Anda di halaman 1dari 14

INTERTEKS/INTER-TEKS

Sapardi Djoko Damono



Membaca teks pada hakikatnya melibatkan tiga pihak: pengarang, teks, dan pembaca.
Masalah teori sastra sampai hari ini pada dasarnya menyangkut pihak(-pihak) mana
sebenarnya yang menghasilkan sastra. Pengarang bukanlah sastra, ia penghasil teks sastra;
teks sastra juga bukan sebab ia sekadar benda budaya yang dalam kesusastraan modern
umumnya berbentuk tulisan dalam buku atau lembaran kertas, atau malah di layar komputer;
pembaca juga jelas bukan sastra, tetapi ada satu hal penting yang perlu disebut dalam
kaitannya dengan pembaca: sastra baru ada setelah ia membacanya. Sastra hanya ada dalam
pikiran pembaca, tidak di luarnya, juga tidak di dalam pikiran pengarang, kecuali kalau yang
disebut terakhir ini juga kemudian menjadi pembaca. Teks hanya berisi deretan huruf yang
kadang-kadang mengandung gambar, sekadar benda budaya yang di zaman kita ini memiliki
ujud karena adanya perkembangan teknologi. Di zaman ketika belum ada teknologi kata, teks
bisa saja hanya berupa penyampaian lisan dan gerak-gerik orang yang melisankannya.
Sampai pada tahap tertentu dalam diskusi tentang sastra, pengarang dianggap sebagai
sumber sastra dianggap sebagai pencipta sastra. Itu sebabnya buku-buku tentang sejarah
sastra di mana pun terutama berisi berbagai seluk-beluk tentang pengarang: riwayat hidup
dan daftar karya telah yang dihasilkannya, dan pembicaraan umumnya dipumpunkan ke sang
pengarang. Teks disinggung sekadarnya, pembaca sama sekali tidak muncul dalam
pembicaraan. Yang dianggap sebagai sumber sastra adalah pengarang, ia yang mengontrol
makna. Keadaan ini sampai sekarang masih terjadi di mana pun, terbukti dengan adanya
berbagai buku tentang riwayat hidup pengarang dan warna-warni wawancara dengan
pengarang. Di antara kita, tidak terkecuali kritikus sastra, ada yang masih suka menanyakan
makna sebuah teks kepada pengarang dan menentukan maknanya berdasarkan apa yang
dikatakan pengarang. Proses begini tentu saja tidak akan terjadi kalau pengarang sudah mati
dan oleh karenanya tidak bisa ditanyai lagi, tetapi tetap saja ada yang mencoba mencari-cari
jejak-nya dalam riwayat hidupnya: agama, bacaan, pergaulan, lingkungan sosialnya, dan
sebagainya. Itulah pada hakikatnya yang menjadi urusan pendekatan sosiologis terhadap
sastra.
Sampai pada suatu waktu di tahun 1960-an ketika seorang pemikir sastra dari Perancis,
Roland Barthes, memproklamasikan kematian pengarang. Katanya (Allen, 2000: 3-4; Lye,
2001), ketika dalam proses menulis teks, pengarang mengalami proses kematiannya dan ketika
teks selesai ditulisnya ia benar-benar sudah lenyap atau mati, suatu peristiwa yang kemudian
disusul dengan kelahiran pembaca. Pokok gagasannya adalah kematian pengarang dan
kelahiran pembaca, dengan menekankan bahwa keutuhan teks tidak berada di tangan penulis
atau asal-usulnya tetapi pembaca yakni sasaran karangan itu. Dengan kata lain, sastra tidak
ada oleh pengarang tetapi oleh pembaca. Sastra hanya ada di pikiran pembaca. Bahkan
dikatakan bahwa yang melahirkan teks bukanlah pengarang tetapi bahasa. Barthes
menyatakan bahwa yang bicara adalah bahasa, bukan pengarang; yang melakukan tindakan,
yang melakukan sesuatu adalah bahasa, bukan suatu aku. Juga dikatakannya, kalau
pengarang menulis, ia juga ditulis. Lenyapnya pengarang dengan demikian berarti
pembebasan bagi pembaca dalam menghadapi teks.
Lye (2001) memberikan penjelasan yang gamblang tentang gagasan pengarang telah mati
itu. Katanya, kita tidak bisa mengelakkan kenyataan bahwa ada pengarang yang namanya
William Faulkner yang duduk menulis dan menghasilkan buku berjudul As I Lay Dying; itu
tak perlu dibantah lagi. Tetapi, dalam kaitannya dengan interpretasi, seorang kritikus bekerja
dengan kesadaran bahwa Faulkner tidak akan mengawasinya ketika kritikus itu menuliskan
interpretasinya. Ia bebas menghadapi teks itu seolah-olah pengarangnya tidak pernah ada,
Interteks/inter-teks

dan dengan demikian mendapatkan kebebasan untuk melakukan pembacaan. Lebih jauh lagi,
apakah memang pengarang benar-benar tahu apa yang dia maksudkan dengan karangannya?
Seandainya pun ia merasa tahu, apakah yang dipikirkannya itu benar-benar ada dalam teks
yang kita baca? Apakah pesan, seandainya memang ada, yang mau disampaikannya benar-
benar tercantum dan terbaca dalam teks? Kita tentu tidak boleh berpura-pura bahwa kita
mengetahui apa yang ada di benak pengarang; kita juga tidak boleh menurut saja apa yang
dikatakan pengarang seandainya ia bisa atau pernah menjelaskan apa yang
dimaksudkannya. Kata Lye, kalau kita menurut saja apa yang dikatakannya, untuk apa pula
ada ratusan atau ribuan telaah berbeda-beda yang telah ditulis tentang, misalnya,
Shakespeare? Lye juga mengutip kata-kata Paul Ricoeur, buku membelah tindak penulisan
dan tindak pembacaan menjadi dua bagian, dan tidak ada komunikasi di antara kedua bagian
itu. Bahkan, juga dikatakan Ricoeur, Kadang-kadang saya ingin mengatakan bahwa membaca
buku adalah membayangkan bahwa pengarangnya telah meninggal dunia.
Pernyataan-pernyataan tersebut juga merupakan kelanjutan dan sekaligus koreksi atas
cara berpikir yang menegaskan bahwa pengarang adalah segala-galanya dalam penciptaan
sastra. Namun, sebelumnya, sudah ada upaya untuk menyingkirkan pengarang dan pembaca
dari pembacaan, yang muncul dari kitakpuasan akan dominasi kritik biografi yang
berkembang di Barat yang menekankan pentingnya pemanfaatan biografi pengarang dalam
upaya memahami karya sastra (Wimsatt dan Beardsley, 1972: 333-358). Dalam sejumlah besar
kritik yang ditulis sebelumnya, biografi pengarang mendapat perhatian utama sehingga kritik
sastra lebih merupakan pengungkapkan riwayat hidup sastrawan ketimbang pembicaraan atas
karya mereka. Sastra hanya dianggap sebagai semacam catatan kaki dari kehidupan
sastrawan. Kecenderungan ini menguasai sejumlah besar buku sejarah sastra yang beredar,
terutama yang dipergunakan di sekolah-sekolah.
Pembaca lebih memahami seluk-beluk kehidupan sastrawan dan mungkin bahkan tidak
pernah, dan tidak dianggap perlu, membaca karya mereka. Kritik sastra baru yang
mempertanyaankan posisi pengarang ini pada dasarnya memberi tekanan pada pandangan
bahwa teks sastra adalah autotelic artifact, benda budaya yang bisa memenuhi kebutuhannya
sendiri, yang ada demi dirinya sendiri, yang bentuknya utuh dan sama sekali tidak tergantung
pada apa pun yang berada di luar teks itu sendiri. Teks sastra harus diperlakukan sebagai teks
sastra dan tidak sebagai sesuatu yang lain. Tidak ada manfaatnya membaca teks sastra sebagai
sesuatu obyek yang keberadaannya tergantung pada hal yang di luar teks. Puisi, misalnya,
adalah benda budaya yang merdeka dan mandiri, yang harus kita baca sebagai sesuatu yang
tidak seharusnya dikait-kaitkan dengan apa pun di luarnya. Dengan kata lain, teks sastra
adalah benda budaya yang otonom.
Dalam pendekatan itu kita diperingatkan untuk sama sekali menjauhkan karya sastra dari
maksud dan emosi kita sebagai pembaca maupun emosi si pengarang sebagai pencipta. Dalam
hal ini ada dua konsep penting yang dianggap haram oleh kritik ini, yakni intentional fallacy
dan affective fallacy. Konsep pertama itu menyatakan bahwa karya sastra sama sekali harus
dipisahkan dari maksud pengarang ketika mencipkannnya; juga harus dijauhkan dari segala
sesuatu yang merupakan konteks sosial waktu diciptakannya. Dalam menganalisis teks sastra,
biografi pengarang, misalnya, sama sekali tidak boleh dipergunakan untuk menentukan
makna-nya. Konsep kedua, affective fallacy, mengharamkan keterlibatan pribadi pembaca
dalam menghadapi teks sastra. Kritik ini menyatakan bahwa kritikus harus membuang jauh-
jauh dampak moral dan psikologis yang mungkin ditimbulkan karya sastra terhadap pembaca.
Jika dua konsep itu tidak diperhatikan maka kritik yang dihasilkan cenderung tidak obyektif
sehingga teks sastra yang merupakan obyek kritik itu hanya menjadi sangkutan biografi dan
niat pengarang atau emosi pembaca sehingga sama sekali tidak obyektif.
Gagasan kelompok kritik yang dikenal sebagai new criticism, yang pernah berkembang
terutama di Amerika Serikat, pada dasarnya bersumber pada beberapa pernyataan seorang

