Anda di halaman 1dari 14

DOI: 10.21776/ub.gramaswara.2022.002.01.

06

PENYUSUNAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN


(RPP) ABAD 21 UNTUK PARA GURU SMA NEGERI & SMK
NEGERI DI SURABAYA

Nukmatus Syahria
Universitas PGRI Adi Buana Surabaya
syahria@unipasby.ac.id

Ferra Dian Andanty


Universitas PGRI Adi Buana Surabaya

Salim Nabhan
Universitas PGRI Adi Buana Surabaya

Rahmat Setiawan
Universitas PGRI Adi Buana Surabaya

Abstract
This technical guidance activity was carried out with the aim of socializing the preparation of the
21st century Learning Implementation Plan because there are still many biases faced by teachers,
especially EFL teachers, related to changes in systems, learning media, and so on, plus, English is
increasingly crucial, so that the role of the EFL teacher must also be adjusted relevantly to the new
culture. The data in this study are the results of a questionnaire and the data source is the
questionnaire. The subjects are the participants of the technical guidance who are also EFL
teachers and EFL pre-service teachers. The instruments are 5 questions on Strengthening Education
Character, 5 questions on Literacy, and 5 questions on HOTS in the Learning Implementation Plan.
From the results of the activity, it can be concluded that EFL teachers and EFL pre-service teachers
are still not encouraged to strengthen education character but they have realized the importance of
literacy development and implementation of HOTS in the 21 st century Learning Implementation
Plan which is very relevant to technological and digital civilization.
Keywords: 21st century Learning Implementation Plan; Strengthening Education Character;
Literacy; HOTS; EFL Teachers

Abstrak
Kegiatan bimbingan teknis ini dilakukan dengan tujuan mensosialisasikan penyusunan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) abad 21 karena masih banyak bias yang dihadapi oleh para guru,
terutama para guru mata pelajaran Bahasa Inggris, terkait perubahan sistem, media pembelajaran,
dan lain sebagainya, mengingat Bahasa Inggris menjadi semakin krusial dan peran guru Bahasa
Inggris juga harus semakin disesuaikan sesuai peradaban saat ini. Data dalam penelitian ini adalah
hasil angket (questionnaire) dan sumber datanya adalah questionnaire. Subjek yang diambil adalah
para peserta bimbingan teknis dalam kegiatan ini yang notabene adalah pendidik dan calon pendidik
mata pelajaran Bahasa Inggris. Instrumen yang digunakan adalah 5 pertanyaan mengenai Penguatan
Pendidikan Karakter (PPK), 5 pertanyaan mengenai literasi, dan 5 pertanyaan mengenai HOTS
dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Dari hasil kegiatan, dapat dihasilkan bahwa para
60 | J u r n a l G r a m a s w a r a V o l . 2 N o . 1
pendidik dan calon pendidik mata pelajaran Bahasa Inggris masih belum terdorong untuk
melakukan Penguatan Pendidikan Karakter namun sudah menyadari pentingnya pengembangan
literasi dan implementasi HOTS pada Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) abad 21 yang
sangat relevan dengan peradaban teknologi dan digital.
Kata Kunci: RPP; PPK; Literasi; HOTS; Guru Bahasa Inggris

PENDAHULUAN
Pembelajaran Abad 21 adalah pembelajaran yang mengintegrasikan kemampuan digital
literasi dan berpikir kreatif dan kritis. Seperti yang diketahui, petualangan kurikulum 13
telah memasuki tahun keempat. Implementasi yang dilaksanakan setiap tahunnya juga
mengalami perkembangan dan inovasi. Digital literasi menjadi bagian terpenting dalam
sebuah proses pembelajaran yang berbasis teknologi dan internet. Pendidik dan peserta
didik yang dapat memahami dan mengimplementasikan kegiatan mengajar-belajar berbasis
teknologi dan internet akan mendapatkan pengalaman lebih dibanding dengan mode
tradisional/konvensional.
Di sisi lain, pembelajaran meletakkan dasar dan kompetensi diukur dengan urutan
LOTS menuju HOTS. Proses pembelajaran akan dimulai dari suatu hal sederhana menuju
hal kompleks. Evaluasi ini mendorong peserta didik pada peningkatan kompetensi menuju
pola pikir kritis. Dengan kemampuan berpikir kritis, peserta didik akan menjadi kreatif.
Kreatifitas mendorong sikap kolaboratif dan komunikatif. Kolaborasi dan komunikasi
membentuk jiwa sosial dan personal, sehingga karakter akan tumbuh selaras dengan
keilmuan dan kompetensi. Karakter seperti bertanggungjawab, bekerja keras, jujur, dan
moralitas lainnya, adalah hal yang tidak dapat begitu saja diabaikan. Tentu saja, proses
pendidikan harus bisa mengembangkan karakter dan kecakapan, baik pilar pendidikan atau
juga kecakapan yang dibutuhkan di Abad 21 untuk penngembangan profesi, kompetensi
guru, karakteristik pembelajaran, dan lain sebagainya. Unesco memberi empat pilar
pendidikan: Learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together
in peace.
Sosialisasi penyusunan RPP yang terintegrasi dengan Penguatan Pendidikan Karakter
(PPK), (digital) literasi, dan perangkat pembelajaran abad 21 (4C: Critical, Creativity,
Collaboration, Communication). Kegiatan sosialisasi ini juga merancang pembelajaran
mulai dari Low Order Thinking Skill (LOTS) menuju Higher Order Thinking Skill (HOTS)
dalam RPP. Sosialisasi penyusunan PPK, literasi, dan HOTS yang akan dilakukan
diorientasikan untuk mengembangkan pola pikir kritis dan karakter siswa di era digital
teknologi di abad 21. Tentu saja, guru sebagai pivotal point dalam mengimplementasi
kurikulum 2013 dan juga regulasinya pasti memerlukan pembekalan pemahaman,
keterampilan, dan kompetensi untuk beradaptasi dengan transformasi abad 21 yang berbasis
4C.

