Anda di halaman 1dari 197

BAHAN AJAR

MATA KULIAH : KULTUR JARINGAN TUMBUHAN

I. Tinjauan Mata Kuliah


Nama Mata Kuliah : Kultur Jaringan Tumbuhan
Kode Mata Kuliah :
Pengajar : Dr. Jusna Ahmad, M.Si
Dr. Novri Kandowangko, M.P
Semester : VI (Enam)
SKS :3
Hari Pertemuan : Senin
Tempat Pertemuan : Ruang MIPA Baru Lantai 3
Pertemuan Ke :
1.1 Deskripsi Singkat
Mata kuliah ini membahas Pengertian, sejarah dan perkembangan kultur jaringan,
klasifikasi serta teori-teori dasar pengerjaannya untuk diaplikasikan pada perbanykan
tanaman secara in vitro, pemanfaatan berbagai jenis kultur dalam produksi metabolit
sekunder, juga uraian tentang peluang komersil dan kendala yang dihadapi.

1.2. Kegunaan Mata Kuliah


Pemahaman tentang berbagai konsep yang tercakup dalam mata kuliah kultur
jaringan tumbuhan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam memahami
pemanfaatan teknik kultur jaringan dalam rangka perbanyakan tanaman secara cepat dan
efisien, dan pada akhirnya mahasiswa dapat mengidentifikasi peluang aplikasi berbagai
teknik kultur jaringan, dan pemanfaatannya dalam produksi metabolit sekunder, juga
peluang komersil lainnya serta kendala yang dihadapi

1.3. Tujuan Umum

Bahan Ajar Kultur Jaringan 1


Setelah mengikuti mata kuliah ini, diharapkan mahasiswa dapat memahami teori
dasar kultur jaringan tanaman, perkembangan kultur jaringan tanaman, fasilitas kerja in
vitro, berbagai jenis kultur, dan terapannya dalam bidang kefarmasian

1.4. Susunan Materi Ajar


1) Sejarah dan Terminologi, Prinsip Dasar dan Tipe-tipe Kultur Jaringan
2) Laboratorium dan Alat Teknik Kultur Jaringan
3) Media Kultur Jaringan
4) Tipe-tipe Dasar Mikropropagasi
5) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Teknik Kultur Jaringan
6) Faktor-faktor Lingkungan yang Berpengaruh Terhadap Perkembangan Kultur

7) Isolasi, Inokulasi dan Sub Kultur


8) Aspek Kultur Jaringan
9) Aklimatisasi
10) Masalah-masalah dalam Kultur Jaringan

1.5. Petunjuk Bagi Mahasiswa


1) Baca dan fahami isi bahan ajar ini dan dianjurkan anda tetap memperkaya dengan
bacaan literatur yang relevan
2. Kerjakan secara individual/kelompok soal-soal latihan yang ada pada setiap bab
3. Dengan bimbingan dosen diskusikan soal-soal tersebut sampai anda paham benar
konsepnya.
4. Ikuti penjelasan dan contoh yang dijelaskan dosen
5. Diskusilah dengan teman hal-hal yang masih belum terlalu dikuasai, dan berusahalah
mencari informasi dari bahan bacaan lain seperti jurnal dan informasi lain yang dapat
diakseses melalui internet
6. Ikuti kegiatan praktikum dari tiap bagian.

1.6 Tujuan Pembelajaran Khusus

Bahan Ajar Kultur Jaringan 2


1. Mendeskripsikan pengertian dan ruang lingkup kultur jaringan serta prinsip dan
prospek pengembangannya.
2. Mendeskripsikan sarana laboratorium yang standar untuk kultur jaringan serta
kelengkapan yang digunakan
3. Menjelaskan Komposisi Media dan Preparasi Media Kultur Jaringan
4. Menjelaskan tipe-tipe dasar mikropropagasi
5. Menjelaskan Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan teknik kultur jaringan
6. Menguraikan tentang faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
perkembangan kultur
7. Menjelaskan cara melakukan isolasi, inokulasi dan sub kultur
8. Menjelaskan aspek kultur jaringan
9. Menjelaskan prosedur aklimatisasi
10. Menjelaskan masalah-masalah dalam kultur jaringan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 3


Bab I

SEJARAH DAN TERMINOLOGI, PRINSIP DASAR SERTA TIPE-TIPE


KULTUR JARINGAN
A. Deskripsi Singkat
Bab ini memberi pemahaman dasar tentang kultur jaringan, pembahsannya
mencakup sejarah perkembangan kultur jaringan, prinsip dasar dan tipe-tipe kultur
jaringan.

B. Relevansi
Pengetahuan tentang sejarah dan terminologi, prinsip dasar dan tipe-tipe kultur
jaringan akan mendasari pemahaman mahasiswa tentang berbagai konsep lanjut yang
berhubungan dengan aplikasi kultur jaringan untuk beberapa tujuan tertentu misalnya
perbanyakan tanaman secara cepat dan efisien, produksi metabolit sekunder dan
sebagainya.

C. Tujuan Khusus
Pada akhir perkuliahan mahasiswa diharapkan memahami perkembangan
teknologi kultur jaringan tanaman ditinjau dari perspektif sejarahnya dan dapat
menggunakan secara tepat beberapa terminologi penting dari teknologi ini

1.2. Penyajian Materi

A. Sejarah Perkembangan Kultur Jaringan

Sejarah perkembangan teknik kultur jaringan dimulai pada tahun 1838 ketika
Schwann dan Schleiden mengemukakan teori totipotensi yang menyatakan bahwa sel-sel
bersifat otonom, dan pada prinsipnya mampu beregenerasi menjadi tanaman lengkap.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 4


Teori yang dikemukakan ini merupakan dasar dari spekulasi Haberlandt pada awal abad
ke-20 yang menyatakan bahwa jaringan tanaman dapat diisolasi dan dikultur dan
berkembang menjadi tanaman normal dengan melakukan manipulasi terhadap kondisi
lingkungan dan nutrisinya. Walaupun usaha Haberlandt menerapakan teknik kultur
jaringan tanaman pada tahun 1902 mengalami kegagalan, namun antara tahun 1907-
1909 Harrison, Burrows, dan Carrel berhasil mengkulturkan jaringan hewan dan
manusia secara in vitro.

Keberhasilan aplikasi teknik kultur jaringan sebagai sarana perbanyakan tanaman


secara vegetatif pertama kali dilaporkan oleh White pada tahun 1934, yakni melalui
kultur akar tomat. Selanjutnya pada tahun 1939, Gautheret, Nobecourt, dan white
berhasil menumbuhkan kalus tembakau dan wortel secara in vitro. Setelah Perang Dunia
II, perkembangan teknik kultur jaringan sangat cepat, dan menghasilkan berbagai
penelitian yang memiliki arti penting bagi dunia pertanian, kehutanan, dan hortikultura
yang telah dipublikasikan.

Pada awalnya, perkembangan teknik kultur jaringan tanaman berada di belakang


teknik kultur jaringan manusia. Hal itu disebabkan lambatnya penemuan hormon
tanaman (zat pengatur tumbuh). Ditemukakannya auksin IAA pada tahun 1934 oleh
Kögl dan Haagen-Smith telah membuka peluang yang besar bagi kemajuan kultur
jaringan tanaman. Kemajuan ini semakain pesat setelah ditemukannya kinetin (suatu
sitokinin) pada tahun 1955 oleh Miller dan koleganya. Pada tahun1957, Skoog dan
Miller mempublikasikan suatu tulisan ”kunci” yang menyatakan bahwa interaksi
kuantitatif antara auksin dan sitokinin berpengaruh menentukan tipe pertumbuhan dan
peristiwa morfogenetik di dalam tanaman. Penelitian kedua ilmuwan tersebut pada
tanaman tembakau mengungkapkan bahwa rasio yang tinggi antara auksin terhadap
sitokinin akan menginduksi morfogenesis akar, sedangkan rasio yang rendah akan
menginduksi morfogenesis pucuk. Namun pola yang demikian ternyata tidak berlaku
secara universal untuk semua spesis tanaman.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 5


Ditemukannya prosedur perbanyakan secara in vitro pada tanaman anggrek
Cymbidium 1960 oleh Morel, serta diformulasikannya komposisi medium dengan
konsentrasi garam mineral yang tinggi oleh Murashige dan Skoog pada tahun 1962,
semakin merangsang perkembangan aplikasi teknik kultur jaringan pada berbagai
spesies tanaman. Perkembangan yang pesat pertama kali dimulai di Perancis dan
Amerika, kemudian teknik inipun di kembangkan di banyak negara, termasuk Indonesia,
dengan prioritas aplikasi pada sejumlah tanaman yang memiliki arti penting bagi
masing-masing negara.

Meningkatnya penelitian kultur jaringan dalam dua dekade terakhir telah


memberi sumbangan yang sangat besar bagi ahli pertanian, pemuliaan tanaman, botani,
biologi molekuler, biokimia penyakit tanaman, dan sebagainya. Karena kultur jaringan
telah mencapai konsekuensi praktis yang demikian jauh di bidang pertanian, pemuliaan
tanaman dan sebagainya maka dapat dipastikan junlah penelitian dan aplikasi teknik ini
akan terus meningkat pada masa-masa mendatang. Pierik (1997) mengemukakan
sejumlah peristiwa penting dalam sejarah perkembangan kultur jaringan hingga dekade
1980 an sebagai berikut;

1892 Ditemukan fenomena sintesis senyawa-senyawa pembentuk organ yang


didistribusikan secara polar di dalam tanaman.

1902 Usaha perrtama aplikasi kultur jaringan tanaman.

1904 Usaha pertama aplikasi kuktur embrio sejumlah tanaman Cruciferae

1909 Fusi protoplas tanaman, namun produk yang dihasilkan mengalami kegagalan
untuk hidup

1922 Perkecambahan in vitro biji anggrek secara asimbiosis.

1922 Kultur in vitro ujung akar

1925 Aplikasi kultur embrio pada tanaman Linum hasil silang antar spesies

Bahan Ajar Kultur Jaringan 6


1929 Kultur embrio Linum untuk menghindari inkompatibilitas persilangan

1934 Kultur in vitro jaringan kambium dari sejumlah tanaman pohon dan perdu
mengalami kegagalan karena tidak adanya ketrelibatan auksin

1934 Keberhasilan kultur akar tanaman tomat.

1936 Kultur embrio sejumlah tanaman Gymnospermae

1939 Keberhasilan menumbuhkan kultur kalus secara kontinu

1940 Kultur in vitro jaringan kambium dari tanaman Ulmus untuk mempelajari
pembantukan tunas adventif

1941 Air kelapa (Yang mengandung faktor pembelahan sel) untuk pertama kalinya
digunakan pada kultur embrio tanaman Datura

1941 Kultur in vitro jaringan tumor crown-gall

1944 Untuk pertama kalinya kultur in vitro tembakau digunakan pada penelitian
pembantukan tunas adventif

1945 Budi daya potongan tunas tanaman Asparagus secara in vitro

1946 Untuk pertama kalinya diperoleh tanaman Lupinus dan Tropaelum dari kultur
pucuk

1948 Pembentukan akar dan tunas adventif tanaman tembakau ditentukan oleh rasio
auksin : adenin

1950 Regenerasi organ tanaman dari jaringan kalus Sequoia sempervirens.

1952 Aplikasi sambung mikro (micrografiting) untuk pertama kalinya

1953 Produksi kalus haploid tanaman Ginkgo biloba dari kultur serbuk sari

Bahan Ajar Kultur Jaringan 7


1954 Pengkajian terhadap perubahan-perubahan kariologi dan sifat-sifat kromosom
pada kultur endosperm tanaman jagung

1955 Penemuan kinetin, yaitu suatu hormon perangsang pembelahan sel.

1956 Realisasi pertumbuhan kultur di dalam sistem multiliter untuk menghasilkan


metabolit sekunder.

1957 Ditemukannya pengaturan pembentukan organ (akar dan pucuk) dengan


mengubah rasio antara auksin dan sitokinin

1958 Regenerasi embrio somatik secara in vitro dari jaringan nuselus tanaman Citrus
ovules

1958 Regenerasi proembrio dari massa kalus dan suspensi sel tanaman wortel

1959 Publikasi buku pegangan mengenai kultur jaringan tanaman untuk pertama kali

1960 Keberhasilan pembuahan in vitro pada Papaver rhoeas untuk pertama kalinya

1960 Degradasi dinding sel secara enzimatik untuk memperoleh protoplas dalam
jumlah besar.

1960 Perbanyakan vegetatif tanaman anggrek melalui kultur meristem

1960 Filtrasi suspensi sel dan isolasi sel tunggal

1962 Pengembangan medium dasar Murashige dan Skoog (MS)

1964 Produksi tanaman Datura haploid dari kultur serbuk sari untuk pertama kalinya

1964 Regenerasi tunas dan akar pada jaringan kalus tanaman Populus tremuloides

1965 Induksi pembungaan secara in vitro pada tanaman tembakau

Bahan Ajar Kultur Jaringan 8


1965 Diferensiasi tanaman tembakau dari isolasi sel tunggal pada kultur mikro

1967 Induksi pembentukan bunga pada Lunaria annua dengan vernalisasi secara in
vitro

1967 Produksi tanaman haploid dari kuktur serbuk sari tanaman tembakau (Nicotiana
tabacum).

1969 Analisis kariologi tanaman yang diregenerasikan dari kultur kalus tembakau.

1969 Keberhasilan isolasi protoplas dari kultur suspensi Haplopappus gracilis untuk
pertama kalinya

1970 Seleksi mutan biokimia secara in vitro

1970 Pemanfaatan kultur embrio untuk menghasilkan barley monoploid

1970 Keberhasilan peleburan protoplas untuk pertama kalinya

1971 Keberhasilan regenerasi tanaman dari kultur protoplas untuk pertama kalinya.

1972 Hibridisasi antarspesies melalui peleburan protoplas pada dua spesies Nicotiana

1973 Sitokinin diketahui mampu memecahkan dormansi pada eksplan jaringan


kapitulum tanaman Gerbera

1974 Induksi percabangan aksilar oleh sitokinin pada eksplan tunas tanaman Gerbera.

1974 Regenerasi Petunia hybrida haploid dari kultur protoplas.

1974 Diketahui bahwa peleburan protoplas haploid dapat dilakukan sehingga


mendukung hibridisasi

1974 Biotransformasi pada kultur jaringan tanaman

Bahan Ajar Kultur Jaringan 9


1974 Penemuan Ti-plasmid pada Agrobacterium sebagai senyawa penginduksi
pembentukan tumor

1975 Seleksi positif terhadap kultur kalus tanaman jagung yang resisten terhadap
Helminthosporium maydis.

1976 Inisiasi pucuk dari eksplan tunas tanaman anyelir yang berasal dari penyimpanan
pada suhu rendah (kreopreservasi).

1976 Hibridisasi antarspesies melalui peleburan protoplas pada tanaman Petunia


hybrida dan P. Parodii.

1976 Sintesis dan perombakan oktopin dan nopalin diketahui dikontrol secara genetis
oleh Ti-plasmid Agrobacterium tumefaciens.

1977 Keberhasilan integrasi DNA Ti-plasmid dari Agrobacterium tumefaciens pada


tanaman

1978 Hibridisasi somatik tomat dan kentang

1979 Pengembangan prosedur co-cultivation untuk teransformasi protoplas tanaman


dengan Agrobacterium

1980 Pemanfaatan sel untuk biotransformasi digitoksin menjadidigoksin

1981 Pengenalan istilah variasi somaklon atau keragaman somaklon

1981 Isolasi auksotrop melalui skrining berskala besar terhadap koloni sel yang
diperoleh dari protoplas haploid tanaman Nicotiana plumbaginifolia dengan
perlakuan mutagen.

1982 Protoplas dapat bergabung dengan DNA telanjang sehingga memungkinkan


untuk dilakukannya transformasi dengan isolasi DNA.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 10


1983 Hibidisasi sitoplasma antargenus pada tanaman bit dan Brassica napus

1984 Transformasi sel tanaman dengan DNA plasmid

1985 Infeksi dan transformasi potongan daun dengan Agrobacterium tumefaciens dan
regenerasi tanaman yang mengalami transformasi

Sejak tahun 1980-an sampai sekarang, teknik kultur jaringan tanaman sudah
berkembang sangat pesat di seluruh penjuru dunia sehingga sulit untuk dipantau.
Terlebih lagi, banyak terobosan yang memiliki nilai komersial tinggi yang diciptakan
oleh institusi-institusi riset pada berbagai perusahaan besar yang tidak dipublikasikan.
Pemanfaatan yang nyata dari teknik tersebut, disamping untuk perbanyakan tanaman,
juga di bidang rekayasa genetika (genetic engineering) untuk perbaikan mutu genetika
tanaman pertanian. Sudah banyak varietas, bahkan spesies baru yang diciptakan melalui
teknik fusi protoplas. Demikian pula dengan aplikasi teknik tersebut pada eliminasi
penyakit, terutama penyakit virus dan produksi metabolit sekunder dengan bantuan
Agrobacterium sudah menjadi teknik yang rutin dilakukan oleh para pakar di berbagai
penjuru dunia, termasuk Indonesia. Hanya saja aplikasi teknik kultur jaringan untuk
pelestarian plasma nutfah tampaknya masih harus menempuh perjalanan panjang untuk
sampai pada sasaran yang diharapkan.

B. Terminologi

Kultur jaringan (tissue culture) sampai saat ini digunakan sebagai suatu istilah
umum yang meliputi pertumbuhan kultur secara aseptik dalam wadah yang umumnya
tembus cahaya. Sering kali kultur aseptik disebut juga kultur in vitro yang artinya
sebenarnya adalah kultur di dalam gelas.

Pemahaman terhadap istilah-istilah yang sering digunakan dalam kultur in vitro


merupakan suatu hal yang sangat mendasar. Istilah-istilah yang sering digunakan dalam
kultur jaringan adalah sebagai berikut;

Bahan Ajar Kultur Jaringan 11


1. Bahan tanam yang digunakan dalam kultur jaringan biasanya disebut dengan
eksplan.

2. Kalus; a) suatu jaringan yang tersusun oleh sel-sel terdediferensiasi yang umumnya
dihasilkan oleh jaringan yang luka atau kultur jaringan pada media yang berisi
auksin tertentu, atau b) pertumbuhan aktif massa sel yang belum dan terdiferensiasi
dan tidak terorganisir yang berkembang dari jaringan luka atau kultur jaringan yang
ditanam pada media dengan tambahan zat pengatur tumbuh.

3. Dalam kultur jaringan sering dilakukan pemindahan eksplan dari media I (untuk
induksi kalus) ke media II (media untuk induksi organ tunas dan akar). Pemindahan
eksplan dari media satu ke media lain (baik jenis medianya sama atau lain) dikenal
dengan istilah sub kultur.

4. Setiap masa inkubasi disebut passage. Passage pertama adalah sub kultur pertama
dari jaringan yang terbentuk dari eksplan awal.

5. Bahan yang diambil pada setiap sub kultur disebut inokulum.

6. Kultur asenik adalah kultur dengan hanya satu macam organisme yang diinginkan.

7. Eksplan yang ditanam pada media tumbuh yang tepat, dapat beregenerasi melalui
proses yang disebut organogenesis atau embriogenesis. Oraganogenesis adalah
proses terbentuknya organ-organ seperti pucuk dan akar.

8. Pucuk yang terbentuk pada tempat yang ukan jaringan asalnya (origin) yang biasa
disebut pucuk adventif. Seperti pucuk yang terbentuk dari kalus, hipokotil,
kotiledon, dan akar.

9. Embriogenesis adalah proses terbentuknya embrio somatik

10. Embrio somatik (nonzygotic embryo) adalah embrio yang bukan berasal dari zigot,
tetapi dari sel tubuh tanaman.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 12


11. Bila embrio terbentuk dari kultur anther atau mikrospora disebut androgenesis, bila
berasal dari ovari yang belum mengalami fertilisasi disebutgynogenesis.

12. Anakan tanaman yang telah lengkap memiliki organ daun, batang dan akar hasil
kultur jaringan disebut planlet (plantula).

13. Plantula yang akan dipindah ke lapangan dan diperlakukan sebagai bibit, harus
mengalami masa adaptasi dari kultur heterotropik menjadi kultur autotropik. Masa
adaptasi plantula disebut dengan aklimatisasi.

14. Pucuk-pucuk yang terbantuk dari jaringan kalus, terutama yang sudah mengalami
sub kultur, dapat bervariasi. Variasi-variasi ini disebut variasi somaklonal. Penyebab
variasi ini belum diketahui dengan pasti, ada kemungkinan variasi ini sudah ada
dalam eksplan asal karena sifat kromosom mosaik dalam sel-sel somatik ataupun
terjadi akibat lingkungan di dalam kultur.

15. Salah satu variasi yang terjadi adalah tanaman yang aneuploid yaitu tanaman yang
jumlah kromosommya 2n-1 atau 2n+1.

16. Sel-sel dalam kalus atau sel-sel dari jaringan daun siisolasi dengan perlakukan enzim
meupakan bahan untuk memperoleh protoplasma. Protoplasma-protoplasma
diperoleh dengan menghilangkan dinding sel dengan bantuan enzim-enzim cellulase,
hemicellulase dan pektinase. Propoplasma kemudian dapat ”dipaksa” untuk saling
menempel dan bersatu membentuk suatu fusi sel. Proses ini merupakan bidang
pemulaiaan yang disebut hibridisasi genetik.

17. Hasil gabungan dua atau lebih protoplasma yang berbeda jenis dengan inti-intinya
dikenal dengan istilah heterokarion.

18. Bila hanya sitoplasma yang bergabung maka disebut cybrid.

C. Prinsip Dasar

Bahan Ajar Kultur Jaringan 13


Kultur jaringan sesuai dengan definisinya sebagai teknik budidaya sel, jaringan,
dan organ tanaman dalam suatu lingkungan yang terkendali dan dalam keadaan aseptik
atau bebas mikroorganisme, mengandung dua prinsip dasar yang jelas yaitu; 1) Bahan
tanam yang bersifat totipoten dan 2) budi daya yang terkendali.

1) Bahan tanam yang bersifat totipotensi.

Konsep dasar ini adalah mutlak dalam pelaksanaan kegiatan kultur jaringan
karena hanya dengan sifat totipotensi ini, sel, jaringan, organ yang digunakan akan mapu
tumbuh dan berkembang sesuai arahan dan tujuan budidaya in vitro yang dilakukan.
Umumnya sifat totipotensi lebih banyak dimiliki oleh bagian tanaman yang masih
juvenil, muda, dan banyak dijumpai pada daerah-daerah meristem tanaman. Tetapi tidak
menutup kemungkinan bagian tanaman yang sudah dewasa bila mendapat lingkungan
yang cocok akan bertotipotensi sehingga mampu tumbuh dan berkembang. Pada
keadaan tersebut bisa terjadi karena pada keadaan in vitro tanaman mampu melakukan
aktifitas dediferensiasi yaitu proses perkembangan balik dari bagian dewasa tanaman
menjadi sekolompok sel yang terus menerus membelah (disebut kalus) atau bisa pula
menjadi zigot. Selain itu juga dapat terjadi rediferensiasi yaitu proses tumbuh dan
berkembangnya kembali kalus atau zigot tersebut tumbuh dan berkembang membentuk
spesialisasi ke arah terbentuknya akar, daun atau tunas hingga menjadi tanaman lengkap.

Kondisi totipotensi bahan tanam antara satu tanaman dengan tanaman yang lain
sangat berbeda, bahkan perbedaan juga mungkin terjadi pada satu tanaman yang sejenis.
Perbedaan dalam hal cara, waktu dan musim pengambilan bahan tanam juga memberi
pengaruh pada keberhasilan kegiatan kultur jaringan. Penanganannya ada yang mudah
dan adapula yang sangat sulit. Yang banyak dilakukan dan dianggap relatif mudah
misalnya tanaman wortel, beberapa jenis anggrek, bawang, tembakau, pisang. Beberapa
yang dikenal sulit misalnya mangga, salak, bambu dan tanaman lain yang umumnya
mengandung fenolat tinggi atau bisa juga rendah kemampuan berdiferensiasi dan
rediferensiasinya.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 14


Bahan tanam yang sementara ini umum digunakan dalam kegiatan kultur
jaringan dan sering terbukti dapat tumbuh dan berkembang adalah:

i) Sel, bahan ini biasanya ditanam dalam bentuk suspensi dengan kepadatan
yang telah ditentukan. Paling umum sel-sel ini diambil dari kalus, agar
membentuk agregat kecil atau sel tunggal maka kalus dimasukkan dalam
media cair kemudian disentrifugasi berulang atau bisa juga dengan prosedur
enzimatik.

ii) Protoplas, bahan ini biasanya juga ditanam dalam bentuk suspensi dengan
kepadatan yang telah ditentukan. Mesofil daun, teras batang, kalus adalah
bagian tanaman yang umum dipakai sebagai sumber propolas. Untuk
mendapatkan suspensi protoplas harus digunakan medium yang mengandung
enzim (enzimztic medium), proses pencucian dengan medium pencuci
(washing medium), sentrifugasi dan kemudian purifikasi.

iii) Jaringan meristem, adalah merupakan jaringan tanaman yang terdapat pada
daerah-daerah pertumbuhan. Ciri jaringan ini tersusun oleh sekelompok sel
yang terus menerus membelah, sehingga belum ada spesialisasi bentuk dan
fungsi dari sel-sel yang menyususnnya. Pada derah apikal meristem ada
daerah yang sangat kecil terdiri dari sel-sel yang sangat progresif sebagai titk
pertumbuhan dan dikenal sebagai meristem dome. Meristem ini hanya dapat
diisolasi di bawah mikroskop dan terbukti baik sebagai bahan untuk
mendapat tanaman yang bebas bakteri dan virus.

iv) Kalus, adalah merupakan masa sel yang aktivitas pembelahannya tidak
terkendali dan belum terdiferensiasi. Sel-sel ini secara alamiah muncul dan
tumbuh akaibat proses perlakuaan atau akibat perlakuan tertentu dalam kultur
jaringan. Bahan ini sangat potensial untuk digunakan dalam berbagai
kegiatan kultur lanjutan.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 15


v) Organ, bahan ini adalah bahan yang paling umum digunakan dalam kegiatan
kultur jaringan. Bahan ini meliputi: daun, batang, akar, biji, tunas, embrio,
anther, kepala sari, dan lain sebagainya. Bahan-bahan ini ada yang memang
langsung digunakan untuk mendapatkan produk yang diinginkan tetapi ada
juga yang hanya digunakan sebagai bahan kultur awal sehingga hanya
sebagai jalan untuk mendapatkan organ juvenil, atau kalus yang umumnya
relatif bersifat meristematik dan steril.

2) Budidaya yang terkendali.

Sifat bahan yang totipotensi saja tidak cukup intuk kesuksesan kegiatan kultur
jaringan. Keadaan media tempat tumbuh, lingkungan yang mempengaruhinya
(kelembaban, temperatur, cahaya) serta keharusan sterilitas adalah hal mutlak yang
harus terkendali.

Konsep dasar yang kedua ini harus difahami benar. Informasi mengenai kultur
yang akan dilakukan harus banyak dicari. Mulai dari media dasar apa yang digunakan,
perlu modifikasi atau tidak, bagaimana komponen dan takaran vitamin yang
ditambahkan, mau padat atau cair, akan ada perlakuan hormon atau tidak, berapa
konsentrasi yang digunakan, hormon tunggal atau kombinasi, berapa pH media,
seberapa banyak akan dibuat dan lain sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini
layak dilakukan dan harus dicari jawabannya sebelum melangkah pada kegiatan
teknisnya.

Agar pengaruh lingkungan terkendali maka harus ditentukan bagaimana


pencahayaan yang diperlukan, baik dari intensitas maupun periodisasi pencahayaannya.
Pastikan dan catat fluktuasi perubahan temperatur ruangan kultur, sesuaikan dengan
kebutuhan yang diperlukan. Pada laboratorium-laboratorium yang maju pengadaan
generator untuk mengantisipasi terjadinya gangguan aliran listrik umumnya sangat
prioritas. Sedangkan untuk menjamin sterilitaskegiatan kultur jaringan yang terdiri dari

Bahan Ajar Kultur Jaringan 16


sterilitas bahan tanam, media tanam, alat-alat, ruang tabur, laminar air flow, ruang
inkubator, ruang kultur dan lain-lain dilakukan secara spesifik.

Untuk bahan tanam umumnya sterilisasi dilakukan dengan menggunakan bahan


kimia misalnya: alkohol, kalsium hipoklorit, Natrium hipoklorit, Hidrogen peroksida,
Merkuri klorid, Fungisida, Bakterisida, Betadin, Bayclin. Konsentrasi yang digunakan
dan lamanya perendaman antara satu dengan yang alinnya berbeda-beda, ada yang
digunakan pada konsentrasi yang rendah karena sangat beracun (mercury clorid) hanya
diperlukan 0,1-0,2 persen dengan lama perendaman 10-20 menit. Sedangkan alkohol
yang diperlukan berkonsentrasi 70 % dan lama perendamannya hanya ½ hingga 1 menit
saja. Namun demikian penentuan sterilan, konsentrasi dan lamanya perendaman
ditentukan oleh keadaan dari bahan tanam. Seringkali diperlukan kajian tersendiri untuk
dapat menentukan bahan sterilan, konsentrasi dan lamanya perendaman. Tahapan ini
penting menjadi perhatian karena kecorobohan akan membawa keadaan bahan tanam
tidak steril atau rusak hingga tidak tumbuh.

Untuk sterilisasi peralatan dan media yang hendak dipakai biasanya dilakukan
dengan menggunakan alat yang disebut Autoclave. Alat ini bekerja atas dasar temperatur
dan tekanan. Ada yang kerjanya menggunakan listrik dan ada pula yang menggunakan
kompor gas. Temperatur yang digunakan untuk sterilisasi adalah 121о C dengan tekanan
antara 15 – 18 psi (pounds per squar inch) selama 15 menit. Sedangkan sterilisasi ruang
transfer/penabur, ruang inkubasi, ruang kultur umumnya dilakukan dengan
menggunakan sinar ultra violet. Khusus untuk laminar air flow biasanya sebelum
penggunaan dibersihkan dengan alkohol 70 % kemudian lampu ultra violet dinyalakan
selama 1 – 2 jam.

Perpaduan prinsip bahan tanam yang totipoten dan budidaya yang terkendali
harus pula diimbangi penguasaan teknik prosedur kerja yang baik. Kehati-hatian,
kecermatan, kketekunan dan usaha preventif menjaga kemungkinan terjadinya
kontaminasi adalah sikap yang sangat penting dikembangkan dalam kegiatan ini.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 17


D. Tipe-Tipe Kultur Jaringan

Dalam pelaksanaannya teknik kultur jaringan dijumpai beberapa tipe sebagai


berikut;

i) Kultur biji (seed culture), merupakan budidaya yang bahan tanamnya


menggunakan biji atau seedling

ii) Kultur organ (organ culture), merupakan budidaya yang bahan tanamnya
menggunakan organ seperti; ujung akar, pucuk aksilar, tangkai daun, helaian
daun, bunga, buah muda, inflorescentia, buku batang, akar dll

iii) Kultur kalus (callus culture), merupakan kultur yang menggunakan jaringan
(sekumpulan sel) biasanya berupa jaringan parenkim sebagai eksplannya.

iv) Kultur suspensi sel (suspension culture) adalah kultur yang menggunakan
media cair dengan pengecokan yang terus menerus menggunakan shaker dan
menggunakan sel atau agregat sel sebagai bahan eksplannya, biasanya
eksplan yang digunakan berupa kalus atau jaringan meristem.

v) Kultur protoplasma, eksplan yang digunakan adalah sel yang telah dilepas
bagian dindingnya menggunakan bantuan enzim. Protoplas diletakkan pada
media padat dibiarkan agar membelah diri dan membentuk dinding selnya
kembali. Kultur protoplas biasanya untuk keperluan hibridisasi somatik atau
fusi sel soma (fusi dua protoplas baik intraspesifik maupun interspesifik)

vi) Kultur haploid adalah kultur yang berasal dari bagian reproduktif tanaman
yakni: kepala sari/anther (kultur anther/kultur mikrospora), tepungsari/pollen
(kultur pollen), ovule (kultur ovule), sehingga dapat dihasilkan tanaman
haploid.

Kultur in vitro memiliki peranan yang sangat penting untuk mendapatkan hasil-
hasil yang tidak mungkin dicapai melalui kultur in vivo. Berikut ini disajikan aplikasi

Bahan Ajar Kultur Jaringan 18


sejumlah metode kultur jaringan beserta tujuan dari aplikasi tersebut sebagaimana
diuraikan oleh Pierik 1997 (dalam Zulkarnain, 2009).

Beberapa tipe kultur dan tujuannya berdasarkan macam jaringan atau organ yang
digunakan

Tipe Kultur Tujuan

Kultur embrio - Mempersingkat siklus pemuliaan tanaman

- Mengatasi aborsi embrio

- Mengatasi inkompatibilitas

- Sebagai sumber pembentukan kalusw

Kultur biji anggrek - Mempersingkat siklus pemuliaan

- Menggantikan simbiosis (mikoriza)

- Meniadakan kompetisi dengan mikroorganisme lain

Kultur meristem - Eliminasi patogen (virus, cendawan, dan bakteri)

- Perbanayakan vegetatif pada anggrek melalui protocorm-


like bodies (plb)

- Perbanyakan klon tanaman selain anggrek

- Penyimpanan tanaman bebas penyakit

- Pengangkutan fotosintat

- Koleksi plasma nutfah

Kultur tunas dan buku - Perbanyakan anggrek


tunggal - Percabangan aksilar sebagai sarana perbanyakan klon
tanaman

Kreopreservasi untuk membuat bank gen

Kultur eksplan tanpa buku - Pembentukan organ vegetatif untuk perbanyakan klon

Bahan Ajar Kultur Jaringan 19


tanaman

- Mendapatkan tanaman bebas penyakit

- Isolasi mutan

- Mengatasi masalah kimera

- Mendapatkan poliploidi

Kultur kalus dan suspensi - Perbanyakan klon tanaman melalui pembentukan organ
dan embrio
sel
- Regenerasi varian-varian genetika

- Mendapatkan tanaman bebas virus

- Sebagai sumber untuk produksi protoplas

- Sebagai bahan awal untukkreopreservasi

- Produksi metabolit sekunder

- Biotransformasi

Kultur anthera dan - Produksi tanaman haploid dan mendapatkan tanaman


homozigot
mikrospora
- Sebagai titik awal untuk induksi mutasi

- Mendapatkan tanaman mandul yang semuanya berjenis


kelamin jantan

- Sebagai sarana manipulasi genetika

- Melakukan pemuliaan pada tingkat ploidi yang rendah

Kultur ovul - Mengatasi inkompatibilitas

- Mengatasi absisi bunga yang terlalu dini

- Mendapatkan pembuahan secara in vitro

Kultur protoplas - Hibridisasi somatik (melalui fusi protoplas)

- Penciptaan hibrida sel (cybrid)

Bahan Ajar Kultur Jaringan 20


- Pencangkokan inti, kromosom dan organel-organel sel

- Penelitian transformasi

- Regenerasi varian-varian genetika

Kultur sel, jaringan dan Sebagai sarana pada penelitian penyakit tanaman:
organ - Penetrasi dan replikasi virus

- Kultur parasit obligat

- Interaksi inang-parasit

- Kultur nematoda (kultur potongan akar)

- Pengujian fitotoksin

- Penelitian pembentukan nodul

Sebagai sarana pada penelitian fisiologi tanaman:

- Penelitian siklus sel

- Metabolisme tanaman

- Penelitian nutrisi

- Penelitian morfogenetik dan perkembangan

2.2 Tugas

Setiap mahasiswa diberi tugas melacak pada berbagai sumber mangenai sejarah dan
prospek kultur jaringan. Menginventarisisr dalam buku tugas berbagai terminologi yang
dijumpai dalam kultur jaringan

2.3 Latihan
Untuk memperdalam pemahaman Saudara tentang materi yang diuraikan di atas,
maka kerjakanlah soal-soal latihan di bawah ini :

Bahan Ajar Kultur Jaringan 21


1. Buatlah tabel yang terdiri atas dua lajur; jalur sebelah kiri berisi daftar jenis kultur
jaringan tumbuhan, dan jalur sebelah kanan sebagai pasangannya berisi uraian
tentang tujuan dari masing-masing jenis kultur tersebut
2. Disamping jenis dan tujuan seperti yang anda buat pada latihan nomor satu, maka
tipe kultur jaringan dapat pula didasrkan pada macam jaringan atau organ yang
digunakan sebagai eksplannya. Tuliskan kembali minimal 3 tipe diantaranya yang
paling anda ketahui.

3. Penutup
3.1 Rangkuman

Ruang lingkup kajian kultur jaringan dapat dibagi menjadi dua yaitu; yang pertama
dasar-dasar kultur jaringan yang mempelajari aspek dasar kultur jaringan meliputi
pengertian, sejarah, perkembangan, konsep dasar, laboratorium, media, nutrisi,
karakterisasi bahan tanam, prosedur umum, problem umum, respon fisiologi seperti
organogenesis dan embriogenesis, interaksi hormonal. Sedangkan yang kedua teknik
kultur jaringan yang mengkaji tentang konsep dasar dan prosedural teknik-teknik kultur
jaringan yang ada misalnya; kultur organ, kultur jaringan, kultur meristem, kultur kalus,
kultur sel, kultur protoplas, fusi protoplas, artificial seed, mikro stek, mikro grafiting dan
lain-lain.

Kultur jaringan sesuai dengan definisinya sebagai teknik budidaya sel, jaringan,
dan organ tanaman dalam suatu lingkungan yang terkendali dan dalam keadaan aseptik
atau bebas mikroorganisme, mengandung dua prinsip dasar yang jelas yaitu; 1) Bahan
tanam yang bersifat totipoten dan 2) budi daya yang terkendali.

Bahan tanam yang sementara ini umum digunakan dalam kegiatan kultur
jaringan dan sering terbukti dapat tumbuh dan berkembang adalah: sel, protoplas,
jaringan meristem, kalus, organ.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 22


Dalam pelaksanaannya teknik kultur jaringan dijumpai beberapa tipe yaitu;
kultur biji (seed culture), kultur organ (organ culture), kultur suspensi sel ( suspension
culture), kultur protoplasma dan kultur haploid. Disamping itu dikenal pula tipe kultur
berdasarkan macam jaringan atau organ yang digunakan yaitu; kultur embrio, kultur biji
anggrek, kultur meristem, kultur tunas dan buku tunggal, kultur eksplan tanpa buku,
kultur kalus dan suspensi sel, kultur anthera dan mikrospora, kultur ovul, dan
sebagainya.

3.2 Tes Formatif


Untuk memperdalam pemahaman Saudara tentang materi yang diuraikan di atas,
maka kerjakanlah soal-soal di bawah ini :
1. Ada beberapa terminologi yang penting untuk diketahui dan difahami dalam kultur
jaringan, jelaskan 3 diantaranya yang anda ketahui.
2. Kultur jaringan mempunyai 2 prinsip dasar, jelaskan kedua prinsip tersebut
3. Sebutkan tipe-tipe kultur berdasarkan macam jaringan atau organ yang digunakan
sebagai eksplan, minimal 3 tipe!

3.3. Kunci Jawaban


Jika anda menemui kesulitan dalam menjawab test formatif di atas, gunakan petunjuk
berikut

1. Menjawab pertanyaan ini lihat kembali uraian tentang beberapa terminologi dalam
kultur jaringan

2. Jawaban pertanyaan ini jelas ada di uraian tentang prinsip dasar kultur jaringan.

3. Anda akan mudah menjawab pertanyaan ini jika anda membuat latihan nomor dua

Tindak Lanjut

Bahan Ajar Kultur Jaringan 23


1. Apabila mahasiswa dapat menyelesaikan 80 % dari test formatif di atas, ia dapat
melanjutkan mempelajari lanjutan perkuliahan ini karena pengetahuan tentang bab
ini merupakan dasar untuk memahami juraian pada bab-bab selanjutnya.
2. Apabila mereka belum mencapai penguasaan 80 % mereka danjurkan:
a) Mempelajari kembali dari awal bahasan di atas;
b) Konsultasi dengan asisten dan dosen.

Kepustakaan
1. Santoso U dan Fatimah Nursandi, 2004. Kultur Jaringan Tanaman, UMM Press.
Malang
2. Margono, 2003. Kultur Jaringan Tumbuhan, Depdiknas
3. Suryowinoto, 1993, Pemuliaan Tanaman Secara In Vitro, UGM, Yogyakarta
Publishing
4. Zulkarnain, H. 2009, Kultur Jaringan Tanaman, Bumi Aksara, Jakarta

Senarai

- Ekasplan: Bahan tanam yang digunakan dalam kultur jaringan .

- Kalus; a) suatu jaringan yang tersusun oleh sel-sel terdediferensiasi yang umumnya

dihasilkan oleh jaringan yang luka atau kultur jaringan pada media yang

berisi auksin tertentu,

b) pertumbuhan aktif massa sel yang belum dan terdiferensiasi dan tidak

terorganisir yang berkembang dari jaringan luka atau kultur jaringan yang

ditanam pada media dengan tambahan zat pengatur tumbuh.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 24


- Sub kultur: pemindahan eksplan dari media I (untuk induksi kalus) ke media II (media

untuk induksi organ tunas dan akar). Pemindahan eksplan dari media satu

ke media lain (baik jenis medianya sama atau lain) dikenal dengan istilah

sub kultur.

- Inokulum: Bahan yang diambil pada setiap sub kultur

- Kultur asenik: Kultur dengan hanya satu macam organisme yang diinginkan.

- Oraganogenesis: proses terbentuknya organ-organ seperti pucuk dan akar.

- Pucuk adventif: pucuk yang terbentuk pada tempat yang ukan jaringan asalnya (origin)

yang biasa .Seperti pucuk yang terbentuk dari kalus, hipokotil, kotiledon, dan akar.

- Embriogenesis: proses terbentuknya embrio somatik.

BAB II

LABORATORIUM DAN ALAT TEKNIK KULTUR JARINGAN

2.1 Pendahuluan
A. Deskripsi Singkat
Bab ini membahas tata ruang laboratorium kultur jaringan serta penjelasan
mengenai peruntukan masing-masing ruangan, pengenalan alat-alat yang umum
digunakan dalam pekerjaan kultur jaringan.

B. Relevansi
Pengetahuan dan pemahaman tentang laboratorium dan alat yang lazim
digunakan dala bab ini akan menunjang pelaksanaan seluruh kegiatan dalam

Bahan Ajar Kultur Jaringan 25


laboratoriumkultur jaringan.. Pemahaman mahasiswa tentang laboratorium dan
peralatannya ini akan menentukan hasil kerja teknis mereka dalam aplikasi teknik kultur
jaringan

C. Tujuan Khusus
Pada akhir perkuliahan mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan tata ruang
laboratorium kultur jaringan tanaman yang ideal, serta menganali dengan baik alat-alat
yang umum digunakan dalam pekerjaan kultur jaringan tanaman

2.2 Penyajian Materi

A. Laboratorium Kultur Jaringan.

Dalam kultur jaringan, pertumbuhan eksplan atau inokulum diusahakan dalam


lingkungan aseptik dan terkendali. Implikasi dari keadaan ini adalah bahwa setiap
langkah dalam pelaksanannya harus dilakukan dalam laboratorium. Laboratorium yang
efektif merupakan salah Satu unsur penting yang ikut menentukan keberhasilan suatu
kegiatan, baik untuk keperluan penelitian, maupun produksi. Laboratorium kultur
jaringan sebaiknya mempunyai pembagian ruangan yang diatur sedemikian rupa
sehingga setiap kegiatan terpisah satu dengan yang lainnya, tetapi juga saling
berhubungan dan mudah dicapai.

Penataan ruangan dalam laboratorium, dikaitkan dengan langkah-langkah dalam


prosedur kultur jaringan dan alat-alat yang diperlukan. Kegiatan kultur jaringan di dalam
laboratorium, dibagi dalam 3 kelompok yaitu; (1) Persiapan media dan bahan tanam, (2)
Isolasi dan Penanaman, (3) Inkubasi dan penyinaran kultur.

Masing-masing kegiatan harus terpisah satu dengan yang lainnya, dengan


peralatan yang tersendiri, karena kegiatan-kegiatan tersebut, maka ruangan yang
dibutuhkan adalah:

1. Ruang persiapan dan ruang stok

Bahan Ajar Kultur Jaringan 26


2. Ruang isolasi dan penanaman

3. Ruang Kultur

4. Ruang Kantor

5. Ruang mikroskop atau ruang analisa.

Ruang kultur biasanya merupakan ruang yang terbesar dari ruang laboratorium
dan harus dipikirkan kemungkinan perluasan. Ruang persiapan dan ruang transfer
tergantung dari jumlah dan besar alat-alat, sedang ruang stok merupakan ruangan
terkecil dan tergantung dari macam pekerjaan, kadang-kadang dibutuhkan ruang
mikroskop dan/atau ruang analisa. Ukuran tiap ruangan sangat tergantung dari: a) alat-
alat yang dipergunakan, (b) jumlah personalia yang terlibat, (c) tujuan pekerjaan, (d)
kapasitas produksi, (e) biaya yang tersedia.
Ruangan laboratorium harus dijaga tetap bersih, serta bebas dari hewan kecil
seperti tikus dan insek (lalat, semut, kecoa dan lain-lain). Sarana dasar seperti : aliran
listrik yang cukup, air yang lancar, dan gas, merupakan perlengkapan yang dapat
dikatakan harus dimiliki.
Ruang ini merupakan bagian pusat kegiatan laboratories dimana sebagian besar
aktifitas kegiatan dikerjakan diruang ini. Aktifitas-aktifitas yang dikerjakan disini antara
lain mempersipakan media kultur dan bahan tanaman yang akan dipergunakan, sebagai
tempat mencuci alat-alat laboratorium dan tempat menyimpan alat-alat gelas. Fasilitas
yang dibutuhkan dalam ruangan ini adalah meja tempat meletakkan alat-alat pemanas,
meja untuk alat-alat timbang, meja untuk bekerja dan tempat mencuci.
Persiapan media meliputi penimbangan bahan, pengenceran media, penuangan ke
dalam wadah kultur dan sterilisasi. Persiapan bahan tanaman meliputi pencucian
kotoran-kotoran dari lapangan, pembuangan dan pemotongan bagian-bagian yang tidak
diperlukan serta perlakuan awal untuk mengurangi sumber kontaminasi yang ada pada
permukaan bahan tanaman.

