Anda di halaman 1dari 60

Akuntabilitas Sistem Penggajian Pendeta

Di Gereja Toraja

Alva Fyniel

Program Studi Magister Akuntansi Fakultas Ekonomika dan Bisnis


Universitas Kristen Satya Wacana
932020005@student.uksw.edu

PENDAHULUAN
Tata kelola yang baik sudah menjadi sebuah keharusan
bagi perusahaan maupun organisasi yang menghendaki
kepercayaan dari pemangku kepentingan. Salah satu prinsip
tata kelola yang baik adalah akuntabilitas yang menyangkut
pertanggungjawaban kepada pihak yang berkepentingan terkait
suatu informasi, baik menyangkut aktivitas maupun program
yang dilakukan (Aditya et al., 2020). Terdapat dimensi dari
akuntabilitas, yaitu: verifiability, responsibility dan
answerability. Akuntabilitas sebuah organisasi memiliki peran
yang sangat penting, sehingga semua keputusan, kebijakan dan
tindakan yang dilaksanakan hendaknya memperhatikan dan
memenuhi kriteria verifiability, responsibility, dan
answerability. Akuntabilitas menjadi sebuah indikator dalam
penilaian terhadap kinerja suatu organisasi (Imawan et al.,
2019). Suatu organisasi dapat terbuka dan melaksanakan
praktik akuntabilitas dengan benar (Randa & Daromes, 2014).
Oleh karena itu, suatu organisasi diharapkan dapat memberikan

1
informasi yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan dengan
baik.
Tata kelola yang baik dalam organisasi gereja lebih
menekankan pada keyakinan perintah Allah dalam Alkitab,
seperti: mengelola dan memelihara taman eden (Kejadian
2:15), mengelola talenta secara bertanggung jawab,
memberikan kepada kaisar apa yang wajib diberikan kepada
kaisar dan memberikan kepada Allah apa yang wajib diberikan
kepada Allah (Markus 12:17), mengelola dan menggunakan
uang dengan benar (Yakobus 5:1-11; Mazmur 62:10; Lukas
12:33-34). Sehingga, warga gereja seringkali tidak terlalu
mempertanyakan mengenai penerapan tata kelola yang baik
(Tumanggor, 2017).
Setiap organisasi memiliki pandangan yang berbeda –
beda tentang tata kelola yang baik. Beberapa penelitian
terdahulu terkait akuntabilitas dalam organisasi gereja, seperti
Paranoan & Totanan (2018) dan Randa (2011) lebih
menekankan pada akuntabilitas pengelolaan keuangan.
Sementara penelitian yang dilakukan oleh Randa et al. (2011)
meneliti tentang akuntabilitas spiritual dan kepemimpinan
yang mencerminkan hubungan individu dengan yang Maha
Kuasa. Dalam penelitian kali ini, peneliti akan menggali
tentang penerapan prinsip akuntabilitas melalui dimensi
verifiability, responsibility dan answerability pada sistem
penggajian Pendeta di Gereja Toraja karena sistem penggajian
Pendeta yang diterapkan saat ini masih tergolong baru karena

2
baru mulai diterapkan pada maret 2019 sehingga penerapan
dan sistemnya belum sepenuhnya diterima dan dilakukan
sesuai ketentuan. Selain itu, akuntabilitas melalui dimensi
verifiability, responsibility dan answerability dipilih karena
cocok digunakan terhadap organisasi non laba seperti Gereja
untuk menggali informasi terkait keterbukaan dan
pertanggungjawaban serta tanggung jawab pihak- pihak dalam
menerapkan sistem sentralisasi penggajian Pendeta Gereja
Toraja.
Melalui wawancara awal yang dilakukan kepada
beberapa pihak presbiteroi, yaitu Pendeta dan majelis jemaat,
didapatkan informasi bahwa ada beberapa masalah yang sering
terjadi dalam proses akuntabilitas di gereja, seperti
pertanggungjawaban pihak pengelola belum sesuai yang
diharapkan oleh pihak – pihak terkait, kurangnya keterbukaan
baik laporan pertanggungjawaban maupun informasi –
informasi lain yang berkaitan dengan sistem penggajian
(verifiability), kesadaran jemaat atau pihak terkait dalam
melaksanakan hasil keputusan bersama yang telah diputuskan
pada persidangan, serta pengelola kurang menjawab kebutuhan
atau pertanyaan dari pihak terkait dalam sistem penggajian
(answerability). Oleh sebab itu, peneliti ingin melihat dan
menggali bagaimana penerapan prinsip akuntabilitas melalui
kriteria verifiability, responsibility, dan answerability dipenuhi
dan diterapkan dalam sistem penggajian Pendeta di Gereja
Toraja?.

3
Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan tentang
penerapan prinsip akuntabilitas dilihat dari dimensi
verifiability, responsibility dan answerability pada sistem
penggajian Pendeta di Gereja Toraja. Hal ini menarik untuk
diteliti karena sistem penggajian yang melibatkan beberapa
pihak seperti Pendeta, jemaat setempat, klasis, wilayah dan
sinode. Sedangkan Gereja Toraja dipilih karena sistem
penggajian yang diberlakukan masih relatif baru dan masih
memerlukan pembenahan dalam pemenuhan tata kelola yang
baik. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam
pemenuhan prinsip akuntabilitas bagi organisasi gereja,
memperoleh pendekatan yang baru dalam memahami
akuntabilitas pada organisasi gereja yang tuntutan tata kelola
yang baik lebih kepada kesediaan dan kesadaran, bukan
kewajiban dari pihak pemegang otoritas. Selanjutnya, dalam
bidang akademik diharapkan dapat menambah literatur pada
penelitian selanjutnya serta pemahaman yang baru terkait
akuntabilitas pada organisasi keagamaan.

4
TINJAUAN PUSTAKA
Akuntabilitas
Tata kelola yang baik merupakan konsep yang
mengacu kepada proses dalam menentukan setiap keputusan
dan pelaksanaannya dapat dipertanggung jawabkan (Dwiyanto,
2008). Supaya tata kelola yang baik dapat terwujud dalam suatu
organisasi, maka dibutuhkan hubungan kerjasama yang baik
antara sektor pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat yang
mempunyai masing – masing peran (Anggara, 2016). Salah
satu komponen perwujudan tata kelola yang baik adalah
akuntabilitas yang merupakan bentuk keterbukaan atau
pertanggungjawaban organisasi dalam memberikan informasi
mengenai pengelolaan yang dilakukan kepada pihak – pihak
yang berkepentingan (Sukmawati et al., 2016). Menurut
Mongan et al. (2019), akuntabilitas merupakan indikator
penilaian terhadap kinerja sebuah organisasi. Dalam organisasi
non laba, akuntabilitas berarti bahwa pengambil keputusan
memiliki kewajiban untuk bertindak sebagai penanggung
jawab atas segala kebijakan yang ditetapkan kepada publik.
Penelitian yang dilakukan oleh UNESCO
menyatakan bahwa ada tiga dimensi terkait akuntabilitas,
antara lain: verifiability, responsibility dan answerability
(UNESCO, 2017). Verifiability berarti adanya keterbukaan
informasi yang dapat dibuktikan serta dapat dipercaya. Setiap
informasi yang akan disajikan kepada publik atau pihak yang
berkepentingan dapat diuji dan pengujiannya dilakukan lebih

5
dari sekali oleh pihak berbeda, netral pada kebutuhan umum
bukan berpihak pada kebutuhan individu, dan tetap
menunjukkan hasil kesimpulan yang tidak jauh berbeda
(Rsokhlinasari & Hidayat, 2016). Dalam mewujudkan
akuntabilitas, informasi diberikan oleh setiap organisasi
sebagai bentuk pemenuhan bagi hak – hak publik atau pihak
berkepentingan, yaitu hak untuk tahu, hak untuk mendapatkan
informasi yang jelas serta hak untuk didengarkan aspirasinya,
sehingga sistem yang tersedia dapat memberikan informasi
yang dapat dipertanggung jawabkan.
Kemudian, responsibility mengacu pada moral
seseorang yang bekerja dalam melakukan tanggung jawabnya
dengan baik sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati.
Artinya, seorang pekerja bertanggung jawab (responsible)
terhadap apapun yang menjadi tugas dan kewajiban yang
diberikan (Mensah, 2016). Apabila seorang karyawan, pekerja
maupun pimpinan melaksanakan tugas dan tanggung jawab
sesuai komitmen dan kebijakan yang berlaku, berarti individu
tersebut telah menjadi individu yang akuntabel (Aditya et al.,
2020). Selanjutnya answerability merupakan konsep yang
mengacu pada kewajiban suatu organisasi untuk memberikan
jawaban, keputusan atau tindakan yang telah disepakati serta
cara suatu organisasi membenarkan keputusan atau tindakan
kepada publik (Shoemaker, 2011). Answerability dalam
akuntabilitas berupaya untuk memastikan keputusan atau
tindakan yang diambil oleh suatu entitas, secara objektif

6
merespons serta menjawab kebutuhan publik yang dapat
menghasilkan manfaat dan memberikan kontribusi bagi
penyelenggaraan tata kelola yang baik.
Adapun pertanggungjawaban pada organisasi gereja
ditujukan kepada semua warga jemaat dalam bentuk tulisan
maupun lisan. Pertanggungjawaban gereja dapat dinilai melalui
keterbukaan gereja dalam hal perolehan dana dari berbagai
sumber dan proses pertanggungjawaban yang dilakukan (Dewi
et al., 2015). Keterbukaan informasi kepada pihak – pihak
berkepentingan diperlukan agar setiap kewajiban dan tanggung
jawab dari pihak yang berkepentingan dapat dilaksanakan
sesuai dengan keputusan atau peraturan yang berlaku.

Sistem Penggajian
Sistem penggajian merupakan suatu mekanisme yang
digunakan oleh suatu organisasi untuk membantu dalam
pemberian gaji/ penghargaan kepada para pihak yang bekerja
sesuai dengan peraturan kerja, kesepakatan atau peraturan
perundang – undangan yang berlaku (Septianis et al., 2017).
Mekanisme dalam sistem penggajian merupakan cara yang
dilakukan suatu organisasi dalam mengelola gaji. Adapun cara
– cara yang dilakukan seperti penentuan file atau data terkait
penggajian termasuk penentuan golongan dan masa kerja,
jabatan fungsional serta pengenaan dan pemotongan pajak,
serta tanggungan – tanggungan lainnya. Selanjutnya pada
proses penentuan besaran gaji sampai pada proses pelaporan

7
pendapatan dan pengeluaran dana terkait penggajian. Sistem
penggajian dirancang sesuai dengan kebutuhan dan
kepentingan dari setiap organisasi sehingga setiap prosedurnya
bisa berbeda – beda (Mutis & Amperaningrum, 2020).
Sistem penggajian pada prosedur pembayaran gaji
melibatkan beberapa fungsi, dua diantaranya adalah fungsi
akuntansi dan fungsi keuangan. Fungsi akuntansi bertanggung
jawab mencatat kewajiban yang timbul selama proses
penggajian dan fungsi keuangan bertanggung jawab dalam
proses pembayaran kepada pihak yang bekerja (Susanti &
Hidayatullah, 2018). Komponen penggajian yang diberikan
kepada pihak yang bekerja ditentukan oleh setiap organisasi
atau pemberi kerja dan tetap berpedoman pada peraturan yang
berlaku. Beberapa komponen penggajian yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 2019 tentang Peraturan
Gaji Pegawai Negeri Sipil, yaitu gaji pokok, tunjangan
keluarga, tunjangan jabatan / fungsional, tunjangan pangan dan
lain – lain yang diatur oleh setiap organisasi. Kemudian,
Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan, mengatur bahwa komponen
penggajian atau pengupahan terdiri dari gaji pokok, tunjangan
tetap dan tunjangan tidak tetap. Sementara, dokumen
pendukung yang akan digunakan dalam sistem penggajian
adalah surat keputusan yang dikeluarkan oleh organisasi
pemberi gaji yang memuat masa kerja dan total gaji, serta
tunjangan yang lainnya.

