Anda di halaman 1dari 9

UANG ELEKTRONIK SYARIAH:

MENUJU ISLAMIC CASHLESS SOCIETY

Oleh : Dra. Hj. Noorwahidah, M.Ag.


Dosen FEBI UIN Antasari, IAID Martapura, dan Anggota MUI Kalsel

Transaksi Keuangan Digital merupakan isu yang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini,
kemudahan, keamanan, efisiensi dan efektifitas transaksi menjadi alasan para pemangku
kebijakan keuangan untuk menciptakan alat pertukaran secara digital. Islam sebagai agama yang
rahmatan lil alamin mendukung pelaksanaan transaksi keuangan digital yang salah satu
produknya adalah Uang Elektronik Syariah. Bahkan lebih dari itu, Islam sangat mendukung
seluruh produk keuangan digital untuk menciptakan Islamic Cashless Society.

Pengertian Uang Elektronik


Uang elektronik dapat dimanfaatkan sebagai alat pembayaran dalam bentuk elektronik.
Nilai uangnya disimpan dalam media elektronik tertentu. Penggunanya harus menyetorkan uang
terlebih dahulu kepada penerbit dan disimpan dalam media elektronik sebelum menggunakannya
untuk keperluan bertransaksi. Ketika digunakan, nilai uang elektronik yang tersimpan dalam
media elektronik akan berkurang sebesar nilai transaksi dan setelahnya dapat mengisi kembali
(top-up). Media elektronik untuk menyimpan nilai uang elektronik dapat berupa chip atau server.
Penggunaan uang elektronik sebagai alat pembayaran yang inovatif dan praktis
diharapkan dapat membantu kelancaran pembayaran kegiatan ekonomi yang bersifat massal,

1
cepat, dan mikro, sehingga perkembangannya dapat membantu kelancaran transaksi di jalan tol,
di bidang transportasi seperti kereta api maupun angkutan umum lainnya atau transaksi di
minimarket, food court, atau parkir.
Dalam perkembangannya, uang elektronik diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif
alat pembayaran nontunai yang dapat menjangkau masyarakat yang selama ini belum
mempunyai akses kepada sistem perbankan.
Dari penjelasan di atas, Bank Indonesia mendefinisikan Uang Elektronik (Electronic
Money) sebagai alat pembayaran yang memenuhi unsur-unsur:tukar Pertama, diterbitkan atas
dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit. Kedua, nilai uang disimpan secara
elektronik dalam suatu media seperti server atau chip, dan Ketiga, nilai uang elektronik yang di
kelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
yang mengatur mengenai perbankan.
Penyelenggaraan Uang Elektronik telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
11/12/PBI/2009 tanggal 13 April 2009 tentang Uang Elektronik.

Sejarah/Kronologi Uang/Pembayaran
Sebelum orang menemukan uang sebagai alat tukar, transaksi dilakukan melalui berbagai
macam cara. Pertama, dilakukan dengan sistem barter, yakni barang ditukar dengan barang.
Sistem ini dimulai sejak manusia menjadi makhluk sosial dan berlangsung dalam kurun waktu
lama. Namun, penggunaan sistem ini sering menimbulkan masalah. Tidak semua pemilik barang
memperoleh lawan barter pada saat ia menawarkan barangnya. Akibatnya, ia tidak bisa
memperoleh barang yang diinginkan dan tidak bisa melepas barang miliknya.
Kedua, sistem uang komoditas, yaitu barang-barang yang umum dimiliki manusia,
dijadikan sebagai alat tukar. Misalnya, biji-bijian, teh, tembakau atau sejenisnya ditukar dengan
barang yang diperlukan. Dalam perkembangannya uang komoditas juga bisa berupa ternak. Ini
terjadi sekitar tahun 9000 sampai dengan 6000 sebelum Masehi. Setelah umat manusia sudah
pandai bertani, hasil pertanian digunakan sebagai uang komoditas seperti gandum atau sayur-
sayuran.
Ketiga, uang primitif, yaitu uang dalam bentuk cangkang kerang atau moluska lainnya.
yang disebut cowrie. Uang dalam bentuk ini mulai dipakai sekitar tahun 1200 SM. Cangkang
cowrie adalah rumah siput cauri, moluska dari cypraeidae yang terdapat di Lautan Hindia dan