1. Fasilitas Laboratorium Kultur jaringan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 27


Fasilitas laboratorium kultur jaringan di bagi dalam beberapa bagian yang
fungsinya satu sama lainnya berbeda-beda dan persyaratannya pun berbeda-beda pula.
Laboratorium kultur jaringan harus dirancang secara khusus. Karena ada bagian-bagian
atau ruangan-ruanagn yang harus dalam suasana steril atau bebas mikroba.
Ruang-ruang dalam kultur jaringan di kelompokkan menurut macam kegiatanyang
ada di dalamnya,, yaitu sebagai berikut:
A. Ruang Tidak Steril
* Ruang Tamu.
Dalam laborsatorium kultur jaringan sebaiknya dilengkapi dengan ruang
tamu, karena biasanya laboratorium kultur jaringan selalu di datangi tamu baik tamu
yang ingin melihat sarana dan suasana laboratorium maupun tamu ingin membeli
hasil biakan kultur jaringan.
* Ruang Administrasi.
Segala surat-menyurat tentang pembelian alat-alatlboratorium, pembelian
media kultur jringan, penjualan bibit-bibit hasil biakan kultur jaringan, dan
transaksi-transaksi ataupun perjanjian-perjanjian kerja sama tentang penelitian
dilaksanakan di dalam ruangan administrasi.
* Ruang Staf
Laboratorium kultur jaringan membutuhkan staf peneliti dalam jumlah
banyak, tujuannya adalah agar dapat di adakan pembagian kerja sesuai dengan
spesialisasinya masing-masing. Di dalam ruang staf ini dapat pula di lakasanakan
diskusi antar staf pada waktu berkumpul bersama.
* Kamar Mandi dan WC.
Ruang kultur jaringan harus dalam suasana bersih untuk menghindari kontaminasi
oleh mikroba. Bila pekerja akan memasuki ruangan penabur atau ruang inkubator,
tubuh dan pakaiannya harus bersih, tidak berkeringat dan tidak berdebu. Untuk inilah
kamar mandi dan wc perlu diadakan.
* Ruang Ganti Pakaian.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 28


Untuk menghindari timbulnya kontaminasi oleh mikroba, maka para
karyawan di dalam laboratorium kultur jaringan perlu memakai pakaian yang
bersih, dalam arti baru di cuci. Oleh karena itu dalam ruangan kultur jaringan perlu
di adakan ruang ganti pakaian.
* Ruang Tempat Penyimpanan Bahan Kimia dan Alat-alat dari Gelas
Komponen bahan kimia penyusun media kultur jaringan sangat banyak
macamnya. Oleh karena itu, penyimpanannya memerlukan pengaturn yang khusus
supaya mudah mecarinya. Penyimpanan yang tidak teratur akan mempelambat
dalam pekerjaan, misalnya dalam mencari salah sau komponen media saja
membutuhkan waktu yang lama. Bahan kimia yang mahal harganya seperti hormon
tumbuh dan enzim untuk isolasi protoplas harus disimpan dala ruangan yang sejuk.
Alat-alat dari gelas seperti erlenmeyer, gelas ukurdan alat gelas lainnya perlu
disimpan dalam almari tersendiri.
* Ruang Preparasi.
Di dalam ruangan ini disediakan peralatan dan tempat untuk mencuci alat-alat
laboratorium yang akan digunakan. Peralatan yang ada antara lain keranjang-
keranjang plastik untuk tempat peralatan yang baru dicuci.
* Ruang Penimbangan dan Sterilisasi.
Bermacam-macam media kultur jaringan dijual dalam bentuk kemasan dengan
harga yang relatif mahal. Oleh karena itu, staf labolatorium lebih senang meramu
sendiri medium tanam yang dibutuhkannya.dengan demikian dibutuhkan lat untuk
menimbang semua komponen bahan kimia tersebut. Misalnya menimbang bahan
kimia makro dan mikro.
* Rumah Kaca (Green House)
Rumah kaca adalah suatu bangunan yang atap dan sekeliling dinding bagian
atasnya terbuat dari kaca. Tujuan penyediaan rumah kaca adalah untuk tempat
meletakkan pot-pot bibit tanaman, baik bibit yang akan dijadikan bahan kultur
jarinang maupun bibit hasil dari kultur jaringan yang sudah siap djual atau
dipelihara sendiri.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 29


B. Ruang Tidak Mutlak Steril
* Ruang Planlet.
Ruangan ini menggunakan alat pendingi (AC), maka temperatur ruangan
dapat mencapai sekitar 25O C sehingga ideal bagi pertumbuhan planlet. Botol-botol
yang berisi planlet jumlahnya dapat mencapai ratusan. Oleh sebab itu, dalam
ruangan ini perlu disediakan rak-rak alumunium yang dasarnya berlobang-lobang
untuk meletakkan botol-botol tersebut secara teratur dan rapi.
* Ruang Inkubator.
Eksplan yang sudah ditanam dalam media kultur jringan perlu dipantau
pertumbuhannya setiap hari. Untuk pemantauan ini perlu ruangan khusus yang
keadaannya lebih steril dari ruang planlet, yaitu ruang inkubator. Ruang inkubator
harus memiliki suhu kurang lebih 25OC dan harus dilengkapi dengan lampu-lampu
neon, karena eksplan yang ditumbuhkan dalam ruangan inkubasi membutuhkan
temperatur dan cahaya yang dapat diatur dan disesuaikan dengan jenis eksplannya.
* Ruang Shaker dsn Enkas.
Eksplan yang baru ditanam dan diinkubasikan dalam ruang inkubator akan
menghasilkan kalus. Bila kalus ini cukup umur, maka dapat diperlukan suspensi sel,
yaitu menumbuhkan suatu eksplan atau kalus dengan menggunakan media cair
(media yang tidak menggunakan zat pemadat atau agar), kemudian digojok di atas
shaker.
Hasil pertumbuhan kalus ini adalah berupa protokormus atau dalam istilah
asing disebut plb (protocorm like bodies). Bentuk protocormus adalah bulat-bulat
padat dan berwarna hijau. Bila keadaan protocormus sudah keadaan demikian maka
sudah siap dipindahkan kedalam media padat untuk di tumbuhkan menjadi planlet.
Enksa juga sering di letakkan dalam satu ruang dengan shaker, kegunaan
enkas ini sama dengan Laminar Air Flow Cabinet, yaitu untuk menabur eksplan.
C. Ruang Mutlak Steril.
* Ruang Penabur.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 30


Ruang penabur biasanya di buat dengan ukuran yang tidak terlalu besar, yaitu
2x3 m2. tujuannya adalah agar pelaksanaan sterilisasi ruangannya tidak
membutuhkan waktu yang lama dan tidak mengalami kesulitan.
Dinding ruang penabur dilengkapi dengan porselin, sehingga sterilisasi mudah
dilakukan. Sterilisasi ruangan dilakukan dengan cara menyemprotkan alkohol 96%
dengan hand-sprayer. Sedangkan sterilisasi lantai dengan menggunakan kain pel
yang dibasahi alkohol 96%. Sterilisasi ini mutlak harus dilakukan menjelang ruang
penabur akan digunakan.
Bila saat calon penabur akan memasuki ruangan, lampu ultra violet harus
dimatkan terlebih dahulu kemudian menyalakan lampu neon biasa dan calon
penabur diperbolehkan memasuki ruangan tersebut. Sebaiknya, pada saat akan
keluar lampu neon di matikan dan setelah keluar menutup daun pintu kembali
lampu ultra violet dinyalakan. Dengan demikian steril ruangan dapat dijamin.

2. Kelengkapan Laboratorium Kultur Jaringan


A. Laminar Air Flow Cabinet (LAFC)
Alat ini letaknya diruang penabur, yaitu ruang yang selalu harus dalam
keadaan steril. alat ini digunakan sebagai tahap perlakuan penanaman.
B. Entkas
Merupakan bentuk lama dari alat penabur (LAFC), maka fungsinya pun
sama seperti (LAFC)
C. Shaker (penggojok)
Merupakan alat penggojok yang putarannya dapat diatur menurut kemauan
kita. Penggojok ini dapat digunakan untuk keperluan menumbuhkan kalus pada
eksplan anggrek atau untuk membentuk protokormusatau sering disebut plb
(protocorm like bodies) dari kalus bermacam jaringan tanaman.
D. Autoklaf
Autoklaf adalah alat sterilisasi untuk alat dan medium kultur jarinang
tanaman.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 31


E. Timbangan Analitik
Jenis alat ini bermacam-macam, tetapi yang penting adalah timbanagn
yaang dapat dipergunakan untuk menimbang sampai satuan yang sangat keil.
Alat ini berfungsi sebagai alat untuk menimbang bahan-bahan kimia yang
digunakan untuk kultur jaringan.
F. Stirer
Alat ini berfungsi untuk menggojok dengan pemanas. Dengan
menggunakan listrik, alat ini berfungsi sebagai kompor disamping sebagai
penggojok.
G. Erlenmeyer
Alat ini digunakan dalama kultur jaringan tanaman sebagai sarana
mmenuangkan air suling maupun untuk tempat media dan penanaman eeksplan.
H. Gelas Ukur
Gelas ukur digunakan untuk menakar air suling dan bahan kimia yang akan
digunakan.
I. Gelas Piala
Alat ini digunakan untuk menuangkan atau mempersiapkan bahan kimia
dan air suling dalam pembuatan medium.
J. Petridish
Alat ini merupakan semacam jenis gelas piala yang mutlak dibutuhkan
dalam kultur jaringan.
K. Pinset dan Scalpel
Pinset digunakan untuk memegang atau mengambil irisan eksplan atau
untuk menanam eksplan
L. Lampu Spiritus
Digunakan untuk sterilisasi dissecting kit (skalpel dan pinset) di dalam
laminar air flow cabinet atau di dalam enkas pada kita mengerjakan penanaman
atau sub-culture.
M. Tabung Reaksi

Bahan Ajar Kultur Jaringan 32


Alat ini digunakan pada saat mengerjakan isolasi protoplas dan isiolasi
khloroplas.

Peralatan lain yang juga diletakkan dalam ruangan ini terdiri dari :
1. Timbangan analitik timbangan makro.
2. Refrigerator , Freezer dan desikator.
3. Hot plate yang dilengkapi stirrer atau kompor gas
4. Stirrer dengan magnetic stirrer.
5. Autoklaf vertical atau horizontal.
6. Microwave oven.
7. pH meter.
8. agar dispenser.
9. Oven.
10. Destiltor
11. Water bath yang dilengkapi pengatur temperatur
12. Centrifuge dan Vortex
13. Alat-alat gelas standard, antara lain: labu takar berbagai ukuran, pipet biasa
dan mikro pipet, erlenmeyer berbagai ukuran (100 ml, 250 ml, 500 ml, 1000
ml), gelas piala berukuran (100 ml, 250 ml, 500 ml, 1000 ml), pengaduk
gelas, wadah kultur : botol, tabung reaksi, cawan petri, gelas ukur dalam
berbagai ukuran.
17. Alat untuk mencuci.
18. Rak-rak pengering.
19. Lemari alat-alat, bahan kimia, serta bahan-bahan lain (alumunium foil, kertas
timbang, karet gelang dan sebagainya).
20. Alat-alat kecil: spatula, pisau , scalpel dan pinset.
21. Fume hood (ruang asam)
22. Hood tempat penimbangan bahan-bahan yang carcinogenic.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 33


23. Kereta dorong (cart) untuk memudahkan pemindahan alat-alat dan media dari
ruang satu ke ruang lainnya.

4. Persyaratan laboratorium Kultur Jaringan

a. Lingkungan ruang kultur

Sangat penting menjaga kebersihan ruang kultur. Ruang kultur dapat dilengkapi
lampu UV yang dihidupkan selama misalnya 30 menit setiap harinya. Pakaian staf lab
harus selalu bersih. Gunakan perlengkapan tambahan seperti tutup kepala, face mask
dan sarung tangan untuk mencegah resiko kontaminasi. Ruang yang panas, lembab dan
berdebu memiliki resiko kontaminasi yang lebih besar dibandingkan ruang sejuk dengan
kelembaban rendah dan sedikit debu. Banyak lab menggunakan AC untuk menjaga
suhu ruang kultur. Jika memungkinkan, pilih AC dengan system yang tidak
memberikan banyak pergerakan air karena transfer mikroorganisme memalui aliran
udara merupakan sumber kontaminan umum.
b. Persyaratan Lokasi
Laboratorium kultur jaringan hendaknya jauh dari sumber polusi, dekat dengan
sumber tenaga listrik dan air. Untuk menghemat tenaga listrik, ada baiknya bila
laboratorium kultur jaringan ditempatkan di daerah tinggi, agar suhu ruangan tetap
rendah.
c. Kapasitas Labotarium
Ukuran laboratorium tergantung pada jumlah bibit yang akan diproduksi. Untuk
ukuran laboratorium sekitar 250 m2, bibit yang dapat diproduksi tiap tahun sekitar 400–
500.000 planlet/bibit, yang dapat memenuhi pertanam- seluas +500–800 ha.
Dalam suatu laboratorium minimal terdapat 5 ruangan terpisah, yaitu gudang
(ruang) untuk penyimpanan bahan, ruang pembuatan media, ruang tanam, ruang
inkubasi (untuk pertunasan dan pembentukan planlet/bibit tanaman) dan rumah kaca.
d. Peralatan dan Bahan Kimia
Untuk memproduksi bibit melalui kultur jaringan peralatan minimal yang perlu
disediakan adalah: laminar air flow, pinset, pisau, rak kultur, AC, hot plate + stirer, pH

Bahan Ajar Kultur Jaringan 34


meter, oven, dan kulkas serta bahan kimia (garam makro + mikro,vitamin, zat pengatur
tumbuh, asam amino, alkohol, clorox).

2.2.Tugas
Mahasiswa diberi tugas individual membuat rangkuman tentang laboratorium dan
peralatan laboratorium kultur jaringan. Secara kelompok dengan anggota 3-4 orang
ditugaskan untuk menelusuri pada berbagai sumber tentang, gambar desain laboratorium
kultur jaringan juga peralatan dasarnya seperti laminar air flow, shacker dan sebagainya.

2.3.Latihan
Untuk memantapkan pemahaman anda tentang topik ini maka lakukanlah latihan
berikut:
1. Buatlah denah tentang tata ruang laboratorium kultur jaringan sambil diberi
keterangan karakteristik setiap ruangannya
2. Buat pula daftar peralatan apa yang harusnya ada di masing-masing ruangan
tersebut

3. Penutup
3.1 Rangkuman

Kegiatan kultur jaringan di dalam laboratorium, dibagi dalam 3 kelompok yaitu; (1)
Persiapan media dan bahan tanam, (2) Isolasi dan Penanaman, (3) Inkubasi dan
penyinaran kultur. Masing-masing kegiatan harus terpisah satu dengan yang lainnya,
dengan peralatan yang tersendiri, karena kegiatan-kegiatan tersebut, maka ruangan yang
dibutuhkan adalah:

 Ruang persiapan dan ruang srok

 Ruang isolasi dan penanaman

 Ruang Kultur

Bahan Ajar Kultur Jaringan 35


 Ruang Kantor

 Ruang mikroskop atau ruang analisa.

Ukuran tiap ruangan sangat tergantung dari: a) alat-alat yang dipergunakan, (b)
jumlah personalia yang terlibat, (c) tujuan pekerjaan, (d) kapasitas produksi, (e) biaya
yang tersedia.

3.2 Tes Formatif


1. Untuk suatu lab kultur jaringan sederhana, menurut anda berapa ruang minimal yang
dibutuhkan? Uraikan karakteristik dari masing masing ruang tersebut!
2. Jika lahan terbatas, menurut anda adakah diantara ruang yang dibutuhkan dalam
satu Laboratorium kultur jaringan yang dapat digabung? Jika ya sebutkan
alasan penggabungannya!
3. Sebutkan dan beri uraian singkat tentang beberapa hal yang berkaitan dengan
persyaratan laboratorium kultur jaringan!

3.3 Kunci jawaban


Untuk menjawab test formatif di atas, gunakan petunjuk berikut
1. Baca kembali uraian tentang kebutuhan ruang minimal dari suatu laboratorium
kultur jaringan
2. Jawaban pertanyaan ini anda dapat membaca kembali uraian tentang
penggabungan dan alasan penggabungannya
3. Lihat uraian tentang persyaratan laboratorium kultur jaringan
Tindak Lanjut
1. Apabila mahasiswa dapat menyelesaikan 80 % dari test formatif di atas, ia dapat
melanjutkan mempelajari lanjutan perkuliahan ini karena pengetahuan tentang bab
ini merupakan dasar untuk memahami juraian pada bab-bab selanjutnya.
2. Apabila mereka belum mencapai penguasaan 80 % mereka danjurkan:
c) Mempelajari kembali dari awal bahasan di atas;
d) Konsultasi dengan asisten dan dosen.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 36


Kepustakaan
1. Santoso U dan Fatimah Nursandi, 2004. Kultur Jaringan Tanaman, UMM Press.
Malang
2. Margono, 2003. Kultur Jaringan Tumbuhan, Depdiknas
3. Suryowinoto, 1993, Pemuliaan Tanaman Secara In Vitro, UGM, Yogyakarta
Publishing
4. Zulkarnain, H. 2009, Kultur Jaringan Tanaman, Bumi Aksara, Jakarta

BAB III
Media Kultur Jaringan

3.1 Pendahuluan
A. Deskripsi Singkat
Bab ini berisi uraian tentang media dan komposisi media kultur jaringan.
Beberapa hal penting yang berkaitan dengan penyiapan media juga diuraikan disini
misalnya pesyaratan pH, Zat pengatur tumbuh dan aspek lainnya.
B Relevansi
Pengetahuan dan pemahaman tentang media, berhubungan dengan keberhasilan
kulturjaringan sebab media merupakan sumber nutrien bagi bahan yang dikulturkan.
Media yang cocok untuk jenis tertentu belum tentu bisa cocok untuk tanaman lainnya,
oleh karenanya kelengkapan media perlu difahami sesuai dengan jenis bahan yang akan
dikulturkan.

3.2. Penyajian.
3.2.1 Uraian dan Contoh
A. Media Kultur Jaringan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 37


Media merupakan faktor utama dalam perbanyakan dengan kultur jaringan.
Keberhasilan perbanyakan dan perkembangbiakan tanaman dengan metode kultur
jaringan secara umum sangat tergantung pada jenis media. Media tumbuh pada kultur
jaringan sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan eksplan
serta bibit yang dihasilkannya. Oleh karena itu, macam-macam media kultur jaringan
telah ditemukan sehingga jumlahnya cukup banyak. Nama-nama media tumbuh untuk
eksplan ini biasanya sesuai dengan nama penemunya. Media tumbuh untuk eksplan
berisi kualitatif komponen bahan kimia yang hampir sama, hanya agak berbeda dalam
besarnya kadar untuk tiap-tiap persenyawaan. Media dasar yang sering digunakan dalam
kultur jaringan Anthurium sendiri adalah media MS dan modifikasinya ( Pierik et
al.,1974; Pierik dan Steegmans, 1976;Kunisaki, 1980; Kuenhle et al., 1992; Chen et al;
Hamidah et al., 1997; Teng, 1997;2 ; Rachmawati, 2005), media Nitsch dan
modifikasinya (Geir, 1986, 1987, 1988).
Pada umumnya komposisi utama media tanam kultur jaringan, terdiri dari
hormon (zat pengatur tumbuh) dan sejumlah unsur yang biasanya terdapat di dalam
tanah yang dikelompokkan ke dalam unsur makro, unsur mikro. Hasil yang lebih baik
akan dapat kita peroleh bila, ke dalam media tersebut, ditambahkan vitamin, asam
amino, dan hormon, bahan pemadat media (agar), glukosa dalam bentuk gula maupun
sukrosa, air destilata (akuades), dan bahan organik tambahan (Gunawan, 1992).
Zat pengatur tumbuh adalah persenyawaan organik selain dari nutrient yang
dalam jumlah yang sedikit (1mM) dapat merangsang, menghambat, atau mengubah pola
pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Moore, 1979 dalam Gunawan, 1992). Zat
pengatur tumbuh (ZPT) dalam kultur jaringan diperlukan untuk mengendalikan dan
mengatur pertumbuhan kultur tanaman. Zat ini mempengaruhi pertumbuhan dan
morfogenesis dalam kultur sel, jaringan, dan organ. Jenis dan konsentrasi ZPT
tergantung pada tujuan dan tahap pengkulturan. Secara umum, zat pengatur tumbuh
yang digunakan dalam kultur jaringan ada tiga kelompok besar, yaitu auksin, sitokinin,
dan giberelin.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 38


Auksin digunakan secara luas dalam kultur jaringan untuk merangsang
pertumbuhan kalus, akar, suspensi sel dan organ (Gunawan, 1992) Contoh hormon
kelompok auksin adalah 2,4 Dikloro Fenoksiasetat (2,4-D), Indol Acetid Acid (IAA),
Naftalen Acetid Acid (NAA), atau Indol Buterik Asetat (IBA). Golongan sitokinin
berperan untuk menstimulus pembelahan sel dan merangsang pertumbuhan tunas pucuk.
Menurut Gunawan (1992), golongan ini sangat penting dalam pengaturan pembelahan
sel dan morfogenesis. Sitokinin yang biasa digunakan dalam kultur jaringan adalah
kinetin, ziatin, benzilaminopurine (BAP). Dan giberelin untuk diferensiasi atau
perbanyakan fungsi sel, terutama pembentukan kalus. Hormon kelompok giberelin
adalah GA3, GA2, dan GA1.
Penggunaan hormon tersebut harus tepat dalam perhitungan dosis pemakaian,
karena jika terlalu banyak maupun terlalu sedikit dari dosis yang diperlukan justru akan
menghambat bahkan berdampak negatif terhadap tanaman kultur. Karena interaksi antar
hormon dalam suatu media sangat berpengaruh dalam diferensiasi sel.
Kebutuhan nutrisi mineral untuk tanaman yang dikulturkan secara in-vitro pada
dasarnya sama dengan kebutuhan hara tanaman yang ditumbuhakan di tanah. Unsur-
unsur hara yang dibutuhkan tanaman di lapangan merupakan kebutuhan pokok yang
harus tersedia dalam media kultur jaringan. Antara lain adalah unsur hara makro dan
unsur hara mikro. Unsur-unsur hara tersebut diberikan dalam bentuk garam-garam
mineral. Komposisi media dan perkembangannya didasarkan pada pendekatan masing-
masing peneliti (Gunawan, 1992).
Unsur hara makro adalah hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang
banyak. Hara makro tersebut meliputi, Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K), Kalsium
(Ca), Sulfur (S), Magnesium (Mg), dan Besi (Fe). Kegunaan unsur hara makro tersebut
dalam kultur jaringan adalah sebagai berikut:
1. Nitrogen (N) diberikan dalam bentuk NH4NO3, NH2PO4, NH2SO4.Berfungsi untuk
membentuk protein, lemak, dan berbagai senyawa organik lain, morfogenesis
(pertumbuhan akar dan tunas), pertumbuhan dan pembentukan embrio,
pembentukan embrio zigotik dan pertumbuhan vegetatif.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 39


2. Fosfor (P), diberikan dalam bentuk KH2PO4 Berfungsi untuk metabolisme energi,
sebagai stabilitor membran sel, pengaturan metabolisme tanaman, pengaturan
produksi pati/amilum, pembentukan karbohidrat, sangat penting dalam transfer
energi, protein, dan sintesis asam amino serta konstribusi terhadap struktur dan
asam nukleat.
3. Kalium (K), diberikan dalam bentuk CaCl2.2H2O Berfungsi untuk pemanjangan
sel tanaman, memperkuat tubuh tanaman, memperlancar metabolisme dan
penyerapan makanan, ion kalsium ditransfer secara cepat menyebrangi membran
sel dan mengatur pH dan tekanan osmotik di antara sel.
4. Kalsium (Ca), diberikan dalam bentuk CaCl2.2H2O. Berfungsi untuk merangsang
bulu-bulu akar, penggandaan atau perbanyakan sel dan akar, pembentukan tabung
polen, dinding dan membran sel lebih kuat, tahan terhadap serangan patogen,
mengeraskan batang, memproduksi cadangan makanan
5. Sulfur (S). Unsur S merupakan unsur yang penting untuk pembentukan beberapa
jenis protein, seperti asam amino dan vitamin B1. Unsur S juga berperan penting
dalam pembentukan bitil-bintil akar.
6. Magnesium (Mg), diberikan dalam bentuk MgSO4.7H2O. Berfungsi untuk
meningkatkan kandungan fosfat, pembentukan protein.
7. Besi (Fe), diberikan dalam bentuk Fe2(SO4)3;FeSO4.7H2O. Berfungsi sebagai
penyangga (chelatin agent) yang sangat penting untuk menyangga kestabilan pH
media selama digunakan untuk menumbuhkan jaringan tanaman.Pada tanaman,
Fe berfungsi untuk pernapasan dan pembentukan hijau daun.
Unsur hara mikro adalah hara yang dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit. Unsur
hara mikro ini merupakan komponen sel tanaman yang penting dalam proses
metabolisme dan proses fisioligi lainnya. Unsur hara mikro tersebut diantaranya adalah :
1. Klor (Cl), diberikan dalam bentuk KI.
2. Mangan (Mn), diberikan dalam bentuk MnSO4.4H2O.
3. Tembaga (Cu), diberikan dalam bentuk CuSO4.5H2O.
4. Kobal (CO), diberikan dalam bentuk CoCl2.6H2O.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 40


5. Molibdenun (Mo), diberikan dalam bentuk NaMoO4.2H2O.
6. Seng (Zn), diberikan dalam bentuk ZnSO4.4H2O.
7. Boron (B), diberikan dalam bentuk H3BO3.

Vitamin yang paling sering digunakan dalam media kultur jaringan tanaman
adalah thiamine (vitamin B1), nicotinic acid (niacin), pyridoxine (vitamin B6). Thiamine
merupakan vitamin yang esensial dalam kultur jaringan tanaman karena thiamine
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan sel. Vitamin C, seperti asam sitrat dan
asam askorbat, kadang-kadang digunakan sebagai antioksidan untuk mencegah atau
mengurangi pencoklatan atau penghitaman eksplan.

Mio-Inositol atau meso-insitol sering digunakan sebagai salah satu komponen


media yang penting, karena terbukti bersinergis dengan zat pengaturtumbuh merangsang
pertumbuhan jaringan yang dikulturkan .

Dalam media kultur jaringan, asam amino merupakan sumber nitrogen organik.
Namun sumber N organik ini jarang ditambahkan dalam media kultur jaringan, karena
sumber sumber nitrogen utamanya sudah tersedia dari NO3- dan NH4+. Asam amino
yang sering digunakan adalah glisin, lysin dan threonine. Penambahan glisin dalam
media dengan konsentrasi tertentu dapat melengkapi vitamin sebagai sumber bahan
organik.

Gula digunakan sebagai sumber energi dalam media kultur, karena umumnya
bagian tanaman atau eksplan yang dikulturkan tidak autotrof dan mempunyai laju
fotosintesis yang rendah. Oleh sebab itu tanaman kultur jaringan membutuhkan
karbohidart yang cukup sebagai sumber energi.Sukrosa adalah sumber karbohidrat
penghasil energi yang terbaik melebihi glukosa, maltosa, rafinosa. Namun jika tidak
terdapat sukrosa, sumber karbohidrat tersebut dapat digantikan dengan gula pasir. Gula
pasir cukup memenuhi syarat untuk mendukung pertumbuhan kultur. Selain sebagai
sumber energi, gula juga berfungsi sebagai tekanan osmotik media.

Eksplan yang dikulturkan harus selalu bersinggungan atau terkena dengan


medianya. Bahan pemadat media yang paling banyak digunakan adalah agar-agar. Agar-

Bahan Ajar Kultur Jaringan 41


agar adalah campuran polisakarida yang diperoleh dari beberapa spesies algae. Dalam
analisa unsur, diperoleh data bahwa agar-agar mengandung sedikit unsur Ca, Mg, K, dan
Na Keuntungan dari pemakaian agar-agar adalah :

1. Agar-agar membeku pada suhu 45° C dan mencair pada suhu 100° sehingga
dalam kisaran suhu kultur, agar-agar akan berada dalam keadaan beku yang
stabil.
2. Tidak dicerna oleh enzim tanaman.
3. Tidak bereaksi dengan persenyawaan-persenyawaan penyusun media.

Selain agar-agar, bahan pemadat media yang semakin banyak disukai adalah
Gelrite TM (buatan Kelco). Gelrite adalah gellam gum, suatu hetero-polisakarida yang
dihasilkan bakteri Pseudomonas elodea, terdiri dari molekul-molekul K-glukuronat,
rhamnosa, dan selobiosa. Sebagai bahan pemadat media gelrite memiliki sifat-sifat yang
menguntungkan sebagai berikut :
1) Gelnya lebih jernih.
2) Untuk memadatkan media dibutuhkan lebih sedikit daripada agar, sekitar 1,5 -3
g/l.
3) Lebih murni dan konsisten dalam kualitas
4) Untuk mencapai kekerasan gel tertentu, pemakaian gelrite lebih rendah dari agar-
agar, pada umumnya 2gr/l media. Namun kekerasan gel dari gelrite sangat
dipengaruhi oleh kehadiran garam-garam seperti NaCl, KCl, MgCl2.6H2O dan
CaCl2. Garam NaCl dan KCl menurunkan kekerasan gel, tetapi MgCl2 dan CaCl2
meningkatkan kekerasan gel .
Salah satu kelemahan Gelrite adalah cenderung menaikkan kelembaban nisbi (RH)
dalam kultur, sehingga sering menyebabkan terjadinya verifikasi. Gelrite jarang
digunakan untuk produksi planlet secara komersial terutama di Indonesia karena
harganya mahal. Kultur yang kurang berhasil, kadang-kadang disebabkan oleh
pemakaian air yang kurang murni . Tidak boleh sembarang air dapat digunakan untuk
membuat media kultur. Contohnya air sumur atau air ledeng, dalam air tersebut
mengandung banyak kontaminan, bahan inorganik, organik, atau mikroorganisme. Air

Bahan Ajar Kultur Jaringan 42


yang digunakan untuk membuat media harus benar-benar berkualitas tinggi, karena air
maliputi lebih adari 95% komponen media.
Terhambatnya pertumbuhan tanaman yang dikulturkan dapat disebabkan oleh
rendahnya kualitas air yang digunakan. Untuk menghindari hal tersebut, maka sebaiknya
digunakan air yang telah dimurnikan atau yang sering kita sebut air destilata (akuades)
atau air destilata ganda (akuabides). Dengan alasan ini, sebaiknya sebuah laboratorium
kultur jaringan layaknya mempunyai alat penyulingan air (water destilator) atau
setidaknya alat pembuat air bebas ion (deionizer). Cara kerja destilator dalam
menghasilkan air destilata adalah dengan cara mengubah air menjadi uap air, kemudian
mengkondensasikan uap air tersebut. Maka, jadilah air destilata yang tidak lagi berisi
mineral atau senyawa organik (Yusnita, 2004).
Keasaman (pH) adalah nilai yang menyatakan derajat keasaman atau kebasaan
larutan dalam air. Sel-sel tanaman yang dikembangkan dengan teknik kultur jaringan
mempunyai toleransi pH yang relatif sempit dengan titik optimal antara pH 5,0 – 6,0
(Daisy, 1994). Faktor pH dalam media juga perlu mendapat perhatian khusus. pH tesebut
harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu fungsi membran sel dan pH
dari sitoplasma. Pengaturan pH selain memperhatikan kepentingan beberapa fisiologi
sel, juga harus mempertimbangkan faktor-faktor:
1. Kelarutan dari garam-garam penyusun media.
2. Pengambilan (uptake) dari zat pengatur tumbuh dan garam – garam lain.
3. Efisiensi pembekuan agar-agar.
Sel-sel tanaman membutuhkan pH yang sedikit asam berkisar antara 5,5–5,8.
Pengaturan pH, biasa dilakukan dengan dengan menggunakan NaOH (atau kadang-
kadang KOH) bila pH media terlalu asam atau HCL bila pH media terlalu basa pada
waktu semua komponen sudah dicampurkan

B. Komposisi Media Kultur Jaringan


1. Hara anorganik
Ada 12 hara mineral yang penting untuk pertumbuhan tanaman dan beberapa hara

Bahan Ajar Kultur Jaringan 43


yang dilaporkan mempengaruhi pertumbuhan in vitro. Untuk pertumbuhan normal
dalam kultur jaringan, unsur – unsur penting ini harus dimasukkan dalam media kultur.
Perbandingan 5 media pada Tabel 12.1 memperlihatkan bahwa unsur esensial ini
dimasukkan pada masing – masing media tapi konsentrasinya berbeda karena diberikan
dalam bentuk yang berbeda.

2.Hara organik

Tanaman yang tumbuh dalam kondisi normal bersifat autotrof dan dapat
mensintesa semua kebutuhan bahan organiknya. Meskipun tanaman in vitro dapat
mensintesa senyawa ini, diperkirakan mereka tidak menghasilkan vitamin dalam jumlah
yang cukup untuk pertumbuhan yang sehat dan satu atau lebih vitamin mesti
ditambahkan ke media. Thiamin merupakan vitamin yang penting, selain itu asam
nikotin, piridoksin dan inositol biasanya ditambahkan.

Selain bahan organik tersebut, bahan kompleks seringkali ditambahkan, termasuk


ekstrak ragi, casein hydrolysate, air kelapa, jus jeruk, jaringan pisang, dan lain – lain.
Penambahan bahan kompleks ini menghasilkan media yang tak terdefinisi. Dengan
penelitian yang cukup, semestinya bahan kompleks ini dapat diganti dengan zat tertentu,
mungkin tambahan suatu vitamin atau asam amino.

3. Sumber karbon

Tanaman dalam kultur jaringan tumbuh secara heterotrof dan karena mereka
tidak cukup mensintesa kebutuhan karbonnya, maka sukrosa harus ditambahkan ke
dalam media. Sumber karbon ini menyediakan energy bagi pertumbuhan tanaman dan
juga sebagai bahan pembangun untuk memproduksi molekul yang lebih besar yang
diperlukan untuk tumbuh.

Biasanya sukrosa pada konsentrasi 1 – 5% digunakan sebagai sumber karbon tapi


sumber karbon lain seperti glukosa, maltosa, galaktosa dan laktosa juga digunakan.
Ketika sukrosa diautoklaf, terjadi hidrolisis untuk menghasilkan glukosa dan fruktosa
yang dapat digunakan lebih efisien oleh tanaman dalam kultur.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 44


4. Agar

Umumnya jaringan dikulturkan pada media padat yang dibuat seperti gel dengan
menggunakan agar atau pengganti agar sperti Gelrite atau Phytagel. Konsentrasi agar
yang digunakan berkisar antara 0.7 – 1.0%. Pada konsentrasi tinggi agar menjadi sangat
keras, sedikit sekali air yang tersedia, sehingga difusi hara ke tanaman sangat buruk.
Agar dengan kualitas tinggi seperti Difco BiTek mahal harganya tapi lebih murni, tidak
mengandung bahan lain yang mungkin mengganggu pertumbuhan. Pengganti lain
seperti gelatin kadang – kadang digunakan pada lab komersial.

Gel sintetis diketahui dapat menyebabkan hyperhidration (vitrifikasi) yang


merupakan problem fisiologis yang terjadi pada kultur. Untuk mengatasi masalah ini,
produk baru bernaman Agargel telah diproduksi ole Sigma. Produk ini merupakan
campuran agar dan gel sintetis dan menawarkan kelebihan kedua produk sekaligus
mengurangi problem vitrifikasi. Produk ini dapat dibuat di lab dengan mencampurkan 1
g Gelrite (Phytagel) dengan 4 g agar sebagai agen pengental untuk 1 L media.

5.pH
pH media biasanya diatur pada kisaran 5.6 – 5.8 tapi tanaman yang berbeda
mungkin memerlukan pH yang berbeda untuk pertumbuhan optimum. Jika pH lebih
tinggi dari 6.0, media mungkin menjadi terlalu keras dan jika pH kurang dari 5.2, agar
tidak dapat memadat.

6.Zat Pengatur Tumbuh

Pada media umumnya ditambahkan zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh
akan dibahas tersendiri pada minggu 13.

7.Air
Air distilata biasanya digunakan dalam kultur jaringan, dan banyak lab
menggunakan aquabides (air destilata ganda). Beberapa lab, dengan alasan ekonomi,
menggunakan air hujan, tapi ini menyebabkan sulit mengontrol kandungan bahan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 45


organik dan non-organik pada media.

a. Pemilihan Media

Jika tidak ada informasi awal, biasanya mulai dengan media MS (Murashige dan
Skoog 1962). Media ini mengandung konsentrasi garam dan nitrat yang lebih tinggi
dibandingkan media lain, dan telah sukses digunakan pada berbagai tanaman dikotil.
Untuk inisiasi kalus, 2.4-D ditambahkan ke media dengan konsentrasi 1 – 5 mgL-1.
Untuk multiplikasi tunas, sitokinin seperti BAP ditambahkan dan juga diberi auksin,
seperti NAA pada konsentrasi yang rendah. Untuk inisiasi akar, IBA pada konsentrasi 1
– 2 mgL-1 ditambahkan. Faktor yang paling sulit ditentukan dalam kultur jaringan
adalah zat pengatur tumbuh dan biasanya perlu melakukan penelitian kecil untuk
menentukan konsentrasi terbaik yang akan digunakan. Ada 2 pendekatan: Pendekatan
pertaman adalah dengan menggunakan media dasar MS dan meneliti kisaran dua zat
pengatur tumbuh yang berbeda. Lihat table 12.1.

Tabel 12.1 Pendekatan eksperimental untuk memilih konsentrasi yang paling tepat dari
BAP dan NAA sebagai tambahan pada media MS berisi 2% sukrosa dan 0.8% agar,
Dimodifikasi dari Bhojwani dan Razdan (1983).

BAP (mg/L)
NAA
0 0.5 2.5 5.0
(mg/L)
0 1 2 3 4
0.5 5 6 7 8
2.5 9 10 11 12
5.0 13 14 15 16
Pendekatan kedua adalah dengan menggunakan metode yang lebih luas menurut
deFossard (1976) diaman 4 kategori, mineral, auksin, organik dan sitokinin diuji masing
– masing pada 3 konsentrasi. Percobaan yang besar ini memerlukan 81 perlakuan yang

Bahan Ajar Kultur Jaringan 46


berbeda dan sangat menghabiskan waktu tapi mungkin diperlukan untuk beberapa
tanaman yang sangat sulit dikulturkan.

b. Persiapan Media
Media yang paling banyak digunakan adalah Murashige dan Skoog (1962). Cara
yang paling mudah untuk menyiapkan media MS adalah dengan membeli prepacked
media yang banyak dijual secara komersial.

Berikut adalah hal – hal penting yang mendasar dalam pembuatan media :

1. Sebelum memulai, siapkan lembar media dan tentukan media apa dan berapa
banyak yang akan anda buat. Tulis informasi ini pada lembar kerja dan periksa
setiap langkah sambil anda bekerja. Tanda tangani dan tulis tanggal pada lembar
kerja dan letakkan pada notebook. Anda dapat menuliskan komentar tentang apa
saja yang tidak biasa atau penting yang terjadi pada saat anda membuat media.
2. Cuci alat gelas dengan air destilata sebelum mulai menyiapkan media.
3. Ukur kira – kira 90% dari volume akhir air destilata, misalnya 900 ml untuk
volume akhir 1 liter, lalu masukkan ke dalam beaker.
4. Jika anda akan memanaskan larutan, pastikan anda menggunakan alat tahan
panas.
5. Sambil mengaduk air, perlahan masukkan bubuk MS dan aduk hingga benar –
benar larut. Cuci bagian dalam paket MS dengan air destilata untuk mengambil
sisa – sisa bubuk dan masukkan ke larutan media.
6. Masukkan bahan tahan panas lainnya – stok GM,myo-inositol, sucrose, BA,
aduk rata.
7. Atur pH media menggunakan NaOH, HCl, atau KOH.
8. Buat volume akhir media dengan menggunakan labu takar
9. Jika menggunakan agar, masukkan ke dalam campuran media sebelum
diautoklaf.
10. Media harus selalu diautoklaf dalam wadah dengan ukuran 1 1/2 x atau 2x lebih
besar dari volume media agar media tidak tumpah.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 47


11. Tuangkan media sesuai kebuthan sebelum diautoklaf atau sesudah diautoklaf,
tergantung kebutuhan.
12. Tutup wadah pada saat diautoklaf, tapi jangan terlalu erat, agar ada pertukaran
udara.
13. Media disterilisasi dengan mengautoklaf pada 1 kg/cm2 (15 psi), 121º C selama
kurang lebih 30 menit. Volume yang lebih besar (200 ml atau lebih) mungkin
memerlukan waktu yang lebih lama. Gunakan exhaust yang lambat.
14. Biarkan media mendingin hingga 55º C sebelum menambahkan bahan – bahan
yang tidak tahan panas (acetosyringone, claforan, kanamycin).
15. Media dituangkan ke petri dish biasanya dengan volume 25 ml per petri. Ini akan
menghasilkan sekitar 40 petri per liter media.
16. Dinginkan media di dalam laminar. Jangan pindahkan petri yang telah diisi
media sampai petri tersebut dingin.
17. Simpan media yang sudah dingin di refrigerator.

B. Formulasi Media Kultur Jaringan


Formulasi media kultur jaringan pertama kali dibuat berdasarkan komposisi
larutan yang digunakan untuk hidroponik, khususnya komposisi unsur-unsur makronya.
Unsur-unsur hara diberikan dalam bentuk garam-garam anorganik. Koposisi media dan
perkembangan formulasinya didasarkan pada jenis jaringan, organ dan tanaman yang
digunakan serta pendekatan dari masing-masing peneliti. Beberapa jenis sensitif
terhadap konsentrasi senyawa makro tinggi atau membutuhkan zat pengatur tertentu
untuk pertumbuhannya. Pada periode tahun 1930an, formulasi media terutama ditujukan
untuk menumbuhkan akar, tuber dan kambium. Media untuk penumbuhan akar yang
dikembangkan oleh White (1934 dalam Gunawan 1988), pertama White menggunakan
media yang berisi garam anorganik, yeast ekstrak dan sucrose, tetapi kemudian yeast
ekstrak digantikan dengan 3 macam vitamin B, yaitu pyridoxine, thiamine dan nicotinic
acid (Chawla, 2002).
Kultur kalus biasanya ditumbuhkan pada media dengan konsentrasi garam-garam
yang rendah seperti dalam kultur akar. Nobecourt (1937) dalam George & Sherrington,

Bahan Ajar Kultur Jaringan 48


1984), menggunakan setengah konsentrasi dari larutan Knop yang biasa digunakan
untuk hidroponik, digunakan juga untuk menumbuhkan kalus wortel. Pada media Knop
sumber karbon berupa glucosa dan dan vitamin berupa cysteine hydrochloride.
Media White juga dikembangkan oleh Hildebrant dkk (1946 dalam Gunawan
1988), dengan memodifikasi unsur-unsur makro yang lebih tinggi dibandingkan pada
media kultur tembakau, media ini digunakan mengkulturkan jaringan tumor tembakau
dan bunga matahari. Konsentrasi untuk NO3- K + lebih tinggi dibandingkan pada media
White, namun konsentrasi tersebut masih lebih rendah dibandingkan media yang lain
yang banyak digunakan pada kultur jaringan sekarang, sedangkan kandungan unsur P,
Ca, Mg dan S pada media tumor matahari, sama dengan media untuk jaringan tanaman
pada umumnya seperti pada media yang dikembangkan sekarang. Perbaikkan formulasi
media yang penting adalah pengembangan unsur makro yang universal, untuk
mendukung pertumbuahan jaringan tumbuhan. Dalam media perlu ditambahkan
ammonium dengan meningkatkan konsentrasi NO3- dan K +.
Macam-macam formulasi media kultur jaringan yaitu :
1. Media knop
Dapat juga digunakan untuk menumbuhkan kalus wortel. Kultur kalus, biasanya
ditumbuhkan pada media dengan kosentrasi garam-garam yang rendah seperti dalam
kultur akar dengan penambahan suplemen seperti glucosa, gelatine, thiamine, cysteine-
HCl dan IAA (Dodds and Roberts, 1983).
2. Media white
Media ini dikembangkan oleh Hildebrant untuk keperluan kultur jaringan tumor
bunga matahari, ditemukan bahwa unsur makro yang dibutuhkan kultur tersebut, lebih
tinggi dari pada yang dibutuhkan oleh kultur tembakau. Unsur F, Ca, Hg dan S pada
media untuk tumor bunga matahari ini, sama dengan media untuk jaringan normal yang
dikembangkan kemudian. Konsentrasi NO3- dan K+ yang digunakan Hildebrant ini
lebih tinggi dari media white, tetapi masih lebih rendah dari pada media-media lain yang
umum digunakan sekarang.
3. Media Knudson dan media Vacin and Went

Bahan Ajar Kultur Jaringan 49


Media ini dikembangkan khusus untuk kultur anggrek. Tanaman yang ditanam di
kebun dapat tumbuh dengan baik dengan pemupukan yang hanya mengandung N dari
Nitrat. Knudson pada tahun 1922, menemukan penambahan 7.6 mM NH4+ disamping
8.5 mM NO3-, sangat baik untuk perkencambahan dan pertumbuhan biji anggrek.
Penambahan NH4+ ternyata dibutuhkan untuk perkembangan protocorm.
4. Media Murashige & Skoog (media MS)
Merupakan perbaikan komposisi media Skoog, terutama kebutuhan garam
anorganik yang mendukung pertumbuhan optimum pada kultur jaringan tembakau.
Media MS mengandung 40 mM N dalam bentuk NO3 dan 29 mM N dalam bentuk
NH4+. Kandungan N ini, lima kali lebih tinggi dari N total yang terdapat pada media
Miller, 15 kali lebih tinggi dari media tembakau Hildebrant, dan 19 kali lebih tinggi dari
media White. Kalium juga ditingkatkan sampai 20 mM, sedangkan P, 1.25 mM. Unsur
makro lainnya konsemtrasinya dinaikkan sedikit. Pertama kali unsur-unsur makro dalam
media MS dibuat untuk kultur kalus tembakau, tetapi komposisi MS ini sudah umum
digunakan untuk kultur jaringan jenis tanaman lain. Media MS paling banyak digunakan
untuk berbagai tujuan kultur pada tahun-tahun sesudah penemuan media MS, sehingga
dikembangkan media-media lain.
Berdasarkan media MS tersebut, antara lain media :
a. Lin & Staba, menggunakan media dengan setengah dari komposisi unsur makro MS,
dan memodifikasi : 9 mM ammonium nitrat yang seharusnya 10mM, sedangkan
KH2 PO4 yang dikurangi menjadi 0.5 Mm, tidak 0.625 mM. Larutan senyawa
makro dari media Lin & Staba, kemudian digunakan oleh Halperin untuk penelitian
embryogenesis kultur jaringan wortel dan juga digunakan oleh Bourgin & Nitsch
(1967 dalam Gunawan 1988) serta Nitsch & Nitsch (1969 dalam Gunawan 1988)
dalam penelitian kultur anther.
b. Modifikasi media MS yang lain dibuat oleh Durzan et alI (1973 dalam Gunawan
1988) untuk kultur suspensi sel white spruce dengan cara mengurangi konsentrasi
K+ dan NO3-, dan menambah konsentrasi Ca2+ nya.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 50


c. Chaturvedi et al (1978) mengubah media MS dengan menurunkan konsentrasi NO3-,
K+, Ca2+, Mg2+ dan SO4-2 untuk keperluan kultur pucuk Bougainvillea glabra.
Senyawa-senyawa di dalam media MS dapat terjadi pengendapan persenyawaan,
ini terlihat jelas pada media cair. Kebanyakan dari persenyawaan yang mengendap
adalah fosfat dan besi, kemudian dalam jumlah yang lebih sedikit adalah Ca, K, N, Zn
dan Mn. Senyawa paling sedikit adalah senyawa yang mengandung unsur C, Mg, H, Si,
Mo, S, Ca dan Co. Setelah tujuh hari dibiarkan, maka kira-kira 50% dari Fe dan 13%
dari PO4+, mengendap (Dalton et al, 1983). Pengendapan unsur-unsur tersebut mungkin
tidak penting, karena unsur-unsur tersebut masih tersedia bagi jaringan tanaman dan
pengaruh pengendapannya belum diketahui. Untuk mengatasi pengendapan Fe, Dalton
dan grupnya menganjurkan supaya konsentrasi Fe dikurangi sampai 1/3 dengan EDTA
yang tetap.
5. Media Gamborg B5 (media B5)
Pertama kali dikembangkan untuk kultur kalus kedelai dengan konsentrasi nitrat
dan amonium lebih rendah dibandingkan media MS. Untuk selanjutnya media B5
dikembangkan untuk kultur kalus dan suspensi, serta sangat baik sebagai media dasar
untuk meregenerasi seluruh bagian tanaman.. Pada masa ini media B5 juga digunakan
untuk kultur-kultur lain. Media ini dikembangkan dari komposisi PRL-4, media ini
menggunakan konsentrasi NH4+ yang rendah, karena konsentrasi yang lebih tinggi dari
2 mM menghambat pertumbuhan sel kedelai. Fosfat yang diberikan setelah 1 mM, Ca2+
antara 1-4 mM, sedangkan Mg2+ antara 0.5-3 mM (Gamborg et al, 1968).
6. Media Schenk & Hildebrant (media SH)
Merupakan media yang juga cukup terkenal, untuk kultur kalus tanaman
monokotil dan dikotil (Trigiano & Gray, 2000). Konsentrasi ion-ion dalam komposisi
media SH sangat mirip dengan komposisi pada media Gamborg dengan perbedaan kecil
yaitu level Ca2+, Mg2+, dan PO4-3 yang lebih tinggi. Schenk & Hildebrant
mempelajari pertumbuhan jaringan dari 37 jenis tanaman dalam media SH dan
mendapatkan bahwa: 32 % dari spesies yang dicobakan, tumbuh dengan sangat baik,
19% baik, 30% sedang, 14% kurang baik, dan 5% buruk pertumbuhannya. Tetapi karena

Bahan Ajar Kultur Jaringan 51


zat tumbuh yang diberikan pada tiap jenis tanaman tersebut berbeda. Media SH ini
cukup luas penggunaannya, terutama untuk tanaman legume.
7. Media WPM (Woody Plant Medium)
Konsentrasi ion yang lebih rendah dari media MS. Media diperuntukkan khusus
tanaman berkayu, dan dikembangkan oleh ahli lain, tetapi sulfat yang digunakan lebih
tinggi dari sulfat pada media WPM. Saat ini WPM banyak digunakan untuk
perbanyakan tanaman hias berperawakan perdu dan pohon-pohon. Pada umumnya
media kultur jaringan dibedakan menjadi media dasar dan media perlakuan. Resep
media dasar adalah resep kombinasi zat yang mengandung hara esensial (makro dan
mikro), sumber energi dan vitamin.
Dalam teknik kultur jaringan dikenal puluhan macam media dasar. Penamaan
resep media dasar pada umumnya diambil dari nama penemunya atau peneliti yang
menggunakan pertama kali dalam kultur khusus dan memperoleh suatu hasil yang
penting artinya.
8. Media N6 untuk serealia terutama padi.
Dari sekian banyak media dasar yang paling sering dan banyak digunakan adalah
komposisi media dari Murashige dan Skoog. Kadang-kadang untuk kultur tertentu,
kombinasi zat kimia dari murashige dan Skoog masih tetap digunakan tetapi
konsentrasinya yang diubah. Sebagai contoh media ½ MS, berarti konsentrasi
persenyawaan yang digunakan adalah setengah konsentrasi media

2.2 Tugas
Mahasiswa diberi tugas individual membuat rangkuman tentang media kultur jaringan.
Secara kelompok dengan anggota 3-4 orang ditugaskan untuk menelusuri pada berbagai
sumber tentang, contoh berbagai formulasi media dan kekhususan media sesuai dengan
sifat bahan tanaman yang akan dikulturkan.

