Anda di halaman 1dari 10

PAPER KEBERLANJUTAN & TANGGUNG JAWAB SOSIAL

PERUSAHAAN
Standar Keberlanjutan Sukarela dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

Disusun oleh :
Felicia Allegra Tanyla 202102010050
Jenifer Frenita 202102010012
Ng Kara Sevania 202102010023
Yovita 202102010048

Mata Kuliah: Keberlanjutan dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan –


Seksi A (Kampus Semanggi)

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI BISNIS DAN ILMU KOMUNIKASI


PROGRAM STUDI ADMINISTRASI BISNIS KAMPUS SEMANGGI
UNIVERSITAS KATOLIK ATMA JAYA JAKARTA
1. Pengantar
Voluntary Sustainability Standards (VSS) atau dalam kata lain “kriteria dalam
mendefinisikan sebuah lingkungan sosial dan lingkungan alam yang baik di dalam sebuah
industri maupun produk” sudah digunakan sejak lama dalam konteks evolusi global secara
berkelanjutan. Namun sejak hadirnya pemahaman mengenai Sustainable Development Goals
(SDGs), banyak organisasi maupun skema VSS kemudian mengadopsi pemahaman yang
merujuk pada SDGs. Walau VSS tidak secara eksplisit disebutkan dalam 17 SDGs, 169
target, dan 244 indikator SDGs, VSS tetap berhasil menjadi strategi implementasi SDGs
(sub)nasional. SDGs sendiri memiliki agenda utama untuk membuat transformasi di seluruh
dunia untuk meningkatkan kualitas hidup semua orang tanpa merusak planet.

2. Hubungan antara VSS dan SDGs


Kondisi yang ingin diperbaiki oleh VSS sebagian besar berhubungan dengan sesuatu
yang berkelanjutan, hal ini merupakan salah satu alasan mengapa VSS dan SDGs semakin
berhubungan. Secara sempit, dapat dikatakan bahwa VSS merupakan sebuah dokumen yang
berisi tentang persyaratan untuk menciptakan lingkungan sosial dan lingkungan alam yang
baik dalam praktik bisnis. Namun, diasumsikan jika VSS berkontribusi dalam implementasi
SDGs, persyaratan formal dan isu yang diperhatikan VSS harus sesuai dengan setidaknya
beberapa dari SDGs.
Secara umum, semua keadaan yang dijanjikan oleh proyek VSS untuk
diperbaiki—terkadang bahkan hanya dengan nama saja—semuanya terkait dengan berbagai
aspek kompetensi keberlanjutan. Akan ideal jika ada lebih banyak sinergi antara VSS dan
SDGs, yang telah mendapatkan popularitas dalam beberapa tahun terakhir di bidang politik,
bisnis, masyarakat sipil, dan masyarakat umum. Secara teori, konsumen dan perusahaan
pengguna akhir memilih komoditas yang diproduksi secara berkelanjutan untuk mendukung
pembangunan berkelanjutan di negara mereka sendiri serta di negara lain di sepanjang rantai
nilai global. SDG sangat sejalan dengan pendekatan ini.
VSS, adalah dokumen yang menguraikan semua spesifikasi perilaku etis perusahaan
dan tanggung jawab lingkungan dalam operasi bisnis. Produsen, pedagang, atau pengecer
harus menunjukkan bahwa mereka memenuhi persyaratan dalam audit sertifikasi/verifikasi
(biasanya pihak ketiga), yang merupakan praktik yang cukup susah, untuk menjadi/tetap
bersertifikat di bawah VSS. Meskipun demikian, diasumsikan bahwa agar VSS dapat
mendukung implementasi SDGs, setidaknya sebagian dari SDGs dan target yang terkait
dengan penyelesaian tantangan terkait harus dipenuhi.

