereka.
Persaingan sering kali berbentuk plot untuk membunuh
anggota keluarga Medici. Peristiwa yang dikenal sebagai
Konspirasi Pazzi pada tanggal 26 April 1478 membuktikan
hal ini.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


20 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
2.3 Tujuan Gerakan Renaissance
Renaissance bertujuan untuk menjangkau seluruh aspek
kehidupan manusia Eropa yang sebelumnya “gelap” akibat
pengaruh abad Pertengahan. Walhasil, gerakan Renaissance
berhasil memajukan Ilmu pengetahuan teknologi, ekonomi,
seni-budaya, filsafat, dan gaya hidup bangsa Eropa.
Gerakan Renaissance lahir di Italia karena pada masa
kejayaan bangsa Romawi, Italia adalah pusat peradaban
Greco-latin yang diserap menyerap sepenuhnya peradaban
Yunani yang telah runtuh jauh pada masa sebelumnya.
Bagaimana dengan perkembangan gerakan Renaissance
di Prancis, khususnya di bidang kesusastraan? Di Prancis,
Renaissance dipopulerkan oleh raja François I (1494-1547).
François I gemar sekali mengoleksi karya seni dari seniman
besar Italia. Misalnya karya-karya Rafael, Bienvenuto Cellini,
Donatello, dan Leonardo da Vinci.
Seperti umumnya kesusastraan Eropa masa Renaissance,
kesusastraan Prancis ditandai dengan karya sastra hasil
cetakan mesin temuan Johann Guttenberg. Berkat mesin
cetak ini, penggandaan buku menjadi hal yang lazim
dilakukan sehingga harga buku menjadi semakin terjangkau
oleh masyarakat. Prancis menjadi pasar bagi berbagai macam
buku dari seluruh penjuru Eropa sehingga hal ini memberikan
kontribusi yang sangat besar bagi perkembangan bahasa
Prancis.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
21
Dalam perkembangan bahasa Prancis, bahasa Latin
memberikan pengaruh yang sangat signifikan. Bahasa Prancis
masa Renaissance dinamakan Moyen français atau bahasa
Prancis Tengahan (± 1340 — ± 1611). Pengaruh bahasa Latin
yang sangat besar mengarahkan bahasa Prancis Tengahan
kepada pembentukan bahasa Prancis modern dewasa ini.
Periode ini dinamakan “Periode pencarian jati diri
nasional” melalui konsolidasi di bidang kebahasaan. Pada
masa ini lahirlah usaha-usaha untuk menciptakan kamus
bahasa Prancis-Latin. Kamus besar bahasa Prancis-Latin yang
pertama diciptakan oleh Robert Estienne pada tahun 1538.
Contoh beberapa kata/istilah bahasa Latin terpopuler
dalam bahasa Prancis:
1. Agenda → Dari verba Latin agere, yang lalu menurunkan
verba agir (bertindak/berbuat).
2. Et cetera (ETC) → sebuah lokusi yang artinya “et tous les
autres”.
3. Ultimatum → Berasal dari istilah “ultimatum consilium”
(keputusan akhir). Kata ini mengalami perluasan arti
menjadi, “Tuntutan mutlak yang harus dipenuhi dalam
batas waktu tertentu, terutama dalam hal hubungan
antar negara yang bersifat bilateral atau multilateral”.
4. Idem → “la même chose” (hal yang sama).
5. Incognito → “Sans se faire connaître, sans reveler sa veritable
identité” (Dengan diam-diam, tanpa mengungkapkan
identitasnya).

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


22 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
6. Libido → “un désir” (Keinginan atau nafsu yang kuat).
Dalam perkembangannya, kata ini erat kaitannya dengan
dorongan atau nafsu seksual.
Pada uraian berikut ini, akan dijelaskan mengenai
beberapa genre karya sastra yang lahir dan berkembang
pada masa renaissance.
Abad ke-16 merupakan masa kreativitas sastra yang
luar biasa di Prancis dengan bahasa yang dikenal sebagai
Intermediate French. Beberapa hal yang mengubah gaya
sastra Prancis saat ini adalah (1) adanya buku-buku karya
penulis Yunani dan Latin berkat mesin cetak yang ditemukan
oleh Johann Gutenberg pada tahun 1450-an (pencetakan
stempel diperkenalkan di Paris pada tahun 1470 dan di Lyon
pada tahun 1473); (2) perkembangan sekolah humaniora
Renaisans dan Neoklasik; (3) inspirasi dari istana Italia,
terutama karena pernikahan Henry II dengan Catherine de
Medici setelah Perang Italia pada tahun 1494; Buku Baldassare
Castigliano II Libro del Cortigiano (Pengadilan) adalah
pengaruh besar pada sastra Renaisans Prancis. Selanjutnya,
sastra Prancis periode ini menjadi tertarik pada tema cinta,
cinta fisik dan murni, serta tema psikologis dan moral.
Pada masa Renaisans, banyak karya sastra yang diterbitkan
dalam bentuk pamflet, pamflet, buku dan memoar satir,
serta antologi cerita pendek (dikenal sebagai cerita pendek)
serta antologi sastra rakyat. Waktu dan anekdot (disebut
sebagai “pernyataan” dan “perkiraan”); kisah-kisah tragis dari
Italia, terutama karya Castello Bandello, juga mengalami
peningkatan terjemahan dan publikasi karya-karya penulis

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
23
Eropa saat itu, terutama penulis Italia dan Barat, Spanyol,
serta publikasi karya penulis abad pertengahan dan klasik.
Selain itu, penjualan massal beberapa buku agama, terutama
buku-buku renungan, melebihi penjualan “karya sastra” pada
awal abad ketujuh belas. Tanpa melupakan publikasi karya
moral dan filosofis.
Sejarah sastra Renaisans tidak monolitik atau berpola
karena aristokrasi istana, kaum terpelajar, rakyat jelata,
peradilan, dan pemerintahan (Nobles of the Robe), kaum
bangsawan provinsi, dan kaum humanis semuanya saling
mempengaruhi dan mengembangkan gaya yang berbeda.
Teater humaniora secara bertahap menjadi panggung
massal. Keaksaraan juga merupakan alasan penting untuk
menerbitkan teks-teks Renaisans. Kebudayaan pada abad ke-
16 masih didasarkan pada sastra lisan dan cerita pendek, novel
bangsawan, dan dongeng dengan cara Rabelais mengubah
tradisi lisan menjadi karya sastra gaya kreatif. Bentuk cetakan
buku pada masa Renaisans juga memiliki nilai ekonomi yang
besar (high value) berdasarkan ukuran dan ilustrasi yang
ada dan menjadi prestise tersendiri. Perpustakaan seperti
perpustakaan Montaigne memiliki reputasi besar karena
sering dikunjungi oleh rakyat jelata, pengacara, dan anggota
parlemen berpendidikan tinggi. Adapun buku-buku populer
dalam lembaran atau cetakan kecil, yang dijual dari pintu ke
pintu oleh pedagang keliling, atau pada waktu itu disebut
calporter sehingga masyarakat mengenal karya-karya sastra
abad pencerahan.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


24 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
2.4 Puisi “Grands Rhétoriqueurs”
Puisi awal abad ke-16 dicirikan oleh penyempurnaan
sonik dan eksperimen tipografi yang dikombinasikan dengan
permainan kata-kata canggih dari beberapa penyair Norse
seperti Jean Lemaire de Belges dan Jean Molinet, yang sering
disebut sebagai “les Great Rhetoricians”. Orator Hebat Mereka
mengembangkan teknik puitis dari berbagai negara.
Selanjutnya, perubahan teknik puitis juga dipengaruhi
oleh karya Francesco Petrarca (1304 – 1374), terutama soneta
tentang kekasih ideal dan paradoks cinta. Selain Petrarch,
pengaruh lain datang dari penyair istana Prancis-Italia seperti
Luigi Alamanni, neo-humanis dan humanis Italia, dan penyair
Yunani saat itu seperti Pindar dan Anacreon. Dalam hal ini, dua
penyair Prancis, Clément Marot, dan Mellin de Saint-Gelais,
juga berperan sebagai penggagas soneta Prancis, meskipun
gaya puitis mereka umumnya masih menggunakan formula
tradisional angka. Gaya puitis baru dapat ditemukan dalam
karya penyair humanis Jacques Peltier du Mans.
Pada 1541 ia menerbitkan terjemahan Prancis pertama
dari Horace’s Ars Poetica, dan pada 1547 ia menerbitkan
sebuah antologi puisi berjudul uvres Poétiques yang mencakup
terjemahan dua kanto dari Homer’s Odyssey, dan buku yang
pertama oleh Virgil Georgics, 12 lipstik oleh Petrarca, tiga lagu
Horace, dan tulisan suci Martial. Antologi ini juga memuat
puisi-puisi yang pertama kali diterbitkan oleh Joachim du
Bellay dan Pierre de Ronsard.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
25
Bersama Ronsard, du Bellay dan Jean Antoine de Baïf
membentuk kelompok radikal penyair aristokrat (dikenal
sebagai La Pléiade, istilah yang kemudian diperdebatkan).
Tokoh-tokoh dalam gaya sastra mereka digambarkan
dalam festival manis Bellay berjudul La Défense et illust
de la langue française (1549) mengacu pada penggunaan
bahasa Prancis sebagai bahasa yang berkelanjutan, cocok
untuk mengekspresikan karya sastra dan menyebarluaskan
program yang berkaitan dengan bahasa dan produksi sastra,
termasuk imitasi genre sastra Latin dan Yunani dan program
peningkatan bahasa. Bagi anggota La Pléiade, puisi dipandang
sebagai bentuk inspirasi Ilahi, perwujudan gairah asmara,
semangat kenabian, atau kegembiraan yang memabukkan.
Bentuk puisi dominan pada periode ini adalah gaya
soneta Petrarch (yang mengembangkan tema pertemuan
asmara dan citra ideal wanita) dan gaya Horace atau
Anacreon (terutama tema subjek) yang terkait dengan
riasan, yang didasarkan pada pada gagasan “hidup ini
singkat, jadi nikmatilah”. Sejak awal, Ronsard juga mencoba
menerjemahkan gaya syair Pindar ke dalam bahasa Prancis.
Selama periode ini, penemuan mitos jarang terjadi, seperti
halnya perwakilan alam (hutan, sungai). Genre lain yang juga
berkembang adalah eulogi aneh, seperti odes Rémy Belleau,
“simbol” tubuh perempuan (puisi yang menggambarkan
anggota badan), dan puisi proklamasi.
Ronsard juga menciptakan epik panjang tentang asal-
usul monarki Prancis di Virgil dan La Franciade karya Homer.
Pekerjaan itu dianggap gagal. Namun, hingga saat ini Ronsard

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


26 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
masih dikenal dengan berbagai karyanya berupa puisi cinta,
nyanyian cheo, dan himne. Penyair Renaisans sering hadir di
istana. Namun, di Lyon, yang menjadi Kota Renaisans kedua
yang berkembang pesat di Prancis, ada juga penyair humanis,
termasuk Maurice Scve, Louise Labé, Olivier de Magny, dan
Pontus de Tyard. Karya Scève, Délie, yang terdiri dari 449 puisi
dengan motif 10 suku kata dan 10 baris (dizain) yang dicetak
dalam berbagai setting simbolik, merupakan contoh puisi
yang mengupas tema-tema kontradiktif, teori dan alegori
cinta untuk menggambarkan penderitaan seseorang. yang
sedang jatuh cinta.
Di kota lain, Poitiers, tercatat nama penyair Madeleine
Des Roches dan putrinya Catherine Des Roches, yang
bekerja dari tahun 1570 hingga 1587. Bersama mereka ada
penyair Scévole de Sainte-Marthe, Barnabé Brisson, René
Chopin, Antoine Loisel, Claude Binet, Nicolas Rapin, dan
Odet de Turnèbe (Simonin, 2001: 351). Tema puisi mengalami
perubahan tematik setelah Perang Saudara (War of Religions)
yang berlangsung dari tahun 1562 hingga 1598. Tema puisi
tersebut berkaitan dengan pesimisme, kehidupan gelap dan
lirik. begitu jelas dalam puisi Jean de Sponde. Demikian pula,
penderitaan akibat kekejaman perang mendorong penyair
Protestan Agrippa d’Aubigné untuk menulis puisi yang
mengeksplorasi tema konflik dalam bukunya Les Tragiques.
Singkatnya, dapat dikatakan bahwa puisi humanis
Renaisans berkembang pesat dengan munculnya banyak
penyair. Mengacu pada puisi-puisi yang termasuk dalam
antologi abad ke-16: Adolescence Clémentine (1532) karya

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
27
Clément Marot, Psaumes (terjemahan dari bagian Kitab
Mazmur dalam Injil (1541) karya Clément Marot), Rimes
(1545) karya Pernette Du Guillet, Œuvres Poétiques (1547)
karya Jacques Peletier du Mans, Œuvres (1547) karya Mellin
de Saint-Gelais, Odes (1550), Les Amours (1552), dan Hymnes
(1555–1556) karya Pierre de Ronsard, Le Solitaire Premier (1552)
karya Pontus de Tyard, Les Amours (1552) karya Jean Antoine
de Baïf, Antiquités de Rome (1558) karya Joachim du Bellay, Le
Mépris de la Vie (1594) karya Jean-Baptiste Chassignet, Œuvres
(1597) karya Marc de Papillon, Poésies Posthumes (1597) karya
Jean de Sponde, dll.

2.5 Prosa Panjang


Selama paruh pertama abad ke-16, fiksi dari genre
aristokrat abad pertengahan masih mendominasi produksi
sastra. Mari kita kutip contoh para ahli bernama Les Quatre
Fils Aymon (Renaud de Montauban), Fierabras, Ogier le
Danois, Perceforest dan Galen le Réthoré. Dari tahun 1540
genre tersebut didominasi oleh karya-karya asing, terutama
Portugis dan Spanyol, misalnya novel-novel petualangan
dalam beberapa jilid berjudul Amadis de Gaule, Palmerin
d’ Olive, Primaléon de Grece, dll. Les Amadis de Gaule,
diterjemahkan dan diadaptasi oleh Nicolas de Herberay des
Essarts, menjadi referensi bagi karya-karya penulis istana dari
dinasti François I hingga Henri IV. Terjemahan penting lainnya
adalah puisi, yaitu epos Italia Roland Amoureux (Orlando
Innamorato) karya Matteo Maria Boiardo dan Roland

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


28 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Furieux (Orlando Furioso) karya Ludovico Ariosto yang telah
berhasil diterbitkan di Prancis dan sering berbentuk prosa.
Demikian pula, novel Italia aristokrat Luigi Pulci Morgant
le Géant menjadi model bagi para raksasa dalam karya
mitologis Gargantua dan Pantagruel karya François Rabelais.
Karya Rabelais adalah karya luar biasa yang memadukan
humanisme dan komedi abad pertengahan Erasmus dan
Thomas Moore dengan tokoh kolosal, perang heroik, dan
humor tentang perilaku manusia.
Selain novel tentang bangsawan, cita rasa sastra prosa
Prancis dipengaruhi oleh tema cinta dan kesedihan seperti
yang muncul dalam novel penulis Spanyol Diego de San
Pedro dan Juan de Flores (keduanya terinspirasi oleh Madame
Fiammeta, salah satu tokohnya. dalam Il Decameron yang
legendaris karya Giovanni Boccace).
Karya prosa Renaisans lainnya adalah munculnya novel
petualangan asing yang bersaing dengan prosa petualangan
Prancis pada paruh kedua abad ke-16, seperti karya prosa
panjang Béroalde de la Verville dan Nicolas di Montreux. Kedua
pengarang tersebut, bersama seorang lagi bernama Amadis,
berangkat dari gaya prosa aristokrat lama, terutama dalam
teknik penyajiannya. Kebaruan dan inovasi prosa Prancis
Renaissance muncul pada akhir abad ke-16, diungkapkan
dalam karya anonim La Mariane du Filomène (1596), yang
menggabungkan stereotip dari dongeng, perasaan tentang
Cinta, mimpi, dan elemen pastoral dalam kisah seorang
pria yang mengembara di pinggiran Paris untuk melupakan
wanita yang mengkhianatinya.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
29
Beberapa karya prosa panjang lainnya (termasuk
terjemahan) yang penting pada abad ke-16 adalah: Les
Illustrations de Gaule (1510) oleh Jean Lemaire de Belges,
La Prison d`Amour Laquelle Traite l`Amour oleh Leriano dan
Laureole (versi 13 dari tahun 1526 hingga 1604) oleh Diego
de San Pedro.

2.6 Cerita Pendek


Sastra Prancis Renaissance didominasi oleh kumpulan
cerita pendek dengan berbagai nama, yaitu “cerita”, “cerita
pendek”, “devis” dan “proposal” (novel khas Italia) dan “histoire”.
Cerpen Prancis sangat dipengaruhi oleh Il Decameron karya
Boccaccio, yang sering menceritakan kisah aristokrat yang
selamat dari Black Death dengan menceritakan kisah tentang
orang lain.
Saudara Raja Francis I, Marguerite of Navarre, juga menjadi
landmark sastra dengan karya progresifnya Heptameron
(yang terinspirasi oleh Il Decameron). Meski belum selesai,
karya Marguerite merupakan salah satu mahakarya abad ke-
16.
Karya cerita pendek paling berharga oleh Prancis saat ini
adalah cerita pendek tragis Bandello, kemudian diadaptasi
dan diilhami oleh banyak karya Penulis abad ke-17 seperti
Jacques Yver, Vérité Habanc, Bénigne Poissenot, François de
Rosset, dan Jean-Pierre Camus.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


30 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Teater Renaisans Prancis
Selama dekade pertama abad ke-16, teater Prancis
masih dicirikan oleh gaya abad pertengahan dengan drama
misterius, moral, dan menggelikan. Ini ditemukan dalam
karya-karya Pierre Gringore, Nicolas de La Chesnaye dan
André de la Vigne. Marguerite de Navarre juga menulis
sejumlah lakon yang isinya lebih mendekati gaya dramatis
yang misterius dan bermoral.
Pada pergantian abad, pada tahun 1503, versi asli (asli)
dari Sophocles, Seneca, Euripides, Aristophanes, Terence, dan
Plautus diterbitkan dan didistribusikan secara luas di Eropa.
Selama 40 tahun berikutnya, karya-karya ini diterjemahkan
dan diadaptasi. Dari tahun 1550, muncul drama-drama
manusiawi yang ditulis dalam bahasa Prancis. Tragedi
Seneca adalah jenis drama yang memiliki pengaruh besar di
panggung di Prancis.
Untuk jenis tragedi ini, ada dua pola umum yang
ditemukan dalam karya drama, yaitu tragedi biblika dan
tragedi kuno. Biblical Tragedy memilih plot alkitabiah,
meskipun terinspirasi oleh gaya drama abad pertengahan
yang penuh teka-teki, para penulis menciptakan kembali
karakter-karakter alkitabiah dalam gaya klasik dan
menekankan unsur-unsur komik dan keberadaan Tuhan.
Plotnya sering kali sangat dekat dengan isu politik dan agama
yang berkembang saat itu, baik antara penulis naskah Katolik
maupun Protestan. Untuk drama-drama klasik, plot memilih
cerita dari mitos atau sejarah yang sering dikaitkan dengan
masalah politik dan agama saat itu.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
31
Dalam jenis tragedi, ada dua pola umum yang ditemukan
dalam karya drama: tragedi alkitabiah dan tragedi kuno.
Biblical Tragedy memilih plot alkitabiah, meskipun terinspirasi
oleh gaya drama abad pertengahan yang penuh teka-
teki, para penulis menciptakan kembali karakter-karakter
alkitabiah dalam gaya klasik dan menekankan unsur-unsur
komik dan keberadaan Tuhan. Plotnya sering kali sangat
dekat dengan isu politik dan agama yang berkembang saat
itu, baik antara penulis naskah Katolik maupun Protestan.
Untuk drama-drama klasik, plot memilih cerita dari mitos
atau sejarah yang sering dikaitkan dengan masalah politik
dan agama saat itu.
Selain tragedi, dramawan humanis Eropa juga
mengadaptasi sketsa klasik. Umumnya para pengarang
drama komedi memakai pola karya Aelius Donatus (abad 4 M),
Horace, Aristoteles, dan karya Terence yang berupa: (1) drama
komedi harus mengoreksi kekeliruan dalam mengungkap
kebenaran, (2) harus happy ending, (3) menggunakan
bahasa yang gayanya lebih rendah daripada tragedi, (4) tak
menggambarkan peristiwa besar yang berkaitan dengan
negara dan para pemimpin, tapi tentang kehidupan rakyat
kebanyakan, dan (5) tema utama adalah kisah cinta.
Meskipun beberapa pengarang drama mempertahankan
pola klasik seperti drama Flutus karya Aristophanes yang
diterjemahkan Pierre de Ronsard, drama komedi ala
Prancis memperlihatkan variasi pola cemoohan ala Abad
Pertengahan yang paling banyak dipakai di seluruh Prancis,
cerita yang pendek, gaya drama komedi humanis Italia.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


32 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Pengarang drama komedi Prancis semasa Renaisans yang
paling menonjol adalah Pierre de Larivey yang mengadaptasi
komedi penuh intrik dari karya-karya komedian Italia yaitu
Ludovico Dolce, Niccolò Buonaparte, Lorenzino de Medici,
Antonio Francesco Grazzini, Vincenzo Gabbiani, Girolano
Razzi, Luigi Pasqualigo, dan Nicolὸ Secchi.
Pada akhir dekade abad ke-16, kehidupan teater
Prancis dibanjiri oleh empat pola drama ala Italia yang tidak
mengikuti pola klasik, yaitu (1) Commedia dell`arte, drama
improvisasi bertipe tetap seperti Harlequin dan Colombo)
yang diciptakan di Padova, Italia pada 1545 (grup teater
Italia secara berkala bermain di Prancis sejak tahun 1576); (2)
Tragikomedi, merupakan versi drama dari novel petualangan
yang menampilkan tokoh para pencinta, kesatria, hal-hal
magis seperti pada karya Robert Garnier berjudul Bradamante
(1580) yang merupakan adaptasi dari karya Ariosto berjudul
Orlando Furioso; (3) Pastoral, yang mengambil model dari
karya Giambattista Guarini berjudul Pastor Fido (Penggembala
Setia), karya Tasso berjudul Aminta dan karya Antonio Ongaro
berjudul Alceo.
Karya-karya paling awal dari drama pastoral Prancis
adalah drama pendek dengan skema tragis dalam lima
babak. Tiga drama pastoral Nicolas de Montreux, Athlette
(1585), Diane (1592) dan Arimène ou le Berger Désespéré
(1597), (4) Ballet de Court, adalah kombinasi alegoris antara
tari dan teater. Contoh paling terkenal dari drama ini adalah
“Balet Comique de la Reine” karya Baltasar de Beaujoyeux
(1581). Namun, penulis karya berdasarkan model Ballet de

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
33
Court, yang menciptakan hal baru adalah Robert Garnier.
Tradisi teater dengan motif bervariasi terus berlanjut sebelum
berkembang menjadi gaya Barok pada awal abad ke-17, yang
kemudian menjadi model klasisisme Prancis.