61 | J u r n a l G r a m a s w a r a V o l . 2 N o . 1
Dalam pengajaran abad 21, pendidikan menjadi krusial dalam menjamin keterampilan
peserta didik untuk belajar dan berinovasi, terutama keterampilan pemanfaatan teknologi
dan media informasi. Hal ini tentu bertujuan untuk membuat mereka dapat beradaptasi dan
meniti profesi. Paradigma pembelajaran abad 21 menitikberatkan pada kompetensi siswa
untuk berpikir kritis, lalu mengimplementasi pengetahuan pada realitas secara praktis, yang
mengamalgamasikan teknologi informasi komunikasi dan kolaborasi.
Capaian keterampilan tersebut akan berhasil dengan penerapan metode pembelajaran
yang relevan peradaban abad 21. Siswa harus dibekali Penguatan Pendidikan Karakter
(PPK) yang merujuk pada Iman & Taqwa, Nasionalisme, Kuriositas, Inisiatif, Gigih,
Adaptabilitas, Kepemimpinan, dan Kesadaran Sosial dan Budaya. Siswa juga harus dibekali
kompetensi literasi yang merujuk kemampuan Baca-Tulis, Berhitung, Literasi Sains,
Literasi Informasi Teknologi dan Komunikasi (TIK), Literasi Manajemen Finansial, dan
Literasi Budaya dan Kewarganegaraan. Terakhir, siswa harus dibekali dengan 4C
(Communication, Collaboration, Critical Thinking and Problem Solving, dan Creativity
and Innovation). Communication merujuk pada kemampuan untuk meningkatkan
kemampuan berbahasa yang komunikatif, sehingga menciptakan dialog dan penemuan
(discovery). Tentu saja, arahnya adalah pengembangan Informasi Teknologi. Collaboration
merujuk pada kemampuan bekerja dalam grup. Tentu saja, kemampuan ini adalah
kemampuan sosial dan psikologi karena untuk berkembangan kita membutuhkan orang lain
dan agar interaksi dengan orang lain dapat berjalan, kita membutuhkan manajemen ego
yang baik secara psikologis. Critical Thinking Skill merujuk pada kemampuan untuk
menemukan dan menguraikan masalah. Penemuan solusi atas masalah tersebut akan
menuntun pada solusi yang menjadi projek yang bermanfaat. Creativity merujuk
kemampuan untuk menjadi unik, berbeda, dan berdaya guna. Tentu saja, kreatifitas harus
dimanifestasikan dalam wujud produk (baik produk material ataupun nonmaterial), karena
hanya dengan produk, masyarakat dapat mengkonsumsi manfaatnya.
Inilah substansi atau esensi dari Kurikulum 2013; sosialisasi ini bukan sekadar transfer
materi, tetapi semacam penyuluhan penyusunan RPP yang berorientasi puncak pada 4C
yang akan menyempurnakan bidang pendidikan meliputi kurikulum, capaian kompetensi,
indikator kompetensi, pengembangan bahan dan media ajar, proses pembelajaran, metode
dan model pembelajaran, dan sistem evaluasi. Hal ini ditunjang oleh revisi kurikulum 2013
bahwa Rencana Pelasanaan Pembelajaran (RPP) diwajibkan mengintergrasikan literasi,
PPK dan HOTS. Dengan kata lain, komponen pembelajaran dan sumber belajar di sekolah
untuk mencapai kompetensi harus diimbangi dengan sikap (etika dan moral), pengetahuan
(kognisi), dan keterampilan praktis (Sulistyorini & Parmin 2017).
Yang mendasari sosialisasi ini adalah banyaknya penerapan dan pelaksanaan
pembelajaran di sekolah yang belum mengintegrasikan PPK, literasi, dan HOTS.
Pembelajaran masih menitik beratkan pada penyelesaian materi pelajaran, bukan pada
formasi pemahaman dan substansial materi kepada siswa. Permasalahan lainnya, guru dan
siswa hanya memanfaatkan sumber pembelajaran dari pemerintah. Padahal, untuk

