dan
dengan
demikian
mendapatkan
kebebasan
untuk
melakukan
pembacaan.
Lebih
jauh
lagi,
apakah
memang
pengarang
benar-benar
tahu
apa
yang
dia
maksudkan
dengan
karangannya?
Seandainya
pun
ia
merasa
tahu,
apakah
yang
dipikirkannya
itu
benar-benar
ada
dalam
teks
yang
kita
baca?
Apakah
pesan,
seandainya
memang
ada,
yang
mau
disampaikannya
benar-
benar
tercantum
dan
terbaca
dalam
teks?
Kita
tentu
tidak
boleh
berpura-pura
bahwa
kita
mengetahui
apa
yang
ada
di
benak
pengarang;
kita
juga
tidak
boleh
menurut
saja
apa
yang
dikatakan
pengarang
seandainya
ia
bisa
atau
pernah
menjelaskan
apa
yang
dimaksudkannya.
Kata
Lye,
kalau
kita
menurut
saja
apa
yang
dikatakannya,
untuk
apa
pula
ada
ratusan
atau
ribuan
telaah
berbeda-beda
yang
telah
ditulis
tentang,
misalnya,
Shakespeare?
Lye
juga
mengutip
kata-kata
Paul
Ricoeur,
buku
membelah
tindak
penulisan
dan
tindak
pembacaan
menjadi
dua
bagian,
dan
tidak
ada
komunikasi
di
antara
kedua
bagian
itu.
Bahkan,
juga
dikatakan
Ricoeur,
Kadang-kadang
saya
ingin
mengatakan
bahwa
membaca
buku
adalah
membayangkan
bahwa
pengarangnya
telah
meninggal
dunia.
Pernyataan-pernyataan
tersebut
juga
merupakan
kelanjutan
dan
sekaligus
koreksi
atas
cara
berpikir
yang
menegaskan
bahwa
pengarang
adalah
segala-galanya
dalam
penciptaan
sastra.
Namun,
sebelumnya,
sudah
ada
upaya
untuk
menyingkirkan
pengarang
dan
pembaca
dari
pembacaan,
yang
muncul
dari
kitakpuasan
akan
dominasi
kritik
biografi
yang
berkembang
di
Barat
yang
menekankan
pentingnya
pemanfaatan
biografi
pengarang
dalam
upaya
memahami
karya
sastra
(Wimsatt
dan
Beardsley,
1972:
333-358).
Dalam
sejumlah
besar
kritik
yang
ditulis
sebelumnya,
biografi
pengarang
mendapat
perhatian
utama
sehingga
kritik
sastra
lebih
merupakan
pengungkapkan
riwayat
hidup
sastrawan
ketimbang
pembicaraan
atas
karya
mereka.
Sastra
hanya
dianggap
sebagai
semacam
catatan
kaki
dari
kehidupan
sastrawan.
Kecenderungan
ini
menguasai
sejumlah
besar
buku
sejarah
sastra
yang
beredar,
terutama
yang
dipergunakan
di
sekolah-sekolah.
Pembaca
lebih
memahami
seluk-beluk
kehidupan
sastrawan
dan
mungkin
bahkan
tidak
pernah,
dan
tidak
dianggap
perlu,
membaca
karya
mereka.
Kritik
sastra
baru
yang
mempertanyaankan
posisi
pengarang
ini
pada
dasarnya
memberi
tekanan
pada
pandangan
bahwa
teks
sastra
adalah
autotelic
artifact,
benda
budaya
yang
bisa
memenuhi
kebutuhannya
sendiri,
yang
ada
demi
dirinya
sendiri,
yang
bentuknya
utuh
dan
sama
sekali
tidak
tergantung
pada
apa
pun
yang
berada
di
luar
teks
itu
sendiri.
Teks
sastra
harus
diperlakukan
sebagai
teks
sastra
dan
tidak
sebagai
sesuatu
yang
lain.
Tidak
ada
manfaatnya
membaca
teks
sastra
sebagai
sesuatu
obyek
yang
keberadaannya
tergantung
pada
hal
yang
di
luar
teks.
Puisi,
misalnya,
adalah
benda
budaya
yang
merdeka
dan
mandiri,
yang
harus
kita
baca
sebagai
sesuatu
yang
tidak
seharusnya
dikait-kaitkan
dengan
apa
pun
di
luarnya.
Dengan
kata
lain,
teks
sastra
adalah
benda
budaya
yang
otonom.
Dalam
pendekatan
itu
kita
diperingatkan
untuk
sama
sekali
menjauhkan
karya
sastra
dari
maksud
dan
emosi
kita
sebagai
pembaca
maupun
emosi
si
pengarang
sebagai
pencipta.
Dalam
hal
ini
ada
dua
konsep
penting
yang
dianggap
haram
oleh
kritik
ini,
yakni
intentional
fallacy
dan
affective
fallacy.
Konsep
pertama
itu
menyatakan
bahwa
karya
sastra
sama
sekali
harus
dipisahkan
dari
maksud
pengarang
ketika
mencipkannnya;
juga
harus
dijauhkan
dari
segala
sesuatu
yang
merupakan
konteks
sosial
waktu
diciptakannya.
Dalam
menganalisis
teks
sastra,
biografi
pengarang,
misalnya,
sama
sekali
tidak
boleh
dipergunakan
untuk
menentukan
makna-nya.
Konsep
kedua,
affective
fallacy,
mengharamkan
keterlibatan
pribadi
pembaca
dalam
menghadapi
teks
sastra.
Kritik
ini
menyatakan
bahwa
kritikus
harus
membuang
jauh-
jauh
dampak
moral
dan
psikologis
yang
mungkin
ditimbulkan
karya
sastra
terhadap
pembaca.
Jika
dua
konsep
itu
tidak
diperhatikan
maka
kritik
yang
dihasilkan
cenderung
tidak
obyektif
sehingga
teks
sastra
yang
merupakan
obyek
kritik
itu
hanya
menjadi
sangkutan
biografi
dan
niat
pengarang
atau
emosi
pembaca
sehingga
sama
sekali
tidak
obyektif.
Gagasan
kelompok
kritik
yang
dikenal
sebagai
new
criticism,
yang
pernah
berkembang
terutama
di
Amerika
Serikat,
pada
dasarnya
bersumber
pada
beberapa
pernyataan
seorang
2
Interteks/inter-teks
budayawan
dan
pujangga
Inggris,
T.S.
Eliot,
yang
menyatakan
bahwa
dalam
puisi
tidak
ada
hal
yang
disebut
orisinalitas
mutlak,
yang
sama
sekali
tidak
berhutang
pada
yang
ada
sebelumnya
(Eliot,
1953:
24).
Karena
tidak
orisinal,
maka
puisi
(dan
teks
pada
umumnya)
tentu
bukan
milik
pengarang.
Dikatakannya
lebih
jauh
bahwa
puisi
bukanlah
pelepasan
emosi
secara
liar,
tetapi
merupakan
upaya
untuk
melepaskan
diri
dari
emosi;
puisi
bukan
pengungkapan
jati
diri,
tetapi
pelarian
dari
jati
diri.
Namun,
hanya
mereka
yang
memahami
apa
makna
emosi
dan
jati
diri
mampu
membebaskan
diri
dari
keduanya
(Eliot,
1953:
30).
Sikap
negatif
terhadap
apa
yang
bisa
saja
disebut
sebagai
dominasi
pemaknaan
oleh
pengarang
itu
juga
ditunjukkan
oleh
Jean-Paul
Sartre
yang
mengatakan
bahwa
pengarang
masa
lalu
dengan
sikap
yang
tolol
selalu
berusaha
menunjukkan
eksistensi
dirinya,
sedangkan
pengarang
modern
sama
sekali
tidak
peduli,
tak
dikenali
dan
berusaha
untuk
melemparkan
pembaca
ke
tengah-tengah
semesta
di
mana
sama
sekali
tidak
ada
saksi.
