Anda di halaman 1dari 8

TUGAS 2

DIAGNOSTIK KESULITAN BELAJAR DAN REMEDIAL


“Model Diagnosis Kesulitan Belajar”

DOSEN PENGAMPU:
Dr. Nurfarhanah, M.Pd. Kons.

Oleh:

Ayu Putri Indrahma Pratiwi


21006005

DEPARTEMEN BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2023
A. Gejala Kesulitan Belajar
Menurut Clement (Hallahan dan Kauffman, 1991:133) terdapat sepuluh
gejala yang sering dijumpai pada anak berkesulitan belajar, yaitu: hiperaktif,
gangguan persepsi motorik, emosi yang labil, kurang koordinasi, gangguan
perhatian, impulsif, gangguan memori dan berfikir, kesulitan pada akademik
khusus (membaca, matematika, dan menulis), gangguan dalam berbicara dan
mendengar, dan hasil electroencephalogram (EEG) tidak teratur serta tanda
neurologis yang tidak jelas. Hallahan menjelaskan bahwa tidak semua gejala
selalu ditemukan pada anak yang mengalami kesulitan belajar, adakalanya hanya
beberapa ciri yang tampak. Selanjutnya Hallahan (1991) mengelompokkan
kesepuluh ciri tersebut dengan menggabungkan hal-hal yang dianggap sejenis.
Adapun pengelompokkannya adalah sebagai berikut:
1. Masalah persepsi dan koordinasi
Menurut Hallahan (1991) mengemukakan bahwa beberapa anak
berkesulitan belajar menunjukkan gangguan dalam persepsi
penglihatan dan pendengaran. Masalah ini tidak sama dengan
masalah ketajaman penglihatan dan ketajaman pendengaran, seperti
yang dialami oleh seorang tunanetra atau tunarungu. Sebagai contoh,
anak yang mengalami gangguan persepsi visual, tidak dapat
membedakan huruf atau kata-kata yang bentuknya mirip, seperti
huruf "d" dengan "b" atau membedakan kata "sabit" dengan "sakit".
Kemudian anak yang mengalami masalah persepsi pendengaran
mengalami kesulitan untuk membedakan kata yang bunyinya hampir
sama, seperti kata kopi dengan topi. Selain mengalami masalah
dalam persepsi, anak berkesulitan belajar mengalami masalah dalam
koordinasi motorik yaitu gangguan keterampilan motorik halus
seperti gangguan dalam menulis dan keterampilan motorik kasar
seperti tidak dapat melompat dan menendang bola secara tepat.
2. Gangguan dalam perhatian dan hiperaktif
Anak yang berkesulitan belajar mengalami kesulitan untuk
memusatkan perhatian dan mengalami hiperaktif. Meskipun terdapat
anak yang memiliki masalah dalam perhatian dan hiperaktif tanpa
disertai kesulitan belajar, munculnya kesulitan belajar sangat tinggi di
antara anak yang mengalami masalah perhatian dan hiperaktif. Para
ahli menekankan bahwa dalam hal ini masalahnya bukan pada
kelebihan geraknya akan tetapi yang lebih mendasar adalah masalah
sulitnya berkonsentrasi. Meskipun anak banyak melakukan gerakan
yang dalam batas-batas tertentu gerakannya lebih terarah, belum
tentu disebut hiperaktif. Anak yang hiperaktif banyak bergerak,akan
tetapi tidak mengarah dan tidak bisa tenang dalam waktu yang
ditetapkan, seperti menyelesaikan pekerjaan dalam waktu 2–3 menit.
Anak yang hiperaktif sulit untuk melakukan kontak mata dan sulit
untuk mengkonsentrasikan perhatiannya. Nampaknya segala stimulus
yang ada didekatnya diresponnya tanpa ada seleksi. Sebagai contoh,
apabila anak diberi tugas untuk melakukan sesuatu, ia tidak dapat
menuntaskan pekerjaannya karena perhatiannya segera beralih pada
obyek lainnya, dan begitu seterusnya.
3. Mengalami gangguan dalam masalah mengingat dan berfikir
a. Masalah Mengingat
1) Anak berkesulitan belajar kurang mampu menggunakan
strategi untuk mengingat sesuatu. Contoh: kepada beberapa
anak diperlihatkan suatu daftar kata untuk diingat. Anak
normal secara spontan dapat mengkatagorikan katakata
tersebut agar mudah diingat sedangkan anak berkesulitan
belajar tidak mampu melakukan strategi tersebut.
2) Anak berkesulitan belajar mendapat kesulitan untuk
mengingat materi secara verbal. Hal ini terjadi karena mereka
mempunyai masalah dalam pemahaman bunyi bahasa,
sehingga sulit memaknai kata atau kalimat. Apabila anak
salah menangkap bunyi bahasa, maka akan menimbulkan
kesalahan dalam memaknai kata tersebut. Misalnya anak sulit
membedakan bunyi huruf k dan t, sehingga kata kopi
kedengarannya seperti topi. Dengan demikian ia sulit
memahami ucapan yang mengandung kata kopi dan topi,
yang pada akhirnya ia sulit mengingat kalimat yang
diucapkan tersebut.
3) Masalah Berpikir Berpikir meliputi kemampuan untuk
memecahkan masalah sampai kepada pembentukan konsep
atau pengertian. Anak berkesulitan belajar mengalami
kelemahan dalam masalah tersebut. Contoh: bagaimana
menentukan strategi untuk menemukan kembali barang yang
hilang.
4. Kurang mampu menyesuaikan diri
Anak berkesulitan belajar menunjukkan gejala kurang mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pada umumnya, anak yang
mengalami kesulitan belajar sering mengalami kegagalan sesuai
dengan tingkat kesulitannya. Dampak dari kegagalan tersebut yaitu
anak menjadi kurang percaya diri , merasa cemas, dan takut
melakukan kesalahan yang akan menjadi bahan cemoohan teman-
temannya, sehingga ia menjadi ragu-ragu dalam berinteraksi dengan
lingkungannya atau ia mengasingkan diri.
5. Menunjukkan gejala sebagai siswa yang tidak aktif. Anak
berkesulitan belajar kurang mampu melakukan strategi untuk
memecahkan masalah akademis secara spontan. Hal ini terjadi karena
mereka sering mengalami kegagalan. Contoh: Anak berkesulitan
belajar tidak berani menjawab pertanyaan guru atau menjawab soal di
papan tulis secara spontan.
6. Pencapaian hasil belajar yang rendah
Anak berkesulitan belajar memiliki ketidakmampuan dalam
berbagai bidang akademik, misalnya dalam membaca, pengucapan,
tulisan, berhitung dan sebagian anak lagi hanya pada satu atau dua
aspek saja.
B. Ciri-Ciri Kesulitan Belajar
Menurut Sugihartono (2007) menjelaskan tentang ciri-ciri anak yang
mengalami kesulitan belajar dan hal ini yang menjadi indikator kesulitan belajar,
yaitu:
1. Prestasi belajar yang rendah, ditandai dengan adanya nilai yang diperoleh di
bawah standar yang telah ditetapkan.
2. Hasil yang dicapai tidak sesuai dengan usaha yang dilakukan, ditandai
dengan sering mengikuti les tambahan tetapi hasilnya tidak maksimal.
3. Terlambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajar maupun terlambat
datang ke sekolah.
4. Menunjukkan sikap yang tidak peduli dalam mengikuti pelajaran, ditandai
dengan mengobrol dengan teman ketika proses pelajaran berlangsung,
makan di dalam kelas ketika mengikuti pelajaran.
5. Menunjukkan perilaku yang menyimpang, seperti suka membolos sekolah,
keluar masuk kelas ketika mengikuti pelajaran.
6. Menunjukkan adanya gejala emosional yang menyimpang, misalnya mudah
marah, pemurung, teriak-teriak ketika mengikuti pelajaran dan sebagainya.