62 | J u r n a l G r a m a s w a r a V o l . 2 N o . 1
menyesuaikan mode pembelajaran di abad ini, perlu adanya pemanfaatan variasi sumber,
media, dan bahkan bahan ajar yang mendukung proses pembelajaran. Ekstensi bahan ajar
ini adalah suatu mode inovatif yang memberi perluasan perspektif sehingga menumbuhkan
pola pikir kritis, pola pikir kreatif, dan berbagai potensi yang belum tergali.
Lebih jauh lagi, abad ke-21 merupakan abad yang berlandaskan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sehingga menuntut sumber daya manusia sebuah negara untuk menguasai
berbagai bentuk keterampilan, termasuk keterampilan berpikir kritis dan pemecahan
masalah dari berbagai permasalahan yang semakin meningkat. Salah satu upaya yang
dilakukan pemerintah saat ini adalah dengan menggulirkan kurikulum 2013 yang
merupakan kurikulum nasional dengan terus menerus diperbaharui agar selaras dengan
tuntutan global dan tidak menyimpang dari nilai- nilai luhur bangsa Indonesia (Sahidu, H,
Ahmad harjono, dkk, 2020).
Sejalan dengan itu, Reiser (2002) mengatakan bahwa dalam persiapan pembelajaran,
diperlukan desain pembelajaran yang mana berbentuk rangkaian prosedur sebagai suatu
sistem untuk pengembangan program pendidikan dan pelatihan secara konsisten dan
teruji. Dick & Carey (2005) menegaskan desain pembelajaran mencakup seluruh proses
yang dilaksanakan dengan pendekatan sistem. Desain sistem itu sendiri meliputi analisis,
desain, pengembangan, implementasi, dan evaluasi.
Era industri 4.0 yang ditandai dengan perubahan yang cepat akan aliran informasi dan
teknologi informasi yang memunculkan berbagai masalah secara massive memerlukan
kekuatan berpikir yang tinggi bagi individu untuk menyiapkan solusi akan persoal-persoalan
baru yang terus berkembang. Agar siswa kompeten dan siap menghadapinya, maka kita harus
melakukan perubahan besar dalam cara mengajar dan mengajak siswa belajar (Pasani, C.F,
2018). Dengan mengikuti tuntutan perkembangan sumber daya manusia yang harus
menguasai ketrampilan berfikir kritis dalam pemecahan permasalahan, diperlukan rancangan
pembelajaran inovatif dalam hal ini dapat dimaknai sebagai aktivitas persiapan pelaksanaan
pembelajaran yang menerapkan unsur-unsur pembelajaran terbaru di abad ke-21 dan
terintegrasi dalam komponen maupun tahapan pembelajaran yang akan dilaksanakan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Unsur-unsur pembelajaran terbaru yang dimaksud,
antara lain; TPACK (technological, pedagogical, content knowledge) sebagai kerangka dasar
integrasi teknologi dalam proses pembelajaran, pembelajaran yang berbasis neuro-science,
pembelajaran STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, and Mathematics), dan
unsur-unsur lain yang terintegrasi di dalam komponen dan tahapan pembelajarannya
(Sulastri,2020). Di sisi lainnya, orientasi Problem-based Learning, Project- Based
Learning, Cooperative Learning, Contextual Learning, Digital Learning, atau Blended
Learning adalah pilihan model pembelajaran yang sesuai diterapkan dalam pendekatan-
pendekatan tersebut yang mana kondisi saat ini pembelajaran tidak bergantung sepenuhnya
pada tatap muka, tetapi dikombinasi dengan penggunaan teknologi informasi berbasis web
atau online learning (daring) untuk mendukung kegiatan pembelajaran.

63 | J u r n a l G r a m a s w a r a V o l . 2 N o . 1
Pada konteks ini, penyusunan RPP abad 21 dilandaikan pada bidang pendidikan Bahasa
Inggris. Seperti yang diyakini semua orang, keterbukaan dunia global dan informasi, mau-
tak-mau, memaksa kita semua untuk menjadi lebih literasi dalam berbahasa Inggris dan
berkomunikasi dengannya. Dengan kata lain, para pelaku pendidikan Bahasa Inggris
memiliki tuntutan yang lebih agar menciptakan situasi dan media pembelajaran Bahasa
Inggris yang inovatif atau kreatif. Itu juga yang menjadi landasan krusialnya sosialisasi ini.
Para peserta sosialisasi ini adalah para pelaku pendidikan Bahasa Inggris, mulai dari
guru-guru Bahasa Inggris, pengajar privat Bahasa Inggris, pengajar LBB mata pelajaran
Bahasa Inggris, sampai mahasiswa-mahasiswi Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris.
Sebagai catatan, para guru yang mengikuti sosialisasi ini tergabung dalam MGMP gugus
Surabaya dan mereka adalah para guru aktif dan selalu responsif terhadap regulasi dan info
terkini terkait peningkatan kualitas pembelajaran Bahasa Inggris. Berdasarkan interaksi
sebelum materi disampaikan dalam kegiatan sosialisasi dengan para guru Bahasa Inggris
tersebut, mayoritas memang belum begitu memahami konsep mendasar penyusunan RPP
abad 21 dengan penyesuaiannya dengan PPK, (digital) literasi, dan HOTS, namun pasca,
namun pascapenyampaian materi, para guru sudah mulai memahami konsep dasar
pmengenai penyusunan RPP abad 21.
METODE PELAKSANAAN
Dalam kegiatan ini tim kegiatan melakukan sosialisasi ke MGMP gugus Surabaya dengan
menyesuaikan guru di sekolah sehingga tidak mengganggu pembelajaran. Kegiatan
pengabdian kepada masyarakat ini dilakukan dengan menggunakan metode yang meliputi:
1. Analisis kebutuhan, sebelum pelaksanaan pelatihan terlebih dahulu dilakukan observasi
permasalahan dengan cara mengadakan diskusi antara tim dan para guru, rekan dosen
senior yang menguasai di bidang penyusunan RPP. Tujuannya adalah membicarakan
tentang update perangkat pembelajaran yang relevan di gelombang industri digital kreatif
di abad ke-21 di lingkup mata pelajaran Bahasa Inggris gugus Surabaya;
2. Ceramah dan diskusi secara daring (online) via zoom yang disediakan oleh tim panitia.
Ceramah merujuk pada penyampaian materi melalui presentasi dan diskusi penjelasan
secara komprehensif mengenai tema kegiatan, tujuan kegiatan, dan hal-hal baru yang
diperkenalkan pada peserta. Tentu saja, isi pokoknya mengenai penjelasan mengenai
konsep regulasi kurikulum 2013, konsep literasi, PPK, dan juga HOTS yang diadaptasikan
dengan kondisi dan situasi peradaban saat ini (yang berbasis teknologi, informasi, dan
komunikasi);
3. Membimbing para peserta yang mayoritas adalah para guru Bahasa Inggris untuk mengkaji
materi dan contoh-contoh;
4. Membuka ruang diskusi (tanya dan jawab) spasca penyampaian materi; dan
5. Penarikan kesimpulan dan evaluasi. Ini merupakan bagian akhir untuk memberikan
pemahaman tentang proses yang telah dilakukan, tujuan, dan manfaatnya sehingga dapat
meningkatkan keterampilan dalam menyusun RPP mata pelajaran Bahasa Inggris yang
relevan dengan peradaban abad ke-21.
64 | J u r n a l G r a m a s w a r a V o l . 2 N o . 1
Dalam gambaran yang lebih sederhana, metode pelaksanaan dapat dilihat pada kerangka
atau bagan yang tersedia di bawah ini.
MULAI