2
Pasifik, terutama di Maladewa. Uang yang terbuat dari kerang-kerang ini dianggap sebagai salah
satu mata uang tertua di dunia.
Dalam perkembangan berikutnya, alat tukar dalam bentuk barang dirasakan kurang
efektif. Umat manusia berupaya untuk mendapatkan alat tukar yang lebih baik. Sekitar abad
keenam SM, bangsa Lydia (kelompok etnis yang menghuni Lydia, daerah di Anatolia barat),
berhasil membuat uang dari campuran emas dan perak dengan perbandingan 75:25. Raja Lydia,
Croesus (560-546 SM), yang terkenal kaya raya, untuk pertama kali membuat uang logam. Uang
tersebut didesain dengan gambar yang menarik. Sejak itui uang logam pun terus dibuat di
berbagai negara.
Penggunaan uang sebagai alat tukar tergambar di dalam al-Quran tentang cerita ashabul
kahfi (Penghuni Gua). Di dalam surah al-Kahfi ayat 19 Allah swt berfirman, “…Fab`atsu
ahadakum biwariqikum hadzihi ilal madinati fal yanzhur ayyuha azka tha`aman falya`tikum
birizqin minhu walyatalaththaf wala yusy`iranna bikum ahadan (Maka suruhlah salah seorang di
antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat
manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan
hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada
seorang pun).
Di dalam ayat tersebut secara eksplisit disebut “uang perak” yang menunjukkan bahwa
pada zaman tersebut mata uang perak digunakan sebagai alat tukar. Peristiwa ashhabul kahfi
sendiri terjadi pada masa pemerintahan Raja Decyanus (249-251 M), penyembah berhala yang
dikenal sangat kejam. Tujuh orang pemuda (Maxalmena, Martinus, Kastunus, Bairunus,
Danimus, Yathbunus dan Thamlika) yang tidak mau menuruti perintah Raja Decyanus untuk
menyembah berhala melarikan diri ke sebuah gua di perkampungan Ar-Rajib, sekitar 10 km dari
Amman, Yordania. Di dalam gua ini mereka bersama seekor anjing bernama Qithmir ditidurkan
Allah swt selama 309 tahun. Gua ini sekarang dikenal dengan nama Cave of the Seven Sleepers.
Uang kertas sendiri dibuat sesudah Ts`ai Lun, dari China, menemukan kertas (105 M)
yang dibuatnya dari kulit kayu pohon murbei. Sejalan dengan perkembangan pembuatan kertas
pembuatan uang kertas pun berkembang di berbagai negara dengan ciri khas dan identitas
masing-masing.
Hingga saat ini uang masih menjadi salah satu alat pembayaran utama yang berlaku di
masyarakat, selanjutnya alat pembayaran terus berkembang dari alat pembayaran tunai (cash

