Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dengan berakhirnya kekuasaan khalifah Ali Ibn Abi Thalib, maka
lahirlah kekuasaan dinasti bani Umayyah. Pada periode Ali dan khalifah
sebelumnya, pola kepemimpinan masih mengikuti keteladanan Nabi. Para
khalifah dipilih melalui proses musyawarah. Ketika mereka menghadapi
kesulitan-kesulitan, maka mereka mengambil kebijakan langsung melalui
musyawarah dengan para pembesar lainnya.
Hal ini jauh berbeda dengan masa sesudah khulafaur rasyidinatau
masa dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya, yang dimulai pada masa
dinasti bani Umayyah. Adapun bentuk pemerintahannya adalah berbentuk
kerajaan, kekuasaan bersifat feodal, atau turun temurun. Untuk
mempertahankan kekuasaan, khalifah berani bersifat otoriter, adanya unsur
kekerasan, diplomasi  daya, serta hilangnya musyawarah dalam pemilihan
khalifah.
Umayyah berkuasa kurang lebih selama 91 tahun. Reformasi cukup
banyak terjadi, terkait pada bidang pengembangan dan kemajuan pendidikan
Islam. Perkembangan ilmu tidak hanya dalam bidang agama semata,
melainkan juga dalam dalam aspek teknologinya. Sementara sistem
pendidikan masih sama ketika masa Rasul dan khulafaur rasyidin,
yaitu kuttab yang pelaksanaanya berpusat dimasjid.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah ?
2. Bagaimana Pendidikan Islam Pada Masa Dinasti Umayyah?
3. Bagaimana Perkembangan Pendidikan Pada Masa Dinasti Umayyah?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah


Nama dinasti Umayyah dinisbatkan kepada Umayyah bin Abd Syams
sebagai keturunan Abdu Manaf. Ia adalah seorang tokoh penting ditengah
Quraisy pada masa Jahiliyah. Ia dan pamannya Hasyim bin Abdu Manaf
selalu bertarung dalam memperebutkan kekuasaan dan kududukan.1
Muawiyah adalah pendiri dinasti Umayyah, ia merupakan putra dari
Abu Sufyan Ibn Harb Ibn Umayyah Ibn Abd Syam Ibn Adb Manaf. Sebagai
keturunan Abd Manaf, Muawiyah mempunyai hubungan kekerabatan dengan
Nabi Muhammad saw. ia masuk Islam pada hari penakhlukan kota Mekkah
(Fatkhul Mekkah) bersama penduduk kota Mekkah lainnya. Ketika itu
Muawiyah berusia 23 tahun.
Muawiyah diangkat menjadi anggota sidang penulis wahyu. Muawiyah
banyak meriwayatkan hadis baik langsung berasal dari Rasul atau dari sahabat
terkemuka maupundari saudara perempuannya, yaitu Habibah binti Abu
Sufyan (Ia salah seorang istri Rasulullah). Muawiyah dikenal sebagai seorang
pemimpin yang berkepribadian kuat, jujur, serta ahli dalam bidang politik. Hal
inilah yang menyebabkan khalifah Umar suka dan sayang kepadanya.
Keberhasilan yang dicapai Muawiyah, bukan hanya dari kemenangan
berdiplomasi yang terjadi pada Perang Shiffin serta terbunuhnya khalifah Ali
ibn Abi Thalib, melainkan semenjak ia menjadi gubernur Suriah. Muawiyah
dikenal dengan gaya kepemimpinannya yang kuat, ia menjadi landasan
kepemimpinan, politikus, serta profesional dalam mengatur administrasi
pemerintahan.2
Muawiyah memiliki “basis rasional” yang solid bagi landasan
pembangunan politiknya dimasa depan, hal ini dikarenakan:
1. Dukungan yang kuat dari rakyat Suriah dan dari keluarga bani Umayyah
sendiri.
2. Sebagai seorang administrator, Muawiyah sangat bijaksana dalam
menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting.
3. Muawiyah memiliki kemampuan menonjol sebagai negarawan sejati,
bahkan mencapai tingkat “hilm” sifat tertinggi yang dimiliki oleh
pembesar Mekkah pada zaman dahulu.3

1 Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2010), cet. 2, hml.