8
Akuntabilitas Sistem Penggajian
Bagi organisasi non laba, akuntabilitas menjadi suatu
hal yang sangat penting. Akuntabilitas dapat menjadi tolak
ukur dalam menentukan profesionalisme dan kredibilitas
dalam suatu organisasi. Melalui akuntabilitas, tercipta
pengawasan kekuasaan dari suatu lembaga (Iswahyudi et al.,
2017). Adapun manfaat yang diperoleh ketika suatu organisasi
non laba akuntabel, adalah: 1) meningkatkan kepercayaan
pihak eksternal, 2) menumbuhkan rasa saling menghormati dan
kepercayaan organisasi non laba, 3) meningkatkan reputasi
organisasi non laba, 4) meningkatkan efektivitas (Nainggolan,
2012). Akuntabilitas diperlukan dalam sistem penggajian agar
pihak yang terlibat memahami proses kerja tanpa ada
kekeliruan dalam persepsi sehingga proses yang ada dalam
sistem penggajian dapat terlaksana dengan baik.
Gaji merupakan hal yang sensitif, sehingga jika ada
kekeliruan dalam sistem penggajian, maka pihak yang terlibat
akan meragukan tata kelola sistem penggajian pada organisasi
/ lembaga pengelola gaji (Puja et al., 2018). Selanjutnya pada
sistem penggajian, lembaga pengelola penggajian
menyediakan informasi yang akurat dan memadai bagi pihak –
pihak yang memerlukan informasi tersebut serta bertanggung
jawab pada setiap hal yang berkaitan dengan proses penggajian
sesuai dengan keputusan yang telah ditetapkan agar
kepercayaan dari berbagai pihak tetap ada.

9
Sistem penggajian yang akuntabel terkait dengan
dimensi verifiability, responsibility, dan answerability.
Verifiability terkait dengan pembuktian data atau informasi
yang dibutuhkan, terpercaya dan dapat
dipertanggungjawabkan, tertuang dalam laporan pertanggung
jawaban serta pada surat keputusan yang telah disahkan oleh
pimpinan dalam sebuah organisasi (Wardhana et al., 2015). Hal
tersebut dapat dikatakan verifiable ketika ditunjukkan dengan
adanya bukti – bukti dokumen atau transaksi yang didasarkan
pada peraturan dan keputusan yang ada di suatu organisasi.
Selanjutnya, responsibility dalam sistem penggajian berarti
pertanggungjawaban dari pihak pengelola terkait penerapannya
dan kesesuaian dengan keputusan yang telah disepakati
(Muhammad, 2016). Responsible ditunjukkan melalui
keputusan yang disepakati dapat dijalankan oleh para pengelola
dalam koridor kepatuhan terhadap peraturan serta proses
pertanggung jawaban yang lengkap, sesuai dengan standar
operasional dan mampu memenuhi kebutuhan pihak – pihak
berkepentingan.
Kemudian, answerability dalam sistem penggajian
dimaksudkan bagi kepastian keputusan atau tindakan yang
diambil oleh pengelola penggajian, secara objektif dan periodik
merespons serta menjawab kebutuhan publik. Dikatakan
answerable ketika suatu organisasi atau pengelola mampu
memberi tanggapan dan penjelasan terhadap tindakan –
tindakan yang dilakukan bagi pihak – pihak berkepentingan

10
sesuai dengan keputusan dan peraturan yang berlaku
(Wicaksono, 2015). Akuntabilitas diterapkan untuk
memastikan bahwa sasaran yang ditetapkan telah dicapai,
memastikan kegiatan atau program yang dilakukan oleh suatu
organisasi bersifat terbuka serta meningkatkan kemampuan
suatu organisasi dalam melakukan pertanggungjawaban
kepada publik.

METODA PENELITIAN
Jenis Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data
Metoda penelitian yang digunakan adalah kualitatif
deskriptif. Metoda kualitatif dipilih sebagai prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif mengenai akuntabilitas
sistem penggajian Pendeta di Gereja Toraja, dilihat dari
fenomena – fenomena yang terjadi di obyek penelitian.
Penelitian ini akan menggunakan data primer dan data
sekunder yang sumber datanya diperoleh dari wawancara dan
dokumentasi. Data primer berupa wawancara secara online
yang dilakukan pada bulan Oktober sampai dengan bulan
Desember 2021 terhadap narasumber, yaitu pengurus Badan
Pekerja Sinode Gereja Toraja (sinode, wilayah, klasis) dan
perwakilan presbiteroi (Pendeta, Penatua, dan Diaken), dilihat
dari kategori jemaat pedesaan, jemaat semi kota dan jemaat
kota dengan bantuan panduan pertanyaan yang dapat
dikembangkan lebih lanjut pada saat melakukan wawancara.
Sementara, data sekunder berupa data atau dokumen, seperti

11
tata gereja Gereja Toraja, dokumen terkait sistem penggajian
serta dokumen – dokumen lain yang terkait dengan penelitian.

Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang dilakukan pada penelitian
ini terdiri dari beberapa tahapan: pertama, data dikumpulkan
melalui wawancara yang dilakukan dengan narasumber secara
online menggunakan media telepon serta google form dan akan
dilanjutkan dengan penyusunan transkrip wawancara yang
dirangkum untuk memilih hal – hal pokok yang berkaitan
dengan fokus penelitian terkait akuntabilitas sistem penggajian
Pendeta di Gereja Toraja. Kedua, data disajikan dengan
menguraikan dan menjelaskan keadaan yang ada di obyek
penelitian sesuai dengan hasil wawancara serta menguraikan
komponen – komponen sistem penggajian serta
pengelompokan dan analisis terkait akuntabilitas pada dimensi
verifiability, responsibility dan answerability. Ketiga,
penarikan kesimpulan yang dilakukan dengan melakukan
penarikan intisari berdasarkan hasil wawancara dengan
narasumber. Untuk memastikan keabsahan dari data yang
diperoleh dari narasumber, maka akan dilakukan teknik
triangulasi antara pengurus Badan Pekerja Sinode Gereja
Toraja dan perwakilan presbiteroi serta dokumen pendukung,
dengan tujuan untuk memeriksa dan menilai kesesuaian data
yang diperoleh dari wawancara dengan narasumber.

12
Gambar 1 Teknik Analisis Data

HASIL DAN PEMBAHASAN


Gambaran Objek Penelitian
Gereja Toraja lahir dan tumbuh dari hasil kegiatan
Gereformeerde Zendingsbond (GZB) dari Belanda. Gereja
Toraja resmi menyatakan diri berdiri pada tanggal 25 Maret
1947 melalui sidang sinode Am yang pertama. Tujuan
dibentuknya Gereja Toraja seperti yang tertuang dalam Tata
Gereja Toraja Pasal 7 tahun 2017 adalah untuk menghadirkan
damai sejahtera dalam ketaatan dan kesetiaan kepada Tuhan.
Adapun bentuk Gereja Toraja adalah Presbiteral Sinodal yang
berarti bahwa pengaturan, tata hidup dan pelayanan gereja
dilaksanakan oleh para presbiteroi (Pendeta, Penatua, dan
Diaken) dalam suatu jemaat dengan keterikatan dan ketaatan
kepada kebersama – samaan dengan presbiteroi dalam lingkup

13
yang lebih luas (Sinode, wilayah, dan klasis). Dengan kata lain,
bahwa dalam sistem pemerintahan presbiterial sinodal,
meskipun tata hidup dan pelayanan dilaksanakan oleh
presbiteroi jemaat setempat, namun jemaat tidak boleh
mengabaikan dan meniadakan kebersamaan atau kesepakatan
yang telah disepakati bersama pada saat persidangan dalam
lingkup yang lebih luas.

Gereja Toraja memiliki Badan Pekerja Sinode yang


berkedudukan di Tongkonan Sangullele, Jl. Ahmad Yani No.
45 Rantepao, Kabupaten Toraja Utara, Provinsi Sulawesi
Selatan, 91831, Telp. (0423) 25143; 081355288450. Menurut
data dari website BPS Gereja Toraja, saat ini Gereja Toraja
memiliki anggota sebanyak 1.140 jemaat yang terbagi dalam
95 klasis dan tersebar dalam 6 wilayah pelayanan yang tersebar
di seluruh Indonesia. Dalam pelayanannya, Gereja Toraja kini
memiliki 1.018 warga Gereja Toraja yang telah menerima
pengurapan sebagai Pendeta, 980 diantaranya sedang melayani
di Jemaat, dan 38 lainnya sebagai Pendeta Tugas Khusus.

14
Tabel 1

Jumlah wilayah, klasis, jemaat, Pendeta dan Calon Pendeta

Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah


Wil
Klasis Jemaat C.K T.K Pendeta C.Pdt
1 21 261 58 10 155 19
2 30 349 51 20 246 32
3 27 325 63 21 233 34
4 6 78 18 18 105 4
5 7 66 19 9 76 8
6 4 61 35 9 59 9
95 1140 244 87 874 106
(Sumber : Laporan BPS Gereja Toraja pada SSA XXV, 2021)

Sinode Gereja Toraja dan Jemaat setempat dalam


pelaksanaan kegiatan maupun program yang telah disepakati
bersama menggunakan dana yang bersumber dari persembahan
anggota jemaat serta beberapa usaha dari biro yang ada di
Gereja Toraja. Pada ibadah hari minggu di setiap jemaat,
terdapat 4 kantong persembahan yang dijalankan. Pundi I
ditujukan untuk mendukung program jemaat setempat, Pundi
II dialokasikan secara proporsional, yaitu 70% untuk Sinode,
10% untuk Wilayah, dan 20% untuk klasis. Selanjutnya, Pundi
III untuk mendukung pelayanan diakonia dan Pundi IV sebagai
pundi khusus yang dialokasikan jika ada hal – hal mendesak
yang belum diprogramkan dalam jemaat, klasis, wilayah, dan
sinode. Dalam pelaksanaannya, ada program yang akan
dilaksanakan di tingkat Sinode, Wilayah, Klasis dan Jemaat
sesuai pengaturan dan kesepakatan bersama dengan melihat

15
kondisi yang ada. Bagian penganggaran dan pelaksanaan
program akan diatur dan disesuaikan oleh sinode, wilayah,
klasis dan jemaat setempat.

