Anda di halaman 1dari 9

BAB TIFOID: PENYEBAB

8
LINGKUNGAN DAN
PENGENDALIANNYA

A. Etiologi
Demam tifoid atau lebih dikenal sebagai penyakit tifus
merupakan penyakit yang ditularkan oleh bakteri Salmonella
enterica serotipe Typhi. Selain tifoid, demam paratifoid, yang
disebabkan oleh Salmonella paratyphi, juga memiliki kemiripan;
keduanya sering disebut sebagai demam enterik. Baik S. typhi
maupun S. paratyphi tergolong ke dalam serotipe yang ada di
dalam spesies S. enterica, anggota dari famili Enterobacteriaceae
(Bhandari et al., 2022).
Penularan bakteri Salmonella terjadi melalui jalur fecal-
oral dari air yang terkontaminasi bakteri tersebut, makanan
yang tidak dimasak dengan sempurna, cairan muntahan dari
pasien, serta hal-hal yang berkaitan dengan sanitasi buruk.
Sumber utama bakteri ini adalah produk-produk unggas
seperti daging dan telur, serta pada kasus yang sangat jarang,
dapat ditemukan pada kura-kura (Alba et al., 2016; Bhandari et
al., 2022).
Demam tifoid bersifat akut dan dapat mengancam
nyawa penderitanya jika tidak tertangani dengan baik. Pasien
yang terinfeksi dapat menjadi pembawa (carrier) dalam waktu
yang lama dan dapat mensekresikan patogen melalui tinja.
Akibatnya keberadaan patogen akan dapat bertahan lestari di
alam. Berbeda dari serovar S. enterica lainnya yang
membutuhkan hewan sebagai inang, S. typhi dan S. paratyphi
tidak menginfeksi hewan dan dan hanya dapat ditularkan dari
penderita yang satu kepada orang lain. Atau dengan kata lain,

1
dan satu-satunya inang dari bakteri ini adalah manusia (Alba et
al., 2016; Bhandari et al., 2022; Kingsley et al., 2018).
Secara alami, flora normal di dalam saluran pencernaan
akan melindungi tubuh dari infeksi Salmonella. Penggunaan
antibiotik sebagai pengobatan, misalnya dari golongan
streptomycin, akan mengganggu keseimbangan flora normal
sehingga memperberat invasi oleh Salmonella. Kondisi
malnutrisi juga menurunkan populasi flora normal tersebut
dan meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Selain itu,
penggunaan antibiotik spektrum luas dan gizi buruk dapat
meningkatkan angka kejadian demam tifoid (Bhandari et al.,
2022).

B. Epidemiologi
Perkiraan pada tahun 2010 menunjukkan bahwa demam
tifoid menimbulkan 13,5 juta angka kesakitan secara global. Di
dunia, angka kejadian tertinggi demam tifoid ada di Afrika dan
Asia, khususnya di negara dengan tingkat pendapatan rendah
dan menengah. Demam tifoid lebih sering terjadi pada daerah
beriklim tropis dan temperata, berkaitan dengan sanitasi,
limbah, dan sistem pembuangan air (Bhandari et al., 2022).
Infeksi oleh bakteri Salmonella (sering disebut sebagai
salmonellosis) tidak hanya menimbulkan manifestasi klinis
berupa demam enterik atau demam tifoid. Beberapa gejala lain
yang mungkin muncul di antaranya adalah gastroenteritis atau
peradangan di saluran cerna, serta bakteremia di mana bakteri
masuk ke aliran darah dan memunculkan gejala kronis.
Demam enterik dicirikan dengan gejala demam berkisar satu
hingga dua minggu dan diasosiasikan dengan sakit kepala,
nyeri abdomen, dan diare. Pada beberapa kasus, demam
enterik dapat menimbulkan bradikardia atau denyut jantung
melemah, splenomegali atau pembesaran limpa, hepatomegali
atau pembesaran hati, dan bercak merah (rose spot) pada dada
dan perut (Pradhan & Devi Negi, 2019).
C. Patofisiologi
Patogenesis demam tifoid sangat bergantung dari
beberapa faktor (Bhandari et al., 2022), di antaranya:
1. Spesies bakteri yang menginfeksi