Katanya,
Novel
harus
ada
seperti
halnya
tumbuhan,
benda-benda,
dan
peristiwa
dan
bukan
pertama-tama
sebagai
produk
manusia.
(Booth,
1961:
19).
Ketika
berbicara
tentang
masalah
teknik
penceritaan
telling
uraian
dan
showing
ragaan,
Booth
juga
menyatakan
bahwa
batas
antara
kedua
teknik
penceritaan
itu
menjadi
arbitrer
ketika
kita
membaca
dengan
cermat
teks-teks,
antara
lain,
Charles
Dickens,
Henry
Fieldings,
dan
George
Eliott.
Landasan
pembacaan
itu
adalah
perbedaan
antara
teknik
uraian
yang
dianggap
sebagai
cara
pengarang
mengontrol
pembaca
dan
ragaan
yang
dianggap
membiarkan
pembaca
menafsir
sendiri
apa
yang
ada
dan
terjadi
dalam
teks
(Booth,
1961:
20).
Mengikuti
pikiran
dan
istilah
yang
dikemukakan
oleh
Jessamyn
West,
Booth
menyatakan
bahwa
bagaimanapun
seorang
pengarang
mencoba
untuk
bersikap
impersonal,
mengambil
jarak
dengan
yang
ia
tulis,
pembaca
akan
akhirnya
bisa
menyusun
gambaran
tentang
apa
yang
disebut
official
scribe
juru
tulis
resmi
yang
menulis
dengan
gaya
tertentu
dan
sang
juru
tulis
itu
tentulah
tidak
bersikap
netral
dalam
kaitannya
dengan
nilai-nilai.
Masalahnya
kemudian
adalah
bagaimana
sebenarnya
hubungan
antara
pengarang
dan
juru
tulis
resmi
yang
ada
dalam
karya
itu,
sebab
dalam
beberapa
karyanya
bisa
saja
pengarang
yang
sesungguhnya
memilih
berbagai
jenis
jurus
tulis
resmi
yang
berlain-lainan
(Booth,
1961:
71).
Kalau
kita
ikuti
cara
berpikir
itu,
bersembunyi
di
balik
apa
pun,
apakah
itu
juru
tulis
resmi
atau
apa
pun
namanya,
pengarang
tetap
ada
dalam
teks,
meskipun
ia
bisa
saja
bukan
pengarang
yang
sebenarnya.
Dalam
kenyataannya,
pengarang
bisa
saja
menghasilkan
sejumlah
teks
yang
berbeda-beda
wataknya,
dan
untuk
masing-masing
teks
itu
ia
bisa
menyewa
atau
menyuruh
juru
tulis
resmi
yang
berbeda-beda
pula
wataknya.
Dalam
kesusastraan
kita
hanya
ada
satu
Pramoedya
Ananta
Toer,
tetapi
juru
tulis
yang
menulis
Bukan
Pasar
Malam
tampaknya
berbeda
dengan
yang
menulis
Bumi
Manusia.
Kalau
kita
berpegang
pada
prinsip
West
yang
dikutip
Booth
itu,
tentunya
juru
tulis
yang
mengerjakan
sajak
Charil
Anwar
Aku
tidak
sama
dengan
yang
menyusun
Derai-derai
Cemara.
Hubungan-hubungan
antara
pengarang,
teks,
dan
pembaca
itu
semakin
rumit
ketika
Iser
(1978:
x)
menjelaskan
bahwa
ada
dua
teori
yang
setidaknya
membedakan
hubungan
antara
pembaca
dan
teks
(tanpa
menyebut
posisi
pengarang),
yakni
Wirkungstheori
teori
tanggapan
artistik
dan
Rezeptionstheorie
teori
resepsi.
Dikatakannya
bahwa
teori
tanggapan
artistik
dihadapkan
dengan
problem
bagaimana
suatu
situasi
yang
belum
diformulasikan
bisa
diproses
dan
dipahami,
sedangkan
teori
resepsi
selalu
berkaitan
dengan
pembaca
yang
ada,
yang
reaksinya
menunjukkan
penghayatan
sastra
yang
dibentuk
oleh
sejarah.
Teori
tanggapan
artistik
akarnya
pada
teks,
teori
resepsi
pada
pembaca.
Buku
yang
disusun
Iser
beranak
judul
Teori
Tanggapan
Estetik,
yang
menunjukkan
bahwa
pada
dasarnya
Iser
berpegang
pada
teks.
Gagasan
Iser
ditanggapi
secara
kritis
oleh
Holub
dalam
Reception
Theory.
A
Critical
Introduction
(1989).
3
Interteks/inter-teks
4
Interteks/inter-teks
dulu
pernah
ada,
meneliti
etimologi
kata-kata
yang
dipergunakan
lalu
berusaha
agar
dari
teks
yang
sudah
dibongkar
itu
disusun
sebuah
teks
baru.
Dalam
rangka
pemibicaraan
tentang
intertekstualitas,
yang
bisa
menjadi
bahan
diskusi
berkaitan
dengan
definisi
Luxemburg
dan
kawan-kawannya
itu
adalah
mencari
pengaruh-
pengaruh
dari
teks-teks
yang
dulu
pernah
ada.
Pada
hemat
saya,
intertekstualime
tidak
berurusan
dengan
pengusutan
pengaruh-mempengaruhi.
Juga
pengertian
dari
teks
yang
sudah
dibongkar
itu
disusun
sebuah
teks
baru
perlu
didiskusikan.
Bahwa
hasil
yang
kemudian
bisa
ada
di
ujung
kegiatan
itu
adalah
sebuah
teks
baru,
hal
itu
bisa
saja
terjadi.
Namun,
bukankah
justru
teks
yang
sedang
dibaca
itulah
sebuah
teks
baru
sebagai
hasil
dari
pertemuan
berbagai
teks
yang
ada
sebelumnya
dan
di
sekitarnya?
Saya
akan
menyetujui
pandangan
itu
jika
yang
dimaksudkan
dengan
teks
baru
berada
dalam
pikiran
kita,
dan
bukan
teks
yang
kita
baca:
dengan
catatan,
teks
yang
ada
dalam
pikiran
kita
itu
baru
karena
merupakan
ramuan
dari
teks-teks
lama
yang
ada
dalam
pikiran
kita
sebelumnya.
Kalau
sebelumnya
kritik
sastra
terutama
new
criticism
memperlakukan
teks
sebagai
sesuatu
yang
tertutup,
yang
menekankan
pentingnya
hubungan-hubungan
segala
sesuatu
yang
ada
dalam
teks,
yang
semuanya
itu
hanya
bisa
diuraikan
dalam
batas-batas
teks
tersebut,
maka
kaum
pascastrukturalis
berkeyakinan
bahwa
teks
bukan
sesuatu
yang
unik,
yang
bisa
berdiri
sendiri.
Julia
Kristeva
menyatakan
bahwa
setiap
teks
mengambil
bentuk
sebagai
suatu
mosaik
acuan/kutipan,
setiap
teks
merupakan
penyerapan
dan
transformasi
teks-teks
lain
(Culler,
1975:
139).
Pernyataan
ini
jelas
menyangkal
bahwa
teks
itu
unik,
bahwa
teks
itu
bisa
memenuhi
kebutuhannya
sendiri.
Sebuah
teks,
kata
Kristeva,
adalah
permutasi,
yakni
variasi,
transformasi,
kombinasi,
dan
perubahan
dari
berbagai
teks;
sebuah
teks
adalah
intertekstualitas:
dalam
ruang
suatu
teks,
berbagai
ujaran
yang
diambil
dari
teks-teks
lain
bertemu
dan
mentralisir
satu
sama
lain
(Hawthorn
1992:
86).
Proses
bertemunya
berbagai
jenis
teks
dalam
satu
teks,
atau
satu
interteks,
itulah
yang
yang
disebut
intertekstualitas
menurut
Kristeva.
Dalam
upaya
kaum
pascastrukturalis
menjelaskan
terputusnya
sama
sekali
hubungan
antara
teks
dan
pengarang,
Barthes
menjelaskan
bahwa
setiap
teks
adalah
sebuah
anyaman
baru
dari
kutipan-kutipan
lama.