2.7 Humanisme
Selain menjadi periode berkembangnya berbagai
genre karya sastra, periode Renaissance di Prancis juga
identik dengan munculnya aliran humanisme. Humanisme
adalah paham yang mendasarkan aksinya atas refleksi
tentang manusia beserta segala macam aspek sosial yang
menyertainya.
Kata humanisme (humanism) berasal dari bahasa Latin
“humanus” berarti manusiawi atau insani atau dari kata
humaniora. Berarti pengetahuan dalam bidang kehidupan
rohani yang merupakan pengetahuan tentang manusia.
Termasuk pengetahuan humaniora, misalnya filsafat,
sosiologi, psikologi dan pendidikan moral.
Dalam humanisme pengetahuan dititikberatkan pada
soal manusianya, dalam agama diutamakan pada soal
ketuhanan. Secara umum humanisme merupakan paham
yang mementingkan individualisme dengan anggapan bahwa
kemanusiaan merupakan cita-cita yang tertinggi. Masuknya
humanisme dalam kesusastraan Renaissance Prancis sedikit
demi sedikit membuat orang mulai tertarik kepada pemikiran
individualis karena paham ini mengedepankan pertentangan
antara visi pribadi individu dengan penerimaannya terhadap
hukum dan aturan dalam masyarakat.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


34 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Jiwa manusia yang selalu ditekan oleh kaum penguasa
ingin memperoleh kebebasan demi kebahagiaan hidupnya
sehingga banyak paham baru muncul dan mendesak paham
lama. Misalnya rasionalisme yang mengutamakan kebenaran
pikiran mendesak dogmatisme agama. Sekularisme atau
pengutamaan duniawi dalam pemerintahan negara
mendesak skolastik yang bersifat keagamaan. Surga dunia
(Carpe Diem) lebih dirasakan nyata daripada surga akhir
(Memento Mori).
Di dalam kehidupan sosial, Keadaan Eropa pada akhir
Abad Pertengahan sudah jauh berbeda dengan awal abad
tersebut. Penduduk lebih banyak bermatapencarian sebagai
peternak atau petani. Dan lebih banyak tinggal di daerah
pedesaan pada awal abad pertengahan.
Sebaliknya pada akhir abad pertengahan penduduk
semakin banyak tinggal di kota. Dan hidup dari kerajinan
tangan dan perdagangan. Di daerah pedesaan penduduk
cenderung patuh pada dogma agama, di perkotaan
cenderung pada pemikiran rasional.
Fakta menunjukkan bahwa tingkat kehidupan penduduk
kota lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat penduduk
pedesaan sehingga cara hidup penduduk kota semakin
banyak ditiru. Dalam kehidupan yang duniawi rasional itu,
renaisans dan humanisme lebih cepat berkembang.
François Rabelais dan Michel de Montaigne adalah
tokoh-tokoh utama aliran humanis. Salah satu pikiran mereka
tentang aspek humanis dalam kehidupan manusia adalah
konsep tentang pendidikan anak. Baik Rabelais maupun

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
35
Montaigne, masing-masing mengemukakan pendapatnya
tentang bagaimana seseorang memperkaya dirinya dengan
ilmu pengetahuan. Rabelais mengemukakan konsep La Tête
Bien Pleine, sedangkan Montaigne berpendapat tentang La
Tête Bien Faite.
Konsep La Tête Bien Pleine bahwa otak manusia harus
selalu dipenuhi dengan berbagai macam ilmu pengetahuan
tanpa terkecuali (semua jenis ilmu pengetahuan harus
dipelajari). Adapun konsep kedua menekankan bukan pada
banyaknya ilmu pengetahuan yang harus dikuasai manusia,
tetapi bagaimana penerapan ilmu pengetahuan tersebut
dalam masyarakat.
Konsep la tête bien faite adalah kritik Montaigne atas
pernyataan Rabelais bahwa otak manusia haruslah diisi
dengan segala macam ilmu pengetahuan tanpa terkecuali
(la tête bien pleine), tanpa memperhitungkan kegunaan dan
kebermanfaatannya bagi umat manusia.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


36 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
BAB 3
Sastra Abad XVII

Secara umum, Baroque atau selanjutnya disebut Barok,


dan Classicisme adalah 2 aliran seni yang mendominasi Eropa
pada abad ke -17. Kedua aliran ini menjangkau semua aspek
seni yang ada, antara lain seni lukis, patung, musik, pahat, dan
sastra. Barok merupakan aliran seni ini ada di Prancis sejak
akhir pemerintahan Raja Henri IV (1598-1610). Aliran seni ini
mengutamakan imajinasi, gaya yang mewah dan berlebihan,
dan unsur yang irrasional.
Seni barok cenderung berkembang di bidang seni
lukis dan sketsa karena di kedua ranah seni ini unsur-unsur
kemewahan sangat digemari. Contohnya adalah lukisan
karya Peter Paul Rubens dan sketsa ciptaan Jacques Callot.
Lawan dari aliran barok adalah aliran klasik. Aliran ini lebih
mementingkan keterikatan kepada kaidah/aturan yang ketat
dan kesederhanaan bentuk. Aliran Klasik lebih berkembang
karena aliran ini lebih berfokus kepada keharmonisan.
Keharmonisan yang dimaksudkan mengacu pada tiga hal:
™™ Seniman dengan lingkungannya.
™™ Keagungan seni dengan kebesaran penguasa.
™™ Pikiran dengan ekspresi seniman.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
37
Masa keemasan Classicisme atau aliran Klasik ini
berlangsung dari tahun 1660 hingga 1685. Aliran Klasik inilah
yang melanjutkan ideologi gerakan Renaissance abad XVI.
Aliran Klasik ini mendasarkan gerakannya kepada
pemikiran René Descartes. René Descartes (1596-1650)
adalah filsuf Prancis yang terkenal dengan semboyan cogito
ergo sum - Je pense donc Je suis (saya berpikir maka saya ada).
Semboyan ini menjadi dasar bagi lahirnya Rasionalisme.
Konsep pemikiran Descartes ini didasarkan atas asumsi
bahwa “Jika saya bimbang atau ragu, maka saya akan berpikir,
dan oleh karena itulah saya ada”. Rasionalisme adalah paham
yang mendasarkan segala macam tindakan manusia atas
kekuatan logika atau rasio.

3.1 Pierre Corneille (1606 — 1684)


Pierre Corneille dilahirkan di Rouen (Normandie) 6 Juni
1606. Ia sangat tertarik pada Stoïcisme Latin (yakni ajaran
yang mengatakan bahwa jalan menuju kebahagiaan ada
pada kemenangan jiwa atas jasmani, akal pikiran, atau emosi).
Ia urung menjadi pengacara dan lebih memilih menjadi
sastrawan. Tahun 1629 Corneille mementaskan Mélite, drama
pertamanya di Paris. Dengan Boisrobert, Colletet, L’Estoile,
dan Rotrou, Corneille membentuk perkumpulan 5 penulis
atas instruksi kardinal Richelieu (1633). Mereka bertugas
menulis karya-karya drama dengan dasar pokok pemikiran
dari Richelieu. Tahun 1637 Ia mementaskan drama tragis-
komedinya yang berjudul Le Cid dan meraih sukses besar.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


38 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Corneille pun dianugerahi gelar bangsawan oleh Louis XIII.
1659 Dipentaskannya drama yang berjudul Œdipe menandai
kembalinya Corneille ke dunia drama dan sekaligus menandai
sukses terakhirnya, setelah sempat absen sekian lama.
Konsep hero di mata Corneille, ada beberapa kriteria
yakni:
™™ Hero Corneille tidak selalu bersifat positif.
™™ Hero bisa berubah menjadi “monster”  setiap saat jika
perbuatannya memang mencerminkan kekejaman dan
kebiadaban.
™™ Bagi Corneille, batasan sifat baik dan buruk sangat tipis.
™™ Tokoh baik bisa berbuat jahat dan sebaliknya dalam diri
tokoh yang sejahat apa pun pasti ada kebaikan.
™™ Nilai moral yang terkandung adalah sikap optimis
manusia.
™™ Hero fokus pada keagungan manusia dan
kemerdekaannya.
™™ Hero adalah sosok manusia penentu nasibnya sendiri.
Namun, kesuksesan dan popularitas Pierre Corneille
ternyata tidak berbanding lurus dengan masa tuanya. Masa
tuanya menyedihkan. Salah seorang putranya yang berdinas
di angkatan bersenjata Louis XIV gugur dalam pertempuran
pada tahun 1674. Uang pensiun dari raja yang diterimanya
sejak tahun 1663 dibayarkan secara tidak teratur dengan
alasan yang tidak jelas.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
39
Namun demikian, sebelum meninggal, kebahagiaan
kembali datang menghampiri Corneille. Karya-karya
drama spektakulernya (Cinna, Horace, Œdipe, Pompée …)
dipentaskan kembali di istana Versailles, pada tahun 1676.
Louis XIV, raja penggemar keindahan dan kebesaran, ternyata
ingin menjadikan drama-drama Corneille sebagai contoh
keagungan seni sastra Prancis.

3.2 Molière (1622 — 1673)


Molière adalah nama samaran, nama aslinya Jean-
Baptiste Poquelin. Bersama aktris teater Madeleine Béjart, ia
mendirikan group Illustre Théâtre. Grup itu kalah bersaing
dengan grup teater yang sudah eksis, yakni Grup Hôtel
de Bourgogne dan Marais. Akibat kegagalan pementasan
dramanya, ia dililit hutang dan dipenjara di Châtelet.
Gagal di Paris, Molière dan Béjart mencoba keberuntungan
mereka di daerah. Mereka bergabung dengan group teater
pimpinan Du Fresne. Kota tujuan utama tour teater Du
Fresne adalah Agen, Toulouse, Albi, Carcassonne, Nantes,
dan Narbonne. Menjelang musim panas 1650, Du Fresne
menyerahkan kepemimpinan grup kepada Molière. Molière
banyak pentas di Montpellier, Narbonne, Béziers, Avignon,
Grenoble, dan Pézenas. Tahun 1658, Molière pindah ke
Rouen dengan alasan supaya lebih dekat ke Paris. Molière
mendapatkan perlindungan dari Monsieur (sebutan untuk
Philippe de France, saudara laki-laki Louis XIV).

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


40 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Kemudian, Grup teater Du Fresne berubah nama menjadi
La Troupe du Monsieur. Pementasan drama komedi berjudul
Le Docteur Amoureux di Château de Versailles (24 Oktober 1658)
dan Les Précieuses Ridicules (November 1659) mengawali
kesuksesan Molière. Tahun 1660, pementasan drama komedi
Sganarelle sukses, namun pada tahun 1661 pementasan
drama komedi-heroik Don Garcia gagal.
Pementasan drama komedi-balet Les Facheux, Agustus
1661, meraih sukses besar di Vaux (di sebuah pesta yang
diselenggarakan oleh Fouquet untuk menghormati Louis
XIV). L’École des Femmes (Desember 1662) betul-betul
merupakan hadiah istimewa bagi Molière karena Louis XIV
sangat menyukai lakon tersebut dan berkenan memberi
tunjangan uang sebesar 1000 livres.
“Tartuffe” (Tartuffe Si Munafik), yang dipentaskan tahun
1664, mengundang kontroversi publik dan disensor Louis
XIV. Lebih parahnya lagi, seorang pastor bernama Roullé
menuntut hukuman bakar atas diri Molière.
Dom Juan yang dipentaskan pada bulan Februari
1665, juga harus menuai sensor, bahkan baru diterbitkan
setelah Molière meninggal. Tanggal 4 Juni 1666, Molière
mementaskan karya komedinya yang paling istimewa, yaitu
Le Misanthrope, yang disusul oleh Le Médecin Malgré Lui (Si
Dokter tanpa Minat) 6 Agustus 1666, yang dianggap sebagai
drama komedi terbaiknya.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
41
Karya Molière lainnya di antaranya adalah:
1. L’École des Maris (Juni 1661)
2. Mélicertes (2 Desember 1665
3. Panulphe ou l’Imposteur (5 Agustus 1667)
4. Amphitryon (13 Januari 1668)
5. L’Avare (9 September 1668)
6. Le Bourgeois-Gentilhomme (Oktober 1670)
7. Les Fourberies de Scapin (1671)
Di tahun-tahun terakhir kehidupannya, Molière banyak
mengalami masalah. Pementasan drama Les Femmes
Savantes (Para Wanita Cendekiawan), 11 Maret 1672, masih
mengundang kekaguman publik. Tetapi penyakit TBC yang
dideritanya, kesedihan akibat kematian putra dan sahabat
karibnya (Medeleine Béjart), sekaligus masalah keuangan
yang cukup parah sangat mengganggu aktivitasnya selaku
dramawan.
Le Malade Imaginaire (Si Pura-pura Sakit), yang dimainkan
di Palais-Royal tanggal 10 Februari 1673 adalah pementasan
terakhir Molière. Ia menghembuskan nafas terakhir, beberapa
jam setelah pingsan pada saat pementasan keempat drama
komedinya itu.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


42 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
BAB 4
Sastra Abad XVIII

Kesusastraan yang lahir pada abad ini dikenal dengan


nama la littérature d’idées. Istilah di atas diperuntukkan bagi
ruh kesusastraan yang muncul pada abad itu. Montesquieu,
Diderot, dan Rousseau menuntut adanya monarki
konstitusional. Voltaire berjuang melawan operasi monarki
(sensor, lettre de cachet, kolusi dengan kaum Gereja).
Montesquieu mengkritik pemerintah monarki Prancis
lewat karya-karyanya yang berjudul Lettres Persanes (1721)
dan De l’Esprit des Lois (1748). Voltaire menyusupkan ide-ide
revolusi melalui Lettres Anglaises (1734), Zadig ou la Destinée
(1747), dan Candide (1759). J.J. Rousseau perlahan-lahan
mengubah pola pikir rakyat dengan Du Contrat Social (1762)
dan Émile ou de l’Éducation (1762).
Karya sastra pada abad ke-18 ini sudah terbagi ke
dalam 3 genre utama, yakni drama atau teater, roman, dan
puisi. Drama yang muncul masih berorientasi pada model
drama Molière. Ruh drama Molière masih sangat terasa.
Perbedaannya hanya pada drama tragedi ciptaan Voltaire
yang mengintroduksikan tema baru, misal: Zaire (1732) dan
Mahomet (1741). Karakteristik drama Molière masih sangat
berpengaruh terhadap drama abad ke-18. Alasannya adalah

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
43
1. Molière berpendapat bahwa “ce qui plaît au grand public,
et ce n’est pas ce qui agrée aux critiques”. Pada intinya,
buatlah publik penggemar senang, dan jangan terlalu
menuruti kritikus drama.
2. Molière gemar sekali mencemooh aturan-aturan dalam
masyarakat yang dianggapnya hipokrit, dengan selalu
menyajikan karakter tokoh yang mirip dengan realitas
yang sebenarnya.
3. Tema drama yang disajikan dalam drama Molière tidak
lekang oleh zaman, misal: Orang kikir, kemunafikan kaum
agama, para penipu, perselingkuhan, pembenci sesama,
orang kaya yang sok bangsawan, sosialita tukang rumpi,
dsb.
Dramawan yang paling terkenal abad XVIII adalah
Marivaux (Pierre Carlet de Marivaux) dan Beaumarchais
(Pierre-Augustin Caron de Beaumarchais). Karya terkenal
Marivaux antara lain L’Île des Esclaves (1725); Les Jeux de
l’Amour et du Hasard (1730); Les Fausses Confidences (1737).
Karya terkenal dari Beaumarchais antara lain: Le Barbier de
Séville (1775) dan Le Mariage de Figaro (1784).

4.1 Roman Abad XVIII


Roman abad ke-18 terdiri atas 6 kategori, yaitu: 1) Roman
filosofis; 2) Roman realis; 3) Roman imajinasi; 4) Roman
pembebasan (libertin); 5) Roman katarsis atau menguras
perasaan (sentiment); 6) Roman Kejutan (éclaté).

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


44 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Roman filosofis berisi pokok-pokok pikiran filsafat
tertentu dan biasanya bertendensi untuk mempengaruhi
alam pikiran masyarakat agar mendobrak norma-norma
sosio-religius yang berlaku. Contoh roman filosofis adalah
roman karya-karya Voltaire, seperti: Candide (1759), Zadig
(1768), dan L’Ingenu (1774).
Roman realis didasarkan pada observasi mendalam
mengenai realitas keseharian manusia dan segala macam
aktivitasnya. Contoh roman realis adalah karya-karya ciptaan
Pierre Carlet de Marivaux, yaitu Le Paysan parvenu (1735) dan
Vie de Marianne (1741). Kemudian karya-karya l’Abbé Prévost
yang berjudul Mémoires et Aventures d’Un Homme de Qualité
(1731) dan Histoire des Chevalier de Grieux et de Manon Lescaut
(1753). Karya-karya realis lain adalah roman-roman Alain-
René Lesage, yakni Les Aventures de Monsieur Robert Chevalier,
dit de Beauchêne, capitaine de flibustiers dans la Nouvelle-
France (1732), dan Histoire de Gil Blas de Santillane (1747).
Roman imajinasi berisi pemikiran futuristik pengarang
dan biasanya menceritakan peristiwa yang akan terjadi di
masa mendatang. Contoh roman imajinasi adalah karya-
karya Louis-Sébastien Mercier yang berjudul L’An 2440, Rêve
s’il en fut jamais (1771) dan Tableau de Paris (1788).
Roman Libertin mengisahkan pengalaman dan
petualangan seksual tokoh-tokohnya, mulai dari batas normal
sampai kepada tataran di luar batas kewajaran. Roman aliran
Libertin ini diwakili oleh seseorang yang kiprahnya sangat
menggemparkan masyarakat Prancis kala itu, yakni Marquis

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
45
de Sade dengan karya-karyanya yang berjudul Justine et Les
Malheurs de la Vertu (1791), La Philosophie dans le Boudoir
(1795), dan Histoire de Juliette (1801).
Roman du Sentiment banyak mengekspos pengalaman
batin para tokohnya dengan cara menampilkan sisi
sentimental mereka. Contohnya adalah karya Jean-Jacques
Rousseau yang berjudul La Nouvelle Héloïse (1762) dan karya
Bernardin de Saint-Pierre yang berjudul Paul et Virginie (1787).
Roman Éclaté bertujuan untuk memberikan kejutan
moral, mental, dan psikis kepada masyarakat pembaca
dengan mengemukakan gagasan-gagasan yang sifatnya di
luar aturan normatif. Contoh jenis roman ini adalah roman-
roman ciptaan Denis Diderot yang berjudul Le Neveu de
Rameau (1777) dan Jacques le Fataliste et Son Maître (1778).

4.2 Puisi Abad XVIII


Pada abad ini, tidak banyak karya puisi yang muncul,
namun demikian tetap muncul beberapa penyair yang karya-
karyanya terkenal hingga hari ini. Jean-Jacques Lefranc de
Pompignan (1709-1784). Kumpulan puisi Pompignan yang
paling terkenal berjudul Poésies Sacrées (1751 dan 1754).
Nicolas Gilbert (1750-1780) memiliki karya puisi antara
lain:
™™ “Les Familles de Darius et d’Hidarne” (1770).
™™ “Le Poète malheureux, ou Le Génie aux prises avec la
fortune” (1772).

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


46 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
™™ “Le Jugement dernier” (1773).
™™ “Éloge de Léopold, duc de Lorraine” (1774).
™™ “Ode imitée de plusieurs psaumes, dite Adieux à la vie”
(1780).
™™ Jacques Delille (1738-1813) membuat puisi antara lain:
™™ “Les Géorgiques de Virgile” (1770)
™™ “L’Énéide de Virgile” (1804)
™™ “Le Paradis perdu de Milton” (1805)
™™ “Les Bucoliques de Virgile” (1805)
™™ André Chénier (1762-1794) memproduksi puisi:
™™ “À Charlotte Corday (Hymnes et Odes)”
™™ “À compter nos brebis je remplace ma mère (Poésies
Antiques)”
™™ “À la France (Hymnes et Odes)”
™™ “Bacchus (Poésies Antiques)”
™™ “Au chevalier de Pange (Elégies)”

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
47
BAB 5
Sastra Abad XIX

5.1 Latar Belakang Sosio-historis yang Kesusastraan


Prancis Abad XIX.
Sejak 1789, ada beberapa peristiwa utama yang memicu
timbulnya kekacau-balauan sosial, yakni:
¾¾ 1799: Napoléon Bonaparte melancarkan kudeta.
‰‰ Seluruh Prancis disatukan di bawah Le Premier
Empire.
‰‰ Namun negara hancur akibat ekspansi-ekspansi
Napoléon.
¾¾ 1815: Napoléon terguling dan era La Restauration des
Bourbons dimulai.
‰‰ Masa pemerintahan Louis XVIII (1815-1824).
‰‰ Masa Pemerintahan Charles X (1824-1830).
‰‰ Masa Pemerintahan Louis-Philippe (1830-1848).
¾¾ 1848: Pecah revolusi dan La 2ème République lahir
(Presiden Louis-Napoléon).
¾¾ 1851: Presiden Louis-Napoléon mengudeta
pemerintahannya sendiri dan mengangkat dirinya
sebagai kaisar Napoléon III (Le Second Empire).

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
49
Pada masa itu terjadi transformasi sosial dengan
masuknya golongan borjuis (les bourgeois) ke dalam
pemerintahan serta Lahirnya kaum proletar (kaum buruh dan
pekerja). Selain itu terjadi juga transformasi ideologis dalam
kehidupan masyarakat.
Dominasi orang-orang yang mempunyai kedudukan
tinggi (les notables) dalam masyarakat berkat kualitas khusus
yang mereka miliki. Ideologi aristokratis digantikan oleh
ideologi borjuis. Kaum borjuis yang merupakan golongan
baru dalam masyarakat mengukuhkan dirinya atas 3 hal
penting, yakni: kemajuan, profit atau keuntungan, moral.
Pemerintah Prancis menggalakkan kemajuan di
dunia pendidikan dengan cara: Memberantas buta huruf,
mendirikan SMA-SMA di seluruh wilayah Prancis, dan
mencanangkan bahwa sekolah itu gratis, wajib, dan sekuler
(La loi Jules Ferry - 1883).
Muncul publik baru yang tidak berbudaya ilmiah (publik
“pemula”) yang jumlahnya semakin membesar. Dalam masa
ini roman dipublikasikan dalam seri-seri yang banyak. Selain
itu banyak sastrawan dengan latar belakang jurnalistik yang
berperan, misal: Alexandre Dumas, Honoré de Balzac, Gustave
Flaubert

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


50 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
5.2 Kelahiran Aliran Romantis Prancis
Romantisme adalah sintesis aspirasi-aspirasi besar manu-
sia:
¾¾ Secara metafisik sastrawan dianggap sebagai “juru bicara”
kekuatan yang lebih tinggi:
¾¾ Le rêve (Charles Nodier, Gerard de Nerval)
¾¾ Dieu (Alfred de Vigny, Victor Hugo)
¾¾ Kebebasan dalam seni memegang peranan utama.
¾¾ Individu menempati posisi yang istimewa.
¾¾ Aliran ini menjadi fenomena sosial (keindahan dan
orisinalitas menjadi kecenderungan utama).
Sastrawan aliran Romantis banyak berbicara tentang:
¾¾ Eksotisme (voyage dans des pays étrangers).
¾¾ Perjalanan waktu (voyage dans le temps).
¾¾ Realitas sosial.
¾¾ Mistisisme (sebagai sarana untuk keluar dari sifat-sifat
biasa manusia).
Romantisme adalah aliran seni yang berlawanan ideologi
dengan Classicisme dan Rasionalisme. Terdapat dua grup
sastrawan aliran ini, yakni: Le Cénacle pimpinan Victor Hugo
dan Le salon de Nodier milik Charles Nodier.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
51
5.3 Aliran Lain dalam Sastra Pada Abad ke XIX
Abad ke XIX merupakan periode produktif bagi
kesusastraan Prancis, ditandai terselenggaranya beragam
kegiatan sastra yang di dalamnya termasuk tumbuhnya studi-
studi sastra d kampus dan sekolah. Sastra Prancis pada masa
itu didominasi oleh sastra bercorak romantisme, realisme,
naturalisme dan simbolisme, dan sebagai reaksi atas isme-
isme tersebut, pada paruh kedua abad XIX, muncul gaya
Parnassianisme. Berikut ini adalah sekilas gambaran tentang
corak-corak tersebut.
Telah dijelaskan dalam paragraf terdahulu, Romantisme
mulai berkembang di negara-negara Eropa yang diawali
oleh penulis-penulis dari Inggris, Jerman, Italia, dan Spanyol,
kemudian menyebar dan turut mempengaruhi penulis-
penulis Prancis, serta muncul dalam bentuk karya prosa, puisi
maupun drama. Aliran ini menitik beratkan pada ekspresi
jiwa penulisnya, pengagungan terhadap ke-aku-an, sebab Si
Aku-lah yang sebetulnya dianggap sebagai pemeran utama.
Penulis model ini menggambarkan latar tempat dan
peristiwa dalam narasi cerita yang disusun sebagai sebuah
personifikasi seutuhnya sebagai sebuah diri yang hidup dalam
kisah. Sementara para penyair aliran ini mengekspresikan
nasib buruk dan penderitaan yang mereka alami dalam
kehidupan dengan mendambakan kematian atas diri
mereka sendiri. Sebagian memilih melibatkan sosok Tuhan
dalam puisinya, sementara yang lain mengekspresikannya
melalui cinta dan berkasih-kasihan. Dengan kata lain,

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


52 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
aliran romantisme memiliki ciri ekspresi ‘kebebasan dalam
berkesenian’, bahwa setiap penulis bebas memakai gaya
bahasa yang mereka sukai.
Sebagai reaksi ketidaksetujuan atas aliran la liberté dan
aliran liris romantis, muncullah aliran lain yang kemudian
disebut sebagai le Parnasse. Penganut aliran Parnasse
memfokuskan karya mereka pada bagaimana menyusun
bentuk objek dan gaya pengisahan, terutama dalam puisi.
Model ini membuat puisi-puisi aliran Parnasse menjadi penuh
deskripsi dan tidak abstrak. Dipicu oleh aliran ini, paham yang
menganut l’Art pour l’Art kemudian mulai mengemuka.
Secara ringkas, realisme adalah gaya menulis sastra yang
menampilkan wujud nyata dalam narasi cerita, baik itu berupa
objek, tokoh ataupun peristiwa. Aliran ini menekankan situasi
sesungguhnya dan kejujuran dalam menampilkan cerita.
Sementara aliran Naturalisme adalah gaya menulis realis
yang tanpa ragu menunjukkan kelas sosial. Penulisnya sering
menggunakan ragam bahasa percakapan yang dituangkan
dalam karya berbentuk tulisan. Jadi, karya yang dihasilkan
cenderung terasa natural dan ‘apa adanya’, seperti halnya bila
kita mendengar percakapan sehari-hari. Aliran ini dipelopori
salah satunya oleh Emile Zola.
Kemudian simbolisme adalah model penulisan puitis
yang berusaha untuk menghilangkan aturan-aturan
larik-bait, diganti menjadi ungkapan simbol-simbol yang
menjadi penanda perpindahan sekuel cerita. Biasanya
mengetengahkan situasi impian dan halusnya jiwa serta
perasaan manusia.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
53
Ada beberapa nama besar yang mewarnai kesusastraan
Prancis di abad XIX, di antaranya adalah Alphonse de
Lamartine (1790—1869), Alfred de Vigny (1797—1863),
Charles Baudelaire (1821—1867), Victor Hugo (1802—1885).
Kiranya nama-nama tersebut sudah cukup populer bagi para
pembaca sastra Eropa. Selain nama-nama tersebut, berikut
adalah beberapa uraian ringkas tokoh sastra pada abad ke
XIX, yang masing- masing mewakili aliran realis, naturalis dan
romantis.

