LANDASAN TEORI
12
menentukan apa yang benar-benar dibutuhkan dalam
menyusun sebuah program BK.
Terdapat empat hal penting yang harus diperhatikan
dalam melakukan perencanaan program BK. Pertama,
mengumpulkan informasi mengenai siswa dan komunitas.
Kedua, mengidentifikasi keberadaan dan penggunaan
sumber yang ada. Ketiga, mempelajari penyampaian
program BK yang ada. Keempat, mengumpulkan persepsi
mengenai program (Gysbers & Henderson, 2006).
2.1.1 Mengumpulkan informasi mengenai siswa
dan komunitas
Informasi mengenai siswa berupa apa yang
mereka ketahui, mereka pelajari, dan mereka
butuhkan. Informasi komunitas yang dimaksud
adalah konteks dimana siswa tinggal seperti
etnisitas, bahasa, status sosio-ekonomi, dan latar
belakang keluarga. Informasi siswa dan komunitas
penting untuk menentukan tujuan layanan BK. Ini
merupakan langkah awal dalam menyusun program
BK. Kebutuhan siswa dalam program BK adalah
pencapaian tugas perkembangan dan pemberian
bantuan terhadap masalah siswa (Badrujaman,
2011). Tugas perkembangan siswa berhubungan
dengan pemenuhan kebutuhan psikologi dan sosial
siswa.
Pada usia siswa SLTA, sekitar 16-18 tahun,
tergolong sebagai remaja akhir (Berk, 2012) sehingga
tugas perkembangan siswa SLTA berhubungan erat
dengan permasalahan yang dihadapi remaja pada
13
umumnya. Salah satu contoh tugas perkembangan
pada periode usia ini adalah menerima keadaan fisik
sendiri. Setiap individu pada periode usia ini harus
belajar untuk melaksanakan tugas perkembangan
tersebut. Misalnya anak remaja dengan tubuh
pendek, ia harus belajar untuk menerima keadaaan
fisik tersebut. Jika ia tidak mampu atau gagal, ia
akan merasa tidak bahagia.
14
Pendidikan dan Kebudayaan dan Kepala Badan
Administrasi Kepegawaian Negara No.
04331/P/1993 dan No. 25/1993,
perbandingan konselor sekolah dan jumlah
siswa di setiap sekolah adalah 1:150 atau tidak
lebih dari 250 tiap tahun. Hasil penelitian di
SLTA di Missouri menunjukkan bahwa rasio
guru BK : siswa yang memadai menghasilkan
lulusan yang lebih baik dan menurunkan
pelanggaran kedisiplinan di kalangan siswa
(Lapan et al, 2012 ).
Seorang guru BK juga harus memenuhi
empat standar kompetensi, yaitu kompetensi
pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
Dalam kompetensi pedagogik, guru BK harus
(1) Menguasai teori dan praksis pendidikan, (2)
Mengaplikasikan perkembangan fisiologis dan
psikologis serta perilaku konseli, dan (3)
Menguasai esensi pelayanan bimbingan dan
konseling dalam jalur, jenis, dan jenjang
satuan pendidikan. Dalam kompetensi
kepribadian, guru BK harus mampu (1)
Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, (2) Menghargai dan menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas
dan kebebasan memilih, (3) Menunjukkan
integritasdan stabilitas kepribadian yang kuat,
dan (4) Menampilkan kinerja berkualitas tinggi.
15
Dalam kompetensi sosial, seorang guru
BK dharapkan mampu (1)
Mengimplementasikan kolaborasi intern di
tempat bekerja, (2) Berperan dalam organisasi
dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling,
dan (3) Mengimplementasikan kolaborasi
antarprofesi. Sejalan dengan pemikiran
Gysbers & Henderson (2006) bahwa seorang
guru BK haruslah seorang yang profesional
dan bersertifikat, kompetensi profesional
memberikan tuntutan yang paling banyak
dibanding dengan tiga kompetensi lainnya.