2.3 Latihan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 52


Untuk memantapkan pemahaman anda tentang topik ini maka lakukanlah latihan
berikut:
1. Buatlah peta konsep tentang media kultur jaringan
2. Komunikasikan peta konsep yang anda buat tersebut dengan beberapa teman sambil
meminta saran untuk penyempurnaan peta konsep tersebut
3. Penutup
3.1. Rangkuman
Pada umumnya komposisi utama media tanam kultur jaringan, terdiri dari
hormon (zat pengatur tumbuh) dan sejumlah unsur yang biasanya terdapat di dalam
tanah yang dikelompokkan ke dalam unsur makro, unsur mikro. Hasil yang lebih baik
akan dapat kita peroleh bila, kedalam media tersebut, ditambahkan vitamin, asam amino,
dan hormon, bahan pemadat media (agar), glukosa dalam bentuk gula maupun sukrosa,
air destilata (akuades), dan bahan organik tambahan
Formulasi media kultur jaringan pertama kali dibuat berdasarkan komposisi
larutan yang digunakan untuk hidroponik, khususnya komposisi unsur-unsur makronya.
Unsur-unsur hara diberikan dalam bentuk garam-garam anorganik. Koposisi media dan
perkembangan formulasinya didasarkan pada jenis jaringan, organ dan tanaman yang
digunakan serta pendekatan dari masing-masing peneliti. Beberapa jenis sensitif
terhadap konsentrasi senyawa makro tinggi atau membutuhkan zat pengatur tertentu
untuk pertumbuhannya. Pada periode tahun 1930an, formulasi media terutama ditujukan
untuk menumbuhkan akar, tuber dan kambium. Media untuk penumbuhan akar yang
dikembangkan oleh White (1934 dalam Gunawan 1988), pertama White menggunakan
media yang berisi garam anorganik, yeast ekstrak dan sucrose, tetapi kemudian yeast
ekstrak digantikan dengan 3 macam vitamin B, yaitu pyridoxine, thiamine dan nicotinic
acid (Chawla, 2002).
Eksplan yang dikulturkan harus selalu bersinggungan atau terkena dengan
medianya. Bahan pemadat media yang paling banyak digunakan adalah agar-agar. Agar-
agar adalah campuran polisakarida yang diperoleh dari beberapa spesies algae. Dalam
analisa unsur, diperoleh data bahwa agar-agar mengandung sedikit unsur Ca, Mg, K, dan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 53


Na Keuntungan dari pemakaian agar-agar adalah :

1. Agar-agar membeku pada suhu 45° C dan mencair pada suhu 100°
sehingga dalam kisaran suhu kultur, agar-agar akan berada dalam keadaan
beku yang stabil.
2. Tidak dicerna oleh enzim tanaman.
3. Tidak bereaksi dengan persenyawaan-persenyawaa penyusun media.

3.2 Tes Formatif

1. Sebutkan komponen-komponen pokok penyusun medium dasar untuk tujuan

mikropropagasi tanaman.

2. Apa manfaat dan kelemahan penggunaan arang aktif di dalam medium kultur

3. Jelaskan hal-hal yang harus kita perhatikan dalam pembuatan media kultur jaringan?

3.3 Kunci jawaban

Untuk menjawab tes formatif di atas gunakan petunjuk berikut ini;

1. Baca kembali uraian tentang komposisi media kultur jaringan

2. Menjelaskan pertanyaan ini anda harus membaca kembali fungsi pemberian arang
aktif pada media kultur jaringan

3. Jawaban pertanyaan ini anda dapat melihat kembali uraian tentang hal-hal yang
harus diperhatikan dalam pembuatan media

Tindak lanjut.

1. Apabila mahasiswa dapat menyelesaikan 80 % dari test formatif di atas, ia dapat


melanjutkan mempelajari lanjutan perkuliahan ini karena pengetahuan tentang bab ini
merupakan dasar untuk memahami uraian pada bab-bab selanjutnya.
2. Apabila mereka belum mencapai penguasaan 80 % mereka danjurkan:

Bahan Ajar Kultur Jaringan 54


a. Mempelajari kembali dari awal bahasan di atas;
b. Konsultasi dengan asisten dan dosen.

Kepustakaan
1. Santoso U dan Fatimah Nursandi, 2004. Kultur Jaringan Tanaman, UMM Press.
Malang
2. Margono, 2003. Kultur Jaringan Tumbuhan, Depdiknas
3. Suryowinoto, 1993, Pemuliaan Tanaman Secara In Vitro, UGM, Yogyakarta
Publishing
4. Zulkarnain, H. 2009, Kultur Jaringan Tanaman, Bumi Aksara, Jakarta

Senarai

- Zat pengatur tumbuh, persenyawaan organik selain dari nutrient yang dalam jumlah
yang sedikit (1mM) dapat merangsang, menghambat, atau mengubah pola
pertumbuhan dan perkembangan tanaman

- Auksin digunakan secara luas dalam kultur jaringan untuk merangsang pertumbuhan

kalus, akar, suspensi sel dan organ

- Gelrite adalah gellam gum, suatu hetero-polisakarida yang dihasilkan bakteri

Pseudomonas elodea, terdiri dari molekul-molekul K-glukuronat, rhamnosa, dan

selobiosa.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 55


BAB IV

TIPE-TIPE DASAR MIKRO PROPAGASI

2.1 Pendahuluan
A. Deskripsi Singkat
Bab ini menguraikan sub-sub topik mulai dari kultur meristem, proliferasi tunas
aksilar, induksi pucuk adventif, organogenesis dan embriogenesis somatik Masing-
masing sub-sub topik dari tipe-tipe dasar mikropropagasi tersebut akan diuraikan
karakteristiknya
B. Relevansi
Memahami tipe-tipe dasar mikro propagsi akan memudahkan dalam aplikasi
serta penyesuaian dengan ketersediaan bahan tanam. Masing-masing tipe tersebut tentu
saja menghendaki prosedur penanganan yang berbeda, karenanya penting untuk
mempelajarinya secara mendetail agar pelaksanaannya akan mencapai tujuan yang
diinginkan..

C. Tujuan Khusus
Pada akhir perkuliahan mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan tipe-tipe
dasar mikro propagasi

2.2 Penyajian Materi

A. KULTUR MERISTEM
Istilah meristem seringkali digunakan untuk menyebutkan ujung tunas dari tunas
apikal atau lateral. Meristem sebenarnya adalah apikal dome dengan primordia daun
terkecil, biasanya berdiameter kurang dari 2 mm.
Keuntungan penggunaan meristem adalah kemungkinan besar bebas dari
pathogen internal (misalnya untuk eradikasi virus) dan meminimalisasi terjadinya variasi
kimera pada kultur. Kerugian utamanya adalah sangat rentan terhadap kerusakan dan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 56


memerlukan pengerjaan yang sangat detil/teliti di bawah mikroskop. Prasyarat kultur
sama dengan eksplan yang lebih besar, hanya ketidakberhasilan kultur awal mungkin
cukup tinggi.
Berikut aplikasi kultur meristem secara umum:
1. Produksi tanaman bebas virus
2. Produksi massal genotype dengan karakteristik yang diinginkan
3. Memfasilitasi pertukaran eksplan antar lokasi (produksi bahan tanaman yang
bersih)
4. Cryopreservation (penyimpanan pada suhu -198oC) atau konservasi plasma
nutfah secara in vitro (paper penyimpanan in vitro)

Kultur meristem yang disertai perlakuan temperatur 38-40oC selama beberapa


waktu, dapat menghilangkan virus dari bahan tanaman. Meristem culture, yakni kultur
jaringan menggunakan bagian tanaman dari jaringan muda atau meristem

Kultur meristem (meristem culture) adalah kultur jaringan tanaman dengan


menggunakan eksplan berupa jaringan-jaringan meristematik. Jaringan meristem yang
digunakan dapat berupa meristem pucuk terminal atau meristem tunas aksilar. Dalam
kultur meristem, perkembangan diarahkan untuk mendapatkan tanaman sempurna dari
jaringan meristem tersebut dan dapat sekaligus diperbanyak.
Kultur meristem, sudah secara luas diterapkan untuk tujuan perbanyakan
tanaman, terutama pada tanaman hortikultura. Sel-sel meristem pada umumnya stabil,
karena mitosis pada sel-sel meristem terjadi bersama mericloneengan pembelahan sel
yang berkesinambungan, sehingga ekstra duplikasi DNA dapat dihindarkan. Hal ini
menyebabkan tanaman yang dihasilkan identik dengan tanaman donornya.
Selain dari perbanyakan, aplikasi kultur meristem yang terutama adalah eliminasi
virus dari bahan tanaman dan penyimpanan plasma nutfah yang bebas virus ini dengan
teknik Cryopreservation : preservasi dengan temperatur rendah (Kartha, 1981 dalam
Gunawan 1988). Merurut Gautheret (1982 dalam Gunawan 1988), kultur meristem dan
eliminasi virus, sejarahnya dimulai dari Stanley seorang biochemist yang menganjurkan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 57


White yang pada waktu itu bekerja dengan kultur akar tomat untuk menumbuhkan virus
dalam akar yang di-isolir. Dalam subkultur, ada akar yang tidak mengandung virus,
terutama bila eksplan yang diambil sangat kecil. Pada tahun 1952 Morel dan Martin
berhasil memperoleh tanaman dahlia yang bebas virus dan kemudian berkembang pada
banyak tanaman-tanaman lain.
Pada tahun 1960 Morel yang mencoba membebaskan tanaman Cymbidium dari
virus, bahkan mendapatkan hasil yang merupakan dasar perbanyakan komersial
sekarang. Kultur meristem Cymbidium, Morel dapat menghasilkan perbanyakan diri
secara cepat. Tanaman yang dihasikan tersebut merupakan perkembangan dan
pertumbuhan dari jaringan vegetatif, maka plantula yang dihasilkan merupakan suatu
klon. Tanaman yang dihasilkan dari kultur meristem yang berupa klon sering disebut
mericlone. Tahapan pertumbuhan dari kultur meristem Cymbidium dimulai dari
terbentuknya kalus terlebih dahulu kemudian disusul terbentuknya protocorm (yaitu
suatu struktur serupa dengan perkembangan awal dari perkecambahan biji anggrek yang
sebelum tumbuh menjadi tanaman yang sempurna, menggerombol menjadi suatu massa
protocorm. Bila massa protocorm tersebut dipisah-pisahkan dan ditumbuhkan di media
serupa yang baru maka akan memperbanyak diri menjadi massa protocorm yang baru.
Bila protocorm dipindahkan pada media lain yang mengarah pada pendewasaan dan
perakaran maka protocorm akan tumbuh menjadi tanaman baru yang sempurna dan siap
dipindah ke lapangan.
Hasil yang diperoleh Morel ini tidak hanya membuat revolusi dalam bidang
peng-anggrekan, tetapi juga memberikan dorongan dalam perbanyakan cepat tanaman
jenis lain. Murashige juga memberikan landasan bahwa kultur meristem dan kultur
pucuk dapat digunakan sebagai teknik perbanyakan tanaman hortikultura. Sudah sekitar
10 tahun Murashige bekerja untuk mengembangkan teknik-teknik yang standard untuk
beberapa jenis tanaman hias sampai tanaman buah-buahan. Metode yang digunakan
untuk berbagai tanaman ini berbeda dengan anggrek. Penggunaan auksin dan sitokinin
diperlukan dalam kultur-kultur yang kemudian dikembangkan. Bila Morel memperoleh
banyak tanaman baru dari meristem pucuk anggrek dengan melewati proses

Bahan Ajar Kultur Jaringan 58


pembentukan kalus terlebih dahulu, maka Hussey dan Stacey (1980 dalam Gunawan
1988) memperoleh tanaman baru kentang dengan teknik lain. Jutaan tanaman kentang
baru diperoleh dalam jangka waktu yang cukup singkat yaitu sekitar satu tahun. Tunas
kentang yang bebas virus dijadikan sebagai eksplan awal. Mula-mula satu tunas pucuk
atau tunas ketiak kentang ditumbuhkan dalam media perbanyakan, sehingga tumbuh
menjadi buku-buku yang masing-masing mengandung satu tunas ketiak. Selanjutnya
setiap empat minggu, tunas itu dipanen dan dipotong-potong menjadi buku-buku tunggal
atau beberapa buku (3-4 buku) untuk dukulturkan lagi ke dalam media baru. Demikian
seterusnya 4 minggu dilakukan kultur berulang.
Perbanyakan vegetatif yang menggunakan eksplan yang telah terinfeksi virus
akan menjadi penyebab tersebarnya virus dalam anakan (progeni) di lapangan.
Penularan melalui benih sering terjadi pada tanaman Fabaceae seperti buncis, ercis, dan
kedelai.
Perkembangbiakan virus sangat tergantung pada metabolisme sel tnaman inang, antara
virus dan sel inang terdapat hubungan yang erat. Proses eliminasi virus melalui cara-cara
kemoterapi tidak selalu berhasil. Cara yang paling efisien adalah menggunakan kultur
meristem. Beberapa contoh tanaman yang berhasil dibersihkan dari virus dengan kultur
meristem ditampilkan pada tabel berikut ini:
Teknik Isolasi Meristem
Peralatan:
1. LAF
2. Mikroskop binokuler dengan lampu
3. Pinset berujung runcing
4. Skalpel dan jarum suntik
Bahan:
1. Biji kedelai
2. Biji kedelai dikecambahkan secara aseptik
3. Media MS + 0,1 μm BA + 1,0 μm NAA (dapat menginduksi meristem menjadi
tanaman lengkap).

Bahan Ajar Kultur Jaringan 59


Cara kerja:
1. Biji kedelai disterilkan dengan merendam ke dalam alkohol 70% selama 1 menit,
dipindahkan kedalam 20% clorox selama 15 menit- 20 menit sambil digoyang,
selanjutnya dibilas menggunakan aquadest steril 4x untuk menghilangkan sisa-
sisa cloroxnya.
2. Biji tersebut dimasukkan ke dalam aquadest steril dan direndam selama 5-6 jam.
3. Biji-biji tersebut ditanam pada media MS dalam tabung reaksi 18x2,5 cm.
4. Kecambah umur 1 minggu diisolasi meristemnya dibawah mikroskop binokuler
(yang telah disterilkan dengan alkohol 70%) pada perbesaran 20x10.
5. Organ daun dibuang secara hati-hati menggunakan skalpel atau jarum sampai
terlihat meristem yang berbentuk kubah (dome). Dengan jarum atau ujung
scalpel, dibuat irisan dengan bentuk V dengan ukuran 0,2-0,3 mm dan langsung
meristem dimasukkan ke dalam media kultur yang telah disediakan.
6. Botol kultur diletakkan pada inkubator pada suhu 25-27oC dengan penyinaran
selama 16 jam/hari.

Meristem Kentang
Persiapan bahan tanaman:
a. Umbi kentang yang mempunyai bobot 30 g/ buah atau umbi yang besar yang
dipotong dengan berat 20 g/potong dengan beberapa mata.
b. Umbi direndam dalam 0,03 μm GA3 selama 1 jam.
c. Umbi diletakan pada pasir yang lembab.
d. Tunas yang 3-5 cm dipergunakan sebagai bahan awal.
Isolasi meristem:
1. Tunas dicuci bersih menggunakan detergen dan disterilkan dalam larutan clorox
20% selama 7 menit, direndam lagi dalam larutan clorox 10% selama 10 menit,
selanjutnya dibilas menggunakan aquadest steril. Tunas dipindahkan pada petri-
dish steril.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 60


2. Tunas diambil bagian jaringan meristem dengan cara seperti pada pengambilan
jaringan meristem pada kedelai.
3. Media yang digunakan adalah MS + 1 g/L Bacto-tryptone.
4. Botol kultur disimpan dalam inkubator pada suhu 25 oC, panjang penyinaran 12
jam /hari, intensitas cahaya 150 lux selama 7 minggu.plantula yang telah
dihasilkan diuji dengan ELISA test.
5. Bila telah bebas virus, plantula dapat disubkultur dengan memotong-motong 1
buku/ eksplan, dipindahkan ke madia MS + 0,001 mg/L dan diulangi prosedur
tiak 20 hari, untuk mendapatkan plantula dalam jumlah banyak.
Kultur Meristem Anggrek Cymbidium
Cymbidium dapat dikulturkan pada beberapa media, seperti: media Vacint &
went, Muller & Morel, MS ½ atau Knudson C. Tanaman ini dapat ditanaman dalam
media cair (botol kultur diletakan di atas shaker dengan pengocokan) ataupun padat
dengan penambahan agar 0,8%.
Isolasi bahan tanam:
1. Pucuk Cymbidium dipotong sepanjang 3 cm, kemudian daun-daun yang
menyelubungi dibuang.
2. Pucuk direndam dalam alkohol 70% selama 2 menit dilakukan dua kali kemudia
dibilas dengan air steril.
3. Pucuk direndam ke dalam larutan clorox 20% selama 5 menit, bilas dengan air
steri 2-3 kali dan selanjutnya direndam kembali ke dalam larutan clorox 10%
selama 10 menit.
4. Pucuk dibilas menggunakan aquadest steril, selanjutnya diletakkan pada cawan
petri steril.
5. Jaringan meristem yang berbentuk kubah (dome) diambil sekitar ukuran 0,5 mm
dari titik tumbuh dengan 2 calon daun.
6. Jaringan meristem diletakkan di dalam air steril dalam petri-dish. Jaringan
tersebut kemudian dipindahkan pada media dalam botol kultur.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 61


Tahapan kultur:
Kultur meristem anggrek dapat dibagi menjadi 3 tahap yang berkesinambungan,
yaitu:
1. Inokulasi eksplan dan pembentukan protocorm awal.
2. Perbanyakan protocorm.
3. pembentukan calon tanaman sempurna (plantula).
Pada tahap pertama, eksplan diinokulasikan ke dalam media cair, selanjutnya
botol kultur dikocok terus menerus menggunakan shaker, hingga eksplan membentuk
massa protocorm, shaker diletakkan pada ruangan yang bersuhu 22oC dengan
pencahayaan sekitar 100 f.c.
Tahap kedua, melakukan perbanyakan protokorm, yaitu dengan memotong-
motong protocorm dan dipindahkan ke media segar. Tahap ke dua memerlukan waktu 2
bulan. Media yang digunakan dan pengocokkan dilakukan sama seperti pada tahap
pertama.
Tahap ketiga adalah memperoleh calon tanaman sempurna (bibit) yaitu dengan
perakaran tunas. Protocorm dari tahap ke dua dipanen dan diambil yang berukuran 0,5
cm (satu eksplan satu protocorm). Protocorm yang masih belum mencapai ukuran
ditinggalkan dalam botol kultur untuk diperbanyak lagi. Protocorm dewasa dipindahkan
dalam media padat, sehingga membentuk tunas dan akar. Bila plantula telah terbentuk
sempurna dapat diaklimatisasi untuk dipindahkan ke lapangan

B. PROLIFERASI TUNAS AKSILAR


Tubuh tumbuhan terdiri dari akar dan tajuk. Diantara adaptasi yang memungkinkan
tumbuhan dapat hidup di darat adalah kemampuannya untuk mengabsorpsi air dan
mineral dari dalam tanah, menyerap cahaya matahari dan mengambil CO2 dari udara
untuk fotosintesis serta kemampuannya untuk hidup dalam kondisi yang kering.
Akar dan tajuk saling bergantung satu sama lainnya, akar tidak mampu hidup tanpa
tajuk, demikian sebaliknya. Karena tidak memiliki kloroplas dan hidup di tempat yang

Bahan Ajar Kultur Jaringan 62


gelap menyebabkan akar tidak dapat tumbuh tanpa gula dan nutrisi organik lainnya yang
diangkut dari daun yang merupakan bagian dari sistem tajuk. Sebaliknya batang dan
daun bergantung pada air dan mineral yang diserap oleh akar.
Akar tumbuhan berfungsi sebagai penopang berdirinya tumbuhan (jangkar),
pengabsopsi air dan mineral, serta tempat penyimpanan cadangan makanan. Tajuk
terdiri dari batang, daun dan bunga (bunga merupakan adaptasi untuk reproduksi
tumbuhan Angiospermae). Batang adalah bagian tumbuhan yang terletak di atas tanah,
mendukung daun-daun dan bunga. Pada pohon, batang-batang meliputi batang pokok
dan semua cabang-cabang, termasuk ranting-ranting yang kecil. Batang mempunyai
buku sebagai tempat melekatnya daun, juga mempunyai ruas yakni jarak diantara dua
buku. Daun merupakan tempat utama berlangsunya fotosintesis, kendati ada beberapa
spesies tumbuhan yang batangnya dapat melakukan fotosintesis karena memiliki
kloroplas. Daun terdiri dari helaian daun yang melebar (lamina) dan tangkai daun
(petiol) yang menghubungkan daun dengan batang.
Pada ujung batang terdapat tunas yang belum berkembang yang disebut tunas ujung.
Selain itu dijumpai juga tunas aksilar/tunas lateral/tunas samping yang terdapat di ketiak
daun, tunas ini biasanya dorman. Pada banyak tumbuhan, tunas ujung menghasilkan
auksin yang dapat menghambat pertumbuhan tunas aksilar. Fenomena ini disebut
dengan dominansi apikal yang merupakan suatu adaptasi yang dapat meningkatkan
kemampuan tumbuhan untuk memperoleh cahaya. Hal ini sangat penting apabila
kerapatan vegetasi di suatu tempat tinggi. Pembentukan cabang juga penting untuk
meningkatkan sistem tajuk, pada kondisi tertentu tunas-tunas aksilar akan mulai tumbuh.
Beberapa dari tunas tersebut kemudian berkembang menjadi cabang-cabang yang
menghasilkan bunga dan yang lainnya berkembang menjadi cabang non reproduktif,
lengkap dengan tunas ujung, daun-daun dan tunas aksilar.
Produksi tanaman dengan merangsang terbentuknya tunas-tunas aksilar merupakan
teknik mikropropagasi yang paling umum dilakukan. Ada 2 (dua) metode produksi tunas
aksilar yang dilakukan yaitu:
1. Kultur Pucuk (shoot culture atau shoot-tip culture).

Bahan Ajar Kultur Jaringan 63


Kultur Pucuk (Shoot culture) adalah teknik mikropropagasi yang dilakukan dengan
cara mengkulturkan eksplan yang mengandung meristem pucuk (apikal dan lateral)
dengan tujuan perangsangan dan perbanyakan tunas-tunas/cabang-cabang aksilar.
Istilah yang digunakan untuk teknik kultur pucuk ini tergantung dari eksplan yang
digunakan (Debergh & Zimmerman, 1990). Teknik ini telah digunakan secara luas
untuk perbanyakan tanaman termasuk tanaman hortikultura seperti pisang,
asparagus, anggrek Cymbidium, dll. (Taji, et al., 2002).
Istilah yang digunakan untuk teknik kultur pucuk ini tergantung dari eksplan yang
digunakan. Jika eksplan yang digunakan adalah ujung pucuk-pucuk apikal (panjang
± 20 mm) saja maka tekniknya disebut sebagai shoot-tip culture, namun bila eksplan
yang digunakan adalah ujung pucuk apikal beserta bagian tunas lain dibawahnya
disebut sebagai shoot culture. Besar kecilnya eksplan yang digunakan
mempengaruhi keberhasilan kultur pucuk. Semakin kecil eksplan, semakin kecil
kemungkinannya untuk terkontaminasi oleh mikroorganisme namun semakin kecil
juga kemampuannya untuk beregenerasi dan memperbanyak diri. Sebaliknya,
semakin besar eksplan yang digunakan maka semakin besar kemampuannya untuk
beradaptasi dalam kondisi invitro, namun makin besar juga kemungkinannya untuk
terkontaminasi, makin banyak kebutuhannya akan media dan makin besar
wadah/botol kultur yang diperlukan. Oleh karena itu perlu diketahui ukuran eksplan
yang sesuai untuk masing-masing varietas dan spesies tanaman.
Pertumbuhan pucuk, inisiasi dan perbanyakan tunas aksilar yang dihasilkan
umumnya dirangsang dengan cara menambahkan hormon pertumbuhan (umumnya
sitokinin) ke dalam media pertumbuhannya. Perlakuan ini dapat merangsang
pertumbuhan tunas samping dan mematahkan dominasi apikal dari pucuk yang
dikulturkan. Selain itu, dominasi apikal juga dapat dihilangkan dengan perlakuan-
perlakuan lain misalnya pemangkasan daun-daun yang terdapat pada buku-buku
tunas atau meletakkan eskpan dalam posisi horisontal. Tunas-tunas aksilar yang
dihasilkan selanjutnya digunakan sebagai stek miniatur bagi proses perbanyakan
berikutnya. Dengan teknik ini dan disertai dengan sub kultur dapat diperoleh banyak

Bahan Ajar Kultur Jaringan 64


sekali plantet dari satu eksplan. Dengan membatasi jumlah sub kultur sampai
maksimal 8–10 kali dapat diperoleh klon tanaman yang true-to-type. Teknik ini telah
digunakan secara luas untuk perbanyakan tanaman termasuk tanaman hortikultura
seperti pisang, asparagus, anggrek Cymbidium, dll.
2. Kultur Mata Tunas (satu mata tunas: single-node culture; lebih dari satu mata
tunas: multiple-node culture).
Kultur mata tunas ini merupakan salah satu teknik in-vitro yang digunakan untuk
perbanyakan tanaman dengan merangsang munculnya tunas-tunas aksilar dari mata
tunas yang dikulturkan (Debergh & Zimmerman, 1990). Teknik ini telah lama dan
banyak dipergunakan untuk perbanyakan tanaman hortikultura seperti kentang,
asparagus, melon, semangka, anggrek, dan banyak lagi lainnya (Winata, 1992).
Seperti halnya kultur pucuk, eksplan yang digunakan dalam kultur mata tunas dapat
berasal dari tunas lateral, tunas samping atau bagian dari batang yang mengandung
satu atau lebih mata tunas (mengandung satu atau lebih buku). Dikenal dua teknik
kultur mata tunas yaitu eksplan yang mengandung mata tunas lebih dari satu ditanam
secara horisontal di atas medium padat (teknik invitro layering) atau (2) tiap buku
yang mengandung satu mata tunas dipotong-potong dan ditanam secara terpisah
dalam tiap-tiap botol kultur.
Seperti halnya teknik kultur pucuk, pertumbuhan tunas-tunas aksilar juga
berdasarkan pada prinsip pematahan dominasi apikal. Oleh karena itu, pertumbuhan
tunas-tunas aksilar ini terjadi jika eksplan (mata tunas) ditanam pada media yang
mengandung sitokinin dalam konsentrasi cukup tinggi sehingga sitokinin ini dapat
menghentikan dominasi pucuk apikal dan menyebabkan berkembangnya tunas-tunas
aksilar. Tunas aksilar yang terbentuk selanjutnya dipisah-pisahkan dan dapat
langsung ditanam pada media pengakaran sehingga diperoleh tanaman baru yang
sempurna atau digunakan kembali sebagai bahan tanam untuk perbanyakan
selanjutnya. Tunas-tunas tersebut selanjutnya diakarkan, diaklimatisasi dan
selanjutnya ditanam di lapangan. Teknik ini telah lama dan banyak dipergunakan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 65


untuk perbanyakan tanaman hortikultura seperti kentang, asparagus, melon,
semangka, anggrek, dan banyak lagi lainnya.
Kedua teknik kultur ini berdasarkan pada prinsip perangsangan terbentuknya atau
munculnya tunas-tunas samping dengan cara mematahkan dominasi apikal dari
meristem apikal.
 Induksi pembentukan tunas dari meristem bunga
Meristem bunga dapat juga dirangsang untuk membentuk tunas-tunas vegetatif
dalam kondisi invitro. Eksplan yang digunakan adalah inflorescence bunga yang
belum matang (immature inflorescences) yaitu yang belum membentuk organ-organ
kelamin jantan dan betinanya. Penggunaan infloresence yang telah dewasa akan
menghasilkan pembentukan organ bunga bukan kuncup vegetatif. Beberapa contoh
tanaman hortikultura yang diperbanyak dengan teknik ini adalah brokoli, kol bunga,
krisan dan sugar beat.
 Inisiasi langsung tunas adventif
Tunas adventif adalah tunas yang terbentuk dari eksplan pada bagian yang bukan
merupakan tempat asal terbentuknya (bukan dari mata tunas atau buku). Tunas-tunas
adventif ini dapat terbentuk langsung dari eksplan tanpa melalui proses terbentuknya
kalus terlebih dahulu. Teknik ini merupakan salah satu teknik mikropropagasi yang
juga banyak dilakukan dan dapat menghasilkan plantlet dalam jumlah jauh lebih
banyak dari teknik terdahulu (pembentukan tunas aksilar). Proses pembentukan
tunas adventif langsung dari jaringan eksplan seperti akar, pucuk dan bunga disebut
organogenesis.
Terjadinya organogenesis dipacu oleh adanya komponen-komponen seperti medium,
komponen endogen selama eksplan mulai dikulturkan, dan senyawa-senyawa yang
terbawa selama inisiasi eskplan. Selain itu organogenesis dipacu juga oleh
keberadaan zat pengatur tumbuh eksogen di dalam medium. Tunas dan akar
terbentuk pada beberapa lapis sel tipis pada eksplan beberapa spesies oleh adanya
perbedaan konsentrasi antara auksin dan sitokinin. Inisiasi akar dapat dipacu dengan
penambahan NAA dan zeatin dan pembentukan tunas dipacu dengan penambahan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 66


sitokinin seperti zeatin atau benzylaminopurine tanpa penambahan auksin. Pada
beberapa spesies organogenesis terbentuk pada lapisan epidermal selama kultur
invitro, misalnya pada tanaman Begonia rex (Dodds dan Robert, 1983).
Menurut Torrey (1966 dalam Dodds dan Roberts, 1983) membuat hipotesis bahwa
organogenesis dari kalus diinisiasi dengan pembentukan kluster sel-sel meristem
(meristemoid) mampu merespon pada faktor-faktor dalam jaringan untuk
memproduksi primordium. Inisiasi pembentukan akar, tunas dan embrioid juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor internal alamiah.
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap rhizogenesis termasuk auksin,
karbohidrat, pencahayaan, dan fotoperiode. Pada beberapa kultur jaringan auksin
memacu pembentukan akar, sedangkan adanya auksin eksogen dapat
menghambatnya dan rhizogenesis dapat distimulasi oleh anti-auksin.
Keberhasilan pembentukan tunas adventif secara langsung ini sangat tergantung
pada bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan serta sangat dipengaruhi oleh
spesies atau varietas tanaman asal eskplan tersebut. Pada tanaman yang responsif,
hampir semua bagian tanaman (daun, akar, batang, meristem, dll.) dapat dirangsang
membentuk organ adventif, namun pada tanaman lainnya tunas adventif ini hanya
dapat terbentuk pada bagian-bagian tanaman tertentu saja seperti umbi lapis, embryo
atau kecambah.
Seperti halnya teknik mikropropagasi lainnya, tunas adventif secara langsung ini
terbentuk melalui serangkaian tahap mulai inisiasi (Tahap 1). Setelah eksplan berada
pada kondisi aseptis dan tunas mulai tumbuh, eksplan dapat langsung disubkulturkan
ke media perbanyakan (atau media yang sama dengan inisiasi: tergantung varietas)
untuk memperbanyak tunas-tunas adventif dari mata tunas adventif yang telah
terbentuk pada tahap sebelumnya.
Tunas-tunas tersebut selanjutnya dipisahkan, diakarkan dan diaklimatisasi untuk
memproduksi tanaman lengkap dan utuh yang dapat tumbuh dalam keadaan alamiah.
Teknik ini telah banyak digunakan secara komersial untuk perbanyakan tanaman-
tanaman hortikultura khususnya tanaman-tanaman hias. Contoh tanaman hias yang

Bahan Ajar Kultur Jaringan 67


diperbanyak dengan teknik ini adalah tanaman-tanaman keluarga Gesneriaceae,
seperti Achimenes, Saitpaulia, Sinningia dan Streptocarpus. Pada tanaman-tanaman
tersebut, tunas langsung terbentuk dari eksplan daun tanpa pembentukan kalus
terlebih dahulu.
 Somatic embryogenesis langsung
Embrio aseksual atau embrio somatik (somatic embryo) adalah embrio yang
terbentuk bukan dari penyatuan sel-sel gamet jantan dan betina atau dengan kata lain
embrio yang terbentuk dari jaringan vegetatif/somatik. Embrio ini dapat terbentuk
dari jaringan tanaman yang dikulturkan tanpa melalui proses yang dikenal dengan
nama somatic embryogenesis. Jika proses ini terbentuk langsung pada eksplan tanpa
melalui proses pembentukan kalus terlebih dahulu, maka prosesnya disebut somatic
embryogenesis langsung (direct somatic embryogenesis).
Beberapa jenis tanaman hortikultura (misalnya jeruk) dapat secara alamiah
membentuk embryo aseksual ini. Dalam kondisi alamiah, embrio aseksual ini
terdapat terutama pada tanaman-tanaman yang bisa menghasilkan lebih dari satu
embryo pada bijinya misalnya pada jeruk, atau tanaman yang menghasilkan biji-biji
vegetatif (apomixis) misalnya pada manggis. Selain itu, embrio aseksual ini dapat
juga terbentuk dari jaringan-jaringan tanaman seperti ovule, jaringan nukleus
(nucellar embryoni), jaringan integumun pada ovule (misalnya pada pepaya),
jaringan pembungkus biji/mesocaps pada wortel. Tanaman-tanaman tersebut dapat
juga membentuk embrio aseksual ini secara invitro.
Dalam kondisis invitro, embrio aseksual ini dapat terbentuk secara langsung dari
eksplan-eskplan embrio (seksual/zygotic) dari golongan monokotil dan dikotil, dari
kecambah muda (hipocotyl dan cotyledon), dan bagian eksplan juvenil lainnya.
Embrio aseksual ini dapat digunakan sebagai salah satu cara perbanyakan tanaman
secara invitro. Embrio yang telah terbentuk dapat dimultiplikasi, selanjutnya melalui
beberapa proses perkembangan sampai masak dan dapat berkecambah membentuk
tanaman utuh. Tanaman ini selanjutnya diaklimatisasi dan ditanam pada kondisi
alamiahnya. Teknik ini digunakan untuk perbanyakan beberapa tanaman hortikultura

Bahan Ajar Kultur Jaringan 68


terutama anggrek dimana embrio aseksual (berupa protocorm like body, plb)
terbentuk dari dari meristem, daun, dll.

 Pembentukan organ penyimpan cadangan makanan mikro


Beberapa jenis tanaman dapat dikembangbiakan secara vegetatif dengan
menggunakan organ penyimpanan seperti tuber, rhizome, bulbus, dll. Organ-organ
penyimpanan ini juga bisa dihasilkan pada tanaman-tanaman yang memang secara
alamiah memproduksi organ penyimpanan tersebut. Teknik untuk mendapatkan
organ penyimpanan ini sangat bervariasi tergantung pada jenis jaringan yang
dikulturkan. Organ penyimpanan mikro ini dapat digunakan sebagai bibit untuk
penanaman langsung di lapangan atau ditanam untuk produksi umbi-umbi bibit.
Beberapa jenis organ penyimpanan mikro yang telah dikembangkan adalah
pembentukan umbi lapis mikro (bulbil) pada amarylis dan lili paris, pembentukan
corm mikro (cormlet) pada gladiol, pembentukan protocorm pada anggrek dan
pembentukan tuber mikro (tuberlet) pada kentang.
1. Umbi lapis mikro (bulbil) dan corm mikro (cormlet)
Umbi lapis mikro (bulbil/bulblet) dan kormus mikro (cormlet) dapat dirangsang
untuk terbentuk secara invitro pada spesies-spesies tanaman yang secara alamiah dapat
membentuk bulbus dan corm. Bulbil dapat terbentuk langsung pada kuncup/tunas
aksilar dan dapat pula terbentuk pada tunas adventif yang terbentuk dari eksplan daun,
ovary, inflorescence, dan diantara lapisan-lapisan daun bulbus. Dominasi tunas-tunas
apikal seringkali menghambat terbentuknya tunas-tunas adventif pada potongan eksplan
bulbus. Subkultur potongan bulbus tersebut dapat merangsang terbentuknya bulbil atau
terbentuknya tunas-tunas adventif dimana bulbil nantinya dapat terbentuk. Propagul
yang dihasilkan dan diaklimatisasi dapat berupa plantlet, plantlet yang mengandung
bulbil atau dorman bulbil. Contoh tanaman yang menghaslkan bulblet adalah lili, dan
bawang-bawangan. Beberapa jenis tanaman monokotil lainnya dapat memproduksi
organ penyimpanan mikro pada dasar batangnya (corm), seperti pada gladiol. Cormlet
pada gladiol dapat terbentuk langsung pada jaringan eksplan, pada kalus, atau pada

Bahan Ajar Kultur Jaringan 69


plantlet yang telah berakar namun masih dalam botol kultur setelah daun-
daunnya mengalami senescence. Cormlet yang dihasilkan secara invitro ini dapat
digunakan langsung sebagai bibit di lapangan atau digunakan sebagai eksplan untuk
kultur berikutnya.

Gambar 1. Bulblet dan Plantlet pada Kultur Invitro Lili dari Potongan
Umbi Krek Lili
2. Tuber mikro (tuberlet) pada kentang
Tanaman-tanaman yang secara alamiah dapat memproduksi tuber dapat
juga memproduksi tuber mikro (tuberlet) secara invitro dalam lingkungan kultur
yang sesuai. Dalam kultur invitro tuberlet ini dapat terbentuk langsung pada
batang plantlet dan tuber muncul pada tunas-tunas aksilar sepanjang tunasnya.
Tuber ini biasanya terbentuk pada batang plantlet yang ditanam dalam media
yang mengandung sitokinin pada konsentrasi tinggi. Tuber ini biasanya lebih
mudah terbentuk pada kondisi gelap dibandingkan dengan penanamannya dalam
kondisi terang. Tuber mikro yang dihasilkan secara invitro ini dapat langsung
digunakan sebagai bibit di lapangan dan dapat memproduksi tanaman kentang
yang normal. Selain itu, tuberlet ini juga dapat digunakan sebagai bahan tanam
dasar untuk produksi umbi bibit kentang berkualitas.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 70


Gambar 2. Pembentukan Tuber Kentang Mikro yang Diperoleh dari Kultur Pucuk
Umur 10 minggu Setelah Inisiasi, skala bar = 10 mm (Sumber: Trigiano &
Gray, 2000)

Radiasi menyebabkan beberapa tunas menghasilkan tunas aksilar, beberapa


tunas tidak memiliki tunas apikal. Terlihat bahwa radiasi sinar gamma telah merusak
jaringan pada inisial pucuk sehingga pembentukan tunas apikal terganggu.
Kemungkinan lain adalah terjadi gangguan transportasi auksin pada bagian inisial tunas,
sehingga proses dominansi apikal tidak berlangsung dan memacu munculnya tunas
axilar. Wattimena (1992), mengatakan proliferasi tunas aksilar hanya memerlukan
sitokinin dalam konsentrasi yang tinggi tanpa auksin atau auksin dalam konsentrasi yang
rendah sekali.
Proliferasi tunas lateral dapat dilakukan dengan cara mengkulturkan tunas aksilar
atau tunas terminal ke dalam media yang mempunyai komposisi yang sesuai untuk
proliferasi tunas sehingga diperoleh penggandaan tunas dengan cepat. Setiap tunas yang
dihasilkan dapat dijadikan sebagai sumber untuk penggandaan tunas selanjutnya
sehingga diperoleh tunas yang banyak dalam waktu yang relatif lebih singkat. Menurut
Mariska dan Sukmadjaja (2003) faktor perbanyakan dengan teknik kultur in vitro jauh
lebih tinggi dari cara konvensional. Selain itu, teknologi ini juga lebih menjamin
keseragaman, bebas penyakit, dan biaya pengangkutan yang lebih murah.Keberhasilan
perbanyakan tanaman secara in vitro baik melalui penggandaan tunas, organogenesis

Bahan Ajar Kultur Jaringan 71


maupun embriogenesis somatik sangat dipengaruhi oleh genotipa dan eksplan, jenis
media dasar, serta jenis dan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang digunakan (Monnier
1990; Liz dan Levicth 1997).
Pada umumnya, tanaman berkayu sangat sulit melakukan proliferasi tunas dan
regenerasi, sehingga diperlukan manipulasi di dalam media tumbuhnya supaya eksplan
mampu melakukan regenerasi membentuk tanaman utuh (Dixon dan Gonzales 1994).
Penambahan sitokinin dalam media pada umumnya sangat diperlukan pada tahap
induksi maupun penggandaan tunas. Oksidasi fenol pada tanaman berkayu juga cukup
tinggi sehingga sering menghambat pertumbuhan eksplan. Penambahan senyawa yang
dapat mengantisipasi aktivitas ini menjadi sangat diperlukan Tujuan penelitian ini adalah
untuk mendapatkan metode perkecambahan in vitro biji gaharu dan formulasi media
serta eksplan yang sesuai untuk induksi dan multiplikasi tunas.

D. Organogenesis
Istilah ini berkaitan dengan proses bagaimana pucuk dan atau akar adventif
berkembang dari dalam massa kalus. Proses tersebut berlangsung setelah suatu periode
pertumbuhan kalus (Hartman et al., 1990). Tekhnik ini dilanjutkan dengan
organogenesis berhasil dibuktikan pada sejumlah spesies tanaman. Flick et al. (1983 )
menyatakan bahwa eksplan tunas atau meristem yang mengandung sel-sel yang sedang
aktif membelah diri secara mitosis, memperlihatkan laju keberhasilan yang tinggi untuk
inisiasi kalus yang dilanjutkan dengan regenerasi planlet.
Penelitian Amin dan Razzaque ( 1993 ) mengungkapkan adanya kemungkinan
regenerasi tanaman lengkap secara invitro melalui kultur kalus yang diperoleh dari
jaringan bibit Averrhoa carambola. Hasil serupa di laporkan oleh Al-Khairy et al.
(1991) dari kalus yang digenerasikan dari eksplan umbi Spinaceae oleraceae, tanaman
yang diregenerasikan berhasil diaklimatisasi pada kondisi in vivo. Pembentukan pucuk
dari kultur kalus Lycopersicon esculentum dilaporkan oleh Le at al. (1990), kultur kalus
Cinacer arientinum oleh Barna dan wakhlu (1993) dan kultur kalus Swaensona formosa
(Zulkarnain, 2003).

Bahan Ajar Kultur Jaringan 72


Bhojwani dan Razdan (1983) menyatakan bahwa tanaman-tanaman yang
diregenerasikan dari kultur kalus dan kultur sel memperlihatkan ekspresi genetic yang
tidak selalu stabil. Ketidak stabilan ini seperti poliploidi , aneuploidi, dan perubahan-
perubahan pada struktur kromosom merupakan permasalahan yang umum (1983).
Contoh, Asparagus officinalis yang diperbanyak melalui kultur kalus memperlihatkan
adanya poliploidi dan aneuploidi, sedangkan yang diperbanyak melalui kultur tunas
semuanya bersifat diploid (normal). Sementara Mohamed et al. (1993) menyatakan
bahwa morfogenesis pucuk dari jaringan kalus Phaseolus vulgaris terkadang disertai
oleh timbulnya keragaman somaklon. Keragaman somaklon tersebut dapat dimanfaatkan
sebagai sumber keragaman genetik. Oleh karena itu, teknologi kaltur kalus dan kultur sel
dapat menjadi sarana penyediaan keragaman genetik bagi para pemulia tanaman dan
menawarkan pendekatan baru bagi perbaikan tanaman melalui seleksi in vitro

D. Embriogenesis Somatik

Istilah ini digunakan untuk menyatakan perkembangan embrio lengkap dari sel-
sel vegetatif yang dihasilkan dari berbagai sumber eksplan yang ditumbuhkan pada
sistem kultur jaringan (Hartman dkk, 1990). Fenomena perkembangan embrio dari
jaringan tanaman yang dikulturkan, pertama kali diamati oleh Stewart et al.(1958) pada
kultur suspensi Daucus carota dan Reinert (1959) pada kultur kalus spesies tanaman
yang sama.

Sama halnya dengan embrio zigotik yang berkembang dari penyatuan gamet
jantan dan gamet betina, embrio somatik pun tumbuh dan berkembang melewati
tahapan-tahapan yang sama. Tahapan-tahapan tersebut adalah oktan, globular, awal hati,
hati, torpedo, dan embrio dewasa.

Rice, dkk (1992), dalam Zulkarnain (2009), menyatakan bahwa embriogenesis


somatik merupakan teknik yang paling menjanjikan untuk perbanyakan dalam waktu
cepat pada tanaman pertanian. Embrio-embrio somatik dapat muncul langsung dari
permukaan eksplan, misalnya pada eksplan kotiledon Cucumis sativus (Ladyman dan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 73


Girard, dalam Zulkarnain (2009) dan tunas Foeniculum vulgare atau setelah fase
penggandaan yang melibatkan pembentukan kalus, seperti pada Irish pumila.

Kemampuan regenerasi embrio somatik pada kultur sel, memungkinkan untuk


diregenerasikannya tanaman lengkap bila regenerasi melalui organogenesis tidak
memungkinkan. Suatu keuntungan yang nyata dari embriogenesis somatik adalah
embrio-embrio somatik yang dihasilkan bersifat bipolar, yakni memiliki ujung-ujung
akar dan pucuk yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman lengkap. Pada
organogenesis perkembangan pucuk dan akar sering terjadi sangat terpisah dan sangat
tergantung pada perubahan media. Di samping itu, kultur-kultur yang bersifat
embriogenik dapat menghasilkan embrio dalam jumlah besar dalam satu wadah kultur,
lebih banyak dari pada puuk-pucuk majemuk yang diregenerasikan secara adventif
melalui organogenesis. Bila kultur tersebut dipindahkan pada medium cair maka embrio-
embrio tersebut dapat terpisah satu sama lain dan mengapung bebas di dalam medium.
Oleh karena itu, embrio- embrio tersebut tidak perlu dipisahkan secara manual, sejumlah
besar embrio dapat dipindahkan dengan mudah ke dalam wadah yang sesuai untuk
ditumbuhkan menjadi tanaman yang lengkap.

2.2 Tugas

Agar penguasaan anda tentang tipe-tipe dasar mikropropagasi lebih baik, maka
kerjakanlah tugas berikut ;

1. Buatlah garis besar masing-masing sub topik tipe-tipe dasar mikropropagasi


mulai dari kultur meristem sampai dengan embriogenesis somatik, dengan
cara yang menurut anda paling mudah dipahami misalnya dalam bentuk peta
konsep, atau bentuk lainnya

2. Komunikasikan hasil tersebut dengan teman anda yang juga membuat hal
yang sama tetapi dengan cara yang berbeda

Bahan Ajar Kultur Jaringan 74


3. Simpulan diskusi beri tanda khusus misalnya dengan menggaris bawahi atau
membuat catatan pelengkap pada lembaran berikutnya

2.3 Latihan

Untuk lebih memantapkan pemahaman anda tentang konsep tipe-tipe dasar


mikropropagasi, kerjakanlah soal-soal latihan berikut;

1. Sebutkan dan jelaskan lime tipe dasar mikropropagasi


2. Produksi tanaman dengan merangsang terbentuknya tunas-tunas aksilar
merupakan teknik mikropropagasi yang paling umum dilakukan. Ada 2 (dua)
metode produksi tunas aksilar yang dilakukan sebutkan dan jelaskan

3. Penutup

3.1 Rangkuman
Kultur meristem (meristem culture) adalah kultur jaringan tanaman dengan
menggunakan eksplan berupa jaringan-jaringan meristematik. Jaringan meristem yang
digunakan dapat berupa meristem pucuk terminal atau meristem tunas aksilar. Dalam
kultur meristem, perkembangan diarahkan untuk mendapatkan tanaman sempurna dari
jaringan meristem tersebut dan dapat sekaligus diperbanyak.
Aplikasi kultur meristem secara umum:
1. Produksi tanaman bebas virus
2. Produksi massal genotype dengan karakteristik yang diinginkan
3. Memfasilitasi pertukaran eksplan antar lokasi (produksi bahan tanaman
yang bersih)

4. Cryopreservation (penyimpanan pada suhu -198oC) atau konservasi plasma

nutfah secara in vitro (paper penyimpanan in vitro)


Produksi tanaman dengan merangsang terbentuknya tunas-tunas aksilar merupakan
teknik mikropropagasi yang paling umum dilakukan. Ada 2 (dua) metode produksi tunas
aksilar yang dilakukan yaitu:

Bahan Ajar Kultur Jaringan 75


a. Kultur Pucuk (shoot culture atau shoot-tip culture).
Kultur Pucuk (Shoot culture) adalah teknik mikropropagasi yang dilakukan dengan cara
mengkulturkan eksplan yang mengandung meristem pucuk (apikal dan lateral) dengan
tujuan perangsangan dan perbanyakan tunas-tunas/cabang-cabang aksilar.
b. Kultur Mata Tunas (satu mata tunas: single-node culture; lebih dari satu mata
tunas: multiple-node culture).

Kultur mata tunas ini merupakan salah satu teknik in-vitro yang digunakan untuk
perbanyakan tanaman dengan merangsang munculnya tunas-tunas aksilar dari mata
tunas yang dikulturkan

3.2 Tes Formatif

1. Jelaskan manfaat utama kultur meristem selain untuk perbanyakan tanaman!

2. Uraikan manfaat kultur kalus dan kultur sel bagi pemuliaan tanaman

3. Tuliskan apa yang anda ketahui tentang embriogenesis somatik

3.2 Kunci Jawaban

1. Baca kembali uraian tentang kultur meristem

2. Lihat uraian tentang kultur kalus

3. Jawaban soal ini dapat anda baca pada uraian tentang embriogenesis somatik

Tindak Lanjut
1. Apabila mahasiswa dapat menyelesaikan 80 % dari test formatif di atas, ia dapat
melanjutkan mempelajari lanjutan perkuliahan ini karena pengetahuan tentang bab ini
merupakan dasar untuk memahami uraian pada bab-bab selanjutnya.
2. Apabila mereka belum mencapai penguasaan 80 % mereka danjurkan:
a. Mempelajari kembali dari awal bahasan di atas;
b. Konsultasi dengan asisten dan dosen.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 76


Kepustakaan
1. Santoso U dan Fatimah Nursandi, 2004. Kultur Jaringan Tanaman, UMM Press.
Malang
2. Margono, 2003. Kultur Jaringan Tumbuhan, Depdiknas
3. Suryowinoto, 1993, Pemuliaan Tanaman Secara In Vitro, UGM, Yogyakarta
Publishing
4. Zulkarnain, H. 2009, Kultur Jaringan Tanaman, Bumi Aksara, Jakarta

Senarai

- Kultur meristem (meristem culture) adalah; kultur jaringan tanaman dengan


menggunakan eksplan berupa jaringan-jaringan meristematik

- Kultur Pucuk (Shoot culture) adalah; teknik mikropropagasi yang dilakukan

Dengan cara mengkulturkan eksplan yang mengandung meristem pucuk (apikal

dan lateral) dengan tujuan perangsangan dan perbanyakan tunas-tunas/cabang-

cabang aksilar

- Tunas adventif adalah tunas yang terbentuk dari eksplan pada bagian yang bukan
merupakan tempat asal terbentuknya (bukan dari mata tunas atau buku).

