Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

“SEJARAH AWAL MULA PENYEBARAN


ISLAM DI DOMPU (KARO’A PIDU)”

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 3


Ketua :
Anggota :

SMA NEGERI 1 SAPE


TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Alloh Swt yang telah melimpahkan rahmat-Nya, maka
pada hari ini makalah yang berjudul “SEJARAH AWAL MULA PENYEBARAN ISLAM DI DOMPU” dapat
diselesaikan. Secara garis besar, makalah ini berisi tentang hal yang berhubungan dengan bagaimana
sejarah penyebaran Islam di Dompu.

Secara garis besar lingkup makalah ini terdiri dari tiga bab, yaitu: Bab I pendahuluan.

Bab II mengenai pembahasan dan

Bab III penutupan dan kesimpulan.

Penyusun mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung penyusunan
makalah ini. Oleh karena itu, saran dari berbagai pihak sangat diharapkan demi kemajuan
selanjutnya.

Sape, September 2022


BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Dompu dahulu pada awal Abad ke-14 merupakan sebuah kerajaan dan merupakan
satu di antara Kerajaan-kerajaan kuno di timur Indonesia. Di dalam kitab Negarakertagama,
nama Dompu disebutkan sebagai DOMPO dan menjadi salah satu Kerajaan yang ditargetkan
untuk ditaklukkan dan dikuasai oleh Majapahit. Ambisi berkuasa Majapahit sejak sumpah
palapa tahun 1331 akhirnya diwujudkan dengan ekspansi besar-besaran ke berbagai kerajaan
di nusantara.
Setelah terlebih dahulu menundukan Bali dan Lombok, akhirnya ekspansi Majapahit ke timur
sampai di Kerajaan Dompo. Namun ternyata Kerajaan Dompo bukanlah kerajaan lemah.
Terbukti dalam Negarakertagama dicatat bahwa Majapahit terpaksa harus melakukan dua kali
serangan yang dipimpin oleh Tumenggung Nala baru bisa menundukan kerajaan Dompo.
Itupun setelah pada serangan kedua didatangkan pasukan tambahan dari Bali di bawah
komando Panglima Soka. Serangan pertama dilakukan pada tahun 1344 sedangkan serangan
kedua yang berujung takluknya kerajaan Dompo terjadi pada tahun 1357. Butuh waktu 13
tahun untuk mampu menaklukan kerajaan Dompo membuat banyak orang percaya bahwa
Kerajaan Dompo bukanlah kerajaan kecil dan sembarangan.
Dengan berdirinya Kesultanan Demak pada tahun 1518, maka Demak kemudian
menjelma menjadi pusat penyebaran Islam di timur nusantara. Sunan Giri adalah salah satu
ulama yang menyokong aktifitas dakwah dan jihad Kesultanan Demak. Beliau menjadikan
Desa Giri sebagai pusat kendali dakwahnya dengan membangun pesantren di sana.
Sedangkan Sunan Prapen adalah puteranya yang kemudian berperan besar dalam
pengislaman P. Lombok dan P. Sumbawa yang diperkirakan terjadi pada tahun 1520 M. Di
dalam bukunya sekitar kerajaan Dompu, Israil M. Saleh menyebutkan bahwa Islam masuk ke
Dompu pada tahun 1520 M. Yakni angka yang sama dengan pengislaman P. Sumbawa di
bawah Sunan Prapen. Lebih lanjut Israil M. Saleh menyebutkan bahwa berdasarkan
keterangan dari Bo Dana Dompu, ulama pertama yang datang dan berdakwah ke Kerajaan
Dompo adalah Syekh Nurdin. Beliau adalah seorang mubaligh keturunan Arab yang
berprofesi sebagai pedagang. Pada saat itu, Kerajaan Dompo dipimpin oleh Sangaji (Raja)