Guru BK harus mampu (1) Menguasai konsep
dan praksis asesmen untuk memahami
kondisi, kebutuhan, dan masalah konseli, (2)
Menguasai kerangka teoretik dan praksis
bimbingan dan konseling, (3) Merancang
program Bimbingan dan Konseling, (4)
Mengimplementasikan program Bimbingan
dan Konseling yang komprehensif, (5) Menilai
proses dan hasil kegiatan Bimbingan dan
Konseling, (6) Memiliki kesadaran dan
komitmen terhadap etika profesional, dan (7)
Menguasai konsep dan praksis penelitian
dalam bimbingan dan konseling.
Pada kenyataan di lapangan, kompetensi
profesional ini menjadi hambatan terbesar
dalam melaksanakan program BK sekolah
(Winkel & Hastuti, 2004). Guru BK lebih
16
sering dianggap sebagai polisi sekolah
dibandingkan sebagai pembimbing karena
lebih sering bersikap pasif dengan hanya
menunggu siswa datang atau staf lain
memberikan tugas.
b. Keuangan
Pada praktiknya, anggaran untuk
program BK masih minim padahal sumber
keuangan ini akan memperlancar pelaksanaan
program. Kebanyakan konselor tidak memiliki
anggaran yang baik untuk program BK
(Schimdt dalam Badrujaman, 2011). Salah
satu alasan tidak terlaksananya evaluasi
program adalah karena terkendala anggaran
yang tidak mencukupi (Shertzer & Stone,
1981).
Kategori sumber keuangan meliputi
anggaran, material, perlengkapan, dan
fasilitas. Anggaran keuangan digunakan
antara lain untuk penyediaan media
bimbingan, seperti CD, buku, film, dan
penyediaan tes standar. Jika media tidak
dapat tersedia akibatnya kegiatan bimbingan
tidak akan bervariasi, guru BK akan lebih
banyak melakukan ceramah dibanding
kegiatan-kegiatan yang lebih mendukung
lainnya. Kegiatan evaluasi yang tertunda atau
bahkan tidak terlaksana akan mengakibatkan
minimnya perbaikan dalam program. Strategi
17
yang sudah dipersiapkan tidak akan
terlaksana tanpa adanya dukungan anggaran
keuangan.
c. Politik
Sumber politik yang dimaksud meliputi
kebijakan dari dinas pendidikan lokal dan
nasional, sekolah, dan standar dari asosiasi
BK. Contohnya adalah dukungan berupa
pemberian jam bimbingan klasikal terjadwal
dan pemberian ijin melakukan kegiatan
bimbingan dari kepala sekolah atau
diterbitkannya peraturan dari dinas
pendidikan atau menteri mengenai
pelaksanaan BK di sekolah.
Sebaiknya waktu yang disediakan bagi
konselor adalah delapan jam perhari. Waktu
tersebut dimaksudkan agar konselor bisa
menyediakan waktu sesudah jam pelajaran
sekolah usai. Kegiatan bimbingan dapat
dilakukan di dalam atau di luar jam pelajaran
tetapi kegiatan di luar jam pelajaran sebanyak-
banyaknya 50% dari keseluruhan kegiatan
bimbingan. Artinya, kegiatan bimbingan harus
lebih banyak dilakukan di dalam jam pelajaran
sekolah.
Dalam Buku Petunjuk Pelaksanaan
Bimbingan dan Konseling SMP dan SMA,
menyebutkan jam kerja guru BK adalah 18 jam
seminggu dengan rincian 12 jam untuk
18
kegiatan pendukung dan 6 jam untuk kegiatan
evaluasi.
19
program BK. Persepsi mereka bisa diperoleh melalui
wawancara atau menyebarkan kuesioner.
20
program dapat terdeteksi, program akan bisa
dikembangkan. Perbaikan dan pengembangan program
akan meningkatkan kepercayaan stakeholder. Program
yang akuntabel dapat memberikan informasi yang
memadai mengapa sebuah program dapat atau tidak dapat
dilaksanakan. Informasi akurat tersebut hanya bisa
disampaikan jika ada pelaksanaan evaluasi.
