Anda di halaman 1dari 17

Asy-Syaikh Dr.

‘Abdussalam bin Barjas ‘Ali ‘Abdil Karim rahimahullah

RINGKASAN 10
RINTANGAN DALAM
MENUNTUT ILMU
(Ringkasan Terjemahan Kitab ‘Awaiqu ath-Tholab)

Majmu’ah Thoriqus Salaf

1
Isi Kandungan

Muqadimah 3

Rintangan Pertama: Menuntut Ilmu Untuk Selain Wajah Allah 4

Rintangan Kedua: Meninggalkan Amal 5

Rintangan Ketiga: Bersandar Hanya Kepada Kitab Bukan Ulama 6

Rintangan Keempat: Mengambil Ilmu Dari Orang-Orang Shighor 7


(Muda)

Rintangan Kelima: Tidak Bertahap Dalam Menuntut Ilmu 9

Rintangan Keenam: Tertipu, Ujub (Bangga Diri) & Kibr (Sombong) 11

Rintangan Ketujuh: Terburu-buru Mengharapkan Hasil 13

Rintangan Kelapan: Rendahnya Cita-Cita 14

Rintangan Kesembilan: Menunda-Nunda 15

Rintangan Kesepuluh: Panjang Angan-Angan 16

2
Muqadimah

-,+*

Buku ini adalah ringkasan dari terjemahan kitab ‘Awaiqu ath-Tholab karya asy-
Syaikh Dr. ‘Abdussalam bin Barjas ‘Ali ‘Abdul Karim rahimahullah yang
diterbitkan terjemahannya oleh pihak Pustaka Al-Haura’.

Pada tahun 1435H/2014M, kami di Majmu’ah Thoriqus Salaf (MTS) telah


meringkaskan faedah dari kitab terjemahan ini dan disebarkan kepada segenap
kaum muslimin di saluran WhatsApp, Telegram dan laman sesawang rasmi kami
dengan sedikit pengolahan tatabahasa kepada Bahasa Malaysia.

Alhamdulillah dengan izin Allah, kini kami telah mengumpulkannya kembali dan
menjadikannya sebagai E-Book secara percuma untuk dimanfaatkan kepada
sekalian kaum muslimin, baik di Malaysia, Singapura, Brunei dan Indonesia.

Moga ianya bermanfaat kepada anda semua dan menjadi pemberat amal
timbangan kami di akhirat kelak. Barakallahufeekum.

Majmu’ah Thoriqus Salaf


1441H/2020M
www.thoriqussalaf.com
http://telegram.me/thoriqussalaf

3
Rintangan Pertama
Menuntut Ilmu Untuk Selain Wajah Allah

Rasulullah bersabda (ertinya), “Barangsiapa mempelajari satu ilmu dari ilmu-


ilmu yang seharusnya digunakan untuk mengharap wajah Allah, dia tidak
mempelajarinya kecuali untuk memperoleh dengannya satu tujuan dunia, maka
dia tidak akan mendapati baunya syurga pada hari kiamat (iaitu bau harumnya
jannah).” (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan disahihkan al-Hakim (1/85)
serta disepakati adz-Dzahabi)

Ibnul Mubarak rahimahullah berkata, “Tidaklah ada sesuatu yang lebih utama
dibanding menuntut ilmu kerana Allah dan tidak ada sesuatupun yang paling
dimurkai oleh Allah dibanding menuntut ilmu kerana selain Allah.” (Al-Adab asy-
Syariah)

Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah telah menerangkan tentang ucapan


Ma’mar bin Rosyid, “Dulu dikatakan, sesungguhnya seseorang sungguh
menuntut ilmu kerana selain Allah, tetapi ilmu itu enggan padanya sampai hal
itu (dia niatkan) kerana Allah”, beliau berkata:

