Anda di halaman 1dari 48

KEMAJUAN ISLAM PADA MASA BANI UMAYYAH DAN BANI ABBASIYAH

KEMAJUAN ISLAM PADA MASA BANI UMAYYAH DAN BANI ABBASIYAH

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam sejak kelahirannya pada awal abad ke-7 di Mekkah, Islam terus mengalami perkembangan yang
pesat melewati berbagai tantangan yang sangat berat, sampai akhirnya tersebar ke seluruh dunia.[1]
Bernard Lewis menulis, sampai akhir kekuasaan Khulafa’urrasyidin wilayah Islam terbentang luas dari
Maroko sampai Indonesia, dari Kazakhtan sampai Sinegal.[2]

Seperti apapun kronologi wafatnya Kholifah Ali bin Abi Thalib, yang jelas hal ini telah menginspirasikan
kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan untuk tampil sebagai pemegang tampuk kekuasaan islam, yang
akhirnya berhasil dan mengubah kekuasaan dengan sistem dinasti dan diberi nama khilafah bani
Umayyah. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya dinasti yang dibentuk mu’awiyah akhirnya dinasti
ini runtuh pula.

Indikasi keruntuhan dinasti Bani Umayyah sebenarnya sudah tercium sepeninggal khalifah Umar ibn
Abdul Aziz. Kedamaian dan ketentraman yang dirasakan masyarakat berganti dengan kekacauan dan
kerusuhan. Keadaan ini terus berlanjut hingga pucuk pimpinan dinasti ini dipegang khalifah Hisyam ibn
Abdul Malik dan khalifah-khalifah berikutnya. Di sisi lain kelompok oposisi yang digalang oleh keturunan
Abbas ibn Abdul Muthalib yang mendapatkan dukungan dari golongan mawali (non-Arab) dan Abu
Muslim al-Khurasani menjelma menjadi momok menakutkan, ditambah lagi khalifah-khalifah yang
menggantikan Hisyam Ibn Abdul Malik begitu lemah dan bermoral buruk. Ketika Marwan Ibn
Muhammad naik tahta, Khalifah yang tercatat sebagai khalifah terakhir dari Bani Umayyah ini karena
adanya kekacauan, dia melarikan diri ke Mesir dan akhirnya terbunuh di sana. Dan pada saat itulah
kekhalifahan berpindah kepada Bani Abbasiyah.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan pembahasaan makalah ini adalah :

1. Awal munculnya dinasti Bani Umayyah dan Abbasiyah

2. Sistem pergantian Kholifah

3. Prestasi yang dicapai

4. Sebab kemunduran

C. Tujuan

Mengacu pada rumusan masalah di atas, penulis mempunyai tujuan agar :


1. Mengetahui Awal munculnya dinasti Bani Umayyah dan Abbasiyah

2. Mengetahui Sistem pergantian Kholifah

3. Mengetahui Prestasi yang dicapai

4. Mengetahui Sebab kemunduran

BAB II

PEMBAHASAN

A. DINASTI BANI UMAYYAH

a. Asal-usul Dinasti Bani Umayyah

Nama ” Daulah Umayah” berasal dari nama ” Umayah ibnu” Abdi Syam ibnu ”Abdi Manaf”, yaitu salah
seorang dari pemimpin Qurays di zama Jahiliyah[3]. Bani Umayah merupakan keturunan Umayah, yang
masih memiliki ikatan famili dengan para pendahulu Nabi. Naiknya bani Umayah ke puncak kekuasaan,
dimulai oleh Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan, salah seorang keturunan bani umayah dan salah seorang
sahabat Nabi, dan ia menjadi bagian penting dalam setiap masa pemerintahan para khulafa ar-rasyidun.
Pada masa Ustman, Mu’awiyah diduga memiliki hubungan yang kuat dengan Ustman, sehingga terjebak
dengan praktik nepotisme dengan Mu’wiyah. Bahkan kerusakan pemerintahan Ustman akibat
nepotismenya kepada Bani Umayah, sehingga mendapatkan tantangan dari para pendukung Ali.[4]

Disinilah letak kepekaan nalar politik yang dimiliki Mu’awiyah mulai bekerja. Mu’awiyah pada dasarnya
termasuk politisi ulung yang mampu mengambil posisi kekuasaan dalam setiap masa pemerintahan.
Pada masa Ustman, betapa Mu’awiyah mampu membangun koalisi nepotis dengan Ustman, sehingga
Bani Umayah tetap menjadi pihak yang diuntungkan. Sementara pada masa-masa Ali, Mu’awiyah telah
mulai melakukan gerakan politik untuk meraih posisi puncak dalam kekuasaan. Mu’awiyah mampu
memanfaatkan kelemahan dan keluguan kekuasaan Ali.