Potongan-potongan
kode,
formula,
model
ritmik,
fragmen
bahasa
sosial,
dan
sebagainya
masuk
ke
dalam
teks
dan
tersebar
di
dalamnya.
Sebab,
kata
Barthes,
bahasa
telah
ada
sebelumnya
dan
juga
ada
di
sekitar
teks.
Namun,
sama
sekali
keliru
kalau
dikatakan
bahwa
sebuah
teks
mendapat
pengaruh
dari
teks-teks
lain;
konsep
intertekstualitas
menyatakan
bahwa
teks
apa
pun
tidak
bisa
diredusir
hanya
sebagai
masalah
sumber
atau
pengaruh.
Interteks
adalah
medan
umum
dari
formula-formula
anonim
yang
asal-usulnya
boleh
dikatakan
tidak
bisa
dilacak
lagi,
dari
kesadaran
atau
pengutipan
otomatik,
yang
dimanfaatkan
tanpa
dimasalahkan
(Hawthorn,
1992:
86-87).
Barthes
juga
mengingatkan
kita
bahwa
kata
teks
asal-muasalnya
berarti
tenunan
(Allen,
200:
6).
Dalam
pengertian
yang
agak
awam,
intertekstualitas
dianggap
sebagai
proses
pembandingan
suatu
teks
tertentu
dengan
teks
lain
yang
juga
tertentu.
Hawthorn
(1992:
85)
menyatakan
bahwa
istilah
transtekstualitas
lebih
sesuai
untuk
itu:
pengungkapan
hubungan-
hubungan
yang
lebih
jelas
antara
teks-teks
tertentu,
atau
antara
dua
teks
tertentu.
Tidak
jarang
pengertian
ini
juga
mengandung
pengertian
mencari
atau
menjelaskan
asal-usul
suatu
teks.
Proses
ini
sama
sekali
bukan
apa
yang
dimaksudkan
sebagai
intertekstualitas.
Mencari
asal-usul
Roro
Mendut
karya
Mangunwijaya
atau
Ajip
Rosidi
dalam
cerita
rakyat
tentang
kisah
sedih
itu
bukanlah
tindak
intertekstualitas.
Namun,
Genette
(Allen,
2000:
221;
Chandler,
2000)
memberi
makna
lain
pada
istilah
transtektualitas.
Ia
mengusulkan
istilah
transtekstualitas
sebagai
sesuatu
yang
lebih
luas
cakupannya
dari
intertekstualitas.
Ia
membuat
daftar
lima
subtipe:
(i)
intertekstualitas:
kutipan,
plagiarisme,
alusio;
(ii)
paratekstualitas:
hubungan
antara
teks
dan
parateks-nya,
seperti
judul,
sampul
buku,ucapan
terima
kasih,
dan
lain-lain;
(iii)
arkitekstualitas:
penamaan
teks
sebagai
satu
bagian
dari
satu
atau
lebih
genre
;
(iv)
5
Interteks/inter-teks
metatekstualitas:
komentar
kritis
secara
impilisit
maupun
eksplisit
dari
suatu
teks
terhadap
teks
lain;
dan
(v)
hipotekstualitas
atau
hipertekstualitas:
hubungan
antara
sebuah
teks
dengan
sebuah
teks
yang
mendahuluinya
(hipoteks)
yang
dijadikan
landasan,
tetapi
yang
dirombak
dan
diperbaikinya
dalam
bentuk
parodi,
satire,
pengembangan,
atau
terjemahan.
Dalam
kaitannya
dengan
pembicaraan
tersebut,
perlu
kita
simak
pandangan
Hawthorn
bahwa
intertekstualitas
khusus
dipergunakan
untuk
menunjukkan
masuknya
dan
menyebarnya
kenangan,
gema,
transformasi
dari
teks-teks
lain
ke
dalam
suatu
teks.
Teks
tempat
menyebarnya
teks-teks
lain
itulah
yang
sering
juga
disebut
sebagai
interteks.
Ada
baiknya
kalau,
dalam
rangka
menjelaskan
konsep
ini,
kita
bergeser
sedikit
ke
jenis
seni
lain.
Sudah
disebutkan
bahwa
intertekstualitas
adalah
hubungan
di
antara
dua
atau
lebih
teks
yang
mempengaruhi
pembacaan
suatu
interteks.
Interteks
adalah
teks
yang
kita
hadapi,
yang
merangkum
berbagai-bagai
jenis
teks
di
dalamnya.
Membaca
adalah
proses
bergerak
dari
satu
teks
ke
teks-teks
lain.
Makna
adalah
sesuatu
yang
ada
di
antara
satu
teks
dan
teks-teks
lain
yang
yang
diacunya,
yang
bergerak
keluar
dan
bertemu
dengan
teks-teks
lain
itu.
Demikianlah
maka
teks
menjadi
interteks
(Allen,
200:
1).
Prinsip
ini
sebenarnya
tidak
hanya
berlaku
pada
teks
verbal;
teks-teks
lain
seperti
film
adalah
benda
budaya
yang
boleh
dikatakan
sepenuhnya
merupakan
interteks:
warna,
musik,
gambar,
gerak,
pemain:
semua
mengacu
ke
teks-teks
lain
yang
ada
di
sekitarnya
dan
sebelumnya.
Teks-teks
dalam
interteks
itu
memiliki
kode
masing-masing
yang
bertarung
di
dalamnya.
Ini
sejalan
dengan
definisi
intertekstualitas
yang
diberikan
Kristeva,
yakni
bahwa
suatu
teks
hanya
bisa
dibaca
lewat
mosaik
acuan
dan
kutipan
yang
tidak
ketahuan
lagi
asal-
usulnya.
Demikianlah
maka
karya
seni
yang
lain
juga
merupakan
mosaik
yang
menyiratkan
dan
menyuratkan
adanya
acuan
dan
tanggapan
terhadap
sumber-sumber
lain
yang
ada
sebelumnya
dan
hadir
di
sekitarnya.
Dalam
film
Shrek,
misalnya,
ada
begitu
banyak
sumber
lain
yang
bisa
kita
baca.
Sejumlah
besar
cerita
rakyat
Eropa,
sejumlah
besar
lagu
modern
yang
dinyanyikan
oleh
tokoh-tokoh
rekaan
yang
berasal
dari
cerita
rakyat
itu,
sosok
binatang
dan
manusia
yang
berupa
animasi
semua
itu
memiliki
kode
masing-masing
yang
hanya
bisa
dibuka
kuncinya
oleh
penonton
yang
menguasainya.
Mendengarkan
musik
memerlukan
kode
yang
berbeda
dengan
kalau
kita
mendengar
cerita,
mendengar
suara
bintang
film
yang
sudah
kita
kenal
(misalnya
Eddie
Murphy
yang
men-dubbing
dialog
tokoh
Keledai)
menuntut
kode
dan
pengetahuan
yang
berbeda
dengan
teknik
animasi
yang
dikembangkan
dalam
film
itu.
Kalau
menonton
film
yang
bukan
animasi,
seperti
Across
the
Universe,
kita
tidak
hanya
menghadapi
kode
yang
berkaitan
dengan
lagu-lagu
yang
diciptakan
dan
dinyanyikan
kelompok
musik
The
Beatles
yang
menjadi
dasar
film
itu,
tetapi
juga
teks
tentang
perang
yang
masuk
ke
dalamnya,
di
samping
berbagai
kode
lain
yang
berbeda-beda,
yang
menyangkut
tata
cahaya,
tata
suara,
berbagai
jenis
shots,
dan
bintang
serta
sutradara
yang
menangani
film
tersebut.
Semua
teks
itu,
yang
berlain-lainan,
masuk
bersama-sama
ke
dalam
sebuah
interteks
yakni
film.
Mendengarkan
lagu
pun
menuntut
penguasaan
dan
pengetahuan
tentang
teks-teks
yang
diramu
di
dalamnya:
liriknya,
penyanyinya,
pemainnya,
iramanya
semuanya
bisa
mengacu
ke
teks-teks
lain
yang
ada
sebelumnya.