2

Interteks/inter-teks

budayawan dan pujangga Inggris, T.S. Eliot, yang menyatakan bahwa dalam puisi tidak ada hal
yang disebut orisinalitas mutlak, yang sama sekali tidak berhutang pada yang ada sebelumnya
(Eliot, 1953: 24). Karena tidak orisinal, maka puisi (dan teks pada umumnya) tentu bukan
milik pengarang. Dikatakannya lebih jauh bahwa puisi bukanlah pelepasan emosi secara liar,
tetapi merupakan upaya untuk melepaskan diri dari emosi; puisi bukan pengungkapan jati
diri, tetapi pelarian dari jati diri. Namun, hanya mereka yang memahami apa makna emosi
dan jati diri mampu membebaskan diri dari keduanya (Eliot, 1953: 30).
Sikap negatif terhadap apa yang bisa saja disebut sebagai dominasi pemaknaan oleh
pengarang itu juga ditunjukkan oleh Jean-Paul Sartre yang mengatakan bahwa pengarang
masa lalu dengan sikap yang tolol selalu berusaha menunjukkan eksistensi dirinya, sedangkan
pengarang modern sama sekali tidak peduli, tak dikenali dan berusaha untuk melemparkan
pembaca ke tengah-tengah semesta di mana sama sekali tidak ada saksi. Katanya, Novel harus
ada seperti halnya tumbuhan, benda-benda, dan peristiwa dan bukan pertama-tama sebagai
produk manusia. (Booth, 1961: 19). Ketika berbicara tentang masalah teknik penceritaan
telling uraian dan showing ragaan, Booth juga menyatakan bahwa batas antara kedua teknik
penceritaan itu menjadi arbitrer ketika kita membaca dengan cermat teks-teks, antara lain,
Charles Dickens, Henry Fieldings, dan George Eliott. Landasan pembacaan itu adalah
perbedaan antara teknik uraian yang dianggap sebagai cara pengarang mengontrol pembaca
dan ragaan yang dianggap membiarkan pembaca menafsir sendiri apa yang ada dan terjadi
dalam teks (Booth, 1961: 20).
Mengikuti pikiran dan istilah yang dikemukakan oleh Jessamyn West, Booth menyatakan
bahwa bagaimanapun seorang pengarang mencoba untuk bersikap impersonal, mengambil
jarak dengan yang ia tulis, pembaca akan akhirnya bisa menyusun gambaran tentang apa yang
disebut official scribe juru tulis resmi yang menulis dengan gaya tertentu dan sang juru
tulis itu tentulah tidak bersikap netral dalam kaitannya dengan nilai-nilai. Masalahnya
kemudian adalah bagaimana sebenarnya hubungan antara pengarang dan juru tulis resmi
yang ada dalam karya itu, sebab dalam beberapa karyanya bisa saja pengarang yang
sesungguhnya memilih berbagai jenis jurus tulis resmi yang berlain-lainan (Booth, 1961: 71).
Kalau kita ikuti cara berpikir itu, bersembunyi di balik apa pun, apakah itu juru tulis
resmi atau apa pun namanya, pengarang tetap ada dalam teks, meskipun ia bisa saja bukan
pengarang yang sebenarnya. Dalam kenyataannya, pengarang bisa saja menghasilkan
sejumlah teks yang berbeda-beda wataknya, dan untuk masing-masing teks itu ia bisa
menyewa atau menyuruh juru tulis resmi yang berbeda-beda pula wataknya. Dalam
kesusastraan kita hanya ada satu Pramoedya Ananta Toer, tetapi juru tulis yang menulis
Bukan Pasar Malam tampaknya berbeda dengan yang menulis Bumi Manusia. Kalau kita
berpegang pada prinsip West yang dikutip Booth itu, tentunya juru tulis yang mengerjakan
sajak Charil Anwar Aku tidak sama dengan yang menyusun Derai-derai Cemara.
Hubungan-hubungan antara pengarang, teks, dan pembaca itu semakin rumit ketika Iser
(1978: x) menjelaskan bahwa ada dua teori yang setidaknya membedakan hubungan antara
pembaca dan teks (tanpa menyebut posisi pengarang), yakni Wirkungstheori teori tanggapan
artistik dan Rezeptionstheorie teori resepsi. Dikatakannya bahwa teori tanggapan artistik
dihadapkan dengan problem bagaimana suatu situasi yang belum diformulasikan bisa
diproses dan dipahami, sedangkan teori resepsi selalu berkaitan dengan pembaca yang ada,
yang reaksinya menunjukkan penghayatan sastra yang dibentuk oleh sejarah. Teori tanggapan
artistik akarnya pada teks, teori resepsi pada pembaca. Buku yang disusun Iser beranak judul
Teori Tanggapan Estetik, yang menunjukkan bahwa pada dasarnya Iser berpegang pada teks.
Gagasan Iser ditanggapi secara kritis oleh Holub dalam Reception Theory. A Critical
Introduction (1989).