Observasi Lapangan

Susunan Rancangan Kebutuhan Media daring Perijinan dan persiapan kegiatan.

Pelaksanaan Pengabdian
Pelatihan dan
evaluasi penyusunan
rencana perangkat Tercapai Tujuan Pengabdian Kepada Masyarakat
pembelajaran
inovatif abad ke-21)
Evaluasi/Pemantauan periodik dan Tindak Lanjut

Bagan 1. Metode pelaksanaan

Di sisi lain, data dalam penelitian ini adalah angka dan persentase dari angket
(questionnaire) yang diberikan oleh tim kepada para peserta. Selain itu, ada tambahan data
yang berupa screenshot kegiatan. Dengan kata lain, Teknik pengumpulan data adalah
questionnaire (pemberian angket) yang bertumpu pada orientasi rentang jawaban Tidak Setuju
(TS), Kurang Setuju (KS), Setuju (S), dan Sangat Setuju (SS). Teknik analisis data
menggunakan konten analisis.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ada dua bagian yang dibahas dalam bagian ini. Yang pertama adalah hasil dari sosialisasi
dan yang kedua adalah pembahasan terhadap hasil yang sudah ditemukan.
HASIL
Kegiatan sosialisasi atau bimbingan teknis dilakukan dengan pola presentasi lalu diikuti
oleh sesi tanya jawab secara langsung. Akan tetapi, yang digunakan sebagai data di sini adalah
hasil angket (questionnaire) yang diberikan oleh tim kepada para peserta. Ada tiga angket yang
diberikan kepada para peserta. Yang pertama mengenai Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)
dalam konteks guru, literasi dalam konteks penguatan pemahaman siswa, dan perangkat
pembelajaran abad 21 dalam konteks 4C. Dari hasil angket pertama, di dapatkan pola yang
tergambar dalam tabel berikut ini.

65 | J u r n a l G r a m a s w a r a V o l . 2 N o . 1
Tabel 1. Hasil angket pertama
Jawaban 139 Responden
No. Pertanyaan/Pernyataan (Peserta)

TS KS S SS

1. Seorang guru tidak perlu tahu tentang kalender Pendidikan. 109 20 3 4

2. Semua minggu dalam kalender dapat dianggap sebagai minggu efektif yang
53 40 40 4
dapat digunakan untuk KBM.

3. Prinsip pemetaan Kompetensi Dasar berdasarkan tingkat urgensi dan


5 10 100 23
kesulitan.

4. Menganalisis materi/KD dari yang sulit ke mudah. 32 42 55 9

5. Menyusun program tahunan dan semester bukan tugas guru. 87 38 10 2

Dari tabel yang dipaparkan di atas, dapat dilihat bahwa mayoritas guru tidak perlu tahu
tentang kalender pendidikan. Selain itu, bagi para peserta (pelaku akademik) menganggap
bahwa semua minggu dalam kalender tidak dapat dianggap sebagai minggu efektif yang dapat
digunakan untuk KBM. Akan tetapi, mayoritas para pelaku menyeutujui dan bahkan sangat
menyetujui bahwa prinsip pemetaan Kompetensi Dasar (KD) harus didasarkan pada tingkat
urgensi dan kesulitan yang dihadapi oleh para siswa-siswi. Para pelaku akademik, sebaliknya,
tidak menyetujui bahwa analisis materi atau Kompetensi Dasar diarahkan dari sulit ke mudah.
Dengan kata lain, mereka melihat bahwa analisis materi atau Kompetensi Dasar diarahkan dari
mudah ke sulit. Para pelaku juga tidak menyetujui bahwa tugas guru bukan Menyusun program
tahunan dan semester. Jika itu adalah hasil dari angket mengenai Penguatan Pendidikan
Karakter (PPK) dalam konteks guru, maka berikut ini adalah hasil angket dari literasi dalam
konteks penguatan pemahaman siswa yang tertuang dalam tabel berikut.