- Embrio aseksual atau embrio somatik (somatic embryo) adalah embrio yang terbentuk
bukan dari penyatuan sel-sel gamet jantan dan betina atau dengan kata lain embrio
yang terbentuk dari jaringan vegetatif/somatik
- Organogenesis; berkaitan dengan proses bagaimana pucuk dan atau akar adventif
berkembang dari dalam massa kalus

- Embriogenesis Somatik; digunakan untuk menyatakan perkembangan embrio lengkap


dari sel-sel vegetatif yang dihasilkan dari berbagai sumber eksplan yang ditumbuhkan
pada sistem kultur jaringan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 77


BAB V

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEBERHASILAN

TEKNIK KULTUR JARINGAN

5.1 Pendahuluan
A. Deskripsi Singkat
Bab ini berisi uraian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
teknik kultur jaringan yang mencakup; seleksi bahan tanam, pengaruh bahan tanam
terhadap pertumbuhan, sterilisasi bahan tanam dan zat pengatur tumbuh. Dalam bab ini

Bahan Ajar Kultur Jaringan 78


mahasiswa akan beroleh pengetahuan tentang berbagai faktor yang harus diperhatikan
agar kegiatan kultur akan menghasilkan sesuatu sesuai dengan apa yang menjadi tujuan

B. Relevansi
Pemahaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan kutur
jaringan, akan menjadi panduan mulai dari bagaimana menyeleksi bahan tanam, bahan
tanam mana yang punya potensi tumbuh, bagaimana mensterilisasi dan jenis serta zat
pengatur tumbuh apa yang dibutuhkan, seberapa besar yang akan diperlakukan dan
sebagainya. Semua faktor ini akan menentukan tingkat keberhasilan kegiatan kultur
jaringan.

C. Tujuan Khusus
Pada akhir perkuliahan mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan faktor-faktor
yang mempengaruhi keberhasilan teknik kultur jaringan.

5.2 Penyajian Materi


A. Seleksi Bahan Tanam
Seleksi bahan eksplan yang cocok merupakan factor penting yang menentukan
keberhasilan program kultur jaringan. Untuk memulai system kultur jaringan yang baru
denan spesies atau kultivar tanaman yang baru pula, seringkali menghendaki analisis
yang sistematis terhadap potensi eksplan dari setiap tipe jaringan. Oleh karena itu, Pierik
(1997) mengemukakan tiga aspek utama yang harus diperhatikan dalam seleksi bahan
eksplan, yaitu genotip, umur dan kondisi fisiologis bahan tersebut.
Walaupun tanaman dapat diperoleh dari sejumlah besar genotip, kemampuan
regenerasi setiap genotip sangat berbeda. Pengaruh genotip pada proliferasi sel dapat
dilihat pada kapasitas regeneratifnya. Pada umumnya, tanaman dikotil lebih mudah
berproliferasi pada kultur in vitro dari pada tanaman monokotil. Selain itu, tanaman
gymnospermae memiliki kapasitas regenerarif yang lebih terbatas dibandingkan dengan
tanaman angiospermae. Tanaman yang umumnya mudah diperbanyak melalui tekhnik
perbanyakan vegetatif konvensional akan muda pula diperbanyak melalui tekhnik kultur

Bahan Ajar Kultur Jaringan 79


jaringan (pierik, 1997). Tanaman berbatang lunak, seperti Saintpaulina (Chang, 1987)
dan Begonia (Bowes, 1990) yang mudah diperbanyak secara vegetatif konvensional
menggunakan stek daun, dapat dengan mudah pula dikulturkan secara in vitro
menggunakan eksplan potongan dan meregenerasikam lebih banyak tanaman.
Perbanyakan tanaman secara vegetatif konvensional, jaringan-jaringan
juvenilnya sering memperlihatkan peluang keberhasilannya yang lebih besar. Peluang
keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro meningkatkan pula dengan
digunakannya jaringan-jaringan muda sebagai bahan eksplan. Hartman menyatakan
bahwa jaringan-jaringan yang sedang aktif tumbuh pada awal masa pertumbuhan
biasanya merupakan bahan eksplan yang paling baik. Jaringan yang kurang aktif sering
menginginkan modifikasi jenis dan takaran zat pengatur tumbuh selama pengkulturan.
Kondisi fisiologis eksplan memiliki peranan penting bagi keberhasilan tekhnik
kultur jaringan. Pierik (1997) menyatakan bahwa pada umunya bagian-bagian vegetatif
lebih siap beregenerasi dari pada bagian-bagian generatif. Eksplan mata tunas yang
diperoleh dari tanaman yang sedang istrahat, lebih sulit berproliferasi dari pada mata
tunas yang diperoleh dari tanaman yang sedang aktif tumbuh. Hal ini sama halnya
dengan kasus dormansi pada eksplan biji.
Kondisi fisiologis eksplan dari suatu tanaman bervariasi secara alami, sejalan
dengan pertumbuhan tanaman yang melewati fase-fase yang berbeda dan perubahan
kondisi lingkungan. Suatu respon pertumbuhan tertentu di dalam suatu kultur jaringan
dijelaskan oleh Taji et al. (1995) sebagai hasil interaksi antara kondisi fisiologis bahan
yang dikulturkan dengan factor-faktor lingkungan. Hal itu berarti, pola pertumguhan
yang dihasilkan oleh suatu tanaman ditentukan oleh kondisi fisiologis bersih dari
tanaman bersangkutan akibat pengaruh kondisi internal dan eksternal. Keadaan
lingkungan kultur, seperti cahaya, suplai air, suplai hara, ataupun zat pengatur tumbuh
dapat di modifikasi sedemikian rupa untuk mengontrol kondisi fsiologis eksplan
Factor lain yang mempengaruhi laju keberhasilan kultur jaringan, namun bukan
merupakan factor utama adalah ukuran eksplan yang digunakan. Hal itu penting dalam
upaya memproduksi tanaman bebas virus melalui kultur meristem. Di samping itu,

Bahan Ajar Kultur Jaringan 80


ukuran pun menentukan laju kehidupan bahan eksplan yang dikulturkan. George dan
Sherrington (1984) menyatakan bahwa semakin kecil ukuran eksplan, semakin kecil
pula kemungkinan terjadinya kontaminasi, baik secara internal maupun eksternal, namun
laju kehidupan pun akan rendah. Sebaliknya, semakin besar ukuran eksplan, akan
semakin besar pula untuk kemungkinan berhasilnya proliferasi, namun kemungkinan
untuk terjadinya kontaminasi mikroorganisme akan makin besar.

Seleksi bahan tanaman yang sesuai:


1. Seleksi tanaman stok
a. Genotipe
Jika memungkinkan, gunakan bahan tanaman dengan tetua yang memiliki
kisaran genetik berbeda.
b. Kondisi tanaman
Eksplan yang sehat dan vigiorous kemungkinan besar akan menghasilkan kultur
yang baik dan berhasil.
c. Bagian tanaman
Tunas atau ruas/node paling sering digunakan, tapi bagian lain juga dapat
digunakan tergantung pada spesies dan tujuan yang diinginkan.
d. Ukuran tanaman
Semakin kecil eksplan, semakin kecil kemungkinan menularkan penyakit
endogenus atau mengintroduksikan variasi akibat chimera. Sebaliknya, eksplan yang
lebih kecil lebih mudah rusak pada saat penanganan dan lebih rentan terhadap kegagalan
pada kultur awal.
e. Kemudahan mengkulturkan
Beberapa spesies atau kultivar lebih mudah dikulturkan dibandingkan yang lain;
secara umum, tanaman yang mudah diperbanyak secara tradisional dengan stek,
biasanya lebih mudah dikulturkan.
f. Posisi tanaman

Bahan Ajar Kultur Jaringan 81


Ujung tunas dan daun yang baru tumbuh adalah bahan eksplan terbaik. Hindari
menggunakan bahan yang kontak langsung dengan tanah, dimana kemungkinan besar
infestasi penyakit sangat besar.
g. Jaringan berpenyakit
Pilihlah jaringan yang sehat. Ujung tunas yang sedang aktif tumbuh cenderung
memiliki sedikit infestasi.
h. Khimera
Beberapa tanaman mudah mengalami mutasi genetik atau chimera, misalnya
warna berbeda pada sebagaian daun, bentuk daun yang berbeda. Sifat genetik tertentu
dapat direproduksi pada kultur. Tapi, beberapa sifat chimera kadang dipilih sebagai
karakteristik yang diinginkan.
i. Poliploidi
Jaringan tanaman normal memiliki set jumlah kromosom tertentu pada selnya.
Beberapa individu atau jaringan mungkin memiliki tambahan (poliploidi) atau
pengurangan jumlah kromosom. Ini mungkin disebabkan abnormalitas alami atau
disebabkan oleh perlakuan bahan kimia.

2. Siklus pertumbuhan tanaman


a. Juvenil/dewasa
Jaringan muda/juvenile dihasilkan dari bibit tanaman. Jaringan dewasa
dihasilkan setelah beberapa siklus pertumbuhan. Jaringan dewasa memiliki karakter
fisiologis yang berbeda yang mempengaruhi kebutuhan kulturnya.

b. Vegetatif/generatif
Tunas yang sedang berkembang bias jadi bersifat vegetatif atau generatif (floral)
tergantung pada posisi dan siklus pertumbuhannya. Umumnya tunas vegetatif lebih
disukai untuk kultur, karena akan dapat memproduksi tunas baru dan menghasilkan
banyak titik – titik tumbuh. Status fisiologi jaringan tunas berbeda pada periode
berbunga dan ini dapat mempengaruhi respon tunas vegetatif yang dikoleksi pada saat

Bahan Ajar Kultur Jaringan 82


itu. Disarankan untuk menghindari periode berbunga sebagai bahan tanaman, tapi
penelitian menunjukkan bahwa beberapa spesies tanaman asli Australia menunjukkan
hal yang berbeda.
3. Aktif/dorman
Seperti pada pembungaan, tanaman dan tunas individu atau jaringan melalui
siklus pertumbuhan aktif dan tidak aktif (dormansi) dan perbedaan keadaan ini
mempengaruhi respon tanaman terhadap kondisi kultur.

B. Pengaruh Bahan Tanam Terhadap Pertumbuhan.


Pengaruh bahan tanam dapat diuraikan sebagai berikut;
Genotipe
Kemampuan regenerasi dunia tanaman punya rentangan yang luas. Dikotiledon
pada umumnya dapat beregenerasi lebih baik dibandingkan dengan monokotiledon.
Sedangkan gymnospermae mempunyai kemampuan regenerasi yang sangat terbatas,
terkecuali jika mengalami juvenisasi. Di antara dikotiledon selonaceae, Begineaceae,
dan Crasiferae beregenerasi dengan sangat mudah.
Ada perbedaan yang sangat besar dalam pembelahan dan regenerasi antara
tanaman-tanaman dalam suatu spesies tunggal. Bila regenerasi suatu organ begitu mudah
pada suatu spesies (Begonia rex, hibrida-hibrida Streptocarpus), maka harapan
kemampuan regenerasinya secara in vitro adalah sama. Namun demikian, ada beberapa
hal yang sangat kontras antara kemampuan beregenerasi in vitro dan in vivo; misalnya
hampir tidak memungkinkan untuk melakukan pembentukan tunas adventif in vivo, dari
potongan daun Kalanchoe farinacea , dimana secara in vitro dapat dilakukan dengan
baik. Kondisi ini mungkin disebabkan adanya ketersediaan regulator.
Umur tanaman
Jaringan embrionik pada umumnya mempunyai kemampuan regenerasi yang
tinggi, dan sebagai contoh pada tanaman biji-bijian, pada saat tanaman menjadi dewasa,
maka kemampuan regenerasinya menjadi menurun, dan bagian-bagian tanaman yang
muda (juvenil) dipilih untuk keperluan eksperimen, terutama pada tanaman berkayu dan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 83


semak. Adanya perbedaan pembelahan sel dan regenerasi antara bagian tanaman yang
muda dan dewasa secara in vitro dipelajari pada tanaman Lunaria annua, Anthurium
andreanum.
Bila mengisolasi meristem dan tunas pucuk (inisial pucuk) perlu diingat bahwa
dalam kondisi in vitro tunas pucuk yang juvenil, sedangkan tunas pucuk dewasa akan
tetap dewasa. Kadangkala melalui sub kultur yang berulang-ulang dari tunas pucuk dan
lebih khusus meristem, suatu meristem dewasa berangsur-angsur akan menunjukkan
karakteristik juvenil. Rejuvenisasi ini akan menghasilkan peningkatan pembelahan sel
dan regenerasi.
Umur jaringan dan organ
Jaringan muda, lunak (bukan berkayu) pada umumnya lebih cocok untuk bahan
tanam dibandingkan dengan jaringan berkayu yang lebih tua, meskipun beberapa
perkecualian dijumpai dalam literatur. Jaringan petiol yang sangat muda lebih mudah
beregenerasi dibanding jaringan petiol muda. Demikian pula yang muda lebih mudah
beregenerasi dibandingkan yang tua. Bila organ dari mana eksplan diambil menjadi
lebih tua, maka pembelahan sel dan regenerasinya juga menurun.
Status fisiologis
Status fisiologis mempunyai efek yang kuat terhadap pembelahan sel dan
regenerasi. Bagian tanaman vegetatif lebih siap beregenerasi dibandingkan bagian
tanaman generatifnya, misalnya pada umbi lapis lily. Bagian dari tanaman juvenil lebih
siap beregenerasi dibandingkan bagian tanaman dewasa.
Status kesehatan
Bila pada saat isolasi tanaman berada pada kondisi sehat, maka tingkat
keberhasilan kultur in vitro tinggi pula. Demikian pula, bila bahan tanam diambil dari
individu klon, maka individu klon tersebut harus dipilih yang paling sehat.
Efek tahun yang berbeda
Tahun yang berbeda akan berpengaruh terhadap kondisi fisik (faktor penentu
musim) yang berbeda pula. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan tanaman.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 84


Kondisi pertumbuhan
Tanaman yang ditumbuhkan dalam kondisi alam jika ditumbuhkan secara in
vitro akan bereaksi berbeda dengan yang berasal dari greenhouse. Pada umumnya
tanaman yang ditumbuhkan di greenhouse lebih siap beregenerasi dibanding yang di
alam.
Posisi eksplan pada tanaman
Makin tinggi kedudukan pucuk yang diisolasi dari sebatang tanaman berkayu,
makin rendah kemungkinan terbentuknya akar adventif. Potongan yang berasal dari
bagian yang lebih tinggi bersifat lebih tua dibanding yang lebih bawah. Gradien
regenerasi ini dijumpai pada umbi lapis lily, tembakau, Lunaria annua.
Ukuran eksplan
Pada umumnya makin kecil ukuran eksplan (sel, kelompok sel, meristem) makin
sulit induksi pertumbuhan dikerjakan jika dibandingkan dengan struktur yang lebih
besar seperti daun, batang atau umbi. Keadaan ini terkait dengan cadangan makanan dan
hormon endogen yang dikandung eksplan. Bila eksplan dalam ukuran besar diisolasi,
maka penambahan nutrien (gula dan mineral) dan regulator kurang berpengaruh
terhadap pertumbuhan. Ukuran potongan (besar dan kecil) juga dapat berpengaruh
terhadap regenerasi.
Pelukaan
Luas permukaan potongan memegang peranan penting bagi pertumbuhan in
vitro. Luas permukaan berpengaruh terhadap pengambilan nutrien dan regulator dan
pada saat yang sama juga produksi etilen. Bila ada barier anatomidari eksplan dalam
pembentukan akar adventif, misalnya oleh lapisan pembuluh sklerenkim, maka sangat
disarankan untuk melukai eksplan tersebut.
Metode inokulasi
Eksplan dapat diletakkan di atas nutrien media dengan cara berbeda; polar (tegak
ke atas, dengan pangkal fisiologis menancap medium) atau apolar (terbalik, dengan
pangkal fisiologis di atas medium). Akar dan tunas umumnya mudah beregenerasi pada
posisi inokulasi apolar. Regenerasi yang lebih baik ini selain disebabkan oleh pasokan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 85


oksigen yang lebih baik, mungkin juga ada faktor-faktor lain. Pada posisi inokulasi
apolar, makanan yang diakumulasikan di bagian pangkal batang tidak dapat berdifusi ke
agar. Inokulasi apolar sangat penting pada tanaman Amaaryllidaceae.
Nurse effect
Bila sebungkah kecil jaringan kalus diletakkan di tengah populasi sel, maka
substansi yang ada di dalam jaringan kalus tadi akan berdifusi ke dalam medium. Hasil
difusi ini akan berpengaruh terhadap pembelahan sel-sel secara individual. Fenomena
semacam inilah yang disebut dengan ”nurse effect”
Preparasi
Kondisi fisiologis sumber bahan tanam memegang peranan penting dalam
pertumbuhan eksplan secara in vitro. Secara artifisial, kondisi sumber bahan tanam dapat
dimodifikasi dengan cara:
1. Menyemprot tanaman induk dengan regulator (misalnya sitokinin)
2. Menyuntik bahan awal dengan regulator
3. Meletakkan sumber eksplan dalam penunjang yang berisi gula, BA,GA, dll
4. Merendam eksplan primer dalam larutan berisi berbagai konsentrasi BA

C. Sterilisasi Bahan Tanam


Dalam kultur jaringan, inisiasi kultur yang bebas dari kontaminan merupakan
langkah yang sangat penting. Bahan tanaman dari lapangan mengandung debu, kotoran-
kotoran, dan berbagai kontaminan hidup pada permukaannya. Kontaminan hidup dapat
berupa cendawan, bakteri, serangga dan telurnya, tungau serta spora-spora. Bila
kontaminan ini tidak dihilangkan, maka pada media yang mengandung gula, vitamin dan
mineral, kontaminan terutama cendawan dan bakteri akan tumbuh secara cepat. Dalam
beberapa hari, kontaminan akan memenuhi seluruh botol kultur. Eksplan yang tertutup
kontaminan akhirnya mati, dapat sebagai akibat langsung dari serangan
cendawan/bakteri.
Pada beberapa jenis tanaman, ditemukan juga kontaminan yang berasal dari
dalam jaringan tanaman, terutama bakteri. Bakteri-bakteri ini sampai sekarang belum

Bahan Ajar Kultur Jaringan 86


diidentifikasi. Kontaminan internal ini sangat sulit diatasi, karena sterilisasi permukaan
tidak menyelesaikan masalah. Pada bahan tanaman yang mengandung kontaminan
internal, harus diberi perlakuan antibiotik atau fungisida yang sistemik.
Setiap bahan tanaman mempunyai tingkat kontaminan permukaan yang berbeda,
tergantung dari :
1. Jenis tanamannya.
2. Bagian tanaman yang dipergunakan.
3. Morfologi permukaan (misalnya: berbulu atau tidak).
4. Lingkungan tumbuhnya (green house atau lapangan)
5. Musim waktu mengambil (musim hujan/kemarau).
6. Umur tanaman (seedling atau tanaman dewasa).
7. Kondisi tanamannya (sakit atau dalam keadaan sehat).
Keadaan ini menyulitkan penentuan suatu prosedur sterilisasi standard yang
berlaku untuk semua tanaman. Juga sukar untuk menentukan prosedur standard yang
dapat dipergunakan untuk suatu jenis tanaman yang berasal dari tempat berbeda. Setiap
bahan tanaman harus ditentukan melalu percobaan pendahuluan.
Dalam sterilisasi bahan tanaman, hal yang penting yang harus mendapat
perhatian adalah bahwa sel tanaman dan kontaminan adalah sama-sama benda hidup.
Kontaminasi harus dihilangkan tanpa mematikan sel tanaman. Di negara-negara tropis,
kontaminasi permukaan ini biasanya merupakan hal yang cukup serius, sehingga
beberapa tahap sterilisasi harus dilakukan.

Teknik Sterilisasi Eksplan


Sterilisasi bahan tanaman (misalnya: tunas kentang atau kencur), dimulai dengan
pencucian dan pembuangan bagian-bagian yang kotor dan mati di bawah pancuran air
ledeng. Pencucian dapat dilakukan dengan menggunakan detergen lembut. Kadang-
kadang bahan yang sudah bersih, dibiarkan dibawah pancuran air selama 1.2-1 jam
untuk memecahkan koloni kontaminan pertaminan permukaan, agar koloni-koloni
tersebut peka terhadap bahan-bahan sterilisasi (Gunawan, 1988).

Bahan Ajar Kultur Jaringan 87


Bahan yang sudah bersih dikecilkan sampai ukuran tertentu. Ukuran ini harus
lebih besar dari ukuran eksplan yang direncanakan. Bahan kemudian direndam dalam
larutan fungisida dan/atau antibiotic. Setelah waktu perendaman tercapai, bahan
ditiriskan dan dibawa masuk ke dalam laminar air flow cabinet. Prosedur lain dijalankan
di dalam laminar air flow cabinet. Bahan-bahan tanaman dicelup dulu selama ½ menit
dalam alcohol 70%, kemudian dimasukkan kedalam larutan natrium/kalsium hopoklorit
yang diberi beberapa tetes bahan surfactant sepertti Tritone-x, Tween 20, atau Tween 80.
Setelah waktu perendaman dalam larutan natrium/kalsium hipoklorid tercapai, bahan
tanaman dibilas 3 kali dalam aquadest steril selama 10 menit untuk tiap pembilasan.
Setelah semua prosedur tersebut dijalankan, berarti bahan tanaman sudah siap untuk
ditanam.
Masing-masing peneliti dan laboratorium dapat mengembangkan sendiri, cara
yang paling efektif untuk keadaan setempat.
Dalam laboratorium yang mempunyai pompa vacuum, sterilisasi dapat dilakukan
dalam keadaan vacuum dan dikocok dengan meletakkan botol di atas magnetic-stirrer.
Hal ini dapat meningkatkan efisiensi sterilisasi. Ke dalam larutan juga ditambahkan
surfactant beberapa tetes.
Bila gas klorin yang digunakan, maka prosedur harus dilakukan dalam fume
hood atau lemari asam. Gas klorin dapat diperoleh dengan cara: 50 ml Clorox (bahan
pemutih komersial/bleach), ditambah dengan 5 ml HCl pekat. HCl pekat tidak
ditambahkan sekaligus, tetapi mula-mula 3 ml dulu, sesudah 3 menit dapat ditambahkan
yang 2ml. Bahkan tanaman yang akan disterilkan misalnya umbi kentang dan wadah
yang berisi Clorox + HCl dimasukkan ke dalam botol besar yang tertutup
Untuk menghindarkan pemborosan media perlakuan , bahan tanaman tidak
langsung ditanam di dalam media perlakuan . Eksplan terlebih dahulu di tanam di dalam
media preconditioning yang merupakan media komposisi dasar tanpa hormone, untuk
menguji keefektifan prosedur sterilisasi. Setelah 3 – 7 hari di dalam media pre-
conditioning dan tidak menunjukkan gejala kontaminasi yang berlebih-lebihan,
sebaiknya dibuang. Untuk eksplan yang sukar diperoleh dan masih menunjukkan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 88


intergritas yang baik setelah sterilisasi pertama, sterilisasi kedua dapat dilakukan bila
kontaminasi masih muncul di permukaan.
Dalam kasus kontaminasi internal, langkah yang dapat diambil adalah
perendaman bahan tanaman yang sudah dicuci bersih, didalam larutan antibiotik selama
4 – 5 jam. Kemudian prosedur selanjutnya, sama dengan sterilisasi permukaan bahan
tanaman yang lain. Tindakan ini menolong keadaan tanman dengan kontaminan internal
yang berupa bakteri. Cara lain yang dapat ditempuh, adalah menambahkan antibiotic
yang tepat kedalam media tumbuh. Apabila antibiotik yang digunakan termasuk yang
heat-labile, maka antibiotik tidak dimasukkan ke dalam media sebelum sterilisasi dengan
autoklaf. Media di autoklaf tersendisi dan antibiotic ditambhkan setelah difiltrasi dengan
micro-filter dengan pori-pori 0.2 um.

Problem terbesar yang dihadapi para tissue culturist adalah kontaminasi mikroba
pada kultur (baik bakteri maupun jamur). Dua cara dapat dilakukan untuk mengurangi
kontaminasi kultur.
1 Metode fisik
Metode fisik untuk ditujukan untuk mengatasi kontaminasi mikroba dimaksudkan untuk
mengurangi ukuran populasi mikroba. Cara ini meliputi:
1. Mengekspos tanaman induk dengan kondisi kekeringan selama 3 – 4 minggu
sebelum mulai kultur jaringan. Tanaman diberi air yang cukup, dipupuk, dan
diberi pestisida atau fungisida jika perlu. Kelebihan pengairan mesti dihindari. .
2. Pada saat memulai kultur jaringan, tanaman dicuci bersih, dan bagian yang tidak
akan dikulturkan segera dibuang. Pembersihan meliputi pencucian, penggosokan
yang merata untuk membuang semua partikel tanah dan daun mati. Termasuk
juga membuang sebagian besar daun, karena kebanyakan daun tidak digunakan
dalam kultur.
3. Bahan tanaman kemudian dicuci dibawah air mengalir selama 20 menit, sampai
beberapa jam, tergantung sumber bahan tanaman. Ini sama artinya dengan
membuang jutaan mikroba ke drainase.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 89


2 Metode Kimia
Ini dapat dilakukan dengan larutan sodium hypochlorite (NaOCl). Kebanyakan
lab menggunakan bleach (pemutih) seperti Bayclin, yang mengandung 4% chlorine
tersedia. 25 mL Bayclin yang dibuat menjadi 100 mL dengan penambahan air destilata
akan memberi konsentrasi 1% chlorine tersedia. Karena kemurniannya, hypochlorite
memiliki aktivitas yang kecil pada pH melebihi 8.0 dan akan lebih efektif jika pH diatur
menjadi sekitar 6.0 dengan penambahan HCl (Behagel, 1971). Untuk meningkatkan
kesuksesan menggunakan chlorine, langkah berikut semestinya diikutsertakan:
1. Tambahkan deterjen ke larutan kloringe, misalnya beberapa tetes Tween 20 atau
Triton
2. Berikan sedikit tekanan pada perlakuan chlorine. Ini dapat dilakukan dengan
desikator vakum yang disambungkan ke air atau pompa tipe lain.
3. Goyang – goyangkan (agitasi) larutan klorine secara manual atau dengan
menggunakan shaker selama periode disinfestasi.
Semua teknik tersebut akan meningkatkan kontak tanaman dengan larutan klorine.
Lama perlakuan dengan larutan klorin yang diperlukan akan berbeda – beda, tergantung
tipe dan sensitivitas bahan tanaman.
3 Kontaminan endogenus – penggunaan antibiotik
Larutan klorin dapat membunuh mikroorganisme eksternal, namun tidak dapat
mematikan mikroorganisme internal (endogenus) dalam jaringan tanaman. Beberapa lab
menggunakan antibiotik untuk membunuh kontaminan endogenus. Meskipun antibiotik
rutin digunakan dalam kultur jaringan hewan, penggunaannya pada kultur jaringan
tanaman kurang berhasil. Tidak ada antibiotik yang efektif untuk membunuh semua
mikroorganisme penyebab kontaminasi. Antibiotik dan produk turunannya
dimetabolisme oleh jaringan tanaman dengan hasil yang tidak dapat diperkirakan.
Menurut pandangan Taji et al. (1997), penggunaan antibiotik sebaiknya dihindari.
Adalah berbahaya untuk mengembangkan system kultur jaringan yang berdasarkan pada
penambahan antibiotik ke dalam media, berdasarkan alasan – alasan berikut :
1. Tanaman yang dihasilkan mungkin masih memiliki endogenus kontaminan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 90


2. Dengan penggunaan antibiotik spesifik, seseorang dapat menghasilkan mutan
tertentu, tapi tidak dapat dikontrol dengan produk spesifik ini
3. Kontaminan non-patogenik dapat menjadi patogenik, bisa karena mutasi atau fisik.
Sesungguhnya, bakteri non-patogenik tanpa kompetisi dari bakteri lain dapat
menjadi ganas
4. Problem kamuflase in vitro bisa menjadi problem utama di kemudian hari pada
kultur (misalnya layu bakteri atau spot)
5. Kontaminasi bakteri dapat menjadi problem pada akhir proses perbanyakan mikro,
misalnya sulit menghasilkan akar pada tunas yang terkontaminasi.
4 Menyembuhkan kultur yang terkontaminasi
Kultur yang telah terkontaminasi dapat diselamatkan dengan metode berikut:
1. Buka wadah yang berisi kultur terkontaminasi dan isi penuh dengan larutan 0.5 – 1%
w/v sodium hypochlorite
2. Biarkan selama 1- - 50 menit tergantung pada keganasan kontaminasi atau
sensitivitas bahan tanaman
3. Keluarkan kultur dari larutan kloring, potong bagian dasar dan buang daun –daun
yang berlebihan
4. Transfer ke media kultur yang baru
Pilihan opsional, eksplan dapat dicuci dengan air steril atau diperlalukan dengan
satu seri sodium hypochlorite encer, misalnya 1% → 0.5% → 0.25% → 0.1% dan
ditanam tanpa pembilasan dengan air steril lagi. Ini berarti tanaman yang ditanam
kembali ke kultur mengandung sedikit klorine. Ini akan berguna pada kultur yang
terkontaminasi berat, tapi hanya tanaman yang tahan klorin dapat diperlakukan dengan
cara ini.
Dengan metode tersebut, kultur yang terkontaminasi, daunnya mungkin sangat
dipengaruhi oleh bleach. Kultur ini akan segera membaik dan tumbuh. 50%
penyembuhan dari kultur Melaleuca alternifolia berhasil diperoleh dari kultur yang
sangat terkontaminasi.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 91


Secara umum sterilisasi bahan tanam dapat dilakukan melalui langkah-langkah di
bawah ini :
1. Bahan tanaman dimasukkan ke dalam cawan petri steril atau botol steril, tergantung
dari ukuran eksplan yang digunakan.
2. Ke dalam botol steril dituangkan larutan Clorox 20% sampai bahan tanaman
terndam. Kemudian dibiarkan selama 7 menit.
3. Sementara itu, cawan petri lain dengan air steril disiapkan.
4. Setelah direndam selama 7 menit dalam Clorox 20%, bahan tanaman dibilas dalam
air steril di cawan petri kedua selama 5 menit.
5. Bahan tanaman dimasukkan ke dalam larutan Clorox 10% selama 10 menit
kemudian dibilas dengan air steril selama 5 menit.
6. Bahan tanaman direndam lagi dalam larutan Betadine 0.25% selama 3-5 menit.
7. Bahan tanaman dibilas dua kali dalam air steril dengan lama perendaman masing-
masing 5 menit agar sisa-sisa Betadine pada eksplan dapat larut.
8. Bahan tanaman ditanam dalam media dengan menggunakan alat-alat yang sudah
disterilkan.

Contoh Sterilisasi Eksplan


Disini dicontohkan sterilisasi beberapa jenis tanaman sebagai berikut:
 Sterilisasi eksplan untuk Sanseviera :
1. Potong daun menjadi ukuran 1,5 x 2 cm. Atas bawah daun jangan terbalik.
Tandai bagian bawah dengan memotong agak miring
2. Masukan eksplan dalam botol kaca (botol selai) steril. Kemudian masukan dan
rendam dalam larutan asam sitrat dan asam askorbat (vitamin C) selama 15
menit. Tahap ini boleh dilakukan boleh juga tidak. Kalau tidak langsung ke no 3.
3. Cuci di air mengalir + deterjen (misalnya sunlight) 15 menit
4. Shaker dalam larutan fungisida (dithane) 4 gr/100 ml selama 30 menit lalu bilas
dengan air steril sampai sisa fungisida hilang. Biasanya diperlukan 5 kali bilasan.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 92


5. Shaker dalam larutan bakterisida (agrept) 4 gr/100ml selama 30 menit lalu bilas
dengan air steril sampai sisa bakterisida hilang
6. Rendam sambil digoyang dalam alcohol 75 % selama 5 menit lalu bilas dengan
air steril sampai sisa alkohol hilang (5 kali). Pada tahap ini dilakukan dalam
laminar/enkase
7. Eksplan siap ditanam.

 Sterilisasi eksplan untuk Aglaonema:


1. Potong batang dengan 2-3 mata tunas. Bagian pucuk juga bias diambil
2. Cuci di air mengalir + detrejen (misalnya sunlight) 30 menit
3. Shaker dalam larutan fungisida (dithane) 4 gr/100 ml selama 30 menit lalu bilas
dengan air steril sampai sisa fungisida hilang
4. Shaker dalam larutan bakterisida (agrept) 4 gr/100ml selama 30 menit lalu bilas
dengan air steril sampai sisa bakterisida hilang
5. Rendam sambil digoyang dalam alcohol 75 % selama 5 menit lalu bilas dengan
air steril sampai sisa alkohol hilang (5 kali). Pada tahap ini dilakukan dalam
laminar/enkase
6. Eksplan siap ditanam
Sterilisasi eksplan untuk Alokasia/Pisang
Pada jenis tanaman yang memiliki umbi atau bonggol seperti pada alokasia dan
pisang bias dilakukan sterilisasi sebagai berikut:
1. Bersihkan umbi dan bonggol dari tanah
2. Potong umbi 2 cm dari pangkal batang. Sebenarnya bagian bawah umbi juga bias
digunakan namun yang terbaik adalah bagian atas dekat batang tadi dengan
sedikit batang atas. Batang atas disini dimaksudkan batang semu berupa pelepah
alokasia/pisang yang berlapis-lapis
3. Potong batang atas 2-3 cm dari bonggol.. daun-daun dibuang.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 93


4. Untuk alokasia rendam dalam bayclin 30 % selama 20 menit. Untuk pisang
bayclin 100 % selama 20 menit. Lalu bilas dengan air steril samapi bersih ( 5
kali)
5. Rendam ekpslan alokasia dalam alcohol 70 % selama 5 menit. Kemudian bilas
dan siap tanam. Pada pisang rendam dalam alcohol 70 % selama 20 menit lalu
bilas samapai bersih
6. Eksplan siap tanam

D. Zat Pengatur Tumbuh


Pierek (1997) mengemukakan bahwa fitohormon adalah senyawa-senyawa yang
dihasilkan oleh tanaman tingkat tinggi secara endogen. Senyawa tersebut berperan
merangsang dan meningkatkan pertumbuhan serta perkembangan sel, jaringan dan organ
tanaman menuju arah diferensiasi tertentu. Senyawa-senyawa lain yang memiliki
karakteristik yang sama dengan hormon, tetapi diproduksi secara eksogen, dikenal
sebagai zat pengatur tumbuh.
Di dalam teknik kultur jaringan, kehadiran zat pengatur tumbuh sanat nyata
pengaruhnya. Bahkan, Pierik (1997) bahwa sangat sulit untuk menerapkan teknik kultur
jaringan pada upaya perbanyakan tanaman tanpa melibatkan zat pengatur tumbuh.
1. Auksin
Auksin adalah sekelompok senyawa yang fungsinya merangsang pemanjangan
sel-sel pucuk yang spektrum aktivitasnya menyerupai IAA. Pada umumnya auksin
meningkatkan pemanjangan sel, pembelahan sel dan pembentukan akar adventif. Auksin
berpengaruh pula untuk menghambat pembentukan adventif dan tunas aksilar, namun
kehadirannya dalam medium kultur dibutuhkan untuk meningkatkan embriogenesis
somatik pada kultur suspensi sel. Konsentrasi auksin yang rendah akan meningkatkan
pembentukan akar adventif, sedangkan auksin konsentrasi tinggi akan merangsang
pembentukan kalus dan menekan morfogenesis.
Auksin yang paling banyak digunakan dalam kultur in vitro adalah indole-3
acetic acid (IAA), α-naphthalenacetic acid (α-NAA), dan 2,4 dichlorophenoxyacetic acid

Bahan Ajar Kultur Jaringan 94


(2,4-D). Jenis-jenis auksin lain seperti 2,4,5-tri dichlorophenoxyacetic acid (2,4,5-T),
indole-3-butyric acid (IBA), dan p- chlorophenoxyacetic acid (4-CPA) juga merupakan
senyawa yang efektif, tetapi penggunaannya tidak sebanyak tiga jenis auksin yang
disebut terlebih dahulu. 2,4,5-T dapat meningkatkan pembentukan kalus pada kultur in
vitro tanaman biji-bijian sedangkan IBA sangat efektif untuk menginduksi perakaran.
IAA merupakan auksin yang disintesis secara alamiah di dalam tubuh tanaman, namun
senyawa ini mudah mengalami degradasi akibat pengaruh cahaya dan oksidasi
enzimatik. Oleh karena itu, IAA biasanya diberikan pada konsentrasi yang relatif tinggi
(1-30 mg L-1). Sementara itu α-NAA yang merupakan auksin sintetik, tidak mengalami
oksidasi enzimatik seperti halnya IAA. Senyawa tersebut dapat diberikan pada medium
kultur pada konsentrasi yang lebih rendah, berkisar antara 0,1-2,0 mg L-1 . Pemberian
2,4-D pada konsentrasi 10-7 – 10-5 M tanpa sitokinin sangat efektif untuk induksi
proleferasi kalus pada kebanyakan kultur. Menurut Gamborg et.al (1976) senyawa
tersebut dapat menekan organogenesis dan sebaiknya tidak digunakkan pada kultur yang
melibatkan inisiasi pucuk dan akar. Sementara itu, Pierik (1997) menganjurkan untuk
membatasi penggunaan 2,4-D pada kultur in vitro karena dapat meningkatkan peluang
terjadinya mutasi genetik dan menghambat fotosintesis pada tanaman yang
diregenerasikan.

2. Sitokinin
Sitokinin adalah senyawa yang dapat meningkatkan pembelahan sel pada
jaringan tanaman serta mengatur pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sama halnya
dengan kinetin (6-furfurylaminopurine). Peranan auksin dan sitokinin sangat nyata
dalam pengaturan pembelahan sel, pemanjangan sel, diferensiasi sel, dan pembentukan
organ.
Pemberian sitokinin ke dalam medium kultur jaringan penting untuk
menginduksi perkembangan dan pertumbuhan eksplan. Senyawa tersebut dapat
meningkatkan pembelahan sel, proliferasi pucuk, dan morfogenesis pucuk. Bahkan
menurut George dan Sherrington (1984), apabila ketersediaan sitokinin di dalam

Bahan Ajar Kultur Jaringan 95


medium kultur sangat terbatas, maka pembelahan sel pada jaringan yang dikulturkan
akan terhambat. Akan tetapi apabila jaringan tersebut di sub kulturkan pada medium
dengan kandungan sitokinin yang memadai maka pembelahan sel akan berlangsung
secara sinkron.
Selain meningkatkan pembelahan sel dan inisiasi pucuk, sitokinin terlibat pula di
dalam kontrol perkecambahan biji, mempengaruhi absisi daun dan transpor auksin,
memungkinkan bekerjanya giberelin dengan menghilangkan penghambat tumbuh, serta
menunda penuaan. Sitokinin biasanya tidak digunakan untuk tahap pengakaran pada
mikropropagasi karena aktivitasnya dapat menghambat pembentukan akar, menghalangi
pertumbuhan akar, dan menghambat pengaruh auksin terhadap inisiasi akar pada kultur
jaringan sejumlah spesies tertentu.
Sitokinin yang banyak digunakan pada kultur in vitro adalah, kinetin,
benziladenin (BA atau BAP), dan zeatin. Zeatin adalah sitokinin yang disentesis secara
alamiah, sedangkan kinetin dan BA adalah sitokinin sintetik. Satu lagi sitokinin alamiah
yang secara ekonomis lebih murah dari pada zeatin adalah 6- [γ, γ dimethylallylamino]
purin atau N6-[Δ2-isopentenyl]- denine atau 2iP. Disamping itu air kelapa yang
disterilkan dengan otoklaf dapat pula ditambahkan ke dalam medium kultur pada
konsentrasi 10-15% (v/v) sebagai salah satu sumber sitokinin alamiah.
Terdapat kisaran interaksi yang luas antara kelompok auksin dengan kelompok
sitokinin. Kedua kelompok zat pengatur tumbuh tersebut berinteraksi pula dengan
senyawa-senyawa kimia lainnya dan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, seperti
cahaya dan suhu. Pada kondisi tertentu, auksin dapat bereaksi menyerupai sitokinin, atau
sebaliknya (Kyte, 1983). Meskipun demikian, baik auksin maupun sitokinin, keduanya
seringkali diberikan secara bersamaan pada medium kultur untuk menginduksi pola
morfogenesis tertentu, walaupun rasio yang dibutuhkan untuk induksi perakaran maupun
pucuk tidak selalu sama. Terdapat keragaman yang tinggi antar genus, antar spesies
bahkan antar kultivar dalam hal jenis serta takaran auksin dan sitokinin yang dibutuhkan
untuk menginduksi terjadinya morfogenesis.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 96


Torres, (dalam Zulkarnain; 2009) menyatakan bahwa tipe morfogenesis pada
kultur in vitro tergantung pada rasio serta kondisi auksin dan sitokinin. Inisiasi akar,
embriogenesis, dan induksi pembentukan kalus umumnya terjadi bila terdapat rasio yang
tinggi antara auksin dengan sitokinin, sedangkan proliferasi pucuk adventif dan pucuk
aksilar terjadi apabila rasio tersebut rendah. Di samping rasio, konsentrasi auksin dan
sitokinin yang digunakan pun memiliki arti yang sangat penting. Konsentrasi auksin
ataupun sitokinin yang berbeda akan mengakibatkan modus pertumbuhan yang berbeda
pula, sekalipun rasionya sama.

3. Giberelin
Kelompok zat pengatur tumbuh ini terdiri atas kira-kira 60 macam senyawa GA3
merupakan yang paling banyak dijumpai di dalam tanaman. Asam giberelat tidak begitu
sering digunakan dalam kultur jaringan. Senyawa tersebut tidak tahan panas dan tidak
dapat diotiklaf. Olehkarena itu harus ditambahkan kedalam medium stelah diotoklaf
dengan menggunakan filter milipore (sterilisasi filter). Secara umum, peranan asam
giberelat di dalam tanaman adalah meningkatkan perkembangan biji dan menginduksi
pemanjangan ruas. Senyawa itu digunakan di dalam media kultur untuk meningkatkan
pemanjangan pucuk-pucuk yang sangat kecil dan merangsang pembentukan embrio dari
kalus.
Meskipun penggunaannya dalam teknik kultur jaringan tidak sebanyak auksin
dan sitokinin, giberelin dan kelompok GA3 telah dimanfaatkan pada kultur pucuk dan
kultur buku tanaman Phytolacca dodecandra kultur biji tanaman Gymnocladus dioicus
dan kultur meristem tanaman coklat.

4. Asam absisat
Asam absisat ditemukan tersebar luas dalam jaringan tanaman dan diduga
fungsinya sebagai zat penghambat tumbuh. Senyawa ini jarang digunkan dalam kultur
jaringan, namun memiliki aplikasi yang spesifik, seperti merangsang perkembangan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 97


embrioid dari kalus. Pertanan ABA kemungkinan berkaitan dengan kemampuannya
memodifikasi sintesis sitokinin dan sebagai senyawa antagonis terhadap giberelin.

5. Etilen
Etilen adalah zat pengatur tumbuh yang struktur sederhana dan berbentuk gas.
Senyawa ini umumnya diproduksi oleh tanaman sebagai respons terhadap kelebihan air
(waterlogging), yaitu suatu kondisi yang analog dengan kultur in vitro. Menurut George
dan Sherrington (1984), kultur tanaman di dalam wadah tertutup dapat meningkatkan
akumulasi produksi etilen yang menghambat pertumbuhan akibat terjadinya vitrivikasi
dan penuaan pada pucuk-pucuk muda.
Meskipun etilen dapat mengakibatkan terhambatnya perkembangan kultur,
sejumlah peneliti menyatakan bahwa pada kisaran konsentrasi rendah, senyawa ini dapat
meningkatkan pertumbuhan kultur pada beberapa spesies tanaman. Huxter et.al. dalam
Zulkarnain (2009) menemukan bahwa pembentukan pucuk adventif dari kalus tembakau
ditingkatkan oleh akumulasi etilen setelah 5 hari inisiasi kultur. Pemberian etilen selama
3-5 hari pertama kultur, dinyatakan oleh Aartijk et.al. (1985) dapat meningkatkan
jumlah pucuk adventif yang terbentuk pada eksplan umbi Lilium speciosum.
Pada tanaman berkayu, Kumar dkk. Menyatakan bahwa etilen pada konsentrasi
5-8 mg L-1 yang terakumulasi selama 10 hari pertama inisiasi kultur dapat meningkatkan
pembentukan pucuk pada eksplan kotiledon Pinus radiata. Panizza dkk, (1988)
mengamati pembentukan pucuk adventif pada eksplan potongan nodus dan tangkai
bunga tanaman Lavandala latifolia yang berkaitan dengan tingkat produksi etilen di
dalam wadah kultur. Sementara itu Dimesi-Therion dkk (1992) menemukan bahwa
pemberian etilen dapat meningkatkan jumlah pucuk yang terbentuk pada kultur Petunia
hybrida secara nyata, namun tidak mempengaruhi panjang dan berat segar.

2.2 Tugas
Setelah anda mempelajari tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
teknik kultur jaringan, maka selesaikanlah tugas berikut;

Bahan Ajar Kultur Jaringan 98


1. Buatkan rangkuman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
teknik kultur jaringan, dapat dengan cara membuat ikhtisar atau peta konsep
2. Mintakan masukan dari teman untuk kelengkapan rangkuman tersebut
demikian sebaliknya anda juga memberi masukan atas tugas yang dibuat
teman.
2.3 Latihan.
Untuk memantapkan pemahaman anda tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan kultur jaringan, kerjakanlah soal-soal latihan berikut
1. Jelaskan dengan singkat faktor-faktor penting yang mempengaruhi
keberhasilan perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan!
2. Faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bahan
tanaman sebagai sumber eksplan?

3. Penutup
3.1 Rangkuman
Untuk mendapatkan bahan tanam (eksplan) maka pemilihan eksplan penting
memperhatikan hal-hal sebagai berikut;
1. Seleksi tanaman stok
a. Genotipe; Jika memungkinkan, gunakan bahan tanaman dengan tetua yang memiliki
kisaran genetik berbeda.
b. Kondisi tanaman; Eksplan yang sehat dan vigiorous kemungkinan besar akan
menghasilkan kultur yang baik dan berhasil.
c. Bagian tanaman; Tunas atau ruas/node paling sering digunakan, tapi bagian lain juga
dapat digunakan tergantung pada spesies dan tujuan yang diinginkan.
d. Ukuran tanaman; Semakin kecil eksplan, semakin kecil kemungkinan menularkan
penyakit endogenus atau mengintroduksikan variasi akibat chimera. Sebaliknya,
eksplan yang lebih kecil lebih mudah rusak pada saat penanganan dan lebih rentan
terhadap kegagalan pada kultur awal.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 99


e. Kemudahan mengkulturkan; Beberapa spesies atau kultivar lebih mudah dikulturkan
dibandingkan yang lain; secara umum, tanaman yang mudah diperbanyak secara
tradisional dengan stek, biasanya lebih mudah dikulturkan.
f. Posisi tanaman; Ujung tunas dan daun yang baru tumbuh adalah bahan eksplan
terbaik. Hindari menggunakan bahan yang kontak langsung dengan tanah, dimana
kemungkinan besar infestasi penyakit sangat besar.
g. Jaringan berpenyakit; Pilihlah jaringan yang sehat. Ujung tunas yang sedang aktif
tumbuh cenderung memiliki sedikit infestasi.
h. Khimera; Beberapa tanaman mudah mengalami mutasi genetik atau chimera,
misalnya warna berbeda pada sebagaian daun, bentuk daun yang berbeda. Sifat
genetik tertentu dapat direproduksi pada kultur. Tapi, beberapa sifat chimera kadang
dipilih sebagai karakteristik yang diinginkan.
i. Poliploidi; Jaringan tanaman normal memiliki set jumlah kromosom tertentu pada
selnya. Beberapa individu atau jaringan mungkin memiliki tambahan (poliploidi) atau
pengurangan jumlah kromosom. Ini mungkin disebabkan abnormalitas alami atau
disebabkan oleh perlakuan bahan kimia.
Kondisi fisiologis sumber bahan tanam memegang peranan penting dalam pertumbuhan
eksplan secara in vitro. Secara artifisial, kondisi sumber bahan tanam dapat dimodifikasi
dengan cara:
1. Menyemprot tanaman induk dengan regulator (misalnya sitokinin)
2. Menyuntik bahan awal dengan regulator
3. Meletakkan sumber eksplan dalam penunjang yang berisi gula, BA,GA, dll
4. Merendam eksplan primer dalam larutan berisi berbagai konsentrasi BA
Problem terbesar yang dihadapi para tissue culturist adalah kontaminasi mikroba
pada kultur (baik bakteri maupun jamur). Dua cara dapat dilakukan untuk mengurangi
kontaminasi kultur. Metode fisik dan metode kimiawi

3.2 .Tes Formatif.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 100


1. Jelaskan beberapa sumber kontaminasi yang potensial dalam sistem kultur
jaringan tanaman!
2. Jelaskan zat pengatur tumbuh yang berperan penting dalam sistem kultur
jaringan tanaman. Uraikan fungsinya dengan singkat!