Dan
itu
menentukan
pembacaan
kita.
Media
elektronik
memungkinkan
pembacaan
beralih
ke
sana
ke
mari
tanpa
dimasalahkan
asal-usulnya,
dan
itulah
yang
menyebabkan
linearitas
dipertanyakan.
Metz,
seorang
teoretikus
semiotik
film,
seperti
yang
dikutip
oleh
Chandler
(1994),
mengungkapkan
bahwa
dalam
media
seperti
film,
televisi,
dan
WWW,
berbagai
kode
tercakup.
Kode-kode
dalam
teks
itu
tidak
sekadar
ditambahkan
atau
disejajarkan
dengan
cara
sembarang,
tetapi
diatur,
disusun,
dan
diletakkan
dalam
hierarki
masing-masing,
dengan
demikian
terbentuklah
apa
yang
disebut
sebagai
hubungan-hubungan
antarkode.
Menurut
6
Interteks/inter-teks
Hayward
(200:
201)
film
adalah
interteks
suatu
teks
yang
mengacu
ke
teks
lain
yang
jejaknya
tinggal
di
dalamnya.
Film
mungkin
didasarkan
pada
novel
atau
drama,
gaya
perekaman
dalam
film
mungkin
mengingatkan
kita
pada
gaya
pelukis,
atau
gaya
penyutradaraan
bisa
saja
mengingatkan
pada
sutradara
sebelumnya,
demikian
juga
shot
dalam
film
yang
bisa
mengingatkan
film-film
sebelumnya.
Lebih
jauh
lagi,
nyanyian
yang
ada
dalam
film
mengacu
ke
nyanyian
yang
ada
sebelumnya,
demikian
juga
aktor
bisa
diacukan
ke
permainannya
dalam
film
yang
sebelumnya.
Lebih
lanjut
lagi,
jika
bintang
yang
menjadi
tokoh
adalah
seorang
penyanyi,
mungkin
saja
khalayak
membayangkannya
sebagai
penyanyi
dan
berharap
dia
menyanyi
dalam
film
itu
(Hayward,
2000:
201).
Jelas
bahwa
intertekstualitas
merupakan
landasan
juga
bagi
pembacaan
dalam
segala
bentuk
seni
pop
dan
seni
modern
seperti
sastra,
film,
fotografi,
dan
televisi.
Inti
dari
pembacaan
itu
adalah
bahwa
setiap
teks
dibentuk
oleh
teks-teks
lain
yang
telah
dikenal
pembacanya,
di
samping
juga
konteks
kultural
si
pembaca.
Kalu
kita
perhatikan
sebuah
berita
di
koran
yang
memuat
gambar,
ada
kemungkinan
dicantumkan
caption
di
bawahnya:
teks
itu
menuntut
dikuasinya
dua
jenis
kode
oleh
pembaca.
Orang
awam
suka
menyatakan
bahwa
nonton
film
lebih
mudah
dibanding
membaca
novel.
Dengan
demikian
membuat
film
berdasarkan
novel,
misalnya,
merupakan
upaya
mempopulerkan
sastra.
Namun
dalam
kaitannya
dengan
masalah
inter-teks
ini
ada
pandangan
yang
perlu
disimak
berkaitan
dengan
masalah
tersebut.
Novel-novel
yang
ditulis
oleh
Ian
Fleming
tentang
tokoh
ciptaannya
yang
bernama
James
Bond
hampir
semuanya
sudah
diangkat
ke
film.
Novel-novel
itu
sendiri
sudah
laris
sebelum
dijadikan
film,
bahkan
aman
jika
dikatakan
bahwa
film
dibuat
justru
karena
novel-novelnya
laris
film,
dengan
demikian,
membonceng
kelarisan
novel
seperti
yang
banyak
terjadi
di
Indonesia
berkaitan
dengan
difilmkannya
sejumlah
novel
laris.
Namun,
dalam
kaitannya
dengan
pembicaraan
kita,
setelah
dibikin
film,
James
Bond
yang
mana
yang
menempel
di
pikiran
kita,
yang
menjelma
menjadi
teks?
Yang
ada
di
film,
atau
yang
ada
dalam
novel?
Untuk
menjelaskan
masalah
ini,
Storey
(1996:40),
memaparkan
pandangan
yang
disampaikan
oleh
Bennet
dan
Woolacott.
Katanya,
yang
penting
dalam
pembicaraan
tentang
film
adalah
bukan
sekadar
memberi
perhatian
kepada
bagaimana
film-film
itu
menciptakan
pembacaan
yang
lebih
populer
terhadap
novel.
Apa
yang
penting
dan
mendesak
dalam
masalah
metodologis
dan
teoretis
adalah
bagaimana
film-film
itu
(dan
juga
teks-teks
tentang
James
Bond
yang
lain,
yang
bisa
saja
berupa
buku,
poster,
atau
t-shirt
yang
bergambar
James
Bond)
membantu
dan
menata
dan
mempengaruhi
pembaca
untuk
membaca
novel
dengan
cara
tertentu,
dengan
mementingkan
satu
aspek
di
antara
aspek-aspek
yang
lain.
Kita
tahu
bahwa
tokoh
itu
bisa
muncul
berupa
teks-teks
yang
berlain-lainan:
sebagai
detektif,
sebagai
pencinta,
atau
sebagai
jagoan.
Dalam
argumen
Bennet
dan
Woolacott
yang
dikutip
Storey
itu
dikatakan
bahwa
kondisi
keberadaan
Bond
selama
ini
bersifat
inter-tekstual.
Tanda
hubung
dalam
inter-tekstual
sengaja
dipergunakan
oleh
kedua
pengarang
itu
dengan
maksud
membedakannya
dari
istilah
intertekstual
yang
dipergunakan
dalam
cultural
studies
yang
menyatakan
bagaimana
suatu
teks
dimarkai
oleh
tanda-tanda
dari
teks-teks
lain.
Bennet
dan
Woolacott
selanjutnya
menjelaskan
bahwa
yang
dimaksudkannya
berbeda
dengan
yang
dipahaminya
tentang
cultural
studies
itu:
bagi
kami,
konsep
inter-tekstualitas
mengacu
ke
tatanan
sosial
dari
hubungan-hubungan
antara
teks-teks
dalam
kondisi-kondisi
spesifik
ketika
berlangsung
pembacaannya.
Mereka
selanjutnya
menyatakan
bahwa
yang
disebut
kemudian
itu
menghapus
dan
menentukan
yang
disebut
pertama.
Intertekstualitas
adalah
produk
dari
inter-tekstualitas
yang
tersusun
secara
spesifik
dan
sosial.
Yang
menyatukan
teks-teks
James
Bond
bukanlah
novel-novelnya
tetapi
sosok
James
Bond
dalam
film.
Sosok
itulah
yang
kemudian
ikut
mengatur
pembacaan
kita.
Kita
tentu
saja
bisa
menyatakan
bahwa
yang
menjadi
sumbernya
toh
novel,
namun
begitu
film-film
itu
disebarluaskan
ke
khalayak
ramai
baik
yang
pernah
membaca
novelnya
maupun
yang
belum,
7
Interteks/inter-teks
dan
tidak
ada
satu
teks
pun
tak
terkecuali
novel-novelnya
bisa
dianggap
memiliki
kedudukan
dan
hak
khusus
dalam
pembacaan.
Bahkan
bisa
dikatakan
bahwa
justru
sosok
James
Bond
dalam
film
itulah
yang
menjadi
pengikat
semua
teks.
Teks
dan
pembaca
bersama-sama
menjamin
berlangsungnya
pembacaan,
saling
mengisi
dalam
membentuk
keutuhan
yang
padu.
Jadi,
teks
hanya
akan
menjadi
teks
dalam
kegiatan
pembacaan,
dan
pembaca
hanya
akan
menjadi
pembaca
dalam
kegiatan
yang
sama:
keduanya
tidak
bisa
ada
di
luar
hubungan
itu.