Menurut Ali dan Asrori (2004) ciri-ciri anak yang mengalami kesulitan
belajar termasuk gejala-gejalanya tersebut dialami oleh semua peserta didik
termasuk siswa sekolah dasar. Pada siswa sekolah dasar kelas rendah (kelas 1, 2,
3,) yang mengalami kesulitan belajar, sering ditunjukkan dengan lambat dalam
melakukan tugas-tugas belajar. Hal ini dikarenakan bahwa siswa sekolah dasar
kelas rendah masih membutuhkan penyesuaian dirinya setelah mereka melewati
pendidikan di Taman Kanak-Kanak. Sedangkan untuk siswa sekolah dasar kelas
tinggi (kelas 4, 5, 6) sering menunjukkan adanya hasil belajar yang rendah,
menunjukkan perilaku yang menyimpang (tidak mengerjakan tugas-tugas
belajar, suka berjalan-jalan di dalam kelas, suka membolos, suka menganggu
teman).
Berdasarkan uraian tentang kesulitan belajar tersebut, maka indikator
kesulitan belajar siswa sekolah dasar adalah prestasi belajar yang menurun, hasil
yang dicapai tidak sesuai dengan usaha yang dilakukan, lamban dalam
mengerjakan tugas, menunjukkan sikap yang tidak peduli pada mata pelajaran,
menunjukkan perilaku yang menyimpang, dan menunjukkan gejala emosional
yang menyimpang. Dari apa yang dikemukakan di atas dapat dipahami adanya
beberapa manifestasi dari gejala kesulitan belajar yang dialami oleh para peserta
didik. Gejala-gejala yang termanifestasi dalam tingkah laku setiap peserta didik,
diharapkan para pendidik atau guru dapat memahami dan mengidentifikasi mana
siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar dan tidak.
C. Model Diagnosis (Klinis, HOA, ALT)
Diagnosis merupakan istilah yang diadopsi dari bidang medis. Menurut
Thorndike dan Hagen (Yusuf, 2009), diagnosis dapat diartikan sebagai:
1. Upaya atau proses menemukan kelemahan atau penyakit (weakness,
disease) apa yang dialami seseorang dengan melalui pengujian dan studi
yang seksama mengenai gejala-gejalanya (symtoms).
2. Studi yang seksama terhadap fakta tentang suatu hal untuk menemukan
karakteristik atau kesalahan-kesalahan dan sebagainya yang esensial.
3. Keputusan yang dicapai setelah dilakukan suatu studi yang saksama atas
gejalagejala atau fakta-fakta tentang suatu hal.