118.
2 Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2009), cet. 3, hml. 56-57.
3 Samsul Munir Amin, op,. Cit, hml. 120.

2
Dinasti Umayyah berkuasa selama 91 tahun (41-132 H/ 661-750 M).
Dengan 14 orang khalifah yang dimulai Umayyah ibn Abu Sufyan dan
diakhiri Marwan ibn Muhammad. Adapun urutan khalifah dinasti Umayyah
adalah sebagai berikut:

1) Muawiyah I bin Abi Sufyan (661-679 M)


2) Yazid I bin Muawiyah (679-683 M)
3) Muawiyah II bin Yazid (683 M)
4) Marwan I bin Hakam (683-684 M)
5) Abdul Malik bin Marwan (684-705 M)
6) Al-Walid I bin Abdul Malik (705-714 M)
7) Sulaiman bin Abdul Malik (714-717 M)
8) Umar bin Abdul Aziz (717-719 M)
9) Yazid II bin Abdul Malik (719-723 M)
10) Hisyam bin Abdul Malik (723-742 M)
11) Al-Walid II bin Yazid II (742-743 M)
12) Yazid bin Walid bin Malik (743 M)
13) Ibrahim bin Al-Walid II (743-744 M)
14) Marwan II bin Muhammad (744-750 M)

Para sejarawan umumnya sependapat bahwa para khalifah terbesar dari


daulah Bani Umayyah ialah Muawiyah, Abdul Malik, dan Umar bin Abdul
Aziz.
Pada awalnya pemerintahan dinasti Umayyah bersifat demokrasi lalu
berubah menjadi feodal atau kerajaan. Pusat pemerintahannya bertempat di
kota Damaskus, hal ini dimaksudkan agar lebih mudah dalam memerintah,
karena Muawiyah sudah begitu lama memegang kekuasaan diwilayah
tersebut.4

B. Pendidikan Islam Pada Masa Dinasti Umayyah


Periode dinasti Umayyah merupakan masa inkubasi. Pada masa ini
peletakan dasar-dasar dari kemajuan pendidikan dimunculkan. Intelektual
muslim berkembang pada masa ini.
1. Pola Pendidikan
Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat
desentralisasi, tidak memiliki tingkatan dan standar umum. Kajian
keilmuan yang ada pada periode ini berpusat di Damaskus, Kuffah,
Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova dan beberapa kota lainnya. Diantara
ilmu-ilmu yang dikembangkannya, yaitu; kedokteran, filsafat, astronomi
atau perbintangan, ilmu pasti, ilmu sastra dan seni.

