Anda di halaman 1dari 6

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Rheumatoid Arthritis

Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum diketahui dan ditandai
oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus disertai keterlibatan jaringan
ekstraartikular. Perjalanan penyakit RA ada 3 macam yaitu monosiklik, polisiklik dan progresif.
Sebagian besar kasus perjalananya kronik kematian dini (Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi
Indonesia,2014). Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti sendi, dan “itis”
yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang pada sendi. Sedangkan Rheumatoid
Arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya tangan dan kaki) mengalami
peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali menyebabkan kerusakan pada
bagian dalam sendi (Febriana,2015). Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan
dan banyak mengenai penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial dan ekonomi
yang besar. Diagnosis dini sering menghadapai kendala karena pada masa dini sering belum
didapatkan gambaran karakteristik yang baru akan berkembang sejalan dengan waktu dimana sering
sudah terlambat untuk memulai pengobatan yang adekuat (Febriana,2015).

Rheumatoid arthritis (RA) adalah penyakit peradangan kronis yang mempengaruhi sekitar 1% dari
populasi orang dewasa. Meskipun tidak ada obatnya, pasien dapat mencapai keadaan remisi, yang
telah menjadi tujuan yang dapat dicapai dengan pengobatan dini yang optimal. Intervensi dini
khususnya telah membuat RA menjadi penyakit yang tidak terlalu melumpuhkan dan jika
pengobatan dilakukan sejak awal, tidak ada gangguan fungsional yang dapat terjadi dan integritas
struktural dapat dipertahankan. Selama dekade terakhir, pengobatan intensif awal juga telah
terbukti mengubah perjalanan RA selanjutnya, dan oleh karena itu, tujuan pengobatan harus untuk
mengobati RA dini dan terus-menerus sampai ada remisi . Tantangan untuk mengobati RA dini
adalah kenyataan bahwa artritis onset baru sering sembuh secara spontan dan artritis persisten
memiliki banyak diagnosis banding yang harus dipertimbangkan selain RA, atau bahkan mungkin
tetap tidak terdiferensiasi.Algoritme diagnostik telah disarankan untuk artritis onset baru, karena
diperlukan pemeriksaan minimal untuk memberi label presentasi sebagai tidak terdiferensiasi .
Algoritma juga membantu menyingkirkan trauma, asam urat, dan artritis septik; Kecurigaan salah
satu dari dua yang terakhir membutuhkan aspirasi cairan sendi, yang biasanya memberikan petunjuk
diagnostik segera. Pada pengobatan awal RA, ada banyak rintangan yang dapat menyebabkan
keterlambatan yang substansial dalam memulai pengobatan, termasuk keterlambatan presentasi
pasien, rujukan dokter, atau diagnosis. Dalam sebagian besar pengaturan klinis, diagnosis perlu
ditegakkan sebelum pengobatan dapat dilakukan, termasuk pertimbangan kewajiban dengan
penggunaan obat off-label. Karena kriteria diagnostik tidak tersedia, diagnosis harus ditetapkan oleh
rheumatologist, meskipun dia mungkin memutuskan untuk menggunakan sistem klasifikasi formal
sebagai dasar.

Kriteria klasifikasi American College of Rheumatology (ACR)/European League Against Rheumatism


(EULAR) 2010 dikembangkan dalam proses tiga tahap untuk menggantikan kriteria yang ada, yang
dianggap sudah kadaluwarsa.Kriteria ACR/EULAR 2010 terdiri dari sistem penilaian yang
mempertimbangkan jumlah dan distribusi sendi yang terkena, serologi, durasi gejala, dan reaktan
fase akut. Mereka dapat diterapkan pada pasien dengan artritis klinis, di mana penyakit lain dapat
dikecualikan secara wajar dan dapat diterapkan secara prospektif atau retrospektif. Selain sistem
skoring langsung, juga telah disediakan algoritma pohon yang hasilnya identik dengan sistem
skoring. Karena kriteria baru tidak memperhitungkan erosi sendi, yang sekarang dianggap sebagai
hasil RA yang dapat dicegah daripada penanda klasifikasi, aturan tambahan telah ditetapkan untuk
pasien yang datang dengan sinar-X tangan dan kaki yang tersedia.Singkatnya, membuat diagnosis RA
yang benar (terutama RA awal) tetap menjadi tantangan. Karena ada sejumlah besar diagnosis
banding, dan presentasi RA mungkin sangat heterogen, tidak ada kriteria formal yang dapat
menggantikan penilaian dan pengalaman rheumatologist dalam pengaturan diagnostik. Namun
demikian, kriteria klasifikasi dapat membantu memandu rheumatologist dalam tugas sulit
menegakkan diagnosis. Hal ini akan memungkinkan pemberian terapi awal yang memadai dan,
mudah-mudahan, membantu mengurangi dampak penyakit yang sangat umum ini pada fungsi
pasien dan kualitas hidup terkait kesehatan.

Early
treatment
Physical function

Delayed
treatment

Late
treatment

Tim
e
figure 1.1
why s early classification of rheumatoid arthritis
i needed?