3.3 Kunci Jawaban


1. Untuk menjawab pertanyaan ini, baca kembali uraian tentang kontaminasi
2. Masing-masing peran dan fungsi zat pengatur tumbuh dapat dibaca pada uraian
tentang zat pengatur tumbuh yang digunakan pada kultur jaringan

Tindak Lanjut
1. Apabila mahasiswa dapat menyelesaikan 80 % dari test formatif di atas, ia dapat
melanjutkan mempelajari lanjutan perkuliahan ini karena pengetahuan tentang bab ini
merupakan dasar untuk memahami uraian pada bab-bab selanjutnya.
2. Apabila mereka belum mencapai penguasaan 80 % mereka danjurkan:
a. Mempelajari kembali dari awal bahasan di atas;
c. Konsultasi dengan asisten dan dosen.

Kepustakaan.
1. Santoso U dan Fatimah Nursandi, 2004. Kultur Jaringan Tanaman, UMM Press.
Malang
2. Margono, 2003. Kultur Jaringan Tumbuhan, Depdiknas
3. Suryowinoto, 1993, Pemuliaan Tanaman Secara In Vitro, UGM, Yogyakarta
Publishing
4. Zulkarnain, H. 2009, Kultur Jaringan Tanaman, Bumi Aksara, Jakarta
Senarai

Bahan Ajar Kultur Jaringan 101


- Fitohormon; adalah senyawa-senyawa yang dihasilkan oleh tanaman tingkat
tinggi secara endogen. Senyawa tersebut berperan merangsang dan
meningkatkan pertumbuhan serta perkembangan sel, jaringan dan organ tanaman
menuju arah diferensiasi tertentu.
- Zat pengatur tumbuh; Senyawa-senyawa lain yang memiliki karakteristik yang
sama dengan hormon, tetapi diproduksi secara eksogen.

BAB VI
FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN YANG BERPENGARUH TERHADAP
PERKEMBANGAN KULTUR

1. Pendahuluan
1.1. Deskripsi Singkat
Bab ini berisi uraian tentang faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
perkembangan kultur jaringan yang mencakup; suhu ruangan kultur, cahaya, karbon
dioksida dan oksigen, kelembaban dan etilen.

1.2. Relevansi

Bahan Ajar Kultur Jaringan 102


Pemahaman tentang faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
perkembangan kutur, akan menentukan tingkat keberhasilannya terutama kesiapan
faktor lingkungan. Meskipun faktor dari dalam misalnya kondisi eksplan, penyiapan
media sudah dikondisikan sedemikian rupa dan faktor lingkungan terabaikan, maka hal
ini akan menentukan tingkat perkembangan kultur jaringan.

1.3. Tujuan Khusus


Pada akhir perkuliahan mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan faktor-faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan kultur.

2 Penyajian Materi
2.1 uraian dan Contoh
Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembanagan kultur.
1. Cahaya
Seperti halnya pertumbuhan tanaman dalam kondisi invivo, kuantitas dan
kualitas cahaya, yaitu intensitas, lama penyinaran dan panjang gelombang cahaya
mempengaruhi pertumbuhan eksplan dalam kultur invitro. Pertumbuhan organ atau
jaringan tanaman dalam kultur invitro umumnya tidak dihambat oleh cahaya, namun
pertumbuhan kalus umumnya dihambat oleh cahaya.
Pada perbanyakan tanaman secara invitro, kultur umumnya diinkubasikan pada
ruang penyimpanan dengan penyinaran. Tunas-tunas umumnya dirangsang
pertumbuhannya dengan penyinaran, kecuali pada teknik perbanyakan yang diawali
dengan pertumbuhan kalus. Sumber cahaya pada ruang kultur ini umumnya adalah
lampu flourescent (TL). Hal ini disebabkan karena lampu TL menghasilkan cahaya
warna putih, selain itu sinar lampu TL tidak meningkatkan suhu ruang kultur secara
drastis (hanya meningkat sedikit). Intensitas cahaya yang digunakan pada ruang kultur
umumnya jauh lebih rendah (1/10) dari intensitas cahaya yang dibutuhkan tanaman
dalam keadaan normal. Intensitas cahaya dalam ruang kultur untuk pertumbuhan tunas
umumnya berkisar antara 600-1000 lux. Perkecambahan dan inisiasi akar umumnya
dilakukan pada intensitas cahaya lebih rendah.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 103


Selain intensitas cahaya, lama penyinaran atau photoperiodisitas juga
mempengaruhi pertumbuhan eksplan yang dikulturkan. Lama penyinaran umumnya
diatur sesuai dengan kebutuhan tanaman sesuai dengan kondisi alamiahnya. Periode
terang dan gelap umumnya diatur pada kisaran 8-16 jam terang dan 16-8 jam gelap
tergantung varietas tanaman dan eksplan yang dikulturkan. Periode siang/malam
(terang/gelap) ini diatur secara otomatis menggunakan timer yang ditempatkan pada
saklar lampu pada ruang kultur. Dengan teknik ini penyinaran dapat diatur konstan
sesuai kebutuhan tanaman.
Peranan cahaya terhadap pertumbuhan eksplan ditentukan oleh intensitas dan
kualitas cahaya serta lamanya penyinaran. Menurut Murashige (1977) dalam
Widiastoety (1995), untuk pembentukan tunas dan akar diperlukan lama penyinaran
optimum 16 jam per hari.
Mekanisme bagaimana cahaya mempengaruhi pertumbuhan kultur belum
sepenuhnya dipahami. Diduga cahaya yang diterima oleh pigmen fitokrom
ditranslasikan ke dalam metabolisme hormon. Riboflavin yaitu pigmen penerima cahaya
biru, memiliki kepekaan terhadap fotooksidasi IAA. Hal itu telah dibuktikan pada
pembentukan akar setek mikro Eucalyptus ficifolia dan apel.
2. Suhu
Tanaman umumnya tumbuh pada lingkungan dengan suhu yang tidak sama
setiap saat, misalnya pada siang dan malam hari tanaman mengalami kondisi dengan
perbedaan suhu yang cukup besar. Keadaan demikian bisa dilakukan dalam kultur
invitro dengan mengatur suhu siang dan malam di ruang kultur, namun laboratorium
kultur jaringan selama ini mengatur suhu ruang kultur yang konstant baik pada siang
maupun malam hari. Umumnya temperatur yang digunakan dalam kultur in vitro lebih
tinggi dari kondisi suhu invivo. Tujuannya adalah untuk mempercepat pertumbuhan dan
morfogenesis eksplan.
Pada sebagian besar laboratorium, suhu yang digunakan adalah konstan, yaitu
25°C (kisaran suhu 17-32°C). Tanaman tropis umumnya dikulturkan pada suhu yang
sedikit lebih tinggi dari tanaman empat musim, yaitu 27°C (kisaran suhu 24-32°C). Bila

Bahan Ajar Kultur Jaringan 104


suhu siang dan malam diatur berbeda, maka perbedaan umumnya adalah 4-8°C, variasi
yang biasa dilakukan adalah 25°C siang dan 20°C malam, atau 28°C siang dan 24°C
malam. Meskipun hampir semua tanaman dapat tumbuh pada kisaran suhu tersebut,
namun kebutuhan suhu untuk masing-masing jenis tanaman umumnya berbeda-beda.
Tanaman dapat tumbuh dengan baik pada suhu optimumnya. Pada suhu ruang kultur
dibawah optimum, pertumbuhan eksplan lebih lambat, namun pada suhu diatas optimum
pertumbuhan tanaman juga terhambat akibat tingginya laju respirasi eksplan.
Suhu yang diperlukan untuk pertumbuhan jaringan berkisar antara 20 0C – 25 0C.
Penggunaan suhu yang rendah dapat mengurangi aktivitas enzim peroksidase dan
oksidase yang bertindak sebagai katalisator dalam proses oksidasi senyawa fenol.
Akibatnya, keracunan oleh eksudat toksik ini dapat ditekan. Namun bila luka jaringan
telah sembuh maka pemakaian suhu tinggi akan lebih menguntungkan karena pada suhu
tersebut aktivitas metabolisme sel lebih tinggi.

3. pH Media
Pada umumnya digunakan pH sekitar 4.8-5.2 untuk media cair. Kecepatan putar
alat pengocok (shaker) bervariasi yaitu 90-100 rpm.
Keasaman pH adalah nilai derazat keasaman atau kebasaan dari larutan dalam
air. Keasaman (pH) suatu larutan menyatakan kadar dari ion H dalam larutan. Nilai di
dalam pH berkisar antara 0 (sangat asam) sampai 14 (sangat basa), sedangkan titik netral
adalah pH pada 7.
Sel-sel tanaman yang dikembangkan dengan teknik kultur jaringan mempunyai
toleransi pH yang relatif sempit dengan titik optimal antara pH 5,0-6,0. Bila eksplan
mulai tumbuh, pH dalam lingkungan kultur jaringan tanaman umumnya akan naik
apabila nutrein habis terpakai.
Pengukuran pH dapat dilakukan dengan menggunakan pH meter, atau bila
menginginkan yang lebih praktis dan murah dapat digunakan kertas pH. Bila ternyata
pH medium masih kurang normal, maka dapat ditambah KOH 1-2 tetes. Sedangkan
apabila pH melampaui batas normal dinetralkan dengan penambahan HCL.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 105


4. Oksigen
Oksigen berfungsi di dalam proses respirasi jaringan. Adanya enzim-enzim
peroksidase dan oksidase dapat mengkatalis terjadinya proses oksidasi pada bagian
jaringan anggrek yang terluka akibat pemotongan. Hal ini menyebabkan terganggunya
pengambilan zat hara, terjadinya pembengkakan sel, dan terlepasnya plasma sel dari
dinding sel (Widiastoety, 1995).
Oksigen dibutuhkan oleh jaringan yang dikulturkan secara in vitro sebagaimana
halnya pada kultur in vivo. Oksigen merupakan salah satu pembatas bagi pembelahan
dan pertumbuhan sel-sel pada jaringan yang dikulturkan secara in vitro. Akan tetapi
sedikit sekali ditemukan laporan yang mengungkapkan keterlibatan oksigen di dalam
sistem kultur in vitro. Simada, dkk. Mempelajari pertumbuhan eksplan Primula
malacoides dan Chrysanthemum morifolium keduanya tanaman C3 yang dikulturkan
dalam lingkungan dengan kadar oksigen 1,10 dan 21% (selebihnya adalah N2) diperoleh
laju fotosintesis bersih dari planlet yang dikulturkan di dalam wadah dengan kandungan
oksigen 1 dan 10% berturut-turut adalah 3 dan 5 kali lebih tinggi dari pada yang
dikulturkan di dalam wadah dengan kadar oksigen 21%. Sebaliknya, Plas dan Wagner
(1986) menemukan bahwa kondisi lingkungan kultur yang diperkaya dengan oksigen
dapat meningkatkan pertumbuhan dan penyerapan oksigen oleh kalus kentang. Selain itu
kalus yang dikulturkan pada kondisi lingkungan normal dengan kandungan oksigen 20%
ketika ditrasfer ke lingkungan dengan kandungan oksigen 70% tumbuh lebih cepat dari
pada yang tetap dibiarkan pada kondisi lingkungan normal.
Peranan oksigen pada kultur cair, dijelaskan bahwa rata-rata penyerapan oksigen
selama kultur embrio somatik tanaman kentang, mengalami penurunan sejalan dengan
semakin besarnya dan semakin matangnya embrio. Sementara itu Jay, dkk menyatakan
bahwa selama fase prolifersi, laju pertumbuhan kultur sel tanaman Daucus carota lebih
rendah dan penyerapan gula mengalami hambatan pada kadar oksigen 10%
dibandingkan kadar oksigen 100%. Selama fase diferensiasi sel, produksi embrio
somatik pun lebih rendah pada kadar oksigen 10% dibandingkan kadar oksigen 100%.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 106


Meskipun demikian, kosentrasi oksigen tidak memperlihatkan adanya pengaruh terhadap
berat kering akhir jaringan.

5. Etilen
Etilen memiliki peranan penting pada proses kultur jaringan. Beberpa penelitian
menyatakan bahwa etilen dapat meningkatkan pertumbuhan kultur in vitro sejumlah
spesies tanaman, sedangkan peneliti lain melaporkan adanya pengaruh yang
menghambat dari senyawa ini. Huxter, dkk (1981) menyatakan bahwa pembentukan
pucuk adventif dari kasus tanaman Nicotiana tabacum meningkat dengan adanya
akulmulasi etilen setelah hari ke 5 pengkulturkan. Pemberian etilen selama 3-5 hari
pertama pengkulturan dapat meningkatkan pembentukan pucuk adventif pada eksplan
umbi Lilium speciosum.
Pada spesies tanaman berkayu, Kumar, dkk menyatakan bahwa akumulasi etilen
sebesar 5-8 ppm selama 10 hari pertama pengkulturan dapat meningkatkan pembentukan
pucuk pada eksplan kotiledon Pinus radiata. Sementara itu, Panizza, dkk menyatakan
bahwa pembentukan pucuk adventif pada eksplan potongan nodus Lavandula latifolia
berhubungan erat dengan tingkat produksi etilen di dalam wadah kultur.
Dalam hal morfogenesisi in vitro dihambat oleh kadar etilen yang berlebihan
maka perlu untuk mengeluarkan komponen gas ini dari dalam wadah kultur. Hal itu
dapat dilakukan dengan menggunakan penutup wadah yang memungkinkan untuk
terjadinya pertukaran gas, misalnya menggunakan KmnO4 untuk mengikat etilen, atau
menggunakan suatu senyawa penghambat etilen, seperti AgNO3. Pemanfaatan
penghambat biosintesis etilen, aminoethoxy-vinylglycine (AVG) dan aminooxyyacetic
acid (AOA) seperti halnya senyawa penghambat kerja etilen, silver thiosulphate (STS)
dan 2,5-nordornadiene (NDE) dinyatakan oleh sejumlah peneliti sebagai suatu tindakan
yang memberikan pengaruh positif terhadap perkembangan kultur.

6. Kelembaban relatif.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 107


Kelembaban relatif dalam botol kultur dengan mulut botol yang ditutup
umumnya cukup tinggi, yaitu berkisar antara 80-99%. Jika mulut botol ditutup agak
longgar maka kelembaban relatif dalam botol kultur dapat lebih rendah dari 80%.
Sedangkan kelembaban relatif di ruang kultur umumnya adalah sekitar 70%. Jika
kelembaban relatif ruang kultur berada dibawah 70% maka akan mengakibatkan media
dalam botol kultur (yang tidak tertutup rapat) akan cepat menguap dan kering sehingga
eksplan dan plantlet yang dikulturkan akan cepat kehabisan media. Namun kelembaban
udara dalam botol kultur yang terlalu tinggi menyebabkan tanaman tumbuh abnormal
yaitu daun lemah, mudah patah, tanaman kecil-kecil namun terlampau sukulen. Kondisi
tanaman demikian disebut vitrifikasi atau hiperhidrocity. Sub-kultur ke media lain atau
menempatkan planlet kecil ini dalam botol dengan tutup yang agak longgar, tutup
dengan filter, atau menempatkan silica gel dalam botol kultur dapat membantu
mengatasi masalah ini.
Menurut Widiastoety dan Farid (1995), kelembaban nisbi (RH) untuk anggrek
berkisar antara 60 0C – 85 0C. Fungsi dari kelembaban yang tinggi ini adalah untuk
menghindari penguapan yang terlalu besar. Pada malam hari kelembaban tidak boleh
terlalu tinggi, oleh sebab itu diusahakan agar media dalam pot tidak terlampau basah,
sedangkan kelembaban yang sangat rendah pada siang hari dapat diatasi dengan cara
pemberian semprotan (mist) di sekitar tempat pertanaman dengan bantuan sprayer.
Kurang cahaya dapat menyebabkan kerontokan. Saat cahaya terlalu rendah maka
laju fotosintesis juga rendah, sehingga cadangan makanan yang diperoleh hanya sedikit.
Kekeringan akibat suhu tinggi juga salah satu penyebab kenapa calon kuntum
bunga rontok. Karena saat suhu tinggi maka penguapan air pun juga tinggi. Cadangan air
(kelembaban) pada media yang minim akan cepat hilang karena penguapan. Penguapan
tidak hanya terjadi pada media (evaporasi) tapi juga terjadi pada permukaan tanaman
anggrek itu sendiri(transpirasi). Bila penguapan air berlangsung terus menerus, maka
tanaman akan kehilangan banyak air didalam selnya.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 108


Organ yang pertama kali terkena efek buruk dari menurunnya kadar air dalam sel
adalah jaringan muda (meristem) seperti calon kuntum bunga, sehingga sel-sel calon
kuntum akan menyusut dan jaringan tampak berkerut dan akhirnya gugur.
Perubahan suhu mendadak. Perubahan suhu drastis yang mendadak dapat
menyebabkan perubahan fisiologis secara mendadak seperti menurunnya aktifitas
enzimatis dalam tubuh tanaman. Aktifitas enzim sangat dipengaruhi oleh suhu,turunnya
aktifitas enzimatis ini akan menimbulkan efek " stress " pada tanaman anggrek sehingga
berbagai gejala seperti daun menguning dan rontok, calon kuntum bunga rontok dll.
Tingkat suhu optimal untuk aktifitas enzim sangat bervariasi tergantung spesies.
Selain itu, bagi anggrek dataran tinggi dalam keadaan memiliki calon kuntum, kemudian
mendadak dibawa ke dataran rendah, maka penguapan air dalam tubuh tanaman akan
drastis meningkat, sehingga organ tanaman yang sensitif (calon kuntum, ujung akar dll)
akan menyusut dan layu.

2.2 Tugas
Setelah anda mempelajari tentang faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
perkembangan kultur, selesaikanlah tugas berikut;
1. Buatlah rangkuman tentang faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap
perkembangan kultur
2. Diskusikan dengan teman-teman hasil rangkuman tersebut, dan beri tanda
dengan menggaris bawahi atau membuat catatan tambahan tentang masukan
teman-teman yang belum atau tidak tercantum dalam rangkuman anda

2.3 Latihan
Untuk mantapnya penguasaan anda tentang materi ini, maka kerjakanlah latihan berikut;
1.Jelaskan mengapa cahaya harus diperhatikan dalam keberhasilan kultur jaringan
2. Suhu dan pH juga merupakan faktor penting, jelaskan apa pentingnya kedua faktor
tersebut?

Bahan Ajar Kultur Jaringan 109


3. Penutup
3.1 Rangkuman
Faktor-faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan kultur
jaringan meliputi; cahaya, suhu, pH media, oksigen, etilen, dan kelembabapan relatif.
Masing-masing faktor tersebut diupayakan ada dalam kisaran optimum selama proses
pelaksanaan kultur.
Peranan cahaya terhadap pertumbuhan eksplan ditentukan oleh intensitas dan
kualitas cahaya serta lamanya penyinaran. Menurut Murashige (1977) dalam
Widiastoety (1995), untuk pembentukan tunas dan akar diperlukan lama penyinaran
optimum 16 jam per hari.
Pada umumnya digunakan pH sekitar 4.8-5.2 untuk media cair. Kecepatan putar
alat pengocok (shaker) bervariasi yaitu 90-100 rpm.
Keasaman pH adalah nilai derazat keasaman atau kebasaan dari larutan dalam
air. Keasaman (pH) suatu larutan menyatakan kadar dari ion H dalam larutan. Nilai di
dalam pH berkisar antara 0 (sangat asam) sampai 14 (sangat basa), sedangkan titik netral
adalah pH pada 7.
Oksigen berfungsi di dalam proses respirasi jaringan. Adanya enzim-enzim
peroksidase dan oksidase dapat mengkatalis terjadinya proses oksidasi pada bagian
jaringan anggrek yang terluka akibat pemotongan. Hal ini menyebabkan terganggunya
pengambilan zat hara, terjadinya pembengkakan sel, dan terlepasnya plasma sel dari
dinding sel
Etilen memiliki peranan penting pada proses kultur jaringan. Beberpa penelitian
menyatakan bahwa etilen dapat meningkatkan pertumbuhan kultur in vitro sejumlah
spesies tanaman, sedangkan peneliti lain melaporkan adanya pengaruh yang
menghambat dari senyawa ini

3.2 Tes Formatif

Bahan Ajar Kultur Jaringan 110


1. Jelaskan faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan eksplan di dalam kultur in vitro
2. Menurut pendapat saudara apa yang akan terjadi jika tanaman hari pendek dikulturkan
di bawah kondisi hari panjang?
3. Bagaimana cara yang tepat untuk menghindari terjadinya akumulasi etilen yang
berlebihan di dalam wadah kultur
3.3 Kunci Jawaban
1. Untuk menjawab pertanyaan ini anda baca kembali uraian tentang masing-masing
faktor luar yang berpengaruh terhadap kultur jaringan.
2. Jawaban pertanyaan ini dapat anda lihat pada uraian tentang pengaruh cahaya
terhadap kultur jaringan
3. Pertanyaan ini dapat dijawab dengan membaca kembali uraian tentang pengaruh
etilen terhadap kultur jaringan.

Tindak Lanjut
1. Apabila mahasiswa dapat menyelesaikan 80 % dari test formatif di atas, ia dapat
melanjutkan mempelajari lanjutan perkuliahan ini karena pengetahuan tentang bab ini
merupakan dasar untuk memahami uraian pada bab-bab selanjutnya.
2. Apabila mereka belum mencapai penguasaan 80 % mereka danjurkan:
a. Mempelajari kembali dari awal bahasan di atas;
d. Konsultasi dengan asisten dan dosen.

Kepustakaan.
1. Santoso U dan Fatimah Nursandi, 2004. Kultur Jaringan Tanaman, UMM Press.
Malang
2. Margono, 2003. Kultur Jaringan Tumbuhan, Depdiknas
3. Suryowinoto, 1993, Pemuliaan Tanaman Secara In Vitro, UGM, Yogyakarta
Publishing
4. Zulkarnain, H. 2009, Kultur Jaringan Tanaman, Bumi Aksara, Jakarta

Bahan Ajar Kultur Jaringan 111


BAB VII
ISOLASI, INOKULASI DAN SUB KULTUR

1 Pendahuluan
A. Deskripsi Singkat
Dalam Bab ini akan disajikan uraian tentang teknik isolasi, inokulasi dan sub
kultur. Isolasi dimaksudkan untuk mendapatkan bahan tanam sesuai tujuan
pengkulturan. Sedangkan inokulasi menyajikan bagimana eksplan diletakkan pada
media. Sub kultur menyajikan uraian beberapa alasan mengapa sub kultur dilakukan.

B. Relevansi
Penguasaan tentang teknik isolasi, inokulasi dan sub kultur, akan berkontribusi
pada pelaksanaan kultur yang berkesinambungan. Mulai dari pemilihan eksplan yang
sampai bagaimana hasil kultur sampai pada fase sub kultur perlu dikuasai secara
komprehensif.

C. Tujuan Khusus
Pada akhir perkuliahan mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan isolasi,
inokulasi dan sub kultur.

7.2 Penyajian Materi


A. Isolasi
Setelah sterilisasi dan pencucian, eksplan diletakkan pada kertas saring atau
papan kaca steril menggunakan penjepit steril. Jika bidang pemotongan kontak dengan
pemutih, bagian itu harus dihilangkan dulu menggunakan skalpel steril. Biji steril jika
tidak diperlukan isolasi embrio dapat ditanam langsung tanpa perlakuan lebih lanjut.
Jika diperlukan memotong eksplan dengan jumlah standar atau volume tertentu
untuk memudahkan pemotongan digunakan alas kertas grafik yang ditutup plastik steril.
Dapat juga digunakan bor gabus untuk memotong seperti yang dikembangkan oleh
Bouriquet, untuk pengukuran berat tertentu ditimbang dengan bungkus aluminium foil.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 112


Seharusnya dipikirkan untuk mendapatkan potongan eksplan dengan volume tertentu
ada konsekuensinya: pada bidang potongan eksplan cadangan makanan akan
menghasilkan etilen.
Penyiapan meteristem dengan menggunakan mikroskop binokuler biasanya
diikuti dengan penggunaan silet yang dipasang pada pemegang jarum inokulasi. Bagian
ujung silet (alat pemotong) dapat direkat dengan selotip dan kemudian bagian potongan
yang meruncing dipotong dengan gunting yang tajam atau putuskan dengan pinset.
Setelah itu selotip dilepas dan ujung pisau pemotong ditempelkan ke pegangan jarum
inokulasi.

B. Inokulasi
Selama inokulasi, tabung reaksi atau bobol yang berisi medium padat sebaiknya
dipengang secara horizontal. Posisi ini sangat mengurangi infeksi, terutama jika bekerja
di luar ruang laminair air flow. Pembakaran leher tabung reaksi atau leher botol di
dalam ruang laminair air flow seharusnya dihindari, karena dapat mengakibatkan
terjadinya penetrasi etilen ke dalam tabung reaksi atau botol (Huges, 1981).
Metode inokulasi pada media padat sangat tergantung pada bahan coba. Biji
biasanya lebih banyak diletakkan di atas permukaan medium daripada dibenamkan
dalam medium yang akan menyebabkan defisiensi oksigen. Cara ini juga digunakan
untuk inokulasi meristem pada medium dengan menggunakan jarum inokulasi yang
dibasahi dengan agar steril, atau potongan silet yang direkatkan pada pemengang jarum
inokulasi. Biasanya eksplan seperti potongan jaringan empulur didorong ke dalam
agar kurang lebih sampai kedalaman setengah tebal agar dalam botol. Perlu diperhatikan
jangan mendorong meristem ke dalam agar karena akan terjadi defisiensi oksigen.
Kedudukan eksplan pada medium perlu diperhatikan sesuai dengan polaritas eksplan.
Bagian yang seharusnya menghadap ke atas tetap harus berada di posisi atas dan
sebagainya. Kedudukan berdasar polaritas ini sangat perlu diperhatikan terutama jika
ingin diketahui regenerasi organ setelah inokulasi. Eksplan yang polar menghadap lurus
ke atas dengan bagian basal berada di bawah masuk ke dalam medium, atau apolar

Bahan Ajar Kultur Jaringan 113


bagian basal berada di atas dan bagian atas berada di bawah. Akar liar terutama
terbentuk pada bagian basal eksplan (gambar 8), pembentukan akar liar lebih baik pada
inokulasi apolar seperti yang diharapkan akan menyebabkan tersedianya oksigen yang
cukup. Jika bahan tanam aslinya ortotropik atau plagiotropik biasanya akan tetap
demikian jika ditanam in vitro. Pembentukan tunas ketiak pada tunas ujung yang
diisolasi dari pucuk tunas ujung, kadang-kadang paling baik eksplan diletakkan dengan
kedudukan horisontal pada medium. Dengan demikian akan memacu pembentukan
tunas samping (Frett and Smagula, 1983).
Seperti telah dibicarakan sebelumnya segera setelah isolasi secara in vitro akan
dikeluarkan pigmen coklat atau hitam ke dalam medium (gambar 8).

C. Subkultur
Beberapa alasan untuk melakukan sub kultur:
1. Fenomena defisiensi karena nutrien dalam medium.
2. Nutrien dalam medium mengering sehingga konsentrasi garam dan gula terlalu
tinggi.
3. Pertumbuhan telah mengisi penuh ruang tabung reaksi atau botol.
4. Bahan diperlukan untuk propagasi lebih lanjut.
5. Warna coklat dan atau hitam yang tampak dalam agar disebabkan oleh bahan
toksik yang sering kali dikeluarkan oleh jaringan tanaman pada beberapa minggu
pertama, yang didefusikan ke dalam medium agar atau medium cair.
6. Diperlukan untuk memberikan bahan isolasi yang tingkat pertumbuhannya
berbeda dan pola perkembangan berbeda pada nutrien dalam medium yang sudah
diketahui.
7. Medium menjadi cair sehubungan dengan menurunnya pH oleh tanaman.

Pelaksanaan subkultur sebagai berikut:


1. Tabung reaksi atau botol disterilkan bagian luarnya dengan alkohol 96%
dengan segumpal kertas.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 114


2. Setelah itu alumunium foil atau lapisan penutup dan gumpalan kapas
dihilangkan dari tabung reaksi atau botol setelah masuk ruang liminair
air flow.
3. Eksplan atau gumpalan kalus diambil dan diletakkan dalam cawan petri
atau diantara dua kertas saring steril.
4. Setelah dipotong bahan diinokulasi di atas medium nutrien yang baru.
Pada saat memotong perlu diseleksi bahan sehomogen mungkin. Jaringan
yang mati dibuang.

D. Mekanisasi
Jika untuk kultur in vitro digunakan mesin, pasti digunakan medium cair.
Menurut Bonga and Durzan (1982) mempunyai konsekuensi sebagai berikut:
1. Kerugian penggunaan agar tidak lama ditemui untuk produk alami yang
mempunyai komposisi komplek dan bervariasi, yang mengakibatkan kultur
lebih homogen.
2. Pembelahan, pertumbuhan, dan propagasi vegetatif lebih cepat pada
medium cair daripada medium agar. Penggojog dan fermentor siap
digunakan untuk propagasi vegetatif dari lili (Takagawa dan Misawa,
1982).
3. Dibandingkan dengan media agar, pembelahan sel dalam media cair jauh
lebih mudah disinkronkan sehingga penelitian biokimiawi lebih mudah
dilakukan.
Mesin pemutar dan penggojog biasanya digunakan pada saat pertumbuhan sel,
suspensi sel, jaringan, “protocorm”, meristem, dan tunas ujung dalam medium cair. Jika
sel dan lain-lain ditumbuhkan dalam medium cair biasanya mesin semacam ini perlu
untuk menjaga supaya tetap bergerak. Gerakan ini memacu pertukaran gas (oksigen,
karbondioksida, etilen), mengurangi efek gravitasi, menghentikan pembentukan nutrien
dan hormon yang tinggi (Street, 1973) memberikan pembelahan sel yang lebih banyak,
pertumbuhan dan atau propagasi. Mesin biasanya dipasang dalam ruang khusus.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 115


Berbagai macam mesin dipilih dari:
1. Yang bergerak lambat atau cepat. Sebagai contoh mesin yang
bergerak lambat disebut roda anggrek (orchid wheel) gb. 11.2,
dan mesin Steward penggojog yang memutar lebih cepat
(gb.11.1).
2. Beberapa mesin seperti mesin Steward, membiarkan sel terendam
secara periodik, sedangkan mesin lain menjaga sel selalu dalam
medium cair.
3. Kombinasi 1 dan 2. Orchid Wheel (gb. 11.2) sebagai contoh
mesin lambat yang membiarkan meristem dan protocum anggrek
tetap berada dalam medium cair.

Mesin yang bergerak lambat biasanya berputar dengan kecepatan 2-4 r.p.m
(rata-rata per menit). Orchid Wheel bersudut 45o dan mesin Steward bersudut 12-15o.
Dua macam alat gelas dapat digunakan untuk mesin Steward; botol alas bulat yang besar
dengan tutup seperti gambar 6.2 dan gelas minum. Tabung reaksi (diletakkan dalam
keranjang tabung reaksi, gambar 11 atau erlemeyer 100 ml dipegang dengan klem atau
per elastik, gambar 12) digunakan dengan Orchid Wheel. Orchid Wheel juga digunakan
dengan botol kecil untuk propagasi tunas ujung; pada gb 11.3 roda digambarkan dengan
erlemeyer sebagai contoh propagasi vegetatif melalui tunas ketiak Bromeliaceae.
Agitator memutar yang disebut tadi biasanya memutar lebih cepat dari Orchid
Wheel (30-150 r.p.m.). Mesin semacam itu dengan variabel kecepatan, biasanya dibuat
dalam tiga lapis atas bawah (gambar 10) dengan pemegang atau tutup erlemeyer yang
elastik tempat botol erlemeyer diletakkan. Botol erlemeyer yang digunakan biasanya
berukuran 300 ml dan berisi 100 ml medium nutrisi yang ditutup dengan alumunium
foil. Penggojog yang memutar biasanya digunakan terutama untuk pertumbuhan sel,
suspensi sel atau kalus. Penggojog tersebut tidak pernah digunakan untuk meristem,
tunas ujung atau protocorm. Kecepetan memutar yang digunakan oleh mesin tipe ini

Bahan Ajar Kultur Jaringan 116


tergantung pada tipe bahan tanam, yang dipakai, pemutaran yang terlalu cepat
menyebabkan kerusakan sel-sel dan kumpulan sel.
Ada beberapa macam mesin selain yang digambarkan di atas. Untuk aplikasi
bioteknologi, sel tanaman tinggi ditumbuhkan dalam suatu alat yang disebut fermentor
yang dialiri udara steril sudah dapat diwujudkan. Styer (1985) sudah mempublikasikan
suatu tinjauan tentang mesin yang sesuai untuk propagasi vegetatif tanaman terutama
embriogenesis simatik. Deskripsi tentang tipe-tipe mesin yang tersedia beserta
keuntungan dan kerugian diberikan dalam buku pegangan yang ditulis oleh Sreet yang
juga menggambarkan beberapa kurva pertumbuhan sel dan suspensi sel yang diamati.
Beberapa istilah diambil dari King and Street (1973) yang digunakan dalam
pertumbuhan yang berlangsung dalam medium cair dengan pertolongan mesin diberikan
sebagai berikut; “Batch Culture”
Sel yang ditumbuhkan, dalam sistem terbuka dengan sejumlah nutrien tertentu
yang tersedia dan tidak diperbaharui, pertumbuhan berhenti waktu salah satu atau lebih
dari satu nutrien yang dibutuhkan habis. Dalam sistem kultur ini teidak ada
keseimbangan pertumbuhan.
 Kultur berkesinambungan
Sel yang tumbuh dalam suatu sistem tumbuhan dalam sejumlah nutrien dalam
medium yang dipasok secara konstan, jumlah medium yang baru masuk menjadi
benar-benar sama dengan jumlah yang keluar.
 Kultur Terbuka Berkesinambungan
Dalam kultur berkesinambungan pasokan medium segarnya sama dengan
pengeluaran medium lama bersama dengan sel. Dalam kultur sel tanaman ini
medium yang lama dihilangkan. Fase tetap (steady state) terjadi pada saat sel yang
hilang (mati) sama dengan sel yang baru terbentuk.
 Kultur Tertutup Berkesinambungan
Dalam kultur tertutup berkesinambungan ini pengambilan medium lama dan
pasokan medium baru sama tetapi tidak ada pengambilan sel dari medium lama
 Kemostat

Bahan Ajar Kultur Jaringan 117


Alat yang digunakan dalam melaksanakan kultur berkesinambungan dengan laju
pertumbuhan dan kerapatan sel dijaga konstan melalui pemasokan nutrien untuk
pertumbuhan terbatas
 Tunbidostat
Alat yang digunakan untuk melaksanakan kultur berkesinambungan dengan medium
sisa yang ditambahkan pada saat dicapai kerapatan sel tertentu.Kerapatan sel (bio
masa) ditentukan terlebih dahulu, dan dijaga konstan melalui pengambilan sel dari
sistem medium yang sama.

2.2 Tugas
Setelah anda mempelajari tentang isolasi, inokulasi, dan sub kultur selesaikanlah tugas
berikut;
1. Buatlah rangkuman tentang isolasi, inokulasi, dan sub kultur
2. Diskusikan dengan teman-teman hasil rangkuman tersebut, dan beri tanda dengan
Dengan menggaris bawahi atau membuat catatan tambahan tentang masukan teman-
teman yang belum atau tidak tercantum dalam rangkuman anda

2.3 Latihan
Untuk mantapnya penguasaan anda tentang materi ini, maka kerjakanlah latihan berikut;
1. Jelaskan bagaimana isolasi dapat dilakukan
2. Uraikan apa yang dimaksud dengan inokulasi, dan jelaskan pula bagaimana inokulasi
dapat dilakukan

3. Penutup
3.1 Rangkuman
Isolasi, inokulasi dan sub kultur harus dilaksanakan dalam kondisi steril. Di
dalam laboratorium yang sudah memiliki peralatan lengkap, pekerjaan ini dilakukan di
ruang laminar air flow.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 118


Pada prinsipnya pemotongan eksplan dapat dilakukan dengan dua cara;
1)langsung pada piring petri yang sudah disterilkan dengan alkohol, 2) dengan landasan
kertas saring steril yang ditaruh di atas piring petri. Keuntungan menggunakan alas
kertas saring steril menyebabkan skalpel awet tidak cepat bengkok dan tetap tajam
dalam waktu yang lama.
Beberapa alasan untuk melakukan sub kultur:
1. Fenomena defisiensi karena nutrien dalam medium.
2. Nutrien dalam medium mengering sehingga konsentrasi garam dan gula terlalu
tinggi.
3. Pertumbuhan telah mengisi penuh ruang tabung reaksi atau botol.
4. Bahan diperlukan untuk propagasi lebih lanjut.
5. Warna coklat dan atau hitam yang tampak dalam agar disebabkan oleh bahan
toksik yang sering kali dikeluarkan oleh jaringan tanaman pada beberapa minggu
pertama, yang didefusikan ke dalam medium agar atau medium cair.
6. Diperlukan untuk memberikan bahan isolasi yang tingkat pertumbuhannya
berbeda dan pola perkembangan berbeda pada nutrien dalam medium yang sudah
diketahui.
7. Medium menjadi cair sehubungan dengan menurunnya pH oleh tanaman.

3.2 Tes Formatif


1. Jelaskan bagaimana isolasi, inokulasi dilakukan
2. Jika tidak ada laminar air flow maka pemotongan eksplan dapat dilakukan dengan
meletakkan eksplan diatas kertas saring steril. Mengapa harus diletakkan kertas
saring steril? Jelaskan
3. Jelaskan alasan-alasan mengapa dilakukan sub kultur

3.3 Kunci Jawaban


1. Baca kembali uraian tentang isolasi dan inokulasi untuk menjawab pertanyaan
ini

Bahan Ajar Kultur Jaringan 119


2. Pertanyaan ini dapat dijawab dengan membaca kembali uraian tentang inokulasi
3. Uraian tentang sub kultur dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan ini
Tindak Lanjut
1. Apabila mahasiswa dapat menyelesaikan 80 % dari test formatif di atas, ia dapat
melanjutkan mempelajari lanjutan perkuliahan ini karena pengetahuan tentang bab ini
merupakan dasar untuk memahami uraian pada bab-bab selanjutnya.
2. Apabila mereka belum mencapai penguasaan 80 % mereka danjurkan:
a. Mempelajari kembali dari awal bahasan di atas;
e. Konsultasi dengan asisten dan dosen.

Kepustakaan.
1. Santoso U dan Fatimah Nursandi, 2004. Kultur Jaringan Tanaman, UMM Press.
Malang
2. Margono, 2003. Kultur Jaringan Tumbuhan, Depdiknas
3. Suryowinoto, 1993, Pemuliaan Tanaman Secara In Vitro, UGM, Yogyakarta
Publishing
4. Zulkarnain, H. 2009, Kultur Jaringan Tanaman, Bumi Aksara, Jakarta

Senarai
Isolasi; pemisahan bahan tanam dari tanaman asalnya
Inokulasi; peletakan bahan eksplan ke dalam media, dilakukan dengan
mempertimbangkan berbagai aspek yang berpengaruh pada perkembangan
kultur lanjut
Sub kultur; kegiatan memindahkan bahan kultur ke media yang lain karena beberapa
alasan, misalnya defisiensi nutrien, medium mengering, pertumbuhan telah
mengisi penuh ruang tabung

Bahan Ajar Kultur Jaringan 120


BAB VIII
ASPEK-ASPEK KULTUR JARINGAN
1 Pendahuluan
A. Deskripsi Singkat
Bab ini membahas tentang aspek-aspek kultur jaringan yang terdiri atas sub-sub
topik; perbanyakan tanaman, pemuliaan tanaman, proteksi tanaman, produksi metabolit
sekunder, dan pelestarian plasma nutfah

B. Relevansi
Aspek-aspek kultur jaringan berkaitan dengan dasar dan arah pengembangan
kultur jaringan. Dengan demikian mahasiswa akan tau bahwa disamping membantu
dalam penyediaan bibit berbagai tanaman juga akan mengetahui tentang aspek lain
seperti, proteksi, metabolit sekunder dan pelestarian plasma nutfah

C. Tujuan Khusus
Pada akhir perkuliahan mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan aspek-aspek
kultur jaringan

2. Penyajian Materi
2.1 Uraian dan Contoh
Aspek kultur jaringan;
A. Perbanyakan tanaman
Secara umum perbanyakan tanaman berdasarkan perkembangan siklus hidupnya
dapat digolongkan menjadi 2 yaitu; perbanyakan seksual dan perbanyakan aseksual.
Pada perbanyakan melalui siklus seksual tanaman baru muncul sebagai penggabungan
dua gamet induknya dan berkembang melalui biji. Pada kebanyakan kasus anakan baru
akan menunjukkan variasi genetik yang besar, akibat peristiwa kombinasi-kombinasi
baru selama miosis.
Berbeda sekali dengan perbanyakan seksual, perbanyakan vegetatif masih
mampu mempertahankan karakter unik dari individu tanaman (tanaman induk, tanaman

Bahan Ajar Kultur Jaringan 121


stok, atau ortet) melalui pertumbuhan dan perbanyakan sel-sel dimana gen-gennya
dikopi melalui pembelahan mitosis. Namun dapat pula terjadi sebagian dari tanaman
baru (ramet) yang diproduksi dengan metode ini menunjukkan suatu individu yang
berbeda dengan galur sel somatiknya akibat terjadi mutasi. Hal seperti ini umumnya
terjadi pada penggunaan kalus yang telah berumur (long time callus). Sekelompok
tanaman hasil reproduksi aseksual ini (ramet-ramet) disebut dengan istilah klon.
Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan sangat berbeda dibandingkan
dengan perbanyakan secara konvensional karena pada perbanyakan melalui kultur
jaringan memungkinkan perbanyakan tanaman dalam skala besar dan dapat lebih
komersil. Teknik perbanyakan dengan kultur jaringan mempunyai beberapa keunggulan
dibandingkan dengan cara tradisional, yaitu;
i. Budidayanya dimulai dengan sedikit bahan tanaman (eksplant) dan kemudian
dimultiplikasi menjadi sejumlah tunas. Ini berarti bahwa hanya diperlukan sedikit
bahan untuk penggandaan sejumlah besar tanaman.
ii. Karena perbanyakan ini menggunakan pendekatan lingkungan yang aseptik, bebas
dari patogen. Hal tersebut merupakan awal seleksi bahan tanam yang bebas juga
dari penyakit dan pada akhirnya planlet hasil perbanyakan inipun akan bebas dari
penyakit (bakteri atau jamur).
iii. Teknik perbanyakan ini juga dapat digunakan untuk mendapatkan tanaman yang
bebas dari virus. Caranya yaitu dengan menggunakan bagian tanaman yang
terbebas dari virus (meristem dome) sebagai bahan awal yang diinisiasikan. Dari
sini dapat dijamin dihasilkannya tanaman-tanaman bebas virus dalam jumlah
banyak.
iv. Pengaturan faktor-faktor lingkungan (nutrisi, level zat pengatur tumbuh, cahaya,
temperatur, aerasi dan lain-lain) lebih mudah pengaturannya. Kecepatan
propagasinyapun lebih tinggi dibanding propagasi biasa, dengan kultur jaringan
kendala musim, pembungaan, sterilitas, sifat varietas dapat didekati dan diatasi
hingga produksi dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif cepat dapat
dilakukan.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 122


v. Teknik ini juga sangat memungkinkan meningkatkan efektifitas perbanyakan klonal
pada tanaman yang hampir punah dan sulit perbanykan vegetatifnya.
vi. Produktifitas perbanyakan klonal dengan kultur jaringan dapat dilakukan sepanjang
tahun, tanpa tergantung pada kondisi perubahan iklim.
vii. Materi yang digunakan untuk propagasi klonal dapat disimpan untuk jangka waktu
yang lebih lama.
viii. Hanya memerlukan areal yang tidak begitu luas (hanya green house) untuk
keperluan propagasi dan pengelolaan stok tanaman.
ix. Sedikit diperlukan pengelolaan, terutama hanya pada saat sub kultur dan pada
tahapan ini tidak banyak diperlukan tenaga dan sarana untuk penyiraman,
pengendalian gulma,penyemprotan dan lain-lain.
B. Pemuliaan tanaman
Pemuliaan tanaman merupakan kegiatan untuk mengubah susunan genetik
tanaman secara tetap (baka) sehingga memiliki sifat atau penampilan sesuai dengan
tujuan yang diinginkan pelakunya. Pelaku kegiatan ini disebut pemulia tanaman.
Pemuliaan tanaman umumnya mencakup tindakan penangkaran, persilangan, dan
seleksi. Dasar pengetahuan mengenai perilaku biologi tanaman dan pengalaman dalam
budidaya diperlukan dalam kegiatan ini sehingga sering kali dikatakan sebagai gabungan
dari ilmu dan seni.
Produk pemuliaan tanaman adalah kultivar dengan ciri-ciri yang khusus dan
bermanfaat bagi penanamnya. Dalam kerangka usaha pertanian (agribisnis), pemuliaan
tanaman merupakan bagian awal/hulu dari mata rantai usaha tani dan memastikan
tersedianya benih atau bahan tanam yang baik dan bermutu tinggi.
Tujuan dalam pemuliaan tanaman

Bahan Ajar Kultur Jaringan 123


Tiga varietas mawar (bunga berwarna merah hati, kuning, dan merah terang,
berturut-turut dari depan ke belakang) merupakan hasil perakitan terhadap variasi
genetik yang tersedia dalam satu spesies mawar.
Tujuan dalam pemuliaan tanaman secara umum diarahkan pada dua hal:
peningkatan kepastian terhadap hasil yang tinggi dan perbaikan kualitas produk yang
dihasilkan.
Peningkatan kepastian terhadap hasil biasanya diarahkan pada :
 peningkatan daya hasil,
 ketahanan terhadap gangguan dari organisme lain atau lingkungan yang kurang
mendukung,
 daya tumbuh tanaman yang kuat, serta
 kesesuaian terhadap teknologi pertanian yang lain.
Usaha perbaikan kualitas produk dapat diarahkan pada perbaikan ukuran, warna,
kandungan bahan tertentu, pembuangan sifat-sifat yang tidak disukai, ketahanan simpan,
atau keindahan serta keunikan.

Strategi pemuliaan tanaman


Strategi dalam pemuliaan tanaman masa kini adalah dengan melakukan
peningkatan variasi genetik yang diikuti kemudian dengan seleksi pada keturunannya.
Pemuliaan tanaman biasanya mengarah pada domestikasi meskipun tidak selalu
demikian.
Peningkatan variasi genetik dapat dilakukan melalui berbagai cara:
 Introduksi
 Persilangan
 Manipulasi genom
 Manipulasi gen atau bagian kromosom
 Transfer gen.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 124


Tiga cara yang pertama dikenal sebagai "pemuliaan klasik" atau "konvensional"
dan dua cara yang terakhir merupakan cara pemuliaan "molekular" serta dianggap
sebagai bagian dari bioteknologi.
Introduksi
Mendatangkan bahan tanam dari tempat lain (introduksi) merupakan cara paling
sederhana untuk meningkatkan keragaman genetik. Seleksi penyaringan (screening)
dilakukan terhadap koleksi plasma nutfah yang didatangkan dari berbagai tempat dengan
kondisi lingkungan yang berbeda-beda. Pengetahuan tentang pusat keanekaragaman
tumbuhan penting untuk penerapan cara ini. Keanekaragaman genetik untuk suatu
spesies tidaklah seragam di semua tempat di dunia. N.I. Vavilov, ahli botani dari Rusia,
memperkenalkan teori "pusat keanekaragaman" (centers of origin) bagi keanekaragaman
tumbuhan.
Contoh pemuliaan yang dilakukan dengan cara ini adalah pemuliaan untuk
berbagai jenis tanaman buah asli Indonesia, seperti durian dan rambutan, atau tanaman
pohon lain yang mudah diperbanyak secara vegetatif, seperti ketela pohon dan jarak
pagar. Introduksi dapat dikombinasi dengan persilangan.

Penyaringan gandum untuk ketahanan terhadap salinitas (kadar garam tanah


yang tinggi). Varietas di sebelah kanan rentan terhadap salinitas sehingga mati,
sementara varietas di sebelah kiri masih sanggup bertahan hidup.
Persilangan merupakan cara yang paling populer untuk meningkatkan variasi
genetik, bahkan sampai sekarang karena murah, efektif, dan relatif mudah dilakukan.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 125


Pada dasarnya, persilangan adalah manipulasi komposisi gen dalam populasi.
Keberhasilan persilangan memerlukan prasyarat pemahaman akan proses reproduksi
tanaman yang bersangkutan. Berbagai macam skema persilangan telah dikembangkan
(terutama pada pertengahan abad ke-20) dan menghasilkan sekumpulan metode
pemuliaan yang lazim diajarkan di perkuliahan bagi mahasiswa pemuliaan tanaman
tingkat sarjana.
Semua varietas unggul padi, jagung, dan kedelai yang ditanam di Indonesia saat
ini dirakit melalui persilangan yang diikuti dengan seleksi.
Perkembangan dalam biologi molekular memunculkan metode-metode
pemuliaan baru yang dibantu dengan marker molekular dan dikenal sebagai pemuliaan
berbantuan marker.
Manipulasi genom
Yang termasuk dalam cara ini adalah semua manipulasi ploidi, baik penggandaan
genom (set kromosom) maupun perubahan jumlah kromosom. Gandum roti
dikembangkan dari penggabungan tiga genom spesies yang berbeda-beda. Semangka
tanpa biji dikembangkan dari persilangan semangka tetraploid dengan semangka diploid.
Teknik pemuliaan ini sebenarnya juga mengandalkan persilangan dalam praktiknya.
Manipulasi gen dan ekspresinya
Metode-metode yang melibatkan penerapan genetika molekular masuk dalam
kelompok ini, ditambah metode klasik pemuliaan dengan mutasi. Berbagai teknik yang
tercakup di dalamnya, di antaranya TILLING, teknologi antisense, gene silencing,
teknologi RNAi, rekayasa gen, dan overexpression. Meskipun teknik-teknik ini telah
diketahui berhasil diterapkan dalam skala percobaan, belum ada varietas komersial yang
dirilis dengan cara ini.

Transfer gen
Cara ini dikenal pula sebagai transformasi DNA. Gen dari organisme lain
disisipkan ke dalam DNA tanaman untuk tujuan tertentu. Strategi pemuliaan ini banyak

Bahan Ajar Kultur Jaringan 126


mendapat penentangan dari kelompok-kelompok lingkungan karena kultivar yang
dihasilkan dianggap membahayakan lingkungan jika dibudidayakan.
Transformasi tanaman yang dimediasi dengan Agrobacterium tumefaciens
merupakan metode transformasi tanaman yang paling umum digunakan A. tumefaciens
secara alami menginfeksi tumbuhan dikotil dan menyebabkan tumor yang disebut
‘crown gall’ Bakteri ini merupakan bakteri gram negatif yang menyebabkan crown gall
dengan mentransfer bagian DNA-nya (dikenal sebagai T-DNA) dari Tumour inducing
plasmid (Ti plasmid) ke dalam inti sel dan berintegrasi dengan genom sehingga
menyebabkan penyakit ‘crown gall’.T-DNA mengandung 2 tipe gen, gen onkogenik
yang menyandikan enzim termasuk sintesis auksin dan sitokinin dan membentuk
formasi tumor, serta gen yang menyandikan sintesis opin, hasil dari kondensasi asam
amino dan gula. Opin dihasilkan dan diekskresikan sel ‘crown gall’ dan digunakan oleh
A. tumefaciens sebagai sumber karbon dan nitrogen. Sementara gen untuk reaksi
katabolisme opin, gen yang membantu transfer T-DNA dari bakteri ke sel tanaman, dan
gen tansfer konjugatif plasmid, terdapat diluar T-DNA.
A. tumefaciens terlebih dahulu melakukan pelekatan pada permukaan sel
tanaman dengan membentuk mikrofibril sehingga menyebabkan terjadinya luka pada
tanaman yang akan mengeluarkan senyawa fenolik yaitu asetosiringone sebagai respon
sinyal. Sinyal tersebut mengaktifkan virA yang merupakan protein kinase untuk
mengaktifkan virG dan memfosforilasinya menjadi virG-P. Dengan aktifnya virG-P ini
akan mengaktifkan gen-gen vir lainnya untuk mulai bersifat virulen dan melakukan
transfer VirD untuk memotong situs spesifik pada Ti plasmid, pada sisi kiri dan
kanannya sehingga melepaskan T-DNA yang akan ditransfer dari bakteri ke sel tanaman
. T-DNA utas tunggal akan diikat oleh protein VirE yang merupakan single strand
binding protein sehingga terlindung dari degradasi. Bersamaan dengan itu, protein virB
membentuk saluran transmembran ysng menghubungkan sel A. tumefaciens dan sel
tanaman sehingga T-DNA dapat masuk ke sel tanaman. Gen pada T-DNA, yang
meliputi gen auksin, sitokinin dan opin, ikut terekspresi sehingga memacu pertumbuhan
sel tanaman menjadi banyak (tumor.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 127


Dengan adanya teknologi transformasi yang dimediasi A. tumefaciens ini
berperan dalam menghasilkan tanaman transgenik, seperti tanaman tembakau yang tahan
terhadap antibiotik tertentu. Resistensi terhadap antibiotik ini didapatkan dari bakteri
yang turut menyisip pada T-DNA A. tumefaciens.
Produk yang dihasilkan dengan cara ini sudah cukup banyak, seperti berbagai kultivar
padi, kedelai, jagung, kapas, tomat, dan kentang.
Mutasi adalah perubahan pada materi genetik suatu makhluk yang terjadi secara
tiba-tiba, acak, dan merupakan dasar bagi sumber variasi organisma hidup yang bersifat
terwariskan (heritable). Mutasi dapat terjadi secara sepontan di alam (spontaneous
mutation) dan dapat juga terjadi melalui induksi (induced mutation). Secara mendasar
tidak terdapat perbedaan antara mutasi yang terjadi secara alami dan mutasi hasil
induksi. Keduanya dapat menimbulkan variasi genetik untuk dijadikan dasar seleksi
tanaman, baik seleksi secara alami (evolusi) maupun seleksi secara buatan (pemuliaan).
Dalam bidang pemuliaan tanaman, teknik mutasi dapat meningkatkan keragaman
genetik tanaman sehingga memungkinkan pemulia melakukan seleksi genotipe tanaman
sesuai dengan tujuan pemuliaan yang dikehendaki. Mutasi induksi dapat dilakukan pada
tanaman dengan perlakuan bahan mutagen tertentu terhadap organ reproduksi tanaman
seperti biji, stek batang, serbuk sari, akar rhizome, kultur jaringan dan sebagainya.
Apabila proses mutasi alami terjadi secara sangat lambat maka percepatan, frekuensi dan
spektrum mutasi tanaman dapat diinduksi dengan perlakuan bahan mutagen tertentu.
Pada umumnya bahan mutagen bersifat radioaktif dan memiliki energi tinggi yang
berasal dari hasil reaksi nuklir.
Bahan mutagen yang sering digunakan dalam penelitian pemuliaan tanaman
digolongkan menjadi dua kelompok yaitu mutagen kimia (chemical mutagen) dan
mutagen fisika (physical mutagen). Mutagen kimia pada umumnya berasal dari senyawa
alkyl (alkylating agents) misalnya seperti ethyl methane sulphonate (EMS), diethyl
sulphate (dES), methyl methane sulphonate (MMS), hydroxylamine, nitrous acids,
acridines dan sebagainya (IAEA, 1977). Mutagen fisika bersifat sebagai radiasi pengion

Bahan Ajar Kultur Jaringan 128


(ionizing radiation) dan termasuk diantaranya adalah sinar-X, radiasi Gamma, radiasi
beta, neutrons, dan partikel dari aselerators.
Baik mutagen kimia maupun mutagen fisika memiliki energi nuklir yang dapat
merubah struktur materi genetik tanaman. Perubahan yang terjadi pada materi genetik
dikenal dengan istilah mutasi (mutation). Secara relatif, proses mutasi dapat
menimbulkan perubahan pada sifat-sifat genetis tanaman baik ke arah positif maupun
negatif, dan kemungkinan mutasi yang terjadi dapat juga kembali normal (recovery).
Mutasi yang terjadi ke arah “sifat positif” dan terwariskan (heritable) ke generasi-
generasi berikutnya merupakan mutasi yang dikehendaki oleh pemulia tanaman pada
umumnya. Sifat positif yang dimaksud adalah relatif tergantung pada tujuan pemuliaan
tanaman.
Mutagen kimia dapat menimbulkan mutasi melalui beberapa cara. Gugusan alkyl
aktif dari bahan mutagen kimia dapat ditransfer ke molekul lain pada posisi dimana
kepadatan elektron cukup tinggi seperti phosphate groups dan juga molekul purine dan
pyrimidine yang merupakan penyusun struktur dioxiribonucleic acid (DNA). Seperti
diketahui umum, DNA merupakan struktur kimia yang membawa gen. Basa-basa yang
menyusun struktur DNA terdiri dari adenine, guanine, thyimine, dan cytosine. Adenine
dan guanine merupakan basa bercincin ganda (double-ring bases) disebut purines,
sedangkan thymine dan cytosine bercincin tunggal (single-ring bases) disebut
pyrimidines. Struktur molekul DNA berbentuk pilitan ganda (double helix) dan tersusun
atas pasangan spesifik Adenine-Thymine dan Guanine-Cytosine. Contoh mutasi yang
paling sering ditimbulkan oleh mutagen kimia adalah perubahan basa pada struktur
DNA yang mengarah pada pembentukan 7-alkyl guanine.
Seperti disebut di atas mutagen fisika bersifat sebagai radiasi pengion (ionizing
radiation) yang dapat melepas energi (ionisasi), begitu melewati atau menembus materi.
Mutagen fisika termasuk diantaranya sinar-X, radiasi Gamma, radiasi beta, neutrons,
dan partikel dari akselerator sudah umum digunakan dalam pemuliaan tanaman. Begitu
materi reproduksi tanaman diradiasi, proses ionisasi akan terjadi dalam jaringan dan
dapat menyebabkan perubahan pada jaringan itu sendiri, sel, genom, kromosom, dan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 129


DNA atau gen. Perubahan yang ditimbulkan pada tingkat genom, kromosom, dan DNA
atau gen dikenal dengan istilah mutasi (mutation).

1. Berbagai Macam Mutasi


a. Mutasi Genom (Genome Mutation)
Poliploidi pada tanaman mencerminkan bahwa satu atau lebih set kromosom
ditambahkan pada kromosom diploid misalnya triploid disimbolkan 2x+x=3x, tetraploid
2x+2x=4x (dimana x adalah jumlah kromosom dasar). Haploidi (dari diploidi) atau
polihaploidi (dari poliploidi) mencerminkan status tanaman yang memiliki separuh dari
jumlah kromosom normal misalnya 2x-->x, 4x-->2x dan seterusnya. Aneuploidi
mencerminkan status tanaman yang memiliki penambahan atau pengurangan kromosom
dari pasangan normalnya, misalnya 2x+1, 2x–1, 3x+1, 4x–1, 4x+2 dan sebagainya.
Pengaruh beberapa mutagen kimia, seperti colchicine atau nitrous oxide dapat merubah
tingkat ploidi pada genom tanaman.
Sebagai contoh mutasi genom, beberapa mutan tanaman sorghum yang diinduksi
dengan colchicine telah dilaporkan sebagai hasil mutasi genom dengan pengurangan
jumlah kromosom (haploidi) yang kemudian diikuti dengan diploidisasi. Sedangkan
pengaruh mutagen fisika (radiasi sinar Gamma) pada mutasi genom telah dilaporkan
pada mutan tanaman barley, dimana terjadi perubahan genom tanaman menjadi
aneuploidi.
b. Mutasi Kromosom (Chromosome Mutation)
Pengaruh bahan mutagen, khususnya radiasi, yang paling banyak terjadi pada
kromosom tanaman adalah pecahnya benang kromosom (chromosome breakage atau

Bahan Ajar Kultur Jaringan 130


chromosome aberation). Pecahnya benang kromosom dibagi dalam 4 kelompok yaitu
translokasi (translocations), inversi (inversions), duplikasi (duplications), dan defisiensi (
deficiencies ).
Translokasi terjadi apabila dua benang kromosom patah setelah terkena energi
radiasi, kemudian patahan benang kromosom bergabung kembali dengan cara baru.
Patahan kromosom yang satu berpindah atau bertukar pada kromosom yang lain
sehingga terbentuk kromosom baru yang berbeda dengan kromosom aslinya.
Translokasi dapat terjadi baik di dalam satu kromosom (intrachromosome) maupun antar
kromosom (interchromosome). Translokasi sering mengarah pada ketidakseimbangan
gamet sehingga dapat menyebabkan kemandulan (sterility) karena terbentuknya
chromatids dengan duplikasi dan penghapusan. Alhasil, pemasangan dan pemisahan
gamet jadi tidak teratur sehingga kondisi ini menyebabkan terbentuknya tanaman
aneuploidi. Translokasi dilaporkan telah terjadi pada tanaman Aegilops umbellulata dan
Triticum aestivum yang menghasilkan mutan tanaman tahan penyakit.
Inversi terjadi karena kromosom patah dua kali secara simultan setelah terkena
energi radiasi dan segmen yang patah tersebut berotasi 180 o dan menyatu kembali.
Kejadian bila centromere berada pada bagian kromosom yang terinversi disebut
pericentric , sedangkan bila centromere berada di luar kromosom yang terinversi disebut
paracentric . Inversi pericentric berhubungan dengan duplikasi atau penghapusan
chromatid yang dapat menyebabkan aborsi gamet atau pengurangan frequensi
rekombinasi gamet. Perubahan ini akan ditandai dengan adanya aborsi tepung sari atau
biji tanaman, seperti dilaporkan terjadi pada tanaman jagung dan barley. Inversi dapat
terjadi secara spontan atau diinduksi dengan bahan mutagen, dan dilaporkan bahwa
sterilitas biji tanaman heterosigot dijumpai lebih rendah pada kejadian inversi daripada
translokasi.
Duplikasi menampilkan cara peningkatan jumlah gen pada kondisi diploid. Dulikasi
dapat terjadi melalui beberapa cara seperti: pematahan kromosom yang kemudian diikuti
dengan transposisi segmen yang patah, penyimpangan dari mekanisme crossing-over
pada meiosis (fase pembelahan sel), rekombinasi kromosom saat terjadi translokasi,

Bahan Ajar Kultur Jaringan 131


sebagai konsekuensi dari inversi heterosigot, dan sebagai konsekuensi dari perlakuan
bahan mutagen. Beberapa kejadian duplikasi telah dilaporkan dapat miningkatkan
viabilitas tanaman. Pengaruh radiasi terhadap duplikasi kromosom telah banyak
dipelajari pada bermacam jenis tanaman seperti jagung, kapas, dan barley.
Defisiensi adalah penghilangan satu atau lebih segmen gen pada kromosom.
Penghilangan dapat terjadi pada segmen panjang lengan kromosom seperti yang
dilaporkan pada tanaman gandum. Tergantung pada gen dan tingkat ploidi, defisiensi
dapat menyebabkan kematian, separuh kematian, atau menurunkan viabilitas. Pada
tanaman defisiensi yang ditimbulkan oleh perlakuan bahan mutagen (radiasi) sering
ditunjukkan dengan munculnya mutasi klorofil. Kejadian mutasi klorofil biasanya dapat
diamati pada stadia muda ( seedling stage ), yaitu dengan adanya perubahan warna pada
daun tanaman.
c. Mutasi Gen (Gene or Point Mutation)
Sesuai dengan konsep genetika, informasi genetik tersimpan dalam rangkaian
polinukliotida yang membentuk struktur pilitan ganda ( double helix ) disebut DNA
(RNA dalam kasus beberapa virus). Empat nukliotida yang berbeda terdiri dari basa
purine (adenine dan gaunine) dan pyrimidine (thymine dan cytosine), dihubungkan
bersama melalui ikatan fosfat dan gula (deoxyribose). Bahan mutagen tertentu dapat
menginduksi perubahan spesifik susunan pasangan basa dalam struktur DNA. Perubahan
yang terjadi disebut mutasi gen yang digolongkan menjadi dua katagori yaitu
microlesions dan macrolesions . Microlesions adalah mutasi dimana terjadi substitusi
pasangan basa, transisi atau transversi pasangan basa, dan penyisipan baru pasangan
basa. Macrolesions adalah mutasi dimana terjadi penghapusan, duplikasi atau
penyusunan kembali pasangan basa. Mutasi microlesions sering juga disebut mutasi titik
( point mutation ).
Mutagen kimia biasanya erat berhubungan dengan mutasi microlesions
sedangkan mutagen kimia (radiasi) dengan mutasi macrolesions. Mutasi gen sering
berasosiasi dengan fenomena sterilitas dan kematian, seperti misalnya dalam
pengaruhnya mencegah terbentuknya bivalensi dalam meiosis. Pada mutan homosigot

Bahan Ajar Kultur Jaringan 132


hal ini sangat berpengaruh terhadap penurunan produktivitas dan daya saing mutan
sehingga dapat merugikan. Namun pada heterosigot mutan, mutasi gen dapat mengarah
pada peningkatan viabilitas dan daya saing mutan, seperti yang telah diteliti dan
dilaporkan pada tanaman jagung, barley, padi, tanaman bunga dan sebagainya.

d. Mutasi diluar Inti Sel (Extranuclear Mutation)


Pada kenyataannya tidak semua materi genetik (DNA) berada di dalam inti sel (
nucleus ). Hal tersebut terbukti setelah peneliti menjumpai bahwa beberapa sifat
tanaman diturunkan dengan tidak menuruti pola hukum Mendel. Sampai pada akhirnya
diketahui penurunan sifat lebih dikontrol oleh gen-gen yang berada di luar inti sel atau
sitoplasma, dan penurunan sifat model ini dikenal dengan istilah extranuclear inheritance
. Di dalam sitoplasma sel terdapat banyak organel diantaranya kloroplas ( chloroplast )
dan mitokondria (mitochondria) yang masing-masing berfungsi dalam proses
fotosintesis dan sintesa adenosintriposfat (ATP).
Kloroplas dan mitokondria ternyata mengandung materi genetik (gen atau DNA)
yang juga dapat termutasi. Mutasi gen kloroplas atau mitokondria sering disebut mutasi
diluar inti atau extranuclear mutation . Mutasi pada gen kloroplas dapat menyebabkan
kerusakan gen mutan (defective mutant genes) yang kemudian dapat mengganggu
proses fotosintesis pada daun. Alhasil, dampak mutasi gen kloroplas sering
diekspresikan dengan munculnya gejala warna belang pada daun tanaman, misalnya
warna belang hijau-putih pada tanaman Pelargonium dan Mirabilis jalapa (bunga pukul
empat). Warna belang pada daun sering memiliki nilai seni dan nilai ekonomis tersendiri
bagi pemulia tanaman. Oleh karena itu, mutasi tipe ini sering sangat bermanfaat dalam
pemuliaan tanaman hias (ornamental crops).
Seperti telah dilaporkan (Van Harten, 1998), mutasi di luar inti sel sering pula
menimbulkan gejala pertumbuhan kerdil (dwarf growth), berubahan morfologi bunga
dan penyimpangan morfologi lainnya, dan ketahanan terhadap herbisida, yang biasanya
disandikan oleh gen mitokondria. Dalam beberapa studi, mutasi pada mitokondria gen
telah menghasilkan tanaman jagung yang tahan penyakit bercak daun (Drechslera

Bahan Ajar Kultur Jaringan 133


maydis) dan tanaman gandum yang tahan penyakit karat (Puccinia striiformis).
Sementara itu, perhatian yang lebih besar telah diberikan untuk mutasi gen pada
sitoplasma yang terkait dengan cytoplasmic male sterility (CMS) seperti pada tanaman
jagung. Teknik CMS sangat bermanfaat dalam pemuliaan tanaman khususnya dalam
produksi benih tanaman hibrida. Secara umum telah diketahui bahwa CMS adalah sifat
yang disandikan oleh gen mitokondria (Lonsdale, 1987). Mutasi dan rekombinasi DNA
mitokondria merupakan dasar kejadian CMS alami.
2. Fasilitas dan Prosedur Kerja
Untuk mendukung penelitian pemuliaan tanaman dengan teknik mutasi, di
BATAN tersedia fasilitas penelitian berupa Gamma chamber, Gamma cell, Gamma
room, laboratorium, laboratorium kultur jaringan, ruang tumbuh, rumah kaca, kebun
percobaan dan sawah. Gamma chamber model 4000A memiliki sumber sinar gamma
dari Cobalt-60 dengan aktivitas awal sebesar 3474.6632 Curie. Gamma cell model GC-
220 memiliki sumber sinar Gamma dari Cobalt-60 dengan aktivitas awal sebesar 10.697
Curie. Pada umumnya Gamma chamber dan Gamma cell digunakan untuk penelitian
yang memerlukan perlakuan radiasi akut ( accute irradiation ), yaitu radiasi dengan laju
dosis tinggi seperti pada biji-bijian atau materi reproduktif tanaman lainnya yang
berukuran kecil. Sedangkan untuk penelitian yang memerlukan perlakuan radiasi kronik
( chronic irradiation ), yaitu radiasi dengan laju dosis rendah seperti terhadap tanaman
pot atau tanaman dalam media kultur jaringan, dapat digunakan Gamma room. Gamma
room model Panoramic Batch Irradiator yang ada di BATAN memiliki sumber sinar
gamma dari Cobalt-60 dengan aktivitas awal sebesar 75.000 Curie.
Setelah perlakuan radiasi dengan sinar gamma, materi reproduktif tanaman kemudian
ditumbuhkembangkan di ruang tumbuh, rumah kaca, atau langsung di kebun percobaan.
Analisa mutan tanaman dilakukan di laboratorium, biasanya dengan membandingkan
sifat-sifat genetik, biologi dan agronominya terhadap tanaman kontrol. Analisa mutan
dapat juga dilakukan baik secara visual fenotipa maupun secara biologi molekuler
seperti dengan teknik RAPD atau bioteknologi lainnya. Secara ringkas prosedur kerja

Bahan Ajar Kultur Jaringan 134


pemuliaan tanaman dengan teknik mutasi khusus untuk tanaman serealia berserbuk
sendiri (termasuk gandum) disajikan dalam gambar pada halaman berikut
3. Tanaman yang Diteliti
Tanaman yang diteliti dikelompokkan sebagai berikut:
(1) Tanaman pangan: padi, kedelai, kc. hijau, kc.tanah, sorghum, dan gandum
(2) Tanaman hortikultura: pisang, cabai, bawang merah, dan bawang putih
(3) Tanaman industri: kapas, sorghum, dan gandum
(4) Tanaman bunga: krisan dan anggrek, dan
(5) Tanaman pakan ternak: sorghum

.C. Proteksi tanaman


Kultur jaringan juga dapat digunakan untuk upaya perlindungan tanaman. Ada
penelitian yang mencoba memasukkan/mencampurkan ekstrak tanaman yang terserang
penyakit tertentu dalam kadar tertentu pula ke dalam media tanaman, selanjutnya media
tersebut digunakan untuk perbanyakan tanaman. Kemudian hasilnya ternyata ada

Bahan Ajar Kultur Jaringan 135


tanaman yang dihasilkan dari kultur dengan media plus ekstrak tersebut (kadar tertentu)
mampu bertahan dari serangan penyakit sebelumnya. Namun demikian kajian-kajian
menyangkut tujuan proteksi tanaman masih perlu pengembangan dan menjadi tantangan
peneliti kultur jaringan.

D. Produksi metabolit sekunder


Pengertian
Berbagai macam reaksi yang produknya tidak secara langsung terlibat dalam
pertumbuhan normal. Dalam hal ini metabolit sekunder juga berbeda dengan bahan
metabolit intermediet yang memang merupakan produk dari metabolisme normal.
Menurut penelitian ada dikenal ribuan bahan metabolit sekunder yang meliputi
antibiotik, hormon pertumbuhan tanaman, mikotoksin dan lain-lain.
Metabolit sekunder merupakan salah satu cara organisme untuk mempertahankan
eksistensinya dan sebagai tindakan responsif terhadap lingkungan. Metabolit sekunder
ini digunakan untuk mencegah dan mempertahankan diri dari serangan predator, sebagai
alat kompetisi, mencegah infeksi bakteri, membantu proses reproduksi dan mencegah
sengatan sinar ultra violet (Harper et al., 2001).
Schlegel (1981) menyatakan ada beberapa produksi metabolit sekunder yang
dihasilkan oleh mikroorganisme, di antaranya adalah antibiotik yang pada kadar rendah
sudah dapat berfungsi menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme
secara spesifik dan mikotoksin yang merupakan metabolit sekunder berupa senyawa
toksik yang diproduksi oleh fungi.
Senyawa kimia yang dihasilkan oleh bakteri simbion yang dapat menghalangi
organisme mikroba yang tidak diinginkan tersebut dikategorikan sebagai bahan
antibiotik. Istilah antibiotik berasal dari kata antibios yang berarti substansi yang
dihasilkan oleh suatu mikroorganisme yang dalam jumlah kecil dapat menghambat
pertumbuhan atau mematikan organisme lain (Setyaningsih, 2004).
Tanaman obat merupakan salah satu sumber bahan baku obat. Sebagian besar
komponen kimia yang berasal dari tamanan yang digunakan sebagai obat atau bahan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 136


obat adalah merupakan metobolit sekunder. Secara in vitro produksi metabolit sekunder
ini dapat dilakukan dengan teknik kultur jaringan (Deus B., et.al. 1982., Stafford A,
1986).
Produksi metabolit sekunder beberapa tanaman obat melalui kultur jaringan telah
banyak dilakukan. Beberapa diantaranya adalah produksi solasodine yang diisolasi dari
kultur callus Solanum eleagnifoliu (Nigra HM., et.al.1987) dan alkaloid pyrrolidine dari
kultur akar tanaman Senecio spp. (Toppel G.,et.al. 1987). Alkaloid cephaelin dan
emetine dapat diisolasi dari kultur callus tanaman Cephaelis ipecacuanha (Jha S.,et.al.
1988). Demikian juga dengan alkaloid- alkoloid penting lainnya seperti quinoline
disolasi dari kultur jaringan Cinchona ledgeriana, diosgenin dari kultur jaringan
Dioscorea deltoidea (Ravishankar GA.,et.al. 1991), beberapa enzim proteolitik dari
kultur jaringan Allium sativum (Parisi M.,et.al.2002), alkaloid cardenolide dari kultur
Digitalis lanata (Pradel H., et.al.1997), alkaloid azadirachtin dari kultur jaringan
Azadirachta indica (Srividya N., et.al 1998) dan lepidine dari kultur jaringan tanaman
Lepidium sativum (Pande D., et.al.2002).
Untuk tujuan komersial telah dilakukan pengembangan produksi metabolit
sekunder tanaman obat tersebut dengan sistem bioreaktor. Sistem bioreaktor ini dapat
digunakan untuk kultur embryogenic ataupun organogenic dari berbagai spesies tanaman
(Levin R.,et.al. 1988, Preil W., et.al. 1988). Dari salah satu hasil percobaan yang
menggunakan system bioreaktor ini dapat dihasilkan saponin sebesar 500 mg/L/hari dari
bioreactor kultur jaringan akar pohon ginseng (Park JM.,et.al.1992), dan produksi
alkaloid ginsenoside dari kultur akar Panax ginseng dengan system bioreaktor berskala
besar 1-10 ton (Hahn EJ.,et.al. 2003). Teknik kultivasi bioreaktor ini juga telah berhasil
dilakukan untuk memproduksi zat anti kanker dari beberapa spesies tanaman Taxus.
Cara ini jauh lebih effisien jika dibandingkan dengan cara-cara konvensional dimana
untuk mendapatkan 1 kg komponen aktif taxol harus menebang 1 pohon Taxus yang
kira-kira telah berumur 100 tahun (Muhlbah H.,1998).

Beberapa karakteristik umum bahan metabolit sekunder adalah:

Bahan Ajar Kultur Jaringan 137


o Cenderung dihasilkan pada akhir fase pertumbuhan pada media batch culture atau
pada pertumbuhan yang substratnya dibatasi pada media continuous culture.

o Diproduksi dari bahan metabolit intermediet tetapi dengan bantuan enzim-enzim


khusus yang dikode oleh gen tertentu..

o Tidak bersifat esensial untuk pertumbuhan atau metabolisme normal.

o Spesifik untuk genus, spesies bahkan strain tertentu.

Beberapa kemungkinan peran metabolit sekunder:

o Dibutuhkan pada konsentrasi rendah selama pertumbuhan.

o Penimbunan (bisa dibongkar dengan mudah)

o Prosesnya (bukan produknya) merupakan suatu alternatif sebagai katup pelepas


untuk memindahkan intermidiet primer yang tidak dibutuhkan. Pada pertumbuhan
yang terhambat, senyawa intermediet tidak boleh terakumulasi karena akan
menghambat proses utama metabolisme. Oleh karena itu harus dirubah menjadi
senyawa metabolit sekunder yang akan diekspor keluar sel atau tersimpan sebagai
senyawa tidak aktif. Sehingga kegunaannyapun dapat beragam:

o Antibiotik - untuk pertahanan wilayah.

o Mikotoksin - melawan serangga pemakan.

o Melanin - perlindungan terhadap oleh UV.

o Hormon kelamin - menarik pasangan

o Rasa atau bau - menarik serangga untuk penyebaran spora

Beberapa contoh bahan metabolit sekunder:


Pinisilin

Bahan Ajar Kultur Jaringan 138


Pinisilin ditemukan oleh Alexander Fleming tahun 1929 sebagai bahan metabolit
Penicillium notatum. Tetapi pinisilin yang dipakai komersil sekarang berasal dari
Penicillium chrysogenum. Pinisilin biasanya efektif melawan bakteri gram positif dan
infeksi oleh Streptococcus sp.
Struktur dasar pinisilin adalah sebuah sistem ring yang berasal dari dua asam
amino, yaitu L-cistein dan D- -
asam aminoadipik-cistein-valin) dengan mengganti dengan kelompok acyl (R). Langkah
ini dikatalisis oleh enzim acyl transferase.
Mikotoksin
Mikotoksin dihasilkan dari berbagai senyawa dan prekursor serta jalur
metabolism yang berbeda namun dikelompokkan secara bersama-sama karena sifat
toksisitasnya terhadap manusia dan binatang. Contoh, aflatoksin, dihasilkan pada
tempat penimbunan cadangan makanan (kacang, biji-bijian) oleh Aspergillus flavus dan
A. parasiticus. Fungi ini menghasilkan senyawa alami (poliketid) yang akan diubah
menjadi bentuk racun oleh hati (sangat karsinogenik).
Produksi Senyawa Metabolit Sekunder Melalui Kultur Jaringan Dan Transformasi
Genetik Nicotiana tabacum l. Dan Artemisia annua l.
Produksi metabolit sekunder pada tanaman biasanya memiliki kadar yang
sedikit. Metode bioteknologi telah terbukti dapat meningkatkan produksi beberapa
metabolit sekunder pada tanaman. Untuk meningkatkan perolehan metabolit sekunder
digunakan tanaman hasil transformasi genetik dengan induksi Agrobacterium
rhizogenes. Transformasi genetik menggunakan Agrobacterium rhizogenes adalah salah
satu teknik yang digunakan untuk penelitian ini. Melalui metode kultur jaringan
dilakukan transformasi genetik yaitu memindahkan suatu DNA bakteri Agrobacterium
rhizogenes ke dalam sel tanaman. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk
mengkondisikan laboratorium kultur jaringan tanaman di KK-Biologi Farmasi dengan
menggunakan Nicotiana tabacum. Diperoleh akar rambut Artemisia annua hasil
transformasi genetik yang bentuk akar dan kadar artemisinin yang berbeda dengan akar
biasa. Laboratorium kultur jaringan KK Biologi Farmasi telah berhasil dikondisikan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 139


untuk memproduksi metabolit sekunder tanaman. Produksi artemisinin dari hasil
transformasi genetik lebih tinggi dari tanaman aslinya.
Pengembangan Metabolit Sekunder Asal Tanaman Dan Strategi Penggunaan
Sebagai Pestisida Nabati
Dalam kaitan dengan pengendalian OPT, aspek yang perlu disimak secara
seksama adalah peran ”senyawa penghubung” ini (infochemicals) dalam mengatur
pertumbuhan populasi dan musuh alami. Konsep ini kemudian juga berkembang
menjadi konsep three-trophic-level yang percaya bahwa tumbuhan juga mengatur
populasi musuh alami.
Semiokimia dapat dimanfaatkan untuk pengendalian serangga hama dalam
lingkungan PHT. Dari tumbuhan, hewan dan mikrob, semiokimia dikelompokkan lagi
menjadi feromon dan alelokimia. Alelokimia dikelompokkan lagi menjadi alomon,
kairomon, dan sinomon, antibiotika dan mikroba.
Dampak alelokimia pada ekodinamika tumbuhan dengan serangga
o Alomon : menolak makan, menolak menelan, menghambat reproduksi, menghambat
ganti kulit, menghambat enzim proteae, menghambat enzim respirasi

o Kairomon : menarik musuh alami

o Sinomon : saling menarik

o Feromon : mengacaukan perkawinan

Pencarian senyawa kimia baru dari tumbuhan, mikroba dan hewan akan terus
dilakukan sejalan dengan teknologi analisis kimia yang semakin canggih. Eludisasi
struktur kimia dari senyawa-senyawa kimia produk alami terus berkembang. Studi
biokomia untuk mencari target dari senyawa kimia juga. Eludisasi struktur kimia dan
penemuan target kerja senyawa alomon akan terus merangsang sintesis senyawa
insektisida baru.
Telaah dan pencarian senyawa bersifat kairomon terus ditingkatkan, termasuk
dampaknya pada perilaku mencari inang dari musuh alami. Senyawa alomon yang terus

Bahan Ajar Kultur Jaringan 140


ditelaah untuk dikembangkan menjadi insektisida adalah senyawa yang bersifat menolak
makan, menolak oviposisi, menghambat enzim, menghambat kerja neurotransmiter,
mengganggu pertumbuhan (kairomon) dan mengganggu proses pencernaan. Feromon
baru akan terus dicari dan disintesis. Penelitian dan pencarian gen pengatur produksi
alomon akan terus dilakukan untuk pengembangan tanaman transgenik tahan serangga.
Teknologi
Adanya potensi dari senyawa metabolik sekunder sebagai insektisida telah
mendorong pengembangannya ke segala arah. Bidang inipun tidak luput dari
pengembangan secara bioteknologi. Salah satu pendekatan adalah identifikasi gen
pengendali produksi senyawa bioaktif ini dan berusaha untuk menyisipkan pada
tanaman ekonomi.
Keberhasilan tanaman jagung dan kapas yang telah disisipi gen dari B.t.
(Bacillus thuringiensis) telah memacu pemikiran kearah tanaman transgenik yang
mampu menghasilkan senyawa pertahanan terhadap serangga.
Senyawa lain diminati adalah penghambat enzim proteinase paada serangga,
khitin dan senyawa yang dapat menginduksi produksi senyawa metabolit sekunder.
Trikhoma yang dapat menyebaerkan ketahanan pada tumbuhan telah pula mendapat
perhatian dalam kaitan dengan tanaman transgenik.
Produksi senyawa metabolit sekunder untuk insektisida telah diusahakan lewat
kultur jaringan seperti nimba, piretrum dan akar tuba. Perhatian telah diutamakan pada
senyawa hormon serangga, penghambattransmisi syaraf dan kairomon.
Penemuan dari kegiatan elusidasi kimia senyawabioaktif merupakan modal
utama untuk sintesis insektisida dalam skala industri dan saat ini hasilnya telah
memasuki pasar. Suatu teknologi juga telah dikembangkan berupa sistem polikultur
dengan komponen tanaman yang memiliki senyawa volatil. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa beberapa senyawa volatil dapat menurunkan reproduksi serangga.
Sintesis feromon terus berkembang atas dasar penemuan feromon baru ataupun cara
sedik

Bahan Ajar Kultur Jaringan 141


Produksi Metabolit Sekunder Dengan Teknik Bioteknologi

Industri maju, seperti yang kita saksikan sekarang tidak akan pernah ada tanpa
dukungan pengembangan dan penyempurnaan teknologi sebelumnya secara
berkesinambungan. Dalam perkembangannya, teknologi bergerak dalam tiga tahap yang
berbeda; penelitian, pengembangan dan pemasyarakatan (komersial). Di awali dengan
penelitian dasar yang kurang memperhatikan kegunaan dari hasil penelitian, dilanjutkan
dengan penelitian terapan yang bertujuan mencari keterangan lanjutan untuk program
pengembangan, dan akhirnya dikembangkan dengan rancangan rekayasa, baik terhadap
produk maupun cara pengolahan dalam menciptakan barang barang baru untuk
dimasyarakatkan atau dipasarkan. Dalam dua abad terakhir ini, setidaknya ada tiga jenis
revolusi dalam industri; industri batubara dan kereta api, industri minyak dan kimia serta
industri elektronika dan bioteknologi. Yang paling baru dan ramai dibicarakan dewasa
ini adalah revolusi industri bioteknologi, sebagai hasil dari penemuan dan meluasnya
pengetahuan dasar tentang proses kehidupan pada tingkat molekul, sel dan genetik.
Melalui bioteknologi, banyak permasalahan bersifat biologik yang pada masa lampau
belum diketahui para ahli, sekarang telah dapat dipecahkan. Bioteknologi dan rekayasa
genetik yang menyajikan pemecahan baru terhadap masalah yang bersifat biologik telah
dapat menantang para ahli untuk lebih menaruh perhatian yang besar dalam bidang ini.
Berangkat dari dataran pemikiran yang membatasi bioteknologi sebagai sebuah sistem
pendekatan baru dalam mengubah bahan mentah melalui pengubahan yang bersifat
biologik menjadi produk yang berguna, maka paduan ilmu di bidang biologi, biokimia
dan rekayasa ini diharapkan menghasilkan penemuan baru atau penyempurnaan dalam
pemecahan masalah kesehatan, pertanian dan lingkungan. (Maksum R, 2004).

Bahkan sampai saat inipun menurut perkiraan badan kesehatan dunia (WHO),
80% penduduk dunia masih menggantungkan dirinya pada pengobatan tradisional
termasuk penggunaan obat yang berasal dari tanaman. Sampai saat ini seperempat dari
obat-obat moderen yang beredar di dunia berasal dari bahan aktif yang diisolasi dan
dikembangkan dari tanaman. Sebagai contoh misalnya aspirin adalah analgesik yang

Bahan Ajar Kultur Jaringan 142


paling popular yang diisolasi dari tanaman Salix dan Spiraea, demikian pula paclitaxel
dan vinblastine merupakan obat antikanker yang sangat potensial yang berasal dari
tanaman.

Permasalahannya adalah bagaimana menjaga tingkat produksi obat herbal


tersebut dengan bahan baku obat herbal yang terbatas, karena sebagian besar bahan baku
obat herbal diambil dari tanaman induknya. Di khawatirkan bahwa sumber daya hayati
ini akan musnah disebabkan oleh adanya kendala dalam budidayanya. Bahkan disinyalir
bahwa bahan obat herbal yang diproduksi dan diedarkan di Indonesia saat ini sebagian
besar bahan bakunya sudah mulai diimpor dari beberapa negara lain.

Peranan bioteknologi dalam budidaya, multiplikasi, rekayasa genetika, dan skrining


mikroba endofit yang dapat menghasilkan metabolit sekunder sangat penting dalam
rangka pengembangan bahan obat yang berasal dari tanaman obat ini. Bahkan dengan
kemajuan yang pesat dalam bidang bioteknologi ini telah dapat dihasilkan beberapa jenis
tanaman transgenik yang dapat memproduksi vaksin rekombinan (Maksum R, 2004).

Salah satu bentuk perkembangan bioteknologi adalah proses peningkatan produksi


terhadap produk metabolit sekunder. Hal ini dilakukan untuk dapat menghasilkan suatu
produk metabolit sekunder yang bersifat unggul dan dalam jumlah melimpah.

Permasalahnya saat ini adalah bagaimana peranan bioteknologi dapat membantu


meningkatkan produksi metabolit sekunder dari mikroba, maupun teknik bioteknologi
lainnya. Dari jurnal-jurnal yang sudah di review didapatkan bahwa beberapa senyawa
bahan alam dapat dihasilkan oleh beberapa spesies mikroba.

Rekayasa Genetika

Kemajuan yang telah dicapai dalam bidang bioteknologi dan teknik DNA
rekombinan telah membantu mempercepat dan meningkatkan berbagai penelitian
menuju ke arah pemahaman tentang biosintesis metabolit sekunder. Berbagai penelitian

Bahan Ajar Kultur Jaringan 143


telah berhasil mengidentifikasi beberapa enzim yang berperan penting dalam jalan
metabolisme, dan telah berhasil dilakukan rekayasa dan manipulasi terhadap enzim-
enzim tersebut. Teknik rekayasa genetika dengan melakukan transformasi genetik telah
dilakukan untuk memanipulasi lebih dari 120 jenis spesies dari sekitar 35 famili tanaman
menggunakan perantara bakteri Agrobacterium ataupun transformasi langsung.
Agrobacterium tumafaciens, dan Agrobacterium rhizogenes, merupakan bakteri Gram
negatif yang terdapat di dalam tanah yang menyebabkan tumor crown gall dan hairy root
pada tanaman. Bakteri Agrobacterium tumafaciens mengandung megaplasmid yang
berperan penting dalam induksi tumor tanaman yang diberinama Ti plasmid. Selama
proses infeksi, T-DNA yang merupakan segmen penting dari Ti plasmid ditransfer ke
dalam nukleus sel yang terinfeksi dan terintegrasi ke dalam kromosom hospesnya.
Sedangkan bakteri A. rhizogenes dapat menginduksi proliferasi multi branched di tempat
akar yang terinfeksi, sehingga disebut dengan “hairy root”. Melalui infeksi ini dapat
ditransfer T-DNA yang dikenal dengan root inducing plasmid (Ri plasmid), dan
kemudian dapat terintegrasi ke dalam kromosom sel tanaman.

Kemampuan bakteri Agrobacterium tumafaciens, dan A. rhizogenes yang mampu


masuk ke dalam nukleus dan berintegrasi ke dalam kromosom tanaman inilah yang
dimanfaatkan oleh para peneliti bioteknologi untuk melakukan modifikasi secara genetik
guna meningkatkan produksi matabolit sekunder tanaman obat, baik tanaman dikotil
ataupun monokotil. Transformasi genetik terhadap tumbuhan obat telah banyak yang
berhasil dilakukan. Beberapa di antaranya adalah transformasi genetic menggunakan
Agrobacterium tumafaciens terhadap tanaman transgenik Azadirachta indica yang
mengandung rekombinan plasmid pTiA6 , Atropa belladonna, dan Echinea purpurea
dan terbukti dapat meningkatkan komposisi alkaloid secara signifikan.

Demikian pula transformasi genetic menggunakan Agrobacterium rhizogenes


telah berhasil meningkatkan produksi artemisin sebesar 4.8 mg/ L, dari kultur sel
Artemisia annua L, dan dapat meningkatkan produksi alkaloid puerarin dari kultur sel
Pueraria phaseoloides. Berbagai jenis tanaman lain juga telah diteliti peningkatan kadar

Bahan Ajar Kultur Jaringan 144


metabolit sekunder yang dihasilkannya melalui transformasi genetik dengan
Agrobacterium rhizogenes antara lain adalah terhadap kultur sel/jaringan yang berasal
dari tanaman Aconitum heterophyllum, Digitalis lanata, Papaver somniferum L, dan
Solanum aviculare.

PRODUKSI ANTIBIOTIK DENGAN MEMANFAATKAN MIKROBA

Peranan mikroba sendiri dalam usaha peningkatan hasil metabolit sekunder


memegang peranan yang cukup penting. Di mana mikroba yang terlibat dalam
peningkatan metabolit sekunder termasuk di antaranya adalah antibiotik, pigmen, toksin,
kompetisi ekologi dan simbiosis, feromon, enzim inhibitor, imunomodulating agents,
reseptor antagonis dan agonis, petisida, anti tumor agents,dan growth promoters dari
tanaman dan hewan. Sehingga mikroba berpengaruh penting dalam kehidupan (Demain,
1998).

Selain itu juga diketahui bahwa aktifitas metabolit sekunder dari mikroba terbagi
menjadi dua yaitu :

1. Metabolit sekunder dengan aktifitas non-antibiotik yaitu :

a. Antitumor agents

b. Protease/peptides inhibitors

c. Inhibitors of cholesterols biosynthesis

d. Inhibitor Angiotensin-Converting Enzyme (ACE)

e. Inhibitor lain

f. Immunosupresant.

1. Metabolit sekunder dengan aktifitas antibiotik, yaitu :

a. Antibacterial agents

Bahan Ajar Kultur Jaringan 145


b. Antifungal agents

Produksi antibiotik sendiri saat ini menggunakan berbagai teknik produksi,


teknik umum yang sering digunakan terutama adalah memproduksi antibiotik adalah
fermentasi dan modifikasi senyawa kimia dari hasil fermentasi.

Antibiotik merupakan molekul kecil yang disintesis oleh enzim. Aktifitas enzim
sangat diperlukan dalam setiap jalur kompleks, selain itu juga penting untuk diketahui
bahwa ada pengaruh fisiologis untuk mampu meningkatkan produksi fermentatif bagi
organisme penghasil antibiotik. Produksi dari metabolit sekunder sendiri dihasilkan
setelah fase pertumbuhan terhenti. Karena banyak antibiotik yang dihasilkan oleh
organisme spore-forming (Streptomyces yang merupakan prokariot dan filamentous
fungi yang merupakan eukariot) dan karena produk antibiotik dan sporulaton baru mulai
dihasilkan pada awal fase stasioner, salah satu dugaan, proses ini terjadi dengan
menggunakan mekanisme overlapping, yang dimodulasi oleh intercellular signaling
molecules. Termasuk juga sinyal dari peptida dan lakton membran permeabel mirip
dengan lakton acyl-homoserine yang dikenal bekerja sebagai quorum-sensing signal
dalam bakteri Gram-negatif. (Glazer, 2007)

Bagaimanapun juga dalam beberapa kasus diketahui bahwa tidak ada ikatan yang
kuat antara formasi spora dan produksi antibiotik, hal ini sanagat jelas dalam produksi
antibiotik melalui nonsporulating organism. Sebagai contoh dari tipikal Gram-negatif,
quorum signal lakton N-Hexanoyl homoserin menginduksi produksi dari carbapenem
yang dihasilkan oleh Erwinia carotovora (yang masih behubungan dengan E. Coli)
dengan melakukan ikatan secara langsung kepada operon protein repressor yang
memproduksi carbapenem, juga dalam beberapa spesies Streptomyces, juga pada
reseptor sistolik untuk aktifasi secara langsung dari lakton pada transkripsi gen untuk
produksi antibiotik dengan cara yang sama.

Syarat untuk melakukan proses difusi adalah melalui sinyal quorum-sensing


yang merupakan bagian dari penjelasan fakta bahwa produksi antibiotik sangat terbatas

Bahan Ajar Kultur Jaringan 146


pada fase stasioner, dimana kepadatan sel akan menjadi lebih tinggi. Hipotesis yang
dapat diambil pada kepadatan sel yang rendah, pertumbuhan secara cepat dan oleh sebab
itu metabolisme primer merupakan prioritas utama dan hanya pada saat pertumbuhan
menjadi perlahan saat kepadatan sel tinggi, menyebabkan sel mengeluarkan banyak
energi untuk bias memproduksi metabolit sekunder, yaitu berupa antibiotik. Banyak
organisme yang memproduksi antibiotik justru kurang produktif dengan adanya
kelebihan sumber karbon, seperti misalnya glukosa. Hal ini mengingatkan pada
fenomena catabolite repression yang kita ketahui dalam E. coli. Untuk mengatasi
catabolite repression, sumber karbon harus ditambahkan kedalam kultur medium
dengan hati-hati. (Glazer, 2007)

Dalam banyak kasus, kelebihan komponen nitrogen atau fosfat dalam medium
fermentasi yang mengalami pengurangan produksi antibiotik. Keuntungan secara
ekologi dari regulasi kemungkinan mirip dengan catabolite repression. Fosfat
ditunjukkan untuk menghambat transkripsi dari beberapa gen untuk sintesis antibiotik,
dan regulasi ini dihilangkan dalam tubuh mutants dengan melakukan delesi dari PhoR-
PhoP dari dua komponen sistem regulasi. (Glazer, 2007).

Beberapa ilmuwan menduga antibiotik sendiri adalah sebagai produk akhir,


kemungkinan usaha negatif-feedback regulation dalam proses sintesis. Data pendukung
berasal dari penelitian dengan penambahan penicillin ke dalam kultur dari penicillin -
produksi jamur ternyata menghambat sintesis dari antibiotik. Ternyata tingkatan dari
penicillin exogenous untuk menghambat diperlukan dalam dalam jumlah tinggi dengan
adanya overproduksi dari penicillin, menyatakan bahwa resistensi dari feedback
inhibition merupakan sedikit factor dalam overproduksi dalam strain ini. (Glazer, 2007).

Metabolit sekunder disintesis dari metabolit primer, jadi produksi lebih efesien
dari antibotik memerlukan arus stabil dari prekursor. Dalam banyak kasus, produksi dari
prekursor terjadi suatu regulasi yang mekanismenya telah diketahui. Sebuah contoh
menarik bagaimana regulasi dari suplai prekursor dan bagaimana hal tersebut dapat

Bahan Ajar Kultur Jaringan 147


mempengaruhi produksi antibiotik yaitu berupa kondisi kultur dari produksi α-asam
aminoadipik, sebuah prekursor untuk biosintesis β-laktam. Dalam jamur, α-asam
aminoadipik adalah intermediate dalam jalur biosintesis lisin, karena lisin merupakan
produk akhir dari jalur biosintesis, dimana level dari lisinnya tinggi sehingga menutupi
proses biosintesis dengan menghambat enzim pertama dari jalur (feedback inhibition).
Hasilnya akan menyebabkan kekurangan intermediate yang ada di jalur, termasuk α-
asam aminoadipik, jadi kehadiran dari lisin yang berlebih akan menghambat dengan
kuat produksi penicillin dari fermentasi P. Chrysogenum, namun sebaliknya dengan
penambahan lisin berlebihan menjadi stimulat pada produksi cephamisin C dari
streptomyces. Hal ini disebabkan α-asam aminoadipik disintesis secara total melalui rute
lain dalam eubacteria, lisin berfungsi sebagai prekursor. (Glazer, 2007).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa metabolit sekunder dari mikroba ternyata


merupakan bahan baku obat yang tak ternilai harganya, perlu terus menerus mendapat
perhatian kita semua. Pemanfaatan teknologi bioteknologi terhadap mikroba di rasa
sangat membantu untuk memperoleh metabolit sekunder. Produksi metabolit sekunder
dapat dilakukan secara in vitro dalam skala besar. Demikian pula rekayasa genetika dan
transformasi genetik dapat meningkatkan produksi metabolit sekunder. Peran mikroba
yang dapat memproduksi metabolit sekunder berupa antibiotik dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Salah satunya dengan teknik fermentasi yang sangat potensial untuk terus
dikembangkan guna memperoleh metabolit sekunder yang dapat digunakan untuk
mengobati berbagai jenis penyakit.

D. Pelestarian plasma nutfah


Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati
yang tinggi. Menyadari potensi keanekaragaman hayati yang sangat strategis tersebut,
pemerintah Indonesia berupaya mengembangkan berbagai kebijakan dan peraturan
menyangkut pemanfaatan, perlindungan dan pelestariannya. Pemanfaatan
keanekaragaman hayati telah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan, papan,
sandang, dan obat-obatan. Kita sepakat bahwa kecukupan pangan misalnya, akan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 148


tergantung pada tersedianya varietas unggul yang berproduksi tinggi dan tahan cekaman
biotik dan abiotik. Pada dasarnya varietas unggul itu adalah kumpulan dari
keanekaragaman genetik spesifik yang diinginkan dan dapat diekspresikan.
Keanekaragaman genetik spesifik tersebut ada pada plasma nutfah komoditi yang
bersangkutan. Jadi plasma nutfah adalah keanekaragaman genetik di dalam jenis
(Sumarno, 2002). Sebagai contoh plasma nutfah adalah pisang tanduk, pisang ambon,
pisang lampung, pisang raja bulu; sapi bali, sapi madura; itik mojokerto, itik alabio;
domba garut, domba ekor tipis; ikan mas si Nyonya, ikan mas majalaya (Hasanah,
2004); dan padi rojolele, padi pandanwangi, padi arias, padi hawara bunar, padi mentik
dan lain-lain.

Plasma nutfah yang kita miliki tidaklah berarti tanpa pemberdayaan melalui
karakterisasi dan evaluasi. Setelah diberdayakan yang berarti telah diketahui sifat-sifat
yang dimiliki oleh individu plasma nutfah yang kita milikipun masih belum berarti sama
sekali tanpa dimanfaatkan untuk kesejahteraan.Pemanfaatan plasma nutfah bisa
dilakukan dengan berbagai cara,tergantung kepada tujuan yang ingin dicapai.
Pemanfaatan plasma nutfah bisa secara langsung atau melalui proses pemuliaan.
Pemanfaatan plasma nutfah melalui pemuliaan tampak lebih membutuhkan dasar-dasar
ilmiah daripada pemanfaatan plasma nutfah secara langsung. Di dalam teknik pemuliaan
saat ini dikenal dengan istilah pemuliaan secara konvensional dan pemuliaan secara in-
konvensional melalui bioteknologi.

Pemanfaatan secara langsung sebenarnya sudah dilakukan sejak dahulu kala oleh
para petani dengan cara hanya memilih tanaman-tanaman yang mereka anggap baik
untuk ditanam pada musim berikutnya; dalam hal ini sudah terkait unsur seleksi.
Pemanfaatan yang lebih sederhana adalah menggunakan secara langsung misalnya
menebang pohon kayu atau bambu untuk keperluan pembuatan rumah dan
kelengkapannya, mengambil tanaman obat untuk jamu, rotan untuk industri dan
sebagainya.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 149


Pemanfaatan plasma nutfah melalui metode pemuliaan pada tanaman umumnya
dapat dibedakan menjadi metode pemuliaan tanaman menyerbuk sendiri (self pollinated
crop) dan metode pemuliaan tanaman menyerbuk silang (cross pollinated crop)
(Poespodarsono, S., 1988); Makmur, A., 1984).Metode pemuliaan tanaman menyerbuk
sendiri dapat dilakukan melalui introduksi, seleksi massa atau seleksi galur murni,
hibridisasi yang dilanjutkan dengan seleksi (Makmur, 1984). Pada metode pemuliaan
melalui hibridisasi pada tanaman menyerbuk sendiri dikenal beberapa cara yaitu seleksi
pedigree, seleksi bulk population, metode silang balik dan metode Diallel Selective
Mating System (DSM).

Pada seleksi pedigree, tanaman dengan kombinasi karakter yang dikehendaki


diseleksi pada generasi F2, turunan selanjutnya diseleksi lagi pada generasi-generasi
berikutnya sampai mencapai kemurnian genetik. Sedangkan pada seleksi bulk, seleksi
ditunda sampai generasi lanjut (F5 atau F6) setelah hibridisasi. Pada DSM kita
menggunakan berbagai variasi metode seleksi dalam usulan mengkombinasikan
berbagai karakter yang diinginkan, kemudian dilakukan seleksi. Selanjutnya metode
silang balik dilaksanakan dengan cara melakukan silang balik secara berulang-ulang dari
suatu varietas yang ingin diperoleh sifat baiknya (misal ketahanan terhadap penyakit)
kepada varietas lain yang sudah cukup beradaptasi.

Metode pemuliaan tanaman menyerbuk silang sedikit berbeda dengan tanaman


menyerbuk sendiri karena pada tanaman menyerbuk silang, dalam populasi alami
terdapat individu-individu yang secara genetik heterozigot untuk kebanyakan lokus.
Secara genotipe juga berbeda dari satu individu ke individu lainnya, sehingga
keragaman genetik dalam populasi sangat besar. Fenomena lain yang dimanfaatkan
dalam tanaman menyerbuk silang adalah ketegaran hibrida atau heterosis. Heterosis
didefinisikan sebagai meningkatnya ketegaran (vigor) dan besaran F1 melebihi kedua
tetuanya. Sebaliknya bila diserbuk sendiri akan terjadi tekanan inbreeding. Beberapa
metode yang populer pada tanaman menyerbuk silang misalnya pembentukan varietas
hibrida, seleksi massa, seleksi daur ulang, dan dilanjutkan dengan pembentukan varietas

Bahan Ajar Kultur Jaringan 150


bersari bebas atau varietas sintetik. Untuk tanaman yang membiak secara vegetaif dapat
dilakukan seleksi klon, hibridisasi yang dilanjutkan dengan seleksi klon. Cara ini dapat
digunakan juga untuk pemuliaan tanaman tahunan yang biasa dibiakan secara vegetatif.

Keanekaragaman genetik tersebut harus dipertahankan keberadaannya, bahkan


harus diperluas agar supaya selalu tersedia bahan untuk pembentukan varietas unggul.
Upaya mempertahankan keberadaan plasma nutfah adalah konservasi. Konservasi
tersebut secara garis besar terdiri dari konservasi in-situ dan konservasi ex-situ.
Kesediaan yang lestari dari plasma nutfah secara ex-situ dilakukan antara lain dengan
upaya rejuvenasi atau pembaharuan viabilitasnya, sedangkan untuk memperluas
keragaman dapat dilakukan dengan eksplorasi.

Tidak cukup dengan kegiatan rejuvenasi dan eksplorasi saja, namun plasma
nutfah yang sudah terkoleksi harus diberdayakan dengan cara dikarakterisasi (sifat-sifat
agronominya) dan dievaluasi (ketahanan cekaman biotik dan abiotik). Evaluasi bisa
dilakukan secara morfologi/fenotipe atau secara molekular agar supaya dapat
dimanfaatkan secara tepat. Selain itu untuk mempermudah mendapatkan informasi dari
koleksi plasma nutfah yang kita koleksi maka perlu dilakukan dokumentasi yang
memadai, sebaiknya dilakukan secara komputerisasi sehingga membentuk suatu
database yang dapat diakses secara mudah oleh para peneliti atau yang memerlukannya.

Berbicara mengenai pemanfaatan plasma nutfah, seseorang dituntut untuk


memiliki beberapa pengetahuan untuk dapat memanfaatkannya. Pemanfaatan plasma
nutfah untuk tujuan pembentukan varietas unggul minimal memerlukan pengetahuan
seperti ilmu pemuliaan dan genetika (Yatim, 1983). Dalam makalah ini akan diulas hal-
hal yang berkaitan dengan pelestarian, pemberdayaan, dan pemanfaatan plasma
nutfah.Koleksi Plasma Nutfah

Keragaman genetik suatu spesies tanaman dapat menurun karena aktivitas


manusia atau karena bencana alam. Aktivitas manusia dapat meliputi pembudidayaan
tanaman, menanam atau memperluas jenis-jenis unggul baru sehingga jenis-jenis local
yang amat beragam akan terdesak bahkan dapat lenyap, juga aktivitas pembangunan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 151


jalan dan gedung-gedung.

Untuk menghindari lenyapnya jenis-jenis yang ada maka perlu ada suatu
lembaga yang mampu melakukan koleksi jenis-jenis tersebut. Pemerintah berbagai
negara mensponsori kegiatan-kegiatan expedisi untuk tujuan koleksi plasma nutfah.
Beberapa lembaga internasional telah melakukan koleksi secara intensif. Misalnya :
IRRI (International Rice Research Institute) di Philipina mengkoleksi padi, CIMMYT
(Centro International de Mejoramiento de Meizy Trigo) di Mexico mengkoleksi
tanaman jagung dan wheat, CIAT (Central International Agricultural Tropical) di
Kolumbia memiliki koleksi tanaman ketela pohon.

Lembaga-lembaga penelitian juga terdapat di masing-masing negara. Lembaga


penelitian ini mengkoleksi tanaman penting di negara itu. Di Indonesia misalnya
terdapat kebun koleksi tebu, kopi, kelapa, dll.

Perbaikan tanaman melalui variasi somaklonal dapat dilakukan dengan beberapa


cara, antara lain melalui kultur jaringan dan radiasi. Variasi somaklonal melalui kultur
jaringan umumnya terjadi pada kultur kalus akibat pengaruh media kultur, sedangkan
variasi somaklonal melalui radiasi dapat dilakukan secara fisik dengan menggunakan
sinar gamma atau secara kimiawi. Perbaikan tanaman melalui variasi somaklonal yang
dilakukan di kelti BSJ menggabungkan kedua metode tersebut. Untuk mengarahkan
keragaman yang timbul akibat pengaruh radiasi, setelah diaradiasi, eksplan ditanam
dalam media kultur yang mengandung agen seleksi (seleksi in vitro). Teknik ini telah
menghasilkan beberapa nomor tanaman potensial, seperti nilam dengan kadar minyak
lebih tinggi, padi dan kedelai tahan alumunium, padi tahan kekeringan, dan pisang tahan
layu Fusarium (masih dalam pengujian). Perbanyakan tanaman melalui teknik kultur
jaringan memiliki beberapa keuntungan, yaitu diperolehnya bibit yang seragam dalam
jumlah besar. Teknik ini sangat bermanfaat untuk tanaman-tanaman yang diperbanyak
secara vegatatif. Adapun tanaman yang telah berhasil diperbanyak antara lain tanaman
hias (misal: anggrek dan mawar), tanaman obat (misal: purwoceng dan bidara upas),

Bahan Ajar Kultur Jaringan 152


tanaman berkayu (misal: jati dan cendana), serta tanaman buah-buahan (misal: pisang
dan manggis). Dan hal ini sangat bereperan dalam pelestarian plasma nutfah.

2.2 Tugas
Setelah anda mempelajari tentang aspek kultutr jaringan selesaikanlah tugas berikut;
1.Buatlah rangkuman tentang aspek kultur jaringan
2.Diskusikan dengan teman-teman hasil rangkuman tersebut, dan beri tanda dengan
menggaris bawahi atau membuat catatan tambahan tentang masukan teman-teman
yang
belum atau tidak tercantum dalam rangkuman anda

2.3 Latihan
Agar penguasaan anda tentang kultur jaringan baik, maka kerjakanlah latihan berikut;
1. Jelaskan beberapa keunggulan perbanyakan dengan teknik kultur jaringan
dibandingkan dengan cara tradisonal!
2. Tuliskan apa yang anda ketahui tentang; pemuliaan tanaman, metabolit sekunder,
pelestarian plasma nutfah

3. Penutup
3.1 Rangkuman
Pemuliaan tanaman merupakan kegiatan untuk mengubah susunan genetik
tanaman secara tetap (baka) sehingga memiliki sifat atau penampilan sesuai dengan
tujuan yang diinginkan pelakunya. Pelaku kegiatan ini disebut pemulia tanaman.
Pemuliaan tanaman umumnya mencakup tindakan penangkaran, persilangan, dan seleksi
Tujuan dalam pemuliaan tanaman secara umum diarahkan pada dua hal:
peningkatan kepastian terhadap hasil yang tinggi dan perbaikan kualitas produk yang
dihasilkan.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 153


Strategi dalam pemuliaan tanaman masa kini adalah dengan melakukan
peningkatan variasi genetik yang diikuti kemudian dengan seleksi pada keturunannya.
Pemuliaan tanaman biasanya mengarah pada domestikasi meskipun tidak selalu
demikian.
Metabolit sekunder merupakan salah satu cara organisme untuk mempertahankan
eksistensinya dan sebagai tindakan responsif terhadap lingkungan. Metabolit sekunder
ini digunakan untuk mencegah dan mempertahankan diri dari serangan predator, sebagai
alat kompetisi, mencegah infeksi bakteri, membantu proses reproduksi dan mencegah
sengatan sinar ultra violet
Beberapa karakteristik umum bahan metabolit sekunder adalah:
o Cenderung dihasilkan pada akhir fase pertumbuhan pada media batch culture atau
pada pertumbuhan yang substratnya dibatasi pada media continuous culture.

o Diproduksi dari bahan metabolit intermediet tetapi dengan bantuan enzim-enzim


khusus yang dikode oleh gen tertentu..

o Tidak bersifat esensial untuk pertumbuhan atau metabolisme normal.

o Spesifik untuk genus, spesies bahkan strain tertentu.

Beberapa kemungkinan peran metabolit sekunder:

o Dibutuhkan pada konsentrasi rendah selama pertumbuhan.

o Penimbunan (bisa dibongkar dengan mudah)

o Prosesnya (bukan produknya) merupakan suatu alternatif sebagai katup pelepas


untuk memindahkan intermidiet primer yang tidak dibutuhkan. Pada pertumbuhan
yang terhambat, senyawa intermediet tidak boleh terakumulasi karena akan
menghambat proses utama metabolisme. Oleh karena itu harus dirubah menjadi
senyawa metabolit sekunder yang akan diekspor keluar sel atau tersimpan sebagai
senyawa tidak aktif. Sehingga kegunaannyapun dapat beragam:

Bahan Ajar Kultur Jaringan 154


o Antibiotik - untuk pertahanan wilayah.

o Mikotoksin - melawan serangga pemakan.

o Melanin - perlindungan terhadap oleh UV.

o Hormon kelamin - menarik pasangan

o Rasa atau bau - menarik serangga untuk penyebaran spora

3.2 Tes Formatif


1. Tuliskan apa yang anda ketahui tentang pemuliaan tanaman!
2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan metabolit sekunder, apa peranannya bagi
tumbuhan dan bagi manusia?
3. Jelaskan perbedaan pemanfaatan plasma nutfah secara langsung dengan pemanmaatan
plasma nutfah melalui pemuliaan
4. Metode pemuliaan tanaman menyerbuk silang sedikit berbeda dengan tanaman
menyerbuk sendiri , jelaskan perbedaan kedua pemuliaan tersebut

3.3 Kunci Jawaban


1. Untuk menjawab pertanyaan ini, baca kembali uraian tentang pemuliaan tanaman
2. Baca kembali uraian tentang metabolit sekunder untuk menjawab pertanyaan ini
3. Menjawab pertanyaan ini, lihat uraian tentang pelestarian plasma nutfah
4. Jawaban pertanyaan ini dapat dikonfirmasi dengan uraian tentang metode pemuliaan.

Tindak Lanjut
1. Apabila mahasiswa dapat menyelesaikan 80 % dari test formatif di atas, ia dapat
melanjutkan mempelajari lanjutan perkuliahan ini karena pengetahuan tentang bab ini
merupakan dasar untuk memahami uraian pada bab-bab selanjutnya.
2. Apabila mereka belum mencapai penguasaan 80 % mereka danjurkan:
a. Mempelajari kembali dari awal bahasan di atas;
f. Konsultasi dengan asisten dan dosen.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 155


Kepustakaan.
1. Santoso U dan Fatimah Nursandi, 2004. Kultur Jaringan Tanaman, UMM Press.
Malang
2. Margono, 2003. Kultur Jaringan Tumbuhan, Depdiknas
3. Suryowinoto, 1993, Pemuliaan Tanaman Secara In Vitro, UGM, Yogyakarta
Publishing
4. Zulkarnain, H. 2009, Kultur Jaringan Tanaman, Bumi Aksara, Jakarta
Senarai
- Pemuliaan tanaman; persilangan yang ditujukan untuk memperbaiki komposisi
genetika silangannya dan membuat bibit unggul
- Metabolit sekunder; produk metabolisme yang tidak berperan dalam pertumbuhan sel
- Plasma nutfah; keaneka ragaman gen yang meliputi individu liar dan bibit unggul,
substansi yang terdapat dalam setiap kelompok makhluk hidup dan merupakan
sumber sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan atau dirakit
untuk menciptakan jenis unggul

Bahan Ajar Kultur Jaringan 156


BAB IX
AKLIMATISASI

1 Pendahuluan
A. Deskripsi Singkat
Bab ini mednyajikan bahasan tentang aklimatisasi yang terdiri atas sub-sub
topik; Perbedaan aklimasi dan aklimatisasi, karakteristik planlet kultur in vitro, prosedur
aklimatisasi, dan faktor-faktor yang mempengaruhi aklimatisasi.

B. Relevansi
Penguasaan tentang aklimatisasi (prosedur pelaksanaannya) akan berpengaruh
terhadap prosentase keberhasilan tanaman baru yang dihasilkan menyesuaikan dengan
lingkungan makronya atau lingkungan alamiahnya. Karenanya penguasaan prosedur
sangat diperlukan.

C. Tujuan Khusus
Pada akhir perkuliahan mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan prosedur
aklimatisasi

2. Penyajian Materi
2.1 Uraian dan contoh
Aklimatisasi
A. Perbedaan aklimasi dan aklimatisasi
Istilah aklimasi (acclimation) ditujukan pada proses suatu tanaman atau
organisme hidup lain agar dapat menyesuaikan diri dengan kondisi atau situasi
lingkungan dan iklim yang baru sebagai hasil dari suatu proses alamiah. Misalnya
tanaman yang tumbuh di lapangan akan mengalami aklimasi terhadap suhu rendah
menjelang memasuki musim dingin.
Sedangkan istilah aklimatisasi (acclimatitation) menunjukkan adanya campur
tangan manusia dalam mengarahkan proses penyesuaian tersebut. Karena manusia

Bahan Ajar Kultur Jaringan 157


senantiasa terlibat dalam proses penyapihan tanaman dari kondisi in vitro agar dapat
tumbuh dan berkembang pada kondisi in vivo di rumah kaca atau di lapangan maka
istilah yang digunakan pada tahap akhir mikropropagasi adalah aklimatisasi, bukan
aklimasi
Tahapan mikropagasi dari inisiasi kultur hingga aklimatisasi dapat dilihat pada
gambar berikut :

Keterangan
(A) tahap 1 = inisiasi kultur; (B) tahap 2 = penggandaan pucuk; (C) tahap 3 =
pengakaran (pratransplantasi); (D) tahap 4 = aklimatisasi (transplantasi ke lapangan)
B. Karakteristik planlet kultur in vitro
Tanaman yang berasal dari kultur in vitro sangat berbeda bila dibandingkan
dengan tanaman yang hidup pada kondisi in vivo. Beberapa karakteristik khas tanaman
hasil perbanyakan in vitro diuraikan sebgai berikut:
a. Daun
Tanaman yang berasal dari kultur in vitro sering memperlihatkan lapisan lilin
(kutikula) yang kurang berkembang sebagai akibat tingginya kelembapan di dalam
wadah kultur (90-100%). Hal itu mengakibatkan tanaman kehilangan air dalam jumlah

Bahan Ajar Kultur Jaringan 158


yang cukup besar melalui evaporasi kutikula pada saat tanaman dipindahkan ke tanah
kelembaban udara pada kondisi in vivo jauh lebih rendah dari pada kondisi in vitro.
Planlet kadang memiliki daun-daun yang tipis, lunak, tidak aktif berfotosintesis, dan
tidak adaptif terhadap kondisi in vivo. Sel-sel palisade lebih kecil dan lebih sedikit
jumlahnya sehingga tidak dapat menerima cahaya secara efisien dengan rongga udara
mesofil yang lebih besar dibandingkan tanaman normal. Stomata tidak berfungsi dengan
sempurna dan tidak menutup sehingga menyebabkan terjadinya cekaman air pada
beberapa jam pertama aklimatisasi.
b. Jaringan angkut
Pada planlet hasil kultur jaringan, sistem pembuluh angkut antara pucuk dan akar
sering tidak terhubung dengan sempurna sehingga menyebabkan berkurangnya transport
air dan unsur hara. Harus diingat bahwa dalam keadaan in vitro tanaman bersifat
heterotrof, sedangkan pada kondisi in vivo tanaman dituntut untuk menjadi autotrof,
kebutuhan karbohidratnya harus disuplay melalui fotosintesis yang salah satu bahan
bakunya adalah air.
c. Akar
Sistem perakaran pada planlet yang berasal dari kultur jaringan cenderung
mudah rusak dan tidak berfungsi dengan sempurna pada keadaan in vivo, misalnya akar
yang terbentuk sedikit atau tidak ada akar sama sekali. Akar yang tidak berkembang
dengan sempurna akan membuat pertumbuhan tanaman kondisi in vivo sangat tertekan
terutama pada keadaan evaporasi tinggi.
d. Kemampuan bersimbiosis
Planlet dari tanaman yang pada kondisi pertumbuhan normal bersimbiosis
dengan bakteri atau mikoriza akan memiliki kemampuan bersimbiosis yang sangat
terbatas pada saat dipindahkan dari lingkungan in vitro ke lingkungan in vivo.
Untuk mengatasi masalah perkembangan sistem perakaran pada tahap
aklimatisasi, dapat diterapkan langkah-langkah berikut ini.
1. Upayakan tanaman yang masih berada di lingkungan in vitro membentuk primordia
akar yang akan tumbuh menjadi akar fungsional pada kondisi in vivo

Bahan Ajar Kultur Jaringan 159


2. Ciptakan kondisi yang memungkinkan untuk terjadinya perkembangan akar in vitro,
misalnya menggunakan media cair kemudian akar-akar tersebut akan berfungsi
secara normal pada saat planlet dipindahkan ke tanah.
3. Aklimatisasikan planlet ke tanah setelah saat perakaran. Pada saat memasuki tahap
perakaran, rendam bagian pangkal planlet di dalam larutan auksin untuk merangsang
pembentukan akar.

C. Prosedur aklimatisasi
Menurut Taji, dkk (2002), secara umum prosedur aklimatisasi diuraikan sebagai
berikut:
Planlet-planlet yang akan diaklimatisasi dikeluarkan dari dalam wadah kultur.
Agar-agar yang masih menempel dicuci bersih untuk membuang sumber kontaminasi.
Selanjutnya planlet tersebut ditanam pada medium tanah steril (dipasteurisasi) di dalam
pot kecil atau pada medium siap pakai pot Jiffy. Pada awalnya, planlet harus dilindungi
dari kerusakan dengan menempatkannya di bawah naungan, tenda berkelemabapan
tinggi, atau di bawah semprotan embun. Dibutuhkan waktu beberapa hari sebelum
terbentuknya akar-kar baru yang funsional. Suhu udara diusahakan sama, seperti di
dalam ruang kultur. Intensitas cahayapun merupakan faktor yang penting untuk
diperhatikan, yaitu 30% dari cahaya lingkungan. Nutrisi yang terdapat di dalam medium
tanahpun dapat menjadi faktor pembatas pertumbuhan. Pada prinsipnya, tidak ada
nutrisi tambahan yang perlu diberikan pada tiga hingga empat minggu pertama masa
aklimatisasi.
Saat planlet tumbuh dengan baik pada medium dalam pot, planlet tersebut harus
secara perlahan-lahan dihadapkan pada kelembapan yang rendah dan intensitas cahaya
yang tinggi. Setiap keadaan dormansi atau kondisi istirahat yang terjadi pada tanaman,
harus diatasi sebagai bagian dari proses transplantasi.
D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tahap Aklimatisasi
1. Faktor Lingkungan
a. Suhu Udara

Bahan Ajar Kultur Jaringan 160


Selama dalam lingkungan in vitro, planlet mendapatkan suhu yang relatif sama,
yaitu 25 ± 1ºC. Saat dipindahkan ke kondisi in vivo maka suhu udara akan mengalami
variasi yang terkadang cukup besar. Suhu lingkungan in vivo dapat mencapai 18 ºC pada
malam hari atau 32ºC pada siang hari. Kondisi suhu yang ekstrem, terutama suhu
tinggi, akan mengakibatkan pertumbuhan planlet tertekan, bahkan dapat berakibat pada
kegagalan aklimatisasi.Oleh karena itu, suhu di areal aklimatisasi harus diatur
sedemikan rupa agar mendekati suhu in vitro, kemudian secara bertahap dapat dinaikkan
seiring dengan semakin kuatnya pertumbuhan tanaman.
b. Kelembapan udara
Palnlet hasil mikropropagasi terbiasa hidup di lingkungan dengan kelembapan
tinggi, berkisar 90-100%. Kondisi tersebut menyebabkan planlet tidak mengembangkan
sistem pertahanan yang baik dalam menghadapi cekaman kekeringan. Oleh karena itu,
aklimatisasi hendaknya dilakukan dengan menurunkan kelembapan udara secara
bertahap. Pada tahap awal planlet dapat ditempatkan di bawah sangkup plastik secara
individual, kemudian sangkup tersebut dibuka dan planlet dipelihara di bawah naungan
massal sebelum akhirnya dipindahkan ke lapangan.
c. Intensitas cahaya
Intensitas cahaya memiliki hubungan yang sangat erat dengan suhu dan
kelembapan. Biasanya intensitas cahaya tinggi akan menginduksi terciptanya suhu
lingkungan yang tinggi pula, disertai dengan rendahnya kelembapan udara, dan
sebaliknya. Oleh karena itu, intensitas cahaya di areal aklimatisasi harus diperhatikan
agar suhu dan kelembapan dapat dipertahankan pada tingkat yang tidak membahayakan
planlet. Pemberian naungan merupakan cara yang baik untuk menurunkan intensitas
cahaya dan suhu dengan mempertahankan kelembapan agar tetap tinggi
2. Faktor-faktor yang harus diperhatikan untuk keberhasilan aklimatisasi.
Untuk meningkatkan laju keberhasilan pada tahap aklimatisasi, Pierek (1997)
memberikan anjuran sebagai berikut;

Bahan Ajar Kultur Jaringan 161


a. Untuk menghindari terjadinya infeksi oleh cendawan dan bakteri maka sisa-sisa
medium (agar-agar) hendaknya dicuci sampai bersih dan gunakan tanah steril
sebagai substrat aklimatisasi
b. Musnahkan semua hama dan patogen, seperti serangga, siput, cendawan, dan bakteri
karena kondisi planlet masih lemah sehingga sangat rentan terhadap serangan hama
dan patogen. Lakukan penyemprotan pestisida secara teratur.
c. Untuk menghindari kerusakan akar, sebaiknya lakukan penanaman planlet pada
tanah yang diayak (strukturnya seragam).
d. Gunakan medium dengan kadar garam rendah pada tahap perakaran, misalnya
komposisi medium MS½.
e. Terkadang diperlukan perlakuan suhu rendah (5ºC) selama 4-8 minggu pertama
untuk mematahkan dormansi, terutama terhadap umbi-umbi in vitro.
f. Tanaman yang membentuk umbi hendaknya dipindahkan ke tanah dalam bentuk
umbi pula sehingga tingkat keberhasilan akan lebih baik.
g. Lakukan aklimatisasi in vitro, yaitu dengan menghadapkan planlet pada kelembapan
rendah dan suhu serta intensitas cahaya yang dinaikkan secara bertahap sewaktu
berada di dalam wadah kultur.
h. Lakukan aklimatisasi di lingkungan yang diperkaya dengan CO2. Hal itu berguna
untuk membantu meningkatkan laju fotosintesis.

2.2. Tugas
Agar pemahaman anda tentang aklimatisasi baik, maka kerjakanlah tugas berikut
1. Buatlah peta konsep tentang aklimatisasi masing-masing
2. Diskusikan secara berpasangan peta konsep tersebut dan masing-masing pasangan
akan saling memberi masukan/koreksi pada peta konsep tersebut
2.3. Latihan
Kerjakanlah soal-soal latihan berikut untuk memantapkan penguasaan anda tentang
konsep aklimatisasi
1. Jelaskan perbedaan aklimasi dengan aklimatisasi

Bahan Ajar Kultur Jaringan 162


2. Menurut pendapat anda mengapa aklimatisasi harus dilakukan?

3. Penutup
3.1 Rangkuman
Istilah aklimasi (acclimation) ditujukan pada proses suatu tanaman atau
organisme hidup lain agar dapat menyesuaikan diri dengan kondisi atau situasi
lingkungan dan iklim yang baru sebagai hasil dari suatu proses alamiah.
Sedangkan istilah aklimatisasi (acclimatitation) menunjukkan adanya campur
tangan manusia dalam mengarahkan proses penyesuaian tersebut. Karena manusia
senantiasa terlibat dalam proses penyapihan tanaman dari kondisi in vitro agar dapat
tumbuh dan berkembang pada kondisi in vivo di rumah kaca atau di lapangan maka
istilah yang digunakan pada tahap akhir mikropropagasi adalah aklimatisasi, bukan
aklimasi
Untuk mengatasi masalah perkembangan sistem perakaran pada tahap aklimatisasi,
dapat diterapkan langkah-langkah berikut ini.
1. Upayakan tanaman yang masih berada di lingkungan in vitro membentuk primordia
akar yang akan tumbuh menjadi akar fungsional pada kondisi in vivo
2. Ciptakan kondisi yang memungkinkan untuk terjadinya perkembangan akar in vitro,
misalnya menggunakan media cair kemudian akar-akar tersebut akan berfungsi
secara normal pada saat planlet dipindahkan ke tanah.
3. Aklimatisasikan planlet ke tanah setelah saat perakaran. Pada saat memasuki tahap
perakaran, rendam bagian pangkal planlet di dalam larutan auksin untuk merangsang
pembentukan akar.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tahap Aklimatisasi
Faktor Lingkungan terdiri dari; Suhu Udara, kelembapan udara dan intensitas cahaya,
serta faktor-faktor prosedur pelaksanaan aklimatisasi

3.2 Tes Formatif


1. Sebutkan dan jelaskan faktor-faktor yang berpengaruh pada aklimatisasi

Bahan Ajar Kultur Jaringan 163


2. Jelaskan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi perkembangan
perakaran pada saat aklimatisasi
3. Jelaskan sekurang-kurangnya 4 aspek/faktor yang harus diperhatikan pada saat
melakukan aklimatisasi

3.3 Kunci Jawaban


1. Menjawab pertanyaan ini lihat uraian tentang faktor-faktor yang berpengaruh pada
aklimatisasi
2. Lihat kembali uraian tentang upaya mengatasi perkembangan perakaran pada saat
aklimatisasi
3. Ada kurang lebih 8 faktor yang harus diperhatikan pada saat melakukan aklimatisasi,
anda diminta menjelaskan 4 diantaranya

Tindak Lanjut
1. Apabila mahasiswa dapat menyelesaikan 80 % dari test formatif di atas, ia dapat
melanjutkan mempelajari lanjutan perkuliahan ini karena pengetahuan tentang bab ini
merupakan dasar untuk memahami uraian pada bab-bab selanjutnya.
2. Apabila mereka belum mencapai penguasaan 80 % mereka danjurkan:
a. Mempelajari kembali dari awal bahasan di atas;
g. Konsultasi dengan asisten dan dosen.

Kepustakaan.
1. Santoso U dan Fatimah Nursandi, 2004. Kultur Jaringan Tanaman, UMM Press.
Malang
2. Margono, 2003. Kultur Jaringan Tumbuhan, Depdiknas
3. Suryowinoto, 1993, Pemuliaan Tanaman Secara In Vitro, UGM, Yogyakarta
Publishing
4. Zulkarnain, H. 2009, Kultur Jaringan Tanaman, Bumi Aksara, Jakarta

Bahan Ajar Kultur Jaringan 164


Senarai
- Aklimasi; adaptasi makhluk hidup terhadap perubahan lingkungan yang terjadi
akibat adanya percobaan
- Aklimatisasi; penyesuaian diri makhluk hidup terhadap iklim, lingkungan atau
keadaan sekitarnya

BAB X
MASALAH-MASALAH DALAM KULTUR JARINGAN

1. Pendahuluan
A. Deskripsi Singkat
Bab ini membahas masalah-masalah dalam kultur jaringan yang mencakup;
kontaminasi, pencoklatan, vitrifikasi, variabilitas genetik, pertumbuhan dan
perkembangan, pra perlakuan, lingkungan mikro, peralatan listrik, air dan manusia,
harapan ekonomi.

B. Relevansi
Pemahaman tentang masalah-masalah dalam kultur jaringan akan sangat
membantu dalam penanganan atau pemeliharaan kultur. Gejala yang nampak yang
merupakan masalah seperti pencoklatan, vitrifikasi, dan sebagainya perlu segera
mendapat penanganan agar tidak menjadi penyebab kegagalan.

C. Tujuan Khusus
Pada akhir perkuliahan mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan masalah-
masalah dalam kultur jaringan
2 Penyajian Materi
2.1 Uraian dan Contoh

Bahan Ajar Kultur Jaringan 165


A. Kontaminasi
Kontaminasi dapat berasal dari beberapa penyebab sebagai berikut: sterilisasi
media yang kurang sempurna, lingkungan kerja dan pelaksanaan/cara kerja saat
penanaman, eksplan, molekul-molekul atau benda-benda asing berukuran kecil yang
jatuh atau masuk ke dalam botol kultur setelah penanaman dan ketika diletakkan di
ruang kultur.
Sebelum sterilisasi media dilakukan, hal-hal yang harus diperhatikan adalah proses
pembuatan media. Biasakan membersihkan berbagai sarana dalam kegiatan kultur
(pipet, botol-botol kultur, dll) dengan melakukan sterilisasi berulang atau dibersihkan
dengan desinfektan. Saat sterilisasi media, penggunaan autoklaf (cuci autoklaf 1minggu
sekali) sebaiknya tetap dijaga kestabilan jarum penunjuk suhu dan tekanan. Usahakan
jarum tetap pada posisi 121oC dan 1,5 atm selama 25-30 menit dengan cara mengatur
nyala api. Setelah media dikeluarkan dari autoklaf sebaiknya karet pada penutup
ditambah lagi, kemudian masukkan botol media ke dalam kantong plastik bening yang
sebelumnya di semprot alkohol 70%.
Jika sterilisasi media telah berhasil dilakukan, hal lain yang perlu diperhatikan agar
kontaminasi jauh dari jangkauan adalah lingkungan kerja dan pelaksanaan/cara kerja
saat penanaman. Sterilisasi ruangan dilakukan dengan menyemprotkan alkohol 90%
dengan hand-sprayer. Sedangkan sterilisasi lantai dengan menggunakan kain pel yang
dibasahi dengan alkohol 90%.
Pengangkutan alat-alat ke dalam ruang penabur sebaiknya menggunakan meja
dorong, supaya semua peralatan dapat terbawa ke dalam ruangan sekaligus. Dengan cara
demikian daun pintu ruangan tidak terlalu sering dibuka sehingga sterilisasi ruangan
tetap terjamin.
Penggunaan sinar UV beberapa menit sebelum ruang dan bahan kultur digunakan
mutlak dilakukan untuk sterilisasi.
Saat sebelum pelaksanaan penanaman dan saat pelaksanaan penanaman pun,
sterilisasi harus dilakukan. Kotak tanam harus disterilisasikan terlabih dahulu dengan
menyemprotkan alkohol 70% ke dalamnya. Semua peralatan yang akan dimasukkan ke

Bahan Ajar Kultur Jaringan 166


dalam kotak tanam, terlebih dahulu disemprot alkohol 70%. Saat pelaksanaan, sterilisasi
dilakukan dengan mengelap permukaan kotak tanam dengan alkohol 70%.
Kontaminasi dari eksplanlah yang paling sulit diatasi karena dalam hal ini metode
sterilisasi harus selektif. Walaupun sterilisasi telah dilakukan dengan berbagai cara,
namun kadang-kadang kontaminasi tetap saja terjadi. Dalam hal ini dikarenakan pada
eksplan telah terjadi kontaminasi internal. Cara penggulangannya dilakukan treatment
pada tanaman yang akan dijadikan sebagai sumber eksplan. Treatment-nya adalah
dengan mengisolasi eksplan, disemprot dengan bakterisida, fungisida selama 3 bulan
setiap hari dengan konsentrasi 150-200 mg/l.

a. Kontaminan endogenus – penggunaan antibiotik

Bahan Ajar Kultur Jaringan 167


Larutan klorin dapat membunuh mikroorganisme eksternal, namun tidak dapat
mematikan mikroorganisme internal (endogenus) dalam jaringan tanaman. Beberapa lab
menggunakan antibiotik untuk membunuh kontaminan endogenus. Meskipun antibiotik
rutin digunakan dalam kultur jaringan hewan, penggunaannya pada kultur jaringan
tanaman kurang berhasil. Tidak ada antibiotik yang efektif untuk membunuh semua
mikroorganisme penyebab kontaminasi. Antibiotik dan produk turunannya
dimetabolisme oleh jaringan tanaman dengan hasil yang tidak dapat diperkirakan.
Menurut pandangan Taji et al. (1997), penggunaan antibiotik sebaiknya dihindari.
Adalah berbahaya untuk mengembangkan system kultur jaringan yang berdasarkan
pada penambahan antibiotik ke dalam media, berdasarkan alasan – alasan berikut :
1. Tanaman yang dihasilkan mungkin masih memiliki endogenus kontaminan
2. Dengan penggunaan antibiotik spesifik, seseorang dapat menghasilkan mutan
tertentu, tapi tidak dapat dikontrol dengan produk spesifik ini
3. Kontaminan non-patogenik dapat menjadi patogenik, bisa karena mutasi atau
fisik. Sesungguhnya, bakteri non-patogenik tanpa kompetisi dari bakteri lain
dapat menjadi ganas
4. Problem kamuflase in vitro bisa menjadi problem utama di kemudian hari pada
kultur (misalnya layu bakteri atau spot)
5. Kontaminasi bakteri dapat menjadi problem pada akhir proses perbanyakan
mikro, misalnya sulit menghasilkan akar pada tunas yang terkontaminasi.
b. Menyembuhkan kultur yang terkontaminasi
Kultur yang telah terkontaminasi dapat diselamatkan dengan metode berikut:
1. Buka wadah yang berisi kultur terkontaminasi dan isi penuh dengan larutan 0.5 –
1% w/v sodium hypochlorite
2. Biarkan selama 1- - 50 menit tergantung pada keganasan kontaminasi atau
sensitivitas bahan tanaman
3. Keluarkan kultur dari larutan kloring, potong bagian dasar dan buang daun –daun
yang berlebihan
4. Transfer ke media kultur yang baru

Bahan Ajar Kultur Jaringan 168


Pilihan opsional, eksplan dapat dicuci dengan air steril atau diperlalukan dengan satu
seri sodium hypochlorite encer, misalnya 1% → 0.5% → 0.25% → 0.1% dan ditanam
tanpa pembilasan dengan air steril lagi. Ini berarti tanaman yang ditanam kembali ke
kultur mengandung sedikit klorine. Ini akan berguna pada kultur yang terkontaminasi
berat, tapi hanya tanaman yang tahan klorin dapat diperlakukan dengan cara ini.
Dengan metode tersebut, kultur yang terkontaminasi, daunnya mungkin sangat
dipengaruhi oleh bleach. Kultur ini akan segera membaik dan tumbuh. 50%
penyembuhan dari kultur Melaleuca alternifolia berhasil diperoleh dari kultur yang
sangat terkontaminasi (Taji et al., 1997).

c. Tipe – tipe kontaminasi


Eksplan atau kultur dapat terkontaminasi oleh berbagai mikrooganisme seperti
jamur, bakteri, serangga atau virus. Organisme – organisme tersebut secara universal
terdapat pada jaringan tanaman. Banyak yang bersifat non-patogenik, artinya mereka
tidak menyebabkan bahaya bagi tanaman inang pada kondisi normal. Kondisi kering dan
adanya organisme competitor menyebabkan mereka dalam kondisi terkontrol. Tapi,
kondisi in vitro yang disukai eksplan, yaitu mengandung sukrosa dan hara dalam
konsentrasi tinggi, kelembaban tinggi dan suhu yang hangat, juga disukai
mikroorganisme yang seringkali tumbuh dan berkembang sangat cepat, mengalahkan
eksplan.
d. Kontaminasi permukaan
Kontaminasi mungkin terjadi pada permuakan tanaman, antar sel atau dalam sel
tanaman. Kontaminasi permukaan dapat diatasi dengan cara pencucian menggunakan
berbagai perlakuan bahan kimia (lihat minggu 11 untuk informasi detail). Keterbatasan
utama adalah untuk memberikan perlakuan yang cukup kuat untuk mengeliminasi
kontaminasi tanpa merusak jaringan tanaman. Jika permukaan tanaman ditutupi oleh
rambut atau sisik, perhatian mesti diberikan untuk memastikan penetrasi bahan kimia,
karena kontak dengan organisme sangat penting untuk sterilisasi. Ini biasanya dicapai
dengan menambahkan detergen, agitasi (digoyang –goyang), atau membenamkan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 169


eksplan dengan sedikit tekanan untuk mengilangkan gelembung udara yang mungkin
mengandung mikroorganisme.
Perlakuan awal atau manajemen bahan tanaman dapat mengurangi jumlah kontaminasi
dan karenanya mengurangi perlakuan dekontaminasi yang diperkukan dan tentu saja
mengurangi resiko kerusakan jaringan eksplan.

Sumber kontaminan
Eksplan awal merupakan sumber utama kontaminasi, tapi kontaminasi kembali
dapat terjadi selama proses kultur. Pertama tama, media dan semua wadah dan alat harud
disterilisasi. Semua kegiatan harus dilakukan pada kondisi higienis, meskipun tidak
selalu perlu pada laboratorium yang steril. Udara merupakan sumber utama spora dan
agen kontaminasi lainnya, termasuk badan dan pakaian si pelaksana.

Kontaminasi endogenus
Organisme yang hidup pada jaringantanaman lebih susah ditangani. Hal ini
mungkin dapat dikontrol dengan pemberian pestisida atau fungisida sistemik yang
diberikan pada tanaman stok sebelum dijadikan eksplan atau dapat juga diberikan di
kultur itu sendiri.

Eliminasi virus
Virus biasanya terdapat pada sel – sel jaringan tanaman dan ditransfer ke sel batu
pada saat pembelahan sel, karenanya virus ditransfer ke tanaman anak (progeny) pada
saat pembiakan vegetatif. Virus mungkin tidak menunjukkan gejala apapun pada saat
tanaman dikulturkan, tapi akan tampak nantinya setelah tanaman di transfer ke lapang.
Cara utama untuk mengeliminasi virus adalah dengan menggunakan therapy panas. Pada
kondisi pertumbuhan normal, suatu virus akan ditransfer ke jaringan baru pada saat
tunas baru tumbuh. Jika tanaman dapat ditumbuhkan pada suhu tinggi, adalah
memungkinkan untuk memperlambat kecepatan replikasi virus sehingga ujung tunas
dapat tumbuh lebih dulu sebelum terkontaminasi. Ujung tunas dapat kemudian dapat

Bahan Ajar Kultur Jaringan 170


dipindahkan dan tumbuh bebas virus. Biasanya perlu untuk menguji pertumbuhan
selanjutnya untuk memastikan tanaman bebas virus.
Perlakuan panas dapat diaplikasikan pada tanaman normal, namun suhu yang diperlukan
(misalnya 39oC selama 7 hari) seringkali mematikan bagi tanaman. Tunas in vitro
mungkin lebih dapat bertahan terhadap perlakuan ini.

Media awal
Biasanya dignakan media dasar dengan sukrosa tanpa penambahan hormon
untuk penanaman eksplan awal. Ini menghindari pemborosan media dimana sebagian
kultur biasanya akan terkena kontaminasi atau mati akibat perlakuan awal. Kebanyakan
kontaminasi jamur atau bakteri akan terjadi pada 2 minggu pertama.
Pada beberapa contoh, pestisida mungkin dimasukkan pada media awal atau sukrosa
mungkin dihilangkan agar eksplan dapat tumbuh tanpa terkontaminasi. Tanaman yang
baru tumbuh ini lalu dapat dipindah dengan hati – hati dengan cara mensubkultur.
Perhatian juga mesti diberikan pada ruang persiapan kultur, untuk menghindari
kontaminasi.

Eksudat
Tipe lain kontaminasi adalah eksudasi dari eksplan, bukan dari organisme lain.
Ketika jaringan tanaman terluka, dengan cara pemotongan atau perlakuan bahan kimia
seperti larutan klorin, reaksi fisiologis terjadi pada sel sekitar luka. Salah satu prosesnya
adalah produksi bahan biokimia apakah sebagai produk pecahan atau sintesa sebagai
mekanisme perlindungan. Keluarnya substansi dari jaringan akan terjadi. Bahan kimia
ini mungkin atau mungkin tidak memberi pengaruh mematikan pada pertumbuhan
kultur.
Dengan cara mencuci eksplan sebelum penanaman dan menghindarai desikasi dapat
mengurangi reaksi luka tapi beberapa spesies masih memproduksi eksudat. Mungkin
perlu untuk mentransfer eksplan ke media segar/baru secara teratur pada minggu –
minggu awal kultur untuk menghilangkan eksudat. Pada kasus lain, tambahan bahan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 171


kimia mungkin digunakan untuk menyerap eksudat. Adsorbent misalnya arang aktif,
PVP (polyvinylpyrrolidine). Agen anti-oksidising seperti asam askorbat, asam sitrat atau
sistein mungkin dapat mengurangi atau mencegah produksi eksudat, terutama senyawa
fenolik.
Perendaman ekplan pada air steril 50oC selama 5 – 15 menit berhasil mengatasi produksi
eksudat pada beberapa tanaman asli Australia.
Produksi eksudat gelap pada Eucalyptus, dapat dikurangi dengan menempatkan kultur
dalam gelap selama beberapa hari.
Bahan kimia lain yang tidak tampak tapi memiliki pengaruh nyata adalah gas
etilen. Etilen diproduksi secara alami pada jaringan tanaman dan memegang peran
penting pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman normal. Seringkali diproduksi
sebagai akibat stress pada tanaman, seperti pelukaan atau desikasi jaringan. Etilen
mungkin terakumulasi pada wadah kultur dan mempengaruhi eksplan. Gejalanya
meliputi layu daun dan nekrosis daun.

Kondisi kultur
Tipe substrat
Hampir semua kultur dilakukan pada media semi-solid (semi-padat) dengan
menggunakan agar atau Gelrite. Gel ini menjadi pendukung fisik untuk eksplan dan
meningkatkan aerasi pada media. Gelrite adalah produk sintetik yang memiliki
keuntungan gel yang lebih jernih dibandingkan agar yang agak keruh (dari ekstrak
rumput laut). Gelrite membuat pengamatan kontaminan atau perkembangan akar lebih
mudah. Gelrite memiliki kondisi fisik dan kimia yang sedikit berbeda sehingga
memerlukan sedikit modifikasi pada persiapan media.
Media cair seringkali digunakan untuk kultur kalus atau sel, dimana jaringan
harus dibenamkan pada media untuk menghindari kekeringan. Penggoyangan pada
media perlu dilakukan untuk mendapatkan aerasi dan distribusi larutan hara yang
merata. Penggoyangan yang cukup keras dapat dilakukan untuk memisahkan sel – sel
atau kumpulan kalus. Eksplan mungkin harus disuspensikan pada media cair dengan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 172


menggunakan jembatan yang dibuat dari kertas saring atau Sorba rods.
Tipe substrat dapat mempengaruhi tipe pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi,
misalnya morfologi akar.

pH media
pH media biasanya diatur 5.5 pada saat persiapan. pH media dapat mempengaruhi
kelarutan hara, pengambilan hara oleh tanaman dalam kultur dan pembekuan agar atau
pengaruh terhadap morfologi. Satu hal yang seringkali diabaikan adalah perubahan pH
pada media akibat proses pemanasan dengan autoklaf.

Lingkungan
Faktor lingkungan tuama untuk kultur adalah cahaya dan suhu, karena tingkat
kelembaban terpelihara dalam wadah tertutup. Umumnya kultur disimpan pada suhu
ruang, misalnya 20 – 25oC. Cahaya disuplai dengan lampu neon, memberikan kira –
kira 30 – 50umol m-2 s-1 irradiasi pada kultur. Iradiasi yang relative rendah ini cukup
untuk respon morfologi normal tapi tidak cukup untuk fotosintesis yang mana ini
belrumlah penting karena sukrosa masih diberikan pada media. Fotoperiode atau
panjang hari biasanya 12 -1 6 jam, kadang – kadang 24 jam.
Tempat yang cukup ternaung dalam rumah kaca atau dekat jendela kamar dapat
menjadi ruang kerja rutin skala kecil.
Pengamatan dan transfer
Kultur awal mungkin terkontaminasi, kultur lain mungkin rusak akibat proses
persiapan dan disinfestasi. Ini akan tampak dalam 2 minggu pertama kultur. Eksplan
yang selamat kemudian dapat ditransfer ke kultur yang mengandung media kompleks.
Jika produksi eksudat menjadi masalah, beberapa kali transfer ke media dasar baru
mungkin diperlukan selama periode pengembangan.
Kultur tunas mungkin menghasilkan perpanjangan tunas selama masa awal ini dan tunas
ini dapat dipotong pada saat transfer ke media baru.