4 Samsul Nizar, op,. Cit, hml. 57.

3
Sebenarnya apa yang terjadi dalam dunia pendidikan saat ini sudah
ada pada formatnya di masa khulafaur rasyidin dan Umayyah. Hal ini
terlihat pada pola pengajaran dengan sistem kuttab, tempat anak-anak
belajar membaca dan menulis al-Qur’an serta ilmu agama Islam lainnya.
Sistem dengan pola ini bertempat di rumah guru, istana dan masjid.
Dalam memberikan pelajaran dengan sistem kuttab pada
masa khulafaur rasyidin gurunya tidak dibayar, akan tetapi pada masa
dinasti Umayyah lain lagi ceritanya. Pada periode ini berbagai macam
kemajuan telah diperoleh, termasuk dalam bidang perekonomian.
Ada di antara penguasa yang membayar atau menggaji guru untuk
mengajar putranya bhkan disediakan tempat mukim untuk guru di dalam
istana. Di samping itu masih ada juga yang melaksanakan pendidikan
dengan cara lama, yaitu belajar di pekarangan sekitar masjid, terutama ini
terjadi di kalangan siswa yang berlatar belakang ekonomi lemah. Untuk
model yang seperti ini, guru tidak dibayar melainkan hanya diberi
penghargaan oleh masyarakat sekitar. Adapun materi ajar yang diberikan
adalah baca tulis yang secara umum diambil dari syair atau sastra Arab.
Adapun bentuk pendidikan pada dinasti Umayyah di antaranya:
a. Pendidikan Istana, pendidikan tidak hanya pengajaran tingkat rendah,
tetapi lanjut pada pengajaran tingkat tinggi sebagaimana halaqah,
masjid, dan madrasah. Guru istana dinamakan dengan
Muaddib. Tujuan pendidikan istana bukan saja mengajarkan ilmu
pengetahuan, bahkan Muaddib harus mendidik kecerdasan, hati dan
jasmani anak sebagaimana ungkapan Abdul Malik ibn Marwan sebagai
berikut: “Ajarkan kepada anak-anak itu berkata benar sebagaimana kau
ajarkan al-Qur’an. Jauhkan anak-anak itu dari pergaulan orang-orang
buruk budi, karena mereka amat jahat dan kurang adab. Jauhkan anak-
anak itu dari pemalu, karena pemalu itu merusak mereka. Gunting
rambut mereka supaya tebal kuduknya. Beri makan mereka dengan
daging supaya lebih kuat tubuhnya. Ajarkan syair kepada mereka
supaya mereka menjadi orang yang besar dan berani. Suruh mereka
menyikat gigi dan minum air dengan menghirup perlahan-lahan bukan
dengan bersuara, (seperti hewan). Kalau engkau hendak mengajarkan
adab kepada mereka hendaklah dengan tertutup tiada diketahui seorang
pun.”
b. Nasihat pembesar kepada Muaddib. Sebagaimana pembesar Hisyam
ibn Abdul Malik kepada guru anaknya Sulaiman al-Kalby.
c. Badi’ah. Yaitu dusun badui di Padang Sahara yang masih fasih bahasa
Arabnya dan murni sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Akibat dari
Arabiasi ini muncullah ilmu qawa’id dan cabang ilmu lainnya untuk
mempelajari bahasa Arab.

4
d. Perpustakaan. Al Hakam ibn Nasir (350 H/ 961 M) mendirikan
perpustakaan yang besar di Qurtubah (Cordova).
e. Bamaristan, adalah rumah sakit tempat berobat dan merawat orang
serta tempat studi kedokteran).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pola pendidikan pada


masa dinasti Umayyah ini telah berkembang jika dilihat dari aspek
pengajarannya, meskipun sistemnya masih sama seperti pada masa Nabi
dan khulafaur rasyidin. Pada masa ini peradaban Islam sudah bersifat
Internasional yang meliputi tiga benua, yaitu sebagan Eropa, sebagian
Afrika dan sebagian besar Asia yang kesemuanya itu dipersatukan dengan
bahasa Arab sebagai bahasa Resmi Negara.5
Sedangkan pemikiran pendidikan Islam pada masa dinasti
Umayyah tampak dalam bentuk nasihat-nasihat khalifah kepada pendidik
anak-anaknya, yang memenuhi buku-buku sastra, yang menunjukan
bagaimana teguhnya mereka berpegang pada tradisi Arab dan Islam.6

2. Pusat Pendidikan
Pusat pendidikan pada masa dinasti Umayyah bukan hanya di
Madinah saja, tetapi sudah tersebar di kota-kota besar antara lain sebagai
berikut: Di kota Mekkah dan Madinah (Hijaz), di kota Basrah dan Kufah
(Irak), di kota Damsyik dan Palestina (Syam), di kota Fistat (Mesir).
a. Madrasah Mekkah
Guru yang mengajar di Mekkah, sesudah penduduk Mekkah
takhluk, ialah Mu’az bin Jabal. Ialah yang mengajarkan al-Qur’an dan
mana yang halal dan mana yang haram dalam Islam.
Pada masa khalifah Abdul Malik bin marwan Abdullah bin
Abbas pergi ke Mekkah lalu mengajar di Masjidil Haram. Ia
mengajarkan tafsir, fiqih dan sastra. Abdullah bin Abbas lah
pembangun madrasah Mekkah, yang termasyur seluruh negara Islam.
b. Madrasah Madinah
Madrasah Madinah lebih termasyur dan lebih dalam
Ilmuannya, karena disanalah tempat khalifah: Abu Bakar, Umar, dan
Utsman. Di sana banyak tinggal sahabat-sahabat Nabi saw,. Yang
selalu bekerja menjadi guru dan mengajarkan agama Islam ialah Zaid
bin Sabit dan Abdullah bin Umar.
c. Madrasah Basrah
Ulama sahabat yang termasyur di Basrah ialah Abu Musa Al-
Asy’ari dan Anas bin Malik. Abu Musa Al-Asy’ari adalah ahli fiqih