1
VSS ditentukan oleh standar proses formal yang memadai dan sangat berbeda untuk
verifikasi, pemasaran, dukungan, modifikasi, dan tata kelola. Untuk setiap VSS dalam
database, bagian "proses" terpisah dari Peta Standar ITC menyajikan informasi tentang
beberapa komponen sistem dari standar ini. Dengan demikian dimungkinkan untuk
memasukkan rincian tertentu tentang proses resmi VSS ke dalam analisis kebutuhan VSS.
Tujuannya adalah untuk menentukan apakah persyaratan VSS atau kriteria proses tertentu
sesuai dengan satu, beberapa, atau tidak satu pun SDG sebagai langkah pertama.
Tabel 1 mencantumkan semua kategori persyaratan VSS dan kriteria proses dari Peta
Standar yang tampaknya memenuhi tujuan yang dipilih (SDG 7). Menurut data Peta Standar
2017, kinerja dari dua upaya VSS terpilih (ETP dan RSPO) dalam kategori ini ditampilkan di
sisi kanan tabel. Kondisi kedua hingga terakhir ("entitas yang bertanggung jawab atas biaya
implementasi") mungkin yang paling diperdebatkan, dan Tabel 1 juga menampilkan kisaran
interpretasi kausal yang dianggap dapat diterima untuk membangun VSS formal.
Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa setiap SDG hanya boleh memiliki maksimal
satu daftar dari satu persyaratan khusus atau kriteria proses (tetapi berkali-kali di seluruh 17
SDG, yang mencerminkan keterkaitan). Karena setiap SDG memiliki panjang dan
kompleksitas yang bervariasi, hasil keseluruhan untuk setiap SDG diberi bobot. Secara tidak
terduga ditemukan bahwa VSS, setidaknya di atas kertas, terkait dengan semua 17 SDG
ketika melihat tahap kedua analisis, yang merupakan rata-rata tertimbang persyaratan SDG
terkait VSS dan kriteria proses di semua 16 inisiatif VSS untuk setiap SDG.

2
3
Berdasarkan analisis data Peta Standar 2017, (Gbr.1) dihasilkan, bahwa sebagian
besar persyaratan dan prosedur yang sejalan dengan masing-masing SDG umumnya sesuai
oleh 16 skema, meskipun dalam tingkatan yang berbeda-beda. Gagasan ini diilustrasikan
dalam grafik di atas, yang menggunakan data untuk VSS beberapa komoditas sebagai nilai
orientasi (yaitu peringkat mengikuti urutan korespondensi SDGs per VSS beberapa
komoditas).

3. Dampak Penerapan VSS


Walaupun persyaratan dan proses VSS diterapkan sejalan dengan SDG namun VSS tetap
memiliki dampak berbahaya jika kriteria formal tidak diterapkan semua pihak (produsen,
manufaturer, s.d. retailer). Nyatanya VSS berfokus pada produsen tp lebih kurang
memperhatikan manufakturer dan retailer. Ini dapat mengurangi dampak yang ditargetkan
VSS.
Belakangan ini studi tentang VSS semakin berkembang. Bukan hanya mempelajari
jumlah produsen tersertifikasi dan market share dari produk tersertifikasi, sekarang studi VSS
mempelajari situasi sosioekonomi produsen dan komunitas serta kondisi lingkungan seputar
produksi. Cakupan studi yang semakin meluas ini merupakan keputusan penting. Pertama,
untuk melihat apakah standar formal VSS diterapkan secara benar dan berkelanjutan, serta