2
Infeksi yang ditimbulkan oleh S. typhi lebih umum
daripada S. paratyphi, dan S. paratyphi A lebih sering muncul
daripada S. paratyphi B (Alba et al., 2016; Bhandari et al., 2022).
2. Virulensi bakteri
Virulensi Salmonella sangat ditentukan oleh toksin yang
disekresikan, yaitu antigen Vi (berupa kapsul polisakarida),
antigen liposakarida O, dan antigen flagella H. Strain bakteri
yang memiliki antigen Vi tingkat serangan dua kali lebih besar
daripada strain yang negatif atau tidak memiliki antigen
tersebut. Berbeda dengan Salmonella non-tifoid, Salmonella typhi
sebagai penyebab demam tifoid memiliki antigen Vi yang
menyebabkan virulensinya lebih tinggi (Bhandari et al., 2022).
Antigen Vi berfungsi sebagai agen antifagosit yang akan
mencegah makrofag mencerna bakteri Salmonella, dan
melindungi antigen O dari antibodi yang akan memicu
kekebalan inang. Antigen flagella H menyokong mobilitas
bakteri dan memudahkannya melekat pada lapisan mukosa
saluran pencernaan (Bhandari et al., 2022)
3. Dosis infeksi
Semakin besar dosis infeksi suatu spesies, maka akan
makin pendek periode inkubasi yang dibutuhkan, dan makin
tinggi tingkat serangan yang ditimbulkan. Demam tifoid dapat
menyebabkan keparahan yang lebih tinggi pada penderita
gangguan kekebalan tubuh, seperti pasien HIV, atau penderita
malaria dan sickle-cell anemia) (Bhandari et al., 2022)

D. Faktor lingkungan yang mempengaruhi Salmonella


Bakteri Salmonella merupakan makhluk hidup yang
dalam siklus hidupnya dipengaruhi oleh faktor lingkungan.
Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi (Pradhan &
Devi Negi, 2019) di antaranya:

1. Temperatur
Temperatur menjadi faktor utama yang berperan dalam
regulasi metabolisme, pertumbuhan, dan ekspresi gen virulen
pada bakteri. Suhu dingin, seperti misalnya pada penyimpanan

3
makanan di lemari pembeku dapat menekan pertumbuhan
bakteri.
2. Tekanan osmosis
Tekanan osmosis dapat mempengaruhi aliran air dari
dan ke dalam sel bakteri, sehingga mengubah struktur, fungsi,
dan daya hidup bakteri. Keberadaan garam, misalkan untuk
pengawetan makanan melalui proses pengasinan dapat
menyebabkan sel bakteri kehilangan cairan.
3. Ion logam
Keberadaan berbaggai macam ion logam seperti besi
(Fe), tembaga (Cu), seng (Zn), dan mangan (Mn) dapat
membantu aktivitas seluler bakteri, misalnya untuk
metabolisme dan sebagai kofaktor enzim. Selain itu, jenis ion
logam yang lain, misalnya kobalt (Co) dapat bersifat toksik bagi
kehidupan bakteri.
4. pH
Tingkat keasaman yang diukur dalam pH sangat
mempengaruhi kehidupan bakteri, tak terkecuali Salmonella.
Penggunaaan asam sering pula digunakan dalam pengawetan
makanan untuk menghindarkan makanan dari kontaminasi
bakteri.
5. Salinitas
Salinitas sangat berkaitan erat dengan tekanan osmosis.
Daerah atau kondisi lingkunan dengan konsentrasi garam
tinggi dapat membahayakan kelangsungan hidup Salmonella
karena dapat menyebabkan perubahan tekanan osmosis. Untuk
itu, pengawetan makanan sangat lazim menggunakan garam
untuk menghindari kontaminasi bakteri pada bahan pangan.
6. Antibiotik
Antibiotik sering digunakan sebagai salah satu terapi
akibat infeksi mikroorganisme, seperti infeksi bakteri.
Antibiotik memiliki kemampuan untuk bersifat toksik bagi
bakteri. Meski begitu, isu mengenai resistensi bakteri terhadap
antibiotik perlu mendapat perhatian khusus.
7. Lingkungan di dalam inang
Kondisi di dalam inang sangat berbeda dengan kondisi
lingkungan yang sebelumnya ditempati oleh Salmonella. Bakteri