yang bergelar Dewa Mawa’a Taho (Dewa Pembawa Kebaikan). Syekh Nurdin menikahi
salah seorang puteri Dewa Mawa’a Taho yang setelah masuk Islam
I.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah penyebaran Islam di Dompu?
2. Bagaimana perkembangan Islam di Dompu?
I.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui sejarah masuknya Islam ke Dompu.
2. Menjelaskan tentang perkembangan Islam di Kerajaan Dompu.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Sejarah Awal Mula Penyebaran Islam di Dompu
Sejarah di Dana Dompu (NTB, Indonesia) mencatat, ketika Syekh Nurdin seorang
ulama terkemuka keturunan Arab Magribi menginjakkan kakinya di Bumi Dompu sekitar
1528 untuk menyebarkan Islam sambil berdagang, saat itu Dompu di bawah Pemerintahan
Raja Bumi Luma Na‘e yang bergelar Dewa Mawa‘a Taho (kala itu Dompu belum mengenal
Islam/masih menganut ajaran Hindu) sebab saat itu Kerajaan Dompu masih di bawah
kekuasaan kerajaan Majapahit (Raja Hayam Wuruk) dengan Mahapatih Sang Gajah Mada
Amurwa Bumi.
Kehadiran syekh Nurdin di Kerajaan Dompu tampaknya mendapat simpatik dari
rakyat Dompu terutama Raja Dompu saat itu. Bahkan lambat laun ajaran Islam yang dibawa
oleh Syekh Nurdin dengan cepat dapat diterima oleh rakyat Kerajaan Dompu termasuk dari
kalangan Istana (bangsawan).
Konon cerita, salah seorang putri dari keluarga Kerajaan Dompu tertarik terhadap
ajaran Islam yang dibawa oleh Syekh Nurdin. Sang Putripun akhirnya belajar dan memeluk
Islam di hadapan syekh Nurdin. Bukan itu saja, sang putri Raja itupun akhirnya menaruh hati
dan menikah dengan Sang Ulama.
Putri Raja yang tidak diketahui nama aslinya itupun akhirnya mengganti namanya
setelah menikah dengan Syekh Nurdin dengan Islam yakni ST. Hadijah. Dari pernikahan
dengan Syekh Nurdin tersebut ia dikaruniai 3 orang anak, 2 putra dan 1 putri. Masing-masing
bernama Syekh Abdul Salam, Syekh Abdullah dan Joharmani.
Pada saat Syekh Nurdin dan keluarganya berangkat ibadah haji ke tanah suci Makkah
untuk memperdalam ilmu agama Islam, Syekh Nurdin dan salah seorang putranya yakni
Syekh Abdullah, tidak kembali ke Dompu karena meninggal di Makkah . Hanya Syekh
Abdul Salam dan ibundanya ST. Hadijah serta adik perempuannya, Joharmani, yang kembali
ke Dompu. Isteri Syekh Nurdin dan kedua anaknya yang sudah menyandang gelar Haji
akhirnya pulang ke Dompu dengan membawa oleh-oleh berupa kitab suci Al Qur‘an
sebanyak 7 buah (di Dompu dikenal dengan istilah Karo‘a Pidu). Konon ketujuh buah kitab
suci Al Qur‘an yang dibawa dari Makkah oleh keluarga Syekh Nurdin tersebut saat ini masih
tersimpan dengan baik di asi mpasa (istana lama) uma siwe (rumah perempuan), Hj. ST
Hadijah (isteri Almarhum Sultan Muhammad Tajul Arifin Siradjuddindin, Sultan Dompu
terakhir).
Islam menjadi agama resmi Kerajaan Dompu ketika putra pertama Raja Dompu yakni
La Bata Na‘e naik tahta menggantikan Ayahandanya. Untuk memperdalam agama Islam, La
Bata Na‘e pergi meninggalkan Dompu untuk menimba Ilmu di Kerajaan Bima, Kerajaan
Gowa Makassar bahkan sampai ke tanah Jawa. Setelah menguasai berbagai macam ilmu
agama Islam, La Bata Na‘e akhirnya kembali ke Kerajaan Dompu untuk meneruskan