3

Interteks/inter-teks

Serangkaian gagasan yang sudah disampaikan itu tampaknya menunjukkan


kecenderungan menyisihkan pengarang dari sastra, meskipun apa yang disinggung oleh Booth
dalam kaitannya dengan pandangan West masih tetapi memberi peluang pada pengarang
yang memberi tugas kepada apa yang disebut juru tulis untuk mendapatkan ruang dalam
pemaknaan teks. Peran pengarang disingkirkan, diganti dengan sebuah konsep yang bisa
saja masih mampu menghubungkan teks itu dengan pengarang. Pengarang belum sungguh-
sungguh mati. Ia benar-benar lenyap, seperti yang disuratkan di awal karangan ini, ketika
Barthes menyatakannya demikian yang disusul oleh Julia Kristeva yang memunculkan
konsep intertekstual dan kaum yang kemudian dikelompokkan dalam arus
pascastrukturalisme. Namun, penambahan kata pasca rupanya tidak mengurangi pentingnya
teks yang berupa struktur, hanya saja pandangan tentang teks berubah sama sekali.
Dengan cara yang lebih sederhana bisa diungkapkan prinsip-prinsip umum yang berkaitan
dengan masalah kematian pengarang dan munculnya gagasan tentang teks dalam kaitannya
dengan interteks dan inter-teks berikut ini. Hartoko (1986:67) menyimpulkan dari apa yang
dibacanya, bahwa intertekstualitas adalah sebuah istilah yang mengungkapkan bahwa sebuah
teks hendaknya ditempatkan di tengah-tengah teks-teks lain. Teks-teks lain itu sering
mendasari teks yang bersangkutan. Pendekatan intertekstual (seperti misalnya yang dilakukan
dalam sastra bandingan dan sejarah sastra) hendaknya dibedakan dari pendekatan intra-
tekstual (yang terbatas pada teks yang bersangkutan sendiri, seperti misalnya yang dilakukan
dalam kritik sastra) dan pendekatan kontekstual (menurut konteks masyarakat). Dalam alam
pikiran intertekstual yang diilhami oleh ide-ide M. Bakhtin, seorang filsuf Rusia, sebuah teks
dipandang sebagai sebuah tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka teks-teks lain
(tradisi, jenis sastra, parodi, acuan, atau kutipan). Dalam kerangka keseluruhan itu teks yang
bersangkutan memperoleh artinya sendiri. Sifat teks yang otonom dan tak dapat diulangi
disangkal. Setiap teks berakar pada titik silang antara teks-teks lain. Teks yang bersangkutan
merupakan jawaban, peninjauan kembali, penggeseran, idealisasi, pemecahan, dan seterusnya.
Kesimpulan Hartoko yang jelas itu mengangkat suatu masalah, yakni bahwa pendekatan
intertekstual dilakukan dalam sastra bandingan dan sejarah sastra. Ini mengingatkan kita
pada awas-awas yang disampaikan Hawthorn yang sudah disinggung dalam karangan ini
sebelumnya, bahwa urusan intertekstualitas tidak terletak pada upaya membanding-
bandingkan dua atau lebih teks yang sudah tertentu seperti yang bisa dilaksanakan dalam
pendekatan sastra bandingan. Intertekstualitas melaksanakan pendekatan yang sama sekali
berbeda: tidak membanding-bandingkan teks-teks tetapi meyakini bahwa berbagai teks
bertemu dalam suatu (inter)teks, membentuk jaringan atau tenunan.
Semacam koreksi dari pandangan yang sudah disampaikannya, Hartoko kemudian
menyatakan bahwa dalam semiotik istilah intertekstualitas dipergunakan menurut arti yang
lebih luas. Menurutnya, segala sesuatu yang ada di sekitar kita ini, yakni kebudayaan, politik,
dan sebagainya masing-masing adalah teks. Dikatakannya juga bahwa proses terjadinya
sebuah teks adalah pembentukan sejenis tenunan...setiap arti ditenunkan dalam suatu pola
arti lain. Teks merupakan sebuah simpul yang menunjukkan ke arah kode-kode kebudayaan
yang berbeda-beda. Hartoko kemudian menjelaskan bahwa semua jenis kode itu membentuk
kebudayaan menjadi semacam tenunan atau tekstur. Teks-teks sastra, musik, politik, ilmiah,
dan piktural bersama-sama mewujudkan tenunan yang disebut Kitab Kebudayaan (Hartoko,
1986: 67).
Ada lagi pendekatan lain dalam membicarakan intertekstualitas, yakni dengan cara
menghubungkannya dengan dekonstruksi, yang dalam banyak pembicaraan dikait-kaitkan
dengan pascastrukturalisme. Luxemburg dkk., (1984: 61) menyatakan bahwa dekonstruksi
berkaitan dengan penelitian mengenai intertekstualitas, yakni kegiatan mencari berkas-berkas
teks-teks lain dalam suatu teks. Katanya, Seorang yang mengikuti paham dekonstruksi
menguraikan struktur-struktur retorik yang dipakai, mencari pengaruh dari teks-teks yang

4

Interteks/inter-teks

dulu pernah ada, meneliti etimologi kata-kata yang dipergunakan lalu berusaha agar dari teks
yang sudah dibongkar itu disusun sebuah teks baru.
Dalam rangka pemibicaraan tentang intertekstualitas, yang bisa menjadi bahan diskusi
berkaitan dengan definisi Luxemburg dan kawan-kawannya itu adalah mencari pengaruh-
pengaruh dari teks-teks yang dulu pernah ada. Pada hemat saya, intertekstualime tidak
berurusan dengan pengusutan pengaruh-mempengaruhi. Juga pengertian dari teks yang
sudah dibongkar itu disusun sebuah teks baru perlu didiskusikan. Bahwa hasil yang
kemudian bisa ada di ujung kegiatan itu adalah sebuah teks baru, hal itu bisa saja terjadi.
Namun, bukankah justru teks yang sedang dibaca itulah sebuah teks baru sebagai hasil dari
pertemuan berbagai teks yang ada sebelumnya dan di sekitarnya? Saya akan menyetujui
pandangan itu jika yang dimaksudkan dengan teks baru berada dalam pikiran kita, dan
bukan teks yang kita baca: dengan catatan, teks yang ada dalam pikiran kita itu baru karena
merupakan ramuan dari teks-teks lama yang ada dalam pikiran kita sebelumnya.
Kalau sebelumnya kritik sastra terutama new criticism memperlakukan teks sebagai
sesuatu yang tertutup, yang menekankan pentingnya hubungan-hubungan segala sesuatu
yang ada dalam teks, yang semuanya itu hanya bisa diuraikan dalam batas-batas teks tersebut,
maka kaum pascastrukturalis berkeyakinan bahwa teks bukan sesuatu yang unik, yang bisa
berdiri sendiri. Julia Kristeva menyatakan bahwa setiap teks mengambil bentuk sebagai suatu
mosaik acuan/kutipan, setiap teks merupakan penyerapan dan transformasi teks-teks lain
(Culler, 1975: 139). Pernyataan ini jelas menyangkal bahwa teks itu unik, bahwa teks itu bisa
memenuhi kebutuhannya sendiri. Sebuah teks, kata Kristeva, adalah permutasi, yakni variasi,
transformasi, kombinasi, dan perubahan dari berbagai teks; sebuah teks adalah
intertekstualitas: dalam ruang suatu teks, berbagai ujaran yang diambil dari teks-teks lain
bertemu dan mentralisir satu sama lain (Hawthorn 1992: 86). Proses bertemunya berbagai
jenis teks dalam satu teks, atau satu interteks, itulah yang yang disebut intertekstualitas
menurut Kristeva.
Dalam upaya kaum pascastrukturalis menjelaskan terputusnya sama sekali hubungan
antara teks dan pengarang, Barthes menjelaskan bahwa setiap teks adalah sebuah anyaman
baru dari kutipan-kutipan lama. Potongan-potongan kode, formula, model ritmik, fragmen
bahasa sosial, dan sebagainya masuk ke dalam teks dan tersebar di dalamnya. Sebab, kata
Barthes, bahasa telah ada sebelumnya dan juga ada di sekitar teks. Namun, sama sekali keliru
kalau dikatakan bahwa sebuah teks mendapat pengaruh dari teks-teks lain; konsep
intertekstualitas menyatakan bahwa teks apa pun tidak bisa diredusir hanya sebagai masalah
sumber atau pengaruh. Interteks adalah medan umum dari formula-formula anonim yang
asal-usulnya boleh dikatakan tidak bisa dilacak lagi, dari kesadaran atau pengutipan otomatik,
yang dimanfaatkan tanpa dimasalahkan (Hawthorn, 1992: 86-87). Barthes juga mengingatkan
kita bahwa kata teks asal-muasalnya berarti tenunan (Allen, 200: 6).
Dalam pengertian yang agak awam, intertekstualitas dianggap sebagai proses
pembandingan suatu teks tertentu dengan teks lain yang juga tertentu. Hawthorn (1992: 85)
menyatakan bahwa istilah transtekstualitas lebih sesuai untuk itu: pengungkapan hubungan-
hubungan yang lebih jelas antara teks-teks tertentu, atau antara dua teks tertentu. Tidak
jarang pengertian ini juga mengandung pengertian mencari atau menjelaskan asal-usul suatu
teks. Proses ini sama sekali bukan apa yang dimaksudkan sebagai intertekstualitas. Mencari
asal-usul Roro Mendut karya Mangunwijaya atau Ajip Rosidi dalam cerita rakyat tentang kisah
sedih itu bukanlah tindak intertekstualitas. Namun, Genette (Allen, 2000: 221; Chandler, 2000)
memberi makna lain pada istilah transtektualitas. Ia mengusulkan istilah transtekstualitas
sebagai sesuatu yang lebih luas cakupannya dari intertekstualitas. Ia membuat daftar lima
subtipe: (i) intertekstualitas: kutipan, plagiarisme, alusio; (ii) paratekstualitas: hubungan
antara teks dan parateks-nya, seperti judul, sampul buku,ucapan terima kasih, dan lain-lain;
(iii) arkitekstualitas: penamaan teks sebagai satu bagian dari satu atau lebih genre ; (iv)