4
Salmonella mengalami perubahan kondisi lingkungan seperti
pH di dalam perut yang tinggi asam.

E. Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko dari demam enterik, yang meliputi
demam tifoid dan paratifoid, adalah sebagai berikut (Vollaard
et al., 2004):
1. Kepadatan penduduk yang tinggal di satu lokasi yang
sama
Keberadaan anggota keluarga yang hidup bersama di
dalam satu atap (>6 orang) akan meningkatkan kontak satu
sama lain. Jika salah satu terinfeksi oleh demam enterik,
kemungkinan menularkan kepada anggota keluarga lain akan
lebih besar.
2. Kondisi Air Minum
Air merupakan salah satu sarana penularan mikroba,
tidak terkecuali demam enterik (Kingsley et al., 2018). Namun
demikian, kontaminasi air minum oleh bakteri koliform pada
penelitian Vollaard et al. (2004) tidak menunjukkan hubungan
yang nyata dengan angka kejadian demam enterik.
Pemeriksaan secara mikrobiologis juga tidak memperlihatkan
perbedaan nyata kasus demam enterik pada daerah kasus dan
perlakuan. Hal ini berhubungan dengan perilaku merebus air
minum hingga mendidih.
3. Penggunaan sabun saat mencuci tangan
Penelitian Vollaard et al. (2004) menunjukkan bahwa
keadaan sanitasi yang buruk menjadikan salah satu faktor
risiko demam enterik. Di antaranya adalah ketiadaan sabun
untuk mencuci tangan. Selain meningkatkan risiko penularan
demam enterik, terutama demam tifoid, perilaku mencuci
tangan tanpa sabun juga dapat memperbesar peluang terkena
diare dan penyakit yang melibatkan saluran pencernaan,
khususnya yang berkaitan dengan sanitasi yang buruk.
Alba et al. (2016) menemukan bahwa perilaku mencuci
tangan dengan sabun tidak berhubungan dengan ketersediaan
dan kemudahan akses terhadap air bersih. Meskipun demikian,
penduduk di daerah dengan angka kejadian rendah demam
enterik lebih sering mencuci tangan dengan sabun daripada di

5
daerah dengan kasus lebih banyak. Sejalan dengan Vollaard et
al. (2004), indikator kesehatan yang dilaporkan oleh
Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa sebanyak 14%
balita di lokasi penelitian terkena diare, dua minggu setelah
penelitian berlangsung.
4. Tidak adanya toilet di dalam lingkungan rumah tangga
Toilet atau kakus dengan sarana air bersih dan sabun
merupakan salah satu sarana yang diperlukan untuk menjaga
kebersihan dan kesehatan di rumah tangga. Demam enterik
yang ditularkan oleh bakteri Salmonella melalui jalur fecal-oral
dapat dicegah dengan memastikan tangan dicuci bersih dengan
sabun, terutama setelah aktivitas di kamar mandi dan toilet.
5. Kebiasaan makan
Hal menarik justru pada kebiasaan makan. Demam
enterik tidak berhubungan secara signifikan dengan kebiasaan
makan atau jajan di penjual kaki lima, melainkan berhubungan
erat dengan konsumsi minuman dingin dan es batu yang tidak
higienis. Berbagi makanan dalam satu piring yang sama juga
meningkatkan risiko penularan demam enterik.

Perbedaan utama demam tifoid dan paratifoid pada


studi di Jakarta (Vollaard et al., 2004) adalah pada rute
penularannya. Demam tifoid menular di dalam rumah tangga,
sedangkan demam paratifoid utamanya menular di luar
rumah. Dengan adanya pengobatan yang tepat dan efektif, case
fatality rate demam tifoid di Indonesia dapat berkurang dari 10-
30% menjadi 1-4% saja (Alba et al., 2016).

F. Diagnosis dan Evaluasi


Penegakan diagnosis untuk demam tifoid dapat
dilakukan melalui beberapa cara (Bhandari et al., 2022), yaitu:
1. Kultur darah
Hingga saat ini, kultur darah masih menjadi alat
konfirmasi utama untuk penegakan diagnosis demam tifoid.
Keunggulannya adalah mudah dan umum tersedia di berbagai
fasilitas kesehatan, tidak mahal, dan secara teknis tidak sulit
dilakukan. Semakin banyak volume sampel yang diambil,
maka efikasi kultur darah ini akan semakin tinggi.