Tabel 2. Hasil angket literasi


Jawaban 139 Responden
No. Pertanyaan/Pernyataan (Peserta)
TS KS S SS
1. Asesmen Nasional berbasis Asesmen Kompetensi Minimum mengukur/
17 12 94 15
menilai penguasaan semua mata pelajaran yang ditempuh peserta didik.
2. Literasi Digital merupakan salah satu kompetensi yang diases oleh
Asesmen Nasional (AN) berbasis Asesmen Kompetensi Minimum (AKM 2 8 106 22
).
3. Dalam AN berbasis AKM, seluruh peserta didik wajib mengikutinya 22 31 70 15
4. Indikator pemahaman peserta didik mengenai materi bacaan, di antaranya
yaitu: kemampuan menetapkan tema, ide pokok, makna kosa kata sulit/
2 1 97 38
baru, referensi, menemukan informasi rinci tersurat & tersirat,
menceritakan kembali isi materi bacaan dengan kata-katanya sendiri.
5. Pada Literasi Membaca, bentuk-bentuk soal membaca pemahaman
(Reading Comprehension) dalam AN berbasis AKM adalah: Multiple
2 1 91 44
Choice, Complex Multiple Choice, Matching, Filling in the Blanks
(Completion), dan Short Essay.

66 | J u r n a l G r a m a s w a r a V o l . 2 N o . 1
Dari tabel yang dipaparkan di atas, dapat dilihat bahwa para pelaku pendidikan menyetujui
Asesmen Nasional berbasis Asesmen Kompetensi Minimum dapat mengukur atau menilai
penguasaan semua mata pelajaran yang ditempuh peserta didik. Selain itu, mereka juga
menyetujui bahwa Literasi Digital merupakan salah satu kompetensi yang harus diases oleh
Asesmen Nasional (AN) berbasis Asesmen Kompetensi Minimum (AKM). Akan tetapi, ada
marjin tipis yang menyetujui dan yang tidak menyetujui bahwa dalam AN berbasis AKM,
seluruh peserta didik wajib mengikutinya. Selanjutnya, mayoritas para pelaku pendidikan
nampak menyetujui secara telak bahwa indikator pemahaman peserta didik mengenai materi
bacaan harus meliputi kemampuan menetapkan tema, ide pokok, makna kosa kata sulit/baru,
referensi, menemukan informasi rinci tersurat & tersirat, menceritakan kembali isi materi
bacaan dengan kata-katanya sendiri. Angka ini juga serupa pada pernyataan berikutnya. Para
pelaku pendidikan menyetujui bahwa pada Literasi Membaca, bentuk-bentuk soal membaca
harus meliputi pemahaman (Reading Comprehension) dalam AN berbasis AKM mewujud
dalam Multiple Choice (pilihan ganda), Complex Multiple Choice, Matching, Filling in the
Blanks (Completion), dan Short Essay. Jika itu adalah hasil dari angket mengenai literasi dalam
konteks penguatan pemahaman siswa, maka berikut ini adalah hasil angket dari perangkat
pembelajaran abad 21 dalam konteks 4C yang tertuang dalam tabel berikut.
Tabel 3. Hasil angket literasi
Jawaban 139 Responden
No. Pertanyaan/Pernyataan (Peserta)
TS KS S SS
1. Dalam rangka untuk menyusun visi dan rencana strategis pembangunan
pendidikan nasional maka diperlukan suatu pemahaman mengenai
1 3 66 68
kecakapan di abad 21 dan implementasinya di dalam konteks
pembelajaran.
2. Dalam menyusun RPP abad 21, hendaknya hanya mempertimbangkan
75 42 18 3
unsur PPK dan Literasi saja tidak perlu memasukkan unsur HOTS.
3. Memberi kesempatan siswa untuk belajar menjadi pemimpin merupakan
1 0 75 62
salah satu contoh penguatan karakter.
4. Pada penerapannya dalam pembelajaran guru dan peserta didik dapat
bekerja sama mendesain proyek, merancang perencanaan proyek dan 6 6 90 36
menyusun jadwal.
5. Model pembelajaran problem based learning berlandaskan pada psikologi
kognitif, sehingga fokus pengajaran tidak begitu banyak pada apa yang
12 33 79 14
sedang dilakukan siswa, melainkan kepada apa yang sedang mereka
pikirkan pada saat mereka melakukan kegiatan itu.

Dari tabel yang dipaparkan di atas, dapat dilihat bahwa para pelaku pendidikan menyetujui
bahwa, dalam rangka untuk menyusun visi dan rencana strategis pembangunan pendidikan
nasional, diperlukan suatu pemahaman mengenai kecakapan di abad 21 dan implementasinya
di dalam konteks pembelajaran. Akan tetapi, para pelaku pendidikan tidak menyetujui bahwa
dalam menyusun RPP abad 21 hanya perlu mempertimbangkan unsur PPK dan Literasi saja,
tanpa memasukkan unsur HOTS. Dengan kata lain, mereka meyakini bahwa HOTS adalah hal
yang krusial untuk dimasukkan dalam penyusunan RPP abad 21. Selain itu, mereka menyetujui

67 | J u r n a l G r a m a s w a r a V o l . 2 N o . 1
bahwa memberi kesempatan siswa untuk belajar menjadi pemimpin merupakan salah satu
contoh penguatan karakter. Ditambah, mereka menyetujui bahwa dalam penerapan
pembelajaran, guru dan peserta didik harus bekerja sama mendesain proyek, merancang dan
perencanaan proyek, dan juga menyusun jadwal. Dengan kata lain, ada nilai kolaboratif yang
ingin ditekankan oleh para pelaku pendidikan. Mereka juga menyetujui bahwa model
pembelajaran problem-based learning harus dilandaskan pada psikologi kognitif, sehingga
fokus pengajaran tidak begitu banyak pada apa yang sedang dilakukan siswa, melainkan pada
apa yang sedang mereka pikirkan pada saat mereka melakukan kegiatan itu.
Selain hasil dari angket, ada hal yang juga perlu dipaparkan dalam bagian ini: dokumentasi
kegiatan yang merupakan bentuk validitas kegiatan bimbingan teknis atau sosialisasi ini.