Sistem Penggajian Pendeta Gereja Toraja


Selain keputusan dan program yang akan dijalankan di
Jemaat, klasis, wilayah dan sinode, ada juga keputusan dan
program yang dijalankan bersama – sama dan dikelola oleh
Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja. Salah satu keputusan
tersebut adalah sistem penggajian Pendeta Gereja Toraja yang
disepakati untuk dijalankan bersama dengan sistem sentralisasi
yang dikelolah oleh Sinode Gereja Toraja. Keputusan untuk
menyerahkan kepada Badan Pekerja Sinode gereja Toraja
dipilih agar dapat dikelola secara terpusat dan terkoordinasi
dengan baik untuk saling membantu antar jemaat, khususnya
dalam hal pendanaan. Penggunaan dana pada sentralisasi
jaminan hidup Pendeta bersumber dari pembagian kuota
kepada jemaat – jemaat yang ada di lingkup Gereja Toraja.
Ketua Sinode Gereja Toraja mengatakan bahwa:
“Sentralisasi awalnya dilakukan dengan melakukan pengkajian
melalui survei kepada beberapa pendeta yang tidak menerima
gaji sesuai dengan seharusnya. Disamping itu, sinode melakukan
studi banding kepada beberapa gereja yang sudah membayar gaji
pendeta secara sentralisasi”

16
Selain itu, sekretaris inforkom juga menjelaskan proses
penerapan sentralisasi jaminan hidup Pendeta Gereja Toraja,
bahwa:

“BPS Gereja Toraja pada awalnya membentuk Tim Sentralisasi yang


menghitung kebutuhan dana yang dibutuhkan oleh total Pendeta Aktif
Gereja Toraja dengan mempertimbangkan variabel kenaikan
tunjangan hidup (berkala dan naik golongan) untuk 5 tahun kedepan
pada saat Pindan Sangullele baru akan dimulai. Selain itu Tim juga
memperhitungkan kemungkinan pertambahan jumlah tenaga Pelayan
(Proponen) dan pengurangan tenaga pelayan (Emeritus). Dari Hasil
pengkajian dan perhitungan tersebut kemudian di dapatkanlah angka
dana yang dibutuhkan agar Pindan Sangullele dapat berjalan.
Kemudian diupayakan penggalangan dana dengan menjalankan
amplop Persembahan Khusus kepada seluruh warga jemaat dengan
harapan akan dapat menutup dana talangan sebanyak 3 bulan
kedepan. Setelah dana talangan terkumpul dari hasil persembahan
khusus tersebut, kemudian mulailah Pindan Sangullele dijalankan
dengan metode membagi dana tersebut ke enam wilayah pelayanan
Gereja Toraja”.

Pembagian besaran target dana tidak disamaratakan


melainkan melalui proses pengkajian potensi masing – masing
wilayah, klasis dan jemaat. Hasil pembagian target kuota
tersebut yang menjadi acuan kontribusi Jemaat ke rekening
Pindan Sangullele. Dengan adanya sistem penggajian secara
tersentralisasi, pemerataan pelayanan dalam lingkup Gereja
toraja dapat terwujud karena Pendeta dapat melayani jemaat

17
yang belum memiliki pelayan dengan tetap mematuhi aturan
dan melakukan koordinasi dengan baik.
Jemaat, klasis, wilayah, Sinode atau lembaga tempat
Pendeta melayani memiliki kewajiban untuk menjamin hidup
Pendeta beserta keluarganya. Fakta yang terjadi di lapangan
khususnya pada Pendeta Jemaat, menunjukkan bahwa
pemberian jaminan hidup Pendeta dinilai belum memadai dan
kurang lancar. Salah satu yang menjadi faktor penyebab
terhambatnya jaminan hidup Pendeta adalah masalah finansial
jemaat, seperti yang disampaikan oleh Majelis Jemaat bahwa:
“Kami sebagai jemaat kadang tidak memenuhi tanggungjawab
untuk membayarkan jaminan hidup Pendeta karena pendapatan
di jemaat yang kurang sehingga tidak cukup untuk membayar gaji
Pendeta”

Permasalahan tersebut dialami oleh kebanyakan Jemaat


yang kadang tidak memenuhi kewajibannya terhadap jaminan
hidup Pendeta. Sejumlah jemaat menginginkan adanya Pendeta
tetapi terkendala dengan kemampuan memberi nafkah/
jaminan hidup Pendeta sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Besaran gaji Pendeta akan diatur oleh masing-masing jemaat
dengan mengacu pada SK dari Badan Pekerja Sinode Gereja
Toraja. Tetapi pada praktiknya ada jemaat yang telah memiliki
Pendeta namun belum mampu untuk membayar gaji Pendeta
sesuai dengan ketetapan SK. Sementara disisi lain, Pendeta
juga memerlukan nafkah untuk menghidupi dirinya dan
keluarganya.

18
Ketua BPS Gereja Toraja periode 2016-2021 menyatakan
bahwa:

“Sentralisasi jaminan hidup Pendeta merupakan program


penggajian bagi pelayan dalam lingkup pelayanan Gereja Toraja
yang telah lama menjadi pergumulan. Sejak Sidang Sinode AM di
Palopo kurang lebih 30 tahun yang lalu, ide untuk menerapkan
Sentralisasi Jaminan Hidup Pendeta telah digumuli oleh Gereja
Toraja. Hal tersebut menjadi desakan untuk dilaksanakan karena
perbedaan yang begitu nyata dirasakan diantara sesama pelayan
/ pendeta Gereja Toraja. Pendeta yang melayani di Kota atau di
jemaat-jemaat yang sudah mapan sangat berkecukupan bahkan
berkelimpahan dalam hal penerimaan Tunjangan Hidup,
sementara pada sisi lain, Pendeta yang melayani daerah-daerah
terpencil seringkali atau bahkan tidak menerima Tunjangan
Hidup sama sekali”.

Pada Sidang Sinode AM XXIV di Makale, hasil studi


tersebut disampaikan terkait berbagai metode yang dianggap
tepat untuk melaksanakan sentralisasi jaminan hidup Pendeta,
maka diputuskanlah untuk membentuk Tim pengkaji yang akan
memaparkan metode dan teknis pelaksanaan sentralisasi.
Dalam Rapat Kerja Pertama BPS Gereja Toraja mulailah
diputuskan besaran kuota / kontribusi yang menjadi kewajiban
setiap jemaat dalam lingkup pelayanan Gereja Toraja.
Keputusan untuk menerapkan penggajian Pendeta dengan
sistem sentralisasi resmi diputuskan pada sidang Sinode Am
Gereja Toraja tahun 2016 yang kemudian dilakukan persiapan

19
dan proses penggalangan dana. Sentralisasi jaminan hidup
Pendeta resmi diterapkan pada maret 2019.

Tata Kelola Penggajian Pendeta Gereja Toraja


Kesejahteraan atau jaminan hidup Pendeta merupakan
suatu bentuk kebersama – samaan dalam Gereja Toraja yang
dituangkan dan diatur dalam Tata Gereja Toraja Pasal 30 Ayat
(5) tahun 2017 yang menjelaskan bahwa “nafkah atau
kebutuhan hidup dan kesejahteraan Pendeta bersama
keluarganya menjadi tanggung jawab jemaat, klasis, sinode
atau lembaga yang memanggilnya”. Artinya bahwa walaupun
Pendeta dipanggil oleh jemaat untuk diteguhkan/ diurapi
sebagai pelayan, tetapi ada yang akan ditugaskan untuk
menjadi pelayan di lingkup klasis, sinode atau lembaga yang
memanggilnya, sehingga nafkah hidup Pendeta akan
ditanggung oleh jemaat, klasis, sinode atau lembaga yang
memanggil. Selain itu, aturan serta proses penggajian Pendeta
Gereja Toraja telah dijabarkan dalam peraturan - peraturan
Khusus yang berpedoman dari Peraturan Pemerintah Nomor 15
tahun 2019 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil. Setiap
Pendeta akan mendapatkan jaminan hidupnya yang terdiri dari
gaji pokok dan tunjangan. Pemberian gaji pokok didasarkan
pada pangkat / golongan dan masa kerja sesuai yang aturan
yang berlaku. Adapun tunjangan yang diberikan kepada
Pendeta sesuai peraturan kepegawaian Gereja Toraja terdiri
atas tunjangan suami/istri sebesar 10%, tunjangan setiap anak

20
yang sah sebesar 2.5% dan tunjangan pangan yang besarnya
setara dengan 10 Kg beras perjiwa. Kemudian, kenaikan gaji
pokok seorang Pendeta dilakukan secara berkala, yaitu setiap
dua tahun berdasarkan masa kerja dalam SK. Selain kenaikan
berkala, kenaikan gaji pokok dipengaruhi oleh kenaikan
pangkat / jabatan seorang Pendeta. Penjelasan tambahan juga
diungkapkan oleh bendahara umum BPS Gereja Toraja,
bahwa:

“Untuk kenaikan berkala kenaikan gaji pokok dapat ditunda


maksimal 1 tahun sesuai rekomendasi atasan. Kalau seorang
Pendeta memiliki jabatan struktural dan fungsional, maka yang
bersangkutan akan menerima tunjangan struktural dan
fungsional sesuai persetujuan dari BPS.“

Selain dari tunjangan, setiap pendeta juga akan diberikan


layanan BPJS ketenagakerjaan dan BPJS kesehatan, serta
jaminan hari tua yang dibayarkan 10% dari gaji pokok dan
menjadi tanggungan badan atau lembaga yang dibayarkan
langsung oleh Biro Kesejahteraan Gereja Toraja. Adapun
komponen yang termasuk dalam sentralisasi atau Pindan
Sangullele, seperti yang diungkapkan oleh Bendahara Umum
BPS Gereja Toraja, bahwa:

“Komponen dari jaminan hidup Pendeta yang disentralisasi,


adalah gaji pokok, tunjangan istri/suami, tunjangan anak,
tunjangan kependetaan, tunjangan hari tua, tunjangan BPJS
kesehatan, dan bantuan perumahan pendeta”

21
Tunjangan – tunjangan lain hanya akan dibayarkan oleh
jemaat yang memiliki Pendeta di jemaat setempat, diluar dari
besaran kuota/ kewajiban yang harus disetor ke pengelola
sentralisasi jaminan hidup Pendeta. Adapun tunjangan lain
yang masih akan dibayarkan oleh jemaat setempat atau lembaga
lain tempat melayani yang memiliki Pendeta, diungkapkan oleh
Bendahara Umum BPS Gereja Toraja dan juga tercantum
dalam laporan pertanggungjawaban BPS Gereja Toraja pada
sidang sinode Am XXV:

“Selain kewajiban kepada Pindan Sangullele, Jemaat yang


memiliki Pendeta masih harus membayar tunjangan lokal, seperti
tunjangan struktural, tunjangan pangan, tunjangan transportasi,
tunjangan listrik, air, telepon, maupun tunjangan lain yang diatur
oleh jemaat”.