5 Ibid, h. 63-64.
6 Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah, 2010), cet. 2, hlm. 28.

5
dan hadis, serta ahli qur’an. Sedangkan Anas bin Malik lebih
termasyhur dalam ilmu hadis. Kemudian madrasah Basrah melahirkan
Al-Hasan Basry dan Ibnu Sirin pada masa Umaayyah.al-Hasan Basry
adalah ulama besar, berbudi tinggi, saleh serta fasih lidahnya.7
d. Madrasah Kufah
Ulama sahabat yang tinggah di Kufah ialah Ali bin Abi Thalib
dan Abdullah bin Mas’ud. Ali bin Abi Thalib mengurus masalah
politik dan urusan pemerintahan, sedangkan Abdullah bin Mas’ud
sebagai guru agama. Ibnu Mas’ud adalah utusan resmi khalifah Umar
untuk menjadi guru agama di kufah.
e. Madrasah Damsyik
Khalifah Umar mengirimkan tiga orang guru agama ke negeri
Syam, yaitu: Mu’az bin Jabal, Ubadah dan Abu Dardak. Madrasah ini
melahirkan imam penduduk Syam, yaitu Abdurrahman Al-Auza’i yang
sederajat ilmunya dengan Imam Malik dan Abu Hanifah.
f. Madrasah Fistat
Sahabat yang mula-mula mendirikan madrasah dan menjadi
guru di Mesir adalah Abdullah bin Amr bin Al-As. Ia adalah seorang
ahli hadis. Ia tidak hanya menghafal hadis-hadis yang didengarnya dari
Nabi melainkan juga menuliskannya dalam catatan, sehingga ia tidak
lupa atai khilaf dalam meriwayatkan hadis-hadis itu kepada murid-
muridnya.8

C. Perkembangan Pendidikan Islam Pada Masa Dinasti Umayyah


Dinasti Umayyah meneruskan tradisi kemajuan dalam berbagai bidang
yang telah dilakukan pada masa kekuasaan sebelumnya, yaitu masa kekuasaan
khulafaur rasyidin. Dalam bidang peradaban dinasti Umayyah telah
menemukan jalan yang lebih luas ke arah pengembangan dan perluasan
berbagai bidang ilmu pengetahuan, dengan bahasa Arab sebagai media
utamanya.9
Adapun faktor yang mendorong perkembangan pendidikan Islam pada
masa ini ialah; adanya dukungan dari penguasa, menyababkan pendidikan
Islam maju dengan cepat, karena penguasa sangat mencintai ilmu pengetahuan
dan berwawasan jauh kedepan. 10
Menurut Jurji Zaidan (George Zaidan) beberapa kemajuan dalam
bidang pengembangan ilmu pengetahuan antara lain sebagai berikut:
7 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992), cet. 7,
hlm. 33-35.
8 Zuhairini, dkk, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), cet. 7, hlm. 74.
9 Samsul Munir Amin, op,. Cit, hlm. 133
10 Muhammad Hambal Shafwan, Intisari Sejarah Pendidikan Islam(Solo: Pustaka
Arafah, 2014), cet. 1, hlm. 174.

