Anda di halaman 1dari 5

DESAIN PEMBELAJARAN MULTILITERASI BERBASIS KONSEP TRINGO

DALAM PEMBELAJARAN MENULIS


Muhammad Zidni Ilman Nafi’a – 200121849213

Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah cara orang dalam
berkomunikasi dan bersosialisasi yang juga perlu diikuti dengan suatu perubahan dan
penyesuaian dalam pembelajaran literasi. Melalui budaya literasi, diharapkan para generasi
bangsa mampu menjadi pribadi yang lebih luas wawasan keilmuan dan pengetahuannya serta
mampu berpikir dengan baik dalam menghadapi berbagai situasi dan permasalahan dalam
kehidupan. Namun upaya membudayakan literasi tampaknya mengalami kendala dalam
proses pembelajaran menulis. Hal ini disebabkan karena kegiatan menulis melibatkan
beberapa aspek penting yang diperlukan selama kegiatan menulis berlangsung, misalnya
tingkat pengetahuan linguistik, ketentuan dalam menulis, kosa kata dan tata bahasa (Erkan &
Saban, 2011).
Dalam penelitiannya, (Rokhayati, 2014) membuktikan bahwa masih banyak pebelajar
yang mengalami kesulitan dalam proses menulis, diantaranya beberapa pebelajar yang
memiliki ide namun kesulitan menuangkannya dalan sebuah tulisan yang baik, ada juga yang
memiliki kemampuan menulis dengan baik namun kesulitan menyusun gagasannya, sehingga
hasil tulisan menjadi kurang optimal. Fakta lain terkait permasalahan dalam proses menulis
juga diungkapkan (Zaini, 2014) bahwa secara umum kemampuan pebelajar dalam menulis
masih rendah. Bagaimanapun juga menulis menjadi suatu ketermapilan yang membutuhkan
pemikiran secara kritis bagi pebelajar ataupun penulis pada umumnya sebagai sebuah tugas
akademik atau lebih jauh lagi sebagai kecakapan hidup (Swandi, 2017).
Menurut (Dalman, 2016) menulis merupakan kegiatan komunikasi berupa
penyampaian pesan atau informasi secara tertulis kepada pihak lain dengan menggunakan
bahasa tulis sebagai alat atau perantaranya. Menulis juga merupakan salah satu cata untuk
membantu pebelajar dalam meningkatkan pengetahuannya (Sukardi, 2012). Sehingga bisa
disimpulkan bahwa menulis merupakan kegiatan yang rumit dan mensyaratkan seorang
pebelajar untuk mencurahkan idenya, mempertajam kemampuan analisa dan membuat
perbedaan yang akurat dan valid.
. Menurut (Abidin, 2015) salah satu pembelajaran yang dapat digunakan dalam
meningkatkan kemampuan menulis pada pebelajar adalah model yang dikembangkan
berdasarkan konsep multiliterasi. The Partnership for 21st Century Skills (Triling dan Fadel
dalam yunus abidin, 2015) membuat rumus belajar abad ke 21 sebagai berikut 3Rs X 7Cs =
21st Century Learning. Rumus belajar abad ke-21 inilah yang pada akhirnya menjadi embrio
lahirnya konsep multiliterasi, yaitu bahwa selurug kompetensi yang dibutuhkan abad ke-21
dapat dikembangkan secara optimal melalui kegiatan multiliterasi. Pembelajaran multiliterasi
merupakan sebuah rancangan proses pembelajaran yang menawarkan pebelajar agar memiliki
kesempatan yang cukup untuk mengakses, mencari, menyotir, membaca, dan mengumpulkan
informasi dalam beragam media dan berbagai sumber serta mengajaknya untuk berkolaborasi
secara real dan virtual dalam upaya memproduksi dan mempublikasikannya kepada orang
lain berdasarkan tujuan tertentu (Borsheim et al., 2008).
Dalam pandangan (Marocco, 2008) padat dikatakan bahwa rumus pembelajaran
multiliterasi adalah 4 Kt X 10 Ks = Pembelajaran Multiliterasi (Abidin, 2015). Rumus
tersebut merupakan kombinasi dari 4 keterampilan multiliterasi yang meliputi keterampilan
