Anda di halaman 1dari 3

Rifqi Adhi Dharmawan | MD18A

0802518248

Rangkuman Film “Good Copy Bad Copy”

Film dokumenter ini menampilkan individual-individual yang terlibat dalam pendistribusian


media yang melawan undang-undang di berbagai negara mereka. Hak cipta pada industri musik
membuat perusahaan besar dan masyarakat mempertanyakan keadaan dan masa depan karier
musisi yang mementingkan hak cipta pada karya mereka sendiri. Musik hip hop sangat
signifikan dalam mengubah persepsi karya agar dibuat menjadi karya baru lewat sampling. Itu
dikarenakan seniman hip hop dan DJ musik elektronik tidak ingin kerepotan mengurusi urusan
hukum dan dana uang untuk membuat musik dari sampling lagu-lagu. Banyak kritisi terhadap
pendekatan membuat musik yang baru ini, dengan mengatakan menggunakan karya orang lain
terasa tidak kreatif. Contohnya, grup N.W.A. dan DJ Girl Talk yang menghadapi banyak
masalah tentang hak cipta. Ada lagi orang yang membela arus ini dengan mengatakan kasus hak
cipta yang menggunakan karya orang lain sangat sepele atau disebut de minimis. Danger Mouse
adalah DJ yang dikenal membuat album “Gray Album”, yang men-sample vokal dari “White
Album” The Beatles, dengan instrumental “Black Album” Jay-Z. Dia menggunakan karya orang
lain, dan tidak menerima penghasilan dari pendistribusian musiknya. Dia hanya bertujuan
menggabungkan musik orang kulit putih dan kulit hitam, dan membagikan Gray Album itu
kepada teman-temannya lewat internet. Distrbusi lewat internet itu membuat albumnya dimiliki
oleh ribuan orang. Di situasi ini, yang paling heboh justru pengacara The Beatles yang merasa
kerepotan sendiri menghadapi perubahan dan hanya mereka yang mendapatkan uang.

Di Amerika, undang-undang hak cipta bertujuan melindungi hak seniman untuk membuat karya
dan melindungi dari pembajakan yang tidak memberi kompensasi bagi seniman yang
bersangkutan. Danger Mouse sendiri, menggunakan alat yang berupa media online atau internet
untuk mendistribusi, membuat permasalahan pembajakan media lewat internet semakin
terdeteksi oleh pemerintah. Pembajakan tidak akan menghilang, dan hasilnya perusahan label
rekaman rugi sebesar 6 miliar dollar setiap tahun, pantas saja mereka ingin meredakan masalah
ini. Contohnya pada saat ruangan server The Pirate Bay dirantas polisi dan diminta untuk
dihentikan. MPAA, organisasi Amerika yang melindungi hak cipta, berusaha untuk menghambat
pendistribusian ini dengan menggunakan pihak kepolisian di berbagai negara untuk
melakukannya. Efeknya bagi Swedia, gerakan yang dilakukan perusahaan industri hiburan ini
membuat pemerintah di negara itu ikut khawatir terhadap permasalahan pembajakan.
Tapi hal yang tidak dimengerti atau berusaha untuk tidak dipahami perusahaan industri hiburan
di Amerika Serikat ini, adalah di setiap negara pastinya memiliki hukum yang berbeda. Amerika
Serikat yang membuat media hiburan ter-sentralisasi di Amerika Serikat atau Hollywood, dan
merasa mereka mempunyai hak untuk melakukan tindakan penegakkan hukum di luar negeri
sampai melibatkan pihak kepolisian di negara itu. Bisa dipahami karena mereka bertujuan untuk
mendapatkan penghasilan dari setiap produk media untuk menghidupi industrinya yang sangat
dependen pada konsumen dari seluruh dunia. Akibat hal ini, di Swedia dibuatlah semacam partai
poltik dinamai “Pirate Party” yang berusaha melindungi hak fundamental bagi pelaku
penyebaran media, privasi pelapor pelanggaran, dan kebebasan pers yang dilanggar oleh undang-
undang ketentuan “pendapatan dari sebuah media” di industri hiburan. Mereka melihat sisi baik
dari fenomena penyebaran media di internet, yaitu pengetahuan dan budaya yang dapat dipahami
oleh siapa saja. Sesuatu anugerah bagi siapa saja di jaman ini dibandingkan jaman-jaman
sebelumnya. Creative Commons mempersilahkan pembuat media memilih untuk menyebarkan
karya dengan cara membagikan karya secara gratis untuk dipakai kembali, jadi masih ada jalan
untuk mendistribusi secara bebas dan legal, jika senimannya memilih jalan itu.

Di Nigeria, pendistribusian film diawasi oleh pemerintah jika film itu diproduksi dalam negeri
dan diminta oleh si produser. Pemerintah Nigeria menginginkan masyarakat untuk menghormati
hak cipta bagi karya seni dan seniman yang membuatnya, dengan cara melindungi penghasilan
dari pembajakan. Tapi, ini tetap sia-sia karena adanya internet, dan kesamaan budaya.
Masyarakat akan tetap memilih yang gratis dan inilah yang tidak dilawan perusahaan pada saat
itu. Perusahaan yang tidak bisa mengikuti perubahan akan selalu mendapat kerugian dari adanya
internet. Karena musik didapatkan secara gratis, ini berakibat negatif pada nilai atau value yang
dimiliki konsumen terhadap suatu media, seperti musik, orang menganggap musik didapatkan
gratis menjadi disepelekan. Caranya adalah membuat konsumen ingin memilih untuk
mendukung pembuat media dengan membeli karya yang dibuat. Mungkin dengan membuat
experience sentimental atau gembira, yang penting seniman itu dekat dengan hati konsumen.
Model yang ideal untuk ini adalah berlangganan per bulan atau per tahun yang ditagih bersama
pembayaran listrik, dengan hasil yang sama dengan penghasilan over the counter (transaksi
antara pedagang dan pembeli).
Di Brazil, pendistribusian musik berporos pada pedagang CD, yang mendapatkan produk dari DJ
produser yang menghasilkan musik dari kolaborasi oleh berbagai musisi lokal. Di ranah musik
“Techno Brega” Brazil, bagi produser, CD dianggap hanya sebagai iklan, dan penghasilan
mereka didapat dari konser dengan sound system terbagus. Konser-lah yang juga menafkahi
musisi dan itu didapat dari promosi lewat CD, dan bagi mereka, hak cipta tidak dijadikan sumber
penghasilan. Mereka juga menjual film dari konser itu keesokan harinya. Perkembangan media
membuat pendistribusian karya berubah metode, dan limitasi yang diterapkan oleh pemerintah
yang takut pada ancaman media ini, memaksa seniman untuk mencari cara kreatif untuk
mendukung kelangsungan hidup mereka. Perbedaan generasi antara orang yang terlibat di
perusahaan korporat dengan masyarakat muda yang mempunyai akses ke internet adalah
penyebab permasalahan ini. Generasi tua tidak paham mengapa media menjadi gratis, dan justru,
lewat akses internet, generasi muda bisa lebih paham masa lalu.

Anda mungkin juga menyukai