5

Interteks/inter-teks

metatekstualitas: komentar kritis secara impilisit maupun eksplisit dari suatu teks terhadap
teks lain; dan (v) hipotekstualitas atau hipertekstualitas: hubungan antara sebuah teks dengan
sebuah teks yang mendahuluinya (hipoteks) yang dijadikan landasan, tetapi yang dirombak
dan diperbaikinya dalam bentuk parodi, satire, pengembangan, atau terjemahan.
Dalam kaitannya dengan pembicaraan tersebut, perlu kita simak pandangan Hawthorn
bahwa intertekstualitas khusus dipergunakan untuk menunjukkan masuknya dan
menyebarnya kenangan, gema, transformasi dari teks-teks lain ke dalam suatu teks. Teks
tempat menyebarnya teks-teks lain itulah yang sering juga disebut sebagai interteks. Ada
baiknya kalau, dalam rangka menjelaskan konsep ini, kita bergeser sedikit ke jenis seni lain.
Sudah disebutkan bahwa intertekstualitas adalah hubungan di antara dua atau lebih teks yang
mempengaruhi pembacaan suatu interteks. Interteks adalah teks yang kita hadapi, yang
merangkum berbagai-bagai jenis teks di dalamnya. Membaca adalah proses bergerak dari satu
teks ke teks-teks lain. Makna adalah sesuatu yang ada di antara satu teks dan teks-teks lain
yang yang diacunya, yang bergerak keluar dan bertemu dengan teks-teks lain itu. Demikianlah
maka teks menjadi interteks (Allen, 200: 1).
Prinsip ini sebenarnya tidak hanya berlaku pada teks verbal; teks-teks lain seperti film
adalah benda budaya yang boleh dikatakan sepenuhnya merupakan interteks: warna, musik,
gambar, gerak, pemain: semua mengacu ke teks-teks lain yang ada di sekitarnya dan
sebelumnya. Teks-teks dalam interteks itu memiliki kode masing-masing yang bertarung di
dalamnya. Ini sejalan dengan definisi intertekstualitas yang diberikan Kristeva, yakni bahwa
suatu teks hanya bisa dibaca lewat mosaik acuan dan kutipan yang tidak ketahuan lagi asal-
usulnya. Demikianlah maka karya seni yang lain juga merupakan mosaik yang menyiratkan
dan menyuratkan adanya acuan dan tanggapan terhadap sumber-sumber lain yang ada
sebelumnya dan hadir di sekitarnya.
Dalam film Shrek, misalnya, ada begitu banyak sumber lain yang bisa kita baca. Sejumlah
besar cerita rakyat Eropa, sejumlah besar lagu modern yang dinyanyikan oleh tokoh-tokoh
rekaan yang berasal dari cerita rakyat itu, sosok binatang dan manusia yang berupa animasi
semua itu memiliki kode masing-masing yang hanya bisa dibuka kuncinya oleh penonton
yang menguasainya. Mendengarkan musik memerlukan kode yang berbeda dengan kalau kita
mendengar cerita, mendengar suara bintang film yang sudah kita kenal (misalnya Eddie
Murphy yang men-dubbing dialog tokoh Keledai) menuntut kode dan pengetahuan yang
berbeda dengan teknik animasi yang dikembangkan dalam film itu.
Kalau menonton film yang bukan animasi, seperti Across the Universe, kita tidak hanya
menghadapi kode yang berkaitan dengan lagu-lagu yang diciptakan dan dinyanyikan
kelompok musik The Beatles yang menjadi dasar film itu, tetapi juga teks tentang perang
yang masuk ke dalamnya, di samping berbagai kode lain yang berbeda-beda, yang
menyangkut tata cahaya, tata suara, berbagai jenis shots, dan bintang serta sutradara yang
menangani film tersebut. Semua teks itu, yang berlain-lainan, masuk bersama-sama ke dalam
sebuah interteks yakni film. Mendengarkan lagu pun menuntut penguasaan dan
pengetahuan tentang teks-teks yang diramu di dalamnya: liriknya, penyanyinya, pemainnya,
iramanya semuanya bisa mengacu ke teks-teks lain yang ada sebelumnya. Dan itu
menentukan pembacaan kita. Media elektronik memungkinkan pembacaan beralih ke sana ke
mari tanpa dimasalahkan asal-usulnya, dan itulah yang menyebabkan linearitas
dipertanyakan.
Metz, seorang teoretikus semiotik film, seperti yang dikutip oleh Chandler (1994),
mengungkapkan bahwa dalam media seperti film, televisi, dan WWW, berbagai kode
tercakup. Kode-kode dalam teks itu tidak sekadar ditambahkan atau disejajarkan dengan cara
sembarang, tetapi diatur, disusun, dan diletakkan dalam hierarki masing-masing, dengan
demikian terbentuklah apa yang disebut sebagai hubungan-hubungan antarkode. Menurut