membaca, menulis, berbahasa lisan, dan berilmu teknologi dengan 10 kompetensi belajar
yang meliputi 1) kreativitas dan inovasi, 2) berpikir kritis, pemecahan masalah, 3) meta-
kognisi, 4) komunikasi, 5) kolaborasi, 6) literasi informasi, 7) literasi teknologi, 8) sikap
berkewarganegaraan, 9) berkehidupan dan berkarier, 10) responsibilitas persoalan sosial,
termasuk kesadaran atas kompetensi dan budaya.
Menurut (Dafit, 2017) dalam pembelajaran abad ke-21 ini, seorang guru harus mampu
membimbing pebelajar untuk menghubungkan pengalaman dengan berbaga jenis teknologi,
literasi, dan pendidikan. Selain itu (Fadli, 2016) menjelaskan bahwa konsep model
pembelajaran multiliterasi lahir karena manusia pada situasi saat ini tidak hanya membaca
dan menulis dalam bentuk yang sederhana tetapi membaca dan menulis dengan genre tertentu
yang melibatkan tujuan sosial, kultural, dan politik yang menjadi tuntutan era globalisasi.
Model pembelajaran multiliterasi hadir dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan
literasi terutama dikalangan pebelajar.
Namun dalam menghadapi perkembangan zaman di era globalisasi dan digitalisasi
ini, seorang pebelajar perlu dibekali dengan suatu konsep berpikir yang dapat dijadikan
landasan berpikirnya. Generasi muda yang memiliki akses dalam dunia digital dan media
lainnya daripada generasi sebelumnya cenderung tidak memiliki etika khusus, keterampilan,
intelektual atau kecenderungan untuk menganlisis hubungannya dengan teknologi atau
informasi yang mereka temukan (Baker, 2010). Bertemali dengan beberapa kompetensi
belajar dalam pembelajaran multiliterasi seperti kemampuan berpikir kritis, sikap
berkewarganegaraan, berkehidupan, kesadaran dan kompetensi budaya yang diharapkan
mampu membuat pebelajar bijak dalam menghadapi perkembangan di era globaliasi,
khusunya dalam bidan pendidikan.
Salah satu konsep pembelajaran yang bertemali dengan pertanyaan diatas adalah
konsep pembelajaran TRINGO yang berarti ngerti, ngrasa, nglakoni. Konsep pembelajaran
TRINGO merupakan konsep yang diambil dari teori Ki Hadjar Dewantara. Konsep
pembelajaran tersebut bisa dikembangkan sebagai model pembelajaran, sumber belajar,
strategi pembelajaran dan sebagainya. (Kuswandi et al., 2019) mengungkapkan bahwa
konsep pembelajaran TRINGO menampilkan adanya keindahan pembelajaran berakan yang
dimulai dari kesadaran pebelajr untuk memahami. Pada dasarnya tujuan pembelajaran yang
umum dipakai saat ini adalah konsep pembelajaran yang diajarkan oleh Ki Hadjar
Dewantara, karena yang ingin dicapai adalah kognitif (ngerti), afektif (ngrasa), dan
psikomotorik (nglakoni) (Wijayanti & Widowati, 2019). Konsep ngerti memiliki makna
bahwa pebelajar mampu memahami secara mendalam setiap bahan dan kegiatan belajar yang
dilakukannya (deep undesrstanding). Konsep ngrasa memiliki makna bahwa pebelajar
mampu mengambil makna dari setiap kegiatan belajarnya (meangingfull). Dan konsep
nglakoni memiliki makna bahwa pebelajar mampu menggunakan seluruh kemampuannya
untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan yang sebenarnya. Sehingga konsep
pembelajaran TRINGO ini mampu mendorong pebelajar menjadi individu yang tangguh,
tanggap dan tanggon (Diana et al., 2019).
Dari beberapa permasalahan yang menjadi kendala bagi pebelajar dalam menulis serta
berdasarkan penelitian terdahulu, penulis memiliki kesimpulan bawa perlu diadakan
pengembengan desain yang baru dalam proses pembelajaran menulis melalui penelitian dan
pengembangan desain pembelajaran multiliterasi berbasis TRINGO.