Berdasarkan pandangan mengenai evaluasi program
dan perencanaan program BK, maka evaluasi perencanaan
program BK dapat disimpulkan sebagai sebuah kegiatan
mengumpulkan dan menganalisis data mengenai
gambaran yang konkret dan detail tentang program BK
yang ada sehingga informasi yang diperoleh dapat
digunakan untuk membuat keputusan. Sebelum
perencanaan program BK dilaksanakan, harus ada
keterlibatan pihak lain selain guru BK yang memberikan
penilaian, seperti kepala sekolah, guru dan staf.
Keterlibatan ini akan menjadikan program BK sebagai
program yang familiar dan tidak hanya menjadi milik staf
BK karena pada pelaksanaannya, program BK akan
melibatkan semua warga sekolah (Gysbers & Henderson,
2006).
21
mendampingi/membimbing perkembangan akademis,
karier, personal, dan sosial siswa. Untuk dapat
melaksanakan program BK dengan baik maka keterlibatan
seluruh warga sekolah sangat diperlukan. Guru BK tidak
bekerja sendiri dalam merencanakan dan melaksanakan
program BK, mereka bekerja sama dengan guru BK yang
lain, seluruh staf sekolah, orang tua, dan bahkan anggota
masyarakat.
Program BK Komprehensif memiliki empat elemen,
seperti yang tergambar di bawah ini:
Gambar 2.1
Elemen Program BK Komprehensif
22
seharusnya siswa kembangkan, dan sikap apa yang
seharusnya terbentuk pada diri siswa setelah
berpartisipasi dalam keseluruhan program BK. standar
dan kompetensi siswa harus meliputi bidang akademik,
karier, pribadi, dan sosial siswa.
Elemen kedua adalah kerangka organisasi: struktur,
kegiatan, dan waktu. Komponen struktural meliputi
definisi, asumsi, dan rasionalisasi. Definisi yang dimaksud
adalah definisi tentang program BK menurut
daerah/sekolah tertentu. Program BK antara satu sekolah
dengan sekolah yang lain berbeda, untuk itu tiap
sekolah/daerah seharusnya memiliki definisi tersendiri
mengenai program mereka masing-masing. Asumsi
merupakan pernyataan-pernyataan mengenai kondisi
tertentu dari siswa, staf, dan program terkini. Contoh
asumsi mengenai siswa adalah bahwa setiap siswa di
sekolah kami memiliki akses yang merata terhadap
program BK; asumsi mengenai staf adalah guru BK yang
profesional sangat penting bagi sekolah; dan asumsi
mengenai program adalah tujuan penting dari program BK
adalah untuk membantu siswa sukses dalam bidang
akademis. Rasionalisasi fokus pada alasan-alasan
mengapa siswa perlu memperoleh kompetensi BK dan
memiliki akses terhadap bimbingan yang disediakan dari
program.
Komponen program terdiri dari empat hal, yaitu
layanan dasar, perencanaan individu, layanan responsif,
dan dukungan sistem. Layanan Dasar terdiri dari
kompetensi siswa yang ditetapkan sesuai dengan
23
kebutuhan siswa dan kegiatan yang terstruktur yang dapat
dilaksanakan di dalam kelas ataupun di lingkungan
sekolah (di luar kelas). Perencanaan Individual
menyediakan kegiatan dan layanan BK untuk membimbing
semua siswa dalam merencanakan, memonitor, dan
mengelola perkembangan akademik, karier, personal, dan
sosial siswa. Perencanaan Individual diimplementasikan
melalui strategi penilaian individual, konseling individual,
perencanaan peralihan, dan tindak lanjut.
Layanan Responsif bertujuan untuk bekerja sama
dengan siswa yang permasalahan pribadinya mengancam
perkembangan pendidikan, karier, personal, dan pribadi
mereka. Permasalahan pribadi yang dimaksud misalnya
kekerasan dalam rumah tangga, kemungkinan drop-out,
tertekan, penggunaan zat-zat berbahaya, dan lain-lain.