5.4 Honoré de Balzac

Gambar 6. Honoré de Balzac


(Theparisreview.org)

Tak perlu diperdebatkan lagi, Balzac adalah satu


beberapa nama teragung dalam sastra Prancis abad ke
XIX, atau mungkin sepanjang sejarah sastra Prancis. Selain

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


54 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
sebagai seorang penulis, Balzac adalah seorang kritikus sastra
dan seni, esais, sutradara drama, sekaligus juga seorang
wartawan. Karya-karya Balzac berkisah tentang beragam
tema, di antaranya filosofis, seperti dalam Peau de Chagrin,
Recherche de L’absolu, juga sebagai roman bertema sejarah,
seperti dalam Les Chouans, ada juga roman liris nan puitis
seperti dalam, Avec Le Lys dans La vallée, termasuk juga tema-
tema adat dan moral, seperti dalam la Femme de Trente Ans,
Colonel Chabert, dan Curé de Tours. Gaya realisme sangat
terasa dalam karya Balzac, ditandai dengan adanya figur
tokoh yang memiliki citra karakter begitu kuat, seperti tokoh
Le Père Goriot dan Eugénie Grandet.
Sebagai seorang tokoh aliran realisme pula, Balzac
dikenal memiliki bakat besar dalam hal pengamatan. Dunia
sastrawi ciptaannya selalu berdasar pada hasil pengamatan
yang dipadu dengan imajinasi. Balzac mengamati secara
detail setiap tempat, objek dan tokoh yang dibangun untuk
kemudian dituangkan dalam pikiran dan imajinasi. Novela
Voyage de Paris À Java adalah contoh tepat untuk deskripsi
ini. Balzac secara jujur mengatakan bahwa karya itu dia tulis
berdasarkan cerita lisan dan laporan-laporan ilmiah para
peneliti dan penjelajah yang telah berkunjung ke Jawa–
sementara dirinya sendiri tak pernah pergi ke pulau itu. Dari
Balzac pula pembaca sastra menyadari aliran realisme ini.
Tokoh protagonis dalam karya Balzac memiliki sifat alamiah
yang sama seperti umumnya manusia, berwujud, makan
dan minum. Pembaca tahu bagaimana perawakan, pakaian,
pekerjaan, dan tempat tinggalnya.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
55
Selain itu, pengamatan yang dilakukan Balzac
menghasilkan penokohan yang memberi cetak tebal pada
sosok individu, identitas laki-perempuan, usia, zaman dan
lingkungan tempat si tokoh hidup. Kumpulan karya-karya
Balzac yang dirangkum dalam Comédie Humaine adalah
dokumen sastra terpenting demi memperoleh gambaran
mengenai zaman berdiri dan berlangsungnya Monarchie
de Juillet–era ketika Prancis dipimpin oleh Louis Philippe
I dari Juli 1830 sampai dengan Februari 1848. Sementara
dengan imajinasi, Balzac mampu menghadirkan fenomena
fiksi yang berdasarkan pada dokumentasi dan kenyataan.
Imajinasi yang terasa sangat hidup itu menghasilkan karakter,
perwatakan dan perawakan yang terasa dekat dan nyata.
Gaya realis itu dapat dijumpai dalam beragam tema karya
Balzac, baik tentang filsafat, psikologi, politik, kehidupan
sosial manusia. Balzac mampu menelisik psikologis antar
tokoh rekaannya. Selain menciptakan deskripsi realis, dia
juga menyuguhkan gradasi dalam ranah kejiwaan tokoh.
Dia mampu pula membuat penokohan yang sambung-
menyambung dan berkelanjutan dari satu karya ke karya
selanjutnya, seakan satu bab dalam karyanya adalah sebuah
cerita roman, sementara satu novel serasa perjalanan sebuah
zaman. Sementara sebagai seorang pengamat nilai moral,
Balzac tidak mau menutup-nutupi perilaku keliru masyarakat.
Di sisi lain, ia juga kerap menghadirkan tokoh saleh atau
menunjukkan hukuman dunia ataupun akhirat bagi pelaku
kejahatan.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


56 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Gaya penulisan model Balzac adalah miniatur realisme
secara utuh. Balzac gemar meletakkan deskripsi detail dari
sesuatu sebagai hal pokok. Ibarat sebuah lukisan, ia akan
memulai membahasnya dimulai dari bingkai, kemudian
merembet ke tengah lukisan. Nilai-nilai moral yang dipegang
masyarakat, pemikiran dan kehidupan kerap dia awali dan
dibungkus dengan bingkai yang ke semuanya diurai secara
detail dan teliti. Setelah dirasa cukup membahas bingkai,
Balzac akan mulai membahas inti perkara. Tokoh yang dia
kembangkan acap kali adalah gambaran yang bersumber
dari sosok nyata sekaligus diikuti dengan gambaran wujud
fisik, perilaku, pakaian, bahkan hingga raut wajah, yang
detail-detail tersebut digunakan untuk menunjukkan
penokohannya, bahkan kadang nama yang ia sematkan pun
adalah sebuah simbolik tersendiri.
Sementara dalam menggambarkan sikap yang dia
sematkan dalam tokoh, Balzac menganut sebuah prinsip
bahwa dalam setiap tokoh terkandung unsur filosofisnya
sendiri. Tetapi tidak lantas itu membuat tokoh ciptaannya
adalah sosok misterius dan berbelit. Karakter tokoh
ciptaannya tetaplah sebuah gambaran dari gaya realis yang
mendiri ciri khasnya: insan yang hidup layaknya manusia
biasa. Meski demikian, tidak urung gaya Balzac tetap
mendapat komentar dan kritik. Ia dianggap terlalu realis
sehingga tokohnya terasa kering dan tak mempunyai unsur
keajaiban atau defamiliarisasi sehingga serasa nyaris bukan
merupakan tokoh yang pantas diletakkan sebagai narasi fiksi.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
57
Terlepas dari selera masing-masing penulis, dalam hidupnya
yang tak begitu panjang (1799—1850), Honoré de Balzac
beserta karyanya terutama dan yang utama ialah Comedie
Humain, adalah sebuah magnum opus, sebuah chef d’oeuvre
karya sastra Prancis abad XIX yang gaungnya masih terasa
hingga jauh ke masa kini.

5.5 Emile Zola

Gambar 7 Emile Zola


(Theparisreview.org)

Sebagai seorang penulis, wartawan dan figur ternama,


Emile Zola diletakkan sebagai salah satu tokoh utama aliran
naturalis. Karya-karya yang sinematik banyak diangkat dan
menginspirasi lahirnya film modern. Zola adalah penulis
yang melibatkan diri dan karyanya dalam perkara-perkara
yang sedang hangat diperbincangkan. Dalam kasus skandal

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


58 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Dreyfus–kasus politis yang melibatkan gerakan anti-semit
di akhir abad XIX, Zola dengan lantang menyuarakan
pendapatnya dalam J’Accuse...! Artikel ini menggugah
kesadaran khalayak ramai tentang asas toleransi, keadilan
dan kebenaran.
Sejak muda, Zola sudah menaruh besar pada sastra.
Dari situ, Zola tumbuh dan belajar secara alamiah sebagai
penulis hingga berpartisipasi dalam berbagai rubrik seni
dan sastra yang dimuat dalam koran dan majalah. Hal ini
membuat karya Zola dikenal luas dan menunjukkan talenta
sastrawi yang dimiliki. Beruntungnya lagi, namanya yang
berkibar melalui surat kabar membuat dia dengan mudah
menerbitkan tulisan-tulisan sastra, baik itu cerita ataupun
roman bersambung.
Kegemarannya mengamati dan melibatkan fakta serta
peristiwa dalam karyanya turut membuat Zola menjadi figur
publik yang makin dikenal luas. Dari sisi ketokohan terhadap
aliran naturalis, dia kerap mengamati pengaruh lingkungan
dan peristiwa terhadap perilaku manusia. Ini membuat
seorang penulis-penulis aliran naturalis dianggap juga sebagai
pengamat dan peneliti yang melakukan kegiatan eksperimen
sosial. Kegiatan pengamatan dilakukan demi memperoleh
informasi mengenai masyarakat dan lingkungan terhadap
isu-isu yang sedang terjadi. Sedangkan sebagai seorang
peneliti yang melakukan eksperimen, Zola akan menyusun
narasi cerita fiksi yang berkaitan dengan fakta, kenyataan dan
pengaruh masyarakat serta lingkungan. Maka lahirlah tokoh
dan penokohan dalam karya Zola sebagai sosok figur natural.
Sebagai catatan, dalam konteks ini, naturalis adalah sebuah

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
59
gaya penulisan yang menceritakan riset dan temuan baru
ke ranah sastra. Gerakan ini diinisiasi oleh ilmuwan biologi
Claude Bernard pada pertengahan abad XIX, ketika hal-hal
baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sedang
marak berkembang.
Zola adalah juga seorang penulis yang teliti dan teratur.
Dia menyusun pergantian cerita setelah apa yang dia inginkan
dan dirasa ditunggu oleh pembaca, telah tuntas dibahas.
Selain itu, kegemarannya terlibat dalam isu-isu mutakhir
membuat cerita fiksi yang dia susun kerap berdasarkan atas
kejadian nyata.
Bagi Zola, kondisi psikologis dan lingkungan sekitar
memberi andil besar terhadap karakter tokoh. Peran
protagonis yang dia munculkan adalah sosok yang juga
responsif terhadap peristiwa –seakan ejawantah dirinya
sendiri dalam dunia nyata. Karyanya yang paling monumental
adalah dua puluh jilid novel panjang, berjudul Les Rougon-
Macquart, yang menggambarkan masyarakat Prancis semasa
Le Seconde Empire (1852—1870) ketika Prancis dibawah
kuasa Napoleon III. Berikut adalah judul keduapuluh jilid
mega-roman tersebut: La Fortune des Rougon (1871), La Curée
(1871–72), Le Ventre de Paris (1873), La Conquête de Plassans
(1874), La Faute de l’Abbé Mouret (1875), Son Excellence Eugène
Rougon (1876), L’Assommoir (1877), Une Page D’amour (1878),
Nana (1880), Pot-Bouille (1882), Au Bonheur des Dames (1883),
La Joie de Vivre (1884), Germinal (1885), L’Œuvre (1886), La Terre
(1887), Le Rêve (1888), La Bête Humaine (1890), L’Argent (1891),
La Débâcle (1892), dan Le Docteur Pascal (1893).

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


60 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Emile Zola yang lahir di Paris pada 2 April 1840, meninggal
juga di kota itu, sebab keracunan karbon monoksida dari
sebuah perapian yang tak ber-ventilasi secara baik, pada 29
September 1902.

5.6 Victor Hugo

Gambar 8 Victor Hugo


(Theparisreview.org)

Sebagai seorang novelis, penyair, penulis naskah drama,


kritikus, wartawan, sekaligus tokoh politik dan cendekiawan,
Victor Hugo adalah nama besar dunia sastra Prancis dan salah
satu penulis romantis terbesar di abad XIX. Karya yang dia
hasilkan kerap kali adalah manifestasi dari keterlibatannya
dalam isu-isu politik. Bagi Hugo, sastra adalah penyaluran
pikiran dan seni adalah wahana untuk bahagia. Maka ide-
ide Hugo telah berkembang melintas zaman sebagai bentuk

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
61
keterlibatan dirinya sebagai penulis terhadap situasi politik
dan sosial.
Tokoh protagonis ciptaan Hugo adalah sosok yang
bertarung melawan kemalangan yang sukar dihindari atau
tokoh jahat yang mengancam. Keadaan itu timbul akibat
ada yang salah dalam tatanan masyarakat, atau sebab
keadaan masa lalu, atau kadang juga karena memang sudah
ditakdirkan begitu. Hugo kerap mengambil latar waktu di
abad ke XVI dan ke XVII sehingga dia kerap membuat catatan
dan penelitian terlebih dulu sebelum memulai menulis.
Relasi antar tokoh yang dia ciptakan adalah sebuah
lingkaran antara majikan, tokoh nyonya dan pembantu. Dia
menciptakan dua dunia yang kontras, yakni yang berkuasa
dan yang berperan sebagai abdi. Sebagai wujud dari
deskripsi ini, novel Les Misérable (1862) adalah maha karya
Hugo paling utama yang paling tepat menggambarkan gaya
penulisannya. Di dalamnya, Hugo menceritakan individu
yang terkotak-kotak secara sosial, di samping tema sejarah,
politik, filsafat, serta keadilan yang dia jabarkan dalam lima
volume besar.
Sementara sebagai salah satu tokoh penting dalam puisi
aliran romantis, Hugo dikenal memiliki gaya syair yang liris,
sesekali epik dan tak lupa selalu membawa keterlibatan
dirinya dalam peristiwa mutakhir. Hugo dianggap pula
sebagai pembaharu perpuisian Prancis di abad XIX dengan
cara memasukkan citra gambar, warna dan kekayaan kosakata
hasil ciptaannya, dalam balutan tema cinta, keluarga, masa
remaja atau sesekali tentang cinta tanah air.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


62 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Ada catatan menarik tentang perubahan sumber
inspirasi dalam menulis puisi, yakni dari sebelumnya
Hugo berkaca pada romantisme Yunani dan Romawi, ada
masa di mana Hugo mengeksplorasi dari sumber sejarah
Prancis, dan kitab Injil. Hugo tampaknya tidak mau terjebak
dalam nuansa romantisme yang absurd, namun dia tetap
meletakkan romantisme yang memiliki keterlibatan dalam
kehidupan nyata, persis seperti apa yang diistilahkan sebagai
romantisme engagé, meskipun aspek keindahan sebagai
sebuah keniscayaan dan sifat dasar sastra tetap diutamakan.
Puisi diletakkan Hugo sebagai sarana memuliakan manusia
sehingga terciptalah istilah l’art pour l’humanité, seni bagi
kemanusiaan.
Lebih dalam mengupas gaya Hugo menulis puisi, baginya,
puisi bukanlah sekadar seni meracik kata-kata indah, namun
juga adalah perangkat membangun pengetahuan, atau
dengan kata lain, sebuah setapak untuk menjangkau misteri
dunia yang belum terungkap. Demi menyingkap apa yang
sebelumnya tak diketahui, Hugo memakai teknik yang ia
sebut sebagai “contraste”, yang secara singkat ialah, mencari
antitesis demi melihat kenyataan yang paling sebenarnya.
Ia kerap menandingkan juragan-pelayan, raja-jelata, miskin-
kaya, bahagia-derita, seperti semacam membuat kontras
yang beroposisi biner agar bisa menghadirkan apa yang
sebelumnya tampak abu-abu dan samar.
Secara sederhana dia meletakkan gelap agar bisa
mengerti sepenuhnya apa dan bagaimana definisi terang.
Model pendekatan seperti itu adalah usahanya untuk
mendeskripsikan apa yang dianggap baik–dengan cara

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
63
menghadapkan dengan apa yang buruk. Teknik seperti itu
membuat karya-karya Hugo kental dengan nuansa hitam-
putih, aspek yang wujud dan yang gaib, yang terlihat dan
yang tak kasat mata. Melalui teknik kontras itu, Hugo merasa
mampu melihat dua sisi dalam satu kesatuan kenyataan, atau
dengan istilah lain, ia mampu melihat kesatuan secara utuh
melalui dua sisi kontras yang berbeda.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


64 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
BAB 6
Sastra dan Seni Abad XX

Abad dua puluh adalah abad yang sangat berbeda dari


abad-abad sebelumnya, di mana perkembangan pemikiran,
ilmu pengetahuan, sangat berubah secara cepat, ditambah
lagi dengan lajunya penemuan alat-alat canggih hasil
teknologi, membuat kehidupan manusia berubah secara
drastis. Revolusi industri dan dua kali perang dunia juga
mengubah corak pemikiran serta selera manusia terhadap
estetika atau keindahan. Di zaman ini, antar genre seni dapat
berbaur secara lugas: sastra menjadi film, musik bersama
drama, visual dan suara bisa hadir berbarengan. Oleh karena
itu, corak sastra Prancis pada abad XX juga sangat berkorelasi
dengan perkembangan seni. Berikut adalah beberapa
aliran seni yang tumbuh dan berkembang, serta dipandang
memiliki pengaruh cukup besar terhadap perkembangan
bidang sastra.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
65
6.1 Kubisme

Gambar 9 Kubisme, Georges Braque, Le Viaduc à


L’Estaque, minyak di atas kanvas, 1908 (http://mediation.
centrepompidou.fr/)

Kubisme adalah sebuah gerakan modern seni rupa pada


awal abad ke-20 yang dipelopori oleh Picasso dan Braque.
Prinsip-prinsip dasar yang umum pada kubisme yaitu
menggambarkan bentuk objek dengan cara memotong,
distorsi, overlap, penyederhanaan, transparansi, deformasi,
menyusun, dan aneka tampak. Gerakan ini dimulai
pada media lukisan dan patung melalui pendekatannya
masing-masing pada kubisme, bentuk-bentuk karyanya
menggunakan bentuk–bentuk geometri (segitiga, segi
empat, kerucut, kubus, lingkaran, dan sebagainya) seniman
kubisme sering menggunakan teknik kolase, misalnya

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


66 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
menempelkan potongan kertas surat kabar, gambar–gambar
poster dan lain-lain.
Kubisme sebagai pencetus gaya  non-imitatif  muncul
setelah Picasso dan Braque menggali sekaligus terpengaruh
bentuk kesenian primitif, seperti patung suku bangsa Liberia,
ukiran timbul (basrelief ) bangsa Mesir, dan topeng-topeng
suku Afrika. Juga pengaruh lukisan Paul Cezanne, terutama
karya  still life dan pemandangan, yang mengenalkan
bentuk geometri baru dengan mematahkan perspektif
zaman Renaisans. Ini membekas pada keduanya sehingga
meneteskan aliran baru.
Istilah “Kubis” itu sendiri, tercetus berkat pengamatan
beberapa kritikus. Louis Vauxelles (kritikus Prancis) setelah
melihat sebuah karya Braque di Salon des Independants,
berkomentar bahwa karya Braque sebagai reduces everything
to little cubes (menempatkan segala sesuatunya pada bentuk
kubus-kubus kecil. Gil Blas menyebutkan lukisan Braque
sebagai bizzarries cubiques (kubus ajaib). Sementara itu, Henri
Matisse menyebutnya sebagai susunan  petits cubes  (kubus
kecil). Maka untuk selanjutnya dipakai istilah Kubisme untuk
memberi ciri dari aliran seperti karya-karya tersebut.
Dalam tahap perkembangan awal, Kubisme mengalami
fase Analitis yang dilanjutkan pada fase Sintetis. Pada 1908—
1909 Kubisme segera mengarah lebih kompleks dalam corak
yang kemudian lebih sistematis berkisar antara tahun 1910—
1912. Fase awal ini sering diberi istilah Kubisme Analitis
karena objek lukisan harus dianalisis. Semua elemen lukisan
harus dipecah-pecah terdiri atas faset-fasetnya atau dalam
bentuk kubus.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
67
Objek lukisan kadang-kadang setengah tampak digambar
dari depan persis, sedangkan setengahnya lagi dilihat dari
belakang atau samping. Wajah manusia atau kepala binatang
yang diekspos sedemikian rupa, sepintas terlihat dari samping
dengan mata yang seharusnya tampak dari depan. Pada fase
Kubisme Analitis ini, para perupa sebenarnya telah membuat
pernyataan dimensi keempat dalam lukisan, yaitu ruang dan
waktu, karena pola perspektif lama telah ditinggalkan.

6.2 Fauvisme
Fauvisme  adalah suatu aliran dalam seni lukis yang
muncul di sekitar periode menjelang dimulainya era  seni
rupa  modern. Meskipun gaya ini berlangsung tidak terlalu
panjang, tetapi fauvisme memberi ciri khas tersendiri
sehingga layak disejajarkan dengan gaya-gaya seni lain yang
lebih mapan dan hadir lebih lama. Nama fauvisme berasal dari
kata sindiran “fauve” (binatang liar) oleh Louis Vauxcelles saat
mengomentari pameran Salon d›Automne dalam artikelnya
untuk suplemen Gil Blas edisi 17 Oktober 1905, halaman 2.
Kepopuleran aliran ini dimulai dari  Le Havre,  Paris,
hingga Bordeaux. Kematangan konsepnya dicapai pada tahun
1906. Fauvisme adalah aliran yang menghargai ekspresi dalam
menangkap suasana yang hendak dilukis. Tidak seperti
karya  impresionisme,  pelukis  fauvis berpendapat bahwa
harmoni warna yang tidak terpaut dengan kenyataan
di alam justru akan lebih memperlihatkan hubungan
pribadi seniman dengan alam tersebut.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


68 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Gambar 10 Fauvisme, Paul Gauguin, Femmes de
Tahiti, 1891 minyak di atas kanvas, 69 x 91,5 cm (http://
mediation.centrepompidou.fr/)

Segala hal yang berhubungan dengan pengamatan


secara objektif dan realistis, seperti yang terjadi dalam
lukisan  naturalis, digantikan oleh pemahaman secara
emosional dan imajinatif. Sebagai hasilnya warna dan
konsep ruang akan terasa bernuansa puitis. Warna-warna
yang dipakai jelas tidak lagi disesuaikan dengan warna
di lapangan, tetapi mengikuti keinginan pribadi pelukis.
Penggunaan garis dalam fauvisme disederhanakan sehingga
pemirsa lukisan bisa mendeteksi keberadaan garis yang jelas
dan kuat. Akibatnya bentuk benda mudah dikenali tanpa
harus mempertimbangkan banyak detail.
Pelukis fauvis menyerukan pemberontakan terhadap
kemapanan seni lukis yang telah lama terbantu oleh
objektivitas ilmu pengetahuan seperti yang terjadi dalam

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
69
aliran  impresionisme, meskipun ilmu-ilmu dari pelukis
terdahulu yang mereka tentang tetap dipakai sebagai dasar
dalam melukis.  Hal ini terutama terjadi pada masa awal
populernya aliran ini pada periode 1904 hingga 1907.
Pengaruh awal dari aliran ini mungkin sekali didapat dari
rintisan yang dimulai oleh karya-karya Paul Cezanne, Gustave
Moreau, Paul Gauguin, maupun Vincent van Gogh. Meskipun
pelukis tersebut tidak melibatkan diri kepada gerakan
fauvisme dan berbeda era dengan dimulainya aliran ini, tetapi
karyanya menjadi acuan bagi pelukis muda yang nantinya
akan menjadi pelukis fauvis. Meskipun hanya berumur
pendek, aliran fauvisme menjadi tonggak konsep seni rupa
modern berikutnya.

6.3 Sastrawan Prancis Abad XX: Exupery Sang Pangeran


Kecil

Gambar 11 Antoine-Marie-Roger de Saint-Exupery

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


70 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Antoine-Marie-Roger de Saint-Exupery, lahir di Lyon,
Prancis, dari sebuah keluarga bangsawan yaitu dari keluarga
Katolik aristokrat yang dapat melacak garis keturunannya
beberapa abad yang lalu, Saint-Exupéry merupakan
anak ketiga dari lima bersaudara pasangan dari Marie de
Fonscolombe dan Viscount Jean de Saint Exupéry, seorang
broker asuransi yang meninggal karena stroke di stasiun kereta
La Foux Lyon sebelum anaknya keempatnya lahir. Kematian
ayahnya memengaruhi seluruh keluarga, mengubah status
mereka menjadi “bangsawan miskin”.
Saint-Exupéry memiliki tiga saudara perempuan dan
seorang adik laki-laki berambut pirang, François, yang pada
usia 15 meninggal karena demam rematik yang dikontrak
ketika keduanya menghadiri Marianist College St. Jean Villa
di Fribourg, Swiss, selama Perang Dunia I. Saint-Exupéry hadir
kepada saudara lelakinya, orang kepercayaan terdekatnya, di
samping ranjang kematian François, dan kemudian menulis
bahwa François “tetap tak bergerak untuk sesaat, dia tidak
berteriak akan jauh di akhir klimaks The Little Prince”.
Pada usia 17, pemuda itu sama putus asa seperti ibu dan
saudara perempuannya, tetapi dia segera menjadi langkah
sebagai pelindung keluarga. Setelah lulus dengan Akademi
Angkatan Laut persiapan, Saint-Exupéry memasuki School of
Fine Arts sebagai auditor untuk belajar arsitektur selama 15
bulan, sekali lagi tanpa lulus, dan kemudian terbiasa dengan
pekerjaan menerima pekerjaan serabutan.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
71
Pada tahun 1921, Saint-Exupery memulai dinas militernya
sebagai seorang prajurit tingkat dasar dengan Resimen Kedua
Chasseurs (kavaleri ringan) Pemburu Kuda dan dikirim ke
Neuhof, dekat Strasbourg. Sementara di sana ia mengambil
pelajaran terbang pribadi dan tahun berikutnya ditawarkan
kepada Angkatan Darat Prancis ke Angkatan Udara Prancis.
Dia menerima sayap pilotnya setelah dipublikasi ke Resimen
Tempur ke-37 di Casablanca, Maroko. Kemudian, yang dikirim
kembali ke Resimen Penerbangan ke-34 di Le Bourget di
pinggiran Paris, dan kemudian mengalami kecelakaan
pesawat yang pertama, Saint-Exupery tunduk pada keberatan
keluarga tunangannya, novelis masa depan Louise Leveque
dari Vilmorin, dan meninggalkan angkatan udara untuk
menetap di Paris dan mengambil pekerjaan kantor. Pasangan
itu memutuskan pertunangan mereka dan bekerja beberapa
kali selama bertahun-tahun.
Pada 1926, Saint-Exupéry terbang lagi dan bergabung
dengan Latecoere (nantinya berganti nama menjadi
Aeropostale) sebagai salah satu penerbang pelopor yang
membuka jalur pos menuju koloni-koloni Afrika dan Amerika
Selatan. Ia menjadi salah satu pelopor penerbangan pasca
internasional, pada hari-hari ketika pesawat memiliki
beberapa instrumen.
Belakangan ia mengeluh bahwa mereka yang lebih maju
dari pilot. Dia bekerja untuk Aéropostale antara Toulouse dan
Dakar, dan kemudian diangkat menjadi kapten untuk lapangan
terbang Cape Juby di zona Spanyol Maroko Selatan, di Gurun
Sahara. Tugasnya termasuk menegosiasikan pembebasan
selebaran yang disandera oleh suku Sahara dengan aman,

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


72 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
tugas berbahaya yang membuatnya mendapatkan legiun
kehormatan pertamanya dari Pemerintah Prancis serta
menyelamatkan pilot yang terdampar dari ancaman suku
pemberontak. Di pos ini, ia menulis “Southern Mail” (Courrier
Sud, 1929).
Pada tahun 1929, Saint-Exupery dipindahkan ke
Argentina, di mana ia diangkat menjadi direktur maskapai
Aeroposta Argentina. Dia menyurvei rute udara baru di
seluruh Amerika Selatan, menegosiasikan perjanjian, dan
bahkan menerbangkan misi mencari selebaran yang jatuh.
Periode hidupnya ini dieksplorasi secara singkat di Wings
of Courage, sebuah film IMAX oleh sutradara Prancis Jean-
Jacques Annaud.
Naskah “Night Flight” (Vol de Nuit) yang membawakannya
meraih penghargaan Prix Femina, ditulis saat ia bertugas
sebagai direktur Aeroposta Argentina. Pada tahun 1931, ia
menikahi Consuelo Suncin, wanita Salvador yang ditemuinya
ketika bertugas di Argentina. Exupery jatuh di gurun Libya
pada 30 Januari 1935, nyaris mati kehausan selama tiga hari.
Kisah bertahan hidupnya dituangkan dalam “Wind, Sand and
Stars” (Terre des Hommes, 1939).
Pada Perang Dunia II ia bergabung dalam skuadron
pengintai sampai menyerahnya Prancis pada musim panas
1940. Ia hidup dalam pengasingan di Amerika antara tahun
1941—1943. Di sana ia menulis “Letter to A Hostage” (Lettre
a un Otage) dan “The Little Prince” (Le Petit Prince), setelah
sebelumnya menulis “Flight to Arras” (Pilote de Guerre, 1942)
yang masuk dalam best seller Amerika selama 6 bulan.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
73
Sekembalinya di Prancis, Exupery membujuk komandan
tentara Sekutu di Mediterania agar mengizinkannya terbang
lagi. Ia terbang ke Borgo di Corsica pada 31 Juli 1944 dan tak
pernah kembali lagi.