Fakta yang didapatkan, yaitu beberapa jemaat


beranggapan bahwa besaran kewajiban yang dibayarkan oleh
setiap jemaat sudah memuat tunjangan lokal Pendeta, jadi
jemaat tidak perlu lagi memberikan tunjangan lokal kepada
Pendeta jemaat setempat. Padahal, seharusnya tunjangan lokal
tersebut tetap harus dibayarkan oleh jemaat yang memiliki
Pendeta jemaat. Besaran tunjangan lokal ditentukan oleh
jemaat setempat. Penerapan Sentralisasi penggajian Pendeta
diharapkan bahwa pemerataan pelayanan juga dapat dilakukan.
Pendeta dapat melayani diluar jemaatnya namun tetap harus
berkoordinasi. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu ketua
wilayah, bahwa:

22
“Sentralisasi jaminan hidup Pendeta ini diterapkan dengan
harapan bahwa Pendeta tidak hanya akan memberikan pelayanan
di mana ia ditempatkan tetapi juga dapat memberikan pelayanan
di lingkup Gereja Toraja dalam klasisnya atau dalam wilayahnya,
namun tetap harus berkoordinasi dengan majelis jemaat tempat
pelayanannya, majelis jemaat yang akan dilayani, klasis, bahkan
wilayah agar tidak ada salah komunikasi”

Setelah diputuskan untuk diberlakukan, maka proses


penggajian Pendeta Gereja Toraja dimulai dengan
mengumpulkan dan mencocokkan setiap data Pendeta, baik itu
SK kenaikan pangkat/ golongan, maupun daftar tunjangan –
tunjangan yang menjadi hak Pendeta Gereja Toraja. Kemudian,
pembayaran jaminan hidup pendeta akan dilakukan secara auto
debet ke rekening BNI masing – masing Pendeta setiap tanggal
satu bulan berjalan.

Sumber dana pada proses sentralisasi jaminan hidup


Pendeta berasal dari usaha dari biro yang ada di Gereja Toraja
dan target kuota dari Jemaat. Hal ini dijelaskan oleh sekretaris
Inforkom Gereja Toraja, bahwa:

“Pembagian kuota kepada jemaat didasarkan pada hasil


pengkajian potensi yang dilakukan oleh sinode, wilayah, dan
klasis dengan mempertimbangkan beberapa hal, seperti jumlah
kepala keluarga dalam satu jemaat, mayoritas anggota jemaat
bekerja sebagai apa, kemudian yang PNS berapa, petani berapa,
dan lain-lain”

23
Gereja Toraja terbagi menjadi 6 wilayah dengan target
persenan sentralisasi jaminan hidup Pendeta atau biasa disebut
Pindan Sangullele yang berbeda – beda. Pembagian kuota
untuk pembayaran jaminan hidup Pendeta akan dilampirkan
dalam website khusus Pindan Sangullele yang dibuat oleh
Inforkom Sinode Gereja Toraja, untuk mempermudah jemaat
mendapatkan informasi tentang target kuota perwilayah, klasis,
jemaat, serta jumlah terbayar dan tunggakan jemaat pada awal
penerapannya.

Tabel 2
Target dan Realisasi Kuota per Wilayah Maret Tahun 2022
No Wilayah Target Tahun 2022 Realisasi Maret
1 Tanah Luwu Rp 9,235,104,000 Rp 7.643.927.200
2 Rantepao Rp 16.801.322.388 Rp 15.124.194.000
3 Makale Rp 14,095,980,000 Rp 12.168.922.016
Makassar, Pare-
pare, Bone &
4 Pulau Jawa Rp 10,084,333,848 Rp 8.226.460.020
5 Kalimantan Rp 6,874,800,000 Rp 5.962.158.000
Sulawesi
6 Tengah- Barat Rp 3,885.631.500 Rp 3.250.021.000
Jumlah Rp 60,977.171.736 Rp 52.375.682.236
(Sumber : pindan.apps-gerejatoraja.org)

Kemunculan program sistem penggajian Pendeta


dengan sentralisasi jaminan hidup Pendeta telah mengatasi
permasalahan yang selama ini ada, tetapi memunculkan
masalah baru. Masalah yang terjadi saat ini terletak pada
ketersediaan dana karena ada jemaat – jemaat yang tidak
menyetor atau telat untuk membayar kewajibannya terkait

24
kuota persenan yang telah ditentukan, baik jemaat yang telah
memiliki Pendeta maupun jemaat yang tidak memiliki Pendeta
yang berakibat pada menumpuknya tunggakan jemaat. Hal ini
disampaikan oleh ketua klasis, bahwa:

“Jemaat yang belum mempunyai pendeta dalam Klasis cenderung


melalaikan tanggung jawabnya ke Pindan Sangulele”

“Belum adanya kesadaran dari jemaat akan kewajibannya”

“Keuangan jemaat yang kurang stabil akibat pandemic”

Kemudian beberapa pendapat pengurus Badan Pekerja Sinode


mengatakan bahwa:
“Situasi pandemi membuat jemaat sering terlambat menyetor
kewajibannya, di samping itu ada yang menyetor kurang dari
yang seharusnya”

“Kendala yang sering ditemui ada beberapa jemaat yang tidak


menyetor kuota tepat waktu”

“Masih ada jemaat yg membayar tidak tepat waktu, dan salah


menggunakan account virtual saat mengirim dana Pindan
Sangullele sehingga masuk di rekening pundi II karena saat
mengirim menggunakan virtual account pundi II”

Sementara dari pengurus di Wilayah menyatakan bahwa:


“kurangnya update Informasi data jemaat yang menunggak dari
pengelola pindan sehingga jemaat kurang menyadari jika ada
kewajiban yang belum dilaksanakan”

Disamping itu, beberapa alasan Jemaat menunggak, yaitu:

25
“keuangan di jemaat yang kadang tidak bisa diprediksi. Banyak
hal lain yang harus di biayai juga, seperti program yang ada di
jemaat”.

“Informasi yang kurang update sehingga kadang jemaat lupa


membayar”.

“Informasi yang disampaikan hanya bisa kami akses di website,


sementara kami tinggal di desa yang jaringan internet belum
ada”.

“Besaran kuota yang dibagikan kepada Jemaat belum


sepenuhnya sesuai dengan kondisi yang ada di Jemaat”

Ada juga pendapat lain dari Jemaat yang menyatakan


bahwa:
“Kadang ada beberapa jemaat yang tidak memiliki Pendeta
maupun memiliki Pendeta yang masa bodoh akan kewajibannya
membayar Pindan”

“Kami akan melunasi tunggakan Pindan Sangullele kalau kami


sudah memiliki Pendeta yang menetap di Jemaat”

Keputusan Sidang Sinode Am Gereja Toraja dengan jelas


menyatakan bahwa Jemaat yang belum memiliki Pendeta tetap
akan membayar jaminan hidup Pendeta sesuai pembagian
kuota yang telah ditentukan dan tidak ada “pemulihan” atau
pengurangan tunggakan jika belum membayar. Pelayanan di
Jemaat yang tidak memiliki Pendeta jemaat, dapat dilayani oleh
Pendeta Jemaat yang dekat dan sesuai pengaturan yang ada di
Klasis tersebut.

26
Dari segi jemaat, penyetoran dana untuk penggajian
Pendeta harus melihat dari dana yang tersedia di Jemaat karena
dana di Jemaat yang berasal dari persembahan - persembahan
anggota jemaat, juga digunakan untuk membiayai program-
program yang lain dalam jemaat. Oleh karena itu, perhitungan
kuota persenan untuk pembayaran sentralisasi penggajian
Pendeta harus memperhatikan potensi - potensi yang ada di
Jemaat agar kuota persenan dapat dipenuhi oleh Jemaat
tersebut. Pengaturan tingkatan untuk target jemaat akan
disesuaikan dengan potensi setiap Jemaat, seperti yang
diungkapkan oleh Ketua Klasis, bahwa:

“potensi jemaat akan dilihat dari tingkat pendapatan dan


pekerjaan anggota Jemaat”

Sementara itu, Sekretaris Inforkom BPS Gereja Toraja,


menyatakan bahwa:
“Tim tidak melakukan pengkajian sampai kepada level jemaat,
melainkan pada potensi perwilayah pelayanan. Faktor yang
digunakan dalam penilaian potensi jemaat antara lain: 1) Jumlah
Jemaat dalam sebuah wilayah pelayanan. 2) Jumlah Pendeta
yang melayani dalam wilayah pelayanan tersebut. 3) Jumlah
penerimaan Pundi II dari masing-masing wilayah. 4) Letak
Geografis Wilayah Pelayanan (Kota, Semi Kota, Desa,
Terpencil)”.

Pembagian besaran/kuota persenan ditinjau dari potensi


yang ada di sektor/ wilayah pelayanan. Jadi, Tim yang dibentuk
oleh Sinode, hanya akan melakukan pengkajian potensi

27
terhadap wilayah. Kemudian, wilayah yang akan melakukan
koordinasi kepada klasis dan membagi kuota persenan kepada
Klasis, dan selanjutnya klasis yang akan membagi langsung
kepada Jemaat sesuai dengan keadaan yang ada di jemaat.
Beberapa jemaat belum sepenuhnya menerima pembagian
besaran kuota Pindan Sangullele, seperti yang diungkapkan
salah satu Majelis Jemaat:
“Pembagian besaran kuota yang kami dapatkan kurang sesuai
dengan keadaan yang ada di Jemaat kami, sehingga kami juga
kewalahan”

“Perlu juga dijelaskan kepada Jemaat mengenai apa saja yang


menjadi pertimbangan klasis dalam menentukan besaran kuota”.

Namun, beberapa jemaat telah mendukung serta menyetujui


besaran kuota Pindan Sangullele yang dibagikan kepada
Jemaat, seperti pendapat Majelis Jemaat:
“Pembagian kuota kepada Jemaat di tempat kami sudah sesuai
dengan keadaan dan kesanggupan yang ada di Jemaat”

“Kami mendapat kewajiban sebesar 4 juta sekian dan kami sudah


merasa itu sudah sesuai”

Dana sentralisasi jaminan hidup Pendeta dari setiap


jemaat akan disetor sesuai besaran kuota yang ditentukan.
Penyetoran dana untuk jaminan hidup Pendeta dilakukan
dengan beberapa cara, seperti yang disampaikan oleh
Bendahara Umum BPS Gereja Toraja:

28
“untuk jemaat yang akan menyetor dana Pindan Sangullele dapat
melalui bank BNI sesuai dengan masing – masing virtual account
yang telah dibagikan kepada Jemaat. Selain itu, Jemaat juga bisa
melakukan pembayaran dengan datang langsung ke kantor pusat
atau bisa menitipkan pada kantor wilayah”

Selanjutnya, untuk pembuktian data atau informasi


yang dapat dipertanggungjawabkan, maka pembayaran
kewajiban dari jemaat dapat melalui setoran langsung via
Transfer BANK ke nomor Virtual Account masing-masing
Jemaat, atau bisa langsung melakukan Setor tunai dengan
datang langsung ke Kantor BPS Gereja Toraja. BPS Gereja
Toraja bekerjasama dengan PT Bank BNI 46 menggunakan
fasilitas Virtual Account dipadukan dengan metode Payroll dan
sistem BNI Direct. Dengan demikian setiap jemaat yang
melakukan transfer menggunakan nomor virtual accountnya,
akan langsung terakumulasi dalam laporan rekening koran
terkait sumber dana dari jemaat dan klasis yang menyetor.
Selanjutnya, pencocokan catatan dari bank dengan pihak
pengelola Pindan Sangullele, dilakukan dengan pencocokan
terhadap rekening koran setiap harinya. Sebagai bukti di
Jemaat, maka setiap menyetor, jemaat akan diberikan kuitansi
atau nota tanda terima pembayaran kuota Pindan Sangullele.