“Benar, dia menutut ilmu pertama kali dan yang mendorong dia menuntut ilmu
adalah kerana cinta kepada ilmu dan suka menghilangkan kebodohan serta suka
menjadi pegawai dan yang semisalnya. Padanya belum ada ilmu tentang
wajibnya untuk berniat ikhlas dan juga belum ada niat yang benar. Kemudian
ketika dia mengetahui, dia perbaiki dirinya dan takut dari bencana niatnya,
sehingga datang niat yang baik semuanya atau sebahagiannya. Kadang dia
bertaubat dan menyesal dari niatnya yang rosak. Tanda hal itu, dia menahan diri
dari mengaku-ngaku berilmu, suka berdebat dan bertujuan memperbanyakkan
ilmu serta dia menegur dirinya. Maka (tetapi) jika dia memperbanyakkan ilmu,
atau (dan) dia berkata, “Aku lebih berilmu daripada fulan”, maka kecelakaanlah
baginya.” (Siyar A’lam an-Nubala (717))

4
Rintangan Kedua
Meninggalkan Amal

Rasulullah  bersabda (ertinya), “Kedua kaki seorang hamba tidak akan


bergeser pada hari kiamat sampai ditanya tentang umurnya dalam hal apa
dihabiskan, tentang ilmunya dalam hal apa dia kerjakan dengannya dan tentang
hartanya dari mana diperoleh dan dalam hal apa dibelanjakan serta tentang
jasadnya dalam hal apa dia gunakan.” (HR Tirmidzi, hadits hasan sahih)

Diriwayatkan dari Abu Darda’ radhiyallahu’anhu, dia berkata, “Engkau tidak


akan menjadi seorang alim sampai engkau menjadi seorang pelajar. Dan engkau
dengan ilmu tidak akan menjadi seorang alim, sampai engkau
mengamalkannya.”

Hubaib bin Hujr rahimahullah berkata, “Dulu dikatakan, betapa indahnya iman
dengan hiasan ilmu. Dan betapa indahnya ilmu dengan hiasan amal. Dan betapa
indahnya amal dengan hiasan kelembutan. Dan tidak ada sesuatu ditambahkan
kepada sesuatu lebih indah dibanding ilmu yang ditambahkan kepada kesabaran
(yang diiringi kehati-hatian).” (Ibnul Mubarak dalam az-Zuhud, hlm. 70 dan ad-
Dainury dalam al-Mujalasah 2/579)

5
Rintangan Ketiga
Bersandar Hanya Kepada Kitab Bukan Ulama

Al-Imam Asy-Syafi’e rahimahullah berkata, “Barangsiapa belajar dari perut-


perut kitab, dia akan menyia-nyiakan hukum-hukum.”

Sebahagian mereka berkata, “Termasuk musibah yang paling besar menjadikan


lembaran (kitab) sebagai syaikh (guru), iaitu orang-orang yang belajar dari
lembaran-lembaran.” (Tadzkirotus Sami’ wal Mutakallim, hlm. 87)

Al-Imam Sa’id bin ‘Abdil ‘Aziz at-Tanukhi rahimahullah -beliau setaraf al-Auza’i-
berkata, “Janganlah kalian memikul ilmu dari orang-orang yang mengambilnya
dari lembaran-lembaran. Dan janganlah mengambil Al-Qur’an dari orang yang
mempelajarinya dari mushaf.” (Tashhifat Al-Muhadditsin lil ‘Askariy, 1/6-7)

Dulu dikatakan, “Barangsiapa gurunya adalah kitabnya, maka kesalahannya


lebih banyak daripada benarnya.”

Ibnu Batholan rahimahullah berkata, “Ditemukan dalam kitab beberapa hal


yang menghalangi dari memperoleh ilmu, yang itu tidak ditemukan pada
seorang pendidik, misalnya, kekeliruan yang muncul dari kesamaran huruf-huruf
bersamaan dengan ketiadaan lafaz, kesalahan dengan tipuan pandangan, …
pengetahuan yang sedikit tentang i’rob, atau rosaknya kitab yang ada,
perbaikkan kitab, menulis yang tidak dibaca, membaca yang tidak ditulis dan
mazhab pengarang kitab, cacat pentranskripan, buruk penukilan, pembaca
menyatukan tempat-tempat yang terputus, bercampurnya dasar-dasar
pengajaran serta penyebutan lafaz-lafaz istilah dalam susunan itu … Maka ini
semua merupakan penghalang dari ilmu. Seorang yang belajar dapat
beristirehat dari pembebanannya apabila ketika membacanya di sisi guru. Jika
perkaranya seperti gambaran ini, maka membaca/mempelajari kitab di sisi
ulama itu lebih bermanfaat dan lebih utama daripada seorang yang membaca
sendirian. Itulah yang ingin kami jelaskan.” (Syarh Ihya’ Al-Ulumuddin, karya az-
Zubaidi, 1/66)

