Anda di halaman 1dari 4

Kematian Sang Pengarang ala 

Barthes

Ketika teks terlahir, maka pengarang telah tiada. Dia digantikan oleh pembaca yang
bebas menafsirkan teksnya.

Ketika membaca sebuah cerita, novel atau cerpen, muncul pertanyaan siapa sebenarnya
yang tengah berbicara? Apakah sang hero, sang tokoh sebagai individual, ataukah
sebenarnya suara pengarang sendiri yang disusupkan melalui suara tokoh-tokohnya
maupun melalui sang narrator?

Sang tokoh sebagai individu yang tengah memperjuangkan ideologi, misalnya, marxis,
atau mungkin sang pengarang yang membela ideologi kaum feminis?

Dikatakan oleh Roland Barthes dalam esainya The Death of The Author bahwa ketika
pengarang menulis karyanya, maka sebenarnya dia (pengarang) telah mati. Dia terpisah
dari teksnya. Teks tersebut sekarang sudah bukan miliknya lagi.

Pengarang adalah figur modern yang merupakan produk dari masyarakat sejak jaman
pertengahan Empirisme Inggris, Rasionalisme Prancis, maupun yang lainnya. Dari sana
Sastra kemudian menganut prinsip positivism.

Berdasar prinsip positivsm tersebut, hanya berlaku kebenaran tunggal, seperti yang
berlaku pada kebenaran dogmatis agama. Dalam hal ini kebenaran versi pengarang
memiliki kedudukan yang setara dengan kebenaran tuhan seperti dalam agama.
Pengarang sebagai penyampai pesan tuhan (The massanger from God).

Akibatnya, pengarang mendapat porsi yang berlebihan. Apa yang disampaikannya adalah
kebenaran. Kebenaran yang tak dapat dibantah lagi. Pun demikian teks yang dihasilkan,
tak dapat dibantah oleh pembaca siapapun.
Secara kebahasaan, pengarang tak lebih hanya sebuah tulisan siap saji (instance writing).
Seperti kata “I” tak lebih dari tulisan I, bukan pengarang yang sebenarnya. Bahasa
mengetahui subyek bukan orang. Ia kosong, tak berarti apa-apa, di luar ucapan yang
ditentukan. Pembacalah yang kemudian akan mengisi kekosongan ini, memaknai I
menurut pemahamannya masing-masing, menurut kepentingannya masing-masing pula.
Penghapusan sang pengarang dimaksudkan untuk membebaskan teks dari pengarang.
Ada jarak antara pengarang dengan teks. Ketika teks itu terlahir, maka teks tersebut
sudah terpisah dari pengarangnya. Ada sifat temporal.

Dalam grafik berikut ini menjelaskan tentang konsep tersebut:

Buku dan pengarang berada dalam garis lurus terbagi antara sebelum (before) dan
(sesudah). Pengarang saat ini mungkin akan berbeda dengan pengarang yang dulu, ketika
menulis buku. Apa yang diyakininya sekarang bisa jadi tidak sama persis dengan yang
dimilikinya dulu, bahkan sudah berubah.

Dari grafik di atas juga bisa dijelaskan bahwa garis yang memisahkan antara before dan
after benar-benar memisahkan antara author dan book. Keduanya memiliki dunianya
masing-masing. Maka setelah melewati batas itu, book yang dihasilkan oleh sang author
sudah menjadi produk lain, yang bukan miliknya lagi.

Teks bukan merupakan sederatan kata yang mempunyai arti teologis (pesan pengarang
dari tuhan) tapi dilihat secara multidimensional sebagai sebuah variasi bentuk penulisan.
Teks tersebut tak pernah asli. Begitu juga teks yang ditulis oleh pengarang. Ia hanya
tiruan dari apa yang dilihat dan dirasakan oleh pengarang. Pengarang hanya
menerjemahkan dari apa yang dibacanya, bukan menyalin arti yang sebenarnya.
Dengan kata lain, hidup tak lebih dari meniru buku. Dan buku itu sendiri hanya
merupakan sebuah tisu tanda, dan tiruan yang hilang, yang tertangguhkan maknanya.
Pembaca adalah pembaca yang tengah membaca teks secara utuh, tanpa ada yang
dihilangkan. Kesatuan teks berada pada keasliannya bukan pada tujuan dibalik teks itu
sendiri. Pembaca bukan dirinya yang sebenarnya. Dia adalah orang yang tengah
membaca teks yang entah siapa pengarannya. Seperti yang dinyatakan dalam kutipan di
bawah ini.

“…The reader is the space on which all the quotations that make up a writing are
inscribed without any of them lost; a text’s unity lies on its origin but its destination.
Ketika pengarang dihapuskan, teks menjadi bebas. Menyerahkan teks pada pengarang
hanya akan membatasi kebebasan teks. Karena teks bersifat tidak terikat. Ia hanya
sederetan abjad yang kosong tak berarti apa-apa. Pembacalah yang kelak akan
mengisinya, memenuhi gelas yang masih kosong itu, dengan pengalaman dan
kepentingannya masing-masing.

Ibarat sebuah buku, buanglah sampulnya. Hapus nama pengarangnya. Cukup ambil
isinya, tak usah lagi dipikirkan siapa pengarangnya.

Pandangan ketika author ditemukan maka teks akan berbicara mengahadapi dilema
karena author sendiri sebenarnya juga bagian dari masyarakat, dari obyek yang dikritik.
Pengarang sendiri tidak bebas nilai. Dia bias. Dia tak pernah bisa obyektif. Lalu
bagaimana teksnya akan ditempatkan sebagai sebuah kebenaran tunggal?

Itulah sebabnya mengapa sastra (akan lebih baik bila sekarang menyebutnya tulisan)
menolak untuk memberikan rahasia, makna yang diagung-agungkan, membebaskan dari
apa yang disebut aktivitas antiteologi, gerakan revolusioner yang menolak kebenaran
mutlak, yang pada akhirnya menolak kebenaran Tuhan dan hipotesisnya.

Peristiwa kematian pengarang ini pada sisi lain akan dibarengi dengan kelahiran
pembaca. Pembaca adalah orang yang berhak menerjemahkan teks. Teks bersifat tidak
terikat. Maka akan sangat mungkin terjadi multitafsir antara satu pembaca dengan
pembaca lainnya. Ini tak masalah.
Pembaca dengan segala pengalaman membacanya, sebenarnya diam-diam telah
menyususun strategi unuk mencari kebenaran sesuai yang dikehendakinya. Lalu kenapa
kita masih sering manafikan kehadiran pembaca itu? Maka biarlah teks yang berbicara.
Biarlah pembaca sendiri yang memaknainya, memenuhi gelas yang masih kosong itu.

Anda mungkin juga menyukai