Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH BAHASA SUNDA

MENGENAI PANGERAN ARYA KEMUNING


DAN KUDA WINDU

Disusun Oleh :

1. Nilvania Patanggu
2. Nurul Hikmah
3. Putri Naumi Anwar
4. Ravi Faqihudin
5. Reva Sintyia Ayu
6. Reyhan Amru Kurniawan
7. Rynath Meliana Agustin

SMA NEGERI 1 CILIMUS


Jl.Panawuan nomor 221 Cilimus Kabupaten Kuningan 4555
Arya Kuningan dan Arya Kemuning
Ditulis Admin  Kamis, 14 Oktober 2021  3 Komentar

Nama Arya Kuningan dan Arya Kemuning sering kita baca dan dengar dari
beberapa babad maupun buku-buku sejarah Cirebon, Kuningan dan
Indramayu. Tidak jarang pula banyak orang yang menyangka bahwa kedua
nama tersebut merupakan nama dari 1 orang yang sama, sementara
sebagiannya lagi berpendapat bahwa kedua nama tersebut adalah nama dari 2
tokoh yang berbeda.

Menurut sejarah Kuningan, bahwa antara Arya Kuningan dan Arya


Kemuning adalah dua tokoh yang berbeda. Sehingga amat keliru jika
menyamakan Arya Kuningan dan Arya Kemuning.

Masih menurut Sejarah Kuningan, bahwa sebelum Sunan Gunung Jati


menyebarkan Islam di Kuningan, di daerah tersebut ada satu Kerajaan kecil
bawahan pajajaran yang bernama "Kajene", Kerajaan Kajene memiliki
daerah bawahan bernama "Luragung". 

Kerajaan Kajene kala itu diprintah oleh Arya Kemuning (Nama aslinya Brata
Wijaya/Wiyana) yang masih beragama Hindu, adapun Luragung diprintah
oleh Ki Gedeng Luragung (Nama aslinya Jayaraksa) yang juga masih
beragama Hindu.

Ilustrasi Arya Kuningan


Pada suatu ketika, Ki Gedeng Luragung berhasil diislamkan Sunan Gunung
Jati, selanjtnya guna mengikat tali kekerabatan, Sunan Gunung Jati
mengambil anak Ki Gedeng Luragung  yang masih kecil sebagai anak
angkatnya, anak itu dikemudian hari dikenal dengan nama "Arya Kuningan".

Selain mengislamkan Ki Gedeng Luragung, rupanya tidak berselang lama,


Arya Kemuning yang juga merupakan Raja Kajene akhirnya dapat
diislamkan. Guna mengikat tali kekerabatan dengan Arya Kemuning, Sunan
Gunung Jati menitipkan Arya Kuningan ke Arya Kemuning untuk dididik. 

Dikemudian hari, ketika besar, Arya Kuningan diangkat menggantikan


kedudukan  Arya Kemuning sebagai penguasa Kajene, pada masa ini, Kajene
diubah namanya menjadi Kuningan. Sementara kedudukannya berubah dari
yang semula bawahan Pajajaram menjadi Kadipaten bawahan Kesultanan
Cirebon. 

Jadi, berdasarkan uraian tersebut, maka antara Arya Kuningan dan Arya
Kemuning menurut sejarah Kuningan adalah dua tokoh yang berbeda. 

Arya Kuningan dalam Sejarah Cirebon dan Indramayu


Menurut Sulendraningrat dalam bukunya sejarah Cirebon, bahwa anak
angkat Sunan Gunung Jati dari Ki Gedeng Luragung adalah tokoh yang
disebut dengan Pangeran Kuningan, sejak kecil Pangeran Kuningan
dititipkan kepada Ki Gedeng Kemuning. 

Uraian dalam sejarah Cirebon di atas jelas memperkuat versi yang


diinformasikan dalam sejarah Kuningan, jika antara Arya Kuningan dan Arya
Kemuning adalah dua tokoh yang berbeda, bukan tokoh yang sama. 

Selain itu, dalam beberapa catatan sejarah Cirebon juga disebutkan bawa
selama menjadi Adipati Kuningan, Arya Kuningan telah banyak berjasa
dalam membangun Kesultanan Cirebon, seperti membantu peperangan
melawan Rajagaluh, membantu penaklukan Sundakalapa, Banten dan lain
sebagainya.