4
apakah benar-benar memiliki dampak. Kedua, mengobservasi apakah produk tersertifikasi
menjadikan harga jual lebih tinggi dan akses pasar yang lebih baik. Ketiga, untuk
mengidentifikasi apakah produsen, pekerja-pekerja, dan komunitas yang lebih miskin
mendapat manfaat dari penerapan VSS.
Sebagai contoh dari studi VSS yang telah diperluas, terdapat penelitian yang dilakukan
Committee on Sustainability Assessment (COSA) pada tahun 2013 terhadap coklat dan kopi
yang tersertifikasi di 12 negara. Penelitian tersebut menunjukan adanya dampak positif
terhadap ekonomi, sosial, dan lingkungan. Penelitian tersebut juga berhasil mengidentifikasi
kesamaan, yaitu sebagai biaya untuk mempelajari dan menerapkan VSS dibiayai oleh pihak
luar, seperti agen pembangunan.
Berikutnya ada pula penelitian yang lebih baru (Oya, Schaefer, Skalidou, McCosker, &
Langer 2017, p. vi) terhadap sektor agrikultur. Penelitian tersebut juga menunjukan bahwa
penerapan VSS membawa dampak baik terhadap produsen dan rumah tangganya, ditandai
dengan kenaikan harga produk, kenaikan laba, dan kenaikan pendidikan anak. Namun di sisi
lain penelitian tersebut juga membuktikan bahwa VSS membawa dampak negatif, seperti
penurunan upah pekerja serta efek tidak pasti terhadap hasil panen, kekayaan, dan kesehatan
produsen dan rumah tangganya.
Penelitian lain juga menunjukan VSS membawa dampak berupa meningkatnya
martabat, kepercayaan diri, kontrol, dan pilihan produsen; meningkatnya pendapatan rumah
tangga, aset, dan standar hidup produsen; meningkatnya kelestarian dan ketahanan
lingkungan terhadap perubahan iklim; serta meningkatnya pengaruh dan status produsen
kecil.
Ada pula penelitian yang dilakukan oleh Rainforest Alliance dan WWF pada tahun
2019. Penelitian tersebut membandingkan antara produk yang bersertifikasi VSS dan tidak
bersertifikasi. Hasilnya adalah 31% sampel pertanian bersertifikasi mendapat keuntungan
yang lebih banyak dibanding pertanian baisa, sementara keuntungan 69% lainnya sama atau
tidak berbeda signifikan. Diteliti pula tentang metode penggundulan hutan bersertifikasi,
dengan hasil tidak ada perbedaan antara area yang bersertifikasi dan tidak. Keduanya
sama-sama membawa dampak positif terhadap keberagaman flora dan fauna.
Dari penelitian-penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa dampak VSS paling terlihat
di sektor pertanian. Adposi standar organik dapat dilakukan dengan modal yang sama
dengan pertanian biasa, sementara harga jual meningkat. Akibatnya kesejahteraan petani
meningkat, sayangnya tidak demikian dengan kesejahteraan para pekerja. Terlihat pula bahwa
penerapan VSS perlu dibantu oleh pihak lain supaya dapat diakses oleh produsen kecil. Ini

5
dikarenakan produsen kecil lebih mendahulukan kepentingan untuk mencukupi kebutuhannya
dibanding biaya untuk mendapat sertifikasi.
Walaupun diciptakan untuk tujuan positif, seperti yang dikatakan di paragraf awal,
sayangnya VSS juga dapat membawa dampak negatif. Tentang sertifikasi produsen kecil,
masalahnya produsen besar sudah banyak yang memiliki sertifikasi. Mereka memiliki
kapasitas produksi yang lebih tinggi, serta akses ke pedagang, merek, dan pengecer. Jadi,
walaupun dengan penerappan VSS, produsen kecil tetap sulit bersaing dengan produsen besar.
Selain itu harga barang yang tersertifikat juga bergantung pada pasar, apa pembeli bersedia
membayar harga lebih mahal untuk produk bersertifikat dan kebanyakan tidak bersedia.
Upah yang buruk dan kondisi kerja pekerja tidak membaik di bawah sertifikasi juga
menjadi masalah. Pelanggaran hak asasi manusia (HAM), seperti fasilitas yang melanggar
standar keamanan, pekerja anak dibawah umur, dan jam lembur berlebihan tetap terjadi di
tempat bersertifikasi. Ini diakibatkan oleh auditor yang tidak dapat diandalkan. Walau mereka
adalah pihak ketiga, namun perusahaan audit dibayar oleh entitas yang memerlukan
sertifikasi. Akibatnya mereka melewatkan faktor-faktor yang tidak tercantum dalam
persyaratan sertifikat VSS secara resmi, HAM salah satunya.
VSS perlu diselaraskan dengan HAM. Untuk melindungi HAM, perusahaan harus sadar
akan tanggung jawab moral. Salah satunya dengan cara mempekerjakan karyawan secara
tetap. Pemberlakukan outsorce memang akan menekan biaya gaji dan dapat mengatur jam
kerja sesuai kebutuhan. Melakukan outsource juga dapat membuat perusahaan terlepas dari
tanggungjawab akan kesejahteraan pegawai. Namun, alangkah baiknya jika perusahaan dapat
merekrut karyawan secara tetap untuk melindungi HAM para pekerja.
Bukan hanya perusahahaan, para pekerja, pemegang kepentingan lainnya, bahkan
pemerintah dapat menegakan penerapan yang menyeleweng ini. HAM yang sekedar
“tanggung jawab” dapat berganti menjadi “kewajiban” bila pemerintah memberlakukan
hukum yang mengatur perusahaan. Ini dapat diterapkan agar entitas yang bersertifikasi VSS
bukan hanya mementingkan keberlanjutan lingkungan, tetapi juga keberlanjutan sosial.