Di
sinilah
pandangan
itu
bermasalah:
kalau
teks
hanya
bisa
berupa
teks
dan
pembaca
baru
bisa
disebut
pembaca
hanya
apabila
berlangsung
proses
pembacaan,
maka
baik
teks
maupun
pembaca
tidak
bisa
berdiri
sendiri-sendiri,
tidak
bisa
memiliki
eksistensi
yang
objektif.
Terhadap
keberatan
ini
Bennet
dan
Woollacott
menjelaskan
bahwa
teks
memang
memiliki
unsur-unsur
yang
pasti
dan
tampak,
namun
unsur-usnur
itu
tidak
bermakna
apa
pun
kalau
tidak
dihubungkan
dengan
pembacaan.
Demikian
juga
dengan
pembaca;
meskipun
juga
memiliki
ciri-ciri
dan
unsur
yang
pasti,
ia
baru
menjadi
pembaca
dalam
kaitannya
dengan
teks
yang
dibacanya,
dan
itu
merupakan
produk
tatanan
inter-
tekstualitas
yang
telah
menandai
pembentukan
pembaca.
Dengan
demikian
Bennet
dan
Woolacott
mengakui
bahwa
teks
memiliki
eksistensi
material,
bendanya
memang
ada,
tetapi
cara
yang
paling
baik
untuk
memahami
teks
adalah
sebagai
suatu
objek
yang
ditentukan
secara
historis
dan
bukan
sebagai
esensi
material.
Teks
hanya
ada
dalam
tatanan
inter-tekstualitas,
yang
di
dalamnya
terdapat
subjek
sosial
yang
membaca
teks.
Subjek
tidak
ditentukan
oleh
teks
tetapi
oleh
tatanan
inter-tektualitas.
Kita
boleh
menyimpulkan
bahwa
sebelum
terjadi
pembacaan,
pembaca
memang
ada,
tetapi
sosok
tersebut
baru
berfungsi
sebagai
pembaca
jika
berhadapan
dengan
teks
ia
menjadi
subjek
sosial.
Perhatikan
sejenak
konsekuensi
dari
pandangan
tersebut:
ketika
membaca
novel
Ian
Fleming,
si
pembaca
yang
pernah
nonton
filmnya
apa
saja,
tidak
perlu
yang
sama
dengan
novelnya
akan
memasukkan
gambarannya
tentang
James
Bond
ke
dalam
proses
membacanya.
Dalam
keadaan
semacam
itu
maka
teks,
yakni
James
Bond
dalam
film,
menjadi
konteks.
Dalam
situasi
semacam
itulah
saya
kira
benar
apa
yang
dikatakan
kedua
peneliti
itu
bahwa
teks
dan
konteks
bukanlah
saat-saat
terpisah
yang
bisa
dijadikan
bahan
analisis
pada
waktu
yang
berbeda.
Teks
dan
konteks
adalah
bagian-bagian
dari
proses
yang
sama,
saat
yang
sama
sama
sekali
tidak
bisa
dipisahkan:
tidak
ada
teks
tanpa
konteks,
tak
akan
ada
konteks
tanpa
teks.
Makna
baru
ada
kalau
teks
dan
pembaca
bertemu,
tidak
ada
makna
yang
bisa
muncul
mendahului
pertemuan
itu.
Harus
dipertimbangkan
lebih
lanjut
apa
makna
konteks
dalam
intertekstualitas
ini,
tetapi
sebelumnya
kita
tinjau
terlebih
dahulu
konsepnya
lebih
jauh
lagi.
Bagi
Kristeva,
intertekstualitas
adalah
transposisi
dari
satu
atau
lebih
sistem
tanda
ke
yang
lain,
dibarengi
dengan
pengungkapan
baru
dari
posisi
denotatif
dan
pengucapan
setepat-tepatnya
(Giles,
1993:
157).
Teks,
kata
Kristeva,
adalah
permutasi
(yakni
variasi,
perubahan,
kombinasi)
teks-
teks,
sebuah
intertekstualitas
dalam
ruang
suatu
teks
yang
kita
hadapi.
Di
dalamnya
berbagai
ujaran,
yang
diambil
dari
teks-teks
lain
bersilangan
dan
saling
menetralkan.
Teks
dibangun
dari
apa
yang
disebut
sebagai
teks
budaya
(dan
sosial),
yakni
segala
jenis
wacana
yang
berlain-
lainan,
cara-cara
pengungkapan,
segala
sesuatu
dalam
sistem
kelembagaan
yang
semuanya
itu
membentuk
kebudayaan
(Allen,
200:
35-36).
Jika
kita
menyetujui
pandangan
bahwa
sebuah
pelaksanaan
penandaan
merupakan
suatu
ruang
transposisi
jang
dimaksudkan
oleh
Kristeva
dengan
intertektualisme
adalah
transposisi
(Allen,
200:53)
dari
berbagai
sistem
penandaan
(suatu
inter-tekstualitas),
maka
harus
dipahami
bahwa
perihal
pernyataannya
dan
objek
yang
diacunya
tidak
pernah
tunggal,
sempurna,
dan
identik
dengan
dirinya,
tetapi
senantiasa
bersifat
plural,
menyebar,
dan
bisa
ditabulasikan.
Kristeva
beralih
dari
istilah
intertekstualitas
ke
transposisi
karena
8
Interteks/inter-teks
istilah
yang
pertama
itu
secara
gampangan
dipergunakan
pengamat
sastra
untuk
mengurus
pengaruh
satu
teks
terhadap
teks
lain,
padahal
yang
dimaksudkannya
adalah
bagaimana
sebuah
sistem
tanda
dimasukkan
ke
dalam
sistem
tanda
lain
serta
hal-hal
yang
berkaitan
dengan
perubahan
semiotik
sebagai
akibat
dari
transposisi
itu.
Bagi
Barthes,
teks
tidak
bisa
dilihat
sebagai
medium
murni
dari
kemauan
pengarang,
tetapi
suatu
lembaran
yang
berisi
kutipan-kutipan
yang
berasal
dari
berbagai
sumber
budaya.
Hanya
pembaca
yang
bisa
menyatukan
teks-teks
itu,
itu
pun
untuk
sementara
waktu
saja.
Teks
hanya
dihayati
dalam
kegiatan
produksinya,
yakni
ketika
kita
membacanya.
Suatu
teks
adalah
karya
yang
tak
terpisahkan
dari
proses
aktif
intertekstualitas
dari
pembacaan
yang
berulang-ulang
(Storey,
1993:90).
Ini
menegaskan
kedudukan
pengarang
yang
semakin
tersingkir
dan
posisi
pembaca
yang
semakin
penting
dalam
mengendalikan
teks
itu
pun
setiap
kali
untuk
sementara
waktu
saja.
Dalam
pembacaan
yang
lain
bisa
saja
bisa
kembali
menyatukan
teks-teks
itu,
tetapi
dengan
cara
dan
pemaknaan
lain.
Kita
boleh
menganggap
bahwa
teks
yang
dibaca
tidak
berubah
setidaknya
secara
fisik,
tetapi
yang
membacanyalah
yang
berubah;
itu
menyebabkan
adanya
anggapan
bahwa
teks
tidak
stabil.
Semua
tindak
penandaan
merupakan
sebuah
medan...tempat
berbagai
sistem
penandaan
mengalami
...
transposisi.
Pemancar,
yakni
pengarang,
memilih
dari
suatu
adonan
wacana
dalam
ciptaan
estetiknya,
sementara
penerima,
yakni
pembaca,
diharapkan
untuk
menata
informasi
yang
diterimanya
dalam
tata
bahasa
yang
lebih
kurang
sama.
Kalau
kita
menggunakan
cara
berpikir
Kristeva
tersebut,
kata
Giles
(1993:
157),
jelas
bahwa
pembaca
tidak
mengetahui
atau
menyadari
apa
yang
sesungguhnya
dikirim
pengarang
sehingga
terjadi
salah
wesel
karena
keduanya
memiliki
latar
belakang
yang
berbeda.