6
Rintangan Keempat
Mengambil Ilmu Dari Orang-Orang Shighor (Muda)

Syaikh ‘Abdussalam rahimahullah berkata, “Demikian itu (yang menghalangi


mereka dari jalan selamat sampai kepada ilmu), kerana mengambil ilmu dari
orang-orang yang muda umurnya, yang belum kukuh pijakan mereka di dalam
ilmu, dan janggut-janggut mereka belum beruban dalam ilmu, bersamaan
dengan adanya orang yang lebih berumur dari mereka dan lebih dalam ilmunya,
sehingga melemahkan asas para pemula dan menghalanginya dari mengambil
faedah dari ilmu ulama kibar dan dari memperoleh akhlak-akhlak mereka yang
diperbaiki oleh ilmu dan zaman.”

Dari Abu Umayyah al-Jahmiy, Rasulullah  bersabda, “Sesungguhnya termasuk


tanda-tanda hari kiamat bila ilmu dicari dari orang-orang shighor.” (Disebutkan
oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jami’ 1/157 dan asy-Syathibiy dalam al-
I’thishom 2/93)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Manusia terus berada dalam


kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang kabir (tua) mereka,
orang-orang yang amanah di antara mereka, dan dari ulama-ulama mereka.
Apabila mereka mengambil ilmu dari orang-orang shighor mereka dan orang-
orang terburuk mereka, maka mereka akan binasa.”

Ibnu Qutaibah rahimahullah berpendapat bahawa shighor adalah orang-orang


yang muda umurnya. Dia berkata tentang atsar Ibnu Mas’ud di atas, “Dia
menginginkan bahawa manusia terus berada dalam kebaikan selama ulama-
ulama mereka adalah orang-orang yang berusia tua dan ulama-ulama mereka
bukan orang-orang yang muda umurnya. Kerana seorang yang sudah tua, telah
hilang darinya kesenangan pemuda, emosi pemuda, ketergesaan-gesaannya,
kebodohannya dan banyak pengalaman serta pengetahuan, tidak masuk
syubhat dalam ilmunya, tidak dikuasai oleh hawa nafsu, tidak dicondongkan
oleh suatu kepentingan, tidak dijadikan tergelincir oleh syaitan sebagaimana
anak-anak muda, maka dengan umur ada ketenangan, kemuliaan dan
kewibawaan. Sedangkan anak muda kadang dimasuki perkara-perkara yang
aman atas seorang syaikh, maka jika perkara-perkara ini telah masuk
kepadanya, kemudian dia berfatwa, dia akan binasa dan membinasakan.”
(Nashihah Ahli Hadits karya al-Khotib Al-Baghdadiy, hlm. 16)

7
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah meriwayatkan dari Abil Ahwash dari ‘Abdullah,
dia berkata, “Sesungguhnya kalian terus menerus dalam kebaikan selama ilmu
ada pada ulama-ulama tua kalian. Jika ilmu ada pada orang-orang shoghir, maka
orang shoghir akan merendahkan orang-orang tua.”

Al-Hajjaj bin Arthoah rahimahullah berkata, “Dulu mereka tidak menyukai


seorang menyampaikan hadits sampai terlihat uban di janggutnya.” (Akhbar al-
Qudhot karya Waki’ 2/54)

8
Rintangan Kelima
Tidak Bertahap Dalam Menuntut Ilmu

Allah  berfirman (ertinya), “Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan


beransur-ansur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia
dan Kami menurunkannya bahagian demi bahagian.” (Al-Isro’: 106)

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Telah diketahui umur itu pendek dan ilmu
itu banyak, maka dia (seorang penuntut ilmu) memulai dengan Al-Qur’an dan
menghafalnya, melihat kepada tafsirnya dengan pandangan yang pertengahan,
dengan hal itu tidak akan tersembunyi darinya sedikitpun.