Ada empat strategi dalam pelaksanaan layanan responsif,
yaitu konseling individu, konseling kelompok kecil,
konsultasi, dan referral. Referral merupakan kegiatan alih
tangan dari guru BK kepada pihak-pihak yang lebih ahli
jika permasalahan siswa dianggap membutuhkan layanan
yang lebih. Dukungan Sistem terdiri dari kegiatan
manajemen yang membangun, merawat, dan
mengembangkan program BK. Kegiatan manajemen
tersebut meliputi penelitian dan pengembangan,
pengembangan profesional, hubungan masyarakat, dewan
penasihat/komite, komunitas, manajemen program, dan
tanggung jawab berbagi tugas. Dukungan sistem ini akan
membantu ketiga komponen lainnya bekerja secara efektif.
24
Komponen alokasi waktu menyajikan alokasi waktu
yang disarankan untuk didistribusikan oleh guru BK
dalam menjalankan komponen program. Untuk program
BK SLTA, disarankan 15-25 % waktu guru digunakan
untuk layanan dasar, 25-35% digunakan untuk
perencanaan individu, 25-35 % digunakan untuk layanan
responsif, dan 10-15% digunakan untuk dukungan sistem.
Distribusi waktu tersebut seharusnya berdampak pada
semakin minimnya kegiatan yang dilakukan oleh guru BK
yang merupakan kegiatan non-BK. alokasi waktu tersebut
tidak bersifat mengikat tetapi disesuaikan dengan situasi
dan kondisi di sekolah masing-masing. Elemen yang
ketiga adalah elemen sumber. Elemen sumber meliputi
sumber personel yang fokus pada kompetensi guru BK dan
staf; sumber keuangan yang mengatur alokasi anggaran
program BK; dan sumber politik yang berisikan kebijakan
dari sekolah atau dinas pendidikan.
Elemen yang keempat adalah pengembangan,
manajemen, dan akuntabilitas. Elemen ini berfokus pada
kegiatan manajemen program BK yang dimulai dari
perencanaan, desain, pelaksanaan, evaluasi, dan
pengembangan program. Kegiatan manajemen ini
merupakan serangkaian fase yang tidak terputus. Ketika
program telah dievaluasi, diharapkan ada pengembangan
program berdasarkan dari hasil evaluasi dan dalam
pengembangan program ini dibutuhkan lagi kegiatan
perencanaan. Serangkaian tugas manajemen tersebut
merupakan tuntutan akuntabilitas program yang
25
berdampak pada perkembangan akademik, karier, pribadi,
dan sosial siswa.
26
Mutu Pendidik & Tenaga Kependidikan, 2009). Guru BK
membantu perkembangan pendidikan, karier, personal,
dan sosial siswa yang dilayani dalam layanan orientasi,
informasi, penempatan & penyaluran, penguasaan konten,
konseling perorangan/kelompok, bimbingan
perorangan/kelompok, konsultasi, dan mediasi. Tetapi
kebanyakan kerangka organisasi (sekolah) menempatkan
BK sekolah sebagai tempat layanan dengan sederet daftar
tugas sehingga sering terjadi guru BK menerima tugas-
tugas yang bukan tugas BK karena tugas-tugas tersebut
dianggap sebagai pelayanan kepada seseorang, seperti
melayani pendaftaran siswa baru atau mengatur
perubahan jadwal.
Gysbers & Henderson (2006) menyarankan
prosentase pendistribusian waktu bagi guru BK dalam
melaksanakan program sebagai berikut: 15% - 25% untuk
kurikulum bimbingan, 25% – 35% untuk perencanaan
individu, 25% - 35% untuk layanan responsif, 15% - 20%
untuk dukungan sistem, dan 0% untuk kegiatan dan
layanan non bimbingan. Artinya, guru BK seharusnya
sesedikit mungkin melaksanakan tugas-tugas yang berada
di luar area bimbingan dan konseling.
b. Kurangnya pelatihan mengenai penelitian dan
evaluasi
Guru BK memiliki pengetahuan yang rendah
mengenai evaluasi. Pengetahuan tentang instrumen dan
metode evaluasi juga sangat minim. Sebagian guru BK
sama sekali tidak mengetahui bahwa terdapat bermacam-
macam instrumen yang dapat dimanfaatkan untuk
27
melakukan evaluasi. Instrumen tersebut dapat diperoleh
dengan membuat sendiri atau mengadaptasi dari
instrumen-instrumen yang sudah ada untuk disesuaikan
dengan kebutuhan sekolah (Gysbers & Henderson, 2006).