6

Interteks/inter-teks

Hayward (200: 201) film adalah interteks suatu teks yang mengacu ke teks lain yang jejaknya
tinggal di dalamnya. Film mungkin didasarkan pada novel atau drama, gaya perekaman dalam
film mungkin mengingatkan kita pada gaya pelukis, atau gaya penyutradaraan bisa saja
mengingatkan pada sutradara sebelumnya, demikian juga shot dalam film yang bisa
mengingatkan film-film sebelumnya. Lebih jauh lagi, nyanyian yang ada dalam film mengacu
ke nyanyian yang ada sebelumnya, demikian juga aktor bisa diacukan ke permainannya dalam
film yang sebelumnya. Lebih lanjut lagi, jika bintang yang menjadi tokoh adalah seorang
penyanyi, mungkin saja khalayak membayangkannya sebagai penyanyi dan berharap dia
menyanyi dalam film itu (Hayward, 2000: 201). Jelas bahwa intertekstualitas merupakan
landasan juga bagi pembacaan dalam segala bentuk seni pop dan seni modern seperti sastra,
film, fotografi, dan televisi. Inti dari pembacaan itu adalah bahwa setiap teks dibentuk oleh
teks-teks lain yang telah dikenal pembacanya, di samping juga konteks kultural si pembaca.
Kalu kita perhatikan sebuah berita di koran yang memuat gambar, ada kemungkinan
dicantumkan caption di bawahnya: teks itu menuntut dikuasinya dua jenis kode oleh
pembaca.
Orang awam suka menyatakan bahwa nonton film lebih mudah dibanding membaca
novel. Dengan demikian membuat film berdasarkan novel, misalnya, merupakan upaya
mempopulerkan sastra. Namun dalam kaitannya dengan masalah inter-teks ini ada
pandangan yang perlu disimak berkaitan dengan masalah tersebut. Novel-novel yang ditulis
oleh Ian Fleming tentang tokoh ciptaannya yang bernama James Bond hampir semuanya
sudah diangkat ke film. Novel-novel itu sendiri sudah laris sebelum dijadikan film, bahkan
aman jika dikatakan bahwa film dibuat justru karena novel-novelnya laris film, dengan
demikian, membonceng kelarisan novel seperti yang banyak terjadi di Indonesia berkaitan
dengan difilmkannya sejumlah novel laris. Namun, dalam kaitannya dengan pembicaraan kita,
setelah dibikin film, James Bond yang mana yang menempel di pikiran kita, yang menjelma
menjadi teks? Yang ada di film, atau yang ada dalam novel?
Untuk menjelaskan masalah ini, Storey (1996:40), memaparkan pandangan yang
disampaikan oleh Bennet dan Woolacott. Katanya, yang penting dalam pembicaraan tentang
film adalah bukan sekadar memberi perhatian kepada bagaimana film-film itu menciptakan
pembacaan yang lebih populer terhadap novel. Apa yang penting dan mendesak dalam
masalah metodologis dan teoretis adalah bagaimana film-film itu (dan juga teks-teks tentang
James Bond yang lain, yang bisa saja berupa buku, poster, atau t-shirt yang bergambar James
Bond) membantu dan menata dan mempengaruhi pembaca untuk membaca novel dengan
cara tertentu, dengan mementingkan satu aspek di antara aspek-aspek yang lain. Kita tahu
bahwa tokoh itu bisa muncul berupa teks-teks yang berlain-lainan: sebagai detektif, sebagai
pencinta, atau sebagai jagoan. Dalam argumen Bennet dan Woolacott yang dikutip Storey itu
dikatakan bahwa kondisi keberadaan Bond selama ini bersifat inter-tekstual. Tanda hubung
dalam inter-tekstual sengaja dipergunakan oleh kedua pengarang itu dengan maksud
membedakannya dari istilah intertekstual yang dipergunakan dalam cultural studies yang
menyatakan bagaimana suatu teks dimarkai oleh tanda-tanda dari teks-teks lain.
Bennet dan Woolacott selanjutnya menjelaskan bahwa yang dimaksudkannya berbeda
dengan yang dipahaminya tentang cultural studies itu: bagi kami, konsep inter-tekstualitas
mengacu ke tatanan sosial dari hubungan-hubungan antara teks-teks dalam kondisi-kondisi
spesifik ketika berlangsung pembacaannya. Mereka selanjutnya menyatakan bahwa yang
disebut kemudian itu menghapus dan menentukan yang disebut pertama. Intertekstualitas
adalah produk dari inter-tekstualitas yang tersusun secara spesifik dan sosial. Yang
menyatukan teks-teks James Bond bukanlah novel-novelnya tetapi sosok James Bond dalam
film. Sosok itulah yang kemudian ikut mengatur pembacaan kita. Kita tentu saja bisa
menyatakan bahwa yang menjadi sumbernya toh novel, namun begitu film-film itu
disebarluaskan ke khalayak ramai baik yang pernah membaca novelnya maupun yang belum,

7

Interteks/inter-teks

dan tidak ada satu teks pun tak terkecuali novel-novelnya bisa dianggap memiliki
kedudukan dan hak khusus dalam pembacaan. Bahkan bisa dikatakan bahwa justru sosok
James Bond dalam film itulah yang menjadi pengikat semua teks.
Teks dan pembaca bersama-sama menjamin berlangsungnya pembacaan, saling mengisi
dalam membentuk keutuhan yang padu. Jadi, teks hanya akan menjadi teks dalam kegiatan
pembacaan, dan pembaca hanya akan menjadi pembaca dalam kegiatan yang sama: keduanya
tidak bisa ada di luar hubungan itu. Di sinilah pandangan itu bermasalah: kalau teks hanya
bisa berupa teks dan pembaca baru bisa disebut pembaca hanya apabila berlangsung proses
pembacaan, maka baik teks maupun pembaca tidak bisa berdiri sendiri-sendiri, tidak bisa
memiliki eksistensi yang objektif. Terhadap keberatan ini Bennet dan Woollacott menjelaskan
bahwa teks memang memiliki unsur-unsur yang pasti dan tampak, namun unsur-usnur itu
tidak bermakna apa pun kalau tidak dihubungkan dengan pembacaan. Demikian juga dengan
pembaca; meskipun juga memiliki ciri-ciri dan unsur yang pasti, ia baru menjadi pembaca
dalam kaitannya dengan teks yang dibacanya, dan itu merupakan produk tatanan inter-
tekstualitas yang telah menandai pembentukan pembaca.
Dengan demikian Bennet dan Woolacott mengakui bahwa teks memiliki eksistensi
material, bendanya memang ada, tetapi cara yang paling baik untuk memahami teks adalah
sebagai suatu objek yang ditentukan secara historis dan bukan sebagai esensi material. Teks
hanya ada dalam tatanan inter-tekstualitas, yang di dalamnya terdapat subjek sosial yang
membaca teks. Subjek tidak ditentukan oleh teks tetapi oleh tatanan inter-tektualitas. Kita
boleh menyimpulkan bahwa sebelum terjadi pembacaan, pembaca memang ada, tetapi sosok
tersebut baru berfungsi sebagai pembaca jika berhadapan dengan teks ia menjadi subjek
sosial.
Perhatikan sejenak konsekuensi dari pandangan tersebut: ketika membaca novel Ian
Fleming, si pembaca yang pernah nonton filmnya apa saja, tidak perlu yang sama dengan
novelnya akan memasukkan gambarannya tentang James Bond ke dalam proses
membacanya. Dalam keadaan semacam itu maka teks, yakni James Bond dalam film, menjadi
konteks. Dalam situasi semacam itulah saya kira benar apa yang dikatakan kedua peneliti itu
bahwa teks dan konteks bukanlah saat-saat terpisah yang bisa dijadikan bahan analisis pada
waktu yang berbeda. Teks dan konteks adalah bagian-bagian dari proses yang sama, saat yang
sama sama sekali tidak bisa dipisahkan: tidak ada teks tanpa konteks, tak akan ada konteks
tanpa teks. Makna baru ada kalau teks dan pembaca bertemu, tidak ada makna yang bisa
muncul mendahului pertemuan itu.
Harus dipertimbangkan lebih lanjut apa makna konteks dalam intertekstualitas ini, tetapi
sebelumnya kita tinjau terlebih dahulu konsepnya lebih jauh lagi. Bagi Kristeva,
intertekstualitas adalah transposisi dari satu atau lebih sistem tanda ke yang lain, dibarengi
dengan pengungkapan baru dari posisi denotatif dan pengucapan setepat-tepatnya (Giles,
1993: 157). Teks, kata Kristeva, adalah permutasi (yakni variasi, perubahan, kombinasi) teks-
teks, sebuah intertekstualitas dalam ruang suatu teks yang kita hadapi. Di dalamnya berbagai
ujaran, yang diambil dari teks-teks lain bersilangan dan saling menetralkan. Teks dibangun
dari apa yang disebut sebagai teks budaya (dan sosial), yakni segala jenis wacana yang berlain-
lainan, cara-cara pengungkapan, segala sesuatu dalam sistem kelembagaan yang semuanya itu
membentuk kebudayaan (Allen, 200: 35-36).
Jika kita menyetujui pandangan bahwa sebuah pelaksanaan penandaan merupakan suatu
ruang transposisi jang dimaksudkan oleh Kristeva dengan intertektualisme adalah
transposisi (Allen, 200:53) dari berbagai sistem penandaan (suatu inter-tekstualitas), maka
harus dipahami bahwa perihal pernyataannya dan objek yang diacunya tidak pernah
tunggal, sempurna, dan identik dengan dirinya, tetapi senantiasa bersifat plural, menyebar,
dan bisa ditabulasikan. Kristeva beralih dari istilah intertekstualitas ke transposisi karena