Dapat disimpulkan bahwa di dalam konsep diagnosis, secara implisit


telah tercakup pula konsep prognosisnya. Dengan demikian dalam proses
diagnosis bukan hanya sekadar mengidentifikasi jenis dan karakteristiknya, serta
latar belakang dari suatu kelemahan atau penyakit tertentu, melainkan juga
mengimplikasikan suatu upaya untuk meramalkan kemungkinan dan
menyarankan tindakan pemecahannya.
Pemecahan masalah kesulitan belajar siswa, guru sangat dianjurkan
untuk terlebih dahulu melakukan identifikasi (upaya mengenali gejala dengan
cermat) terhadap fenomena yang menunjukkan kemungkinan adanya kesulitan
belajar yang melanda siswa tersebut. Upaya seperti ini disebut diagnosis yang
bertujuan menetapkan jenis kesulitan belajar siswa. Banyak langkah-langkah
diagnostik yang dapat ditempuh guru, antara lain yang cukup terkenal adalah
prosedur Weener & Senf sebagai berikut:
1. Melakukan observasi kelas untuk melihat perilaku menyimpang siswa ketika
mengikuti pelajaran.
2. Memeriksa penglihatan dan pendengaran siswa khususnya yang diduga
mengalami kesulitan belajar.
3. Mewawancarai orangtua atau wali siswa khususnya yang diduga mengalami
kesulitan belajar.
4. Memberikan tes diagnostik bidang kecakapan tertentu untuk mengetahui
hakikat kesulitan belajar yang dialami siswa.
5. Memberikan tes kemampuan intelegen.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Y. (2009). Guru dan Pembelajaran Bermutu. Bandung: Rizqi Press.
Ali, M., & Asrori, M. (2016). Psikologi Remaja, Perkembangan Peserta Didik. Jakarta:
Bumi Aksara.

Hallahan, P. D & Kauffman M. J. (1991). Excetional Children: Introduction to Special


Education, (Fifth ed.). New Jersey: Prentice Hall Internatinal,Inc.

Makmun, A. S. (2005). Psikologi Pendidikan. Bandung: Yudhistira.


Sugihartono. (2007). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.

Anda mungkin juga menyukai