4. Kesimpulan dan Rekomendasi


Dalam banyak hal, Voluntary Sustainability Standards berhubungan erat dengan
Sustainable Development Goals, tetapi ada juga kendala yang terjadi dilapangan terhadap
SDGs yang berhubungan dengan dampak kontribusi dan transformatif. Pada tingkat formal,
analisis semi-statistik dari data Peta Standar tahun 2017 menunjukkan berbagai
korespondensi antara kriteria VSS dan 17 SDGs (Bagian 2), menunjukkan bahwa persyaratan

6
terperinci dari banyak VSS mencakup berbagai aspek Agenda 2030. Terdapat area yang
kurang selaras, seperti pengentasan kemiskinan, perubahan iklim, kesehatan, serta gender.
Sebagian besar masalah ini, terdapat masalah lainnya yang tercakup dalam SDGs
(Sustainable Development Goals) yang berhubungan langsung dengan HAM.
Mengenai dampak di lapangan, peningkatan jumlah dan kualitas kajian merupakan
kabar yang baik dari dampak pembangunan berkelanjutan yang sederhana. Peningkatan
indikator sosial, ekonomi, dan lingkungan mungkin sulit untuk diukur dalam beberapa
konteks, tetapi kelihatannya juga ada ciri bahwa persyaratan formal seringkali tidak
dilaksanakan secara memadai oleh seseorang yang mendapatkan sertifikasi atau kurangnya
manfaat terhadap sertifikasi yang nyata, seperti harga jual yang lebih tinggi dan akses
terhadap pasar yang lebih baik. Banyaknya kasus kegagalan audit sosial yang termasuk dalam
konteks sertifikasi, seperti yang diberitakan untuk beberapa perkebunan kakao dan teh oleh
LeBaron (2018), atau dalam fitur Jones' dan Awokoya (2019) di pertanian tomat Italia, ini
menimbulkan keraguan serius apakah skema VSS dan audit yang dibutuhkan dapat
diungkapkan dan mengurangi pelanggaran HAM dan tenaga kerja. Jika masalah ini tidak
diselesaikan, dapat menghambat potensi dan dampak transformatif dari inisiatif Voluntary
Sustainability Standards, sehingga mengingat hubungannya yang saling menguatkan antara
HAM dan Sustainable Development Goals. Namun, karena VSS masih bertahan, sehingga
pemerintah, bisnis, dan masyarakat sipil saling terkait satu sama lain, dan dengan adanya
organisasi standar untuk memaksimalkan manfaat bersama dari sertifikasi sambil memitigasi
kekurangan dan perangkap serta mempromosikan alternatif, termasuk regulasi.
Dengan kemunculan uji tuntas perusahaan terhadap HAM dan lingkungan sebagai
standar praktik global untuk perilaku bisnis yang bertanggung jawab yang sejalan dengan
kewajiban HAM dan Sustainable Development Goals, harus mengetahui tentang peran yang
digunakan oleh skema Voluntary Sustainability Standards. Prioritas tanggung jawab uji tuntas
HAM dan lingkungan ada pada perusahaan tersebut, supaya dapat menghindari situasi yang
di mana tidak seorangpun yang bisa dimintai pertanggungjawaban. Dapat dijelaskan juga,
banyak bisnis yang ingin meningkatkan value terhadap HAM dan lingkungan hidup yang
terlalu bergantung pada inisiatif eksternal, termasuk VSS, sehingga tidak dapat memberikan
apa yang dijanjikan, terutama yang berkaitan dengan kegagalan yang mengungkap
pelanggaran HAM. Tetapi, melalui pengujian sertifikasi dan verifikasi, skema VSS ini
menyebutkan keterbatasan, dan perusahaan harus jelas tentang hal ini dan menginternalisasi
uji tuntas HAM dan lingkungan, mengintegrasikannya secara efektif ke dalam semua operasi
daripada melakukan outsourcing. Pada tingkat formal, skema VSS harus menyelaraskan