Jika telah benar baginya salah satu dari qiro’ah sab’ah, sesuatu dari nahwu dan
kitab bahasa dan dia telah memulai dengan dasar-dasar kitab dari sisi penukilan
seperti kitab-kitab sahih, musnad, sunan, dan dari sisi ilmu hadits, seperti
mengetahui perawi-perawi dhaif dan nama-nama, maka hendaklah dia melihat
kepada dasar-dasar hal itu.

Para ulama telah membuat tahap-tahap dari hal itu, sehingga seorang penuntut
ilmu akan terhindar dari kepenatan dengannya.

Kemudian dia hendaklah memulai dalam ilmu tarikh (sejarah), agar dia
mengetahui perkara-perkara yang ia perlukan, seperti nasab Rasulullah ,
kerabat-kerabat baginda, isteri-isteri baginda dan yang berhubungan dengan
baginda.

Kemudian hendaknya dia menetapi ilmu fiqh, maka hendaklah dia melihat pada
suatu mazhab dan (ikhtilaf) perselisihan, agar sandarannya dalam
permasalahan-permasalahan ikhtilaf, maka hendaknya dia melihat dalam
masalah itu dan apa yang dikandung olehnya, kemudian mencarinya dari
sumber-sumbernya, seperti tafsir ayat, hadits dan kata-kata bahasa arab.
Kemudian dia menyibukkan diri dengan usul fiqh dan faraidh. Dan hendaklah dia
mengetahui bahawa perputaran ilmu-ilmu itu pada ilmu fiqh.” (Shoidul Khotir,
hlm. 169)

Syaikh ‘Abdussalam rahimahullah berkata, “Maka awal ilmu adalah menghafal


kitabullah dan memahaminya. Dan setiap yang membantu dalam

9
memahaminya, maka wajib untuk mempelajarinya. Aku tidak berkata,
“Sesungguhnya menghafalnya secara keseluruhan adalah satu fardhu”. Akan
tetapi aku berkata, “SESUNGGUHNYA HAL ITU WAJIB DAN MESTI BAGI ORANG
YANG INGIN MENJADI SEORANG ULAMA DAN BUKAN TERMASUK MASALAH
FARDHU”.”

Adz-Dzahabi rahimahullah beliau menempatkan manusia sesuai


kedudukkannya, beliau berkata:
“[Jenis Pertama]: Barangsiapa yang mencapai tahap ijtihad dan hal itu
dipersaksikan oleh beberapa imam, maka dia tidak boleh taqlid.

[Jenis Kedua]: Begitu juga seorang yang punya fiqh (pemahaman) yang asas dan
orang awam yang menghafal Al-Qur’an atau sebahagian banyak darinya tidak
boleh untuk berijtihad selamanya. Bagaimana dia akan berijtihad, apa yang akan
ia katakan? Di atas apa ia bangun ijtihadnya? Bagaimana dia akan terbang
padahal dia belum punya bulu sayap?

[Jenis Ketiga]: Seorang yang punya pemahaman yang tinggi, yang waspada, yang
cepat faham, seorang muhaddits, yang telah menghafal satu ringkasan dalam
perkara furu’ (cabang) dan menghafal satu kitab dalam kaedah kaedah usul,
telah belajar nahwu, bersekutu dalam keutamaan-keutamaan, dengan dia hafal
kitabullah, dia sibuk dengan tafsirnya, kuat penelitiannya, maka ini adalah tahap
orang-orang yang mencapai ijtihad muqoyyad, dia ahli dalam melihat dalil-dalil
para ulama. Maka bila pun jelas al-haq dalam satu permasalahan dan nas dalam
masalah itu tsabit, dan hal itu diamalkan oleh salah satu imam yang dikenal.”
(As-Siyar, 18/191)