Selain disebut-sebut dalam sejarah Kuningan dan Cirebon, Arya Kuningan


juga disebut dalam sejarah Indramayu, tokoh Arya Kuningan dikisahkan
pernah menyerbu Indramayu, lantaran daerah tersebut belum juga takluk
pada Cirebon. Serangan Arya Kuningan ke Indramayu dikisahkan gagal
karena dikelabui oleh Arya Wiralodra dengan kesaktiannya.  
Pangkat Arya/Aria Serta Nama Asli Arya Kuningan
Arya atau Aria adalah gelar kebangsawanan yang sudah ada di pulau Jawa
sejak dahulu kala, di zaman Sunan Gunung Jati, gelar Aria adalah gelar yang
disandang oleh orang-orang yang berkududukan sebagai Raja Muda atau
Adipati. Oleh karena itu, tidak semua orang meskipun dari kalangan Raden
mendapatkan anugrah gelar Aria/Arya. Gelar ini hanya diperoleh secara
turunntemurun atau mendapatkan anugrah dari Raja/Sultan secara langsung. 

Mengenai Arya Kuningan dan Arya Kemuning keduanya mendapatkan gelar


tersebut karena merupakan seorang Adipati bawahan Kesultanan Cirebon dan
Raja bawahan Pajajaran. 

Sementara itu, mengenai nama asli Arya Kuningan, Adipati Kuningan


pertama itu adalah "Suranggajaya". Beliau diangkat menjadi Adipati
bawahan Kesultanan Cirebon pada tahun 1498 Masehi. Dikemudian hari,
titimangsa penobatan tersebut dijadikan sebagai hari jadi Kabupaten
Kuningan. 

Selain, kedua tokoh yang telah disebutkan ada lagi satu tokoh yang juga
dijuluki Arya Kemuning, namanya Ewangga/Awangga, bahasan mengenai
tokoh ini dapat anda baca pada artikel kami yang berjudul "Dipati Ewangga
Sang Arya Kemuning II"

Penulis: Bung Fei

Riwayat Kuda Si Windu, Tunggangan Arya


Kuningan
Ditulis Admin  Minggu, 27 Maret 2022  Tulis Komentar

Kuda Si Windu atau juga disebut Si Winduhaji adalah Kuda yang menurut
beberapa sumber sejarah disebut sebagai kuda tunggangan Arya Kuningan,
sementara dalam versi lainnya disebut sebagai Kuda tunggangannya Adipati
Awangga/Ewangga. 

Kuda Si Windu kini dijadikan sebagai ikon kota Kuningan, maka tidaklah
mengherankan jika di Kabupaten Kuningan banyak sekali patung Kuda,
tentunya patung kuda yang dimaksud adalah patung kuda Si Windu, yaitu
kuda yang dahulu menjadi tunggangannya Adipati Kuningan atau Arya
Kuningan.
Antara Arya Kuningan dan Adipati Awangga atau Ewangga ini memang bagi
sebagian orang masih membingungkan, sebab Adipati Awangga ini juga
sosok orang yang dijuluki Pangeran Kuningan Adipati/Dipati Kuningan.

Arya Kuningan, dalam catatan sejarah mempunyai nama asli "Suranggajaya"


merupakan anak dari Jaya Raksa (Ki Gedeng Luragung), dengan demikian
Arya Kuningan dan Adipati Awangga adalah dua tokoh yang berbeda.

Lebih dalam mengenai perbedaan antara Arya Kuningan dan Adipati


Ewangga atau Awangga itu dapat anda baca dalam artikel kami yang
berjudul " Arya Kuningan dan Arya Kemuning"

Merujuk pada beberapa catatan sejarah yang ada, penulis lebih meyakini jika
Kuda Si Windu adalah kuda milik Suranggajaya atau Arya Kuningan, tokoh
yang menjadi anak angkat Sunan Gunung Jati, juga sekaligus orang yang
menjadi Adipati Kuningan pertama, bukan Adipati Eawangga yang kelak
dikenal dengan julukan Arya Kemung II (Menggantikan kedudukan ayahnya
Arya Kemuning I) . 

Baca dalam : Dipati Ewangga Sang Arya Kemuning II

Kuda Si Windu dalam beberapa catatan sejarah Cirebon disebut sebagai kuda
yang dipergunakan Arya Kuningan ketika terjun dalam medan pertempuran.
Diantaranya pertempuran melawan Rajagaluh, dan digunakan dalam
peristiwa penyerbuan Dermayu (Indramayu). 

Sulendraningrat (1978) menyebutkan bahwa pertempuran antara Cirebon dan


Rajagaluh terjadi pada tahun 1527 sementara peristiwa serbuan Cirebon ke
Indramayu terjadi pada tahun 1528. Dengan demikian Kuda Si Windu
dipergunakan ketika kondisi Jawa Barat sedang panas-panasnya karena
waktu itu (1527-1530) sedang terjadi pertempuran antara aliansi Cirebon-
Demak Vs Sunda-Portugis. 