Rendahnya pengetahuan guru BK mengenai instrumen
evaluasi ini semakin menguat dengan tidak tersedianya
training bagi mereka. Guru BK bukannya tidak bersedia
mengevaluasi, mereka menunjukkan minat untuk
mengevaluasi program mereka secara formal dan detail
tetapi mereka membutuhkan pelatihan mengenai prosedur
evaluasi program (Astramovich, Coker, Hoskins, 2005).
c. Perilaku manusia tidak mudah diukur
Instrumen dan metode pengukuran pada area
personaliti, sikap, dan motivasi seringkali mengalami
hambatan. Hasil yang dicapai dari bimbingan kepada
siswa tidak dapat didefinisikan atau diukur secara tepat
karena berhubungan dengan perkembangan kepribadian
sehingga instrumen yang tepat atau setidaknya mendekati
ketepatan kurang dipahami guru BK. Evaluator
membutuhkan teknik atau alat yang mampu membuat
mereka tidak subyektif dalam mengevaluasi.
d. Terbatasnya data sekolah tentang siswa untuk
kepentingan evaluasi
Santoadi (2010) mengatakan ada dua macam data
yang penting untuk dijadikan dasar mengidentifikasi
kebutuhan siswa, yaitu (1) data personal, seperti berbagai
macam kemampuan diri (intelegensi, bakat, prestasi),
riwayat pendidikan, kepribadian, aspirasi karier, hobi, dan
catatan kesehatan) dan (2) data latar belakang sosial
28
budaya, seperti etnisitas, keluarga asal, dan komunitas
asal. Data-data tersebut penting untuk dimiliki sejak awal
siswa masuk sekolah karena akan sangat berguna ketika
evaluasi program BK dilaksanakan. Selain itu, setiap guru
BK harus mampu menunjukkan data yang konkret dan
dapat diukur mengenai hasil kerja mereka dengan siswa
sehingga stakeholder bisa melihat dengan jelas pentingnya
berpartisipasi dalam program BK (Dahir & Stone, 2003).
Sayangnya data mengenai siswa yang dikumpulkan
oleh sekolah biasanya hanya bersifat administratif,
berbeda dengan data yang dikumpulkan untuk keperluan
evaluasi. Hal ini menyebabkan kesulitan saat melakukan
evaluasi yang valid dan reliabel.
e. Dana
Masih menjadi anggapan umum bahwa riset,
termasuk di antaranya evaluasi, merupakan hal yang
mewah dan membutuhkan banyak dana, sehingga
anggaran untuk melakukan evaluasi program seringkali
ditiadakan. Administrator sekolah juga tidak cukup
memiliki keyakinan mengenai nilai dari hasil evaluasi
sehingga alokasi dana lebih sering digunakan untuk hal
lain.
f. Kesulitan menemukan kelompok kontrol
Penelitian eksperimental membutuhkan kelompok
kontrol dan kelompok ini sulit ditentukan karena harus
memiliki kesamaan kemampuan, usia, tingkat, prestasi,
jenis kelamin, latar belakang sosial-ekonomi, dan lain-lain.
Sehubungan dengan permasalahan ini, penelitian
29
longitudinal menjadi alternatif yang lebih akurat meskipun
akan lebih menguras dana dan waktu.
g. Kesulitan menentukan kriteria
Kriteria adalah standar yang dipilih untuk tujuan
perbandingan untuk menentukan jika terjadi perubahan.
Kriteria yang menjadi patokan dalam mengevaluasi masih
bersifat subyektif, dalam arti masih berupa pendapat dan
penafsiran pembimbing (Winkel & Hastuti, 2004).