8

Interteks/inter-teks

istilah yang pertama itu secara gampangan dipergunakan pengamat sastra untuk mengurus
pengaruh satu teks terhadap teks lain, padahal yang dimaksudkannya adalah bagaimana
sebuah sistem tanda dimasukkan ke dalam sistem tanda lain serta hal-hal yang berkaitan
dengan perubahan semiotik sebagai akibat dari transposisi itu.
Bagi Barthes, teks tidak bisa dilihat sebagai medium murni dari kemauan pengarang,
tetapi suatu lembaran yang berisi kutipan-kutipan yang berasal dari berbagai sumber budaya.
Hanya pembaca yang bisa menyatukan teks-teks itu, itu pun untuk sementara waktu saja.
Teks hanya dihayati dalam kegiatan produksinya, yakni ketika kita membacanya. Suatu teks
adalah karya yang tak terpisahkan dari proses aktif intertekstualitas dari pembacaan yang
berulang-ulang (Storey, 1993:90). Ini menegaskan kedudukan pengarang yang semakin
tersingkir dan posisi pembaca yang semakin penting dalam mengendalikan teks itu pun
setiap kali untuk sementara waktu saja. Dalam pembacaan yang lain bisa saja bisa kembali
menyatukan teks-teks itu, tetapi dengan cara dan pemaknaan lain. Kita boleh menganggap
bahwa teks yang dibaca tidak berubah setidaknya secara fisik, tetapi yang membacanyalah
yang berubah; itu menyebabkan adanya anggapan bahwa teks tidak stabil.
Semua tindak penandaan merupakan sebuah medan...tempat berbagai sistem penandaan
mengalami ... transposisi. Pemancar, yakni pengarang, memilih dari suatu adonan wacana
dalam ciptaan estetiknya, sementara penerima, yakni pembaca, diharapkan untuk menata
informasi yang diterimanya dalam tata bahasa yang lebih kurang sama. Kalau kita
menggunakan cara berpikir Kristeva tersebut, kata Giles (1993: 157), jelas bahwa pembaca
tidak mengetahui atau menyadari apa yang sesungguhnya dikirim pengarang sehingga terjadi
salah wesel karena keduanya memiliki latar belakang yang berbeda. Situasi ini bisa saja
terjadi, dan mungkin lebih kena kalau dikatakan selalu terjadi sebab, seperti yang sudah
disinggung sebelumnya, dalam proses penulisannya teks-teks yang ada dalam teks dan
dihadapi pembaca dulunya masuk tanpa disadari oleh pengarang tidak karena asing baginya,
tetapi justru karena merupakan bagian tak terpisahkan dari eksistensinya sebagai manusia.
Kalau mengikuti gagasan intertekstualitas yang sedemikian itu, cara berpikir kita tentang
teks yang dalam berbagai pandangan dianggap sebagai sistem yang tertutup tidak berlaku lagi.
Teks adalah suatu sistem yang terbuka, yang sama sekali tidak homogen. Di samping itu,
sebuah teks bersifat dinamik, yang membukakan jalan bagi penafsiran yang berbagai-bagai.
Dengan demikian muncul cara-cara baru dalam menghadapi segala sesuatu, yang pada
gilirannya menyebabkan gagasan kita tentang menulis dan membaca bergeser. Pandangan
tradisional seperti yang disampaikan di awal tulisan ini, yang secara tegas membeda-bedakan
antara pengarang, teks, dan pembaca, perlu dipertanyakan.
Barthes membedakan antara karya dan teks: karya adalah apa yang kita pegang,
sedangkan teks ada dalam bahasa (Hawthorn,1992: 188). Namun, dalam perkembangan
penggunaannya, teks tidak hanya berurusan dengan bahasa tetapi dengan apa saja, yang
mencakup apa pun yang tidak berkaitan dengan otonomi, kekuasaan pengarang, kekuatan
artistik atau estetik, dan seterusnya. Dengan demikian dalam penelitian sastra, pembedaan
teks sastra dan non-sastra diredusir atau bahkan dilenyapkan sama sekali. Kritik sastra dewasa
ini umumnya beranggapan bahwa sesuatu yang dilepaskan sama sekali dari ciri-cirinya yang
tradisional bisa dianggap sebagai suatu teks tidak terkecuali yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan faktor linguistik. Konsep intertekstualitas secara dramatik
mengaburkan batas-batas apa yang kita kenal sebagai buku, membuyarkan gambaran
totalitas menjadi tenunan hubungan dan asosiasi, parafrase dan fragmen, teks dan kon-teks.
Semua itu jalin-menjalin dengan sendirinya di dalam interteks.
Menurut kesimpulan Chandler (1994), Barthes, yang menyatakan bahwa pengarang tidak
perlu diperhitungkan lagi dalam pembacaan teks, berpandangan bahwa para teoretisi
intertekstualitas memasalahkan status kepengarangan, dan menyatakan pengarang sebagai