Situasi
ini
bisa
saja
terjadi,
dan
mungkin
lebih
kena
kalau
dikatakan
selalu
terjadi
sebab,
seperti
yang
sudah
disinggung
sebelumnya,
dalam
proses
penulisannya
teks-teks
yang
ada
dalam
teks
dan
dihadapi
pembaca
dulunya
masuk
tanpa
disadari
oleh
pengarang
tidak
karena
asing
baginya,
tetapi
justru
karena
merupakan
bagian
tak
terpisahkan
dari
eksistensinya
sebagai
manusia.
Kalau
mengikuti
gagasan
intertekstualitas
yang
sedemikian
itu,
cara
berpikir
kita
tentang
teks
yang
dalam
berbagai
pandangan
dianggap
sebagai
sistem
yang
tertutup
tidak
berlaku
lagi.
Teks
adalah
suatu
sistem
yang
terbuka,
yang
sama
sekali
tidak
homogen.
Di
samping
itu,
sebuah
teks
bersifat
dinamik,
yang
membukakan
jalan
bagi
penafsiran
yang
berbagai-bagai.
Dengan
demikian
muncul
cara-cara
baru
dalam
menghadapi
segala
sesuatu,
yang
pada
gilirannya
menyebabkan
gagasan
kita
tentang
menulis
dan
membaca
bergeser.
Pandangan
tradisional
seperti
yang
disampaikan
di
awal
tulisan
ini,
yang
secara
tegas
membeda-bedakan
antara
pengarang,
teks,
dan
pembaca,
perlu
dipertanyakan.
Barthes
membedakan
antara
karya
dan
teks:
karya
adalah
apa
yang
kita
pegang,
sedangkan
teks
ada
dalam
bahasa
(Hawthorn,1992:
188).
Namun,
dalam
perkembangan
penggunaannya,
teks
tidak
hanya
berurusan
dengan
bahasa
tetapi
dengan
apa
saja,
yang
mencakup
apa
pun
yang
tidak
berkaitan
dengan
otonomi,
kekuasaan
pengarang,
kekuatan
artistik
atau
estetik,
dan
seterusnya.
Dengan
demikian
dalam
penelitian
sastra,
pembedaan
teks
sastra
dan
non-sastra
diredusir
atau
bahkan
dilenyapkan
sama
sekali.
Kritik
sastra
dewasa
ini
umumnya
beranggapan
bahwa
sesuatu
yang
dilepaskan
sama
sekali
dari
ciri-cirinya
yang
tradisional
bisa
dianggap
sebagai
suatu
teks
tidak
terkecuali
yang
sama
sekali
tidak
ada
hubungannya
dengan
faktor
linguistik.
Konsep
intertekstualitas
secara
dramatik
mengaburkan
batas-batas
apa
yang
kita
kenal
sebagai
buku,
membuyarkan
gambaran
totalitas
menjadi
tenunan
hubungan
dan
asosiasi,
parafrase
dan
fragmen,
teks
dan
kon-teks.
Semua
itu
jalin-menjalin
dengan
sendirinya
di
dalam
interteks.
Menurut
kesimpulan
Chandler
(1994),
Barthes,
yang
menyatakan
bahwa
pengarang
tidak
perlu
diperhitungkan
lagi
dalam
pembacaan
teks,
berpandangan
bahwa
para
teoretisi
intertekstualitas
memasalahkan
status
kepengarangan,
dan
menyatakan
pengarang
sebagai
9
Interteks/inter-teks
orchestrator,
sosok
yang
menata
segala
sesuatu
dengan
cermat
(namun
tidak
selalu
harus
jujur)
dari
segala
sesuatu
yang
sudah
ditulis
sebelumnya
agar
menghasilkan
sesuatu,
dan
bukan
sebagai
pencipta
asli.
Kata
Barthes,
Sebuah
teks
adalah
...ruang
multidimensional
yang
di
dalamnya
berbagai
tulisan,
tak
ada
satu
pun
yang
asli,
menyatu
dan
sekaligus
berbenturan.
Teks
adalah
tenunan
kutipan-kutipan
...
pengarang
hanya
mampu
meniru
sesuatu
yang
ada
sebelumnya,
dan
tidak
bisa
menjadi
orisinal.
Satu-satunya
kemampuan
yang
menjadi
milik
pengarang
adalah
membuat
adonan
tulisan,
menghadapkan
berbagai-bagai
jenis
kutipan
dengan
yang
lain,
sedemikan
rupa
sehingga
tidak
bisa
berpijak
pada
salah
satunya
saja.
Teks
disusun
berdasarkan
berbagai
tulisan,
yang
diambil
dari
berbagai
kebudayaan
dan
masuk
ke
dalam
hubungan-hubungan
yang
kait-mengait
dalam
bentuk
dialog,
parodi,
kontestasi,
tetapi
ada
satu
pihak
tempat
kejamakan
itu
terpumpun,
dan
tempat
itu
adalah
pembaca
dan
bukan
pengarang.
Pembaca
adalah
ruang
tempat
semua
yang
membentuk
karangan
itu
tercatat
tanpa
ada
satu
pun
yang
terlewat;
keutuhan
teks
tidak
ada
pada
asal-
usulnya
tetapi
pada
sasarannya.
Namun,
sasaran
itu
tidak
lagi
bisa
personal
sifatnya,
sebab
pembaca
ada
tanpa
sejarah,
biografi,
psikologi
ia
sekadar
seorang
yang
mengumpulkan
semua
jejak
yang
tertulis
itu
dalam
suatu
medankelahiran
pembaca
mau
tidak
mau
berarti
kematian
pengarang
(Allen,
2000:
75).
Tentang
hubungan
antara
pengarang
dan
teks
juga
dengan
tegas
ditolaknya
pandangan
yang
mengungkapkan
bahwa
Pengarang
selalu
dianggap
sebagai
masa
lampau
bukunya:
pengarang
dan
buku
otomatis
berada
dalam
garis
tunggal
yang
dibelah
menjadi
sebelum
dan
sesudah.
Pengarang
dianggap
telah
menghidupi
bukunya,
ada
sebelum
bukunya
lahir
dan
berpikir,
menderita,
dan
hidup
demi
bukunya
seperti
halnya
ayah
terhadap
anaknya.
Pengarang
bukanlah
ayah
dari
anak-nya
yang
berupa
teks;
pengarang
dan
buku
tidak
ada
dalam
satu
garis
tunggal.
Kutipan
dalam
buku
Allen
(2000:
72)
ini
sejalan
dengan
apa
yang
disampaikan
oleh
Eagleton
(1983:
12)
bahwa
'semua
karya
sastra
...ditulis
kembali,
mungkin
dengan
tidak
disadari,
oleh
masyarakat
yang
membacanya.
Yang
penting
adalah
sasaran,
kata
Chandler
(1994),
karena
hanya
sasaran
yakni
pembaca
yang
bisa
meramu
segala
jenis
teks
yang
ada
dalam
interteks.
Pengarang
memang
menuliskannya,
tetapi
bisa
saja
apa
yang
dituliskannya
sama
sekali
di
luar
pengetahuan
atau
kesadarannya.
Demikianlah
maka
dipertanyakan
konsep
keunikan
sebuah
teks,
pengertian
tentang
kreativitas
pengarang
dan
orisinalitas,
dan
bahkan
pengertian
kepengarangan
itu
sendiri.
Ketika
pengarang
menuliskan
karyanya,
ia
terpaksa
menggunakan
konsep
dan
konvensi
yang
ada,
yang
segera
saja
mengalami
perubahan
ketika
karya
itu
selesai
ditulis.
Adalah
kesalahan
logika
jika
dikatakan
bahwa
pemaknaannya
kemudian
dikerucutkan
ke
orisinalitas
dan
pesan
pengarang.
Pengarang
bisa
saja
menyampaikan
gagasan
tanpa
disadarinya,
dan
tulisan
apa
pun
kemudian
memikul
tanggung
jawab
atas
lahirnya
sejumlah
konvensi
atau
konsep
lain.