Pada masa Ali masih berkuasa, Mu’awiyah telah memiliki kekuatan penuh, sehingga pada saat Ali
terbunuh, Mu’awiyah langsung mengambil alih kekuasaan dengan sangat mudah dan terkordinasi
dengan baik. Salah satu kepekaan nalar politik Mu’awiyah ialah mampu belajar pada pengalaman yang
terjadi pada tiga khalifah sebelumnya, yang berakhir dengan pembunuhan. Pilihan memindahkan
kekuasaan ke luar Jazirah Arab, menunjukkan sikap dan kecerdasan politik Mu’awiyah dalam
menghindari pergolakan antar kubu yang sangat tragis di kalangan umat Islam di jazirah Arab bahkan
sebagai upaya untuk menghindari tragedi pembunuhan yang dilakukan terhadap tiga khalifah
sebelumnya. Akhirnya, Mu’awiyah dan dinastinya mengendalikan kekuasaannya dari luar jazirah Arab,
mencoba bersebarangan dengan para pendahulu-pendahulunya yang berkonsentrasi di wilayah jazirah
Arab. Menurut H.A.R. Gibb : Mulai tahun 660 M. ibu kota kerajaan Arab dipindahkan ke Damaskus,
tempat kedudukan baru khilafah Bani Umayah, sedangkan Madinah tetap merupakan pusat pelajaran
agama Islam, pemerintah dan kehidupan umum kerajaan dipengaruhi oleh dapat istiadat Yunani Romawi
Timur.[5]
b. Sistem Pergantian Kholifah

Pada masa-masa Awal Mu’awiyah menjadi penguasa kekuasaan masih berjalan secara demokratis, tetapi
setelah berjalan dalam beberapa waktu, Mu’awiyah mengubah model pemerintahnya dengan model
pemerintahan monarchiheredetis (kerajaan turun temurun).[6] yaitu sebagai berikut:

NO

NAMA

MASA BERKUASA

Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan

661-681 M

Yazid ibn Mu’awiyah

681-683 M

Mua’wiyah ibnu Yazid

683-685 M

Marwan ibnu Hakam


684-685M.

Abdul Malik ibn Marwan

685-705 M

Al-Walid ibnu Abdul Malik

705-715 M

Sulaiman ibnu Abdul Malik

715-717 M

Umar ibnu Abdul Aziz

717-720 M

Yazid ibnu Abdul Malik

720-824 M

10

Hisyam ibnu Abdul Malik


724-743 M

11

Walid ibn Yazid

734-744 M

12

Yazid ibn Walid [ Yazid III]

744 M

13

Ibrahim ibn Malik

744 M

14

Marwan ibn Muhammad

745-750 M

c.Keberhasilan Yang Dicapai

Dalam hal ini terbagi menjadi dua, yaitu material dan immaterial

a). Bidang Material :

1. Muawiyah mendirikan Dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda dengan
peralatannya disepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata.
2. Mu’awiyah merupakan khalifah yang mula-mula menyuruh agar dibuatkan ”anjung” dalam masjid
tempat is sembahyang. Ia sangat khwatir akan keselamatan dirinya, karena khalifah Umar dan Ali,
terbunuh ketika sedang melaksanakan shalat.

3. Lambang kerajaan sebelumnya Al-Khulafaur Rasyidin, tidak pernah membuat lambang Negara baru
pada masa Umayyah, menetapkan bendera merah sebagai lambang negaranya. Lambang itu menjadi ciri
khas kerajaan Umayyah.

4. Mu’awiyah sudah merancang pola pengiriman surat (post), kemudian dimatangkan lagi pada masa
Malik bin Marwan. Proyek al-Barid (pos) ini, semakin ditata dengan baik, sehingga menjadi alat
pengiriman yang baik pada waktu itu.

5. Arsitektur semacam seni yang permanent pada tahun 691H, Khalifah Abd Al-Malik membangun
sebuah kubah yang megah dengan arsitektur barat yang dikenal dengan “The Dame Of The Rock”
(Gubah As-Sakharah).