10
Rintangan Keenam
Tertipu, Ujub (Bangga Diri) & Kibr (Sombong)

Allah berfirman (ertinya), “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi


dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong
lagi membangga diri.” (Luqman: 18)

Rasulullah bersabda (ertinya), “Tidak akan masuk syurga orang yang di dalam
hatinya ada sekadar zarah dari kesombongan”. Kemudian seorang berkata,
“Seseorang suka bila bajunya bagus dan sandalnya bagus?” Baginda menjawab,
“Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan. Kibr (kesombongan)
itu adalah MENOLAK KEBENARAN DAN MEREMEHKAN MANUSIA.” (HR
Muslim)

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Perkara yang paling utama adalah berusaha
menambah ilmu. Barangsiapa yang merasa cukup dengan apa yang telah ia
ketahui, kemudian dia mengira hal itu cukup dan keras kepala dengan
pendapatnya, maka pengagungannya pada dirinya sendiri menjadi sebuah
penghalang dia mengambil faedah.”

Ibnul Jauzi rahimahullah juga berkata, “Selain seorang yang merasa cukup
dengan ilmunya apabila sejenis penglihatan pada diri sendiri menjadikan dia
sombong, maka dia akan ditahan dari mendapat kebenaran. Kita berlindung
kepada Allah dari hal itu.” (Shoidul Khothir, hlm. 111)

Benarlah kata ‘Ali bin Tsabit rahimahullah, “Ilmu itu perosaknya rasa ujub dan
emosi, sedang harta itu perosaknya sikap boros dan dirampas.”

Syaikh ‘Abdussalam rahimahullah berkata, “Di masa ini kita telah diuji dengan
segelintir orang yang sedikit -dan segala puji bagi Allah-, mereka membaca satu
kitab atau dua kitab, mereka menghafal satu masalah atau dua masalah,
kemudian setelah satu atau dua hari -dari umur mereka dalam menuntut ilmu-
mereka menjadi mujtahid. Sekiranya mereka membatasi diri dengan khayalan
yang tidak laku ini, tetapi bahkan mereka menganggap kecil ulama-ulama selain
mereka, terus bagaimana dengan penuntut ilmu dan para da’i, mereka
memandang diri-diri mereka mempunyai tempat-tempat yang tinggi yang tidak
dicapai seorang pun, hal itu nampak pada baju-baju mereka, cara jalan mereka,

11
dan ucapan mereka. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Betapa besarnya bahaya
mereka. Dan betapa sedikitnya manfaat mereka. Dan betapa kukuh kebodohan
mereka. Kami memohon kepada Allah untuk memberi hidayah kepada mereka
jalan yang lurus.”

Pengarang Tahdzibul Ihya berkata, “Seorang ulama tidak akan mampu menolak
kibr (rasa sombong) kecuali dengan mengenal dua perkara:

[Pertama]: Hendaknya dia mengetahui bahawa hujjah Allah terhadap ahlul ilmi
itu lebih kuat. Diterima ihtimal (maaf atau pertimbangan yang mungkin) dari
orang jahil yang tidak dapat diterima dari seorang alim meskipun
sepersepuluhnya. Sesungguhnya orang yang bermaksiat kepada Allah dengan
pengetahuan dan ilmu, maka kejahatannya lebih buruk, kerana dia tidak
menunaikan nikmat Allah atasnya dalam ilmu.

[Kedua]: Hendaknya seorang ulama mengetahui bahawa kibr (rasa sombong)


tidak layak kecuali untuk Allah saja. Dia apabila sombong, maka dia akan
dimurkai Allah.” (Tahdzibul Ihya 2/126)

12
Rintangan Ketujuh
Terburu-buru Mengharapkan Hasil

Syaikh ‘Abdussalam rahimahullah berkata, “Sebahagian penuntut ilmu mengira


satu suapan yang lazat dan satu teguk yang segar segera akan menampakkan
hasilnya dan terlihat faedah-faedahnya. Kemudian dia berharap dalam jiwanya
dia setelah melalui satu tahun atau lebih atau kurang -dari umurnya dalam
menuntut ilmu- akan menjadi seorang ulama yang ahli yang tidak terbatas
hujungnya / tujuannya dan tidak retak cacatnya.