9

Interteks/inter-teks

orchestrator, sosok yang menata segala sesuatu dengan cermat (namun tidak selalu harus
jujur) dari segala sesuatu yang sudah ditulis sebelumnya agar menghasilkan sesuatu, dan
bukan sebagai pencipta asli. Kata Barthes,
Sebuah teks adalah ...ruang multidimensional yang di dalamnya berbagai tulisan,
tak ada satu pun yang asli, menyatu dan sekaligus berbenturan. Teks adalah tenunan
kutipan-kutipan ... pengarang hanya mampu meniru sesuatu yang ada sebelumnya, dan
tidak bisa menjadi orisinal. Satu-satunya kemampuan yang menjadi milik pengarang
adalah membuat adonan tulisan, menghadapkan berbagai-bagai jenis kutipan dengan
yang lain, sedemikan rupa sehingga tidak bisa berpijak pada salah satunya saja.
Teks disusun berdasarkan berbagai tulisan, yang diambil dari berbagai kebudayaan dan
masuk ke dalam hubungan-hubungan yang kait-mengait dalam bentuk dialog, parodi,
kontestasi, tetapi ada satu pihak tempat kejamakan itu terpumpun, dan tempat itu adalah
pembaca dan bukan pengarang. Pembaca adalah ruang tempat semua yang membentuk
karangan itu tercatat tanpa ada satu pun yang terlewat; keutuhan teks tidak ada pada asal-
usulnya tetapi pada sasarannya. Namun, sasaran itu tidak lagi bisa personal sifatnya, sebab
pembaca ada tanpa sejarah, biografi, psikologi ia sekadar seorang yang mengumpulkan
semua jejak yang tertulis itu dalam suatu medankelahiran pembaca mau tidak mau berarti
kematian pengarang (Allen, 2000: 75).
Tentang hubungan antara pengarang dan teks juga dengan tegas ditolaknya pandangan
yang mengungkapkan bahwa
Pengarang selalu dianggap sebagai masa lampau bukunya: pengarang dan buku
otomatis berada dalam garis tunggal yang dibelah menjadi sebelum dan sesudah.
Pengarang dianggap telah menghidupi bukunya, ada sebelum bukunya lahir dan
berpikir, menderita, dan hidup demi bukunya seperti halnya ayah terhadap anaknya.
Pengarang bukanlah ayah dari anak-nya yang berupa teks; pengarang dan buku tidak ada
dalam satu garis tunggal. Kutipan dalam buku Allen (2000: 72) ini sejalan dengan apa yang
disampaikan oleh Eagleton (1983: 12) bahwa 'semua karya sastra ...ditulis kembali, mungkin
dengan tidak disadari, oleh masyarakat yang membacanya. Yang penting adalah sasaran, kata
Chandler (1994), karena hanya sasaran yakni pembaca yang bisa meramu segala jenis teks
yang ada dalam interteks. Pengarang memang menuliskannya, tetapi bisa saja apa yang
dituliskannya sama sekali di luar pengetahuan atau kesadarannya. Demikianlah maka
dipertanyakan konsep keunikan sebuah teks, pengertian tentang kreativitas pengarang dan
orisinalitas, dan bahkan pengertian kepengarangan itu sendiri. Ketika pengarang menuliskan
karyanya, ia terpaksa menggunakan konsep dan konvensi yang ada, yang segera saja
mengalami perubahan ketika karya itu selesai ditulis. Adalah kesalahan logika jika dikatakan
bahwa pemaknaannya kemudian dikerucutkan ke orisinalitas dan pesan pengarang.
Pengarang bisa saja menyampaikan gagasan tanpa disadarinya, dan tulisan apa pun kemudian
memikul tanggung jawab atas lahirnya sejumlah konvensi atau konsep lain.
Pandangan sedemikian itu jelas menghancurkan gagasan tentang hubungan filial antara
pengarang dan pembaca. Mitos filiasi dibongkar oleh Barthes karena makna tidak berasal dari
dan menjadi milik kesadaran pangarang sebagai individu. Masalah yang bisa timbul dari
gagasan Barthes itu adalah, kalau dikatakan bahwa intertekstualitas itu tidak ada batasnya,
dan kalau itu merupakan alasan matinya pengarang dan lahirnya pembaca, maka Barthes
sebenarnya hanya memindahkan sosok otoritas mitis itu ke sosok otoritas mitis yang lain
(Allen, 2000: 75). Mula-mula dalam perkembangan pembacaan yang menjadi tumpuan adalah
pengarang, bahwa penjelasan karya sastra selalu dicari dalam orang yang mengarangnya
yakni suara dari seorang yang tunggal saja, padahal teks merupakan suara dari banyak teks
lain yang sudah ada sebelumnya. Ini cara lain untuk mengatakan bahwa asal-usul teks
bukanlah kesadaran kepengarangan tetapi kejamakan suara: dari kata-kata lain, ujaran-ujaran

10

Interteks/inter-teks

lain, dan teks-teks lain. Dalam pandangan Barthes, membaca bukanlah kegiatan konsumtif
yang berdasarkan pada pandangan bahwa pengarang menempatkan makna dalam karyanya
dan pembaca mengonsumsinya dan kalau pembacaan selesai, pembaca bisa bergeser ke
bacaan lain, dan seterusnya. Ini pandangan tradisional yang hanya kena untuk membaca teks-
teks klasik.
Allen menjelaskan bahwa analisis teks yang dikembangkan Barthes tetap
mempertahankan eksplorasi struktur dari teks, tetapi juga menempatkan struktur ini dalam
suatu konteks yang bukan sistem naratif yang tertutup tetapi dalam sistem intertekstual, yang
di dalamnya tidak ada tutupan dan sistem yang terbatas. Dalam gagasannya yang lain, yang
berkaitan dengan ketertutupan dan keterbukaan teks, Barthes menyatakan bahwa ada dua
jenis teks yang berbeda, yakni lisible teks baca dan scriptible teks nulis. Ini juga ada
kaitannya dengan pandangannya tentang karya dan teks. Teks baca memosisikan pembaca
sebagai penerima pasif, seperti yang kita pahami dari sejumlah besar karya klasik. Tugas
pembaca adalah mengiktui garis cerita sampai suatu titik ketika apa yang dianggap sebagai
kebenaran, yang dianggap ada di balik cerita itu, di akhir pembacaan terungkap oleh
pembaca.
Dengan demikian teks baca memaksakan mitos kultural dan ideologi yang disimbolkan
dalam doxa, yakni gagasan dan pikiran umum yang oleh orang ramai tidak perlu
dipertanyakan lagi. Bagi Barthes, doxa menyarankan bahwa yang stabil itu bisa ada, bahwa
petanda bisa ditemukan dalam penanda teks, bahwa bahasa bisa merepresentasikan dunia
dengan lugas, bahwa bahkan kebenaran akhirnya bisa disampaikan oleh pengarang kepada
pembaca. Dalam kaitannya dengan mitos filiasi yang dibongkar Barthes, bisa disimpulkan
bahwa teks nulis adalah teks-teks yang dihasilkan oleh kaum Modernis dan Pascamodernis
sebab mereka itulah yang dengan sadar memainkan penanda dan tulisan, yang bisa ditulis
kembali dan tidak sekedar dibaca oleh pembaca. Dalam jenis teks tersebut muncul
ketegangan, atau kontradisksi, yang pada dasarnya bersumber pada pandangan
intertekstualitas bahwa selamanya tidak akan ada jalan keluar dalam pergumulan antara doxa
dan paradoxa, istilah Barthes untuk apa pun yang bertentangan dengan pandangan umum
dan segala yang dianggap alamiah.
Dalam rangkaian pandangan yang sudah disampaikan itu, kita bisa menyimpulkan bahwa
setiap teks hanya ada dalam kaitannya dengan teks-teks lain. Kaitan itulah yang menyebabkan
para teoretisi intertekstualitas menggarisbawahi bahwa tidak ada kait-mengait antara teks
dengan penulisnya, dan bahwa teks berhutang budi pada teks-teks lain, bukan penulisnya.
Tetapi intertekstualitas juga direfleksikan dalam fleksibilitas batas-batas genre dan juga
sekaligus pengaburan genre dan fungsi-sungsinya seperti yang tampak pada istilah-istilah
advertorial, infotainment, docudrama, edutainment, faction (fact and fiction) dan
sebagainya. Dalam kaitannya dengan buku dalam pembicaraan intertekstualitas, Chandler
(1994) mengutip Foucault yang menyatakan bahwa batas-batas sebuah buku selalu tidak jelas:
di seberang judulnya, kata pertama, dan titik terakhir, di seberang konfigurasi internalnya dan
bentuknya yang otonom, buku terlibat dalam suatu sistem acuan ke buku-buku dan teks-teks
lain, kalimat-kalimat lain: buku adalah suatu simpul dalam suatu jejaring...buku tidak sekadar
sesuatu yang ada di tangan kita... keutuhannya beragam dan relatif.
Dan memang inti intertekstualitas adalah pandangan bahwa teks tidak punya batas-batas.
Juga dikotomi dalam dan luar dalam teks dimasalahkan. Yang ada di hadapan kita bukanlah
sesuatu yang memiliki batas-batas tetapi sesuatu yang mengalir yang bahkan tidak jelas
kapan mulai dan kapan berakhir. Juga seperti yang sudah disinggung sebelumnya, masalah
teks dan kon-teks. Setiap teks (mengingatkan kita pada konsep Kitab Kebudayaan Dick
Hartoko) senantiasa berada dalam masyarakat teks yang luas yang terdiri atas beragam genre,
yang batas-batasnya bocor di sana-sini.

