Anda di halaman 1dari 5

Menilik Stereotip Gender: Antara

Perempuan Versus Laki-laki

Sumber: hmpry.wordpress.com

Adanya perbedaan dalam identitas gender tampaknya selalu mengotak-

ngotakkan perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Apakah memang

laki-laki dan perempuan se-berbeda itu?

Perbedaan Gender dan Sex

Seks adalah pembagian 2 jenis kelamin, yakni laki-laki dan perempuan,

yang ditentukan secara biologis. Seks juga berkaitan dengan karakter dasar

fisik dan fungsi manusia, mulai dari kromosom, kadar hormon, dan bentuk

organ reproduksi. Sedangkan gender adalah persepsi masyarakat atau yang


mengacu pada peran, perilaku, ekspresi, dan identitas seseorang, baik laki-

laki maupun perempuan.

Gender biasanya diasosiasikan dengan istilah maskulin dan feminin.

Maskulin dihubungkan dengan sifat kelaki-lakian, seperti gagah, kuat, dan

memimpin. Sementara feminin dihubungkan dengan sifat perempuan,

seperti mengayomi, lemah lembut, dan perasa. Keduanya memiliki

hubungan dengan jenis kelamin. Akan tetapi, seks bersifat mutlak,

sementara gender cenderung tidak.

Aspek Lingkungan dan Tingkah Laku Manusia

Dilihat dari segi biologis, terdapat narasi pengotak-ngotakan antara

perempuan dan laki-laki. Seringkali kita menganggap hal sederhana yang

nyatanya tidak sesederhana demikian. Terlalu melebihkan hal sederhana

ini justru dijadikan justifikasi untuk memperparah perbedaan antara laki-

laki dan perempuan dalam masyarakat, yaitu dengan hadirnya stereotip

gender.

Menurut studi Nan Zhu dan Lhei Chang tahun 2019, berdasarkan teori

evolusi, adanya pembagian ini berawal dari perbedaan peran gender

sebagai bentuk dari adaptasi, strategi untuk bertahan hidup, dan

bereproduksi agar keturunan mereka tidak punah. Dalam hal ini, hanya

perempuan yang dapat hamil dan memiliki anak, oleh karena itu

perempuanlah yang ditugaskan untuk menjaga rumah dan anak,

sedangkan laki-laki bertugas mencari makan dan berburu.


Dalam kenyataannya, di sekitar kita, dari masa kecil hingga sekarang,

dunia masih sangat dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Bahkan

sebelum manusia lahir, orang tua sudah mulai memberikan perbedaan

identitas tersebut.

Ada tayangan menarik di British Broadcasting Coorporation (BBC) UK

mengenai percobaan terhadap kelas di suatu sekolah, dalam percobaan

tersebut, anak-anak perempuan merasa bahwa yang relevan untuk dirinya

hanya fisiknya, mereka merasa tidak pintar matematika dan tidak lebih

kuat seperti laki-laki, sehingga anak perempuan meragukan

kemampuannya. Sedangkan yang laki-laki merasa lebih hebat, kuat, dan

berani.

Dengan adanya stereotip gender ini memberikan pemahaman bahwa

dibanding kita memiliki versi sendiri bagaimana diri kita seharusnya,

justru kita lebih memilih mengikuti stereotip yang ada di masyarakat.

Hasilnya, stereotip gender sebagai narasi perempuan versus laki-laki

berkeliaran bermanifestasi menjadi tingkah laku yang sebenarnya.

Mengapa hal tersebut terjadi? manusia memiliki otak layaknya plastik

(Kleinherenbrink, 2014), dapat berubah tergantung lingkungan dan situasi

sosial. Otak manusia unik dan kompleks, hal tersebut dipengaruhi oleh

banyak aspek eksternal, seperti kehidupan manusia, aktivitas yang

dilakukan, pekerjaan, hobi, dan pengalaman. Jadi, suatu hal yang tidak

masuk akal jika kita mengkategorikan otak dengan jenis sex manusia.
Contohnya, kita selalu mendengar bahwa perempuan lebih bisa berempati

dibanding laki-laki. Namun berdasarkan studi yang dilakukan oleh Nancy

Eiesenberg tahun 1983 tentang Sex Difference in Emphathy and Related

Capacities, ternyata perempuan berempati bukan karena benar-benar

empati, namun adanya harapan yang dibangun masyarakat dan stereotip

gender yang terbentuk sehingga perempuan mempunyai empati lebih besar

daripada pria.

Selain itu, stereotip gender membuat perempuan membatasi dirinya

sendiri. Contohnya, ada narasi bahwa perempuan memiliki kemampuan

analisa yang buruk, sedangkan laki-laki lebih berlogika dan

mempergunakan nalar, sehingga perempuan berpikir bahwa ia tidak bisa

melakukannya karena ia seorang perempuan, tanpa mencoba melatih

kemampuan analisanya.

Seberapa pentingnya representasi perempuan di depan publik dibuktikan

berdasarkan studi Ceci, William, dan Barnett tahun 2009, setengah lulusan

sarjana jurusan matematika di Amerika tahun 2001 adalah perempuan,

tetapi untuk jenjang Ph.D perempuan yang lulus hanya 29 orang. Salah

satu penyebabnya karena di level edukasi yang semakin tinggi di bidang

matematika, tantangan stereotip tersebut semakin berat, bidang tersebut

semakin didominasi oleh laki-laki. Dari hal ini, stereotip gender muncul,

bahwa laki-laki lebih pandai dalam hitungan dan logika yang membuat
perempuan semakin tidak cocok berada disana, dan merasa bahwa ia

seharusnya tidak ada disana.

Oleh karena itu, dalam bidang atau aspek manapun dibutuhkan sosok

panutan atau role model yang memiliki latar belakang dan cerita yang sama

sehingga bisa mendorong perempuan lain untuk bisa masuk di berbagai

bidang, perempuan juga bisa terhubung dan memvisualisasikan diri

mereka disituasi dan posisi yang sama.

Pemikiran atau mindset mendikotomikan perempuan versus laki-laki

sebaiknya ditinggalkan, karena sebagai sesama individu atau masyarakat,

kita seharusnya dapat mengoptimalkan potensi yang ada pada diri,

daripada menempatkannya di suatu kategori atau peran tertentu yang

akhirnya tidak memperbolehkan mereka mengekspresikan diri sendiri

sebagai manusia yang utuh.

(Shofwah Laily Maulidah,

Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Airlangga)

Anda mungkin juga menyukai