Karya-karya Exupery lainnya adalah:


yy L’ Aviateur (1926)
yy Courrier Sud atau “Southern Mail” (1929)
yy Vol de Nuit atau “Night Flight “(1931)
yy Terre des Hommes atau “Wind, Sand and Stars” (1939)
yy Pilote de Guerre atau “Fl ight to Arras” (1942)
yy Lettre à un Otage atau “Letter to a Hostage” ( 1943)
yy LePetit Prince atau “The Little Prince” (1943)
yy Citadelle (1948), post humous
yy Lettres dejeunesse (1953), post humous
yy Car net s (1953), post humous
yy Let t r esàsamèr e (1955), post humous
yy Écr i t sdeguer r e (1982), post humous
yy Manon, danseuse (2007), post humous

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


74 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
6.4 Jacques Prévert

Gambar 12 Jacques Prévert

Jacques Prévert lahir pada 4 Februari 1900 dan meninggal


pada 11 April 1977. Penyair dan penulis skenario Prancis
yang terkenal. Puisi-puisinya telah menjadi populer di dunia
berbahasa Prancis, terutama di sekolah-sekolah. Film-filmnya
yang paling dicintai adalah bagian dari gerakan realis puitis
dan termasuk Les Enfants du Paradis (1945).
Prévert lahir di Neuilly-sur-Seine dan dibesarkan di Paris.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, menerima
Sertifikat menyelesaikan pendidikan dasarnya, ia putus
sekolah dan mulai bekerja di Bon Marché, sebuah department
store di Paris. Pada tahun 1918, ia dipanggil untuk dinas militer
selama Perang Dunia I. Ia kemudian dikirim ke Timur Tengah
untuk membela kepentingan Prancis di Makam Prévert, di
sebelah makam Alexandre Trauner.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
75
Dia meninggal di Omonville-la-Petite pada 11 April 1977.
Dia melakukan adegan terakhir dari film animasi The King and
the Bird dengan teman dan kolaboratornya Paul Grimault.
Ketika film tersebut dirilis pada tahun 1980, film tersebut
didedikasikan untuk penghormatan Prévert, dan pada malam
pembukaan, Grimault membiarkan kursi di sampingnya
kosong. Puisi
Ketika Prévert masuk sekolah dasar, untuk pertama kalinya
Prévert membenci menulis. Setelah itu, ia aktif berpartisipasi
dalam gerakan surealis. Bersama dengan penulis Raymond
Queneau dan Marcel Duhamel, dia adalah bagian dari grup
Rue du Château. Ia juga anggota dari perusahaan teater
agitprop October Group, di mana ia terlibat dalam produksi
film kiri yang mendukung perjuangan Front Populer. Prévert
tetap mendukung gerakan kiri sepanjang hidupnya. Pada
tahun 1971, ia menulis puisi untuk mendukung komunis
Angela Davis setelah penangkapannya.
Sejumlah besar lembaga pendidikan menyandang nama
Jacques Prévert (Di sini, Lycée Jacques-Prévert di Burgundy).
Puisi Prévert telah dikumpulkan dan diterbitkan dalam buku-
bukunya: Paroles (1946), Spectacle (1951), La Pluie et le beau
temps (1955), Histoires (1963), Fatras (1971), dan Choses et
autres (1973). Puisi-puisinya sering ditulis tentang kehidupan
di Paris dan kehidupan setelah Perang Dunia Kedua. Karya-
karya ini diajarkan secara luas di sekolah-sekolah Prancis dan
sering muncul di buku-buku teks Prancis yang diterbitkan
di seluruh dunia. Beberapa, seperti Déjeuner du Matin, juga
sering diajarkan di kelas atas kelas bahasa Prancis Amerika
sehingga siswa mempelajari dasar-dasarnya.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


76 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Beberapa puisi Prévert, seperti “Les Feuilles mortes”
(“Autumn Leaves”), “La grasse matinée” (“Tidur”, “Les bruits de
la nuit” (“Suara malam”), dan “Chasse” à l’enfant (“Perburuan
untuk anak“) diatur musik oleh Joseph Kosma—dan dalam
beberapa kasus oleh Germaine Tailleferre dari Les Six,
Christiane Verger, dan Hanns Eisler. Mereka telah dinyanyikan
oleh vokalis Prancis yang terkenal, termasuk Marianne
Oswald, Yves Montand, dan Édith Piaf, serta oleh penyanyi
Amerika kemudian Joan Baez dan Nat King Cole. Pada tahun
1961, Serge Gainsbourg memberi penghormatan kepada
“Les feuilles mortes” dalam lagunya sendiri “La chanson de
Prévert”.
Puisi Prévert digubah oleh DJ remix British Coldcut
menjadi versi mereka sendiri pada tahun 1993. Versi Jerman
telah diterbitkan dan diliput oleh Didier Caesar (alias Dieter
Kaiser), yang ia beri nama “Das welke Laub”. “Les feuilles
mortes” juga memesan album 2009 Iggy Pop, Préliminaires.
Puisi Prévert diterjemahkan ke banyak bahasa di seluruh
dunia. Banyak penerjemah telah menerjemahkan puisinya
ke dalam bahasa Inggris. Di Nepal, penyair dan penerjemah
Suman Pokhrel telah menerjemahkan beberapa puisinya.
Selain puisi, Prévert menulis sejumlah skenario untuk
sutradara film Marcel Carné. Di antara mereka adalah naskah
untuk Drôle de drame (Aneh, Aneh, 1937), Quai des brumes
(Port of Shadows,1938), Le Jour se lève (Fajar, 1939), Les
Visiteurs du soir (The Night Visitors, 1942), dan Children of
Paradise (Les Enfants du Paradis, 1945). Yang terakhir ini

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
77
secara teratur mendapatkan posisi tinggi dalam daftar film
terbaik yang pernah ada dan membuatnya mendapatkan
nominasi Oscar untuk skenario film asli terbaik.
Puisi-puisinya menjadi dasar film oleh sutradara dan
dokumenter Joris Ivens, The Seine Meets Paris (La Seine a
rencontré Paris, 1957), tentang Sungai Seine. Puisi itu dibaca
sebagai narasi selama film oleh penyanyi Serge Reggiani.
Pada 2007, sebuah film adaptasi dari puisi “Prévert”, Melukis
Potret Burung disutradarai oleh Seamus McNally, yang
menampilkan terjemahan TD White and Antoine Ray bahasa
Inggris oleh Lawrence Ferlinghetti.
Prévert memiliki hubungan kerja yang panjang dengan
Paul Grimault, yang juga anggota Groupe Octobre. Bersama-
sama mereka menulis skenario film-film animasi, dimulai
dengan film pendek The Little Soldier (Le Petit Soldat, 1947).
Mereka bekerja bersama sampai kematiannya pada tahun
1977, ketika dia menyelesaikan The King and the Mocking
Bird (Le Roi et l’Oiseau), versi kedua yang dirilis pada tahun
1980. Prévert mengadaptasi beberapa kisah Hans Christian
Andersen ke dalam animasi atau live campuran-aksi atau
film animasi, sering kali dalam versi yang terhubung dengan
aslinya. Dua di antaranya bersama Grimault, termasuk The
King dan the Mocking Bird, sementara yang lain bersama
saudaranya, Pierre Prévert.
Berkolaborasi dengan Marc Chagall dan fotografer
Humanis pada album citra patriotik dan pedih dari Paris
pascaperang, lahirlah Paroles (1946), Le Petit Lion, diilustrasikan
oleh Ylla (1947, dicetak ulang 1984, Contes pour enfants

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


78 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
pas sages (Kisah untuk anak-anak nakal) (1947) Des Bêtes,
diilustrasikan oleh Ylla (1950, dicetak ulang 1984) Spectacle
(1951), Lettre des îles Baladar (Surat dari Kepulauan Baladar)
(1952) Tour de chant (1953), La pluie et le beau temps (Hujan
dan sinar matahari) (1955) Histoires (Cerita) (1963) Les Halles:
L’Album du Coeur de Paris, dengan foto-foto oleh Romain
Urhausen (Editions des Deux Mondes, 1963) Le Cirque d’Izis,
dengan foto-foto oleh Izis Bidermanas dan karya seni asli oleh
Marc Chagall (André Sauret, 1965) JON WAY (1966) Charmes
de Londres, dengan foto-foto oleh Izis Bidermanas (Editions
de Monza, 1999).
Prévert menulis skenario dan terkadang dialog dalam
film-film berikut: Ciboulette (1933), Le Crime de monsieur
Lange (1935), 27 Rue de la Paix (1936) Moutonnet (1936), Drôle
de drame (1937), Quai des brumes (1938), Les Disparus de Saint-
Agil (1938), (fr) Le Jour se lève (1939), The Mysterious Mr. Davis
(1939) Remorques (1941), Les Visiteurs du soir (1942), Selamat
tinggal Leonard (1943), Les Enfants du paradis (1945), Les Portes
de la nuit (1945), The Bellman (1945), Le Petit Soldat (The Little
Soldier) (film animasi pendek, 1947), bersama Paul Grimault
setelah kisah oleh Hans Christian Andersen, kemudian direvisi
dan selesai sebagai Le Roi et l’oiseau.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
79
6.5 Georges Perec

Gambar 13 Georges Perec

Georges Perec adalah seorang novelis, pembuat film,


pembuat film dokumenter, dan penulis esai Prancis. Ia adalah
seorang novelis yang karya epiknya La Disparition tidak
menggunakan huruf “e”.
Pada 7 Maret 2016, Google Pages memperkenalkan
Doodle dinamis. Google menggunakan font gaya pensil di
mana ketika Anda mengklik tombol putar “e” menghilang.
Animasi ini jelas merupakan bagian dari ulang tahun George
Perec. Georges Perec lahir pada 7 Maret 1936 di lingkungan
kelas pekerja di Paris, satu-satunya anak dari Icek Judko dan
Cyrla (Schulewicz) Peretz, seorang Yahudi Polandia yang
berimigrasi ke Prancis pada tahun 1920.
Dia adalah kerabat jauh dari penulis Yiddish. Isaac Leib
Peretz. Ayah Perec, yang terdaftar di tentara Prancis selama
Perang Dunia II, meninggal pada tahun 1940 karena luka

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


80 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
tembak atau pecahan peluru yang tidak diobati, dan ibunya
meninggal selama Holocaust Nazi, di Auschwitz setelah tahun
1943. Perec dirawat oleh bibi dan paman kakeknya. pada
tahun 1942, dan pada tahun 1945 ia secara resmi diadopsi
oleh mereka.
George Perec menikahi gadis bernama Paulette Petras
dan tinggal di Tunisia. Beberapa titik tahun-tahun terpenting
dalam kehidupan seorang Perec antara lain adalah:
1. 1936. Lahir dari orang tua Yahudi Polandia beremigrasi ke
Prancis. Ayahnya meninggal dalam perang (1940). Ibunya
di Auschwitz (1943).
2. 1956. Tiga novel pertamanya ditolak oleh penerbit.
3. 1965. Hal-hal itu sukses: harga Renaudot.
4. 1968. Bergabung dengan OuLiPo (Ouvroir of Potential
Literature), sebuah sekolah sastra yang lebih memilih
tantangan formal daripada realisme dalam sastra.
5. 1969—1982 La disparition (novel 200 halaman tanpa
“e”), les Revenentes (1972 Roman dengan “e” sebagai satu-
satunya vokal), W atau memori masa kecil (1975), La Vie
mode d’emploi (1978, sebuah karya hebat 700 halaman).
6. Dia meninggal karena kanker bronkus, mewariskan
banyak teks yang belum selesai dan tidak dipublikasikan.

Georges Perec menulis novel La Disparition yang seluruh


isinya tidak menggunakan huruf “e”. Karya Georges Perec ini
telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul A
Void, yang keseluruhan isinya juga tidak memakai huruf “e”.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
81
Ada karya Georges yang sempat hilang. Sebagaimana
dikutip dari The Guardian. Georges pernah tak sengaja
menyembunyikan novel pertamanya tentang Antonello da
Messina’s Portrait of a Man. Namun, setelah meninggal di
tahun 1982, naskah “Le Condottière” tidak bisa ditemukan.
Sempat “terkubur” dalam koper tua yang tidak sengaja
dibuang, naskah tersebut akhirnya ditemukan dan kembali
dicetak untuk kemudian dipublikasikan. Perec sempat
menulis ulasan dan esai untuk La Nouvelle Revue Francaise
Dan Nouvelles Les Lettres. Bukan hanya itu, dia pernah
bergabung dengan Angkatan Udara Prancis untuk menjadi
penerjun payung.
Pada 1961 dia bekerja di Laboratorium Penelitian
Neurofisologis. Di akhir tahun 60-an, Perec mulai bekerja di
serangkaian Drama Radio bersama Eugen Helmle dan Musisi
Philippe Brogoz. Kurang dari satu dekade kemudian Perec
sudah bisa membuat film pertamanya dari novelnya yaitu Un
Homme Quidort yang disutradarai oleh Bernard Queysanne
dan berhasil memenangkan Prix Jean Vigo di tahun 1974.
Un Homme Qui Dort merupakan karya Perec yang
diterbitkan oleh Danöel tahun 1967 dengan tebal 167
halaman. Kisah ini menceritakan mengenai kehidupan sosial
kalangan bawah, seorang mahasiswa (tanpa nama) berumur
25 tahun, yang hidup dengan keadaan serba kekurangan
dan mengalami depresi, gejolak jiwa dan keputusasaan
dalam hidup. Ia tinggal di sebuah apartemen yang kecil dan
gelap. Mahasiswa tersebut menghabiskan sebagian besar
waktunya di dalam kamar. Ia merasakan kepenatan yang tidak

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


82 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
tertahankan selama ini. Mahasiswa tersebut tidak mengikuti
ujian dan tidak mendapatkan Ijazah. Ia memilih untuk hidup
dalam kesendirian dan mengabaikan masa depannya. Hari-
harinya dilalui dengan kediaman dan kehampaan, ia tidak
memedulikan apa pun lagi dihidupnya dan lebih memilih
hidup dalam kesendirian, ketidakpedulian dan keheningan,
serta menganggap semua orang di sekitarnya hanyalah
sebuah batu. Pada tahun 1981 Perec beralih profesi sebagai
penulis di University of Queensland Australia.
Setelah kembali dari Australia Perec mulai terserang
penyakit. Ia adalah perokok berat dan terkena kanker paru-
paru. Georges Perec meninggal pada 3 Maret 1982 di Ivry–
sur–Seine Paris Prancis.
Penghargaan yang ditujukan kepada Perec antara lain
(1) penamaan untuk Asteroid yang ditemukan pada tahun
1982; (2) penamaan jalan arondisemen ke-20 Paris; (3)
prangko tergambar Perec dibuat oleh Pos Prancis 2002; (4)
penghargaan sastra Prix Renaudot pada tahun 1965, Prix
Jean Vigo pada tahun 1974, prix médicis pada tahun 1978; (5)
Google Doodle pada ulang tahun Perec ke-80.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
83
Bab 7
Konsep Frankofon

7.1 Pengantar
Selain berasal dari wilayah Prancis daratan, telah sekian
lama dunia sastra Prancis dihidupi dan digairahkan oleh
karya-karya penulis yang berasal bekas koloni Prancis
maupun negara-negara Eropa yang menggunakan bahasa
Prancis. Penulis beserta karyanya ini sering disebut sebagai
bagian dari sastra frankofon. Beberapa penulis frankofon,
bahkan telah memenangkan sejumlah penghargaan
bergengsi belakangan ini, antara lain, Tahar Ben Jelloun dari
Maroko (Prix Goncourt), Patrick Chamoiseau dari Martinik
(Prix Goncourt), Amin Maalouf dari Libanon (Prix Goncourt),
Ahmadou Kourouma dari Pantai Gading (Prix Renaudot).
Serangkaian nama penulis lain yang termasuk dalam daftar
ini adalah Jonathan Littell dari Spanyol (Goncourt), Dai Sijie,
François Cheng, keduanya dari Tiongkok (Prix Femina) dan
Andreï Makine dari Rusia (Goncourt/Médicis) yang ke semua
penulis-penulis itu melahirkan dan mengemas karya mereka
dalam bahasa Perancis, termasuk salah satunya adalah penulis
asal Aljazair yakni Assia Djebar (Fatima Zohra Imalyène) yang
secara fenomenal, sebagai perempuan muslim, berhasil
terpilih sebagai anggota Académie Française. Pengaruh

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
85
Prancis dalam hal bahasa dan dalam topik penulisan,
merupakan bahan kajian sastra frankofon, terutama untuk
mendefinisikan dan menentukan karakteristik sastra Prancis
ragam ini. Untuk melihat lebih jauh, pada bab ini akan dibahas
secara singkat definisi dan konsep sastra frankofon.
Istilah Frankofon sendiri, lebih-lebih bila ditilik dari sisi
ideologi dan aspek sejarah, selalu memiliki nuansa makna
konflik, ekspansionis (keinginan memperlebar teritorial
kekuasaan) sehingga tak bisa lepas dari kesan konfrontatif.
Gejala ini bukan sesuatu yang aneh, sebab, harus diakui,
frankofon tidak lain lahir dari kolonialisme yang dilakukan
Prancis–dan negara kolonial Eropa lain–yang kemudian
membawa pengaruh dalam segala sendi kehidupan bangsa
yang diduduki. Maka menentukan definisi sastra frankofon
secara utuh akan memerlukan kajian dan kerelaan menerima
rekonsiliasi yang cukup karena tidak hanya berkaitan dengan
aspek bahasa dan sastra belaka.
Secara etimologis, kata “francophone” memiliki arti
“penutur bahasa Prancis” atau “penggunaan bahasa Prancis
sebagai sarana ekspresi”. Namun, sebagaimana bahasa yang
selalu memiliki beragam konteks bagi setiap masyarakat
penuturnya, maka makna istilah frankofon juga memiliki
persepsi dan variasi yang beragam pula. Bagi masyarakat
yang pernah diduduki oleh kolonialisme Prancis, acap kali
istilah frankofon selalu merujuk pada masa-masa kelam dan
pahitnya hidup sebagai bangsa terjajah. Dengan kata lain,
frankofon dicap sebagai hasil imperialisme Prancis yang
dilakukan atas bangsa-bangsa di Afrika, Kanada, kepulauan

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


86 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Pasifik, dan sebagian kecil Asia tenggara. Meskipun ada
pula sesama negara Eropa yang merupakan penutur bahasa
Prancis, namun bukanlah hasil pendudukan, yakni Belgia dan
Swiss, yang juga menghasilkan penulis yang menghasilkan
karya berbahasa Prancis. Di sisi lain, belum ada istilah serupa
yang mampu merangkum makna sebagaimana makna yang
dimuat oleh istilah frankofon sehingga bagi pembelajar
bahasa dan sastra Prancis, kata frankofon tetap dipilih dan
disepakati sebagai istilah baku, meskipun memiliki kesan
antagonis bagi sebagian pihak.
“Francophone” berasal dari akar kata bahasa Latin,
yakni francus, merujuk pada suku Frank yang “menguasai”
wilayah Gaule pada abad V dan VI masehi, yang kemudian
dipakai sebagai awal mula penyebutan Prancis modern. Kata
berikutnya adalah kata “phone” yang sepadan dengan istilah
Yunani, berarti bunyi atau suara. Hal serupa juga dijumpai
pada istilah “anglophone” yang merujuk pada arti penutur
bahasa Inggris, dan istilah “hispanophone” bagi penutur
bahasa Spanyol. Keduanya juga tak lepas dari muatan
kolonialisme Inggris dan Spanyol yang dilakukan di berbagai
belahan dunia.
Secara makna kata frankofon digunakan dalam dua
rangkaian konteks yang sangat berbeda. Pertama, kata itu
seperti memperluas ruang lingkup Prancis sebagai sebuah
negara, atau orang Prancis sebagai individu. Maka istilah
sastra frankofon sering diasosiasikan sebagai bagian dari
sastra Prancis–termasuk dalam kajian yang dibahas dalam
buku ini. Makna kedua, frankofon adalah istilah sub-ordinat

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
87
(berada di bawah naungan) Prancis sebagai sebuah induk.
Hal ini terlihat dalam istilah “Prancis dan dunia frankofon”,
yang menandakan “Prancis” berfungsi sebagai titik referensi
utama, sementara “frankofon” adalah bidang tambahan yang
mengikutinya.
Sebagai garis tengah dari kedua kutub definisi tersebut,
buku ini lebih memakai frankofon sebagai bagian kajian
sastra berbahasa Prancis, dengan tetap memahami bahwa
ada kelindan ideologi dan makna lebih luas yang menyelimuti
istilah tersebut.

7.2 Sastra dari Maghreb


Secara singkat, kata maghreb dalam kajian ini ditujukan
untuk negara-negara yang berada di jazirah Afrika utara, yaitu
dan terutama Aljazair, Maroko, dan Tunisia. Ketiga negara
tersebut pernah menjadi koloni Prancis sejak awal hingga
paruh kedua abad XX sehingga bahasa Prancis secara umum
banyak digunakan, baik dalam ranah publik, pendidikan
maupun pemerintahan, termasuk dalam penulisan karya
sastra.
Atas dasar inilah, karya sastra berbahasa Prancis yang
lahir dari penulis negara-negara tersebut, baik yang lahir
pada masa kolonialisme ataupun sesudahnya, lazim disebut
sebagai bagian dari sastra frankofon. Tema yang diangkat
dalam karya sastra tersebut juga tak jauh tentang relasi
penjajah dan bangsa terjajah, misalnya represi kuasa, identitas
bangsa yang tercerabut, imigrasi, termasuk di antaranya tema

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


88 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
yang bersinggungan dengan agama maupun pertentangan
antara tradisional dan modern. Sebagaimana yang juga
terjadi di Indonesia, nuansa perjuangan dan pergolakan
yang sampai merambah bidang sastra bukanlah hal yang
aneh. Sebab bangsa-bangsa maghreb tersebut tidak lantas
diam dikekang penjajahan, tetapi mereka mengobarkan
perlawanan, membangun wacana anti-kolonialisme hingga
akhirnya mampu mewujudkan kemerdekaan.
Kendati demikian, relasi antara Prancis dan bangsa
Magreb yang telah merdeka tidak lantas berhenti. Mereka
tetap saling terkait, sesekali dengan mengusung ketegangan
sebab luka akibat penjajahan, bahkan sampai dewasa ini.