Gambar 1. Pemaparan materi

Terlihat bahwa kegiatan bimbingan teknis atau sosialisasi ini dilakukan secara daring
melalui aplikasi Zoom namun tidak menghalangi proses pemaparan materi yang dibentuk
dalam Power Point. Jumlah peserta juga mencapai 180an dan dikarenakan koneksi (sehingga
yang tertangkap layar hanya 136 perseta), para peserta beralih di YouTube program studi
Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas PGRI Adi Buana. Link YouTube (yang pada saat acara
ditayangkan secara langsung) bimbingan teknis atau sosialisasi ini dapat diakses di
https://www.youtube.com/watch?v=HCpw1f7NAQs.

68 | J u r n a l G r a m a s w a r a V o l . 2 N o . 1
Gambar 2. Pemaparan materi
Gambar di atas menunjukkan adanya sesi tanya jawab yang dilakukan oleh para peserta
dan kemudian dijawab oleh penyaji materi secara langsung sehingga kegiatan berjalan dua arah
(antara penyaji materi dan peserta). Tentu saja, sesi ini sangat membantu para peserta untuk
memahami dengan lebih jelas meski jumlah peserta yang bertanya dibatasi karena alasan waktu
yang singkat.
PEMBAHASAN
Dari hasil yang sudah dipaparkan di atas, pada aspek Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)
dalam konteks guru, terlihat bahwa jawaban mayoritas guru mengenai tidak perlu tahunya
mereka tentang kalender pendidikan menguraikan masalah. Guru seharusnya mengetahui
kalender akademik karena mereka adalah pelaku yang secara aktif harus paham betul jadwal
dan perencanaan. Jawaban para peserta (pelaku akademik) yang menganggap bahwa semua
minggu dalam kalender tidak dapat dianggap sebagai minggu efektif yang dapat digunakan
untuk KBM. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan peradaban saat ini, di mana
teknologi, informasi, internet, dan lain sebagainya membuat ruang dan waktu menjadi sangat
fleksibel. Artinya, setiap waktu dapat menjadi hal yang efektif selama itu diimplementasikan
dengan tepat. Belajar sudah tidak terpaku pada jam pelajaran di dalam kelas (baik daring
ataupun luring), kita semua dapat mengakses berbagai informasi dari internet, sehingga
perspektif ini yang perlu di-upgrade. Para pelaku yang menyeutujui bahwa prinsip pemetaan
Kompetensi Dasar (KD) harus didasarkan pada tingkat urgensi dan kesulitan yang dihadapi
oleh para siswa-siswi. Tentu hal ini tepat karena urgensi adalah masalah dan esensi utama dari
pendidikan adalah menciptakan generasi yang mampu mengatasi masalah yang selalu tumbuh
di tiap peradaban. Selain itu, analisis materi atau Kompetensi Dasar harus diarahkan dari
mudah ke sulit. Karena Proses selalu dimulai dari yang mudah menuju yang sulit. Pola level
seperti ini sangat tepat diperlakukan bagi pembelajar. Jika harus dibalik, dari sulit ke mudah,
ke depannya akan menumbuhkan sikap lalai, acuh, dan arogan karena sudah melewati bagian
tersulit, dan melakukan hal yang mudah akan memicu sifat untuk meremehkan, Tentu, secara
moril, hal ini tidak begitu baik. Jawaban bagi para pelaku akademik untuk tidak menyetujui
bahwa tugas guru bukan menyusun program tahunan dan semester juga menjadi gambaran
69 | J u r n a l G r a m a s w a r a V o l . 2 N o . 1
bahwa guru masih terjebak dengan nostalgia definisi guru yang konvensional. Guru sudah tidak
cukup relevan untuk didefinisikan dalam kredo khas digugu lan ditiru. Guru sudah bukan lagi
pusat pembelajaran. Guru adalah mediator. Untuk menjadi mediator, guru harus tahu
penyusunan program tahunan dan semester, karena mereka adalah pelaku yang ada di dalam
lapangan (kelas), dan lebih mengenal kebutuhan siswa-siswi, sehingga ada banyak variasi,
inovasi, dan kontekstualisasi yang harus diimplementasikan oleh guru.
Di sisi lain, hasil dari angket literasi dalam konteks penguatan pemahaman siswa cukup
berbeda dari sebelumnya. Hasil angket yang kedua ini menunjukkan bahwa dalam konteks
literasi, para pelaku pendidikan sangat menyadari pentingnya (digital) literasi dalam upaya
mendongkrak kompetensi. Literasi harus dipahami sebagai kemampuan membaca dan menulis.
Membaca untuk mendapatkan pengetahuan, menulis untuk mengimplementasikan
pengetahuan. Secara historis, sejarah ketertarikan terhadap konsep literasi dapat dibagi
menjadi dua periode. Pertama adalah periode sebelum tahun 1950, ketika literasi dipahami
semata-mata sebagai literasi alfabetis (pengenalan kata dan huruf). Kedua, periode setelah
1950, ketika literasi perlahan mulai dianggap sebagai konsep dan proses yang lebih luas,
termasuk aspek sosial dan budaya membaca dan menulis (Gee, 1991).
Tentu saja, perluasan konsep tradisional keaksaraan atau literasi terjadi ketika konsensus
muncul di kalangan akademisi di bidang studi penelitian pendidikan dan linguistik
antropologis, bahwa tidak masuk akal untuk berbicara tentang membaca atau menulis di luar
beberapa konteks tertentu (Gee, 1989). Dengan kata lain, membaca dan menulis tidak pernah
bisa dilepaskan dari unsur-unsur sosial dan budaya (Beach, Green, Kamil, & Shanahan, 2005;
Sitwe, 2018; Lindquist, 2015; & Knobel, 1999). Akan tetapi, efek akuisisi literasi pada kognisi
dan hubungan sosial tidak mudah diprediksi karena untuk menangani masalah membaca dan
menulis harus mengetahui akar identitas dan konsepsi pengetahuan (Street, 1984 & 2000).
Meningkatnya masyarakat yang ter-literasi, akan meningkatkan kompetensi suatu bangsa di
segala bidang, tidak terkecuali di masalah teknologi dan industri digital saat ini. Digital dan
adaptasinya adalah suatu kemutlakan; kita menyebutnya digital literasi (melek digital).
Dengan menyetujui bahwa Literasi Digital merupakan salah satu kompetensi yang harus
diases oleh Asesmen Nasional (AN) berbasis Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) maka
ini menunjukkan bahwa para pelaku pendidikan menyadari adanya suatu transformasi ekstrim
dan masif: dunia digital dan bagaimana itu menyusup di sistem pendidikan dan proses
pembelajaran siswa-siswi. Dunia digital hanyalah transformasi budaya dan dalam transformasi
itu, substansi literasi untuk memberi wawasan cerdasa dan bijak harus tetap digalangkan. Hasil
dari mayoritas para pelaku pendidikan yang nampak menyetujui secara telak bahwa indikator
pemahaman peserta didik mengenai materi bacaan harus meliputi kemampuan menetapkan
tema, ide pokok, makna kosa kata sulit/baru, referensi, menemukan informasi rinci tersurat &
tersirat, menceritakan kembali isi materi bacaan dengan kata-katanya sendiri, menunjukkan
bahwa dunia digital tidak menghapus peran bacan mulai kosa kata sampai kalimat, mulai angka
sampai statistik, dan lain sebagainya. Meski ada Google, siswa harus dapat membaca dengan
tepat sehingga informasi menjadi berdaya guna. Meski ada mesin penghitung, siswa-siswa