memimpin pemerintahan warisan ayahandanya, Raja Dompu, Bumi Luwu Na‘e. Pada tahun
1545, La Bata Na‘e resmi naik tahta. La Bata Na‘e selanjutnya mengubah sistim
pemerintahaan di Dompu dari Kerajaan menjadi Kesultanan dan bergelar Sultan Syamsuddin.
La Bata Na‘e atau Sultan Syamsuddin merupakan sultan Dompu pertama sekaligus
salah satu sultan Dompu yang pertama kali memeluk Islam. Selanjutnya agama Islam saat itu
resmi menjadi agama di wilayah Kesultanan Dompu.
Untuk mendampinginya dalam memerintah di Kesultanan Dompu, Sultan
Syamsuddin akhirnya menikah dengan Joharmani saudara kandung Syekh Abdul Salam pada
tahun 1545. Syeh Abdul Salam diangkat oleh Sultan Syamsuddin sebagai Ulama di Istana
Kesultanan Dompu. Makam Syekh Abdul Salam terletak di Kampung Raba Laju Kelurahan
Potu, kecamatan Dompu. Makam keramat tersebut saat ini oleh pemerintah telah dijadikan
salah satu situs purbakala. Bahkan untuk mengenang nama Syekh Abdul Salam, di dekat
makam Syekh Abdul Salam terdapat pemakaman umum yang dinamakan oleh warga Dompu
Rade Sala (Kuburan Abdul Salam).
Sekitar tahun 1585, datanglah beberapa saudagar/pedagang sekaligus ulama Islam
yakni Syekh Hasanuddin dari Sumatera, Syekh Abdullah dari Makassar dan Syekh Umar Al
Bantani dari Madiun Jawa Timur. Selanjutnya mereka menetap di Dompu untuk membawa
Syi‘ar Islam.
Kedatangan 3 Ulama dari negeri seberang tersebut rupanya mendapat simpatik yang
baik dari sultan Dompu dan masyarakat di wilayah kesultanan Dompu. Untuk membuktikan
rasa simpatik dan hormatnya terhadap ketiga orang ulama tersebut, Syekh Hasanuddin
akhirnya mendapat kehormatan dari Sultan Syamsuddin untuk menduduki salah satu jabatan
sebagai qadi (jabatan setingkat menteri agama di kesultanan) bergelar Waru Kali. Kemudian
Syekh Umar Al Bantani dan Syekh Abdulah dipercaya Sultan Syamsuddin sebagai Imam
Masjid di Kesultanan Dompu. Syekh Hasanuddin wafat dan dimakamkan di Kandai I. Oleh
masyarakat Dompu lokasi atau komplek pemakaman tersebut kini dikenal dengan sebutan
Makam Waru Kali. Pada masa pemerintahaan Bupati Dompu H.Abubakar Ahmad, SH (2000-
2005) Waru Kali ditetapkan sebagai salah satu situs purbakala yang bernilai sejarah tinggi.
Hal ini dilakukan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh tim arkeologi dan purbakala
pimpinan Dr. Haris Sukandar dan Dra. Ayu Kusumawati. Tim menyimpulkan bahwa lokasi
Waru kali merupakan peninggalan bersejarah tinggi di Dompu ribuan tahun lalu. Situs Waru
Kali berdekatan dengan komplek situs Doro Bata di Kelurahan Kandai I Kecamatan Dompu.
Menurut cerita di Dana Dompu, Syekh Umar Al Bantani dan Syekh Abdullah membangun
sebuah tempat ibadah (masjid/mushola) yang berukuran sekitar 4 x 4 meter, tepatnya di dekat
perkampungan yang diberi nama Karijawa. Masjid tersebut konon merupakan satu-satunya
Masjid Kesultanan Dompu. Menurut riwayat, bekas tempat bangunan Masjid yang dibangun
oleh dua orang ulama terkenal itu kini tempatnya sudah berubah fungsi menjadi komplek
kantor Kelurahan Karijawa. Sedangkan Masjid Agung Baiturahman Dompu, dahulu
merupakan lokasi Istana Kesultanan Dompu.