Gambar 14 Peta negara-negara maghreb (pointdufle.org)

Berikut adalah beberapa penulis masyhur dalam


khazanah sastra frankofon bangsa Maghreb.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
89
Gambar 15 Mouloud Feraoun

Feraoun berasal dari keluarga petani, di wilayah Tizi Hibel


yang terletak di pegunungan Kabylia, Aljazair. Ia lahir pada
8 Maret 1913 dan meninggal akibat dibunuh pada 15 Maret
1962, oleh kelompok OAS (Organisation Armée Secrèt), yakni
organisasi bersenjata bentukan militer Prancis yang bertugas
mencegah kemerdekaan Aljazair.
Organisasi ini mempunyai prinsip L’Algérie est française et le
restera (Aljazair adalah Prancis dan akan tetap menjadi Prancis)
sehingga dapat dilihat bahwa aktivitas Feraoun sebagai
penulis pasti menyinggung perihal anti-kolonialisme dan
semangat nasionalisme serta kemerdekaan. Sebagai seorang
yang pandai pada usia muda, ia kemudian lulus dari sekolah
guru pada École Normale di Kota Bouzareah. Harapannya pada
kemerdekaan dan anti penjajahan mampu mengobarkan
semangat serupa pada bangsa Aljazair, meskipun dia tidak
turut berjuang dengan mengangkat senjata sehingga tak
aneh bila dia menjadi target pembunuhan oleh pihak yang
berseberangan.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


90 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Karya-karya Feraoun banyak menceritakan tentang
kehidupan keluarga petani di lembah Kabylia. Le Fils du
Pauvre  (1950) misalnya, adalah juga semacam autobiografi
dirinya, yang bercerita tentang perjuangan hidup seorang
anak petani yang berjuang melawan kemiskinan dan impian
meraih pendidikan. Gambaran tentang kehidupan sederhana
penduduk pegunungan dipadukan dengan perilaku yang
tetap menjaga martabat, semangat hidup sebagai manusia,
serta cinta kasih keluarga dan saudara sebangsa. Sementara
pada karya La Terre et le Sang (1953), Feraoun berkisah tentang
imigran Aljazair yang hidup di Prancis dan harus mendapati
diskriminasi atas identitasnya sebagai seorang pendatang.
Les Chemins qui Montent  (1957) lebih dalam lagi
membahas tentang kenyataan pahit yang dihadapi oleh
kaum fellah (petani) disertai perlawanan dan tetap bertahan
dalam menghadapi ketimpangan akibat kolonialisme. Karya
ini juga bercerita tentang aturan yang begitu mengikat
dan kesempatan yang teramat sempit bagi kaum muda
untuk memperbaiki hidup. Perjuangan Feraoun dalam
bidang sastra, terutama mengenai budaya dan kehidupan
masyarakat di lembah Kabylia, juga tercermin dalam puisi
Kabylia abad XIX yang dia terjemahkan. Melalui semua usaha
itu, Feraoun telah berhasil menggemakan suara kegigihan
rakyat dan perjuangan yang telah mendarah daging dalam
merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsanya.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
91
Gambar 16 Mohammed Dib

Mohammed Dib adalah seorang novelis, penyair sekaligus


seorang penulis skenario kelahiran Tlemcen, perbatasan
Aljazair dan Maroko, 21 Juli 1920. Ia berasal dari keluarga
yang sebenarnya berada tetapi kemudian jatuh miskin. Sejak
usia belasan, Dib sudah mulai menulis puisi, sebelum bekerja
sebagai seorang guru di Maroko. Karyanya mengusung tema
utama perjuangan Aljazair memperoleh kemerdekaan. Di
antara karya-karya itu, ia telah menerbitkan trilogi La Grande
Maison (1952), L’Incendie (1954), dan Le Métier à Tisser (1957),
dengan kisah berlatar waktu antara tahun 1938 hingga 1942,
yang mampu membangkitkan kesadaran rakyat Aljazair
tentang arti penting memperjuangkan kemerdekaan pada
tahun 1954.
Selain pernah menjalani profesi sebagai pengajar dan
penulis, Dib juga pernah bekerja sebagai wartawan, akuntan,
dan pernah pula bekerja di pabrik pembuat karpet sehingga

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


92 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
bila ditambah dengan pengalamannya dalam kehidupan
keluarga yang jatuh miskin, ia mampu memotret keadaan
petani dan rakyat miskin secara realistis.
Pada tahun 1959, ketika sudah hidup di Prancis sebagai
negara induk kolonial negara aslinya, Dib menulis Un Été
Africain, sebagai sebuah gambaran realistis tentang rakyat
yang memberontak, dengan menampilkan bahasa simbol,
mitos dan gaya penulisan alegoris sekaligus memunculkan
unsur fantasi, yang mampu menampilkan wujud represi
kolonial Prancis terhadap rakyat Aljazair. Selain itu, Dib
acap kali menampilkan sikap asli sebagai seorang Aljazair,
termasuk juga perang kemerdekaan beserta akibat-akibatnya,
kondisi Aljazair setelah memperoleh kemerdekaan di mana
para teknokrat mencoba membangun tanah airnya, serta
kenyataan buruk para imigran Aljazair yang hidup di Prancis.
Deretan karya yang dia lahirkan kemudian adalah La
Danse du Roi  (1960),  Qui Se Souvient de la Mer  (1962),  Cours
sur la Rive Sauvage (1964), Dieu en Barbarie (1970), Le Maître
de Chasse  (1973), dan Habel  (1977) yang selain mengusung
tema sebagaimana karya terdahulu, juga menampilkan
sikap persahabatan antar sesama manusia. Dib piawai
dalam menulis kisah-kisah yang bersifat fantasi, sesekali
juga erotis, dengan balutan bahasa metafora yang mampu
dia gunakan untuk ketidakadilan ekonomi dan eksploitasi,
terutama pada karya-karya terakhirnya, yakni La Nuit
sauvage  (1995)  dan  Simorgh  (2003). Meski masyhur sebagai
novelis, Dib sebetulnya lebih mengaku diri sebagai seorang
penyair, melalui sejumlah kumpulan sajaknya, seperti Ombre
gardienne  (1961),  Formulaires  (1970),  Omneros  (1975), serta

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
93
L’Enfant Jazz (1998). Selain novel dan puisi, Dib juga pernah
menghasilkan dua kumpulan cerita pendek, Au Café  (1956)
dan  Le Talisman  (1966), termasuk sebuah skenario film dan
dua buah naskah drama. Dib menikahi seorang perempuan
Prancis, Colette Bellissant, dan meski dianggap sebagai salah
satu sastrawan Aljazair paling produktif yang memprotes
penjajahan atas tanah airnya, semenjak tahun 1959 Dib
memilih tinggal di Prancis hingga tutup usia pada 2 Mei 2003
di La Celle-Saint-Cloud.

Gambar 17 Kateb Yacine

Kateb Yacine, lahir di wilayah Konstantin, Aljazair, pada


6 Agustus 1929. Ia dikenal sebagai seorang penyair, novelis,
penulis skenario, dan didapuk sebagai salah satu sastrawan
dari Afrika utara yang sangat dihormati. Kateb muda menjalani
pendidikan di sekolah kolonial Prancis di Aljazair sampai
dengan tahun 1945 dan berhenti persis ketika peristiwa
berdarah pasar Sétif di Konstantin meletus. Opresi militer dan
sayap para militer Prancis sebagai respons atas pergolakan

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


94 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
menuntut kemerdekaan Aljazair itu kemudian mengendap
dalam pikiran Yacine, dan menjadi bahan tulisan bagi karya-
karyanya. Selain peristiwa itu, Yacine gemar bepergian ke
seluruh penjuru tanah airnya sendiri, negara-negara Eropa,
bahkan hingga ke Asia timur sehingga membuat kehidupan
dan tulisannya cukup berwarna.
Seperti novelis Aljazair lain, tulisan Yacine turut
menyiratkan situasi rakyat dan bangsa Aljazair sebagai
bangsa jajahan Prancis. Novel pertamanya yang berjudul
Nedjma  (1956) dianggap sebagai karya yang memberi
banyak pengaruh terhadap sastra Frankofon di Afrika utara.
Nedjma menceritakan mengenai konflik warga lokal dengan
otoritas kolonial, dibalut legenda dan kepercayaan yang
dipakai sebagai perlawanan terhadap penjajahan.
Karya yang lain adalah Le Polyangone Étoilé (1966), yang
sebelumnya didahului oleh kumpulan naskah lakon berjudul
Le Cercle des Représailles (1959) ditambah cukup banyak
puisi yang memiliki tema serta penokohan tak jauh berbeda
dengan Nedjma sebagai novel pertamanya.
Selain menulis novel dan puisi, Yacine juga menaruh
perhatian pada seni pertunjukan, salah satunya dengan
menggambarkan tokoh Ho Chi Minh dan perjuangan rakyat
Vietnam yang juga melawan kolonialisme Prancis, dalam
naskah L’Homme aux Sandales de Caoutchouc  (1970). Yacine
kemudian semakin gemar mengangkat tema perjuangan
kelas pekerja melawan kapitalisme. Pandangan Yacine juga
tertuang dalam buku Le Poète Comme un Boxeur: Entretiens
1958–1989, yang terbit pada 1994 di Paris.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
95
Meskipun mengusung semangat anti kolonial, ia justru
meletakkan bahasa Prancis sebagai salah satu alat perjuangan
dalam merebut kemerdekaan. Tetapi sejak tahun 1966, ia
secara terbuka menentang konsep himpunan negara-negara
Frankofoni, yang dianggapnya sebagai perwujudan politik
penjajahan model baru (neo-colonial) yang justru hanya akan
memperlebar perbedaan sebagai sesama bangsa terjajah.
Di sisi lain, ia tetap memakai bahasa Prancis, sebab baginya,
bahasa Prancis tidak lantas membuat seseorang menjadi
Prancis. Justru dengan bahasa Prancis, dia ingin mengatakan
bahwa dirinya bukan Prancis.
Yacine juga menerjemahkan tulisan dari bahasa Prancis
dan Arab ke dalam bahasa Berber, salah satu bahasa daerah
di Afrika utara. Seluruh kerja bahasa yang dia lakukan dapat
disimpulkan sebagai usahanya menemukan identitas bagi
bangsa serta saluran aspirasi bagi rakyatnya. Kateb Yacine
wafat pada 8 Oktober 1989 di Grenoble, Prancis.

Gambar 18 Driss Chraïbi

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


96 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Driss Chraïbi adalah seorang novelis dan dramawan
dari Maroko. Chraïbi menjalani pendidikan awalnya pada
madrasah di El Jadida, tempat dia berasal, sebelum kemudian
melanjutkan pada sekolah kolonial di Rabat dan Casablanca.
Pada tahun 1946, dia pergi ke Paris untuk belajar teknik
kimia dan memperoleh gelar sarjana pada tahun 1950,
kemudian melanjutkan penelitiannya pada bidang terapan
neuropsychiatry, tetapi tidak menyelesaikan pendidikan
doktoral.
Novel pertamanya berjudul Le Passé Simple  (1954)
yang terbit tak lama sebelum meletus pergolakan merebut
kemerdekaan di Aljazair, negara tetangga Maroko. Novel
ini memuat tema ironi dan kisah tragis yang menyatakan
pertentangan terhadap paham tradisionalisme setempat
yang dirasa mengekang. Disusul karya kedua yang berjudul
Les Boucs (1955) yang kali ini melancarkan tudingan negatif
terhadap paham patrilokal berdasarkan Islam yang justru
sangat mengikat banyak imigran Afrika yang hidup di Prancis.
Setelah cukup riuh memicu polemik melalui dua
karya itu, tak butuh waktu lama baginya untuk berpindah
menuju tema-tema politik dengan melahirkan L’Âne  (1956;
“The Donkey”) dan La Foule  (1961), mengangkat latar tema
ketimpangan yang dialami negara-negara “dunia ketiga”
baru merdeka dan jatuhnya rezim negara penjajah, yang ia
tulis secara alegoris. Kebobrokan peradaban kolonialis Barat
sangat kentara pada Un Ami Viendra Vous Voir (1966) yang ia
padukan dengan tema psikologi dan opresi kultur patriarkal
terhadap perempuan.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
97
Tema itu pula yang ia angkat dalam Succession
Ouverte  (1962) yang sekilas merupakan sekuel dari
novel pertamanya, juga dalam La Civilisation, Ma
Mère! (1972). Sedangkan dalam Mort au Canada (1975) Chraïbi
memberi nuansa romansa yang kental. Bila dirangkum,
perjuangan mencari keadilan dan kesetaraan serta cinta dan
kasih sayang adalah tema utama yang diangkat Chraïbi dalam
karyanya, termasuk Une Enquête au Pays  (1981),  La Mère du
Printemps  (1982),  Naissance à l’aube  (1986), dan  L’Inspecteur
Ali  (1991). Driss Chraïbi wafat pada 1 April 2007, di Crest,
Prancis.

Gambar 19 Albert Memmi

Albert Memmi adalah seorang novelis dan penulis


beberapa karya studi sosiologi kelahiran Tunisia, 15 Desember
1920. Topik tulisannya berkisar tentang perjuangan melawan
penindasan. Meski keluarga Memmi kurang berada dari
ibukota Tunisia, tetapi dirinya memperoleh pendidikan
istimewa dari sekolah menengah Prancis.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


98 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Dari situasi tersebut, sejak muda Memmi menjumpai
semacam situasi aneh dalam kehidupannya. Dirinya adalah
seorang Yahudi di tengah masyarakat Islam, seorang Arab
di antara sebaya Eropanya di sekolah, anak miskin yang
menumpang di Ghetto di antara anak-anak yang lebih
berada, termasuk generasi muda yang telah mengenyam
perubahan di tengah lingkungan tradisional mengikat.
Keadaan semacam itu memberinya inspirasi pada novel
pertama sekaligus autobiografinya, La Statue de Sel  (1953),
yang membawanya meraih Prix de Carthage dan the Prix
Fénéon. Dalam Agar  (1955), Memmi mengusung tema
problematik perkawinan antar etnis berbeda, selanjutnya Le
Scorpion (1969) adalah novel bertema psikologis, disusul  Le
Désert  (1977), yang bertema ketidakadilan dan penindasan
sebagai sumber penderitaan kehidupan manusia.
Selain menulis sastra, Memmi dikenal sebagai penulis
essai sosiologis –yang dituliskannya bak sebagai narasi
cerita. Portrait d’un Juif (1962) dan L’Homme dominé  (1968)
adalah dua tulisannya yang mengangkat tema penindasan,
pembelaannya terhadap warga kulit hitam, perempuan
dan kelompok tradisional yang terpinggirkan. Sebelum itu,
ia telah menulis Portrait du colonisé  (1957) yang diletakkan
sebagai tulisannya yang paling memberi pengaruh terhadap
relasi bangsa penjajah dan terjajah.
Sementara dalam bidang sastra sendiri, selain sebagai
penulis, perannya dianggap besar dalam bidang penelitian
berdasarkan sastra Afrika utara pada lembaga École Pratique
des Hautes Études di Paris, selain posisinya sebagai pengajar
di Université de Paris. Risetnya tentang sastra bangsa maghreb

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
99
tertuang dalam Anthology of Maghrebian Literature (sebagai
salah satu penulis) yang terbit pada 1965 (vol. 1) dan 1969
(vol. 2). Hasil penelitiannya pada bidang sastra arab terekam
pada Le Personnage De Jeha Dans La Littérature Orale Des
Arabes Et Des Juifs (1974), diterbitkan oleh Institute of Asian
and African Studies, Hebrew University, Jerusalem.
Memmi dianugerahi usia yang cukup panjang, dan wafat
baru-baru ini pada 22 Mei 2020 di Neuilly-sur-Seine, tak jauh
dari sisi barat Kota Paris.

Gambar 20 Rachid Boudjedra

Rachid Boudjedra berasal dari Aïn Beïda, Aljazair, lahir


pada 5 September 194. Namun, dia pernah juga mengenyam
pendidikan pada Collège Sadiki  di Tunisia sekaligus pernah
bermukim di Rabat, Maroko, pada rentang tahun 1972 hing-
ga 1975, dan meraih kesarjanaan di bidang filsafat dari Sor-
bonne. Selain itu, dia turut berjuang melalui Front Libération

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


100 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
National demi kemerdekaan Aljazair. Selain menulis novel,
ia juga menulis skenario dan terlibat dalam pengembangan
dunia sinematografi Aljazair.
Novel yang berjudul Les Figuiers de Barbarie (2010) mem-
bawa dirinya meraih Winner of the Prix du Roman Arabe. Na-
mun, karyanya yang dianggap paling monumental adalah La
Répudiation (1969), yang memicu perdebatan luas, salah sa-
tunya karena gaya bahasanya yang frontal dan eksplisit me-
nentang paham Islam tradisional.
La Répudiation sendiri adalah gambaran hidup sukar yang
dijalani Boudjera kala muda. Dirinya tak dapat menerima dan
menentang. Dalam novel selanjutnya, L’Insolation (1972), ada-
lah jelmaan pikiran dan impian tentang sebuah negeri ideal
yang ia dambakan. Karya berikutnya, Topographie Idéale pour
une Agression Caractérisée (1975) merupakan sebuah bentuk
yang berbeda, di mana dia menceritakan kelompok petani
terpinggirkan Berber yang tertarik mencari hidup di kota. Da-
lam L’Escargot Entêté (1977), Boudjera menceritakan tentang
kehidupan pegawai pemerintahan sebagai simbol atas rev-
olusi kemerdekaan yang sebetulnya belum tuntas membawa
kesejahteraan.
Kemudian dalam Les 1001 Années de la nostalgie  (1979),
Boudjedra mengetengahkan satir tentang sebuah desa
khayalan di Sahara yang dia citrakan sebagai bentuk
perilaku imperialis. Setelah sekian banyak menulis dalam
bahasa Prancis, Boudjera beralih menciptakan karya
berbahasa Arab, yang kemudian dia terjemahkan sendiri
ke bahasa Prancis. Deretan karya berikutnya adalah Le

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
101
Démantèlement  (1982),  Greffe  (1984), yang merupakan
sekumpulan puisi, disusul kemudian Le Désordre
des choses  (1991);  Les Figuiers de barbarie  (2010) dan
Printemps  (2014). Berkat karya-karya tersebut, Boudjera
dianggap sebagai pembaharu dalam gaya penulisan sastra
Arab.

Gambar 21 Fatma-Zohra Imalhayèneb

Mewakili perempuan dalam dunia sastra fronkofon


bangsa Maghreb yang didominasi oleh laki-laki, ada nama
besar Fatma-Zohra Imalhayèneb, yang lebih populer
sebagai Assia Djebar. Ia lahir pada 30 Juni 1936 di Cherchell,
sewaktu Aljazair masih lekat dalam kolonialisme Prancis.
Djebar menulis novel dan menggarap film, di mana karyanya
berpusat pada tema posisi perempuan dalam masyarakat
Aljazair.
Djebar mengenyam pendidikan di Aljazair sebelum
kemudian sungguh beruntung memiliki kesempatan
menempel pendidikan tinggi di Sorbonne (1956), bahkan
hingga tingkat Ph.D dari Université de Paul Valéry, Montpellier

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


102 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
III (1999). Pintunya memasuki dunia sastra dimulai saat ia
berhasil menerbitkan novel pertama La Soif  (1957), yang
kemudian segera disusul dengan Les Impatients  (1958), di
mana keduanya berkisah tentang perempuan muda yang
berada di tengah lingkungan borjuis kolonial di Aljazair.
Dengan mudah kemudian orang menilai bahwa cerita itu tak
jauh dari kehidupan yang dialaminya sendiri.
Berikutnya, Djebar menghasilkan Les Enfants du Nouveau
Monde  (1962) berlanjut dengan sekuelnya,  Les Alouettes
Naïves  (1967), sebagai bagian dari munculnya pemikiran
feminisme Aljazair, sekaligus sebagai tanda hadirnya
perempuan dalam perang kemerdekaan Aljazair antara
tahun 1954–62. Djebar berkolaborasi dengan Walid Garn,
yang kemudian menjadi suaminya, dalam memproduksi
naskah skenario Rouge l’Aube  (1969). Kumpulan puisinya
yang berjudul Poèmes pour l’Algérie Heureuse juga turut terbit
di tahu itu juga.
Djebar memang melewatkan sebagian besar masa
perang dari luar Aljazair, tetapi kemudian dia pulang dan
berkesempatan mengajar studi sejarah di the University of
Algiers, lalu menjadi ketua jurusan studi Prancis, di samping
mulai merambah dunia sinematografi. Filmnya ialah Nouba
des Femmes du Mont Chenoua (1978), berkisah tentang
seorang perempuan Aljazair yang kembali ke tanah air setelah
sekian lama hidup dalam pelarian di negeri Barat.
Dia juga menghasilkan kumpulan novela dan cerita
pendek yang diberi judul Femmes d’Alger dans leur
appartement (1980), yang menarik perhatian sebab memuat
tema tentang perbedaan perlakuan terhadap perempuan
setelah era penjajahan usai. Tema tersebut terus dia olah dalam

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
103
karya berikutnya, yakni L’Amour, la Fantasia  (1985),  Ombre
Sultane (1987) dan Vaste est la Prison (1994) yang dipadukan
dengan semacam autobiografi, catatan sejarah dan cerita mitos.
Selanjutnya, dalam tulisan yang memang dia sebut sebagai
catatan autobiografinya, Le Blanc de l’Algérie (1995); Algerian
White), Djebar semakin kentara menggambarkan perjalanan
hidupnya sendiri melalui tokoh-tokoh yang bernasib malang
dan dibunuh oleh ekstremis yang berkedok agama, seakan
ingin menggambarkan beberapa tokoh intelektual Aljazair
yang meninggal oleh sebab yang sama. Pada 2003, dia masih
menerbitkan lagi sebuah novel berjudul La Disparition de la
Langue Française  yang melalui tokoh seorang Aljazair yang
kembali ke negerinya dan mendapati adanya relasi tidak
sehat antara bahasa Prancis dan bahasa Arab.
Djebar sempat tinggal di Amerika Serikat pada tahun 1995
dan mengajar bahasa Prancis di  Louisiana State University
dan di New York University. Pada tahun 2005, Djebar terpilih
sebagai anggota  Académie Française. Djebar meninggal
pada 6 Februari 2015 di Paris.

Gambar 22 Tahar Ben Jelloun

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


104 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Tahar Ben Jelloun, adalah seorang novelis dan penyair
kelahiran Kota Fès, Maroko pada 1 Desember 1944. Dia
juga dikenal sebagai budayawan dan tokoh yang memiliki
perhatian besar pada hak asasi manusia. Sewaktu menempuh
studi di bidang filsafat pada Muḥammad V University,
Kota  Rabat, Ben Jelloun sudah mulai menulis puisi tentang
harian yang kerap membahas isu politik, bernama Soufflés.
Setelah akhirnya berhasil menerbitkan antologi puisi yang
pertama, berjudul Hommes Sous Linceul de Silence (1971), di
kemudian pindah ke Prancis.
Di negeri barunya tersebut, dia masih melanjutkan
aktivitas menulis puisi yang dikumpulkan dalam Cicatrices du
Soleil (1972), kemudian Le Discours du Chameau (1974), Grains
de Peau  (1974), dengan memberi perubahan gaya menulis
pada syair-syair itu bila dibanding dengan ketika dia masih
tinggal di negeri leluhurnya. Di negeri asing itu pula dia
menerbitkan novel pertama, Harrouda  (1973), berkisah
tentang semacam perjalanan hidup dari mulai kanak-kanak
hingga menjadi lelaki dewasa, dengan latar Kota Fès dan
Tangier.
Pada tahun 1975, dia lulus dan menyandang gelar doktor
pada bidang psikologi sosial dari Université de Paris, dengan
disertasi yang kemudian terbit menjadi buku yang dia beri
judul La Plus Haute des Solitudes  (1977). Hasil riset itu juga
ia jadikan inspirasi dalam novel La Réclusion Solitaire (1976),
mengambil narasi cerita tentang penderitaan pekerja
migran asal Afrika utara, yang kemudian juga diangkat
dalam drama menjadi Chronique d’une Solitude. Di tahun
itu pula, dia menerbitkan  Les Amandiers Sont Morts de Leurs

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
105
Blessures, berupa kumpulan puisi yang mengetengahkan
wafatnya sang nenek, kegundahannya tentang Palestina,
termasuk masih pula mengangkat imigran Amerika Utara di
Prancis, juga erotisme dan percintaan. Novelnya yang ketiga,
yakni Moha le Fou, Moha le Sage (1978), adalah sebuah satir
tentang negara-negara Afrika utara modern.
Cukup banyak karya-karya Ben Jelloun yang lahir pada
awal tahun 1980, terutama À l’Insu du Souvenir  (1980) dan
autobiografinya L’Écrivain Public  (1983) dikagumi karena
kemampuan penulisnya menggambarkan kenyataan
melalui fantasi, kalimat liris dan metafora, juga atas
keyakinan penulisnya bahwa seni dan sastra adalah ekspresi
kemerdekaan manusia. Namun, baru berkat novel L’Enfant de
Sable (1985), dirinya secara luas dikenal luas karena kritiknya
atas ketimpangan gender dalam budaya Arab melalui analogi
kisah seorang gadis yang dibesarkan sebagai seorang bujang.
Sekuel dari kisah itu, yakni La Nuit Sacrée (1987) dianugerahi
penghargaan bergengsi  Prix Goncourt, sekaligus yang
pertama bagi seorang sastrawan kelahiran Afrika, yang
kemudian diadaptasi ke dalam layar lebar pada tahun (1993).
Dua novel itu diterjemahkan ke dalam lebih dari empat puluh
bahasa.
Novel-novelnya yang terbit kemudian adalah  Jour de
Silence A Tanger  (1990), bertema perenungan pada usia
senja.  Les Yeux baissés  (1991), berkisah tentang perempuan
suku Berber yang memperjuangkan identitasnya. Novel
L’Homme Rompu  (1994) berkisah tentang bobroknya moral
birokrasi dan pegawai pemerintah. Bagi dunia sastra
Indonesia, novel ini terasa istimewa karena dianggap sebagai

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


106 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
semacam ‘adaptasi’ atas novel Korupsi (1954) karangan
Pramudya Ananta Toer yang telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Prancis oleh Denys Lombard pada tahun 1992. Cette
Aveuglante Absence de Lumière  (2001), berkisah tentang
perjalanan hidup seorang tahanan politis Maroko sebagai
cerminan atas apa yang dia alami sendiri sebagai seorang
tahanan militer selama sekitar 18 bulan di awal tahun 1960-
an. Novel itu membawanya memenangi International IMPAC
Dublin Literary Award pada tahun 2004.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
107
Bab 8
Sastra dari Afrika Tengah

Selain di bagian utara seperti penjelasan pada bab


terdahulu, negara-negara Afrika yang memiliki sastra
berbahasa Prancis juga terdapat di bagian tengah, atau biasa
disebut juga sebagai sub-sahara karena letaknya yang ada
di sekitar hamparan gurun Sahara. Baik Afrika utara maupun
Afrika subsahara memiliki catatan kolonialisme Prancis
di wilayah masing-masing sehingga sejarah, definisi dan
ideologi dalam sastra berbahasa Prancis pada kedua wilayah
tersebut terbilang mirip.
Bila negara frakofon Afrika utara adalah bangsa-bangsa
yang sejatinya berbahasa Arab, maka di Afrika sub-sahara ini,
mereka masih memakai bahasa-bahasa lokal Afrika, selain
paduan dengan bahasa kolonial Eropa lain, misalnya Inggris,
Italia, ataupun Spanyol. Meski berlatar belakang mirip dengan
Indonesia, sebagai sesama bangsa terjajah yang merebut
dan memperjuangkan kemerdekaan, rupanya pembaca
sastra Indonesia tak terlalu mengenal tokoh dan karya dari
khazanah sastra Afrika. Hal ini semestinya dilihat sebagai
peluang besar bagi akademisi atau pemerhati sastra untuk
menghidupkan dialog kesusastraan antar dua bangsa, baik
melalui penerjemahan ataupun kerja-kerja budaya serupa.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
109
Gambar 23 Negara-negara Frankofoni di Afrika Tengah
(centreafrique.org)

Dilihat dari keragaman tema, peristiwa yang diangkat


dalam sastra frankofon Afrika sejak awal kehadirannya
sepertinya tak terlalu berbeda dengan karya yang lahir pada
masa kini. Tema-tema seperti tradisi Afrika, kolonialisme,
tercerabutnya akar manusia pribumi Afrika baik secara fisik
ataupun psikis, serta tema-tema percampuran budaya Afrika-
Eropa dan usaha meneguhkan identitas setelah kemerdekaan
adalah topik yang tak habis dibahas. Dalam novel  Les Trois
volontés de Malic  (1920) karya penulis Senegal misalnya,
bercerita tentang konflik antara budaya tradisional dan Barat.
Seorang lelaki muda dari suku Wolof lebih memilih masuk
ke sekolah berbahasa Prancis sehingga alih-alih belajar
kitab suci seperti harapan orang tuanya, si pemuda berakhir
dengan menjadi seorang pandai besi.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


110 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Karya-karya lain memuat pertentangan serupa, yakni
antara budaya berseberangan dengan kota, kultur Afrika
melawan Prancis, serta antara praktik agama leluhur kontra
peribadatan Islam. Misalnya, Ousmane Socé, seorang penulis
dari Senegal menulis Karim (1935), bercerita tentang seorang
pemuda desa yang meninggalkan dusun dan kehilangan
semua yang dimiliki sebab culasnya kota, kemudian
menyerah kalah dan kembali ke tanah asal beserta kehidupan
yang sederhana.
Novel ini adalah gambaran gerak urbanisasi yang mulai
terjadi di awal abad ke-20 dan menelan desa-desa, dan terus
terjadi hingga abad baru. Dalam Mirages de Paris  (1937),
Socé menggambarkan seorang mahasiswa asal Senegal di
Paris dan jatuh cinta dengan perempuan Prancis, beserta
semua romantika dan permasalahannya. Tema perempuan
dan posisinya dalam masyarakat diungkap oleh penulis
asal Kamerun, Joseph Owono, dalam Tante Bella  (1959),
sedangkan ketegangan antara budaya tradisional Afrika dan
teknologi bawaan Barat termuat dalam Faralako: Roman d’un
Petit Village Africaine (1958), by oleh Emile Cissé, dari Guinea
Afrika.
Selain dari dalam benua, penulis berbahasa prancis juga
hadir dari negara-pulau Madagaskar di pantai timur Afrika.
Memang negara tersebut tidak termasuk dalam sub-sahara,
sebab letaknya yang justru di samudera, tetapi tema-tema
yang diangkat tak jauh berbeda dengan negara tetangganya.
Antologi La Revue de Madagascar (1933) adalah sekumpulan
puisi-puisi karya penyair Madagaskar, di antaranya ialah Jean-
Joseph Rabéarivelo yang menulis La Coupe de Cendres (1924),

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
111
mengangkat tema paduan budaya lokal Madagaskar
dan budaya Prancis serta tema-tema tentang penegasan
identitas sebagai orang Negro, bersama penulis-penulis lain
seperti Elie-Charles Abraham, E. Randriamarozaka, dan Paul
Razafimahazo. Dari genre novel, Édouard Bezoro menulis La
Soeur Inconnue (1932), yang merupakan sebuah novel sejarah
hasil inspirasi dari konflik antara kolonial Prancis dan kerajaan
Merina Hova yang terjadi di awal abad ke-20. Kumpulan puisi
Les Fleurs Défuntes  (1927) karya Michel-Francis Robinary,
yang sekaligus adalah seorang pendiri surat kabar L’Éclair de
l’Emyrne.
Tentu saja masih ada banyak penulis-penulis berbahasa
Prancis yang berakar dari Afrika, bahkan dari negara yang
Pengaruh Prancis tak terlalu kuat, misalnya dari Etiopia, ini
yang tak bisa disebut seluruhnya. Berikut adalah beberapa
nama besar di antara sastrawan paling berpengaruh yang
berasal dari Afrika tengah atau Sub-Sahara.

Gambar 24 Henri Lopes

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


112 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Henri Lopes adalah seorang novelis yang juga pernah
menjabat sebagai perdana menteri dan pejabat tinggi di
Unesco dan asosiasi negara Francophonie (Organisation
Internationale de la Francophonie. Berkat kerja sastra dan
politik yang terbilang sukses, dirinya kerap dianggap sebagai
perwakilan penulis sastra frankofon agar suara mereka lebih
didengar. Karya monumental Lopes adalah Tribaliques (1971),
Le Pleurer-rire (1982), Le Chercheur d’Afriques (1990) yang
memberi gaya dan nuansa berbeda dari penulis frankofon
pada umumnya, yakni dengan memberi detail yang sangat
kompleks terhadap sekuen cerita, termasuk keberagaman
tema dan stilistika (gaya bercerita).
Pada novelnya yang lain, yakni La Nouvelle Romance (1976)
dan Sans Tam-tam (1977), Lopes mengetengahkan tema
sosio-politis dan ditulis saat dirinya menjabat sebagai menteri
di kabinet Congo sehingga beberapa pihak menganggap
aktivitas sastra sebagai sebuah bentuk lain dari gerakan
politisnya. Gaya bahasa Lopes cenderung lugas, ketimbang
harus membungkus maksud dengan balutan moral. Ia kerap
memulai cerita dengan kondisi tak ideal sebagai kritik yang
eksplisit terhadap situasi sosial dan politik, sebelum kemudian
mengulasnya secara lebih detail. Meski demikian, Lopes tetap
mengangkat tema pasca kolonial, tetapi dengan memberi
pembeda, yakni dengan tidak menimpakan kesalahan pada
penjajahan yang telah usai, tetapi lebih pada tanggung jawab
orang Afrika sendiri terhadap nasib dan masa depan. Lahir
pada tahun 1937, meski sudah memasuki usia senja, Henri
Lopes kini masih berkarir dalam bidang politik di negerinya.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
113
Gambar 25 Ahmadou Kourouma

Ahmadou Kourouma, adalah penulis kelahiran Boundiali


pantai Gading, pada November 1927. Dia menghasilkan novel
dan skenario yang memberi pengaruh pada perjuangan
politik melawan kebijakan kolonialisme Prancis di negaranya.
Selain hidup di negerinya sendiri, Kourouma sempat melewati
masa kecilnya di Guinea dan Bamako–Mali, untuk sekolah,
sebelum akhirnya dia mendaftar sebagai militer Prancis.
Kourouma dikirim bertugas ke Saigon–Vietnam, sebelum
dia melanjutkan pendidikan di Lyon–Prancis, dan kemudian
banting setir menjadi pegawai bank dan asuransi di Aljazair,
Kamerun, dan Prancis.
Novel pertamanya,  Les Soleils des Indépendances  (1968),
menyasar secara satir perpolitikan Afrika seusai penjajahan.
Kourouma memanfaatkan keragaman ungkapan rasa
dalam bahasa Prancis dipadu dengan kalimat-kalimat bijak

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


114 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
untuk menciptakan satir atas kondisi sekitar. Ia bercerita
tentang seorang pangeran sebuah suku yang turut berjuang
melawan penjajah, tetapi justru direpresi oleh pemerintah
berkuasa setelah zaman merdeka–situasi yang juga terjadi
di Indonesia, diwakili ungkapan revolusi memangsa anak
kandungnya sendiri.
Karya itu ditolak diterbitkan oleh penerbit Prancis,
dan menemukan jalannya sendiri di Kanada. Karyanya
selanjutnya tak jauh dari tema satir atas politik dan situasi
Afrika pasca kemerdekaan, termasuk dalam lakonnya yang
berjudul Tougnantigui; ou, le Diseur de Vérité (1972) dan novel
En Attendant le Vote des Bêtes Sauvages (1998), serta Allah N’est
Pas Obligé  (2000) karena suara vokal dalam deretan karya
itulah, Kourouma menjalani sebagian besar hidupnya dalam
pengasingan dari negerinya sendiri. Sebab gaya satir itu
pula, di dibandingkan sebagai Voltaire dari Afrika. Ahmadou
Kourouma meninggal pada 11 Desember 2003 di Lyon, Paris.

Gambar 26 Paul Hazoumé

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
115
Hazoumé dikenal sebagai seorang politisi sekaligus
penulis dan akademisi kelahiran Porto-Novo, negara Benin,
pada tahun 1890. Dia pernah terjun dalam pemilihan
presiden Benin pada tahun 1968 meski gagal terpilih. Dia
adalah penulis serangkaian novel, yang diawali dengan
terbitnya novel bertema sejarah Afrika berjudul Doguicimi
(1938) yang berkisah tentang kesetiakawanan antar keluarga
suku Dahomey dan pengorbanan untuk sesama manusia
yang juga memuat kontradiksi ‘keberadaban’ pada masa
kolonial. Karya yang dinilai menunjukkan gaya penulisan
yang luar biasa itu dianugerahi Prix de Langue Française oleh
Académie Française setahun setelah terbit pertama, yakni
pada 1939. Hazaoumé sendiri menyebit karya itu adalah
semacam narasi fiksi atas risetnya selama dua puluh tahun
atas suku Dahomey.
Pada tahun 1978, karya itu hadir kembali dengan
beberapa suntingan oleh peberbit G. P. Maisonneuve et
Larose, Paris. Lulus dari sekolah tinggi École Normale de Saint-
Louis di Sénégal en 1910, Paul Hazoumé kemudian menjadi
pengajaran di Écoles de Ouidah et Abomey, di negerinya
sendiri, tempat dia mulai menekuni penelitian etnografi. Pada
tahun 1931, Hazoumé mewakili dan membawa nama suku
Dahomey dalam kongres suku-suku yang diselenggarakan
oleh pemerintah kolonial. Usai acara tersebut, ia diminta
menjadi pengajar pada École Professionnelle de Cotonou,
Benin. Kerja akademisnya terus berlanjut di institusi Museum
Nasional dengan hasil artefak-artefak penting suku Dahomey
dan pencatatan lagu-lagu daerah di negaranya. Atas kerja

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


116 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
etnologi itu pula dia diganjar penghargaan Premier Prix du
Gouverneur Général de l’Afrique-Occidentale Française oleh
pemerintah kolonial pada tahun 1939.
Puja-puji dari penjajah itu tak lantas menghilangkan naluri
nasionalis pada dirinya. Melalui berbagai nama samaran,
belakangan—beberapa saat menjelang kematiannya—baru
diketahui bahwa Hazaoumé telah menulis artikel-artikel
perjuangan yang mengecam keras politik kolonial Prancis
sepanjang tahun 1930-an. Ia mengecam keras pemikiran
kolonialis bahwa orang kulit hitam adalah kaum yang tak
beradab sehingga perlu dikenalkan dengan peradaban asing
bawaan Barat, yang baginya tak lain adalah penyerabutan
orang Afrika dari asal-usul dan leluhurnya.
Konsepnya mengenai pemuliaan bangsa Negro membuat
namanya sejajar dengan nama Léopold Sédar Senghor,
politisi sekaligus sastrawan dari Senegal, Aimé Fernand David
Césaire, politisi dan penulis dari Martinik yang juga adalah
salah satu penggagas gerakan kaum Negro pada ranah
sastra frankofon, termasuk dengan Jean-Paul Sartre, yang
mereka semua itu meluncurkan buletin Présence Africaine
yang selama lebih dari tiga puluh tahun eksis sebagai
etalase pemikiran bagi cendekiawan Negro. Paul Hazoumé
dianugerahi hidup yang panjang, dan wafat pada 18 April
1980 dalam haribaan tanah airnya, Kota Cotonou, Benin.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
117
Abdoulaye Sadji
Sadji adalah seorang penulis dari
Senegal, lahir di wilayah pinggiran
Kota Dakar pada tahun 1910. Masa
kecilnya dilalui dengan sekolah
agama dan sekolah formal hingga
usia 11 tahun. Dia melanjutkan
belajar ke Lycée Faidherbe di sisi
utara Senegal, sebelum akhirnya mengenyam bangku kuliah
di ‘Ecole Normale William Ponty di Kota Abidjan, Pantai
Gading, dan uniknya, dia adalah satu dari dua generasi
pertama asli Senegal yang menyandang predikat sarjana.
Semenjak tahun A partir de 1929, dia menjadi generasi
pertama pribumi yang bekerja menjadi guru, dan dia
menekuni profesi itu dengan menjabat sebagai pengawas
sekolah dasar sepanjang hayatnya. Semasa era perang dunia
kedua, Sadji yang guru turut berjuang mengangkat senjata
memperjuangkan kemerdekaan Senegal dan menjadi
pelopor pemuliaan terhadap orang kulit hitam.
Pada hidupnya yang tak aterlalu panjang, Sadji telah
menulis banyak judul sastra antara tahun 1953 sampai
dengan awal tahun 1960, Maïmouna (1953), Nini (1954),
keduanya berupa novel, juga menulis dongeng, yakni
Tragique Hyménée(1948) dan Leuk-Le-Lièvre (1953). Selain
itu, beberapa kumpulan cerita pendek juga dia hasilkan,
antaranya adalah Un Rappel de Soldes (1957), Tounka, Une
Légende de La Mer (1952), dan Modou Fatim (1960).

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


118 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Kumpulan karyanya telah dimuat di buletin Présence
Africaine, Paris-Dakar dan dalam berbagai terbitan bagi
penulis Afrika lainnya. Selain menulis sastra, Sadji juga
menulis esai dan dongeng, seperti Tounka (1952), Modou
Fatim (1960) dan La Belle Histoire de Leuk-le-Lièvre (1953),
bekerja sama dengan penulis asal Senegal lain, yaitu Léopold
Sédar Senghor yang menjadi editor bahasanya. Tema umum
karya-karya itu adalah mengenai budaya Afrika dalam
kehidupan masyarakatnya.
Karya Sadji yang paling banyak dibicarakan adalah
Maïmouna (1953) dan Nini (1954), yakni bertema tentang
perempuan-perempuan muda yang mendambakan
perubahan atas posisi mereka di mata masyarakat, beserta
harapan, kegamangan, termasuk duka karena kehilangan
pedoman. Sadji menghadirkan narasi, tanpa terlihat memaki-
maki keadaan dan pandangan hidup yang dianut oleh
kultur Afrika. Sadji merasa perlu secara obyektif membela
budaya dan adat yang dianut rakyat Senegal dan Afrika
pada umumnya –yang biasanya dikritik habis-habisan oleh
penulis lain melalui tema anti tradisional. Dia juga turut
berikhtiar mendirikan stasiun radio yang pertama si Senegal,
menggunakan bahasa nasional –bahasa kolonial, yaitu
bahasa Prancis. Sadji merasa budaya Afrika adalah budaya
terbuka yang bisa didiami siapa saja. Sadji juga tidak terlalu
keras dan tajam mengkritik budaya Eropa secara langsung,
termasuk tentang sinkretismenya terhadap agama sehingga
memicu ketegangan dengan tokoh-tokoh agama di Senegal.
Semua tabiat itu membuat dirinya dikenal sebagai penulis

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
119
yang tak mengikuti pola penulis Negro pada umumnya,
bahkan sesekali sangat bertolak-belakang dengan ideologi
yang diyakini penulis lain pada zamannya.

Yves-Emmanuel Dogbé 
Berasal dari sebuah dusun
Sa-Kpové, dekat Kota  Aného di
pelosok Togo, Yves-Emmanuel
Dogbé adalah seorang cendekiawan
Afrika yang mampu mengakses
pendidikan tinggi di Prancis, yakni
pada bidang sosiologi hingga
jenjang doktoral (Ph.D) pada Paris
Descartes University. Ia adalah
seorang penulis yang juga filsuf, pendidik, dan sosiolog.
Dogbé menulis sekitar lima belas karya utama, yang
membuatnya dihormati di kalangan penulis yang berbahasa
Prancis. Dia menulis sekumpulan puisi yang diberi judul
Affres (1966), kemudian disusul adaptasi fabel-fabel jean
de la Fontaine yang ia juduli Fables Africaine. Setelah itu, ia
menulis novel bernuansa sosiologis, yaitu La Victime  yang
bertema rasisme dan Incarcéré  yang menceritakan dirinya
sendiri ketika dipenjara. Selain itu dia juga menulis esai
tentang pemikirannya pada dunia pendidikan  La Crise de
L’éducation (1975).

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


120 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Dogbé pernah berseteru dengan pemerintah berkuasa
yang kebijakannya ia kritik sehingga membuatnya dipenjara.
Terpaksa ia harus angkat kaki dari negerinya sendiri dan
tinggal di Paris pada tahun 1977, yang ia isi dengan menulis
dan mendirikan penerbitan pada tahun 1979 yang ia beri
nama “Akpagnon”, yang tak lain adalah nama ayahnya sendiri.
Dia menyusun antologi puisi-puisi Togo dan kumpulan cerita
legenda Togo yang dia tulis dalam bahasa Prancis dan bahasa
daerahnya, yaitu bahasa Ewe. Tahun-tahun berikutnya, usaha
penerbitannya melahirkan karya-karya penulis Togo dan
tulisan Dogbé sendiri, hingga dia bisa kembali ke Togo pada
tahun 1991 seusai pengasingan.
Karya Dogbé yang paling fenomenal tak lain adalah
L’Incarcéré, terinspirasi dirinya yang dijebloskan ke tahanan
tanpa proses peradilan. Semua itu disebabkan karena
tulisannya tentang dunia pendidikan yang menjadi
perhatiannya pada acara Festival of African Arts and Culture
(FESTAC) pada tahun 1977. Meski tak lama berada di
penjara berkat adanya amnesti, tetapi kisah itu membuka
kesadaran khalayak mengenai kondisi mengenaskan di
dalam penjara yang dia alami beserta narapidana lain yang
lebih lama mendekam di sana. Tentu saja sebuah novel tak
bisa mengubah situasi tersebut, tetapi paling tidak karya
itu dianggap mampu menguak fakta yang ada. Selain itu,
Dogbé juga menulis kisah liris Lettre Ouverte pour les Pauvres
d’Afriques (1983) berisi pembelaannya pada warga Afrika
yang terpinggirkan. Atas karya-karya itu, ia menerima Grand
prix littéraire d›Afrique noire pada tahun 2002.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
121
Yves-Emmanuel Dogbé lahir pada masa kolonialisme
Eropa masih melilit Afrika, pada 10 May 1939, dan dia
meninggal di jantung negeri kolonialis, Kota Paris, 7
November 2004.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


122 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Bab 9
Sastra dari Kanada

Kanada adalah negara di luar Prancis daratan dengan


penutur Frankofon terbesar, yakni sekitar sepuluh juta
penduduknya mampu dan terbiasa menggunakan bahasa
Prancis sebagai bahasa komunikasi resmi maupun sehari-
hari. Di negara ini, seseorang bisa disebut sebagai Frankofon
apabila mampu berbicara, membaca, menulis ataupun
mengungkapkan pikiran dalam bahasa Prancis, atau secara
ringkas, menggunakan bahasa Prancis dalam aktivitas
keseharian. Bersama bahasa Inggris, bahasa Prancis adalah
bahasa resmi yang dipakai dalam bidang pemerintahan,
peraturan dan perundangan, serta pendidikan. Selain
kedua bahasa utama tersebut, masyarakat Kanada juga
menggunakan bahasa-bahasa yang dibawa oleh imigran dari
berbagai negara, dan atas kesadaran terhadap konservasi
bahasa pribumi, Kanada juga mempertahankan penutur
dan pengguna bahasa daerah, terutama bahasa suku-suku
Indian, Inuit dan Metis.
Berbicara mengenai bahasa dan karya sastra di Kanada
tak pernah bisa lepas dari usaha menentukan identitas, jati
diri dan akar budaya. Ada berbagai macam identitas yang
berkelindan dalam bahasa di Kanada. Setelah selama dua
abad menguasai Kanada pada abad XVI dan XVII, Prancis harus
berbagi kekuasaan dengan Inggris yang kemudian justru

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
123
lebih mendominasi. Setelah periode itu, penutur frankofon di
Kanada masih harus menerima keadaan bahwa ada desakan
besar dari bahasa dan budaya Inggris Eropa dan Inggris yang
dibawa dari Amerika Serikat. Tak serumit negara frankofon baik
yang ada di Afrika, Asia maupun Amerika Selatan, keberadaan
frankofon di Kanada adalah perjalanan dari Kanada koloni
Prancis, Kanada koloni Inggris, dan pada akhirnya Kanada di
bawah bayangan Amerika Serikat. Tumpang tindih macam ini
justru meneguhkan kesadaran masyarakat frankofon Kanada
–terutama wilayah Quebec dengan persentase frankofon
terbesar dibanding jumlah penduduk- terhadap pentingnya
jati diri sehingga mendorong lahirnya apa yang disebut
Révolution Tranquille (Revolusi Senyap), sebuah gerakan
yang menuntut perubahan, kesetaraan dan pengakuan
bagi warga Quebec untuk menentukan identitasnya sendiri
sebagai sebuah masyarakat berbahasa Prancis.

Gb. 10. 1 Kanada dan sebaran penutur bahasa Prancis di tiap provinsi
(parcourscanada.com).