6
Kultur darah yang diambil setelah muncul gejala pada
bakteremia sekunder lebih dapat dipercaya hasilnya, meskipun
tetap berpeluang 30-50% mengalami negatif palsu. Hal ini
dapat diatasi dengan teknik pengambilan sampel yang tepat
dan sampel diambil secara time series (lebih dari satu waktu).
2. Kultur feses
Berbeda dari kultur darah, kultur feses kurang efektif
jika diambil pada saat fase bakteremia. Idealnya kultur feses
dapat digunakan sebagai metode deteksi pada minggu kedua
hingga ketiga setelah muncul gejala. Sensitivitas metode ini
sangat bergantung dari jumlah sampel yang diambil dan durasi
perjalanan penyakitnya. Pada penderita tifoid yang sudah
kronis, pengambilan sampel selama beberapa kali perlu
dilakukan.
3. Kultur sumsum tulang
Metode pemeriksaan ini merupakan standar baku emas
untuk diagnosis tifoid. Sampel berupa sumsum tulang
belakang diaspirasi dan dikultur pada media agar spesifik.
Metode ini jauh lebih sensitif (sekitar 90%) daripada kultur
darah karena jumlah mikroorganisme yang berada pada
sumsum tulang belakang jauh lebih banyak daripada di dalam
darah. Kultur sumsum tulang belakang dapat memunculkan
hasil positif pada 50% kasus tifoid meski pasien mendapatkan
terapi antibiotik.

7
4. Tes Widal
Tes Widal merupakan metode pemeriksaan secara
serologis untuk demam enterik secara umum. Metode ini
mendeteksi keberadaan antigen permukaan O dan flagella H.
5. Skin snip biopsy
Bagian kulit pasien dengan bitnik kemerahan (rose spot)
diambil jaringannya dan dikultur. Sebagian besar (hingga 63%)
kasus positif akan menunjukkan hasil positif meskipun
penderita menjalani terapi antibiotik.
6. Polymerase chain reaction (PCR)
Metode PCR mengidentifikasi DNA pada beberapa
serotipe dengan target gen antigen flagella H atau O. Meskipun
demikian, sensitivitas metode ini sangat bergantung dari
konsentrasi bakteri selama fase bakteremia. Selain itu, metode
PCR dirasa membutuhkan sumber daya (peralatan, bahan, dan
tenaga) yang cukup besar.
7. Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Metode ELISA berbasis pada serologi, yaitu dengan
mendeteksi keberadaan antibodi yang ditimbulkan oleh
antigen polisakarida Vi.

G. Pengendalian dan tata laksana kasus


Pasien dengan demam tifoid dapat dilakukan perawatan
(Bhandari et al., 2022), di antaranya :
1. Terapi antibiotik
Terapi antibiotik merupakan tata laksana kasus yang
utama pada demam tifoid. Namun demikian, adanya strain
Salmonella dengan resistensi (multidrug resistance/MDR)
mempersulit terapi antibiotik ini, terutama di beberapa daerah
di India dan Asia Tenggara. Di sebagian besar area, antibiotik
dari golongan fluoroquinolone seperti ciprofloxacin (500 mg
secara oral, dua kali sehari selama lima-tujuh hari) dapat
digunakan. Selain itu, amoxicillin (750 mg empat kali sehari
selama 14 hari), trimethoprim-sulfamethoxazole (160 mg dua
kali sehari selama 14 hari), atau chloramphenicol (500 mg
empat kali sehari selama dua-tiga minggu) bisa digunakan di
daerah di mana MDR belum terjadi.

8
Pasien dengan komplikasi seperti muntah, diare, dan
distensi abdomen perlu menjalani rawat inap di rumah sakit.
2. Vaksin profilaksis
Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization
(WHO), 2020) merekomendasikan pemberian vaksin tifoid
berupa:
a. Vaksin konjugat tifoid, untuk anak usia 6 bulan
hingga orang dewasa berusia 45 tahun
b. Vaksin polisakarida Vi secara intramuskular untuk
anak usia 2 tahun ke atas
c. Vaksin live-attenuated Ty21a serotipe Typhi (kapsul
oral) untuk usia di atas 6 tahun
3. Tindakan bedah
Tindakan kolesistektomi perlu dilakukan apabila telah
muncul manifestasi klinis berupa batu empedu. Tindakan
bedah juga perlu dilakukan apabila terjadi komplikasi lain
seperti peritonitis dan perforasi intestinal.
4. Pencegahan dengan menjaga sanitasi lingkungan
Telah diketahui bahwa tifoid lebih sering terjadi pada
negara dengan pendapatan rendah dan menengah. Hal ini
sangat berkaitan dengan sanitasi yang buruk. Untuk itu
keberadaan air bersih serta menerapkan perilaku hidup bersih
dan sehat diharapkan dapat mengurangi jumlah kasus demam
tifoid khususnya, dan demam enterik umumnya.

Anda mungkin juga menyukai