II.2 Perkembangan Islam di Kerajaan Dompu


Kerajaan Majapahit mengalami puncak keemasan yang diperintah oleh Raja
Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada yang bertekad mempersatukan
Nusantara. Dalam Kitab Negarakertagama disebutkan bahwa selain Sumbawa, Bima,
dan Sape, Dompu menjadi salah satu daerah di Nusa Tenggara yang menjadi taklukan
Kerajaan Majapahit. Peristiwa ini merupakan tonggak sejarah yang membawa
perubahan besar di Dompu yang sudah berada dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Perubahan yang paling mendasar adalah sistem pemerintahan, sebelum menjadi daerah
taklukan Majapahit daerah ini dipimpin oleh beberapa Ncuhi, kemudian Patih Gajah Mada
menyatukannya menjadi sistem kerajaan yang dipimpin sangaji (Soeryanto 2013, 6).
Terjadinya perubahan politik yang ditanamkan oleh Gajah Mada
diikuti pula oleh perubahan sistem kepercayaan yang berkembang pada saat itu
yaitu Hindu-Budha. Dalam artian dulunya masyarakat yang bernaung di bawah
Ncuhi memiliki kepercayaan animisme, mulai memeluk paham kepercayaan baru yaitu
Hindu-Budha yang ditanamkan oleh Kerajaan Majapahit. Beberapa bukti arkeologis yang
berkaitan dengan hal tersebut dapat dijumpai di Dompu sampai saat ini seperti,
Situs Waru Kali, Situs Sambi Tangga, dan Situs Dorobata. Ketiga situs ini mempunyai
kaitan erat karena memiliki fungsi, bahan, dan struktur yang hampir mirip yaitu
merupakan tempat pemujaan dengan bahan batu bata berukuran besar yang sering
disebut bata tipe Majapahit dengan struktur percandian (Suantika 1991, 26).
Namun sangat disayangkan Situs Waru Kali dan Sambi Tangga mengalami
kerusakan yang sangat parah sehingga sangat sulit untuk direkonstruksi. Pengaruh
Majapahit di Dompu tidak bertahan lama seiring dengan masuknya paham baru yaitu
Agama Islam yang disebarkan oleh pedagang dari Kerajaan Gowa Makassar
(Rahman 2011, 34). Para pedagang selain menyasar hasil bumi, mereka juga
berdakwah untuk menanamkan ajarannya kepada masyarakat setempat
(Utomo 2012, 617).
Sistem kepecayaan ini dengan mudah masuk ke Dompu, karena pada saat
itu Kerajaan Majapahit diambang kehancuran akibat perang saudara. Para pedagang ini
masuk melalui Bima terus berlanjut ke Dompu untuk memperluas penyebaran Agama
Islam. Penyebaran Agama Islam dari Gowa ke wilayah Nusa Tenggara Barat sudah
dimulai sejak abad ke-16. Hal ini dipengaruhi oleh adanya hubungan baik yang
berlangsung secara berkesinambungan antara kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa
dengan Kesultanan Gowa, Makassar (Rachman 2011, 61).
Pendapat tersebut juga dipertegas oleh Suryanto yang mengatakan, bahwa
Agama Islam masuk ke Dompu pada abad ke-16 yang ditandai oleh perubahan
dari sistem kerajaan menjadi kesultanan dan Sultan Syamsudin menjadi Sultan
Dompu pertama yang memeluk Agama Islam. Sejak saat itu Islam menjadi agama resmi
di wilayah Kesultanan Dompu (Soeryanto 2013, 32-33).
Pengaruh Islam di Dompu dapat dilihat pada beberapa tinggalan yang saat ini
masih disucikan oleh masyarakat seperti, Situs Makam Syekh Abdul Salam,
Makam Raja-Raja Dompu, Makam Doro Swete, Makam Syekh Yusuf Mansyur,
Makam Solokilo, dan Makam Mekar Sari. Semua situs peninggalan Islam tersebut
tersebar di Kabupaten Dompu dan sangat dikeramatkan oleh masyarakat karena
memiliki nilai sejarah masing-masing. Dalam catatan Raffles yang dikutip Boers dan
Sjamsuddin dikatakan bahwa Istana Dompu bertempat di Bata, akibat tertimbun
letusan Tambora yang dahsyat, akhirnya dipindahkan ke sebelah utara Sungai Na’e.
Tempat bernama Bata tersebut yang sekarang disebut Dorobata diperkirakan sebagai
situs sejarah penting dari
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Masuknya Islam di dompu pertama kali pada abad ke-16 yang ditandai oleh
perubahan dari sistem kerajaan menjadi kesultanan dan Sultan Syamsudin menjadi
Sultan Dompu pertama yang memeluk Agama Islam. Sejak saat itu Islam menjadi agama
resmi di wilayah Kesultanan Dompu.
Islam menjadi agama resmi Kerajaan Dompu ketika putra pertama Raja Dompu yakni
La Bata Na‘e naik tahta menggantikan Ayahandanya. Untuk memperdalam agama Islam, La
Bata Na‘e pergi meninggalkan Dompu untuk menimba Ilmu di Kerajaan Bima, Kerajaan
Gowa Makassar bahkan sampai ke tanah Jawa. Setelah menguasai berbagai macam ilmu
agama Islam, La Bata Na‘e akhirnya kembali ke Kerajaan Dompu untuk meneruskan
memimpin pemerintahan warisan ayahandanya, Raja Dompu, Bumi Luwu Na‘e.

III.2 Saran
Kritik dan saran masih sangat saya butuhkan demi perbaikan dari penyusunan
Makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Boers, Bernice de Jong dan Helius Sjamsuddin. 2012. Letusan Gunung Tambora
1815. Yogyakarta: Ombak.

Rachman, H.M Fachrir. 2011. Islam di Bima Kajian Historis Era Kesultanan. Mataram:
Alam Tara Learning Institut.
Soeryanto, H.R.M. Agus. 2013. Sejarah Kabupaten Dompu. Dompu: Pemerintah
Kabupaten Dompu.

Suantika, I Wayan, Purusa Mahaviranata, A.A. Gde Oka Astawa, I Made Geria. 1991.
“Ekskavasi Arkeologi di Situs Dorobata, Dompu, Nusa Tenggara Barat
(tahap II).” Laporan Penelitian Arkeologi, Balai Arkeologi Denpasar,
Denpasar.
Utomo, Danang Wahyu. 2012. “Gresik: Sebuah Catatan Perjalanan Sejarah Islam.”
Dalam Arkeologi Untuk Publik, disunting oleh Supratikno Rahardjo,
616-630. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai