RINGKASAN 10
RINTANGAN DALAM
MENUNTUT ILMU
(Ringkasan Terjemahan Kitab ‘Awaiqu ath-Tholab)
1
Isi Kandungan
Muqadimah 3
2
Muqadimah
-,+*
Buku ini adalah ringkasan dari terjemahan kitab ‘Awaiqu ath-Tholab karya asy-
Syaikh Dr. ‘Abdussalam bin Barjas ‘Ali ‘Abdul Karim rahimahullah yang
diterbitkan terjemahannya oleh pihak Pustaka Al-Haura’.
Alhamdulillah dengan izin Allah, kini kami telah mengumpulkannya kembali dan
menjadikannya sebagai E-Book secara percuma untuk dimanfaatkan kepada
sekalian kaum muslimin, baik di Malaysia, Singapura, Brunei dan Indonesia.
Moga ianya bermanfaat kepada anda semua dan menjadi pemberat amal
timbangan kami di akhirat kelak. Barakallahufeekum.
3
Rintangan Pertama
Menuntut Ilmu Untuk Selain Wajah Allah
Ibnul Mubarak rahimahullah berkata, “Tidaklah ada sesuatu yang lebih utama
dibanding menuntut ilmu kerana Allah dan tidak ada sesuatupun yang paling
dimurkai oleh Allah dibanding menuntut ilmu kerana selain Allah.” (Al-Adab asy-
Syariah)
“Benar, dia menutut ilmu pertama kali dan yang mendorong dia menuntut ilmu
adalah kerana cinta kepada ilmu dan suka menghilangkan kebodohan serta suka
menjadi pegawai dan yang semisalnya. Padanya belum ada ilmu tentang
wajibnya untuk berniat ikhlas dan juga belum ada niat yang benar. Kemudian
ketika dia mengetahui, dia perbaiki dirinya dan takut dari bencana niatnya,
sehingga datang niat yang baik semuanya atau sebahagiannya. Kadang dia
bertaubat dan menyesal dari niatnya yang rosak. Tanda hal itu, dia menahan diri
dari mengaku-ngaku berilmu, suka berdebat dan bertujuan memperbanyakkan
ilmu serta dia menegur dirinya. Maka (tetapi) jika dia memperbanyakkan ilmu,
atau (dan) dia berkata, “Aku lebih berilmu daripada fulan”, maka kecelakaanlah
baginya.” (Siyar A’lam an-Nubala (717))
4
Rintangan Kedua
Meninggalkan Amal
Hubaib bin Hujr rahimahullah berkata, “Dulu dikatakan, betapa indahnya iman
dengan hiasan ilmu. Dan betapa indahnya ilmu dengan hiasan amal. Dan betapa
indahnya amal dengan hiasan kelembutan. Dan tidak ada sesuatu ditambahkan
kepada sesuatu lebih indah dibanding ilmu yang ditambahkan kepada kesabaran
(yang diiringi kehati-hatian).” (Ibnul Mubarak dalam az-Zuhud, hlm. 70 dan ad-
Dainury dalam al-Mujalasah 2/579)
5
Rintangan Ketiga
Bersandar Hanya Kepada Kitab Bukan Ulama
Al-Imam Sa’id bin ‘Abdil ‘Aziz at-Tanukhi rahimahullah -beliau setaraf al-Auza’i-
berkata, “Janganlah kalian memikul ilmu dari orang-orang yang mengambilnya
dari lembaran-lembaran. Dan janganlah mengambil Al-Qur’an dari orang yang
mempelajarinya dari mushaf.” (Tashhifat Al-Muhadditsin lil ‘Askariy, 1/6-7)
6
Rintangan Keempat
Mengambil Ilmu Dari Orang-Orang Shighor (Muda)
7
Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah meriwayatkan dari Abil Ahwash dari ‘Abdullah,
dia berkata, “Sesungguhnya kalian terus menerus dalam kebaikan selama ilmu
ada pada ulama-ulama tua kalian. Jika ilmu ada pada orang-orang shoghir, maka
orang shoghir akan merendahkan orang-orang tua.”
8
Rintangan Kelima
Tidak Bertahap Dalam Menuntut Ilmu
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Telah diketahui umur itu pendek dan ilmu
itu banyak, maka dia (seorang penuntut ilmu) memulai dengan Al-Qur’an dan
menghafalnya, melihat kepada tafsirnya dengan pandangan yang pertengahan,
dengan hal itu tidak akan tersembunyi darinya sedikitpun.
Jika telah benar baginya salah satu dari qiro’ah sab’ah, sesuatu dari nahwu dan
kitab bahasa dan dia telah memulai dengan dasar-dasar kitab dari sisi penukilan
seperti kitab-kitab sahih, musnad, sunan, dan dari sisi ilmu hadits, seperti
mengetahui perawi-perawi dhaif dan nama-nama, maka hendaklah dia melihat
kepada dasar-dasar hal itu.
Para ulama telah membuat tahap-tahap dari hal itu, sehingga seorang penuntut
ilmu akan terhindar dari kepenatan dengannya.
Kemudian dia hendaklah memulai dalam ilmu tarikh (sejarah), agar dia
mengetahui perkara-perkara yang ia perlukan, seperti nasab Rasulullah ,
kerabat-kerabat baginda, isteri-isteri baginda dan yang berhubungan dengan
baginda.
Kemudian hendaknya dia menetapi ilmu fiqh, maka hendaklah dia melihat pada
suatu mazhab dan (ikhtilaf) perselisihan, agar sandarannya dalam
permasalahan-permasalahan ikhtilaf, maka hendaknya dia melihat dalam
masalah itu dan apa yang dikandung olehnya, kemudian mencarinya dari
sumber-sumbernya, seperti tafsir ayat, hadits dan kata-kata bahasa arab.
Kemudian dia menyibukkan diri dengan usul fiqh dan faraidh. Dan hendaklah dia
mengetahui bahawa perputaran ilmu-ilmu itu pada ilmu fiqh.” (Shoidul Khotir,
hlm. 169)
9
memahaminya, maka wajib untuk mempelajarinya. Aku tidak berkata,
“Sesungguhnya menghafalnya secara keseluruhan adalah satu fardhu”. Akan
tetapi aku berkata, “SESUNGGUHNYA HAL ITU WAJIB DAN MESTI BAGI ORANG
YANG INGIN MENJADI SEORANG ULAMA DAN BUKAN TERMASUK MASALAH
FARDHU”.”
[Jenis Kedua]: Begitu juga seorang yang punya fiqh (pemahaman) yang asas dan
orang awam yang menghafal Al-Qur’an atau sebahagian banyak darinya tidak
boleh untuk berijtihad selamanya. Bagaimana dia akan berijtihad, apa yang akan
ia katakan? Di atas apa ia bangun ijtihadnya? Bagaimana dia akan terbang
padahal dia belum punya bulu sayap?
[Jenis Ketiga]: Seorang yang punya pemahaman yang tinggi, yang waspada, yang
cepat faham, seorang muhaddits, yang telah menghafal satu ringkasan dalam
perkara furu’ (cabang) dan menghafal satu kitab dalam kaedah kaedah usul,
telah belajar nahwu, bersekutu dalam keutamaan-keutamaan, dengan dia hafal
kitabullah, dia sibuk dengan tafsirnya, kuat penelitiannya, maka ini adalah tahap
orang-orang yang mencapai ijtihad muqoyyad, dia ahli dalam melihat dalil-dalil
para ulama. Maka bila pun jelas al-haq dalam satu permasalahan dan nas dalam
masalah itu tsabit, dan hal itu diamalkan oleh salah satu imam yang dikenal.”
(As-Siyar, 18/191)
10
Rintangan Keenam
Tertipu, Ujub (Bangga Diri) & Kibr (Sombong)
Rasulullah bersabda (ertinya), “Tidak akan masuk syurga orang yang di dalam
hatinya ada sekadar zarah dari kesombongan”. Kemudian seorang berkata,
“Seseorang suka bila bajunya bagus dan sandalnya bagus?” Baginda menjawab,
“Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan. Kibr (kesombongan)
itu adalah MENOLAK KEBENARAN DAN MEREMEHKAN MANUSIA.” (HR
Muslim)
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Perkara yang paling utama adalah berusaha
menambah ilmu. Barangsiapa yang merasa cukup dengan apa yang telah ia
ketahui, kemudian dia mengira hal itu cukup dan keras kepala dengan
pendapatnya, maka pengagungannya pada dirinya sendiri menjadi sebuah
penghalang dia mengambil faedah.”