Legenda Rupa dan Asal-Usul Kuda Si Windu


Menurut legenda, Kuda Si Windu adalah kuda putih dengan perawakan
besar, selain itu kuda ini juga larinya sangat cepat dibandingkan kuda
kebanyakan. Oleh karena itu, di Kesultanan Cirebon nama Kuda Si Windu,
tunggangan Arya Kuningan itu begitu populer di zamannya. 
Saking cepatnya dalam berlari, konon apabila Arya Kuningan melakukan
perjalanan dari Cirebon ke Kuningan atau sebaliknya dapat ditempuh labih
cepat dibandingkan dengan kuda lainnya. 

Sementara itu, mengenai asal-usulnya, Kuda Si Windu bapaknya merupakan


Kuda hadiah asal Demak, dahulunya kuda tersebut dipelihara oleh Jaka
Tingkir, menantu Sultan Trenggono yang dikemudian hari manjadi Sultan
Pajang. Sementara ibu dari Kuda Si Windu adalah kuda asal Sumbawa. Dari
perkawinan antara Kuda Jawa hadiah Sultan Demak dan Kuda Sumbawa
itulah lahir Si Windu/Winduhaji yang nantinya digunakan Arya Kuningan
sebagai tunggangannya. 

Salah Satu Patung Kuda Si Windu di Kuningan

Legenda Kematian Kuda Si Windu


Menurut penututran orang-orang Desa Sindangkasih Kec Beber Kab
Cirebon, bahwa di desanya ada situs makam "Parnawindu atau Bernawendu"
yang sebetulnya situs makam tersebut merupakan makam Kuda Si Windu
milik Arya Kuningan. 

Menurut dongeng masyarakat setempat, bahwa ketika Arya Kuningan kalah


bertempur dengan pasukan Rajagaluh pimpinan Arya Kiban, di Palimanan,
Arya Kuningan mengundurkan diri, sementara kudanya tertinggal di medan
pertempuran dalam kondisi terluka. Dalam keadaan seperti itu, Kuda Si
Windu kemudian diselamatkan oleh seorang tokoh yang bernama "Adipati
Kincir". 

Baca Juga : Formasi Burung Bayan dalam Perang Cirebon Vs Rajagaluh

Pada mulanya, Adipati Kincir hendak membawa Kuda Si Windu ke


Kuningan untuk diserahkan kepada tuannya di Kuningan, akan tetapi ketika
sampai di Sindangkasih, rupanya Si Windu menemui ajalnya, sehingga kuda
tersebut kemudian dimakamkan di Sindangkasih. 

Disisi lain, Adipati Kincir dikemudian hari juga menetap di Sindangkasih


dan nantinya wafat dan dimakamkan di desa itu, makam Adipati Kincir tidak
beberapa jauh dari lokasi Kuda Si Windu dimakamkan.

Apabila merujuk pada beberapa naskah kuno Cirebon dan Indramayu


maupun beberapa buku sejarah Cirebon, dapatlah dimengerti jika perang
Cirebon Vs Rajagaluh (1527) termasuk didalamnya perang yang berlangsung
di Palimanan lebih dahulu dibandingkan dengan peristiwa serangan arya
Kuningan ke Indramayu (1528). Karena hal itulah tidak mungkin jika Kuda
Si Windu wafat selepas peristiwa kekalahan Arya Kuningan di Palimanan
melawan Rajagaluh, sebab dalam sumber-sumber Cirebon dan Indramayu,
ketika Arya Kuningan menyerbu Indramayu, beliau masih menaiki Kuda Si
Windu. 
Dipati Ewangga/ Adipati Awangga Sang Arya
Kemuning II
Ditulis Admin  Sabtu, 16 Oktober 2021  3 Komentar

Dipati Ewangga kadang juga disebut Adipati Awangga adalah Senopati


(Panglima Perang) asal Kuningan yang kiprahnya tercatat dalam beberapa
naskah kuno Cirebon. Tokoh ini banyak membantu Cirebon terutamanya
ketika Cirebon bersama-sama Demak menaklukan Banten dan Sunda
Kelapa. 

Menurut beberapa sumber, Dipati Ewangga adalah anak Bratawiyana (Arya


Kemuning I). Usianya sepadan dengan Suranggajaya (Arya
Kuningan).Dahulu, ketika Sunan Gunung Jati mengislamkan Jayaraksa,
penguasa Luragung yang berjuluk Ki Gedeng Luragung, Sunan Gunung Jati
berhasil pula menjadikan Luragung sebagai wilayah kekuasaan Cirebon. 