7
persyaratannya dengan semua HAM, yang dimana memperkuat keselarasannya dengan SDGs
karena ada hubungan yang erat. Pada tingkat praktis, harus dilakukan secara substansial
meningkatkan keandalan dan independensi pengujian sertifikasi dan verifikasi, melakukan
pemeriksaan tambahan, dan mempublikasikan hasil pengujian tersebut. Yang paling penting,
pengaruh pekerja dan pemegang hak lokal lainnya dalam rancangan standar, tata kelola,
penerapan dan jaminan perlu diperkuat secara kredibel.
Organisasi Voluntary Sustainability Standards, akademisi, masyarakat sipil, dan
pemerintah dapat berpeluang untuk pemantauan dampak pembangunan berkelanjutan yang
terintegrasi dari upaya implementasi VSS dan SDGs, memanfaatkan dan memperkuat upaya
global saat ini dalam kapasitas statistik dan ketersediaan data pembangunan berkelanjutan
yang lebih baik. Mencocokkan hasil pemantauan SDGs dengan data adopsi VSS di wilayah
tertentu dapat memberikan peluang biaya yang hemat untuk pemantauan dampak
berkelanjutan pada skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Untuk dampak
pembangunan yang lebih baik dan loyalitas HAM, masalah harga yang dijamin oleh sistem
standar (misalnya melalui dana yang di support oleh perusahaan akhir) adalah persyaratan
penting tentang praktik pembelian yang adil oleh perusahaan utama dan biaya hidup yang
benar-benar dipantau, termasuk untuk pekerja upahan dan pekerja lepas di produksi petani
kecil. Namun, kemajuan dalam hal ini maupun hal lainnya yang berhubungan dengan HAM
dan lingkungan tidak dapat diserahkan kepada inisiatif sukarela saja, tetapi memerlukan
peraturan uji tuntas wajib yang efektif bagi perusahaan.
Mempertimbangkan bahwa SDGs dibangun di atas HAM, dan bahwa uji tuntas HAM
dan lingkungan perusahaan berpotensi mewakili satu-satunya kontribusi bisnis terpenting
untuk pembangunan berkelanjutan, pemerintah harus mempromosikan peraturan uji tuntas
wajib di tingkat nasional, regional, dan global (PBB). Peraturan tersebut perlu memperjelas
bahwa tanggung jawab utama untuk uji tuntas ada pada perusahaan, dan oleh karena itu,
inisiatif eksternal tidak dapat menggantikan tetapi paling baik mendukungnya, jika di
reformasi secara fundamental.

8
Daftar Pustaka

Negi, A., & Pérez-Pineda, J. A. (2020). Sustainability Standards and Global Governance:
Experiences of Emerging Economies. Singapore: Springer.
Oya, Schaefer, Skalidou, McCosker, & Langer. (2017). Effects of Certification Schemes for
Agricultural Production on Socio-Economic Outcomes in Low-and Middle-Incone
Cuntries: a Systematic Review, vi.
Rainforest Alliance. (2019). Certification Impacts Report: Research Guide Our Way
Forward. Rainforest Alliance, 18.

Anda mungkin juga menyukai