6. Pembuatan mata uang dijaman khalifah Abd Al Malik yang kemudian diedarkan keseluruh penjuru
negeri islam.

7. Pembuatan panti Asuhan untuk anak-anak yatim, panti jompo, juga tempat-tempat untuk orang-
orang yang infalid, segala fasilitas disediakan oleh Umayyah.

8. Pengembangan angkatan laut muawiyah yang terkenal sejak masa Uthman sebagai Amir Al-Bahri,
tentu akan mengembangkan idenya dimasa dia berkuasa, sehingga kapal perang waktu itu berjumlah
1700 buah.

9. Khalifah Abd Al-Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi


pemerintahan dan memberlakukan bahasa arab sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam
yang tadinya berbahasa Yunani dan Pahlawi sehingga sampai berdampak pada orang-orang non Arab
menjadi pandai berbahasa Arab dan untuk menyempurnakan pengetahuan tata bahasa Arab orang-
orang non Arab, disusun buku tata bahasa Arab oleh Sibawaih dalam al-Kitab.

10. Merubah mata uang yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Sebelumnya mata
uang Bizantium dan Persia seperti dinar dan dirham. Penggantinya uang dirham terbuat dari mas dan
dirham dari perak dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab.

11. Perluasaan wilayah kekuasaan dari Afrika menuju wilayah Barat daya, benua Eropa, bahkan
perluasaan ini juga sampai ke Andalusia (Spanyol) di bawah kepemimpinan panglima Thariq bin Ziad,
yang berhasil menaklukkan Kordova, Granada, dan Toledo.

12. Dibangun mesjid-mesjid dan istana. Katedral St. Jhon di Damaskus dirubah menjadi mesjid, sedang
Katedral yang ada di Hims dipakai sebagai mesjid dan gereja. Di al-Quds (Jerussalem) Abdul Malik
membangun mesjid al-Aqsha. Monumen terbaik yang ditinggalkan zaman ini adalah Qubah al-Sakhr di
al-Quds. Di mesjid al-Aqsha yang menurut riwayatnya tempat Nabi Ibrahim hendak menyembelih
Ismail dan Nabi Muhammad mulai dengan mi’raj ke langit, mesjid Cordova di Spanyol dibangun, mesjid
Mekah dan Madinah diperbaiki dan diperbesar oleh Abdul Malik dan Walid.

13. Bahkan pada masa, Sulaiman ibn Malik, telah dibangun pembangunan mega raksasa yang terkenal
dengan Jami’ul Umawi.
b). Bidang Immaterial

1. Mendirikan pusat kegiatan ilmiah di Kufah dan Bashrah yang akhirnya memunculkan nama- nama
besar seperti Hasan al-Basri, Ibn Shihab al-Zuhri dan Washil bin Atha. Bidang yang menjadi perhatian
adalah tafsir, hadits, fikih, dan kalam.

2. Penyair-penyair Arab baru bermunculan setelah perhatian mereka terhadap syair Arab Jahiliyah
dibangkitkan. Mereka itu adalah Umar Ibn Abi Rabiah (w. 719 m.), Jamil al-Udhri (w. 701 M.), Qays Ibn
al-Mulawwah (w. 699 M.) yang lebih dikenal dengan nama Majnun Laila, al-Farazdaq (w 732M.), Jarir (w.
792 M) dan al-Akhtal (w. 710 M.).

3. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Sastra-Seni

Waktu dinasti ini telah mulai dirintis jalan ilmu naqli ; berupa filsafat dan eksakta. Dan ilmu pengetahun
berkembang dalam tiga bidang, yaitu bidang diniyah, tarikh, dan filsafat. Kota-kota yang menjadi pusat
ilmu pengetahuan selama pemerintahan dinasti Umayah, antara lain kota Kairawan, Kordoba, Granda
dan lain sebagainya. Sehingga secara perlahan ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua macam, yaitu :
pertama, Al-Adaabul Hadits (ilmu-ilmu baru), yang meliputi : Al-ulumul Islamiyah (ilmu al-Qur’an, Hadist,
Fiqh, al-Ulumul Lisaniyah, At-Tarikh dan al-Jughrafi), Al-Ulumul Dkhiliyah (ilmu yang diperlukan untuk
kemajuan Islam), yang meliputi : ilmu thib, filsafat, ilmu pasti, dan ilmu eksakta lainnya yang disalin dari
Persia dan Romawi. Kedua : Al-Adaabul Qadamah (ilmu lama), yaitu ilmu yang telah ada pasa zaman
Jahiliyah dan ilmu di zaman khalifah yang empat, seperti ilmu lughah, syair, khitabah dan amtsal.