Proses pembayaran dilakukan dengan beberapa cara,


dimaksudkan agar Jemaat dimudahkan dalam melakukan
pembayaran. Apalagi ketika jemaat berada jauh dari kantor

29
pusat. Selain itu juga Jemaat dapat bertanggungjawab untuk
setiap kewajiban dalam kehidupan kebersama – samaan dalam
lingkup Gereja Toraja. Sinode Gereja Toraja sebagai pihak
pengelola bertanggungjawab mengelola dana Pindan
Sangullele serta membagi kuota persenan kepada wilayah –
wilayah dengan melihat potensi wilayah, kemudian melakukan
pelaporan baik melalui website, maupun pada rapat kerja
Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja dan Sidang Sinode Am.
Proses pelaporan ini, terkhusus pada website dinilai belum
secara rinci dipaparkan, akibatnya masih banyak jemaat yang
kurang memahami sistem penggajian tersebut.

Kemudian pada website yang disediakan, hanya


memuat penerimaan dan daftar tunggakan Jemaat, tidak ada
perincian penerimaan dan tunggakan dari cabang kebaktian
karena digabung dengan jemaat induk. Cabang kebaktian yang
akan menyetor kewajibannya harus melalui virtual account
dari jemaat induk atau menyetor kepada jemaat induk terlebih
dahulu. Sementara, cabang kebaktian juga menginginkan
adanya laporan tertulis yang langsung disampaikan kepada
cabang kebaktian, baik secara email, SMS, atau melalui laporan
tertulis yang langsung dikirim. Pencatatan pada kantor pusat
dilakukan dengan mencetak rekening koran setiap hari untuk
dicocokkan dengan data yang ada di website Pindan
Sangullele, agar data terbuka dan dapat diakses oleh pihak
terkait

30
Penerapan sistem sentralisasi jaminan hidup Pendeta di
Gereja Toraja kurang lebih sudah berjalan selama 2 tahun
(2019-2021). Dan saat ini telah dinikmati oleh Pendeta di
Gereja Toraja. Namun dalam perjalanannya, ada beberapa
kendala yang dialami, baik dari Sinode, wilayah, klasis,
maupun jemaat. Berikut beberapa pernyataan yang
disampaikan oleh Ketua Umum BPS Gereja Toraja terkait
kendala yang masih dialami.

“Situasi pandemi membuat jemaat sering terlambat menyetor


kewajibannya, di samping itu ada yang menyetor kurang dari
yang seharusnya”

Bendahara Umum BPS Gereja Toraja juga


menyampaikan:

“Kendala yang sering ditemui adalah ada beberapa jemaat yang


tidak menyetor kuota tepat waktu”

Salah satu ketua klasis juga menyatakan bahwa:

“Jemaat yang belum mempunyai pendeta dalam Klasis cenderung


melalaikan tanggung jawabnya ke Pindan Sangulele”

Selain itu, salah satu ketua wilayah mengungkapkan


bahwa:

“Kendala yang dialami adalah informasi yang tidak update dari


Jemaat dan Pengelola Pindan Sangullele”

Sedangkan dari pihak jemaat, ada beberapa pendapat


yang diungkapkan, diantaranya:

31
“Kurangnya kesadaran dari jemaat terhadap kewajibannya,
apalagi kalau jemaat mengalami kekosongan Pelayan”

“Sumber pendapatan Jemaat tidak sama”

“Sumber pendapatan jemaat minim di situasi – situasi tertentu,


seperti pandemi”

Permasalahan yang dihadapi dalam penerapan


sentralisasi pemberian jaminan hidup Pendeta masih dialami
sampai saat ini dan terus diupayakan untuk melakukan
penyempurnaan sistem. Pelaporan penerapan sentralisasi
jaminan hidup Pendeta kepada Jemaat (publik) dilakukan
secara online pada website “Pindan Sangullele” serta
dilaporkan pada rapat kerja dan sidang sinode Am. Selain itu,
lebih lanjut Bendahara Umum BPS Gereja Toraja menyatakan
bahwa:
“Jemaat bisa langsung datang ke kantor pusat untuk meminta
informasi terkait dengan Pindan Sangullele”

Hal tersebut juga didukung oleh Sekretaris Inforkom BPS


Gereja Toraja:

“Seluruh Data tentang Pindan Sangullele telah ditampilkan


secara transparan di dalam Website Pindan Sangullele. Jika ada
hal yang Jemaat perlukan sekaitan data Pindan Sangullele dapat
langsung menghubungi Bendahara Umum BPS Gereja Toraja”

32
Hal ini belum maksimal karena tidak semua lingkup
Gereja Toraja setiap saat dapat mengakses website yang telah
disiapkan karena masih ada yang belum terjangkau jaringan
internet. Oleh sebab itu jemaat- jemaat di daerah terpencil
kekurangan informasi. Selain itu, terkadang para utusan yang
mengikuti rapat kerja maupun sidang sinode Am tidak
menyalurkan informasi yang didapatkan. Menjawab tantangan
tersebut, koordinasi dari pihak Sinode, Wilayah, dan Klasis
dalam penyaluran informasi sangat diharapkan. Selain itu,
aturan maupun standar operasional dalam penerapan
sentralisasi jaminan hidup Pendeta atau Pindan Sangullele,
perlu untuk diperbaharui serta dilengkapi agar dapat mencakup
semua hal – hal yang berkaitan dengan sentralisasi ini. Hal ini
diungkapkan oleh Ketua Umum BPS Gereja Toraja:
“Pindan Sangullele perlu dibuatkan SOP yang lebih detail, dan
melibatkan wilayah dan klasis secara maksimal”.

Selain itu, diungkapkan oleh Pengurus Wilayah, bahwa:

“Sistem / website yang memuat informasi terkait Pindan


Sangullele sedapat mungkin diperbaharui karena informasi yang
ada hanya memuat pendapatan dan tunggakan dari Jemaat saja”

Selain itu, keberlangsungan penerapan sentralisasi jaminan


hidup Pendeta juga perlu dipikirkan. Seperti yang disampaikan
oleh pengurus Klasis:
“Saran kedepannya yaitu sebaiknya berupaya mencari dana
pendamping dengan memanfaatkan dan mengelola aset gereja

33
Toraja semaksimal mungkin, dengan kapitalisasi aset supaya
jemaat tidak terlalu terbeban dengan target Pindan Sangulele”.
Kerinduan Jemaat akan hadirnya seorang Pelayan di
Jemaat setempat agar terciptanya pelayanan yang merata
tentunya telah diusahakan oleh Sinode Gereja Toraja untuk
memenuhi kebutuhan pelayan dan pelayanan. Pemerataan
pelayanan bagi seluruh jemaat di Gereja Toraja sudah sangat
lama menjadi pergumulan Gereja Toraja. Masalah yang dahulu
dialami adalah Jemaat yang menginginkan adanya pelayan
namun belum mampu untuk memberikan jaminan hidup bagi
pelayan tersebut.

Dengan berlakunya Pindan Sangullele, jaminan hidup


Pendeta sudah terpenuhi, baik Pendeta yang melayani di daerah
terpencil, desa, semi kota, maupun kota. Namun, hal ini masih
menimbulkan permasalahan di beberapa pihak. Kurangnya
koordinasi antara pihak terkait berakibat pada informasi yang
tak tersampaikan serta adanya kewajiban yang belum
dibayarkan. Beberapa masalah yang masih dialami, seperti
pendapatan di setiap jemaat yang berbeda – beda, pandemic
covid yang sedang terjadi, Jemaat yang belum sadar akan
kewajibannya, serta pembagian kuota yang dilihat dari potensi
jemaat dinilai belum sesuai.

Dengan adanya penerapan sentralisasi jaminan hidup


Pendeta atau Pindan Sangullele, maka semua Pendeta dan
calon Pendeta (Proponen) akan memperoleh nafkah/ jaminan

34
hidup sesuai dengan haknya. Sehingga, harapannya tidak ada
lagi jemaat yang tidak terlayani, serta Pendeta dapat melayani
di daerah terpencil, desa, semi kota dan kota. Adapun karena
tenaga pelayan yang masih kurang, maka untuk menjangkau
jemaat yang tidak memiliki Pendeta, maka peran klasis sangat
diperlukan.

Sebagai salah satu dari organisasi non laba, Gereja


Toraja memiliki sumber daya entitas yang berasal dari anggota
jemaat yang memberikan persembahan dan suatu lembaga
yang tidak bertujuan untuk menghasilkan surplus. Kalaupun
ada surplus yang dihasilkan, maka jumlahnya tidak pernah
dibagikan kepada para pendiri atau pemilik entitas. Sebagai
lembaga keagamaan, Gereja Toraja juga perlu untuk
menerapkan tata kelola yang baik, salah satunya terkait
akuntabilitas. Semua keputusan, kebijakan dan tindakan yang
dilaksanakan hendaknya memperhatikan dan memenuhi
kriteria responsibility, answerability dan verifiability.

35
Tabel 3
Sistem Penggajian Pendeta Gereja Toraja dan Akuntabilitasnya
Komponen Mekanisme dan Akuntabilitas
sistem acuan peraturan Verifiability Responsibility Answerability
penggajian
Penentuan File atau data yang Pencocokan Pihak pengelola Ketersediaan file atau data terkait
file data digunakan setiap data belum sepenuhnya pemberian jaminan hidup Pendeta
berpedoman dari Pendeta dan menjalankan tugas belum sepenuhnya menjawab
Peraturan pengecekan padatahap penentuan kebutuhan Pendeta mengenai data
Pemerintah No. 15 kenaikan file yang akan yang dipertanyakan pihak terkait..
Tahun 2019 tentang golongan secara digunakan dalam
Peraturan Gaji berjangka serta. proses penentuan dan
Pegawai Negeri Terkadang pemberian jaminan
Sipil. Data ditemui ada data hidup Pendeta.
dikumpulkan untuk Pendeta yang
penentuan kurang update.
golongan dan masa
kerja, jabatan
fungsional,
pengenaan dan
pemotongan pajak,
serta tanggungan –
tanggungan yang

36
akan diterima
Pendeta.