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


124 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Sesuai dengan konstitusi Kanada, bahasa Prancis beserta
bahasa Inggris adalah dua bahasa resmi yang digunakan
dalam sidang parlemen dan perundang-undangan, selain
dalam bidang pendidikan. Hal ini membuat Kanada menjadi
unik, sebab, meskipun secara resmi mengakui raja atau
ratu Inggris sebagai pemimpin negara (dalam hal ini adalah
Raja Charles III yang baru saja dinobatkan menggantikan
mendiang Ratu Elizabeth II yang wafat belum lama ini), tetapi
Kanada juga mengakui bahasa Prancis sebagai bahasa resmi
negara. Fenomena tersebut tidak lepas dari pertarungan dua
bangsa Eropa dalam memperebutkan wilayah nan begitu
luas di belahan Amerika utara yang terjadi pada abad ke
18, yang masih menyisakan nuansa konflik hingga saat ini.
Seperti yang telah disebut sebelumnya, bahasa bagi orang
Kanada bukanlah sekadar wahana komunikasi, tetapi lebih
sebagai identitas dan jati diri. Kini, berdasarkan data yang
dirangkum oleh Official Languages Regulations dan dirilis
pada 2016, dari sekitar 35 juta penduduk Kanada, sekitar
10,4 juta di antaranya adalah penutur bahasa Prancis, yang
sebagian besar (6,7 juta jiwa) tinggal di wilayah Quebec. Tak
mengherankan apabila sastra frankofon dari Kanada kerap
diasosiasikan sebagai littérature québecoise, meskipun ada
wilayah lain yang melahirkan sejumlah penulis.
Bila ditilik dari waktu perkembangannya, sastra frankofon
dari Kanada terbagi dalam periode berikut:

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
125
9.1 Periode Prancis: 1534—1760
Kedudukan Prancis–termasuk dalam bidang bahasa
dan sastra–telah ada di Kanada semenjak masa Renaissance
mulai merebak di Eropa. Tercatat, pada abad XV ketika Prancis
mendominasi kekuasaan di Kanada, dilaporkan telah ada
sejumlah tulisan tentang para petualang dan agamawan,
seperti Marc Lescarbot dan menulis Histoire de la Nouvelle-
France dan Les Muses de la Nouvelle France (keduanya
diterbitkan pada 1609), serta sekumpulan catatan sastrawi
berjudul Les Relations des Jésuites (1632–1673), bercerita
mengenai hubungan para misionaris dan warga asli Kanada
pada masa itu. Periode ini disebut sebagai dasar atau fondasi
perkembangan sastra frankofon di Kanada, khususnya di
wilayah Quebec, yang kemudian disebut juga sebagai sastra
Acadia.
Meskipun demikian, sebagian pakar menyebut bahwa
sastra dalam bahasa Prancis pada masa itu tidak bisa disebut
sebagai sastra Kanada murni, sebab, keberadaan bahasa
Prancis kala itu hanya digunakan oleh dan untuk orang
Prancis yang berada di Kanada. Sastra berbahasa Prancis
di Kanada masa itu tak lain adalah representasi hadirnya
kolonialisme, atau sebagai satelit dari perkembangan sastra
Prancis di Eropa.
Selain Marc Lescarbot, nama lain yang turut memelopori
tumbuhnya bahasa Prancis di Kanada adalah Samuel de
Champlain (1570—1635), seorang tokoh militer pada masa
raja Henri IV memerintah Prancis. Champlain adalah seorang
pakar ilmu peta yang gemar menulis bertema penjelajahan

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


126 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
dan petualangan, di antaranya adalah Des Sauvages ou Voyage
de Samuel Champlain, de Brouage Fait en la France Nouvelle,
l’An Mille Six Cent Trois (Paris 1603)–yang berisi tentang
catatan mengenai penduduk asli Kanada, dan Les Voyages et
Découvertes Faites en la Nouvelle-France, Depuis L’Année 1615,
Jusques à la Fin de l’Année 1618 (Paris 1619). Seperti terlihat
dari judulnya, dua karya itu lebih seperti catatan perjalanan
ke wilayah koloni baru.
Pierre Boucher (1622—1717) tiba di Kanada pada usia
sangat muda, baru 13 tahun, yang kemudian membuat
dirinya menjadi bangsawan dan personil militer, menjadikan
dirinya salah satu tokoh awal kolonial Prancis di Kanada. Hasil
catatannya adalah Histoire véritable et naturelle des moeurs
et productions du pays de la Nouvelle-France vulgairement
dit le Canada (1664) yang merupakan dokumen gambaran
alam dan informasi penting lainnya demi kepentingan
kolonial. Nyaris sama dengan Pierre Boucher, Louis-Armand
de Lahontan (1666—1715) adalah seorang pemuda dari
keluarga bangsawan yang tiba di Kanada ketika usianya 17
tahun. Selain sebagai seorang personil militer yang turut
mengeksplorasi Kanada, ia juga mempelajari bahasa dan
budaya suku Indian yang kemudian menjadi dokumen
penting bagi kolonial untuk mengenal wilayah baru ini. Les
Dialogues Curieux Entre l’Auteur et un Sauvage de Bon Sens
qui A Voyagé adalah satu dari beberapa catatan yang ia
susun dengan perspektif kolonialis terhadap warga pribumi.
Catatan ini pula yang kemudian menginspirasi penulis
Prancis lain, seperti Diderot, Voltaire dan Rousseau dalam
menggambarkan orang-orang Huron dalam karya-karya

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
127
mereka. Penulis lain yang merangkum catatan mengenai
pribumi kanada adalah Gabriel Théodat Sagard (1604—1650),
juga seorang misionaris. Setelah tinggal bersama orang
Huron selama setahun, ia menghasilkan Le Grand Voyage du
Pays des Hurons (1632) dan Histoire du Canada (1636).
Selain tokoh-tokoh pria, perempuan juga mengambil
peran penting sebagai misionaris. Marie Guyard, atau
dikenal dengan gelar Marie de l’Incarnation (1599—1671)
mengembangkan biara santa Ursula yang menyelenggarakan
pendidikan bagi gadis-gadis pribumi. Ia meninggalkan
belasan ribu catatan yang kemudian oleh putranya, Claude
Martin–dinamakan persis seperti nama bapak si anak yang
meninggal saat ia baru berumur satu tahun–disusun menjadi
Vie de la Vénérable Mère Marie de l’Incarnation (1681). Selain
itu, ada nama Marie Morin (1649—1730) yang bersama
saudara-saudaranya adalah generasi pertama Eropa yang
lahir di Kanada. Catatan yang ia buat diberi judul Annales de
l’Hôtel-Dieu de Montréal, adalah tulisan yang lebih bernuansa
lokal dalam menggambarkan tanah kelahirannya dan baru
dicetak pada tahun 1921.
Secara garis besar, sastra frankofon Kanada pada periode
mula adalah catatan mengenai proses terciptanya hegemoni
Prancis atas wilayah jajahan yang kemudian dinamakan dunia
baru (nouveau monde), meskipun tentu saja, dunia yang
dianggap baru itu bukanlah wilayah kosong tak bertuan,
melainkan sudah dihuni dan didiami oleh kelompok pribumi.
Seperti proses kolonialisme pada umumnya, penjajah
menganggap penduduk asli adalah manusia yang belum
beradab dan belum berbudaya, karenanya mesti dikenalkan

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


128 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
dengan peradaban versi kolonial. Prancis juga membawa
perangkat moral baru, ilmu pengetahuan dan teknologi baru,
termasuk membawa entitas agama baru untuk dikenalkan
kepada penduduk asli. Tema-tema itulah yang dapat dijumpai
dalam sastra frankofon Kanada pada masa awal ini.

9.2 Hegemoni Inggris: 1760—1830


Memasuki paruh ke dua abad XVIII, hegemoni Prancis
atas koloninya di Kanada berangsur-angsur terkikis, bahkan
menghilang di sebagian besar wilayah. Inggris mampu
menaklukkan dan merebut wilayah yang selama lebih dari
dua abad dalam kekuasaan Prancis, dan memaksa Prancis
menandatangani Traktat Paris pada tahun 1763. Perjanjian
itu membawa perubahan sangat radikal, baik dalam hal
pemerintahan, administrasi, lebih-lebih dalam hal budaya
dan bahasa.
Kesepakatan itu membuat para elite Prancis, yakni
bangsawan, pejabat, dan pegawai tinggi pemerintah,
personil militer, hingga para penulis memilih meninggalkan
Kanada dan pulang ke Prancis. Inggris menerapkan tata
kelola pemerintahan baru, menghapus pola yang terbangun
selama ini. Hanya ada kaum agamawan dan gerejawi yang
memilih tetap tinggal di Kanada demi merawat umat, itu pun
dengan ketentuan harus berkompromi dan tunduk terhadap
nomenklatur peraturan baru yang dikeluarkan oleh otoritas
Inggris, yakni Acte de Québec (1774) dan Acte Constitutionnel
(1791), yang hanya mengizinkan diselenggarakannya

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
129
sekolah Katolik dan memuat identitas Prancis hanya di
wilayah Quebec saja, di tengah desakan sekolah-sekolah
sekuler (sekolah umum) yang dididik menghasilkan ahli
yang dibutuhkan masyarakat: dokter, ahli hukum, pegawai
pemerintah, termasuk wartawan, dan penerjemah. Dengan
demikian, kaum gerejawi memegang peran tunggal dan
satu-satunya terhadap pemertahanan budaya Prancis, di
tengah hegemoni dan dominasi budaya Inggris.
Maka pengaruh Prancis pun susut dengan cepat. Jumlah
orang Prancis di Kanada juga berkurang sedemikian laju,
membuat sekolah dan institusi pendidikan ala Prancis terpaksa
ditutup. Satu abad setelah Traktat Paris, Inggris sepenuhnya
telah menguasai jalur ekonomi dan pemerintahan. Orang
Prancis dan keturunannya nyaris sepenuhnya tak bisa
mempertahankan bahasa dan budayanya, kecuali mereka
yang tinggal di pedalaman desa dan jauh dari kontrol
Inggris. Kultur menulis sangat berkurang di kalangan warga
Frankofon, membuat sastra lisan menjadi dominan di wilayah
pedalaman tersebut. Hal inilah yang membuat frankofon
Kanada–sampai saat ini–masih menyimpan dan melestarikan
sastra lisan berupa folklor, lagu, dan balada Prancis masa
lampau, yang diperkaya dengan nuansa lokal. Namun, secara
garis besar, masa-masa tersebut dianggap sebagai periode
tuna-sejarah dan tuna-budaya bagi masyarakat frankofon
Kanada.
Seperti pepatah Prancis yang mengatakan seusai badai
langit akan cerah, maka keadaan menyedihkan bagi dunia
frankofon Kanada tidak lantas tak membawa kabar baik. Di

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


130 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
awal abad XIX, marak muncul teater-teater modern yang
meskipun dibawakan sepenuhnya dengan cara dan dalam
bahasa Inggris, tetapi sangat disukai oleh kalangan ekonomi
mampu (bourgeois) frankofon di daerah Quebec–khususnya
Kota Montreal, dan Ontario. Royal Theater acap kali
menampilkan drama-drama Prancis karya Molière, termasuk
seorang sutradara lokal berdarah Prancis, yakni Joseph
Quesnel (1749—1809) yang memiliki kedekatan dengan
gubernur jenderal Inggris. Quesnel mampu masuk dalam
golongan kaum elite dan berhasil menghasilkan karya drama
dan komedi, yakni Colas et Colinette (1790) dan L’anglomanie
ou le Dîner À L’Anglaise (1802). Di masa itu pula, mulai terbit
beberapa surat kabar berhaluan Prancis, misalnya La Gazette
de Québec (didirikan tahun 1764) yang didirikan oleh dua
orang pendatang dari Amerika Serikat, William Brown et
Thomas, dan sebuah jurnal yang membahas dunia sastra,
“La Gazette Littéraire” (1788), yang kerap mengangkat ide
liberal dan pemikiran Voltaire. Kemudian muncul surat kabar
Le Canadien (terbit antara tahun 1806 sampai dengan tahun
1899), yang mulai berani berbicara politik dari perspektif
frankofon sehingga dibredel pada rentang tahun 1825
sampai dengan 1831. Sepanjang masa pelarangan terbit itu,
hadir pula surat kabar La Minerve (1826) yang menggantikan
posisi Le Canadien. Dalam wahana surat kabar itulah,
selain menyemai pemikiran politis, juga mulai muncul
pemikiran anti-gereja, termasuk tulisan-tulisan sastra. Berkat
tumbuhnya surat-surat kabar itu, di pertengahan abad XIX,
muncul gerakan kebangkitan sastra dan budaya sebagai
perkembangan lanjut sastra frankofon di Kanada.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
131
9.3 Kebangkitan Sastra dan Budaya: 1830—1930
Awal periode ini adalah sebuah guncangan bagi
kekuasaan pemerintah Inggris. Diawali dengan krisis ekonomi,
yang merambat pada ketidakpuasan masyarakat, terutama
dari kaum muda terpelajar, hasil didikan sekolah-sekolah
modern Inggris sendiri. Sementara bagi kelompok frankofon
Quebec, periode ini masa munculnya perjuangan identitas,
yakni tuntutan agar masyarakat frankofon diberi kesempatan
menduduki posisi politis. Mereka mendirikan Parti Canadien
dan berhasil masuk ke dalam parlemen. Situasi ini menjadi
semakin memanas hingga puncaknya meletus perlawanan
bersenjata yang dikenal sebagai Bataille de Saint-Denis pada
tahun 1837.
Meski berada dalam kecamuk konflik politik itu,
masyarakat frankofon perlahan mampu meneguhkan
identitas kebahasaan mereka. Pemerintahan Inggris melunak
dan mengizinkan penggunaan bahasa Prancis sebagai
bahasa resmi wilayah tertentu, sejak tahun 1848. Perjuangan
demi menegakkan bahasa tersebut juga dibarengi dengan
masuknya paham-paham modern seperti kebebasan
bagi warga sipil, pengakuan hak pribadi, juga paham
sekularisme. Berkenaan dengan isme yang terakhir ini, tentu
saja memperoleh pertentangan dari kaum agamawan.
Gereja berusaha agar bahasa adalah bagian dari moral dan
pendidikan. Kelompok ini secara tegas menentang segala
bentuk sastra “model baru”, terutama dalam bentuk roman,
yang dianggap mengumbar nafsu, meliarkan kepuasan,
termasuk percintaan, sebagai sastra yang berlumur dosa.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


132 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Sastra yang demikian dianggap tak sesuai bagi orang taat.
Seorang pendeta sekaligus penulis besar pada masa itu,
yakni Henri-Raymond Casgrain, mengampanyekan sebuah
gerakan yang berprinsip bahwa sastra tak lain adalah demi
agama dan keimanan, dalam catatannya yang berjudul Le
Mouvement Littéraire en Canada (1866).
Dalam gesekan antara kutub agamis dan liberal tersebut,
sastra frankofon Kanada pada periode ini berkembang
dalam dua genre utama, yakni berupa roman historis dan
puisi. Penulis dengan tema sejarah berusaha menegaskan
bahwa perjuangan peneguhan identitas kebahasaan yang
sedang gencar dilakukan tak bisa dilepaskan dari faktor
sejarah nasional bangsa Kanada sendiri. Salah satu tokohnya
adalah François-Xavier Garneau (1809—1866), yang secara
tekun dan telaten menyusun L’Histoire du Canada Depuis Sa
Découverte Jusqu’à Nos Jours, terbit dalam empat jilid antara
tahun 1845 hingga tahun 1852. Selain nama tersebut, ada
nama Michel Bibaud (1782—1857), menulis L’histoire du
Canada Sous La Domination Française (1844) memberikan
penekana dan gambaran yang lebih bersifat nasionalis
patriotik. Tokoh lain adalah Pierre-Georges-Prévost Boucher
de Boucherville (1814—1894), yang berasal dari keluarga
terpandang dan tokoh politik nasionalis, menulis sebuah
novel yang berjudul Une de Perdue, Deux de Trouvées (1865)
yang sebelumnya terbit sebagai cerita bersambung antara
tahun (1849—1851), menggabungkan tema romansa gotik,
petualangan, sekaligus politis. Selain itu ada seorang tokoh
perempuan penulis, Laure Conan (1845—1924), yang karena

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
133
setelah menyadari semangat sastra religius, kemudian
ia bertekad hanya akan menulis tema-tema ketuhanan
dibalut kisah tokoh-tokoh besar dalam sejarah masyarakat
frankofon Kanada. Karya-karyanya antara lain ialah À l’Oeuvre
et À l’Épreuve (1891), Jeanne le Ber, l’Adoratrice de Jésus-Hostie
(1910), Louis Hébert, Premier Colon du Canada (1912), dan
Philippe Gaultier de Comporté, Premier Seigneur de la Malbaie
(1917).
Nama lain yang mengemuka ialah Louis Hémon (1880—
1913), seorang imigran dari Brest yang tiba di Kanada dengan
membawa kepakaran di bidang hukum sekaligus bahasa.
Sebelumnya, ia telah menetap selama sepuluh tahun di
London yang membuatnya tertarik dengan roman bertema
masyarakat dan politik. Setelah menetap di Kanada, Hémon
menghasilkan sebuah karya utama yakni Maria Chapdelaine
(1913). Novel ini dianggap sebagai roman klasik awal abad
XX yang mengusung pemikiran konservatif, juga menjadi
penanda novel modern Kanada sekaligus manifestasinya
dalam norma-norma Katolik, yang menggambarkan
kehidupan pedesaan di pedalaman Kanada. Novel ini
dianggap menjadi perwujudan masyarakat frankofon
Kanada yang ada di daerah-daerah terpencil, hidup bersama
lingkungan yang masih alami.
Hingga menjelang abad ke XX, puisi-puisi frankofon
Kanada masih belum menjadi jenis sastra utama di Kanada.
Berbagai gerakan seni dan sastra yang terjadi di Eropa,
seperti l’art pour l’art, parnassisme, simbolisme dan tema
luruhnya nilai kemanusiaan (décadence) baru menyentuh

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


134 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Kanada pada awal 1900-an. Penyair-penyair Prancis seperti
Lamartine, Musset ou Hugo hingga Baudelaire, Verlaine,
Rimbaud turut membawa gaya-gaya estetis tersebut,
berpadu dengan gaya puisi narasi, tema patriotik, semangat
nasionalisme dan identitas ke-Prancisan yang masih tetap
berkembang. Salah satu penyair frankofon Kanada pada
masa itu ialah Louis-Honoré Fréchette (1839—1908), yang
juga adalah seorang jurnalis, tokoh gerakan politik, sekaligus
penyair dan dramawan yang gaya dan syairnya dianggap
sebagai perwujudan Victor Hugo dari Kanada. Ia menulis syair
sebagai naskah drama berjudul Papineau (1880), juga dalam
nuansa pencarian identitas seperti dalam Le Retour d’un Exilé
(1880). Selain itu, ia juga menghasilkan puisi bertema “suara
yang tak didengar”, seperti Poésies Canadiennes (1869) dan La
Légende d’un Peuple (1887). Fréchette sangat dihormati pada
zamannya dan karya-karyanya masih membawa pengaruh
hingga masa kini seperti dalam Très Appréciées à Originaux et
Détraqués (1892) dan La Noël au Canada (1900).
Tokoh lainnya adalah Jean Charbonneau (1875–1969),
yang mengangkat tema kesedihan dan dekadensi dalam
Les Blessures (1912), dan L’Âge de Sang (1921). Alphonse
Beauregard (1881–1924) adalah penyair yang terkenal dengan
tema-tema perenungan, seperti dalam Les Forces (1912) dan
Les Alternances (1921). Albert Lozeau (1878—1924) menulis
puisi-puisi bertema pasrah (penantian si sakit atas datangnya
kematian) yang berjudul Dans L’Âme solitaire (1907) dan Le
Miroir des jours (1912). Tokoh lain yakni Paul Morin (1889—
1963) diletakkan sebagai penyair dengan identitas Quebec,

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
135
dengan karya-karyanya yang berjudul Le Paon d’émail (1911)
dan Poèmes de cendre et d’or (1922). Dengan pengetahuannya
sebagai seorang advokat, akademisi sekaligus penerjemah,
ia mampu menisbikan tema penderitaan melalui tema
kehidupan elegan. Puisi-puisinya sesekali meninggalkan
amanat, tetapi acap kali juga begitu ironis, berlatar tema yang
kontras dengan keadaan Kanada–untuk mengungkapkan
kritiknya terhadap situasi negeri itu sendiri. Morin adalah
salah satu penulis dengan aliran art pour art dalam sastra
frankofon Kanada.

9.4 Modern-Post Modern: 1930 Hingga Kini


Seperti terjadi di negara-negara lain, perkembangan
sastra suatu bangsa tak bisa lepas dari pengaruh ekonomi
dan politik, demikian halnya dengan Kanada. Di awal periode
modernisme yang berlangsung cukup singkat ini, krisis
ekonomi global yang mengguncang dunia memberi dampak
masif terhadap kondisi masyarakat Kanada, membuat
pengaruh yang ditimbulkan menjadi sedemikian besar,
termasuk dalam bidang bahasa dan budaya. Wilayah Kanada
yang secara garis besar terbagi menjadi dua wilayah, yakni
daerah barat yang didominasi kota-kota kecil, desa-desa di
pedalaman dan hamparan padang rumput maha luas, serta
wilayah timur yang memiliki pusat industri dan kota-kota
berkembang, jelas menghasilkan kondisi berbeda dalam
menghadapi krisis. Gelombang urbanisasi tak bisa dihindari.
Di kota-kota masyarakat berbaur, saling melepaskan budaya
masing-masing, termasuk dalam hal berbahasa. Quebec

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


136 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
sebagai wilayah yang lebih maju harus menerima kedatangan
warga urban penutur bahasa Inggris-Amerika, membuat
bahasa tuturan wilayah itu –terutama di perkotaan- menjadi
semakin majemuk dan tercampur aduk.
Mewarisi struktur politik dan pers yang sudah cukup
mapan, cendekia frankofon Kanada semakin menghidupkan
dialog dan pertukaran ide dalam bentuk kolom-kolom di
media massa. Jurnal-jurnal kian marak mewadahi aspirasi
warga, termasuk pada perdebatan antar warga frankofon
sendiri. Pada tahun 1947, muncul polemik yang dipicu oleh
tulisan Robert Charbonneau yang berjudul la France et Nous,
yang membelah publik menjadi dua kubu atas isu relasi
sastra frankofon Kanada dengan sastra Prancis. Sebagian
berpendapat bahwa Kanada mempunyai identitas dan jati
diri sendiri sebagai sebuah masyarakat, sementara sebagian
pihak lain menyebut bahwa sebetulnya, penulis-penulis
frankofon Kanada tak lebih dari sekadar perpanjangan sastra
Prancis belaka. Situasi ini juga turut marak memunculkan
penerbit-penerbit yang mengetengahkan buku-buku
perdebatan bahasa, sastra dan peneguhan identitas, seperti
Les Idées (1934) dari Éditions (penerbit) du Totem, La Nouvelle
Relève (1941) terbitan Éditions de l’Arbre, Amérique Française
(1944) terbitan Société des Éditions Pascal, dan Lectures
(1946) yang terbit di penerbit Fides.
Memasuki era pasca perang dunia, sejak dekade 60-an,
politik Kanada semakin meneguhkan pengaruh modernisme
terhadap perkembangan bahasa dan sastra. Pada era ini,
pemerintah Kanada secara penuh menerapkan sistem

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
137
sekuler modern dalam bidang pemerintahan, pendidikan
dan layanan masyarakat. Seiring dengan kekuasaan yang
dipegang golongan kanan, pemerintah hendak menegaskan
lagi identitas Kanada sebagai sebuah bangsa multi-ras, yang
di dalamnya termasuk masyarakat frankofon di provinsi
Quebec. Sistem pendidikan dasar dirombak ulang universitas
baru marak didirikan. Penggunaan bahasa Prancis secara
lebar diterapkan dalam ranah umum, termasuk semakin
banyak tokoh-tokoh frankofon yang memegang jabatan baik
dalam pemerintah pusat atau pun pemerintah provinsi.
Namun, di wilayah provinsi Quebec sendiri, perdebatan
tentang nasionalisme dalam bidang bahasa tak pernah
berhenti. Kaum liberal yang masih menerapkan sikap oposisi
terhadap pemerintah federal pusat, menginginkan penerapan
multi bahasa ke seantero negeri, sementara pendukung
haluan kanan merasa bahwa identitas bahasa Prancis–adalah
identitas daerah Quebec semata hingga pada akhirnya tak
ada lagi istilah sastra Prancis-Kanada, melainkan ialah sastra
Quebec. Perdebatan dalam pencarian identitas ini terus
berlangsung, seiring dengan isu-isu sosial dan perebutan
kekuasaan politis, mengikuti hendak ke mana tangan takdir
akan membawa nasib bangsa frankofon Kanada.

9. 5 Beberapa Penulis dan Karyanya


Berikut adalah beberapa tokoh dan karya penulis
frankofon Kanada yang memberi pengaruh besar terhadap
perkembangan kesusastraan pada masa tersebut.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


138 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Alain Grandbois (1900—1975) adalah seorang penulis
yang dianggap sebagai peletak dasar puisi Quebec modern.
Ia adalah keturunan dari keluarga yang sejak abad XVII sudah
menetap di Quebec. Seusai tamat sekolah hukum, berkat
harta keluarga yang berlimpah, dia memilih berkelana dari
tahun 1918 hingga tahun 1940, mengunjungi Prancis, Italia,
Maroko, Aljazair, Jerman, Uni Soviet, Tiongkok, Tibet dan neg-
ara-negara Afrika. Pada saat jauh dari Quebec itulah, dia me-
nerbitkan antologi puisi Poèmes (1934) tatkala dia berada di
Hankeou, wilayah Tiongkok dan novel berjudul Né à Québec...
Louis Jolliet yang terbit di Paris pada tahun yang sama. Dua
tulisan itu disusul dengan karya-karya berikutnya, yakni Les
Îles de la Nuit (1944), Rivages de l’Homme (1948), L’Étoile Pour-
pre (1957), yang mengisahkan tentang jarak yang merentang
antara dirinya dan tanah air, atau tentang kebebasan individu
yang dia rasa, sesekali juga disisipi perenungan dan imajinasi
yang tak bertepi, sebelum akhirnya dia harus berhenti ber-
tualang sebab kehabisan ongkos. Grandbois akrab dengan
metafora untuk mengungkapkan keakuannya atau pikiran
imajinatif yang tumbuh subur dalam angan-angannya.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
139
Bagi Grandbois, puisi adalah media untuk berdialog den-
gan diri sendiri atau dengan orang lain, yang memungkinkan
dirinya bermain dengan kata. Ia merasa bebas menandai se-
suatu dengan kata yang dia anggap layak, atau membangun
syair dalam puisi bak sebuah percakapan panjang, berhias
rima, lagi dramatis. Itulah mengapa, puisinya disebut sebagai
chant-lyrique atau poèsie-chant. Atas kerja dan karya-kary-
anya, namanya diabadikan sebagai penghargaan puisi Prix
Alain-Grandbois yang diselenggarakan tiap tahun oleh
Académie des Lettres du Québec. Hidup Grandbois sendi-
ri juga diisi kisah dramatis tatkala dia mesti menjual rumah
warisan keluarganya.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


140 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Paul-Marie Lapointe adalah seorang jurnalis yang
memiliki minat besar dalam perpuisian. Dia terlibat dalam
surat kabar L’Événement  dari tahun 1950 sampai dengan
1954, kemudian koran La Presse (1954—1960), dan Magazin
MacLean (1963—1968). Lapointe kemudian terjun dalam
bidang penyiaran Radio Kanada sejak 1969 sebagai kepala
program berita hingga menjadi wakil pemimpin umum
menjelang dia pensiun pada tahun 1991.
Dalam bidang puisi, dia menghasilkan sekumpulan puisi
surealis yang berjudul Le Vierge Incendié (1948), disusul karya-
karya berikutnya yakni Choix de Poèmes-Arbres (1960), Pour
les Âmes (1966), dan Le Réel Absolu (1971). Puisi-puisi Lepoint
kemudian dimuat ulang dalam berbagai judul dan penerbit,
termasuk diterjemahkan dalam bahasa Inggris yang berjudul
“Terror of The Snow oleh University of Pittsburgh” (1976). Atas
jerih payahnya dalam bidang jurnalisme dan puisi berbahasa
Prancis, ia dihanjar penghargaan Grand prix international
de poésie de langue française Léopold-Sédar-Senghor pada
tahun 1998 dan gelar doktor honoris causa dari Université de
Montréal pada tahun 2001. Lapoint wafat pada tahun 2011
dalam usia 81 tahun.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
141
Gérard Bessette (1920—2005) dikenal sebagai seorang
akademisi dan kritikus sastra. Ia adalah doktor ilmu susastra
dari Université de Montréal dengan disertasi berjudul Images
in French-Canadian poetry. Sebab secara terbuka mengaku
sebagai ateis, ia tak mampu menemukan posisi sebagai
akademisi di Quebec, tetapi diterima dengan baik di jurusan
studi Prancis pada Universités de Saskatchewan (1946), juga
di Univeristy of Pittsburgh (1952), dan di University Queen’s
of Kingston (1960). Terpengaruh teori psikoanalisis buah
pikiran Charles Mauron, dia meneliti puisi-puisi Kanada
berbahasa Prancis karya Anne Hébert, Yves Thériault, dan
penyair lain sebagai objek penelitian doktoralnya. Karya
puisinya sendiri adalah Le Coureur et autres poèmes (1947) dan
Poèmes temporels (1954). Sementara sebagai seorang novelis,
Bessette mahir mengolah narasi sebagai sarana bersuara
kritis.
Novelnya yang berjudul L’Incubation  (1965) dan Le
Cycle (1971) memenangi Governor General’s Literary Award for
French Fiction. Sementara pada akhirnya, di Quebec sendiri,

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


142 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
ia menerima anugerah sastra tertinggi Prix Athanase-David,
pada tahun 1980. Karya-karya Bessettes kental mengangkat
tema sekularisasi dan protes atas pengaruh gereja Katolik.
Tema ini seirama dengan apa yang diperjuangkan Revolusi
Senyap pada tahun 60-an yang menginginkan reformasi
menyeluruh terhadap tata kelola pemerintahan di Quebec.
Di periode awal kerja penulisannya, Bessette kerap memakai
gaya realis, sementara belakangan ia juga melakukan
eksplorasi atas aliran-aliran baru yang cenderung bersifat
eksperimental. Karyanya yang lain adalah Le Libraire  (1960)
yang berkisah tentang kehidupan seorang karyawan usaha
penerbit yang ia tulis dalam gaya realis, kemudian Les Dires
d’Omer Marin (1985), La Bagarre (1958), Les Pédagogue (1961),
dan seri ulasan sastra berjudul Histoire de la Littérature
Canadienne-française (1968).