Pada masa ini pula sudah mulai dirancang tentang undang-undang yang bersumber dari al-Qur’an,
sehingga menuntut masyarakat mempelajari tentang tafsir al-Qur’an. Salah seorang ahli tafsir pertama
dan termashur pada masa tersebut adalah Ibnu Abbas. Pada waktu itu beliau telah menafsirkan al-
Qur’an dengan riwayat dan isnad, kemudian kesulitan-kesulitan dalam mengartikan al-Qur’an dicari
dalam al-hadist, yang pada gilirannya melahirkan ilmu hadist. Dan akhirnya kitab tentang ilmu hadist
sudah mulai dikarang oleh para ulama muslim. Beberapa ulama hadist yang terkenal pada masa itu,
antara lain : Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidilah bin Abdullah bin Syihab az-Zuhri, Ibnu Abi
Malikah (Abdullah bin Abi Malikah at-Tayammami al-Makky, Al-Auza’i Abdurrahman bin Amr, Hasan Basri
as-Sya’bi. Dalam bidang hadist ini, Umar bin Abd Aziz secara khusus memerintahkan Ibn Syihab az-Zuhri
untuk mengumpulkan hadist. Oeh karena itu, Ibnu Syihab telah dianggap sanat berjasa dalam
menyebarkan hadist hingga menembus berbagai zaman. Sejak saat itulah perkembangan kitab-kitab
hadist mulai dilakukan.[7]

4. Gerakan Penerjemahan dan Arabisasi

Gerakan penerjemahan ke dalam bahasa Arab (Arabisasi buku), juga dilakukan, terutama pada masa
khalifah Marwan. Pada saat itu, ia memerintahkan penerjemahan sebuah buku kedokteran karya Aaron,
seorang dokter dari iskandariyah, ke dalam bahasa Siriani, kemudian diterjemahkan lagi ke dalam bahasa
Arab. Demikian pula, Khalifah memerintahkan menerjemahkan buku dongeng dalam bahasa sansakerta
yang dikenal dengan Kalilah wa Dimnah, karya Bidpai. Buku ini diterjemahkan oleh Abdullah ibnu Al-
Muqaffa. Ia juga telah banyak menerjemahkan banyak buku lain, seperti filsafat dan logika, termasuk
karya Aristoteles :Categoris, Hermeneutica, Analityca Posterior serta karya Porphyrius :Isagoge.[8]
d. Kemunduran Dinasti Umayyah

Selama berkuasa kurang lebih 90 tahun lamanya, penguasa Bani Umayah, sejak Umayah berkuasa harus
diakui telah banyak memberikan sesuatu yang berarti bagi Islam. Tetapi, kekuasaan yang dibangun
dengan cara-cara yang keras dan kasar seperti yang dilakukan oleh Mu’awiyah seperti pasa saat ia
merebut kekkuasaan, dan ditambah lagi dengan pola suksesi yang bersifat keluargaan telah
memunculkan perlawanan yang keras dari lawan-lawan politik Bani Umaya. Sejak sepeninggal Hisyam
ibnu Abd Malik, khalifah-khalifah Bani Umayah terus mengalami melemah, bukan hanya moral tetap juga
lemah dalam kekuataan politik. Kelemahn ini tentu saja terus dimanfaatkan dengan baik oleh musuh-
musuh Bani Umayah untuk dihancurkan, dan segera diganti.

Beberapa faktor yang menjadi akar melemah dan hancurnya Bani Umayah, antara lain :

1. System suksesi khalifah dengan cara dinatian bukan tradisi Arab dan lebih mengandalkan aspek
senioritas. Pengaturannya tidak jelas, sehingga menimbulkan menimbulkan persaingan yang keras di
kalangan anggota keluarga.

2. Latar belakang terbentuknya Bani Umayah tidak terlepas dari konflik politik yang terjadi di masa Ali.
Ktbu Ali (Syi’ah) dan kubu khawarij yang masih tersisa, terus menjadi oposisi dan melakukan perlawanan
terhadap Bani Umayah, baik dengan terang-terangan maupun dengan cara sembunyi-sembunyi.
Penumpasan terhadap kelompok-kelompok ini, banyak menyedot kekuatan pemerintah Bani Umayah.