PENYELAMATAN EKSPLAN TERKONTAMINASI

Bahan Ajar Kultur Jaringan 173


Jamur dan bakteri merupakan dua musuh utama yang sangat ingin kita hindari
dalam kultur jaringan. Namun apa daya mereka terkadang selalu ada mampir, tumbuh
dan berkembang di dalam botol-botol kultur. Meskipun kita telah melakukan sterilisasi
dengan bermacam-macam cara ada saja spora jamur atau sel bakteri yang luput dan
bertahan hidup. Satu spora atau satu sel tunggal bakteri akan berkembang cepat diatas
media kuljar hanya dalam hitungan hari. Jika terjadi demikian maka eksplan perlu kita
selamatkan.
Penyelamatan dilakukan dengan beberapa pertimbangan. Pertama, ketersediaan
eksplan. Jika sumber eksplan cukup banyak/ melimpah terkadang lebih baik eksplan
terkontaminasi dibuang saja tidak usah diselamatkan. Lebih baik melakukan /menanam
eksplan baru dari indukan yang banyak tadi. Namun kalo ternyata indukan hanya sedikit
misalnya hanya ada 1 atau beberapa tanaman, atau tanaman tersebut langka maka
sebaiknya dilakukan penyelamatan eksplan. Kedua, tingkat kontaminasi. Kalau
terkontaminasi sudah parah sebaiknya dibuang saja. Kalau tingkat kontaminasi masih
awal atau sedikit maka eksplan perlu kita coba selamatkan.
Jamur dan bakteri bisa dibedakan secara kasat mata. Kontaminasi jamur akan
terlihat benang-benang miselium warna putih yang memenuhi media atau bahkan
merambat sampai ke atas eksplan, terutama pada bagian eksplan yang browning/mati.
Dari sini mereka akan berkembang sangat cepat. Satu hari saja miselium sudah bisa
memenuhi botol.
Kontaminasi karena bakteri biasanya agak lambat perkembangannya sehingga
lebih bisa di atasi. Kecuali bila di media ada air yang berasal dari penguapan media
maka bakteri akan cepat berkembang. Biasanya bakteri banyak kelihatan di atas media
dan disekitar/disisi bagian eksplan yang bersentuhan langsung dengan media. Bakteri
jenisnya bermacam-macam. Secara kasat mata kelihatan titik-titik atau kelompok
berwarna coklat, coklat kekuningan atau merah pada media agar dalam botol.
Pada tanaman tertentu, kontaminasi bakteri tidak terlalu berpengaruh. Meski ada
bakteri tanaman tersebut masih tetap tumbuh. Apalagi kalau bakterinya berkembang
sangat lambat. Jadi tanaman dalam botol bisa terus tumbuh dan jika sudah berakar bisa

Bahan Ajar Kultur Jaringan 174


langsung kita aklimatisasi (pindah ke polybag/pot) saja. Berbeda dengan kontaminasi
jamur. Karena perkembanganjamur sangat cepat maka biasanya pertumbuhan eksplan
kalah cepat dan bisa menyebabkan kematian eksplan/tanaman mini dalam botol. Kecuali
jika ekplan sudah tumbuh cukup besar menjadi tanman mini/plantlet dan sudah berakar
maka bisa aklimatisasi saja.
Penyelamat eksplan baik eksplan yang baru di iniasiasi ( baru ditanam) maupun
ekpslan yang sudah lama tumbuh namun terkontaminasi bakteri atau jamur bisa
dilakukan dengan prosedur sterilisasi awal. Hanya saja mungkin dosis bahan yang
digunakan untuk sterlisasi kita perkecil mengingat ekpslan yang sudah ditanam
ukurannya lebih kecil.
Kontaminasi karena jamur lebih sulit diselamatkan daripada kontaminasi bakteri.
Jamur cepat sekali berkembang, menghasilkan benang-benang/miselium dan spora. Jika
telah terbentuk spora makan sedikit guncangan saja maka spora akan berhamburan di
dalam botol. Oleh karena itu penyelamatan eksplan terkontaminasi terutama karena
jamur perlu dilakukan secepatnya untuk mencegah spora bertambah banyak.
Caranya setelah inisiasi awal/penanaman awal setiap hari perlu dilakukan
pengamatan. Jamur dan bakteri biasanya kelihatan pada umur eksplan 3-7 hari. Pada
rentang waktu tersebut perlu diperhatikan apakan ada kontaminan. Pada kontaminasi
jamur, jika sudah terlalu banyak, ditandai dengan sudah penuhnya media dengan
miselium bahkan sampai bagian eksplan ditumbuhi jamur maka sudah sangat sulit untuk
diselamatkan. Kadang eksplan yang demikian sebaiknya dibuang saja karena kecil
kemungkinan untuk selamat dan juga hanya membuang media baru dan waktu. Jika
hanya sedikit/baru muncul jamur pada hari ke 3 atau ke 4 segera keluarkan ekpslan dari
botol, dipotong bagian yang terkena jamur, buang bagian tersebut dan sisa eksplan
ditanam kembali di media baru. Tentu saja kegiatan ini dilakukan di laminar air flow.
Trik saat pemotongan, ketika mau mengeluarkan eksplan dari botol matikan
blower sebentar (dengan memencet tombol off), keluarkan tanaman dengan pinset lalu
langsung potong dan tanam kembali eksplan di media yang telah disiapkan. Sebaiknya
dilakukan secepat mungkin dalam hitungan beberapa detik saja. Karena bila dilkukan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 175


terlalu lama udara luar akan masuk ke laminar sehingga laminar tidak steril lagi. Setelah
selesai dengan satu botol, cepat hidupkan lagi laminar (dengan memencet tombol on).
Kemudian siap- mengulangi prosedur tersebut jika ada botol lain yang terkontaminasi.
Jika jamur diperkirakan sudah mencapai banyak bagian dari ekplan maka coba
selamatkan dengan mencuci eksplan (setelah dipotong) dengan fungisida 1-2 gr/100 ml
air selama 5-10 menit. Atau dengan larutan bayclean 10 % selama 5-10 menit. Setelah
dicuci maka jangan lupa dibilas beberapa kali agar sisa fungisida/bay clean bersih dan
tidak menempel pada eksplan. Sebagai tambahan, cara membuat larutan bayclean 10 %
adalah campurkan 10 ml bayclean dengan 90 ml akuades steril, lalu disikit dikocok agar
larutan homogen.
Kontaminasi karena bakteri sedikit lebih mudah diatasi daripada kontaminasi
jamur. Beberapa hari setelah tanaman, jika ada ekpslan yang kena bakteri segera
selamatkan seperti prosedur pada kontaminasi jamur. Eksplan dipotong bagian yang
kena bakteri. Biasanya pada bagian bawah eksplan. Lalu eksplan ditanam kembali
dalam media baru. Blower laminar juga dimatikan sesaat agar bakteri tidak beterbangan
kemana-mana. Jika bakteri diperkirakan cukup banyak maka cuci dengan larutan
betadine 2 ml/100 ml air selama 5-10 menit. Setelah itu bilas beberapa kali dengan air
steril lalu ditanaman. Perlu diingat bahwa semua proses penyelamatan dilakukan di
laminar air flow.
Setelah dilakukan penyelamatan, botol disimpan kembali di ruang kultur.
Pengamatan tetap dilakukan kembali untuk melihat apakah masih terkontaminasi atau
tidak. Kemungkinan keberhasilan penyelamatan tergantung seberapa jauh kontaminasi
telah terjadi. Makin cepat/sejak awal kontaminasi dilakukan penyelamatan maka
kemungkin besar berhasil. Makin parah tingkat kontaminasi maka keberhasilan juga
makin kecil.
Bila setelah beberapa hari setelah penyelamatan, timbul kontaminasi lagi maka
bisa dilakukan penyelamat kedua. Itu jika eksplan masih bisa/cukup besar untuk
dipotong lagi. Jika tidak memungkinkan lagi untuk dipotong maka eksplan sudah tidak
bisa diselamatkan.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 176


MEDIA TANPA GULA
Sebagai catatan tambahan, penyelamatan perlu dilakukan bila eksplan
terkontaminasi dan kita rasa perlu diselamatkan. Jika memungkinkan idealnya jangan
sampai terjadi kontaminasi. Salah satu cara untuk mengecilkan resiko kontaminasi
setelah penanaman awal adalah dengan membuat media pre treatment tanpa gula.
Misalnya media MS tanpa gula. Artinya semua bahan MS digunakan kecuali gula.
Gula diperlukan eksplan sebagai sumber energi untuk tumbuh. Namun gula juga
dipergunakan bakteri dan jamur untk tumbuh. Eksplan yang ditanam di media tanpa gula
diharapkan lebih steril pada awalnya. Eksplan masih punya cadangan makanan untuk
bertahan hidup selama beberapa hari sekitar 1-2 minggu meskipun media tanpa gula.
Sementara dalam rentang waktu tersebut, jika masih ada bakteri atau jamur yang
menempel pada eksplan maka tidak bisa berkembang karena tidak adanya gula.
Setelah 1-2 minggu dan diperkirakan ekpslan tetap bersih/steril maka segera
dipindahkan ke media MS biasa yang mengandung gula dan hormon agar eksplan bisa
tumbuh seperti seharusnya.
Kontaminan endogenus – penggunaan antibiotic Larutan klorin dapat membunuh
ikroorganisme eksternal, namun tidak dapat mematikan mikroorganisme internal
(endogenus) dalam jaringan tanaman. Beberapa lab menggunakan antibiotik untuk
membunuh kontaminan endogenus. Meskipun antibiotik rutin digunakan dalam kultur
jaringan hewan, penggunaannya pada kultur jaringan tanaman kurang berhasil. Tidak
ada antibiotik yang efektif untuk membunuh semua mikroorganisme penyebab
kontaminasi. Antibiotik dan produk turunannya dimetabolisme oleh jaringan tanaman
dengan hasil yang tidak dapat diperkirakan. Menurut pandangan Taji et al. (1997),
penggunaan antibiotik sebaiknya dihindari. Adalah berbahaya untuk mengembangkan
system kultur jaringan yang berdasarkan pada penambahan antibiotik ke dalam media,
berdasarkan alasan – alasan berikut :
1. Tanaman yang dihasilkan mungkin masih memiliki endogenus kontaminan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 177


2. Dengan penggunaan antibiotik spesifik, seseorang dapat menghasilkan mutan
tertentu, tapi tidak dapat dikontrol dengan produk spesifik ini
3. Kontaminan non-patogenik dapat menjadi patogenik, bisa karena mutasi atau fisik.
Sesungguhnya, bakteri non-patogenik tanpa kompetisi dari bakteri lain dapat menjadi
ganas
4. Problem kamuflase in vitro bisa menjadi problem utama di kemudian hari pada kultur
(misalnya layu bakteri atau spot)
5. Kontaminasi bakteri dapat menjadi problem pada akhir proses perbanyakan mikro,
misalnya sulit menghasilkan akar pada tunas yang terkontaminasi.

B. Pencoklatan atau Browning


Browning/pencoklatan terjadi akibat adanya senyawa fenol yang beroksidasi dengan
ksigen (O2) membentuk senyawa kinon atau Quinon. Browning pada tahap inisiasi
dapat dicegah/dikurangi dengan cara:
• Pencucian dengan air mengalir hingga bersih.
• Penambahan arang aktif pada media.
• Penyimpanan diruang gelap pada awal inisiasi.
• Pengunaan senyawa antioksidan.
• Menghindari penggunaan sukrosa yang berlebihan.
• Menghindari Kalium yang berlebihan.
• Melakukan sub kultur secara berulang.

2) Pencoklatan/browning
Pencoklatan adalah suatu karakter munculnya warna coklat atau hitam yang
sering membuat tidak terjadinya pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Peristiwa
pencoklatan sesunggguhnya merupakan peristiwa alamiah yang biasa yang sering
terjadi.
Pencoklatan umumnya merupakan suatu tanda-tanda kemunduran fisiologi
eksplan dan tidak jarang berakhir pada kematian eksplan.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 178


Browning atau pencoklatan sering terjadi pada buah-buahan seperti peach, pear,
salak, pisang dan apel. Kitika kita memakan buah tersebut maka pada potongan sisanya
akan berubah warna menjadi ke coklatan. Dalam ilmu pangan, gejala itu dinamai reaksi
enzimatis atau browning atau pencoklatan. Yaitu, terbentuknya warna coklat pada bahan
pangan secara alami atau karena proses tertentu.
Sebaliknya, pada kelompok buah-buahan proses pencoklatan itu nampaknya tak
dikehendaki karena warnanya menjadi tidak segar.
Pada umumnya pencoklatan tersebut dibagi menjadi dua jenis yaitu, pencoklatan
enzimatis dan pencoklatan non enzimatik. Pada pencoklatan enzimatis seperti pada buah
apel dan buah lain setelah dikupas disebabkan oleh pengaruh aktivitas enzim Polypenol
Oxidase (PPO), yang dengan bantuan oksigen akan mengubah gugus monophenol
menjadi O-hidroksi phenol, yang selanjutnya diubah lagi menjadi O-kuinon. Gugus O-
kuinon inilah yang membentuk warna coklat.
Sedangkan Reaksi pencoklatan non enzimatis belum diketahui secara penuh.
Tetapi pada umumnya reaksi pencoklatan nonenzimatik yaitu karamelisasi, reaksi
Maillard, dan pencoklatan akibat Vitamin C.
Bagaimana mencegah terbentuknya warna coklat pada buah-buah itu, kita dapat
melakukannya dengan cara blanching atau pemanasan atau penambahan bahan kimia.
Penambahan SulfitLarutan sulfit bertujuan untuk mencegah terjadinya browning secara
enzimatis maupun non enzimatis, selain itu juga sulfit berperan sebagai pengawet. Sulfit
berperan sebagai :• Pencegah timbulnya warna coklatPada browning non enzimatis,
sulfit dapat berinteraksi dengan gugus karbonil yang mungkin ada pada bahan. Hasil
reaksi tersebut akan mengikat melanoidin sehingga mencegah timbulnya warna coklat.
Sedangkan pada browning enzimatis, sulfit akan mereduksi ikatan disulfida pada enzim,
sehingga enzim tidak dapat mengkatalis oksidasi senyawa fenolik penyebab browning.
• Pengawet (antimikroba)Sulfit merupakan racun bagi enzim, dengan menghambat kerja
enzim esensial. Sulfit akan mereduksi ikatan disulfida enzim mikroorganisme, sehingga
aktivitas enzim tersebut akan terhambat. Dengan terhambatnya aktivitas enzim, maka
mikroorganisme tidak dapat melakukan metabolisme dan akhirnya akan mati.Sulfit akan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 179


lebih efektif dalam bentuk yang bebas atau tidak terdisosiasi, sehingga sebelum
digunakan sulfit dipanaskan terlebih dahulu. Selain itu, sulfit yang tidak terdisosiasi
akan lebih terbentuk pada pH rendah (2,5 - 4), dan pada pembuatan manisan bengkoang
ini, pH rendah atau suasana asam diperoleh dari penambahan asam sitrat
Pemberian Asam sitratAsam sitrat adalah asam trikarboksilat yang tiap
molekulnya mengandung tiga gugus karboksilat. Selain itu ada satu gugus hidroksil
yang terikat pada atom karbon di tengah. Asam sitrat termasuk asidulan, yaitu senyawa
kimia yang bersifat asam dan ditambahkan pada proses pengolahan makanan dengan
berbagai tujuan. Asidulan dapat bertindak sebagai penegas rasa dan warna atau
menyelubungi after taste yang tidak disukai. Sifat senyawa ini dapat mencegah
pertumbuhan mikroba dan bertindak sebagai pengawet. Asam sitrat (yang banyak
terdapat dalam lemon) sangat mudah teroksidasi dan dapat digunakan sebagai pengikat
oksigen untuk mencegah buah berubah menjadi berwarna coklat. Ini sebabnya mengapa
bila potongan apel direndam sebentar dalam jus lemon, warna putih khas apel akan lebih
tahan lama. Asam ini ditambahkan pada manisan buah dengan tujuan menuru nkan pH
manisan yang cenderung sedang sampai di bawah 4,5. dengan turunnya pH maka
kemungkinan mikroba berbahaya yang tumbuh semakin kecil. Selain itu pH yang rendah
akan mendisosiasi sulfit dan benzoat menjadi molekul-molekul yang aktif dan efektif
menghambat mikroorganisme.Jika dalam manisan : Caranya, setelah dikupas dan
dipotong-potong, buah apel direndam dalam air panas (suhu 82 - 93 derajat Celcius) atau
dikenai uap air panas selama 3 menit. Selanjutnya, direndam dalam larutan jeruk
lemon/asam sitrat/vitamin C. Maksudnya, untuk menonaktifkan enzim penyebab
pencoklatan itu.

C. Vitrivikasi
Istilah virtifikasi saat ini digunakan untuk menjelaskan dua macam proses yang
berkaitan dengan bahan tanaman yang dikulturkan secara in vitro. Pertama, digunakan
terhadap ketidaknormalan morfologi serta fungsi fisiologis dari organ dan jaringan
tertentu. Kedua, yaitu transisi dari keadaan cair ke keadaan padat, seperti terbentuknya

Bahan Ajar Kultur Jaringan 180


es selama proses kreoperservasi. Penggunaan istilah yang serupa terhadap dua proses
yang sangat berbedapada bidang penilitian yang sama, dapat menimbulkan kerancuan
dan pemahaman yang keliru. Oleh karena itu, Debergh et al. (1992) menganjurkan
penggunaanistilah vitrifikasi hanyaterhadap konteks kedua diatas. Istilah hiperhidrisitas
(hyperhydricity) diusulkan sebagai istilah pengganti vitrifikasi untuk menjelaskan
material tanaman dengan morfologidan fisiologi yang tidak normal.
Selain istilah yang dikemukakan oleh Debergh et a.l (1992), Rice et al. (1992)
menyatakan bahwa istilah vitrifikasi berkaitan dengan timbulnya gejala tembus cahaya
(glossy translucent) pada pucuk-pucuk yang dikulturkan secara in vitro. Perkembangan
yang tidak normal tersebut dapat menimbulkan hambatan pada perbanyakan tanaman
melalui teknik kultur jaringan, karena pucuk-pucuk umumnya sulit berproliferasi dan
mati pada saat aklimatisasi. Selanjutnya, Warren (1991a) mencacat bahwa vitrifikasi
dapat mengakibatkan kematian pada jaringan yang dikulturkan. Oleh karena itu, pierik
(1997) mengungkapkan bahwa veritifikasi adalah salah satu hambatan dalam penyebar
luasan penerapan teknik kultur jaringan untuk perbanyakan tanaman.
Beberapa faktor penyebab terjadinya vitrifikasi, yaitu tingkat kosentrasi sitokinin
yang terlalu tinggi, rendahnya potensial matriks, dan meningkatnya kosentrasi etilen
didalam wadah kultur (Kevers et al., 1984). Werren (Werren, 1991b) menyatakan bahwa
veritifikasi merupakan konsekkuensi dari rendahnya kandungan lilin pada jaringan
tanaman yang dihasilkan. Rendahnya penumpukan tertutup rapat atau dapat pula
diakibatkan pula oleh penghambatan biosintesis lilin oleh kisaran hormon yang
dibutuhkan untuk regenerasi tanaman. Terjadinya vitrifikasi berkaitan pula dengan kadar
ammonium dan kandungan uap air didalam wadah kultur (Rice et al., 1992).
Berkaitan dengan terjadinya vitrifikasi pada daun, sejumlah jalan keluar telah
diusulkan oleh beberapa peneliti. Wilkins dan Dodds (1983) menganjurkan
pemeliharaan kultur Prunus dan malus pada suhu 3-4oC selama 3-4 minggu bersamanya
denga menghilangkan BAP dari medium kultur serta membuang daun-daun untuk
mengunrangi frekuensi vitrifikasi. Selanjutnya, peningkatan kosentrasi bahan pemadat
medium (agar) dapat memperbaiki keadaan dengan menurunkan kadar air dan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 181


mengurangi penyerapan sitokinin (Vietez el al., 1985). Akan tetapi, hal itu
mengakibatkan terhambatnya laju pertumbuhan eksplan. Han et al. (1991)
menganjurkan peningkatan rasio antara nitra dan ammonium untuk mengerangi
vitrifikasi pada planet Gypsophila paniculata. Fentilasi wadah kultur pun berpengaruh
pada perkembangan kultur melalui peningkatan difusi air dan pelepasan metabolit
sekunder, seperti etilen keluar dari wadah kultur (Rice at el., 1992). Pemberian
paclobutrazol dianjurkan oleh Smit (1992) untuk mengunrangi vitrifikasi pada kultur
jaringan Chrysanthemum, Rosa, dan Vitis.
Vitrifikasi adalah suatu istilah problem pada kultur yang ditandai dengan:
* Munculnya pertumbuhan dan pertumbuhan yang tidaknormal.
* Tanaman yang dihasikan pendek-pendek atau kerdil.
* Pertrumbuhan batang cenderung ke arah penambahan diameter
* Tanaman utuhnya menjadi sangat turgescent.
* Pada daunnya tidak memiliki jaringan pallisade.

D. Variabilitas genetik
Bila kultur jaringan digunakan untuk upaya perbanyakan tanaman yang seragam dalam
jumlah yang banyak, dan bukan sebagai upaya pemuliaan tanaman maka variasi genetik
adalah kendala. Variasi genetik dapat terjadi pada kultur in vitro karena:

1.Laju multiflikasi yang tinggi, variasi terjadi karena terjadinya sub kultur berulang
yang tidak terkontrol

2. Penggunaan teknik yang tidak sesuai.

Variasi genetik yang paling umum terjadi pada kultur kalus dan kultur suspensi sel,

hal tersebut terjadi karena munculnya sifat instabilitas kromosom mungkin akibat

teknis kultur, media atau hormon. Cara mengatasi problem variasi genetik

tentunya tidak sederhana, harus memperhatikan aspek yang dikulturkan.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 182


Keragaman genetik yang tinggi merupakan salah satu faktor penting untuk
merakit varietas unggul baru. Peningkatan keragaman genetik dapat dilakukan dengan
memanfaatkan plasma nutfah yang tersedia di alam dan dapat pula dengan melakukan
persilangan. Sifat-sifat tertentu sering tidak ditemukan pada sumber gen yang ada
sehingga teknologi lainnya perlu diterapkan.
Salah satu teknologi pilihan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
keragaman genetik tanaman adalah melalui teknologi kultur in vitro. Kultur in vitro
biasanya merupakan sumber terkaya dalam memproduksi variasi genetik. Dalam
beberapa publikasi penggunaan regeneran dinamakan sesuai dengan asal regenerasi
tanaman baru tersebut. Misalnya tanaman yang berasal dari kalus disebut calliclones
(Skirvin dan Janik 1976), sedang tanaman yang berasal dari protoplas disebut
protoclones (Shepard et al. 1980). Larkin dan Scowcroft (1981) menghasilkan berbagai
variasi somaklonal yang tersebar secara luas dan disebutkan bahwa tanaman yang
berasal dari berbagai bentuk kultur sel disebut somaclones dan variasi genetik yang
terjadi termasuk variasi/keragaman somaklonal.
Keragaman somaklonal adalah keragaman genetik yang dihasilkan melalui kultur
jaringan (Larkin dan Scowcroft 1981; Scowcroft et al. 1985). Menurut Wattimena
(1992) keragaman somaklonal berasal dari keragaman genetik eksplan dan keragaman
genetik yang terjadi di dalam kultur jaringan. Keragaman pada eksplan disebabkan
adanya sel-sel bermutasi maupun adanya polisomik dari jaringan tertentu. Keragaman
genetik yang terjadi di dalam kultur jaringan disebabkan oleh penggandaan jumlah
kromosom (fusi endomitosis), perubahan struktur kromosom (pindah silang), perubahan
gen dan sitoplasma (Evans dan Sharp 1986; Ahlowalia 1986). Dengan demikian, dari
kultur jaringan dapat diseleksi genotipe yang berguna bagi pemuliaan tanaman.
Keragaman genetik dapat dicapai antara lain melalui fase tak berdiferensiasi yang relatif
panjang (Wattimena 1992). Daud (1996) menyatakan bahwa mutasi spontan yang terjadi
pada sel somatik berkisar antara 0,2-3%. Keragaman tersebut dapat ditingkatkan dengan
pemberian mutagen baik fisik maupun kimiawi.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 183


Salah satu metode keragaman somaklonal yang banyak dimanfaatkan adalah
seleksi in vitro. Metode tersebut lebih efektif dan efisien karena perubahan lebih
diarahkan pada perubahan sifat yang diharapkan. Perubahan sifat genetik pada sel
somatik yang dikulturkan sering membentuk tanaman mutan baru walaupun tanpa diberi
perlakuan mutagen (Linaceru dan Vazquez 1992; Starys 1992). Perubahan sifat genetik
tersebut akan meningkat apabila ke dalam media diberikan komponen organik tertentu
yang dapat memunculkan variasi genetik. Untuk ketahanan terhadap faktor biotik dan
abiotik, ke dalam media diberikan komponen seleksi. Untuk ketahanan terhadap
kekeringan, diberikan PEG (Short et al. 1987; Adkins et al. 1995). Senyawa tersebut
telah digunakan pada tanaman padi, anggur, dan sorgum (Adkins et al. 1995; Duncan et
al. 1995; Dami dan Hughes 1997). Untuk ketahanan terhadap aluminium (Al), diberikan
Al dan pH rendah. Melalui teknik ini, telah dihasilkan somaklon baru yang tahan lahan
masam pada kedelai (Mariska et al. 2004), juga pada kentang dan tomat (Starvarek dan
Rains 1984) serta sorgum(Smith et al. 1983).
Menurut Ahlowalia dan Maluszynski (2001) penggunakan radiasi seperti sinar X,
Gamma, dan neutrons serta mutagen kimiawi untuk menginduksi variasi pada tanaman
telah banyak dilakukan. Induksi mutasi telah digunakan untuk peningkatan variasi
tanaman penting seperti gandum, padi, barley, kapas, kacang tanah, dan kacang-
kacangan
Lainnya yang diperbanyak melalui biji.
Seleksi in vitro telah banyak dimanfaatkan untuk ketahanan terhadap faktor
biotik seperti patogen. Toksin murni dan filtrat umumnya digunakan untuk komponen
seleksi. Apabila toksin tidak diketahui atau kurang efektif maka filtrat dapat digunakan
dan di samping itu, harganya lebih murah. Penggunaan filtrat atau toksin untuk
ketahanan terhadap penyakit telah dilakukan pada tanaman persik, pir (Nagatomi 1996),
tomat (Toyoda et al. 1984) dan Vitis vinivera (Jayasankar et al. 1998). Hasil penelitian
tersebut menunjukkan adanya korelasi antara sel somatik yang sensitif terhadap filtrat
atau toksin dengan tanaman (hasil regenerasi) yang tahan penyakit. Di samping itu, sifat
tahan penyakit yang ditimbulkan karena keragaman somaklonal diwariskan pada

Bahan Ajar Kultur Jaringan 184


turunannya.
Muller et al. (1990) juga mengatakan bahwa variasi somaklonal pada tanaman yang
dihasilkan dari kultur jaringan dapat digunakan untuk meregenerasikan kultivar baru.
Dua tipe umum pada variasi ploidi, yaitu poliploidi dan aneuploidi sering ditemukan
pada kultur jaringan sel (Roy 1990). Di antara faktor-faktor yang mempengaruhi
frekuensi dan spektrum variasi somaklonal, zat pengatur tumbuh memegang peranan
penting dalam induksi beberapa perubahan di dalam kromosom (Nair dan Seo 1995
dalam Do et al. 1999). Dengan terbuktinya bahwa keragaman somaklonal dapat
membentuk variasi baru maka metode tersebut diaplikasikan pada tanaman hortikultura,
pangan, dan industri.

E. Pertumbuhan & perkembangan


Problem utama berkaitan dengan proses pertumbuhan adalah bila eksplan yang
ditanam mengalami stagnasi, dari mulai tanam hingga kurun waktu tertentu tidak mati
tetapi tidak tumbuh Untuk menghindari hal itu dapat dilakukan dengan preventif
menghindari bahan tanam yang tidak juvenil atau tidak meristematik. Karena awal
pertumbuhan eksplan akan dimulai dari sel-sel yang muda yang aktif membelah, atau
dari sel-sel tua yang muda kembali. Media juag dapat menjadi sebab terjadinya stagnasi
pertumbuhan, karena dari kondisi medialah suatu sel dapat atau tidak terdorong
melakukan proses pembelahan dan pembesaran dirinya.
Pada proses klutur jaringan yang bersifa inderict embriogenesis, tahapan
pembentukan kalus harus dilanjutkan dengan mendorong induksi embriosomatik dari
sel-sel kalus. Terjadinya embrio somatik dapat secara endogen atau eksogen.
JATI KULTUR JARINGAN
Jati (Tectona grandis) merupakan tanaman keras yang mempunyai daur hidup
yang sangat panjang, sehinga pemanenan kayu baru dapat dilakukan di atas 40 tahun.
Namun dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang
pemuliaan tanaman dengan menggunakan bioteknologi tanaman, sekarang ini telah
ditemukan jenis-jenis tanaman Jati Kultur Jaringan yang dapat dipanen lebih cepat (15

Bahan Ajar Kultur Jaringan 185


sampai 20 tahun) dengan mutu kayu dapat diterima di pasaran baik nasional maupun
internasional.
SEAMEO BIOTROP sejak tahun 2000 memproduksi bibit tanaman jati dengan teknik
kultur jaringan, sehingga diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pasar bibit jati di
Indonesia.

Persyaratan Tumbuh Jati Kultur


Jaringan tumbuh sangat baik di iklim tropis Indonesia, terutama di daerah-daerah yang
tanahnya banyak mengandung kapur. Selain itu tanaman ini juga tumbuh di daerah yang
memiliki musim kering yang nyata (3 - 5 bulan), curah hujan 1.500 - 2.000 mm/tahun
dan temperatur 27 - 36oC. Jati Kultur Jaringan dapat tumbuh baik pada dataran rendah
sampai dataran tinggi sampai ketinggian 800 m dpl. Tanah yang baik yaitu tanah aluvial
dengan pH 4.5 - 7 dan yang terpenting tidak tergenang air.
Perbandingan Pertumbuhan Jati Kultur Jaringan dan Jati Konvensional

 Pertumbuhan Jati Kultur Jaringan seragam.


 Volume kayu yang dihasilkan kurang lebih 3 kali lebih besar dibandingkan Jati
konvensional.

Tahun Pertumbuhan Pohon Jati

Konvensional Kultur Jaringan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 186


Tinggi (m) 4.0 16.0
5
Diameter (cm) 3.5 27.5

Tinggi (m) 6.0 17.0


10
Diameter (cm) 8.0 34.0

Tinggi (m) 12.0 20.0


15
Diameter (cm) 17.0 40.0

Cara Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman

1. Jarak tanam untuk sistem monokultur adalah 2 m x 2.5 m, sehingga populasi per
hektar adalah 2000 tanaman. Penjarangan dilakukan 2 kali, yaitu pertama
dilakukan pada tahun ke 5 - 7 sebanyak 1000 pohon, sedangkan yang kedua
dilakukan pada tahun ke 10 - 12 sebanyak 350 pohon. Sedangkan jarak tanam
untuk sistem tumpang sari adalah 3 m x 6 m (555 pohon/ha).
2. Lubang tanaman dibuat dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 40 cm (p x l x d). Pada
2 minggu sebelum tanam lubang diberi 2 kg pupuk kandang dan 100 gr dolomit.
Penanaman dilakukan dengan meletakkan bibit ditengah-tengah lubang tanam,
kemudian ditimbun sampai dengan leher batang berada pada permukaan tanah.
3. Pemupukan dilakukan pada saat penanaman, 3 bulan dan 6 bulan setelah
penanaman, selanjutnya setiap enam bulan sekali hingga tahun ke-2. Pemupukan
dilakukan dengan memberikan 100 - 200 gram NPK per pohon.
4. Kebersihan dari gulma seluas canopy harus dijaga dengan melakukan
pendangiran 3 bulan dan 6 bulan setelah penanaman pada saat akan melakukan
pemupukan.
5. Pruning, pemangkasan tunas samping dilakukan sampai ketinggian 6 m dari
permukaan tanah.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 187


F. Pra perlakuan
Masalah pada kegiatan in vitro bukan hanya dari penanaman eksplan saja,
pertumbuahn dan perkembangannya dlama botol saja tetapi juga sangat bisa dipengaruhi
oleh persyaratan kegiatan prapelakuan. Pada kasus ini masalah akan muncul bila
kegiatan prapelakuaan tidak dilakukan.

Prapelakuan dilakukan umumnya untuk tujuan-tujuan tertentu, secara umum


adalah dalam rangka menghilangkan hambatan. Hambatan apat berupa hambatan
kemikalis, fisik, biologis. Hambatan berupa bahan kimia penanganannya harus dimulai
dari pengenalan senyawa aktif, potensi gangguan, proses reaksi dan alternatif
pengelolaannya.Hambatan fisik umumnya terjadi pada eksplan yang memiliki pelindung
fisik yang kuat (kulit yang sangat keras) misalnya pada biji-bijian; adanya bagian-bagian
yang tidak diperlukan, misalnya pada kultur polen, kultur meristem dome, sehingga
pendekatan mengatasinya yaitu dengan menghilangkan pelindung atau bagian-bagian
yang tidak diperlukan dalam kultur. Hambatan biologis salah satunya berkaitan dengan
kasus kontaminasi. Mikroba hampir dapat dipastikan ada dimana-mana dalam tubuh
organisme, padahal syarat kultur in vitro adalah budidaya terkendali (aseptik).

Pendekatan awal untuk mengurangi resiko ini harus selalu diupayakan.


Mengurangi kemungkinan adanya kontaminasi pada eksplan yang diambil dari alam
dapat dilakukan dengan menumbuhkembangkannya di rumah kaca. Hambatan biologis
juga dapat menyangkut juvenilitas bahan tanam, mendapatkan tunas-tunas muda
kadang-kadang tidak mudah. Untuk mengatasi ini kegiatan praperlakuan dengan cara
melakukan juvenilisasi pada tanaman sumber terbukti efektif. Caranya dengan
memangkas batang tanaman sumber hingga dari bagian pangkasan tersebut terdorong
munculnya banyak tunas.

G. Lingkungan mikro
Masalah lingkungan inkubator juga tidak bisa diabaiakan karena ini juga sering
menjadi masalah. Suhu ruangan inkubator sangat menentukan optimasi pertumbuhan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 188


eksplan, suhu yang terlalu rendah aatau tinggi dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan pada eksplan.
Kebutuhan antara satu tananaman dengan tanaman yang lain berbeda, namun
demikian solusinya sulit dilakukan mengingat umumnya ruangan inkubator suatu
ruangan laboratorium kultur jaringan tidak bisa dibuat variasi antara satu ruangan
dengan bagian ruangan yang lainnya. Sehingga optimasi pertumbuhan tidak bisa
diharapkan sama antara kultur yang satu dengan kultur yang lain.
Kultur adalah budidaya dan jaringan adalah sekelompok sel yang mempunyai
bentuk dan fungsi yang sama. jadi, kultur jaringan berarti membudidayakan suatu
jaringan tanaman menjadi tanaman kecil yang mempunyai sifat seperti induknya.
Manfaat dari teknik kultur jaringan tanaman ini diharapkan juga memperoleh
tanaman baru yang bersifat unggul. Dalam kegiatan kultur jaringan perlu memerlukan
bahan-bahan yang dibutuhkan dalam proses kegiatan kultur jaringan. Bahan-bahan yang
digunakan dalam kegiatan kultur jaringan diantaranya:
Unsur hara makro dan mikro yaitu Zat Pengatur tumbuh, Aquades, Vitamin,
Agar, Gula, Ekstrak-ekstrak organik (ekstrak air kelapa, ekstrak tomat, dll).

Lingkungan Tumbuh
a)Suhu.
Tanaman umumnya tumbuh pada lingkungan dengan suhu yang tidak sama
setiap saat, misalnya pada siang dan malam hari tanaman mengalami kondisi dengan
perbedaan suhu yang cukup besar. Keadaan demikian bisa dilakukan dalam kultur
invitro dengan mengatur suhu siang dan malam di ruang kultur, namun laboratorium
kultur jaringan selama ini mengatur suhu ruang kultur yang konstant baik pada siang
maupun malam hari. Umumnya temperatur yang digunakan dalam kultur in vitro lebih
tinggi dari kondisi suhu invivo. Tujuannya adalah untuk mempercepat pertumbuhan dan
morfogenesis eksplan.
Pada sebagian besar laboratorium, suhu yang digunakan adalah konstan, yaitu
25°C (kisaran suhu 17-32°C). Tanaman tropis umumnya dikulturkan pada suhu yang

Bahan Ajar Kultur Jaringan 189


sedikit lebih tinggi dari tanaman empat musim, yaitu 27°C (kisaran suhu 24-32°C). Bila
suhu siang dan malam diatur berbeda, maka perbedaan umumnya adalah 4-8°C, variasi
yang biasa dilakukan adalah 25°C siang dan 20°C malam, atau 28°C siang dan 24°C
malam. Meskipun hampir semua tanaman dapat tumbuh pada kisaran suhu tersebut,
namun kebutuhan suhu untuk masing-masing jenis tanaman umumnya berbeda-beda.
Tanaman dapat tumbuh dengan baik pada suhu optimumnya. Pada suhu ruang kultur
dibawah optimum, pertumbuhan eksplan lebih lambat, namun pada suhu diatas optimum
pertumbuhan tanaman juga terhambat akibat tingginya laju respirasi eksplan.

b)Kelembaban relatif.
Kelembaban relatif dalam botol kultur dengan mulut botol yang ditutup
umumnya cukup tinggi, yaitu berkisar antara 80-99%. Jika mulut botol ditutup agak
longgar maka kelembaban relatif dalam botol kultur dapat lebih rendah dari 80%.
Sedangkan kelembaban relatif di ruang kultur umumnya adalah sekitar 70%. Jika
kelembaban relatif ruang kultur berada dibawah 70% maka akan mengakibatkan media
dalam botol kultur (yang tidak tertutup rapat) akan cepat menguap dan kering sehingga
eksplan dan plantlet yang dikulturkan akan cepat kehabisan media. Namun kelembaban
udara dalam botol kultur yang terlalu tinggi menyebabkan tanaman tumbuh abnormal
yaitu daun lemah, mudah patah, tanaman kecil-kecil namun terlampau sukulen. Kondisi
tanaman demikian disebut vitrifikasi atau hiperhidrocity. Sub-kultur ke media lain atau
menempatkan planlet kecil ini dalam botol dengan tutup yang agak longgar, tutup
dengan filter, atau menempatkan silica gel dalam botol kultur dapat membantu
mengatasi masalah ini.
c) Cahaya.
Seperti halnya pertumbuhan tanaman dalam kondisi invivo, kuantitas dan
kualitas cahaya, yaitu intensitas, lama penyinaran dan panjang gelombang cahaya
mempengaruhi pertumbuhan eksplan dalam kultur invitro. Pertumbuhan organ atau
jaringan tanaman dalam kultur invitro umumnya tidak dihambat oleh cahaya, namun
pertumbuhan kalus umumnya dihambat oleh cahaya.

Bahan Ajar Kultur Jaringan 190


Pada perbanyakan tanaman secara invitro, kultur umumnya diinkubasikan pada
ruang penyimpanan dengan penyinaran. Tunas-tunas umumnya dirangsang
pertumbuhannya dengan penyinaran, kecuali pada teknik perbanyakan yang diawali
dengan pertumbuhan kalus. Sumber cahaya pada ruang kultur ini umumnya adalah
lampu flourescent (TL). Hal ini disebabkan karena lampu TL menghasilkan cahaya
warna putih, selain itu sinar lampu TL tidak meningkatkan suhu ruang kultur secara
drastis (hanya meningkat sedikit). Intensitas cahaya yang digunakan pada ruang kultur
umumnya jauh lebih rendah (1/10) dari intensitas cahaya yang dibutuhkan tanaman
dalam keadaan normal. Intensitas cahaya dalam ruang kultur untuk pertumbuhan tunas
umumnya berkisar antara 600-1000 lux. Perkecambahan dan inisiasi akar umumnya
dilakukan pada intensitas cahaya lebih rendah.
Selain intensitas cahaya, lama penyinaran atau photoperiodisitas juga
mempengaruhi pertumbuhan eksplan yang dikulturkan. Lama penyinaran umumnya
diatur sesuai dengan kebutuhan tanaman sesuai dengan kondisi alamiahnya. Periode
terang dan gelap umumnya diatur pada kisaran 8-16 jam terang dan 16-8 jam gelap
tergantung varietas tanaman dan eksplan yang dikulturkan. Periode siang/malam
(terang/gelap) ini diatur secara otomatis menggunakan timer yang ditempatkan pada
saklar lampu pada ruang kultur. Dengan teknik ini penyinaran dapat diatur konstan
sesuai kebutuhan tanaman.
H. Harapan ekonomi
Kultur jaringan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk membuat
bagian tanaman (akar, tunas, jaringan tumbuh tanaman) tumbuh menjadi tanaman utuh
(sempurna) dikondisi invitro (didalam gelas). Secara Detail Kultur jaringan merupakan
suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel,
sekelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya dalam keadaan aseptik,
sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi
tanaman utuh kembali.
Keuntungan dari kultur jaringan lebih hemat tempat, hemat waktu, dan tanaman
yang diperbanyak dengan kultur jaringan mempunyai sifat sama atau seragam dengan

Bahan Ajar Kultur Jaringan 191


induknya. Pada prinsipnya semua jenis tanaman dapat diperbanyak melalui kultur
jaringan, namun yang lazim diperbanyak secara kultur jaringan adalah tanaman yang
memiliki nilai ekonomi dan kualitas tinggi dan lebih sukar diperbanyak secara generatif
dan konvensional. contohnya adalah kelompok hias (anggrek, mawar, krisan, aglonema
dll), tanaman hutan dan perkebunan (jati, kelapasawit, karet dll).
Anggapan orang selama ini bahwa teknik kultur jaringan sangat sulit dilakukan
oleh orang awam dan biayanya sangat mahal tidak betul. Teknologi ini pada awalnya
memang hanya dilakukan di kalangan perguruan tinggi dengan menggunakan peralatan
yang canggih dan mahal. Tujuan kultur jaringan banyak sekali, diantaranya adalah untuk
mendapatkan tanaman bebas penyakit/virus, mendapatkan tanaman yang tahan terhadap
stres tertentu (stres kekeringan, stres salinitas, dll). Selain itu juga untuk menyelamatkan
tanaman langka agar tidak punah dan juga untuk memperbanyak tanaman dalam jumlah
banyak. Tujuan terakhir inilah yang rupanya saat ini menarik perhatian banyak orang.
Di negara-negara tetangga kita, kultur jaringan sudah bukan hal yang asing lagi.
Teknologi ini sudah dikenalkan pada para petani sejak lama, sehingga mereka sangat
leluasa untuk menghasilkan produk2 tanaman yang berkualitas bagus. Sekarang ini
banyak bibit-bibit tanaman hias hasil kultur jaringan yang masuk ke Indonesia, sebut
saja : Aglaonema, anthurium, calladium, anggrek, dll.

2.2. Tugas
Carilah informasi melalui internet yang akan menambah wawasan anda tentang
masalah-masalah dalam kultur jaringan misalnya kontaminasi, pencoklatan, vitrivikasi
dan sebagainya. Selanjutnya lacak juga informasi tentang bagaimana cara
menanggulangi masalah-masalah tersebut. Buatlah laporan singkat dari informasi yang
anda dapat
2.3 Latihan
Untuk memantapkan pemahaman anda tentang masalah-masalah dalam kultur jaringan,
maka selesaikanlah soal-soal latihan berikut;
1. Jelaskan dari mana saja sumber kontaminan yang dapat menyebabkan terjadinya

Bahan Ajar Kultur Jaringan 192


kontaminasi pada kultur yang kita lakukan
2. Jelaskan manfaat ekonomi yang dapat dirasakan oleh suatu negara yang
mengembangkan teknik kultur jaringan

3. Penutup
3.1 Rangkuman
Kontaminasi dapat berasal dari beberapa penyebab sebagai berikut: sterilisasi
media yang kurang sempurna, lingkungan kerja dan pelaksanaan/cara kerja saat
penanaman, eksplan, molekul-molekul atau benda-benda asing berukuran kecil yang
jatuh atau masuk ke dalam botol kultur setelah penanaman dan ketika diletakkan di
ruang kultur.
Kultur yang telah terkontaminasi dapat diselamatkan dengan metode berikut:
1. Buka wadah yang berisi kultur terkontaminasi dan isi penuh dengan larutan 0.5 –

1% w/v sodium hypochlorite

2. Biarkan selama 1- - 50 menit tergantung pada keganasan kontaminasi atau

sensitivitas bahan tanaman

3. Keluarkan kultur dari larutan kloring, potong bagian dasar dan buang daun –daun

yang berlebihan

4. Transfer ke media kultur yang baru

Penyelamatan dilakukan dengan beberapa pertimbangan. Pertama, ketersediaan


eksplan. Jika sumber eksplan cukup banyak/ melimpah terkadang lebih baik eksplan
terkontaminasi dibuang saja tidak usah diselamatkan. Lebih baik melakukan /menanam
eksplan baru dari indukan yang banyak tadi. Namun kalo ternyata indukan hanya sedikit
misalnya hanya ada 1 atau beberapa tanaman, atau tanaman tersebut langka maka
sebaiknya dilakukan penyelamatan eksplan. Kedua, tingkat kontaminasi. Kalau

Bahan Ajar Kultur Jaringan 193


terkontaminasi sudah parah sebaiknya dibuang saja. Kalau tingkat kontaminasi masih
awal atau sedikit maka eksplan perlu kita coba selamatkan.
Browning/pencoklatan terjadi akibat adanya senyawa fenol yang beroksidasi dengan
ksigen (O2) membentuk senyawa kinon atau Quinon. Browning pada tahap inisiasi
dapat dicegah/dikurangi dengan cara:
• Pencucian dengan air mengalir hingga bersih.
• Penambahan arang aktif pada media.
• Penyimpanan diruang gelap pada awal inisiasi.
• Pengunaan senyawa antioksidan.
• Menghindari penggunaan sukrosa yang berlebihan.
• Menghindari Kalium yang berlebihan.
• Melakukan sub kultur secara berulang.
Variasi genetik dapat terjadi pada kultur in vitro karena:

1.Laju multiflikasi yang tinggi, variasi terjadi karena terjadinya sub kultur berulang
yang tidak terkontrol

2. Penggunaan teknik yang tidak sesuai.

Vitrifikasi adalah suatu istilah problem pada kultur yang ditandai dengan:
* Munculnya pertumbuhan dan pertumbuhan yang tidaknormal.
* Tanaman yang dihasikan pendek-pendek atau kerdil.
* Pertrumbuhan batang cenderung ke arah penambahan diameter
* Tanaman utuhnya menjadi sangat turgescent.
* Pada daunnya tidak memiliki jaringan pallisade

3.2 Tes Formatif


1. Jelaskan apa yang anda ketahui tentang kontaminasi, dapat kontaminasi itu diatasi?
2. Uraikan apa yang anda ketahui tentang pencoklatan/browning
3. Jelaskan cara pencegahan atau pengurangan browning pada tahap inisiasi
4. Bagaimanakah tanda-tanda vitrivikasi pada tanaman yang kita kulturkan?

Bahan Ajar Kultur Jaringan 194


3.3 Kunci Jawaban
1. Gunakan uraian tentang kontaminasi untuk menjawab pertanyaan ini
2. Untuk soal nomor 3 dan nomor 4 gunakan uraian tentang pencoklatan
3. Menjawab pertanyaan ini lihaturaian tentang vitrivikasi

Tindak Lanjut
1. Apabila mahasiswa dapat menyelesaikan 80 % dari test formatif di atas, ia dapat
melanjutkan mempelajari lanjutan perkuliahan ini karena pengetahuan tentang bab ini
merupakan dasar untuk memahami uraian pada bab-bab selanjutnya.
2. Apabila mereka belum mencapai penguasaan 80 % mereka danjurkan:
a. Mempelajari kembali dari awal bahasan di atas;
h. Konsultasi dengan asisten dan dosen.

Kepustakaan.
1. Santoso U dan Fatimah Nursandi, 2004. Kultur Jaringan Tanaman, UMM Press.
Malang
2. Margono, 2003. Kultur Jaringan Tumbuhan, Depdiknas
3. Suryowinoto, 1993, Pemuliaan Tanaman Secara In Vitro, UGM, Yogyakarta
Publishing
5. Zulkarnain, H. 2009, Kultur Jaringan Tanaman, Bumi Aksara, Jakarta
Senarai
- Kontaminasi; proses masuknya suatu substansi atau mikroba atau virus
atau unsur lain ke dalam suatu medium
- Browning/pencoklatan; suatu karakter munculnya warna coklat atau
hitam yang sering membuat tidak terjadinya pertumbuhan dan
perkembangan eksplan.
- Vitrifikasi; istilah problem pada kultur yang ditandai dengan antara lain
munculnya pertumbuhan dan perkembangan yang tidak normal, tanaman
yang dihasilkan pendek-pendek atau kerdil sering tidak mempunyai

Bahan Ajar Kultur Jaringan 195


internodus, pertumbuhan batang cenderung kepada penambahan diameter
, daun cenderung melebar pada bagian pangkal dan sebagainya

Bahan Ajar Kultur Jaringan 196


Bahan Ajar Kultur Jaringan 197

Anda mungkin juga menyukai