6
1. Pengembangan Bahasa Arab
Para Penguasa dinasti Umayyah telah menjadikan Islam sebagai
daulah (negara), kemudian dikuatkannya dan dikembangkanlah bahasa
Arab dalam wilayah kerajaan Islam. Upaya tersebut dilakukan dengan
menjadikan bhasa Arab sebagai bahasa resmi dalam tata usaha negara dan
pemerintahan.
2. Marbad Kota Pusat Kegiatan Ilmu
Dinasti Umayyah juga mendirikan kota kecil sebagai pusat
kegiatan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Di kota Marbad inilah
berkumpul para pujangga, filsuf, ulama, penyair, dan cendekiawan
lainnya, sehingga kota ini diberi gelar ukadz-nya Islam.11
3. Ilmu Agama
Yang termasuk dalam ilmu agama yaitu; al-Qur’an, baik itu
mengenai ilmu qira’at maupun ilmu tafsir al-Qur’an. Hadis, ketika kaum
muslimin telah berusaha memahami al-Qur’an, ternyata ada satu hal yang
juga sangat mereka butuhkan yaitu ucapan Nabi yang disebut
hadist. Fiqih, para penguasa sangat membutuhkan adanya peraturan-
peraturan untuk menjadi pedoman dalam menyelesaikan berbagai
masalah. Mereka kembali kepada al-Qur’an dan hadist dan mengeluarkan
syariat dari kedua sumber tersebut.
4. Ilmu Pengetahuan Bidang Bahasa
Yaitu segala ilmu yang mempelajari bahasa, nahwu, saraf dan
lainnya. Pada masa dinasti Umayyah karena wilayah berkembang secara
luas, khususnya ke wilayah di luar Arab maka ilmu nahwu sangatlah
dibutuhkan.
5. Ilmu Sejarah (tarikh) dan geografis (jughrafi)
Yaitu segala ilmu yang membahas tentang perjalana hidup, kisah
dan riwayat. Adanya pengembangan dakwah Islam ke daerah-daerah baru
yang luas dan jauh menimbulkan gairah untuk mengarang ilmu sejarah
dan ilmu geografi.
6. Bidang Filsafat
Yaitu segala ilmu yang pada umumnya berasal dari bangsa asing,
seperti ilmu mantiq, kimia, astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang
berhubungan dengan itu, serta ilmu kedokteran.

Demikian berbagai ilmu pengetahuan yang terjadi pada masa


pemerintahan dinasti Bani Umayyah. Kekuasaan dinasti Bani Umayyah
mengalami kehancuran pada masa kepemimpinan khalifah Walid bin  Yazid

11 Samsul Munir Amin, op,. Cit, hlm. 133-134.

7
karena terjadinya peperangan yang dilakukan oleh Bani Abbas yang terjadi
pada tahun 132 H/ 750 M.12

12 Samsul Nizar, op,. Cit, hlm. 59.

8
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Muawiyyah bin Abu Sufyan merupakan khalifah pertama dinasti Bani
Umayyah. Ia dikenal sebagai seorang politikus yang handal dan banyak
melakukan kebijakan baru terhadap sistem pemerintahan Islam setelah
pemerintahan khulafaur rasyidin.Dinasti Umayyah berkuasa selama 91 tahun (41-
132 H/ 661-750 M). Dengan 14 orang khalifah yang dimulai Umayyah ibn Abu
Sufyan dan diakhiri Marwan ibn Muhammad.
Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat desentralisasi,tidak
memiliki tingkatan dan standar umum. Kajian keilmuan yang ada pada periode ini
berpusat di Damaskus, Kuffah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova dan beberapa
kota lainnya.
Menurut Jurji Zaidan (George Zaidan) beberapa kemajuan dalam bidang
pengembangan ilmu pengetahuan antara lain sebagai berikut; Pengembangan
Bahasa Arab, Marbad Kota Pusat Kegiatan Ilmu, Ilmu Agama, Ilmu Pengetahuan
Bidang Bahasa, Ilmu Sejarah (tarikh) dan geografis (jughrafi), Bidang Filsafat dan
Ilmu Kedokteran.
Demikian berbagai ilmu pengetahuan yang terjadi pada masa
pemerintahan dinasti Bani Umayyah. Kekuasaan dinasti Bani Umayyah
mengalami kehancuran pada masa kepemimpinan khalifah Walidbin Yazid karena
terjadinya peperangan yang dilakukan oleh Bani Abbas yang terjadi padatahun
132 H/ 750 M.

9
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah

Nizar, Samsul. 2009. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana

Shafwan, Muhammad Hambal. 2014. Intisari Sejarah Pendidikan Islam.


Solo:pustaka Arafah

Susanto, A. 2010. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah

Yunus, Mahmud. 1992. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Hidakarya Agung

Zuhairini, dkk. 2004. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara

10

Anda mungkin juga menyukai