Pandangan
sedemikian
itu
jelas
menghancurkan
gagasan
tentang
hubungan
filial
antara
pengarang
dan
pembaca.
Mitos
filiasi
dibongkar
oleh
Barthes
karena
makna
tidak
berasal
dari
dan
menjadi
milik
kesadaran
pangarang
sebagai
individu.
Masalah
yang
bisa
timbul
dari
gagasan
Barthes
itu
adalah,
kalau
dikatakan
bahwa
intertekstualitas
itu
tidak
ada
batasnya,
dan
kalau
itu
merupakan
alasan
matinya
pengarang
dan
lahirnya
pembaca,
maka
Barthes
sebenarnya
hanya
memindahkan
sosok
otoritas
mitis
itu
ke
sosok
otoritas
mitis
yang
lain
(Allen,
2000:
75).
Mula-mula
dalam
perkembangan
pembacaan
yang
menjadi
tumpuan
adalah
pengarang,
bahwa
penjelasan
karya
sastra
selalu
dicari
dalam
orang
yang
mengarangnya
yakni
suara
dari
seorang
yang
tunggal
saja,
padahal
teks
merupakan
suara
dari
banyak
teks
lain
yang
sudah
ada
sebelumnya.
Ini
cara
lain
untuk
mengatakan
bahwa
asal-usul
teks
bukanlah
kesadaran
kepengarangan
tetapi
kejamakan
suara:
dari
kata-kata
lain,
ujaran-ujaran
10
Interteks/inter-teks
lain,
dan
teks-teks
lain.
Dalam
pandangan
Barthes,
membaca
bukanlah
kegiatan
konsumtif
yang
berdasarkan
pada
pandangan
bahwa
pengarang
menempatkan
makna
dalam
karyanya
dan
pembaca
mengonsumsinya
dan
kalau
pembacaan
selesai,
pembaca
bisa
bergeser
ke
bacaan
lain,
dan
seterusnya.
Ini
pandangan
tradisional
yang
hanya
kena
untuk
membaca
teks-
teks
klasik.
Allen
menjelaskan
bahwa
analisis
teks
yang
dikembangkan
Barthes
tetap
mempertahankan
eksplorasi
struktur
dari
teks,
tetapi
juga
menempatkan
struktur
ini
dalam
suatu
konteks
yang
bukan
sistem
naratif
yang
tertutup
tetapi
dalam
sistem
intertekstual,
yang
di
dalamnya
tidak
ada
tutupan
dan
sistem
yang
terbatas.
Dalam
gagasannya
yang
lain,
yang
berkaitan
dengan
ketertutupan
dan
keterbukaan
teks,
Barthes
menyatakan
bahwa
ada
dua
jenis
teks
yang
berbeda,
yakni
lisible
teks
baca
dan
scriptible
teks
nulis.
Ini
juga
ada
kaitannya
dengan
pandangannya
tentang
karya
dan
teks.
Teks
baca
memosisikan
pembaca
sebagai
penerima
pasif,
seperti
yang
kita
pahami
dari
sejumlah
besar
karya
klasik.
Tugas
pembaca
adalah
mengiktui
garis
cerita
sampai
suatu
titik
ketika
apa
yang
dianggap
sebagai
kebenaran,
yang
dianggap
ada
di
balik
cerita
itu,
di
akhir
pembacaan
terungkap
oleh
pembaca.
Dengan
demikian
teks
baca
memaksakan
mitos
kultural
dan
ideologi
yang
disimbolkan
dalam
doxa,
yakni
gagasan
dan
pikiran
umum
yang
oleh
orang
ramai
tidak
perlu
dipertanyakan
lagi.
Bagi
Barthes,
doxa
menyarankan
bahwa
yang
stabil
itu
bisa
ada,
bahwa
petanda
bisa
ditemukan
dalam
penanda
teks,
bahwa
bahasa
bisa
merepresentasikan
dunia
dengan
lugas,
bahwa
bahkan
kebenaran
akhirnya
bisa
disampaikan
oleh
pengarang
kepada
pembaca.
Dalam
kaitannya
dengan
mitos
filiasi
yang
dibongkar
Barthes,
bisa
disimpulkan
bahwa
teks
nulis
adalah
teks-teks
yang
dihasilkan
oleh
kaum
Modernis
dan
Pascamodernis
sebab
mereka
itulah
yang
dengan
sadar
memainkan
penanda
dan
tulisan,
yang
bisa
ditulis
kembali
dan
tidak
sekedar
dibaca
oleh
pembaca.
Dalam
jenis
teks
tersebut
muncul
ketegangan,
atau
kontradisksi,
yang
pada
dasarnya
bersumber
pada
pandangan
intertekstualitas
bahwa
selamanya
tidak
akan
ada
jalan
keluar
dalam
pergumulan
antara
doxa
dan
paradoxa,
istilah
Barthes
untuk
apa
pun
yang
bertentangan
dengan
pandangan
umum
dan
segala
yang
dianggap
alamiah.
Dalam
rangkaian
pandangan
yang
sudah
disampaikan
itu,
kita
bisa
menyimpulkan
bahwa
setiap
teks
hanya
ada
dalam
kaitannya
dengan
teks-teks
lain.
Kaitan
itulah
yang
menyebabkan
para
teoretisi
intertekstualitas
menggarisbawahi
bahwa
tidak
ada
kait-mengait
antara
teks
dengan
penulisnya,
dan
bahwa
teks
berhutang
budi
pada
teks-teks
lain,
bukan
penulisnya.
Tetapi
intertekstualitas
juga
direfleksikan
dalam
fleksibilitas
batas-batas
genre
dan
juga
sekaligus
pengaburan
genre
dan
fungsi-sungsinya
seperti
yang
tampak
pada
istilah-istilah
advertorial,
infotainment,
docudrama,
edutainment,
faction
(fact
and
fiction)
dan
sebagainya.
Dalam
kaitannya
dengan
buku
dalam
pembicaraan
intertekstualitas,
Chandler
(1994)
mengutip
Foucault
yang
menyatakan
bahwa
batas-batas
sebuah
buku
selalu
tidak
jelas:
di
seberang
judulnya,
kata
pertama,
dan
titik
terakhir,
di
seberang
konfigurasi
internalnya
dan
bentuknya
yang
otonom,
buku
terlibat
dalam
suatu
sistem
acuan
ke
buku-buku
dan
teks-teks
lain,
kalimat-kalimat
lain:
buku
adalah
suatu
simpul
dalam
suatu
jejaring...buku
tidak
sekadar
sesuatu
yang
ada
di
tangan
kita...
keutuhannya
beragam
dan
relatif.
Dan
memang
inti
intertekstualitas
adalah
pandangan
bahwa
teks
tidak
punya
batas-batas.
Juga
dikotomi
dalam
dan
luar
dalam
teks
dimasalahkan.
Yang
ada
di
hadapan
kita
bukanlah
sesuatu
yang
memiliki
batas-batas
tetapi
sesuatu
yang
mengalir
yang
bahkan
tidak
jelas
kapan
mulai
dan
kapan
berakhir.
Juga
seperti
yang
sudah
disinggung
sebelumnya,
masalah
teks
dan
kon-teks.
Setiap
teks
(mengingatkan
kita
pada
konsep
Kitab
Kebudayaan
Dick
Hartoko)
senantiasa
berada
dalam
masyarakat
teks
yang
luas
yang
terdiri
atas
beragam
genre,
yang
batas-batasnya
bocor
di
sana-sini.
11
Interteks/inter-teks
Jadi,
kalau
diskusi
tentang
intetekstualitas
itu
disimpulkan,
ada
pertanyaan
mendasar
yang
masih
harus
diajukan,
yakni
yang
berkaitan
dengan
otoritas.
Pihak
manakah
yang
memiliki
otoritas
untuk
memandu
pembacaan?