Metode

Referensi
Abidin, Y. (2015). Pembelajaran multiliterasi (sebuah jawaban atas tantangan pendidikan

abad ke-21 dalam kobteks keindonesian). PT Refika Aditama.

Baker, F. W. (2010). Media Literacy: 21st Century Literacy Skills, Curriculum 21st Essential

Education For A Changing World. ASCD.


Borsheim, C., Merit, K., & Reed, D. (2008). Beyond Technology For Technology’s Sake:

Advancing Multiliteracies In The Twenty-First Century. The Clearing House: A

Journal Of Educational Strategies, 82(2), 87–90.

Dafit, F. (2017). Pengaruh model pembelajaran multiliterasi terhadap kemampuan membaca

siswa sekolah dasar. Jurnal Inovasi Pendidikan Dan Pembelajaran Sekolah …, Query

date: 2021-03-19 19:28:36.

http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jippsd/article/view/7937

Dalman. (2016). Keterampilan Menulis. Raja Grafindo Persada.

Diana, R., Kuswandi, D., & Ulfa, S. (2019). Konsep Pembelajaran TRINGO pada Mata

Kuliah Model Pengembangan Kurikulum. Jurnal Kajian Teknologi …, Query date:

2021-03-19 19:25:37. http://journal2.um.ac.id/index.php/jktp/article/view/7591

Erkan, Y. D., & Saban, A. I. (2011). Writing Performance Relative To Writing

Apprehension, Self Efficacy in Writing, and Attitudes Toward Writing: A

Correlational Study in The Turkish Tertiary Level EFL Context. The Asian Efl

Journal Quarterly, 13(1), 163–191.

Fadli, R. I. (2016). Pembelajaran Bahasa-Sastra Multiliterasi: Evaluasi dan Remidiasi.

Discovery: Jurnal Ilmu Pengetahuan, 1(1).

Kuswandi, D., Diana, R., & ... (2019). THE RELATIONSHIP BETWEEN TRINGO

LEARNING STRATEGY AND HIGH-ORDER THINKING SKILLS. International

…, Query date: 2021-03-19 19:25:37.

http://icet.fip.unp.ac.id/index.php/icet1/icet1/paper/view/127

Marocco, C. C. (2008). Supported literacy for adolescents: Transforming teaching and

content learning for the twenty-first century. A Wiley Imprint.

Rokhayati, U. (2014). Multiliteracies in A Writing Class. Ahmad Dahlan Journal of English

Studies, 1(1), 1–7.


Sukardi, S. (2012). Metode Penelitian Pendidikan Tindakan Kelas. Bumi Aksara.

Swandi. (2017). Teaching Writing At The Primay Levels. Indonesian Journal of Applied

Linguistics, 7(1), 1–10.

Wijayanti, A., & Widowati, A. (2019). TRINGO TAMANSISWA (NGERTI, NGRASA,

NGLAKONI): THE DEVELOPMENT OF SUBJECT SPECIFIC PEDAGOGY

WITH VALUE CLARIFICATION-INQUIRY …. Jurnal Pena Sains Vol, Query

date: 2021-03-19 19:25:37. https://core.ac.uk/download/pdf/304219386.pdf

Zaini. (2014). Pembelajaran menulis di SDN Sekecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan.

Edu-Kata: Jurnal Bahasa, Sastra, Dan Pembelajarannya, 1(1), 31–40.

Anda mungkin juga menyukai