70 | J u r n a l G r a m a s w a r a V o l . 2 N o . 1
wajib memiliki numerik literasi untuk menunjang aspek kehidupan dalam berlogika dan
mengkalkulasi apapun. Para pelaku pendidikan menyetujui bahwa pada Literasi Membaca,
bentuk-bentuk soal membaca harus meliputi pemahaman (Reading Comprehension) dalam AN
berbasis AKM mewujud dalam Multiple Choice (pilihan ganda), Complex Multiple Choice,
Matching, Filling in the Blanks (Completion), dan Short Essay. Jawaban ini menyiratkan
bahwa peserta didik harus diberi variasi soal agar tidak terpaku pada satu koridor atau akses
pembelajaran.
Di bagian terakhir, hasil angket dari perangkat pembelajaran abad 21 dalam konteks 4C
menunjukkan bahwa para pelaku pendidikan menyetujui bahwa dalam rangka untuk menyusun
visi dan rencana strategis pembangunan pendidikan nasional, diperlukan suatu pemahaman
mengenai kecakapan di abad 21 dan implementasinya di dalam konteks pembelajaran. Akan
tetapi, para pelaku pendidikan tidak menyetujui bahwa dalam menyusun RPP abad 21 hanya
perlu mempertimbangkan unsur PPK dan Literasi saja, tanpa memasukkan unsur HOTS.
Dengan kata lain, mereka meyakini bahwa HOTS adalah hal yang krusial untuk dimasukkan
dalam penyusunan RPP abad 21. Dari tiga jawaban atas tiga pernyataan yang diajukan, para
guru menyadari pentingnya HOTS. Ini bukan hanya mengenai bagaimana mendidik sikap dan
meningkatkan kognitif, melainkan juga mempertajam siswa-siswi dengan pengetahuan,
mempersenjatai siswa-siswi dengan pertanyaan-pertanyaan kritis, mendorong mereka untuk
dapat menganalisis, mengevaluasi, dan diakhir dengan menciptakan suatu produk, baik produk
material ataupun nonmaterial. Proses kreasi (atau mencipta ini) merupakan akumulasi dari
HOTS. Berpikir kritis dalam menganalisis dan mengevaluasi dan mengkreasikan sesuatu
sebagai agenda solutif bagi sevagal permasalahan. Selain itu, mereka menyetujui bahwa
memberi kesempatan siswa untuk belajar menjadi pemimpin merupakan salah satu contoh
penguatan karakter. Tentu ini bukan hal yang mengejutkan mengingat pembentukan karakter
bukan hanya disabotase oleh orang tua dan guru, melainkan sistem dan pola pendidikan di
sekolah dapat membentuk karakter mereka. Dalam dua pernyataan terakhir, mereka menyetujui
bahwa 1) dalam penerapan pembelajaran, guru dan peserta didik harus bekerja sama mendesain
proyek, merancang dan perencanaan proyek, dan juga menyusun jadwal, artinya, ada nilai
kolaboratif yang ingin ditekankan oleh para pelaku pendidikan, dan 2) model pembelajaran
problem-based learning harus dilandaskan pada psikologi kognitif, sehingga fokus pengajaran
tidak begitu banyak pada apa yang sedang dilakukan siswa, melainkan pada apa yang sedang
mereka pikirkan pada saat mereka melakukan kegiatan itu. Kedua persetujuan mereka
mengenai perkembangan jiwa sosial untuk menumbuhkan sisi kolaboratif dengan problem-
based learning menunjukkan bahwa [ara guru sudah menyadari dan siap bahwa ada diseminasi
poros pengetahuan. Guru sudah bukan lagi poros utama, melainkan jembatan yang
menghubungkan siswa-siswi dalam perjalanan memaksimalkan potensi mereka yang tidak
dapat distandardisasi oleh bidang pengetahuan guru saja. Kolaborasi akan membantu akselerasi
kemajuan dalam menguraikan masalah yang digagas pada poin problem-based learning.