Ini adalah pandangan yang salah dan penggambaran yang rosak serta harapan
yang rendah. Bahayanya sangat besar, kerosakan-kerosakannya besar, kerana
membentangkan pelakunya kepada perkara yang tidak baik akibatnya berupa
berkata atas Allah tanpa ilmu, kepercayaan yang membabi buta terhadap
dirinya, cinta kedudukkan yang tinggi dan suka tampil yang terdepan.

Duduknya dia dengan perkara-perkara ini, akan berakhir pada sikap dia
meninggalkan ikatan ilmu dan ahli ilmu.”

Al-Ma’mun rahimahullah berkata (ketika mengolok-olok penuntut ilmu yang


seperti di atas), “Salah seorang dari mereka menuntut ilmu hadits selama tiga
hari kemudian berkata, aku termasuk ahli hadits.” (As-Siyar, 10/876)

Al-Imam Asy-Syafie rahimahullah berkata, “Seseorang tidak akan mencapai


hasil dalam bidang ini sampai kefakiran menimpanya dan dia mendahulukan
ilmu atas segala sesuatu.” (As-Siyar, 10/89)

Syaikh ‘Abdussalam rahimahullah membawakan cerita perbincangan dua


orang yang menjelaskan harga ilmu dan kedudukannya yang tinggi. Seseorang
berkata, “Apa menurutmu tentang orang yang menyibukkan siang harinya untuk
mengumpulkan (harta) dan malam harinya sibuk menggauli isterinya, apakah
akan keluar dari hal itu seorang yang faqih? Sekali-kali tidak, demi Allah.
Sesungguhnya ilmu tidak diperoleh kecuali dengan mengapit buku-buku tulis,
memikul tinta-tinta dan melintasi tanah-tanah sunyi (merantau) dan terus
menerus menuntut ilmu siang dan malam.” (Maqomat Badi’uz Zaman “Al-
Maqomat Al-Ilmiyyah”)

13
Rintangan Kelapan
Rendahnya Cita-Cita

Al-Farro’ rahimahullah berkata, “Aku tidak merasa kasihan pada seseorang


seperti rasa kasihanku kepada dua orang. Pertama, seorang yang menuntut
ilmu, tapi dia tidak mempunyai pemahaman. Dan Kedua, seorang yang faham
tetapi tidak mencarinya. Dan aku sungguh hairan dengan orang yang lapang
untuk menuntut ilmu tetapi dia tidak belajar.” (Jami’ Bayan al-Ilmi wa Fadhlih,
103)

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Kalau memungkinkan bagimu untuk


melampaui setiap ulama dan orang-orang yang zuhud, maka lakukanlah.
Sesungguhnya mereka adalah laki-laki sebagaimana engkau juga laki-laki. Dan
tidaklah seseorang duduk kecuali kerana rendahnya dan hinanya cita-citanya.

Ketahuilah bahawa kamu berada dalam pentas perlumbaan, sedangkan waktu-


waktu akan habis. Maka janganlah engkau kekal menuju kemalasan. Tidaklah
luput sesuatu kecuali dengan kemalasan. Dan tidaklah dicapai sesuatu kecuali
dengan kesungguhan dan tekad.” (Shoidul Khotir, hlm. 159-161)

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Demi Allah, ingatlah wajib atas kalian untuk
memperhatikan jalan hidup salaf, mentelaah tulisan-tulisan mereka dan khabar-
khabar mereka, maka memperbanyakkan telaah kitab-kitab mereka adalah
seperti melihat mereka.”