Proses Besaran jaminan File terkait Pihak pengelola Pihak pengelola dapat menjawab
penentuan hidup yang penggajian akan jaminan hidup kebutuhan pihak terkait mengenai
besaran gaji diperoleh oleh dicocokkan Pendeta memiliki pertanyaan menyangkut Proses
seorang Pendeta dengan SK tanggung jawab penentuan besaran gaji Pendeta
tergantung dari Pendeta, seperti untuk memastikan dari segi komponen gaji yang
golongan dan masa rincian gaji pokok setiap data yang diterima dan dapat menjelaskan
kerja Pendeta. serta tunjangan dengan baik kepada pihak yang
dibutuhkan lengkap
Adapun komponen yang akan bertanya.
serta update. Pihak
penggajian, berupa diterima dan masa
besaran gaji pokok, kerja seorang Sinode Gereja Toraja

37
tunjangan keluarga, Pendeta. berkewajiban
tunjangan jabatan / Informasi yang mengeluarkan SK
fungsional, berkaitan dengan Pendeta, dan Pendeta
tunjangan pangan jaminan hidup berhak untuk
dan lain – lain yang Pendeta secara memperoleh SK
diatur dalam terbuka masa kerja ketika
peraturan khusus disampaikan
naik golongan.
Gereja Toraja dan kepada Pendeta
mengacu dari yang
Peraturan bersangkutan.
Pemerintah No. 15
Tahun 2019 tentang
Peraturan Gaji
Pegawai Negeri
Sipil.
Fungsi Fungsi akuntansi Sebelum Pihak pengelola Fungsi akuntansi dalam prosedur
akuntansi. dalam prosedur melakukan bertanggung jawab pembayaran jaminan hidup
pembayaran gaji penyaluran untuk mencatat Pendeta belum sepenuhnya
mengacu pada jaminan hidup kewajiban serta terlaksana dengan baik. File yang
kewajiban pihak Pendeta, file atau transaksi yang terjadi menjadi acuan pemberian jaminan
pengelola dalam data akan dalam proses terkadang belum sepenuhnya
dicocokkan
mempersiapkan dan pemberian jaminan menjawab kebutuhan sehingga
dengan besaran
mencatat kewajiban gaji yang diterima hidup Pendeta. Pihak beberapa Pendeta akan
yang harus oleh Pendeta. pengelola mengalami keterlambatan naik
dibayarkan kepada Pencocokan file memastikan data golongan.

38
Pendeta, sesuai ini akan dilakukan yang menjadi acuan
aturan yang oleh pihak pemberian jaminan
berlaku. Pihak pengelola jaminan adalah data terbaru.
pengelola akan hidup Pendeta.
mempersiapkan hal
– hal yang akan
digunakan sebagai
acuan dalam proses
pembayaran
jaminan hidup
Pendeta.

Fungsi Terkait fungsi Data disediakan Pihak pengelola Fungsi akuntansi dalam prosedur
keuangan keuangan dalam oleh pihak bertanggung jawab pembayaran jaminan hidup
prosedur pengelola untuk mencatat serta Pendeta Gereja Toraja telah
pembayaran memaksimalkan melaporkan hasil menjawab kebutuhan dari pihak
jaminan hidup fungsi keuangan sentralisasi terkait yang terkait. Setiap dana yang
Pendeta mengacu dalam prosedur jaminan hidup masuk dan keluar akan dicatat dan
pembayaran Pendeta, baik itu dilaporkan.
pada proses
jaminan hidup penerimaan atau
pembayaran Pendeta. Data ini pencapaian target
besaran jaminan terbuka bagi kuota maupun
yang harus diterima jemaat dan dapat pengeluaran yang
oleh Pendeta. Pihak diakses melalui dilakukan.
pengelola akan

39
mencatat serta website Pindan
membuat laporan. Sangullele.

Penentuan Target besaran Data yang Setiap pihak terkait Target besaran kuota yang
target kuota kuota dibagi didapatkan pada akan melakukan ditentukan belum sepenuhnya
dan proses kepada jemaat – saat melakukan tanggung jawabnya diterima dengan baik oleh
pembayara jemaat agar adanya pengkajian akan untuk mengkaji dan beberapa jemaat karena target
n saling membantu digunakan untuk menentukan besaran kuota yang diberikan tidak sesuai
kewajiban antar jemaat terkait menentukan kuota jemaat – dengan keadaan/ potensi yang ada
besaran kuota jemaat setempat.
dana jaminan hidup di jemaat sehingga terkadang
persenan jemaat. Terkait proses
Pendeta. Penentuan pembayaran target, jemaat menunggak.
untuk proses
besaran kuota setiap jemaat akan
pembayaran Beberapa jemaat juga masih
dilakukan dengan bertanggung jawab
target kuota, mempertanyakan dasar, cara,
melihat potensi untuk melaksanakan
setiap jemaat
yang ada di jemaat kewajibannya. dan data yang digunakan dalam
yang melakukan
– jemaat. Sinode, Jemaat akan secara melakukan pengkajian.
penyetoran akan
Wilayah dan Klasis mandiri melakukan
mendapat bukti
akan bekerjasama pembayaran.
bayar. Penyetoran Sampai saat ini
untuk melakukan
dapat dilakukan masih banyak jemaat
pengkajian dan
pada bank yang belum
menentukan
setempat atau bisa memenuhi
besaran kuota yang
melakukan kewajibannya untuk
akan menjadi
penyetoran membayar penuh
kewajiban di setiap kuota persenan yang
langsung ke

40
Jemaat. Kantor Pusat telah ditetapkan.
Selanjutnya, setelah Badan Pekerja Selain itu, biro yang
besaran target Sinode gereja ada di Sinode Gereja
kuota yang akan Toraja. Toraja tidak
dibayarkan, maka menjalankan
jemaat akan tugasnya dengan
baik.
menyetor setiap
bulan melalui
virtual account
yang telah dibuat
untuk memudahkan
transaksi dilakukan
dan memudahkan
pencatatan dan
pelaporan serta
dapat juga
dibayarkan secara
langsung di kantor
pusat BPS Gereja
Toraja.

Proses Jaminan hidup Pihak Sinode Pihak Sinode Gereja Proses pembayaran jaminan hidup
pembayara Pendeta dibayarkan Gereja Toraja Toraja sebagai pihak Pendeta yang dilakukan secara
n jaminan secara auto debet akan melakukan pengelola auto debet ke rekening masing –
bertanggungjawab masing Pendeta telah sesuai dan

41
hidup setiap tanggal 1 pembayaran untuk memastikan diterima dengan baik oleh para
Pendeta bulan berjalan. jaminan hidup penyaluran jaminan Pendeta serta menjawab
Pihak pengelola Pendeta sesuai hidup Pendeta pertanyaan para Pendeta yang
telah bekerjasama dengan SK yang terlaksana dengan wilayah pelayanannya jauh dari
dengan bank BNI ada. Bukti bayar baik. Setiap bulan, Kantor Pusat Sinode.
untuk proses akan dibukukan pihak pengelola akan
menerima laporan
pembayarannya. oleh pihak
penyaluran jaminan
Besaran jaminan pengelola sebagai
hidup Pendeta dari
yang diterima oleh arsip yang akan bank BNI.
Pendeta tergantung dijadikan
dari SK yang pedoman untuk
dikeluarkan oleh penggajian
Sinode Gereja selanjutnya.
Toraja yang
memuat golongan
dan masa kerjanya.

Proses Pelaporan proses Data pembayaran Badan Pekerja Proses pelaporan terkait
pelaporan pemberian jaminan jaminan hidup Sinode sebagai pihak sentralisasi jaminan hidup
pemberian Hidup Pendeta Pendeta akan pengelola akan Pendeta belum sepenuhnya
jaminan dilakukan oleh dicocokkan bertanggung jawab menjawab kebutuhan pihak
hidup pihak pengelola. dengan rekening dalam membuat dan terkait. Masih banyak jemaat yang
Pendeta Pelaporan koran yang menyampaikan bertanya mengenai rincian
dilakukan pada dicetak setiap laporan pertanggung laporan, terutama pada pelaporan
website Pindan hari. Hal ini jawaban kepada Cabang Kebaktian yang

42
Sangullele yang dilakukan untuk pihak – pihak terkait. seharusnya dirincikan secara
memuat target, meminimalisir Laporan pertanggung tersendiri untuk dikirimkan
pendapatan serta terjadinya jawaban disampaikan kepada jemaat.
tunggakan per kesalahan dalam pada rapat kerja,
jemaat dalam enam pencatatan website Pindan
wilayah. Pelaporan laporan Sangullele, dan
juga dilakukan penyetoran Sidang sinode Am
pada rapat kerja kewajiban dari Gereja Toraja.
Gereja Toraja yang Jemaat.
dilakukan setahun Laporan dana
sekali dan Sidang Pindan Sangullele
Sinode Am yang dilaporkan pada
dilaksanakan setiap sidang sinode
lima tahun sekali. Am, rapat keja
Gereja Toraja
serta melalui
website Pindan
Sangullele yang
disediakan oleh
Badan Pekerja
Sinode untuk
mengetahui
tunggakan dan
realisasi bayar
oleh jemaat.

43
Akuntabilitas Sistem Penggajian Pendeta
Verifiability Tata Kelola Penggajian Pendeta Gereja
Toraja
Gereja Toraja bertujuan untuk memberikan dan
meningkatkan pelayanan bagi Tuhan dan sesama. Salah satu
wujud dalam mendukung pelayanan adalah menjawab
kebutuhan jemaat dengan memberikan pelayan (Pendeta atau
Proponen) secara merata di seluruh lingkup pelayanan Gereja
Toraja, sehingga nyata bahwa prinsip Presbiteral Sinodal
dinyatakan dalam semua aspek. Seorang Pendeta akan
menyerahkan seluruh hidupnya untuk menjalankan tugas
pelayanan di Jemaat. Beberapa komponen tata kelola
penggajian Pendeta Gereja Toraja, diantaranya: 1) Penentuan
file atau data terkait sistem penggajian Pendeta Gereja Toraja,
2) Penentuan besaran target kuota kepada Jemaat, 3) Fungsi
akuntansi dan keuangan dalam prosedur, 3) Penentuan target
kuota jemaat serta pelaporan kepada jemaat serta pihak terkait.

Pada dimensi Verifiability, pembuktian data atau


informasi sangat penting. Data dapat dipercaya, tertuang dalam
laporan pertanggung jawaban serta pada surat keputusan yang
telah disahkan. setiap file atau data yang dibutuhkan dalam
proses pemberian jaminan hidup Pendeta dikumpulkan serta
diolah agar dapat dicocokkan dengan komponen jaminan hidup
Pendeta. Dalam praktiknya, komponen penggajian Pendeta,
seperti gaji pokok dan tunjangan - tunjangan telah dipenuhi.
Setiap Pendeta akan menerima surat keputusan yang memuat

44
golongan serta komponen – komponen jaminan hidup yang
diterima. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pihak
Sinode Gereja Toraja akan mencocokkan setiap data Pendeta
dan mengecek kenaikan golongan secara berjangka, namu pada
beberapa prakteknya ditemui beberapa data Pendeta yang
kurang update.

Pada tahap penyaluran gaji kepada Pendeta, dilakukan


pencocokan dengan rekening koran yang dicetak setiap hari
dan di update pada website. Hal ini dilakukan untuk
meminimalisir terjadinya kesalahan dalam pencatatan laporan
penyetoran kewajiban dari Jemaat serta keterbukaan infomasi.
Kemudian, data yang didapatkan pada saat melakukan
pengkajian akan digunakan untuk menentukan besaran kuota
persenan jemaat. Dari penelitian yang dilakukan, terdapat
beberapa perbedaan pendapata terkait keterbukaan informasi
hasil pengkajian potensi jemaat, sehingga target yang diberikan
masih belum diterima semua jemaat. Beberapa jemaat masih
mempertanyakan dasar, cara, dan data yang digunakan dalam
melakukan pengkajian sehingga didapat besaran kuota
tersebut. Jemaat yang belum sepenuhnya menerima dan
mengerti sistem yang digunakan akan cenderung untuk tidak
sepenuhnya membayar kewajibannya. Sementara pihak Sinode
menyatakan bahwa pihak klasis yang langsung melakukan
pengkajian dengan anggapan klasis yang lebih dekat kepada
Jemaat.