71 | J u r n a l G r a m a s w a r a V o l . 2 N o . 1
SIMPULAN
Hasil dan diskusi dari angket yang didapat pada kegiatan sosialisasi atau bimbingan teknis
“Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (Rpp) Abad 21 Untuk Para Guru SMA
Negeri & SMK Negeri di Surabaya” menunjukkan ada suatu pola. Pada angket yang pertama,
mengenai Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), para pelaku pendidikan nampak masih
kurang memiliki atau terdorong untuk memiliki penguatan pendidikan karakter. Di sisi lain,
dalam angket mengenai literasi, para pelaku menyadari pentingnya literasi bagi siswa-siswi
dan tentu saja, dalam penyusunan RPP, silabus, dan lain sebagainya dalam bingkai sistem
pembelajaran. Wawasan serta kesadaran ini juga menyiratkan hal bahwa siswa-siswi juga
masih rendah tingkat literasinya. Pada angket yang ketiga mengenai perangkat pembelajaran
abad 21 dalam konteks 4C, para pelaku pendidikan juga menyadari bahwa HOTS dalam
penyusunan RPP abad 21, yang serba digital dan teknologi, adalah esensi yang tidak dapat
disingkirkan: teknologi dan dunia digital hanyalah media, dan kompetensi berpikir kritis akan
membawa teknologi dan dunia digital pada peradaban yang lebih baik, bukan sebaliknya.

DAFTAR PUSTAKA

Beach, R., Green, J., Kamil, M., & Shanahan, T. (2005). Multidisciplinary Perspectives on Literacy Research
(Edisi ke-2). Cresskill, NJ: Hampton P.

Dick, W., & Carey, L. (2005). The systematic design of instruction (Edisi ke-6). New York, NY: Harper
Collin.

Gee, J. P. (1989). “Literacy, Discourse, and Linguistics: Introduction”. Journal of Education. 171 (1): 5–17.

Gee, J. P. (1991). “Socio-Cultural Approaches to Literacy (Literacies)”. Annual Review of Applied


Linguistics. 12: 31-48.

Kemendikbud. (2018). Perubahan Atas Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 24 Tahun
2016 Tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Pelajaran Pada Kurikulum 2013 Pada
Pendidikan Dasar Menengah. Jakarta: Kemendikbud

Knobel, M. (1999). Everyday Literacies: Students, Discourse, and Social Practice. New York, NY: Peter
Lang Publishing.

Lindquist, Julie. (2015). “Literacy”. Dalam Paul Heilker and Peter Vandenberg (eds.). Keywords in Writing
Studies. Logan: Utah State University Press.

Pasani, C.F, (2018). “TPACK Untuk Mengembangkan HOTS dan Berbagai Literasi”. Diakses dari
http://eprints.ulm.ac.id/4007/1/1.pdf.

Reiser, R. A. & Dempsey, J. (eds.). (2002). Trends and Issues in Instructional Design and Technology. Upper
Saddle River, NJ: Merrill-Prentice Hall

Sahidu, H, Ahmad harjono, dkk, (2020). “Pelatihan Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Abad
21 di MA Manbaul Bayan Sakra – Lombok Timur”. Jurnal Pengabdian Masyarakat Sains Indonesia
Vol. 2, No.1, 2020

72 | J u r n a l G r a m a s w a r a V o l . 2 N o . 1
Sitwe, B. M. (2018). “Literacy versus Language: Exploring their Similarities and Differences”. Journal of
Lexicography and Terminology. 2 (1): 37–55 [38].

Street, B. (2000) “Introduction” dalam Street, B. (ed.). Literacy and Development: Ethnographic
Perspectives. London, Routledge.

Street, B. V. (1984). Literacy in Theory and Practice. Cambridge: Cambridge University Press

Sulastri, E., (2020). “Perancangan Pembelajaran Inovatif”. Diakses dari


https://www.sman1sindangbarang.sch.id/post/read/163/perancangan-pembelajaran-inovatif-oleh-
elis-sulastri-spd-guru-bahasa-inggris-umum-kelas-x-dan-inggris-lm-kelas-xii-ipa-tahun-pelajaran-
20202021.html

Tim Penyusun Modul. (2018) Rencana Pelaksanaan Pembelajaran. Modul Pelatihan Kurikulum 2013
Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI). Jakarta: Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan.

73 | J u r n a l G r a m a s w a r a V o l . 2 N o . 1

Anda mungkin juga menyukai