3
based) ke alat pembayaran non tunai (non cash) seperti alat pembayaran berbasis kertas (paper
based), misalnya cek dan bilyet giro. Selain itu, dikenal juga alat pembayaran paper less seperti
transfer dana elektronik dan alat pembayaran memakai kartu (card based) seperti ATM, Kartu
Kredit, Kartu debit, dan Kartu Prabayar.
Tujuan Uang Elektronik
Tujuan diterbitkannya Uang Elektronik oleh perusahaan perbankan adalah untuk
memaksimalkan alat pembayaran non tunai (less cash) sehingga nantinya akan tercipta less cash
society. Hal ini merupakan kebutuhan masyarakat yang memerlukan alat pembayaran praktis,
mudah dan aman, sekaligus untuk mengantisipasi tingkat kriminalitas yang semakin tinggi
dengan menggunakan uang tunai seperti pencurian uang, perampokan dan lain sebagainya.
Untuk mendukung less cash society, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus 2014
mencanangkan GNNT (Gerakan Nasional Non Tunai) yang merupakan gerakan penggunaan
alat pembayaran non tunai. GNNT bertujuan untk menumbuhkan kesadaran sekaligus
meningkatkan penggunaan non tunai di kalangan masyarakat pelaku bisnis dan lembaga-lembaga
pemerintah.
Ini merupakan kebutuhan masyarakat yang memerlukan alat pembayaran praktis, mudah
dan aman dan penurunan biaya transaksi untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi sekaligus
untuk mengantisipasi tingkat kriminalitas yang semakit tinggi dengan penggunaan uang tunai
seperti pencurian uang, perampokan, GNNT dapat memperkecil peredaran uang di Indonesia
yang akan mengakibatkan inflasi ekonomi di Indonesia.
Uang elektronik yang dikeluarkan oleh perbankan syariah diharapkan dapat bersaing
dalam menyediakan pilihan bagi masyarakat Muslim Indonesia dalam menjalankan GNNT dan
menerapkan sistem less cash.

Hukum Islam tentang Uang Elektronik


Dalam hukum Islam, semua cara transaksi muamalah diperbolehkan dan hukumnya
adalah mubah, berdasarkan kaidah fiqhiyyah “Al-Ashlu fi al-mu`amalati al-ibahah illa an
yadullad dalilu `ala tahrimiha (pada dasarnya segala bentuk muamalat diperbolehkan kecuali
ada dalil yang mengharamkannya).
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah mengeluarkan
Fatwa Nomor 116/DSN-MUI/IX/2017 tentang Uang Elektronik Syariah (UESy). Fatwa tersebut

4
menetapkan bahwa dalam konteks UESy, akad yang digunakan adalah wadi’ah dan qard antara
penerbit dan pemegang UESy.
Adapun akad yang digunakan penerbit dengan para pihak dalam pelaksaan UESy adalah
akad ijarah (sewa-menyewa/upah-mengupah), ji’alah (janji atau komitmen untuk memberikan
imbalan tertentu) dan wakalah bil ijarah (pemberian kuasa dengan upah). Ketiga jenis akad
tersebut dapat pula digunakan antara penerbit dengan agen layanan keuangan digital.
Di dalam fatwa tersebut, akad wadiah adalah akad penitipan uang dari pemegang UESy
kepada penerbit dengan ketentuan pemegang uang elektronik dapat mengambil atau menarik
atau menggunakan kapan saja sesuai kesepakatan.
Dilihat dari aspek prinsip, UESy yang yang sesuai dengan prinsip-prinsp syariah harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Tidak Riba. Riba adalah tambahan yang diberikan dalam pertukaran barang-barang
ribawi (al-amwal ar-ribawiyah) yakni emas, perak, tepung gandum, biji gandum, kurma
dan garam. Dan tambahan yang diberian atas pokok utang bila ditunda pembayarannya.
2. Tidak Gharar (tipuan). Gharar adalah ketidakpastian dalam suatu akad, baik mengenai
kualitas, kuantitas objek akad, maupun penyerahannya.
3. Tidak maysir (judi). Maysir adalah setiap akad yang dilakukan dengan tujuan yang tidak
jelas, dan perhitungan yang tidak cermat, spekulasi atau untung-untungan.
4. Tidak tadlis. Tadlis adalah tindakan menyembunyikan kecacatan objek akad yang
dilakukan oleh penjual untuk mengelabuhi pembeli seolah-oleh objek akad tersebut
tidak cacat
5. Bukan merupakan risywah. Risywah (suap) adalah suatu pemberian yang bertujuan
untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya, membenarkan yang batil dan menjadikan
sesuatu yang batil sebagai sesuatu yang benar
6. Isyraf. Isyaf adalah pengeluaran harta yang berlebihan (melampaui batas)