45
Selain itu untuk proses pembayaran target kuota, setiap
jemaat yang melakukan penyetoran akan mendapat bukti bayar
atau kwitansi yang dapat dijadikan pedoman dalam melakukan
pelaporan di jemaat masing – masing. Penyetoran dapat
dilakukan pada bank atau bisa melakukan penyetoran langsung
ke Kantor Pusat Badan Pekerja Sinode gereja Toraja. Jika
menyetor melalui bank, maka setiap jemaat akan melakukan
pembayaran melalui virtual account yang telah dibagikan
kepada setiap jemaat. Untuk cabang kebaktian maupun tempat
kebaktian dapat melakukan pembayaran kepada jemaat induk
terlebih dahulu untuk digabungkan, namun juga bisa langsung
menyetor ke kantor pusat.

Setelah jemaat melakukan pembayaran kewajiban,


pihak BPS Gereja Toraja sebagai pengelola akan memberikan
laporan. Laporan dana Pindan Sangullele dilaporkan pada
sidang sinode Am, rapat kerja Gereja Toraja serta melalui
website Pindan Sangullele yang disediakan oleh Badan Pekerja
Sinode untuk mengetahui tunggakan dan realisasi bayar oleh
jemaat. Laporan ini juga akan di verifikasi oleh pihak verifikasi
yang ada di Gereja Toraja. Dalam prakteknya, masih terdapat
jemaat yang menginginkan pelaporan yang dilakukan secara
tertulis yang dikirim kepada jemaat – jemaat. Beberapa jemaat
juga terkendala dalam mengakses website karena masalah
jaringan. Selain itu, cabang kebaktian juga menginginkan

46
adanya pelaporan tersendiri, yang terpisah dari jemaat
induknya.

Responsibility Tata Kelola Penggajian Pendeta Gereja


Toraja
Pada sistem penggajian Pendeta Gereja Toraja, pihak
Sinode Gereja Toraja bertanggung jawab dalam pemenuhan
komponen – komponen penggajian yang harus dibayarkan
sebagai jaminan hidup Pendeta serta pembuatan laporan
penggunaan dana sentralisasi jaminan hidup Pendeta yang akan
dilaporkan pada website khusus Pindan Sangullele, pada rapat
kerja dan Sidang Sinode. Khusus pada website Pindan
Sangullele, hanya memuat pendapatan per jemaat, tanpa ada
informasi cabang kebaktian secara terperinci. Selanjutnya,
Sinode Gereja Toraja sebagai pihak pengelola
bertanggungjawab untuk memastikan data setiap Pendeta tidak
ada kekeliruan pada data Pendeta.

Pada proses penentuan besaran kuota jemaat, dilakukan


oleh pihak terkait dengan melakukan pengkajian terhadap
potensi jemaat kemudian ditetapkan besaran kuota/ kewajiban
yang harus dibayarkan. Pihak sinode Gereja Toraja akan
melakukan tanggungjawabnya untuk mengkaji dan
menentukan besaran kuota kepada wilayah, yang selanjutnya
wilayah membagi target kuota kepada klasis dan klasis
membagi kuota kepada jemaat – jemaat setempat. Selain itu,
menurut pemaparan narasumber dari pihak pengelola
menyatakan bahwa sumber pendanaan lain yang diginakan

47
adalah usaha – usaha dari BKGT. Namun pada prakteknya, hal
tersebut kurang berjalan dengan maksimal. Kurangnya
kesadaran akan tanggungjawab biro yang ada di sinode Gereja
Toraja mengakibatkan dana yang dibbutuhkan bbelum
sepenuhnya memenuhi target dana yang harus terkumpul untuk
pemberian jaminan hidup Pendeta.
Selanjutnya terkait proses pembayaran target, setiap jemaat dan
cabang kebaktian akan bertanggungjawab untuk melaksanakan
kewajibannya dalam pembayaran target kuota persenan yang
akan dibayarkan kepada bank melalui virtual account atau
langsung setor ke kantor pusat sinode Gereja Toraja.
Badan Pekerja Sinode sebagai pihak pengelola akan
bertanggungjawab dalam membuat dan menyampaikan laporan
pertanggungjawaban kepada pihak – pihak terkait pada waktu
yang telah ditentukan. Sinode Gereja Toraja juga akan
bertanggungjawab secara moral dalam pelaksanaan setiap
keputusan yang telah disepakati bersama. Laporan
pertanggungjawaban disampaikan pada rapat kerja, website
Pindan Sangullele, dan Sidang sinode Am Gereja Toraja.
Masalah yang terjadi adalah tidak semua jemaat yang dapat
mengakses website serta menerima laporan dari pihak
pengelola secara langsung. Laporan atas sentralisasi jaminan
hidup Pendeta yang selama ini dibuat hanya memuat
pendapatan jemaat saja tanpa ada rincian secara detail
penerimaan dari cabang kebaktian. Padahal seharusnya laporan

48
yang disampaikan harus secara rinci agar tercipta kepercayaan
jemaat kepada pihak pengelola.
Answerability Tata Kelola Penggajian Pendeta Gereja
Toraja.
Suatu organisasi bertanggungjawab untuk memberikan
jawaban, keputusan atau tindakan yang telah disepakati. Setiap
pihak terkait berupaya untuk memastikan keputusan atau
tindakan yang diambil oleh suatu entitas, secara objektif
merespon kebutuhan publik yang dapat menghasilkan manfaat
dan memberikan kontribusi bagi penyelenggaraan tata kelola
yang baik. Hasil penelitian yang didapatkan menggambarkan
bahwa Pindan Sangullele atau Sentralisasi jaminan hidup
Pendeta yang diterapkan sampai saat ini secara keseluruhan
dapat menjawab kebutuhan Gereja Toraja terkait pembayaran
jaminan hidup Pendeta. Namun, kedepannya perlu untuk
memikirkan ketersediaan dana, apalagi sampai saat ini masih
banyak jemaat yang belum memenuhi kewajibannya untuk
membayar kuota persenan yang telah ditetapkan. Selain itu,
biro yang ada di Sinode Gereja Toraja tidak menjalankan
tugasnya dengan baik. Kemudian, perlu juga untuk melengkapi
atau menyempurnakan SOP penerapan sentralisasi jaminan
hidup Pendeta agar dapat menjadi acuan dalam pelaksanaannya
serta dapat memberikan pemahaman pada pihak terkait tentang
sistem sentralisasi yang dilakukan.
Selanjutnya pada pembagian target kuota kepada
jemaat, pihak pengelola dan pihak yang melakukan pengkajian

49
belum sepenuhnya menjawab pertanyaan jemaat mengenai
dasar serta cara penentuan besaran target kepada jemaat.
Beberapa jemaat belum memahami proses dari penentuan
besaran kuota sehingga sampai saat ini, masih ada jemaat yang
belum sepenuhnya menerima besaran kuota yang ditentukan
untuk jemaatnya. Sehingga dalam prosesnya, masih ada jemaat
yang belum menjalankan kewajibannya. Masih ada jemaat
yang menunggak. Beberapa alasan disampaikan oleh Jemaat,
yaitu ketidaksesuaian dengan kondisi yang ada di Jemaat, tim
pengkaji kurang menjawab pertanyaan atau kebutuhan jemaat
mengenai proses serta dasar yang digunakan.
Penentuan besaran kuota perlu untuk ditinjau setiap
tahunnya, karena setiap tahun potensi yang ada di jemaat
berubah – ubah. Selain itu, perlu untuk memastikan dan melihat
jemaat – jemaat yang sudah sekian lama belum memiliki
Pendeta agar mendapatkan pelayanan secara merata.
Seharusnya ketika sudah ada keputusan, jemaat tetap akan
membayar kuota persenan baik jemaat yang memiliki Pendeta
maupun yang tidak memiliki Pendeta karena jika terjadi
penumpukan tunggakan seperti ini, penerapan sentralisasi akan
kurang maksimal dan belum menjawab permasalahan yang
selama ini ada.
Pada proses pembayaran kewajibannya, beberapa
jemaat dan cabang kebaktian belum sepenuhnya menerima dan
melaksanakan keputusan dengan baik. Beberapa cabang
kebaktian menginginkan adanya virtual account dan pelaporan

50
tersendiri. Pada bagian pelaporan dari pihak pengelola, jika
dilihat dari dimensi answerability, belum sepenuhnya
memberikan jawaban kepada pihak – pihak terkait. Masih
banyak jemaat yang menginginkan adanya pelaporan yang
rinci, terutama pada pelaporan Cabang Kebaktian yang
seharusnya dirincikan secara tersendiri untuk dikirimkan
kepada jemaat. Hal ini juga untuk mendukung pelaporan yang
ada di tingkat jemaat dan cabang kebaktian.

KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN


Kesimpulan

Dari pekerjaan yang untuknya seorang Pendeta


diurapi untuk melayani, Pendeta akan dijamin kehidupannya,
seperti dalam Bilangan 18:3 dikatakan “kamu boleh
memakannya disetiap tempat, kamu dan seisi rumahmu, sebab
upahmulah itu, untuk membalas pekerjaanmu di Kemah
Pertemuan”. Praktik akuntabilitas dalam organisasi
keagamaan khususnya Gereja Toraja berpedoman pada Firman
Tuhan, Tata Gereja Gereja Toraja, Peraturan khusus Gereja
Toraja, dan dokumen – dokumen sah lainnya. Sinode Gereja
Toraja memberikan pertanggungjawaban kepada Kristus
sebagai Pemilik Gereja dan kepada jemaat serta lembaga
terkait lainnya.
Praktik akuntabilitas dalam sistem penggajian Pendeta
Gereja Toraja sudah memenuhi kriteria verifiability.
responsibility, dan answerability yang ditunjukkan oleh

51
penyesuaian data transaksi pembayaran dengan rekening koran
yang dicetak setiap hari. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir
terjadinya kesalahan dalam pencatatan laporan penyetoran
kewajiban dari Jemaat. Selanjutnya tanggungjawab pihak
terkait dalam pengelolaan sistem sentralisasi jaminan hidup
Pendeta telah ditunjukkan oleh Sinode yang bertanggungjawab
dalam menerima dana dari jemaat kemudian membayarkan
jaminan hidup Pendeta melalui bank yang bekerja sama dengan
Gereja Toraja dan melakukan pencatatan akuntansi.
Sementara, laporan pertanggungjawaban akan dilaporkan
melalui website, rapat kerja Gereja Toraja, dan Sidang Sinode
Am Gereja Toraja. Sinode, wilayah dan klasis juga akan
berkoordinasi untuk pembagian kuota persenan kepada Jemaat
sesuai dengan potensi yang ada di masing- masing Jemaat dan
Cabang Kebaktian. Selain itu, Sinode Gereja Toraja membuka
ruang untuk Jemaat yang kurang memahami sistem penggajian
Pendeta, maupun saran – saran yang akan disampaikan demi
terlaksananya sistem penggajian Pendeta yang semakin baik.
Sinode Gereja Toraja membuat website sebagai wadah untuk
memudahkan Jemaat dalam melihat informasi sekaitan dengan
dana Pindan Sangullele.
Dalam beberapa hal, sistem penggajian Pendeta belum
sepenuhnya memenuhi kriteria verifiability, responsibility dan
answerability yang baik, seperti beberapa data Pendeta yang
kurang update sehingga berpengaruh pada SK Pendeta, website
yang tersedia belum sepenuhnya menjawab kebutuhan Jemaat

52
karena jemaat masih menginginkan adanya persuratan
langsung terkait laporan realisasi penerapan Pindan Sangullele,
adanya kerinduan untuk Cabang Kebaktian dapat memiliki
virtual account yang dapat digunakan untuk langsung
menyetor kewajibannya serta pengaktifan kembali kinerja atau
usaha - usaha biro terkait untuk pemenuhan target dana untuk
penggajian Pendeta.
Dari ketiga kriteria akuntabilitas, yaitu: verifiability
responsibility, dan answerability, terdapat keterkaitan satu
sama lain. Untuk mendukung terselenggaranya sentralisasi
jaminan hidup Pendeta atau Pindan Sangullele yang sesuai
dengan keputusan, harapan serta aturan yang berlaku, maka
diperlukan koordinasi antar pihak, keterbukaan informasi, serta
standar operasional yang memadai. Sampai saat ini, pemberian
jaminan hidup Pendeta dengan sistem sentralisasi dinilai masih
sesuai untuk diterapkan di Gereja Toraja agar jemaat mendapat
pelayanan yang merata dari Pendeta. Selain itu, adanya
sentralisasi jaminan hidup Pendeta diharapkan bahwa jemaat
dapat terlayani dengan sebaik – baiknya dari pelayan.