Ibnul Jauzi rahimahullah juga berkata, “Selain seorang yang merasa cukup
dengan ilmunya apabila sejenis penglihatan pada diri sendiri menjadikan dia
sombong, maka dia akan ditahan dari mendapat kebenaran. Kita berlindung
kepada Allah dari hal itu.” (Shoidul Khothir, hlm. 111)
Benarlah kata ‘Ali bin Tsabit rahimahullah, “Ilmu itu perosaknya rasa ujub dan
emosi, sedang harta itu perosaknya sikap boros dan dirampas.”
Syaikh ‘Abdussalam rahimahullah berkata, “Di masa ini kita telah diuji dengan
segelintir orang yang sedikit -dan segala puji bagi Allah-, mereka membaca satu
kitab atau dua kitab, mereka menghafal satu masalah atau dua masalah,
kemudian setelah satu atau dua hari -dari umur mereka dalam menuntut ilmu-
mereka menjadi mujtahid. Sekiranya mereka membatasi diri dengan khayalan
yang tidak laku ini, tetapi bahkan mereka menganggap kecil ulama-ulama selain
mereka, terus bagaimana dengan penuntut ilmu dan para da’i, mereka
memandang diri-diri mereka mempunyai tempat-tempat yang tinggi yang tidak
dicapai seorang pun, hal itu nampak pada baju-baju mereka, cara jalan mereka,
11
dan ucapan mereka. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Betapa besarnya bahaya
mereka. Dan betapa sedikitnya manfaat mereka. Dan betapa kukuh kebodohan
mereka. Kami memohon kepada Allah untuk memberi hidayah kepada mereka
jalan yang lurus.”
Pengarang Tahdzibul Ihya berkata, “Seorang ulama tidak akan mampu menolak
kibr (rasa sombong) kecuali dengan mengenal dua perkara:
[Pertama]: Hendaknya dia mengetahui bahawa hujjah Allah terhadap ahlul ilmi
itu lebih kuat. Diterima ihtimal (maaf atau pertimbangan yang mungkin) dari
orang jahil yang tidak dapat diterima dari seorang alim meskipun
sepersepuluhnya. Sesungguhnya orang yang bermaksiat kepada Allah dengan
pengetahuan dan ilmu, maka kejahatannya lebih buruk, kerana dia tidak
menunaikan nikmat Allah atasnya dalam ilmu.
12
Rintangan Ketujuh
Terburu-buru Mengharapkan Hasil
Ini adalah pandangan yang salah dan penggambaran yang rosak serta harapan
yang rendah. Bahayanya sangat besar, kerosakan-kerosakannya besar, kerana
membentangkan pelakunya kepada perkara yang tidak baik akibatnya berupa
berkata atas Allah tanpa ilmu, kepercayaan yang membabi buta terhadap
dirinya, cinta kedudukkan yang tinggi dan suka tampil yang terdepan.
Duduknya dia dengan perkara-perkara ini, akan berakhir pada sikap dia
meninggalkan ikatan ilmu dan ahli ilmu.”
13
Rintangan Kelapan
Rendahnya Cita-Cita
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Demi Allah, ingatlah wajib atas kalian untuk
memperhatikan jalan hidup salaf, mentelaah tulisan-tulisan mereka dan khabar-
khabar mereka, maka memperbanyakkan telaah kitab-kitab mereka adalah
seperti melihat mereka.”
14
Rintangan Kesembilan
Menunda-Nunda
Adapun sikap menunda-nunda, maka itu adalah sifat orang yang dungu
perasaannya, tidak peduli. Setiap kali dirinya mempunyai cita-cita yang baik, dia
menghalanginya dengan “nanti” dan “akan aku kerjakan”, sampai kematian
datang dengan tiba-tiba kepadanya kemudian dia berkata:
“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada syurga
yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa.” (Ali-Imran: 133)”
15
Rintangan Kesepuluh
Panjang Angan-Angan
16
Ulama berkata, “Jauhilah angan-angan, sesungguhnya angan-angan akan
menghilangkan perkara yang dianugerahkan kepada kalian dan akan menjadi
kecil nikmat Allah yang dilimpahkan kepada kalian.” (Adab Ad-Dunya wad Deen,
hlm. 308)
Sekian. Walhamdulillah.
17