Guna mengikat tali kekerabatan, Sunan Gunung Jati mengangkat


Suranggajaya (Arya Kuningan), anak Ki Gede Luragung menjadi anak
angkatnya. Namun dikemudian hari, Sunan Gunung Jati setelah
mengislamkan Penguasa Kajene (Arya Kemuning/Bratawiyana) Sunan
Gunung Jati menitipkannya kepada Arya Kemuning, pada waktu itu Arya
Kemuning mempunyai anak laki-laki yang seusia dengan Suranggajaya,
namanya Ewangga/Awangga.
Ilustrasi Senopati Cirebon

Selanjutnya pada tahun 1498, Suranggajaya, diangkat menjadi Adipati


Kuningan (Kekuasaannya mencakup bekas wilayah Kajene-Luragung), selain
itu Sunan Gunung Jati juga mengangkat Ewangga sebagai Dipati Anom
(Semacam Perdana Mentri) untuk membantu Arya Kuningan. Kelak
sebagaimana bapaknya Dipati Ewangga digelari Arya Kemuning (Arya
Kemuning II).

Baca Juga: Arya Kuningan dan Arya Kemuning

Dipati Ewangga dalam Versi Lain


Dipati Ewangga atau Adipati Awangga menurut Slundraningrat (1985, hlm
102), disebut bukan anak Bratawiyana (Arya Kemuning I),
melainkan seorang bangsawan yang asalnya dari Parahyangan (Cianjur) yang
pada awalnya ingin berguru/belajar agama Islam kepada Sunan Gunung Jati,
lalu oleh Sunan Gunung Jati diperintahkan untuk pergi ke Kuningan
membantu putra angkatnya, yaitu Suranggajaya dalam mengelola
pemerintahan di Kuningan.

Menurut versi ini juga Adipati Awangga disebut sebagai cucu Prabu
Siliwangi yang mulanya sebagai pewaris tahta di Parahyangan (Dalem
Cianjur), namun setelah berguru agama Islam ke Cirebon dan masuk Islam.
Beliau lebih suka tinggal di Cirebon, sementara kedudukan sebagai Dalem
Cianjur diserahkan kepada adiknya Adpati Selalarang. 

Dipati Ewangga dalam Penaklukan Banten dan Jayakarta


Ketika Cirebon dan Demak melakukan Invasi ke Banten dan Sunda Kelapa
pada 1526-1528, Dipati Ewangga ditugaskan Sunan Gunung Jati untuk
membantu Fatahillah.

Selepas mengusir Portugis dan menguasai Sunda Kelapa, Dipati Ewangga


menetap di Sundakelapa dan mendirikan perkampungan yang dinamai
"Kuningan" sesuai nama tempat kelahirannya. Di Sunda Kelapa/Jayakarta,
Adipati Ewangga lebih dikenal dengan nama "Pangeran Kuningan". 

Pemerintahan di Jayakarta setelah penaklukan mulanya diserahkan Sunan


Gunung Jati kepada Fatahillah, akan tetapi setelah Fatahillah di tarik ke
Cirebon, Adipati Ewangga menggantikan kedudukan Fatahillah sebagai
Adipati Jayakarta. Menurut Sejarah Jakarta, Adipati Ewangga wafat dan
dimakamkan di Kelurahan Kuningan Jakarta. 

Pendapat tersebut bertentangan dengan bukti-bukti yang ada di Cirebon,


karena meskipun sejarah Cirebon mencatat Dipati Ewangga ikut serta dalam
penaklukan Sunda Kelapa dan sempat menjadi penguasa disana, beliau pada
akhirnya pulang ke Cirebon dan wafat di Cirebon, makamnya dapat ditemui
dikomplek makam raja-raja Kesultanan Cirebon, yaitu di komplek
Pemakaman Sunan Gunung Jati Cirebon.

Lihat dalam : Denah Komplek Pemakaman Sunan Gunung Jati Cirebon

Keturunan Dipati Ewangga


Masih menurut Sulendraningrat (hlm 102), bahwa Dipati Ewangga atau
Adipati Awangga memiliki empat orang anak laki-laki yang setelah ia awafat
diperbantukan untuk membantu Arya Kuningan, adapun anak-anak Adipati
Awangga yang dimaksud adalah (1) Dipati Anom, (2) Dipati Cangkúang
Muda, (3) Dipati Sukawiyana dan (4) Dipati Selanunggal.

Penulis: Bung Fei

Anda mungkin juga menyukai