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Hendaklah dia memperbanyakkan


mentelaah, sesungguhnya ia akan melihat ilmu-ilmu salaf dan tingginya cita-cita
mereka yang menajamkan fikirannya serta menggerakkan tekadnya untuk
bersungguh-sungguh.” (Shoidul Khotir, hlm. 440, dengan sedikit perubahan)

14
Rintangan Kesembilan
Menunda-Nunda

Syaikh ‘Abdussalam rahimahullah berkata, “Sikap menunda-nunda dan angan-


angan adalah dua penyakit yang berbahaya, yang akan merosak hati dan waktu
serta akan menaikkan seseorang ke dunia khayal.

Adapun sikap menunda-nunda, maka itu adalah sifat orang yang dungu
perasaannya, tidak peduli. Setiap kali dirinya mempunyai cita-cita yang baik, dia
menghalanginya dengan “nanti” dan “akan aku kerjakan”, sampai kematian
datang dengan tiba-tiba kepadanya kemudian dia berkata:

“Wahai Rabbku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai


waktu yang dekat?” (Al-Munafiqun: 10)

Maka wajib seseorang penuntut ilmu untuk membersihkan dirinya dari


kekurangan ini dan hendaknya bersegera dalam beramal, dengan mengamalkan
firman Allah (ertinya):

“Berlumba-lumbalah dalam kebaikan.” (Al-Baqarah: 148)

“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada syurga
yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa.” (Ali-Imran: 133)”

15
Rintangan Kesepuluh
Panjang Angan-Angan

Syaikh ‘Abdussalam rahimahullah berkata, “Adapun angan-angan ada yang


terpuji dan ada yang tercela. Adapun yang terpuji iaitu dengan dia berangan-
angan untuk melakukan kebaikan yang mandub (mustahab). Tetapi dia tidak
mampu untuk melakukannya. Maka angan-angan ini mempunyai tiga syarat:

[Pertama]: Tekad untuk melakukannya bilapun dia mampu.


[Kedua]: Hal itu berada dalam batasan-batasan syar’i, seperti berangan-angan
untuk membangun masjid dan yang semisalnya.
[Ketiga]: Agar angan-angan itu tidak menjadi kebiasaan seseorang.”

Syaikh ‘Abdussalam rahimahullah berkata, “Adapun angan-angan yang tercela,


itulah yang diungkapkan oleh Ibnul Qoyyim rahimahullah ketika memberi
keterangan perkataan Syaikhul Islam Abu Isma’il al-Harowiy rahimahullah
tentang perosak-perosak hati. Beliau berkata, “Perosak yang kedua dari
perosak-perosak hati, dia mengarungi samudera angan-angan. Itu adalah
samudera yang tidak ada pantainya. Itu adalah samudera yang ditempuh oleh
orang-orang yang merugi di dunia, sebagaimana dikatakan:

Jika engkau berangan melewati malam dengan berangan-angan

Sesungguhnya angan-angan itulah modal orang-orang yang merugi

Dan hasilnya, janji-janji syaitan, khayalan-khayalan yang tidak mungkin terjadi


dan dusta. Sehingga terus menerus gelombang angan-angan yang dusta dan
khayalan-khayalan yang batil akan mempermainkan orang yang
mengharunginya, sebagaimana anjing-anjing bermain-main dengan bangkai.
Maka itulah hasil setiap jiwa yang hina, buruk dan rendah. Jiwa itu tidak
mempunyai keinginan yang digunakan untuk mencapai hakikat-hakikat luar.
Bahkan dia mengganti dengan angan-angan yang rendah. Dia berkata, seorang
yang berangan-angan menggambarkan satu gambaran yang ingin ia peroleh
dalam jiwanya dan dia telah berhasil mencapainya serta merasa nikmat dengan
memperolehnya. Namun ketika dia berada dalam keadaan itu, tiba-tiba dia
bangun dan yang ada ditangannya hanyalah tikar.” (Madarijus Salikin,
1/456/457)

16
Ulama berkata, “Jauhilah angan-angan, sesungguhnya angan-angan akan
menghilangkan perkara yang dianugerahkan kepada kalian dan akan menjadi
kecil nikmat Allah yang dilimpahkan kepada kalian.” (Adab Ad-Dunya wad Deen,
hlm. 308)

Sekian. Walhamdulillah.

17

Anda mungkin juga menyukai