53
Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini mendeskripsikan tentang penerapan


prinsip akuntabilitas dilihat dari kriteria verifiability,
responsibility, dan answerability pada sistem penggajian
Pendeta di Gereja Toraja. Peneliti menyadari bahwa penelitian
ini masih memiliki kekurangan khususnya dalam pengambilan
data. Kondisi pandemic covid-19 dan jarak dengan objek
penelitian menyebabkan pengambilan data dilakukan secara
daring. Selain itu, penelitian yang dilakukan terkendala pada
kegiatan yang dilakukan di lingkup Gereja Toraja sehingga
mengakibatkan perubahan beberapa narasumber. Selain itu,
dalam penelitian ini juga memiliki keterbatasan pada jumlah
narasumber karena ada beberapa narasumber yang tidak
memberikan informasi jadwal wawancara. Serta data
kurangnya data fisik yang di dapatkan seperti dokumen -
dokumen terkait.

Saran

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terkait


sentralisasi jaminan hidup Pendeta yang objek penelitiannya
adalah Gereja Toraja, sebaiknya segera melengkapi atau
menyempurnakan SOP yang ada demi terlaksananya sistem
penggajian Pendeta yang tersentralisasi serta meningkatnya
pemahaman pada pihak terkait tentang sistem sentralisasi yang
dilakukan. Selain itu, perlunya sosialisasi secara mendalam dan
koordinasi kepada wilayah, klasis, bahkan jemaat terkait sistem

54
sentralisasi tersebut, agar Jemaat memahami dan sekiranya
kewajiban – kewajiban Jemaat dapat dilaksanakan.
Selanjutnya pada bidang akademik untuk penelitian
selanjutnya dapat melakukan penelitian dengan mengambil
dari sudut yang berbeda, seperti melakukan survei kepada para
Pendeta terkait sentralisasi jaminan hidup Pendeta, kemudian
dapat membandingkan akuntabilitas sebelum dan sesudah
penerapan sistem penggajian Pendeta yang tersentralisasi di
Gereja Toraja. Serta meninjau peran dan keterlibatan pihak
terkait, khususnya biro – biro yang ada di BPS Gereja Toraja.

55
DAFTAR PUSTAKA

Aditya, M., Tjungadi, H., & Rahadian, Y. (2020). Akuntabilitas


dan Pengendalian Internal Pelaporan Keuangan pada
Gereja Toraja ABC. 12(2), 241–264.
Https://doi.org/https://doi.org/10.17509/jaset.v12i2.24583

Anggara, S. (2016). Ilmu Administrasi Negara. In Cv Pustaka


Setia.

Dewi, K. G. S. S., Atmadja, A. W. T., & Adiputra, M. P.


(2015). Konsep Akuntabilitas Keuangan Dalam
Organisasi Keagamaan (Studi Kasus pada Gereja
Kerasulan Baru di Indonesia, Distrik Jawa Timur dan
Bali). E-Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha,
3(1), 1–10.
Https://doi.org/http://dx.doi.org/10.23887/jimat.v3i1.480
7

Dwiyanto, A. (2008). Mewujudkan Good Governance Melalui


Pelayanan Publik. Gadjah Mada University Press.

Gereja Toraja. (n.d.). Gereja Toraja. Https://bps-


gerejatoraja.org/

Imawan, A., Irianto, G., & Prihatiningtias, Y. W. (2019). Peran


Akuntabilitas Pemerintah Desa Dalam Membangun
Kepercayaan Publik. Jurnal Akuntansi Multiparadigma,
10(1). Https://doi.org/10.18202/jamal.2019.04.10009

56
Iswahyudi, A., Triyuwono, I., & Achsin, M. (2017). Hubungan
Pemahaman Akuntabilitas, Transparansi, Partisipasi,
Value For Money Dan Good Governance (Studi Empiris
pada SKPD di Kabupaten Lumajang). Jurnal Ilmiah
Akuntansi, 1(2), 151–166.
Https://doi.org/10.23887/jia.v1i2.9992

Mensah, B. K. A. (2016). Accountability and internal control


in religious organisations: a study of Methodist church
Ghana. African J. Of Accounting, Auditing and Finance,
5(2), 95. Https://doi.org/10.1504/ajaaf.2016.078302

Mongan, F. F. A., Suryandari, N. N. A., & Pembonan, A.


(2019). Jurnal Ekonomi Paradigma ISSN: 1693-0827.
Jurnal Ekonomi Paradigma, 21(01), 40–46.
Https://journal.uniba.ac.id/index.php/PRM/article/view/1
0

Muhammad, yogi pratama. (2016). Faculty of Economics Riau


University ,. Jomfekom, 4(1), 843–857.
Https://media.neliti.com/media/publications/125589-ID-
analisis-dampak-pemekaran-daerah-ditinja.pdf

Mutis, F. S., & Amperaningrum, I. (2020). Perancangan Sistem


Penggajian Berdasarkan Evaluasi Kerangka Kerja Coso.
Jurnal ASET (Akuntansi Riset), 12(1), 59–72.

Nainggolan, pahala. (2012). Manajemen Keuangan Lembaga


Nirlaba. In Usc-Satunama (Vol. 1, p. 01).

57
Paranoan, N., & Totanan, C. (2018). Akuntabilitas Berbasis
Karma. Jurnal Ilmiah Akuntansi Dan Bisnis, 13(2), 161–
172. Https://doi.org/10.24843/JIAB.2018.v13.i02.p09

Peraturan Pemerintah No.15 Tahun 2019 Tentang Peraturan


gaji Pegawai Negeri Sipil, 942 (2019).

Puja, P., Ustriyana, I. N. G., & Darmawan, D. P. (2018). Kajian


Pengaruh Sistem Penggajian Terhadap Kinerja Karyawan
Natrabu Minang Restoran Bali. SOCA: Jurnal Sosial
Ekonomi Pertanian, 12(2), 188.
Https://doi.org/10.24843/soca.2018.v12.i02.p05

Randa, F. (2011). Rekonstruksi Konsep Akuntabilitas


Organisasi Gereja: (Studi Etnografi Kritis Inkulturatif
pada Gereja Katolik di Tana Toraja). Simposium Nasional
Akuntansi, 1–39.
Https://www.academia.edu/3612669/rekonstruksi_konsep
_akuntabilitas_organisasi_gereja_Studi_Etnografi_Kritis
_Inkulturatif_padagereja_Katolik_di_tanatoraja_Gasal_2
011_2012

Randa, F., & Daromes, F. (2014). Transformasi Nilai Budaya


Lokal dalam Membangun Akuntabilitas Sektor Publik.
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 5(3).
Https://doi.org/10.18202/jamal.2014.12.5035

Randa, F., Triyuwono, I., Ludigdo, U., & Sukoharsono, E. G.


(2011). Jamal randa 2011.pdf. Jurnal Akuntansi

58
Multiparadigma, 2.
Https://doi.org/http://dx.doi.org/10.18202/jamal.2011.04.
7109

Rokhlinasari, S., & Hidayat, A. (2016). Al-Amwal, Volume 8,


No. 2 Tahun 2016. Pengaruh Sistem Pengendalian
Internal Terhadap Kualitas Laporan Keuangan Pada Ban
BJB Syariah Cirebon, 8(2), 491–508.

Septianis, R., Tripermata, L., & Mikial, M. (2017). Analisis


Sistem Penggajian Dalam Rangka Mengefektifkan
Pengendalian Internal Pada Pt . Freight. Jurnal Ilmiah
Ekonomi Global Masa Kini, 8(02), 53–58.
Https://doi.org/http://dx.doi.org/10.35908/jiegmk.v8i2.33
2

Shoemaker, D. (2011). Attributability, answerability, and


accountability: Toward a wider theory of moral
responsibility. Ethics, 121(3), 602–632.
Https://doi.org/10.1086/659003

Sukmawati, F., Pujiningsih, S., & Laily, N. (2016).


Akuntabilitas Gereja dalam Perspektif Alkitabiah dan
Stewardship Theory (Study Kasus pada Gereja X di Jawa
Timur). Jurnal Akuntansi Aktual, 3(4), 301–310.
Http://journal2.um.ac.id/index.php/jaa/article/download/7
161/3577

Susanti, M., & Hidayatullah, R. (2018). Implementasi Sistem

59
Informasi Penggajian Untuk Membantu Manajemen
Keuangan Dalam Pengolahan Usaha. Jurnal RESTI
(Rekayasa Sistem Dan Teknologi Informasi), 2(1), 416–
421. Https://doi.org/10.29207/resti.v2i1.33

Tata gereja toraja pembukaan, (2017).

Tumanggor, F. (2017). KPK Tantang Gereja Audit Keuangan.


Https://www.tagar.id/kpk-tantang-gereja-audit-keuangan

Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 2003


tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang 1 (2003).
Http://www.kemenperin.go.id/kompetensi/UU_13_2003.
pdf

United Nations Educational Scientific and Cultural


Organization. (2017). Accountability in Education:
Meeting our Commitments. Global Education Monitoring
Report, 1–31.

Wardhana, G. A. S., Rasmini, N. K., & Astika, I. B. P. (2015).


Pengaruh Kompetensi pada Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah Dengan Komitmen Organisasi Sebagai
Variabel Moderasi. E-Journal Ekonomi Dan Bisnis
Universitas Udayana, 4(9), 571–598.

Wicaksono, K. W. (2015). Akuntabilitas Organisasi Sektor


Publik. JKAP (Jurnal Kebijakan Dan Administrasi
Publik), 19(1), 17. Https://doi.org/10.22146/jkap.7523

60

Anda mungkin juga menyukai