11

Interteks/inter-teks

Jadi, kalau diskusi tentang intetekstualitas itu disimpulkan, ada pertanyaan mendasar yang
masih harus diajukan, yakni yang berkaitan dengan otoritas. Pihak manakah yang memiliki
otoritas untuk memandu pembacaan? Intetekstualitas jelas-jelas menegaskan bahwa yang
memandu pembacaan adalah interteks, tetapi disiratkan juga bahwa pembacalah akhirnya
yang melaksanakan pembacaan, tanpa dipandu siapa dan apa pun. Interteks baru ada setelah
terjadi pertemuan dengan pembaca. Dalam hal ini pengarang sudah sama sekali dilenyapkan.
Kalau teks yang dianggap sebagai pemandu pembacaan, maka pembaca akan menuruti apa
yang dikatakan teks yang dihadapi persis seperti yang dinyatakan oleh kaum strukturalis.
Namun, di sisi lain perlu diakui bahwa pembaca juga mampu memanfaatkan sumber-sumber
apa pun yang dimilikinya untuk memandu pembacaannya dan menentukan makna teks yang
dibacanya.
Pada hemat saya, kalau apa pun bisa ditentukan sebagai teks, baik pengarang dan pembaca
masing-masing adalah juga teks. Maksudnya, pembaca subjek sosial yang menghadapi teks
memiliki pengetahuan tentang teks-teks yang telah menghasilkan interteks yang dibacanya
itu teks yang telah menghasilkan teks itu adalah pengarang tentu saja. Dalam banyak
pandangan, pengarang sering diposisikan sebagai konteks, dan kalau batas-batas antara teks
dan konteks itu kabur maka pengarang juga berhak menjadi teks yang masuk ke dalam
perhitungan pembaca. Sebagai contoh, kalau menurut Bennet dan Woolacott yang dengan
jelas mengatakan bahwa James Bond yang ada dalam film sudah berubah menjadi teks dalam
pembacaan novel-novel Ian Fleming, maka tentunya si pengarang novel itu juga berhak
mendapat kedudukan sebagai teks. Bagaimana bisa menghapus teks sedemikian itu dari
pikiran pembaca?
Saya bisa menerima gagasan bahwa teks berada dalam suatu jaringan hubungan-hubungan
inter-tekstual yang menyebabkan teks itu bisa dibaca sebagai teks-untuk-dibaca. Dalam
kaitannya dengan konsep ini, pembaca tentunya juga adalah pembaca yang sudah berada
dalam tatanan membaca dengan cara tertentu. Dengan demikian hubungan-hubungan
antara pengarang, teks, dan pembaca bersifat inter-tekstual kalau pengarang dan pembaca
ditempatkan sebagai teks-teks yang di luar teks. Namun, keduanya bisa menyebar ke dalam
interteks dalam proses pembacaan. Kalau kita melihat konsep ini dari arah pembaca, maka
hubungan inter-tekstual yang ada dalam interteks itu senantiasa berubah sama sekali tidak
stabil karena pembaca selalu berada dalam saat-saat yang berbeda ketika membaca teks.
Seperti apa pun tidak stabilnya pembacaan, selama pembaca mengetahui siapa pengarang teks
yang dihadapinya, tentunya pengarang itu juga berhak menjadi teks sehingga dengan
demikian juga bisa ikut menjadi salah satu serat dalam tenunan, dalam interteks tanpa
harus menganggapnya sebagai ayah yang menghidupi anak, yakni interteks yang ada di
hadapan pembaca.
Berdasarkan masalah yang saya sampaikan dalam alinea sebelum ini, saya sepakat dengan
Allen (200: 2) yang menyatakan bahwa intertekstualitas, salah satu gagasan penting dalam
teori sastra masa kini, bukanlah istilah yang transparan dan kerenanya tidak bisa disampaikan
dengan cara yang gampang dan lugas. Sejumlah besar teoretisi dan kritikus bidang seni apa
pun telah memanfaatkannya, seperti yang dipaparkannya dalam bab 5 bukunya yang
setidaknya menurut penilaian saya merupakan sebuah ulasan yang komprehensif tentang
intertekstualitas. Saya berharap pada suatu saat bisa menguraikan posisi pengarang sebagai
teks sekaligus kon-teks. Bukankah kon-teks, yakni segala sesuatu yang berhubungan dengan
teks, adalah juga teks yang ikut dalam proses jalin-menjalin dalam interteks?

( Ciputat, 17 Agustus 2010)

12

Interteks/inter-teks

13

Interteks/inter-teks

Bibliografi

Allen, Graham. 2000. Intertextuality. London: Routledge.
Barthes, Roland. 1973. Mythologies. (terjemahan Anette Lavers). Frogmore-St. Albans: Paladin.
Booth, Wayne C. 1961. The Rhetoric of Fiction. Chicago: The University of Chacago Press.
Culler, Jonathan. 1975.Structuralist Poetics. Structuralism, Linguistics and the Study of
Literature. London: Routledge & Kegan Paul.
Culler, Jonathan. 1983. On Deconstruction. Theory and Criticism after Structuralism. London:
Routledge & Kegan Paul
Eliot, T.S. 1953. Selected Prose. London: Penguin Books.
Fokkema. D.W. dan Elrud Kunne-Ibsch. 1977. Theories of Literature in the Twentieth Century.
London: C. Hurst & Company.
Giles, Steve. 1993. Theorizing Modernism. London: Routledge.
Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Hawthorn, Jeremy. 1992. Contemporary Literary Theory. London: Edward Arnold.
Hayward, Susan. 2000. Cinema Studies: Key Concepts. London: Routledge.
Holub, Robert C. 1989. Reception Theory. A Critical Introduction. London: Routledge.
Iser, Wolfgang. 1987. The Act of Reading. A Theory of Aesthetic Response. Baltimore: The John
Hopkins University Press.
Storey, John. 1993. An introduction to Cultural Theory and Popular Culture. London: Prentice
Hall Harvestter Wheatsheaf.
Storey, John. 1996. Cutural Studies and the Study of Popular Culture. Theories and
Methods.Edinburg: Edinburg University Press.
van Luxemburg, Jan, Mieke Ball, dan Willem G Weststeijn. 1984. Pengantar Ilmu Sastra
(terjemahan Dick Hartoko). Jakarta: Gramedia.
Wimsatt, W.K. dan Monroe C. Beardsley (dalam David Lodge, ed). 1972. 20th Century Literary
Criticism. A Reader. Suffolk: Longman.

Internet
Chandler, Daniel (1994). Semiotics for Beginners (WWW document) URL
<http://www.aber.ac.uk/media/Documents/S4B/semiotic.html>
Lye, John (2001) <http://www.brocku.ca/english/courses/4F70/ .html>

14

Anda mungkin juga menyukai