Seiring waktu, kerusakan struktural meningkat dan fungsi fisik menurun jika rheumatoid
arthritis (RA) tidak diobati secara efektif. Sementara institusi terapi pada akhir RA dapat
meningkatkan fungsi hanya pada tingkat yang sangat kecil, pengobatan lebih awal memiliki
potensi untuk menstabilkan fungsi fisik sebelum kecacatan permanen terjadi.
30
Early treatment
(median symptom duration: 12 months
)
25
Joint damage (Larsen score)

20

15
Very early treatment
(median symptom duration: 3 months
)
10

0
Treatment 12 months 24 months 36 months

Even
f igure 1.2 The importance of starting rheumatoid arthritis therapy very short delays in treatment
early.

Bahkan penundaan singkat dalam inisiasi pengobatan pada pasien dengan rheumatoid
arthritis (RA) dapat menyebabkan peningkatan yang cukup besar dalam kerusakan struktural
selama 3 tahun. Garis kuning menunjukkan bahwa perkembangan skor radiografi Larson
sudah substansial pada pasien yang menerima inisiasi pengobatan dini (yaitu, dengan durasi
gejala rata-rata hanya 12 bulan). Dalam inisiasi pengobatan yang sangat awal (yaitu, dengan
durasi gejala median 3 bulan, seperti yang diwakili oleh jalannya garis hijau), kemiringan
perkembangan diratakan dan setelah 3 tahun, pasien-pasien ini tidak mencapai tingkat
kerusakan struktural yang sudah dimiliki oleh kelompok inisiasi pengobatan awal pada
awalnya meskipun hanya penundaan 9 bulan dalam pengobatan.
2.2 ETIOLOGI rheumatoid arthritis

Penyebab rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti walaupun banyak hal mengenai
patogenesisnya telah terungkap. Faktor genetik dan beberapa faktor lingkungan telah lama diduga
berperan dalam timbulnya penyakit ini. Kecenderungan wanita untuk menderita rheumatoid
arthritis dan sering dijumpainya remisi pada wanita yang sedang hamil menimbulkan dugaan
terdapatnya faktor keseimbangan hormonal sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
penyakit ini. Walaupun demikian karena pembenaran hormon esterogen eksternal tidak pernah
menghasilkan perbaikan sebagaimana yang diharapkan, sehingga kini belum berhasil dipastikan
bahwa faktor hormonal memang merupakan penyebab penyakit ini (Aspiani, 2014).

Infeksi telah diduga merupakan penyebab rheumatoid arthritis. Dugaan faktor infeksi timbul karena
umumnya omset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran
inflamasi yang mencolok. Walaupun hingga kini belum berhasil dilakukan isolasi suatu organisme
dari jaringan synovial, hal ini tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen
peptidoglikan atau endotoksin mikroorganisme yang dapat mencetuskan terjadinya rheumatoid
arthritis. Agen infeksius yang diduga merupakan penyebab rheumatoid arthritis Antara lain bakteri,
mikoplasma atau virus (Aspiani, 2014).

Hipotesis terbaru tentang penyebab penyakit ini adalah adanya faktor genetik yang akan menjurus
pada penyakit setelah terjangkit beberapa penyakit virus, seperi infeksi virus Epstein-Barr. Heat
Shock Protein (HSP) adalah sekelompok protein berukuran sedang yang dibentuk oleh sel seluruh
spesies sebagai respon terhadap stress. Walaupun telah diketahui terdapa hubungan antara Heat
Shock Protein dan sel T pada pasien Rheumatoid arthritis namun mekanisme hubungan ini belum
diketahui dengan jelas (Aspiani, 2014).

Etiologi RA belum diketahui dengan pasti. Namun, kejadiaannya dikorelasikan dengan interaksi yang
kompleks antara factor genetik dan lingkungan (Suarjana, 2009).

1. Genetik, berupa hubungan dengan gen HLA-DRB 1 dan faktor ini memiliki angka kepekaan dan
ekspresi penyakit sebesar 60% (Suarjana, 2009).

2. Hormon sex, perubahan profil hormon berupa stimulasi dari Placental Corticotraonin Releasing
Hormone yang mensekresi dehidropiandrosteron (DHEA), yang merupakan substrat penting

dalam sintesis estrogen plasenta. Dan stimulus esterogen dan progesterone pada respon imun
humoral (TH2) dan menghambat respon imun selular (TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan

sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan
penyakit ini (Suarjana, 2009).

3. Faktor infeksi, beberapa agen infeksi diduga bisa menginfeksi sel induk semang (host) dan
merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga muncul timbulnya penyakit RA (Suarjana, 2009).

4. Heat Shock Protein (HSP), merupakan protein yang diproduksi sebagai respon terhadap stres.
Protein ini mengandung untaian (sequence) asam amini homolog. Diduga terjadi fenomena
kemiripan

molekul dimana antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan sel Host. Sehingga
menyebabkan terjadinya reaksi silang limfosit dengan sel Host sehingga mencetuskan reaksi
imunologis (Suarjana, 2009).

5. Faktor lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok (Longo,2012)

Daftar Pustaka

Suarjana I. Ilmu penyakit dalam. Artritis Reumatoid. Jilid III. Jakarta: Interna Publishing;
2009.hlm.2495-509.

Aspiani,R,2014,Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik Aplikasi NANDA, NIC, Dan NOC Jilid 1,Trans
Info Media, Jakarta Indonesia
Febriana (2015). Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis Ankle Billateral Di
RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Longo, DL & Fauci, AS (eds) 2012, Harrisons’s Gastroenterology and Hepatology, The McGraw-Hill
Company, USA.

Anda mungkin juga menyukai