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
143
Marie-Claire Blais (1939—2021) adalah tokoh
perempuan penulis yang mengangkat tema-tema feminisme
dan resistensinya terhadap kultur patriarki. Berasal dari
keluarga pekerja di Quebec yang sederhana, Blais mendapati
kenyataan dirinya sendiri sebagai kelas marginal sekaligus
sebagai seorang perempuan. Sejak remaja ia telah ikut
bekerja di pabrik. Sekolahnya sempat terhenti akibat
pekerjaan itu, sebelum akhirnya ia bisa mengenyam bangku
kuliah di Université Laval serta menekuni dunia penulis dan
intelektual. Karier Blais membentang selama hampir enam
dekade, menghasilkan novel, puisi, esai seni dan sastra,
termasuk skenario film. Dimulai dari novel La Belle Bête yang
ia tulis di tahun 1959, kemudian sepuluh volume roman
berjudul Soifs dan Une Réunion Près de la Mer yang masing-
masing Ia tulis dalam rentang tahun 1995 sampai 2018,
hingga dua cerita Petites Cendres ou la Capture dan Un Cœur
Habité de Mille Voix yang terbit di tahun 2020 dan 2021, Blaise
telah mengabdikan sepanjang hayatnya untuk kesusastraan
frankofon Kanada.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


144 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Blais muda memperoleh semangat dan dukungan untuk
menulis dari dua tokoh akademisi Kanada, yakni Jeanne
Lapointe dan pastur sekaligus sosiolog Georges-Henri
Lévesque, para pengajar di Université Laval. Setelah La Belle
Bête (1959) terbit, Blais menghasilkan Tête Blanche (1960), Le
Jour est Noir (1962) serta dua kumpulan sajak Pays Voilés (1963)
dan Existence (1964). Tokoh utama yang diangkat oleh Blais
memiliki karakter penyendiri, atau menderita, terpinggirkan
dan kehilangan peluang serta kesempatan untuk keluar dari
situasi hidup susah. Kondisi-kondisi buruk yang ia gambarkan
adalah apa yang telah dialaminya sendiri yang juga dialami
oleh banyak orang lain di sekitarnya.
Blais mengobarkan perlawanan atas situasi itu. Sementara
puisi-puisinya lebih cenderung berbentuk naratif yang
diperindah dengan nada dan rima, sesekali terasa sublimasi,
menyedihkan, dan tak jarang bernada mencemooh dan
mengejek keadaan dengan lelucon dan sindiran. Meski dekat
dengan kalangan agamawan, Blais tidak segan mengangkat
tema biarawati yang justru tidak taat atau penyalahgunaan
wewenang oleh pastor, di samping tema anak muda yang
badung, wabah ganas mematikan, kiamat akibat senjata
nuklir, dan supremasi kulit putih. Blais juga dikenal dengan
eksperimen tulisannya yang tidak mengenal bab, bahkan
tanpa jeda paragraf sama sekali. Pembaca dipaksa untuk
selalu mengikuti dan memusatkan perhatian pada cerita,
sebab bila lengah, maka ia akan tersesat di tengah bacaannya
tanpa bisa merunut kembali dari mana awalnya. Eksperimen
seperti itu disebut stream of consciousness.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
145
Selain melalui tulisan, Blais juga menulis skenario film –
atau novel karangannya yang lantas difilmkan. Di antaranya
ialah Une Saison dans la Vie d’Emmanuel (1973) disutradarai
oleh Claude Weisz yang kemudian memenangkan Prix
de la Quinzaine des jeunes réalisateurs pada Festival Film
Cannes, kemudian Le Sourd dans la Ville (1987) disutradarai
oleh Mireille Dansereau dan memperoleh penghargaan di
Venice Film Festival, serta L’Océan (1971) bersama sutradara
Jean Feuchère. Ini menambah panjang karyanya yang
dialihwahanakan, mengikuti novel pertamanya La Belle Bête
yang turut diangkat dalam drama balet dan dipentaskan di
National Ballet of Canada pada tahun 1977. Sebagai penanda
atas keberhasilan karya pertama yang diterima baik oleh
khalayak, sejak 2005, ada sebuah anugerah penghargaan
bagi novelis dan karya pertamanya mengadopsi nama Prix
littéraire Québec-France Marie-Claire-Blais.
Atas kerja masif itu, Blais sendiri diganjar berbagai macam
penghargaan, di antaranya Prix France-Canada (1965), Prix
Médicis (1966), Prix Athanase-David (1982) dan Governor
General’s Literary Award  yang dia raih, bahkan sampai
empat kali. Menjalani masa muda dan pengembangan diri di
Quebec tanah kelahirannya, Marie-Claire Blais sempat tinggal
beberapa tahun di Prancis dan di Inggris, sebelum kemudian
menetap di Florida, Amerika Serikat sampai tutup usia. Ia
wafat baru-baru ini, pada November 2021, meninggalkan
warisan berupa begitu banyak sastra dan literatur frankofon
Kanada.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


146 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Gabrielle Carbotte (1909—1983), atau lebih dikenal
sebagai Gabrielle Roy, mengawali karier kepenulisan
sebagai wartawan, setelah sebelumnya bekerja sebagai
guru. Nama Roy melambung berkat novelnya yang
berjudul Bonheur d’occasion  (1945) yang menceritakan
tentang kehidupan kelas pekerja yang sering didera
kemiskinan. Novel itu meraih sukses baik di Kanada sendiri,
juga kemudian diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan
terbit di New York (1947) kemudian difilmkan. Di tahun yang
sama novel itu terbit di Paris dan menjadi novel Kanada
pertama yang meraih penghargaan Prix Femina.
Roy berasal dari keluarga berkecukupan di Quebec.
Semasa sekolah, Ia termasuk siswi yang pintar. Pekerjaan
Ayahnya membuat keluarganya pindah ke Manitoba. Meski
tetap tinggal-tinggal dan sekolah di lingkungan frankofon,
Roy juga memperoleh pelajaran bahasa Inggris yang sama
intensif dengan bahas Prancis. Roy tetap menjadi murid

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
147
yang unggul hingga memperoleh penghargaan dari
sociation d’Éducation des Canadiens Français du  Manitoba,
perkumpulan guru sekolah frankofon di provinsi itu. Roy
kemudian melanjutkan sekolah tinggi dan mengambil
sertifikat menjadi guru. Pekerjaan itu ia cintai dan tekuni
cukup lama, dan membuatnya cukup mempunyai tabungan
untuk mengejar ambisinya belajar di Eropa. Di usia 28 tahun,
Roy melawat ke Prancis dan Inggris untuk belajar seni, sastra
dan drama.
Sepulang dari Eropa (1937—1938), Roy memperoleh
pekerjaan baru sebagai jurnalis. Ia mengisi kolom bertema
perempuan pada koran mingguan Montréal, Le Jour. Ia juga
menulis cerita pendek La Revue moderne dalam rubrik sastra.
Sepanjang tahun 1941 hingga 1945, Ia menghasilkan cukup
banyak artikel, di antaranya adalah Tout Montréal (1941)
yang terdiri dari empat artikel mengenai potret kehidupan
berbagai kota di Kanada memasuki era modern, kemudian Ici
l’Abitibi (1941—1942) terdiri dari tujuh artikel, juga mengenai
perjalanannya ke wilayah Abitibi di barat laut Quebec. Artikel
dengan tema serupa berjudul Peuples du Canada (1942—
1943), terdiri dari tujuh artikel bercerita tentang kelompok-
kelompok kecil warga yang mendiami pedalaman Kanada,
serta Horizons du Québec (1944—1945) juga dalam tema
yang sama.
Selain menulis esai, Roy juga menulis fiksi yang pada
akhirnya membuat namanya terkenal, meraih banyak
penghargaan dan materi. Setelah Bonheur d’Occasion
meledak di pasaran, Ia menghasilkan La Petite Poule d’Eau

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


148 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
(1950) yang juga mengikuti kesuksesan sebelumnya. Kritikus
sastra meletakkan Roy sebagai perempuan penulis yang mahir
menyematkan budaya dan kehidupan orang-orang Kanada
dalam karya fiksi. Novel Alexandre Chenevert, Caissier  (1954)
bercerita tentang seorang pegawai rendah di sebuah bank
berikut dinamika kehidupan orang-orang seperti dia. Rue
Deschambault  (1955) adalah citra diri Roy sendiri disertai
narasi fiksional dan ideal hasil rekaannya, dibalut kehidupan
pinggiran kota di wilayah Manitoba yang justru malah dia
terbitkan di Paris. Sementara kisah serupa yang Ia terbitkan
di Kanada adalah  La Route d’Altamont  (1966). Roy juga
mengabadikan profesinya sebagai pengajar dalam novel Ces
Enfants de Ma Vie  (1977). La Rivière Sans Repos  (1970)
terbit di Montréal berkisah tentang kehidupan suku Inuit
menghadapi desakan pemikiran dan kehidupan modern.
Cet Été qui Chantait (1972) adalah cerita yang terinspirasi dari
kunjungannya atas Charlevoix yang membuat Roy terpesona
pada lanskap daerah itu. Selanjutnya, Roy menulis Un Jardin
au Bout du Monde (1975) yang berkisah tentang kehidupan
para imigran dari berbagai etnis dan negara yang banyak
menghuni wilayah barat Kanada demi mengadu nasib.
Dalam kehidupan yang benar-benar telah matang, Roy
menulis kembali sebuah  autobiografi. Seperti menyadari
bahwa usianya mungkin tak bakal terlalu lama lagi, Ia fokus
menggambarkan kisah hidupnya semenjak kecil di Quebec,
lalu remaja di Manitoba, kemudian perjalanannya di Eropa ke
dalam cerita yang sayangnya, baru bisa diterbitkan setelah Ia
wafat, yakni La Détresse et l’Enchantement (1984) dan Le Temps
qui M’a Manqué in (1997).

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
149
Berkat kerja panjangnya dalam bidang sastra dan budaya
itu, Roy memperoleh penghargaan Governor General’s Award
selama tiga kali, yakni di tahun 1947, 1957, dan 1978. Ia juga
menerima Prix Duvernay dari Société Saint-Jean-Baptiste
de Montréal (1956), the Prix David dari pemerintah provinsi
Quebec (1971), the Molson Prize of the Canada Council for the
Arts (1978), dan diplôme d’honneur dari Canadian Conference
of the Arts (1980). Roy dianugerahi doktor honoris causa dari
Université Laval pada tahun 1968 dan bintang penghargaan
Order of Canada di tahun 1967.
Gabrielle Roy menikah dengan seorang pakar
ginekologi, Marcel Carbotte, tetapi pasangan ini sendiri tak
memiliki keturunan. Roy wafat pada tahun 1983 di provinsi
kelahirannya, Quebec, pada tahun 1983.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


150 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Selain tentu saja diisi oleh penulis keturunan Prancis,
kesusastraan frankofon Kanada juga diperkaya oleh para
imigran dari kebudayaan lain yang kemudian mendedikasikan
kepenulisannya dalam bahasa Prancis. Salah satunya adalah
Ying Chen, yang datang ke Kanada pada tahun 1989. Ia
lahir di Shanghai pada tahun 1961, kemudian tinggal di
Montréal sebelum akhirnya menetap di Vancouver hingga
sekarang. Chen belajar bahasa dan sastra Prancis di Fudan
University, kemudian bekerja di bidang penerjemahan
sebelum pindah ke Kanada. Novel-novelnya–sudah bisa
ditebak–membuat pembacanya akrab dengan budaya cina
dan perkembangannya di negara barunya ini.
Novel-novel Chen antara lain ialah La Mémoire de l’Eau dan
Les lettres Chinoises. Karya berikutnya ialah L’ingratitude yang
meraih penghargaan Prix Québec-Paris, kemudian
Immobile  yang meraih anugerah Prix Alfred-DesRochers.
Daftar karya berikutnya adalah Le Champ dans la Mer, Querelle
d’un Squelette Avec son Double, Le Mangeur, Un Enfant à Ma

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
151
Porte, Espèces dan La Rive est Loin. Chen juga menulis dua
buku esai yakni Quatre mille marches dan La Lenteur des
montagnes. Sejak kecil, Chen selalu teringat dengan ucapan
seorang gurunya yang mengatakan bahwa ‘sesuatu yang
paling indah justru adalah yang paling sederhana’. Oleh
karena itu, Chen menerapkan prinsip ini sebagai gaya menulis
karya, yang ia narasikan secara simpel dan ringkas, jauh dari
kesan berbunga-bunga atau pun bertele-tele, tetapi tetap
menghasilkan impresi yang dalam benak pembacanya. Hal
unik lainnya adalah, Chen kerap menerjemahkan karyanya
sendiri dari bahas Prancis menuju bahasa Inggris serta
Mandarin.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


152 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Marco Micone lahir di Montelongo, Italia pada tahun
1945. Ia memfokuskan kerja sastranya dalam skenario
drama. Meski pernah ditolak masuk di sekolah Prancis sebab
bahasa ibunya adalah Italia, Micone akhirnya mampu meraih
magister bidang sastra Prancis dari McGill University di
Montreal. Selain dramawan dan penerjemah, Ia kini adalah
pengajar sastra Italia di Vanier College, juga di Montreal.
Pada usia 13 tahun, Micone menyeberang ke Kanada
demi bergabung dengan ayahnya yang adalah seorang
pekerja pabrik. Terpengaruh peristiwa itu, tema-tema
karyanya berkisar tentang kesulitan yang dihadapi imigran
dalam mengadu untung dan menjalani hidup di negara
baru ini–salah satunya adalah kisah bocah yang mencari
bapaknya. Dalam arti lain, Ia juga sedang memperjuangkan
identitasnya sendiri sebagai orang asing. Micone terkenal
dengan ungkapannya bahwa seseorang tidak otomatis
menjadi orang Quebec hanya karena lahir di sana, tetapi
perlu berusaha menjadi orang Quebec.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
153
Di antara karya maupun terjemahannya adalah drama Six
Personnages en Quête d’Auteur  (1993), La Locandiera  (1994)
dan sebuah adaptasi atas karya Shakespeare, yakni La Mégère
Apprivoisée 1995) dan sebuah lakon karya Carlo Gozzi yang ia
gubah menjadi L’Oiseau Vert (1998).

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


154 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Naïm Kattan lahir pada tahun 1928 di Bagdad lalu
pindah ke Prancis untuk melanjutkan studi di Sorbonne
pada tahun 1947 di bidang sastra, untuk kemudian menetap
di Kanada pada tahun 1954. Sebagai seorang berdarah
Yahudi, Kattan adalah orang dengan paduan latar budaya
yang sangat unik, yakni Yahudi, Arab, Eropa, dan Kanada-
Amerika. Semenjak tahun 1967, Kattan menetap di Ontario
sebagai seorang novelis, anggota Dewan Seni dan Budaya
serta akademisi di Université de Québec à Montréal. Tak
bisa dibayangkan bagaimana kesulitan yang ia hadapi demi
menetapkan jati dirinya di antara bermacam silang budaya
tersebut.
Jadi tak aneh bila karya-karyanya bertema seputar
percampuran sudut pandang dari berbagai perspektif
budaya. Tokoh yang dia angkat sering kali adalah seorang
petualang yang tengah mencari identitasnya, misalnya dalam
Adieu Babylone (1975), La Fiancée Promise (1983), Le Repos

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
155
et l’Oubli (1987), dan La Fortune du Passager (1989). Selain
itu, tema-tema berkenaan dengan budaya Yahudi, pelarian
dan pengasingan, tak bisa lepas dari tulisannya. Ia tertarik
pada proses integrasi dan evolusi yang membentuk budaya
Kanada modern, sekaligus mencitrakan bagaimana bentuk
nasionalisme serta kaitannya dengan perpaduan budaya
yang menyertainya.
Daftar karya-karya Kattan antara lain ialah 1975: Adieu,
Babylone: Catatan sebagai seorang Yahudi di tanah Arab
(Irak), 1977: Les Fruits arrachés, 1983: La Fiancée promise, 1989:
La Fortune du passager, 1990: Le Père, 1991: Farida, 1997: La
Célébration,1999: L’Amour reconnu, 1999: Le Silence des adieux,
2000: L’Anniversaire, 2003: Le Gardien de mon frère, 2005: Je
regarde les femmes, 2006: Châteaux en Espagne, 2009: Le
Veilleur, 2011: Le long retour.
Sebagai bentuk penghargaan atas dedikasi tersebut,
seorang sutradara ternama Kanada bernama Joe Balass
memproduksi sebuah film dokumenter berjudul La
longueur de l’alphabet avec Naïm Kattan. Selain itu, deretan
penghargaan yang pernah Ia raih adalah Order of Canada
(1983), Knight of the National Order of Quebec (1990),
Chevalier of the Légion d’honneur (2002) atas pengabdiannya
yang luar biasa panjang di bidang sastra frankofon Kanada di
kancah internasional, Prix Athanase-David (2004) dan gelar
doktor honoris causa dari Concordia University in Montreal
pada tahun 2006. Barangkali karena tempaan hidup yang
sedemikian rupa, Naïm Kattan mampu hidup sangat panjang.
Ia wafat belum lama berselang, pada 2 Juli 2021 di Paris,
dalam usia 92 tahun.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


156 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
DAFTAR PUSTAKA

Ahnouch, Fatima. 2015. Littérature Francophone du Maghreb.


Paris: Editions L’Harmattan
Allard, Jacques. 2000. Le Roman du Québec. Montréal: Québec
Amérique
Arnaud, Jacqueline. 1982. Recherches Sur la Littérature
Maghrébine de Langue Française. Paris: L’Harmattan.
Bonn, Charles. dkk (ed). 1996. Littérature Maghrébine
D’expression Française. Paris: Univ. Francophone-Edicef
Bouveresse, Jacques. 2008 La connaissance de l’écrivain: Sur la
littérature, la vérité et la vie. Paris: Agone
Corcoran, Patrick. 2007. The Cambridge Introduction to
Francophone Literature. Cambridge: Cambridge University
Press
Coward, David. 2004. A History of French Literature From
Chanson de geste to Cinema. Oxford: Blackwell Publishing
Dabla, Séwanou. 1986. Nouvelles Écritures Africaines:
Romancier de la Deuxième Génération. Paris: L’Harmattan
Dejeux, Jean. 1992. Littérature Maghrébine d’Expression
Française. Paris: PUF.
Demougin, Jacques. 1987. Dictionnaire de la littérature
française et francophone. Paris: Larousse

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
157
Diene, Mbissane dan Abdou Karim Diallo (direction).
1990. La Littérature Francophone Produite En Afrique
de l’Ouest: Structures de Referage, de Production et de
Distribution/Skripsi. Lyon: Ecole Nationale Superieure de
Bibliothecaires.
Garnier, Xavier. 2013 Littérature et histoire en Afrique:
déjouer le piège impérial dalam Fabula / Les colloques,
Littérature et histoire en débats, URL http://www.fabula.
org/colloques/document2083.php
Gasquy-Resch, Yanick. 1994. Littérature du Québec, Vanves,
EDICEF
Harari, Y N. 2015. Sapiens, Une Brève Histoire de l’Humanité.
Paris: Éditions Albin Michel.
Julaud, Jean Joseph. 2005. La Littérature française pour les
Nuls. Paris: Éditions First
Mailhot, Laurent. 1997. La Littérature québécoise, Montréal,
Typo
Noiray, Jacques. 1996. Littératures Francophones I: Le Maghreb,
Paris, Belin
Nony, Danièle and Alain André. 1987. Littérature Française:
Histoire et anthologie. Paris: Hatier.
Pageaux, D H. 1994. Littérature Générale et Comparée. Paris:
Éditions Armand Colin.
Ploquin, Françoise et. al. 2000. Littérature française: Les textes
essentiels. Paris: Hachette

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


158 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
INDEX

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
159
SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:
160 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:
KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
161
BIOGRAFI PENULIS

Dr. Mohamad Syaefudin


Dr. Mohamad Syaefudin lahir
di Pemalang, 7 Oktober 1978.
Doktor Pendidikan Bahasa dari
Universitas Negeri Jakarta tahun
2019 ini menjabat Koordinator
Program Studi Pendidikan
Bahasa Perancis UNNES. Menjadi
dosen sejak 2005 ini ia mengajar pada Mata Kuliah Pokok
Sosiolinguistik, Kesusastraan Prancis dan Frankofon,
Sejarah Kebudayaan Perancis. Buku yang pernah ditulis
yakni Strategi Pembelajaran Bahasa Perancis: Terjemahan
(2014), Teori Pembelajaran Bahasa: Suatu Catatan
Singkat (2015), Tentang Sastra: Orkestrasi Teori dan
Pembelajarannya (2018) dan Nilai Kebahagiaan dalam

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
163
Karya Novel Prancis (2019) dan Sejarah Prancis: Pergulatan
Peradaban Benua Biru. (2020). Alamat surel yang dapat
dihubungi m_syaefudin@mail.unnes.ac.id dan Telp.
0856-4069-5567.

Suluh Edhi Wibowo, SS. M.Hum.


Suluh Edhi Wibowo, SS.
M.Hum., lahir di Sukoharjo,
Jawa Tengah, pada tanggal 27
September 1974. Ia menjadi
dosen tetap di Program Studi
Sastra Prancis, Universitas
Negeri Semarang, sejak 1999.
dengan konsentrasi pengajaran pada bidang
keterampilan berbicara bahasa Prancis, Sejarah Prancis,
Kesusastraan Prancis, dan budaya Prancis. Lulus sebagai
sarjana Sastra Prancis dari Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta (1998), dan Magister Ilmu Susastra Universitas
Diponegoro (2010). Penelitian yang dilakukan antara
lain “Konservasi Nilai-nilai Budaya dan Sejarah pada
Lambang-Lambang Wilayah di Prancis: Analisis Makna
Simbolis Dari Perspektif Semiotika Charles Sanders Peirce”
(2017); “Manifestasi Nilai Sosial-Budaya dalam Cerpen « La
Mule Du Pape » (Bagal Sri Paus) Karya Alphonse Daudet:
Sebuah Studi dari Perspektif Antropologi Sastra” (2018).
Buku terakhir yang dihasilkan Yunani Kuno: Realitas
Historis dan Mitologis (2015).

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


164 KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
Yogas Ardiansyah, S.Pd., M.Hum.
Yogas Ardiansyah, S.Pd.,
M.Hum. menyelesaikan S-1
pada Prodi Pendidikan Bahasa
Prancis Universitas Negeri
Semarang dan S-2 pada Magister
Ilmu Susastra Universitas
Diponegoro. Mengajar Mata
Kuliah Littérature française et
francophone dan Traduction di Prodi Pendidikan Bahasa
Prancis UNNES. Menerjemahkan L’Île des Pengouins karya
Anatole France menjadi Hikayat Penguin (novel, 2020), Le
Vin de Solitude karya Irène Nemirovsky menjadi Anggur
Kesendirian (novel, 2021), Voyage de Paris à Java dan Une
Drame Au Bord de la Mer karya Honoré de Balzac menjadi
Kembara Dari Paris Ke Jawa dan Drama di Tepi Pantai
(Novela, 2021). Terlibat dalam penerjemahan cerita anak
bahasa Prancis ke dalam bahasa Indonesia yang diinisiasi
oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa tahun
2021. Anggota Penuh Himpunan Penerjemah Indonesia.
Menetap di Kudus dan berkorespondensi melalui email
yogas.ardiansyah@gmail.com.

SASTRA PERANCIS DAN FRANKOFON:


KONSEP DASAR, TOKOH, DAN KARYA
165

Anda mungkin juga menyukai