Menentukan standar siswa dalam program BK harus
mempertimbangkan pengetahuan apa yang seharusnya
siswa peroleh, ketrampilan apa yang seharusnya siswa
kembangkan, dan sikap apa yang seharusnya terbentuk
pada siswa setelah berpartisipasi dalam program BK
(Gysbers & Henderson, 2006). Karena pada akhir program
standar siswa harus diukur tingkat pencapaiannya, maka
standar sejak awal harus dirancang sedemikian sehingga
bisa diukur pada akhirnya, tanpa lepas dari visi, misi, dan
tujuan program BK itu sendiri.
Badrujaman (2011) menyampaikan bahwa tiga hal
yang perlu diperhatikan dalam mengevaluasi perencanaan
program BK adalah tujuan program, strategi untuk
mencapai tujuan, dan sumber-sumber yang ada di
sekolah. Nurihsan & Sudianto (2005) juga mengemukakan
beberapa aspek kegiatan yang penting dilakukan dalam
perencanaan program BK, yaitu (1) analisis kebutuhan dan
permasalahan siswa, (2) penentuan tujuan program
layanan BK, (3) analisis situasi dan kondisi sekolah, (4)
penentuan jenis-jenis kegiatan yang akan dilakukan, (5)
penetapan metode dan teknik yang akan digunakan dalam
30
kegiatan, (6) penetapan personel yang akan melaksanakan
kegiatan, (7) persiapan fasilitas dan biaya, dan (8)
perkiraan tentang hambatan yang akan ditemui dan upaya
untuk mengatasi hambatan tersebut. Berdasarkan kedua
pendapat tersebut di atas maka dari ketujuh alasan yang
dikemukakan oleh Shertzer & Stone mengapa evaluasi
program BK tidak terlaksana, terdapat dua alasan yang
tidak digunakan dalam penelitian ini, yaitu alasan c
(perilaku manusia tidak mudah diukur) dan alasan f
(kesulitan menemukan kelompok kontrol).
Ketujuh alasan yang dikemukakan oleh Shertzer &
Stone tersebut meliputi alasan tidak terlaksananya
evaluasi muai dari perencanaan, pelaksanaan hingga hasil.
Mengukur perilaku manusia dan kebutuhan akan
kelompok kontrol merupakan aspek yang lebih tepat jika
digunakan dalam evaluasi hasil program BK, bukan
perencanaan program BK. Karena ranah penelitian ini
hanya berada pada evaluasi perencanaan program BK
maka alasan c dan f tersebut tidak digunakan untuk
analisis data.
31
sementara penulis menggunakan Exploratory Factor
Analysis (EFA). Asumsinya adalah bahwa burnout yang
dialami oleh guru BK dalam penelitian Moyer dapat
mengakibatkan guru BK tidak melaksanakan evaluasi
program BK. Karena menggunakan CFA maka Moyer
terlebih dahulu harus menyajikan variabel-variabel
prediktor, dan Moyer menggunakan variabel kegiatan non-
BK, supervisi, dan rasio guru BK : siswa. Dalam salah
satu item skala sikap, peneliti juga menggunakan kegiatan
non-BK sebagai instrumen untuk mengumpulkan data.
Untuk variabel kegiatan non-BK, responden diminta untuk
memberikan respon mengenai jumlah waktu dalam
seminggu yang mereka habiskan untuk melakukan
kegiatan non-BK. Untuk variabel supervisi, responden
diminta mengindikasikan berapa banyak kegiatan
supervisi dilakukan dalam sebulan dan untuk variabel
rasio guru BK:siswa, responden diminta melaporkan
berapa banyak siswa yang dibimbing oleh seorang guru
BK.
Hasil penelitian Moyer (2011) menunjukkan bahwa
kegiatan non-BK yang dilakukan oleh guru BK menjadi
faktor paling besar yang mempengaruhi burnout guru BK
dan diikuti oleh faktor supervisi. Hasil menunjukkan
bahwa semakin banyak guru BK melakukan kegiatan non-
BK, semakin tinggi tingkat burnout mereka dan semakin
sering supervisi dilakukan, semakin tinggi tingkat burnout
mereka.
32