Intetekstualitas
jelas-jelas
menegaskan
bahwa
yang
memandu
pembacaan
adalah
interteks,
tetapi
disiratkan
juga
bahwa
pembacalah
akhirnya
yang
melaksanakan
pembacaan,
tanpa
dipandu
siapa
dan
apa
pun.
Interteks
baru
ada
setelah
terjadi
pertemuan
dengan
pembaca.
Dalam
hal
ini
pengarang
sudah
sama
sekali
dilenyapkan.
Kalau
teks
yang
dianggap
sebagai
pemandu
pembacaan,
maka
pembaca
akan
menuruti
apa
yang
dikatakan
teks
yang
dihadapi
persis
seperti
yang
dinyatakan
oleh
kaum
strukturalis.
Namun,
di
sisi
lain
perlu
diakui
bahwa
pembaca
juga
mampu
memanfaatkan
sumber-sumber
apa
pun
yang
dimilikinya
untuk
memandu
pembacaannya
dan
menentukan
makna
teks
yang
dibacanya.
Pada
hemat
saya,
kalau
apa
pun
bisa
ditentukan
sebagai
teks,
baik
pengarang
dan
pembaca
masing-masing
adalah
juga
teks.
Maksudnya,
pembaca
subjek
sosial
yang
menghadapi
teks
memiliki
pengetahuan
tentang
teks-teks
yang
telah
menghasilkan
interteks
yang
dibacanya
itu
teks
yang
telah
menghasilkan
teks
itu
adalah
pengarang
tentu
saja.
Dalam
banyak
pandangan,
pengarang
sering
diposisikan
sebagai
konteks,
dan
kalau
batas-batas
antara
teks
dan
konteks
itu
kabur
maka
pengarang
juga
berhak
menjadi
teks
yang
masuk
ke
dalam
perhitungan
pembaca.
Sebagai
contoh,
kalau
menurut
Bennet
dan
Woolacott
yang
dengan
jelas
mengatakan
bahwa
James
Bond
yang
ada
dalam
film
sudah
berubah
menjadi
teks
dalam
pembacaan
novel-novel
Ian
Fleming,
maka
tentunya
si
pengarang
novel
itu
juga
berhak
mendapat
kedudukan
sebagai
teks.
Bagaimana
bisa
menghapus
teks
sedemikian
itu
dari
pikiran
pembaca?
Saya
bisa
menerima
gagasan
bahwa
teks
berada
dalam
suatu
jaringan
hubungan-hubungan
inter-tekstual
yang
menyebabkan
teks
itu
bisa
dibaca
sebagai
teks-untuk-dibaca.
Dalam
kaitannya
dengan
konsep
ini,
pembaca
tentunya
juga
adalah
pembaca
yang
sudah
berada
dalam
tatanan
membaca
dengan
cara
tertentu.
Dengan
demikian
hubungan-hubungan
antara
pengarang,
teks,
dan
pembaca
bersifat
inter-tekstual
kalau
pengarang
dan
pembaca
ditempatkan
sebagai
teks-teks
yang
di
luar
teks.
Namun,
keduanya
bisa
menyebar
ke
dalam
interteks
dalam
proses
pembacaan.
Kalau
kita
melihat
konsep
ini
dari
arah
pembaca,
maka
hubungan
inter-tekstual
yang
ada
dalam
interteks
itu
senantiasa
berubah
sama
sekali
tidak
stabil
karena
pembaca
selalu
berada
dalam
saat-saat
yang
berbeda
ketika
membaca
teks.
Seperti
apa
pun
tidak
stabilnya
pembacaan,
selama
pembaca
mengetahui
siapa
pengarang
teks
yang
dihadapinya,
tentunya
pengarang
itu
juga
berhak
menjadi
teks
sehingga
dengan
demikian
juga
bisa
ikut
menjadi
salah
satu
serat
dalam
tenunan,
dalam
interteks
tanpa
harus
menganggapnya
sebagai
ayah
yang
menghidupi
anak,
yakni
interteks
yang
ada
di
hadapan
pembaca.
Berdasarkan
masalah
yang
saya
sampaikan
dalam
alinea
sebelum
ini,
saya
sepakat
dengan
Allen
(200:
2)
yang
menyatakan
bahwa
intertekstualitas,
salah
satu
gagasan
penting
dalam
teori
sastra
masa
kini,
bukanlah
istilah
yang
transparan
dan
kerenanya
tidak
bisa
disampaikan
dengan
cara
yang
gampang
dan
lugas.
Sejumlah
besar
teoretisi
dan
kritikus
bidang
seni
apa
pun
telah
memanfaatkannya,
seperti
yang
dipaparkannya
dalam
bab
5
bukunya
yang
setidaknya
menurut
penilaian
saya
merupakan
sebuah
ulasan
yang
komprehensif
tentang
intertekstualitas.
Saya
berharap
pada
suatu
saat
bisa
menguraikan
posisi
pengarang
sebagai
teks
sekaligus
kon-teks.
Bukankah
kon-teks,
yakni
segala
sesuatu
yang
berhubungan
dengan
teks,
adalah
juga
teks
yang
ikut
dalam
proses
jalin-menjalin
dalam
interteks?
(
Ciputat,
17
Agustus
2010)
12
Interteks/inter-teks
13
Interteks/inter-teks
Bibliografi
Allen,
Graham.
2000.
Intertextuality.
London:
Routledge.
Barthes,
Roland.
1973.
Mythologies.
(terjemahan
Anette
Lavers).
Frogmore-St.
Albans:
Paladin.
Booth,
Wayne
C.
1961.
The
Rhetoric
of
Fiction.
Chicago:
The
University
of
Chacago
Press.
Culler,
Jonathan.
1975.Structuralist
Poetics.
Structuralism,
Linguistics
and
the
Study
of
Literature.
London:
Routledge
&
Kegan
Paul.
Culler,
Jonathan.
1983.
On
Deconstruction.
Theory
and
Criticism
after
Structuralism.
London:
Routledge
&
Kegan
Paul
Eliot,
T.S.
1953.
Selected
Prose.
London:
Penguin
Books.
Fokkema.
D.W.
dan
Elrud
Kunne-Ibsch.
1977.
Theories
of
Literature
in
the
Twentieth
Century.
London:
C.
Hurst
&
Company.
Giles,
Steve.
1993.
Theorizing
Modernism.
London:
Routledge.
Hartoko,
Dick
dan
B.
Rahmanto.
1986.
Pemandu
di
Dunia
Sastra.
Yogyakarta:
Kanisius.
Hawthorn,
Jeremy.
1992.
Contemporary
Literary
Theory.
London:
Edward
Arnold.
Hayward,
Susan.
2000.
Cinema
Studies:
Key
Concepts.
London:
Routledge.
Holub,
Robert
C.
1989.
Reception
Theory.
A
Critical
Introduction.
London:
Routledge.
Iser,
Wolfgang.
1987.
The
Act
of
Reading.
A
Theory
of
Aesthetic
Response.
Baltimore:
The
John
Hopkins
University
Press.
Storey,
John.
1993.
An
introduction
to
Cultural
Theory
and
Popular
Culture.
London:
Prentice
Hall
Harvestter
Wheatsheaf.
Storey,
John.
1996.
Cutural
Studies
and
the
Study
of
Popular
Culture.
Theories
and
Methods.Edinburg:
Edinburg
University
Press.
van
Luxemburg,
Jan,
Mieke
Ball,
dan
Willem
G
Weststeijn.
1984.
Pengantar
Ilmu
Sastra
(terjemahan
Dick
Hartoko).
Jakarta:
Gramedia.
Wimsatt,
W.K.
dan
Monroe
C.
Beardsley
(dalam
David
Lodge,
ed).
1972.
20th
Century
Literary
Criticism.
A
Reader.
Suffolk:
Longman.
Internet
Chandler,
Daniel
(1994).
Semiotics
for
Beginners
(WWW
document)
URL
<http://www.aber.ac.uk/media/Documents/S4B/semiotic.html>
Lye,
John
(2001)
<http://www.brocku.ca/english/courses/4F70/
.html>
14