Menuju Islamic Cashless Society


Saat ini, sudah banyak UESy yang beredar di masyarakat, di antaranya adalah E Money
dikeluarkan oleh Bank Syariah Mandiri, BRIZZI dikeluarkan oleh BRI, BNI Tap Cash
dikeluarkan oleh BNI Syariah, Flazz dikeluarkan oleh BCA Syariah. Setelah penggabungan

5
BSM, BRI Syariah dan BNI Syariah menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI) per 1 Februari 2021
lalu, tentunya UESy yang diterbitkan akan lebih banyak manfaat dan fungsinya.
Agar pemanfaatan UESy lebih masif dan menjangkau semua kalangan maka Perbankan
Syariah harus melakukan beberapa hal, di antaranya: Pertama, sosialisasi dan edukasi
masyarakat secara lebih luas lagi mengenai keberadaan dan kemanfaatan UESy. Kedua,
memperbanyak kerja sama yang saling menguntungkan dengan lebih banyak mitra dalam
penggunaan transaksi UESy. Ketiga, memanfaatkan komunitas dan memberdayakan masyarakat
Muslim dalam pemanfaatan UESy.
Apabila hal-hal tersebut dapat dilakukan maka akan terbangun budaya less cash di
masyarakat Muslim Indonesia, yang pada akhirnya akan terbentuk Islamic Cashless Society yang
menggunakan prinsip saling tolong menolong (ta’awun) dan adil/merata (tawazun).
Yang dimaksud dengan Islamic cashless society adalah masyarakat Islam yang 100%
menggunakan uang nontunai dalam bertransaksi, sedangkan lesscash society adalah masyarakat
yang tidak sepenuhnya menggunakan nontunai.

Banjarmasin, 19 Februari 2021

6
UANG ELEKTRONIK SYARIAH:
MENUJU ISLAMIC CASHLESS SOCIETY
(Bagian II)

Oleh : Dra. Hj. Noorwahidah, M.Ag.

Tujuan Uang Elektronik


Tujuan diterbitkannya Uang Elektronik oleh perusahaan perbankan adalah untuk
memaksimalkan alat pembayaran non tunai (less cash) sehingga nantinya akan tercipta less cash
society. Hal ini merupakan kebutuhan masyarakat yang memerlukan alat pembayaran praktis,
mudah dan aman, sekaligus untuk mengantisipasi tingkat kriminalitas yang semakin tinggi
dengan menggunakan uang tunai seperti pencurian uang, perampokan dan lain sebagainya.
Untuk mendukung less cash society, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus 2014
mencanangkan GNNT (Gerakan Nasional Non Tunai) yang merupakan gerakan penggunaan
alat pembayaran non tunai. GNNT bertujuan untk menumbuhkan kesadaran sekaligus
meningkatkan penggunaan non tunai di kalangan masyarakat pelaku bisnis dan lembaga-lembaga
pemerintah.
Ini merupakan kebutuhan masyarakat yang memerlukan alat pembayaran praktis, mudah
dan aman dan penurunan biaya transaksi untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi sekaligus
untuk mengantisipasi tingkat kriminalitas yang semakit tinggi dengan penggunaan uang tunai
seperti pencurian uang, perampokan, GNNT dapat memperkecil peredaran uang di Indonesia
yang akan mengakibatkan inflasi ekonomi di Indonesia.

7
Uang elektronik yang dikeluarkan oleh perbankan syariah diharapkan dapat bersaing
dalam menyediakan pilihan bagi masyarakat Muslim Indonesia dalam menjalankan GNNT dan
menerapkan sistem less cash.

Hukum Islam tentang Uang Elektronik


Dalam hukum Islam, semua cara transaksi muamalah diperbolehkan dan hukumnya
adalah mubah, berdasarkan kaidah fiqhiyyah “Al-Ashlu fi al-mu`amalati al-ibahah illa an
yadullad dalilu `ala tahrimiha (pada dasarnya segala bentuk muamalat diperbolehkan kecuali
ada dalil yang mengharamkannya).
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) telah mengeluarkan
Fatwa Nomor 116/DSN-MUI/IX/2017 tentang Uang Elektronik Syariah (UESy). Fatwa tersebut
menetapkan bahwa dalam konteks UESy, akad yang digunakan adalah wadi’ah dan qard antara
penerbit dan pemegang UESy.
Adapun akad yang digunakan penerbit dengan para pihak dalam pelaksaan UESy adalah
akad ijarah (sewa-menyewa/upah-mengupah), ji’alah (janji atau komitmen untuk memberikan
imbalan tertentu) dan wakalah bil ijarah (pemberian kuasa dengan upah). Ketiga jenis akad
tersebut dapat pula digunakan antara penerbit dengan agen layanan keuangan digital.
Di dalam fatwa tersebut, akad wadiah adalah akad penitipan uang dari pemegang UESy
kepada penerbit dengan ketentuan pemegang uang elektronik dapat mengambil atau menarik
atau menggunakan kapan saja sesuai kesepakatan.
Dilihat dari aspek prinsip, UESy yang yang sesuai dengan prinsip-prinsp syariah harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
1. Tidak Riba. Riba adalah tambahan yang diberikan dalam pertukaran barang-barang
ribawi (al-amwal ar-ribawiyah) yakni emas, perak, tepung gandum, biji gandum, kurma
dan garam. Dan tambahan yang diberian atas pokok utang bila ditunda pembayarannya.
2. Tidak Gharar (tipuan). Gharar adalah ketidakpastian dalam suatu akad, baik mengenai
kualitas, kuantitas objek akad, maupun penyerahannya.
3. Tidak maysir (judi). Maysir adalah setiap akad yang dilakukan dengan tujuan yang tidak
jelas, dan perhitungan yang tidak cermat, spekulasi atau untung-untungan.

8
4. Tidak tadlis. Tadlis adalah tindakan menyembunyikan kecacatan objek akad yang
dilakukan oleh penjual untuk mengelabuhi pembeli seolah-oleh objek akad tersebut
tidak cacat
5. Bukan merupakan risywah. Risywah (suap) adalah suatu pemberian yang bertujuan
untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya, membenarkan yang batil dan menjadikan
sesuatu yang batil sebagai sesuatu yang benar
6. Isyraf. Isyaf adalah pengeluaran harta yang berlebihan (melampaui batas)

Menuju Islamic Cashless Society


Saat ini, sudah banyak UESy yang beredar di masyarakat, di antaranya adalah E Money
dikeluarkan oleh Bank Syariah Mandiri, BRIZZI dikeluarkan oleh BRI, BNI Tap Cash
dikeluarkan oleh BNI Syariah, Flazz dikeluarkan oleh BCA Syariah. Setelah penggabungan
BSM, BRI Syariah dan BNI Syariah menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI) per 1 Februari 2021
lalu, tentunya UESy yang diterbitkan akan lebih banyak manfaat dan fungsinya.
Agar pemanfaatan UESy lebih masif dan menjangkau semua kalangan maka Perbankan
Syariah harus melakukan beberapa hal, di antaranya: Pertama, sosialisasi dan edukasi
masyarakat secara lebih luas lagi mengenai keberadaan dan kemanfaatan UESy. Kedua,
memperbanyak kerja sama yang saling menguntungkan dengan lebih banyak mitra dalam
penggunaan transaksi UESy. Ketiga, memanfaatkan komunitas dan memberdayakan masyarakat
Muslim dalam pemanfaatan UESy.
Apabila hal-hal tersebut dapat dilakukan maka akan terbangun budaya less cash di
masyarakat Muslim Indonesia, yang pada akhirnya akan terbentuk Islamic Cashless Society yang
menggunakan prinsip saling tolong menolong (ta’awun) dan adil/merata (tawazun).
Yang dimaksud dengan Islamic cashless society adalah masyarakat Islam yang 100%
menggunakan uang nontunai dalam bertransaksi, sedangkan lesscash society adalah masyarakat
yang tidak sepenuhnya menggunakan nontunai.

Anda mungkin juga menyukai