3. Pada masa Bani Umayah pertentangan etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia
Selatan (Bani Kalb) terus menruncing. Konflik ini membuat penguasa Bani Umayah merasa kesulitan
dalam menggalang persatuan dan kesatuan.

4. Faktor lemahnya Bani Umayah juga akibat sikap hidup mewah orang-orang di lingkungan istana,
sehingga anak-anak khalifah tidak sanggup memikul beban berat kekuasaan. Kemudian, banyak para
agamawan yang kecewa dengan penguasa Bani Umayah karena penguasa ini sudah tidak
memperhatikan pengembangan agama.

5. Munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh keturunan al-Abbas ibn Abd Thalib yang
mendapatkan dukungan dari Bani Hasyim dan golongan Syi’ah dan kaum Mawali.[9]

Akhir kehancuran Dinasti Umayah, dimulai oleh pembunuhan terhadap khalifah Marwan yang dilakukan
oleh Abul Abbas as-Shaffah, setelah itu ia menjadi khalifah dalam kekuasaan umata Islam. Kemudian
kelompok Abul Abbas, beralih menghancurkan Yazid bin Umar bin Hubairah, yang merupakan benteng
terakhir kekuasaan dinasti Umayah.[10] Jadi, hancurnya dua kekuayaan Umayah ini, menjadi akhir dari
kiprah bani Umayah dalam sejarah kekuasan Islam.

B. DINASTI ABBASIYAH

a. Asal-usul Dinasti Bani Abbasiyah

Khilafah Bani Abbasyiyah adalah penerus tongkat estafet perjuangan Islam dari khilafah bani Umayyah
yang berhasil mereka gulingkan pada tahun 750 M. Akar munculnya khilafah ini dimulai dari tindakan
propaganda Abbasiyah yang dimotori oleh Ibrahim (orang Bani Abbas/saudara Saffah) yang mendapat
dukungan dari pemuka khurasan bernama Abu Muslim. Ditambah lagi kekuatan oposisi yang semakin
solid serta pemegang kursi pemerintahan bani Umayyah semakin melemah. Dari tindakan propaganda
ini akhirnya memunculkan perselisihan seru antara bani Umayyah dan bani Abbasiyah yang diakhiri
dengan jatuhnya kekuasaan Bani Umayyah.

Dinasti Abbasiyah muncul juga tidak bisa dilepaskan dari bantuan orang-orang Persia yang merasa bosan
terhadap bani Umayyah di dalam sosial, politik dan administrasi. Orang-orang Persia percaya kepada hak
agung raja-raja (yang berasal dari Tuhan). Kekhalifahan menurut mereka merupakan kekuasaan dari
Allah. Hal ini nampak jelas dalam ucapan al-Manshur yang menyatakan:“Innamaa Anaa Sulthaanullah fii
Ardlihii” (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya). Dengan demikian, konsep khilafah
dalam pandangannya merupakan mandat langsung dari Allah bukan dari rakyat. Sistem kekhalifahan
semacam ini sangat berbeda dengan sistem kekhalifahan pada masa Khulafaur Rasyidun dimana
kekhalifahan mereka berasal dari rakyat.

Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah dari keturunan al-
Abbas paman Nabi Muhammad S.A.W.

b. Sistem Pergantian Kholifah

Sistem pemerintahan yang diterapkan bani Abbasiyah masih sama dengan pendahulunya, bani Umayyah
dengan sistem kekuasaan absolutisme. Mereka mengangkat dan mengumumkan seorang atau dua orang
putra mahkota atau saudaranya sendiri untuk terus mempertahankan kepemerintahan. Kebijakan
menerapakan sistem seperti ini tentu saja menimbulkan kecemburuan dan kebencian diantara sesama
keluarga. Sebagai contoh, tatkala al-Manshur naik tahta, dia mengumumkan Mahdi sebagai putra
mahkota pertama dan menunjuk Isa ibn Musa, kemenakannya sebagai putra mahkota kedua. Saat itu
juga al-Manshur mengasingkan Isa sama sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah pertama al-Shaffah.

Seluruh anggota keluarga Abbas dan pemimpin umat Islam mengangkat Abdullah al-Saffah ibn
Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas sebagai khalifah mereka yang pertama walaupun masih
ada Abu Ja’far (al-Manshur) yang nantinya akan menjadi khalifah yang kedua. Kekhalifahan bani
Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang sangat panjang dan pada periode pertama (750 – 848
M) tercatat kurang lebih 10 khalifah yang memimpin dengan silsilah keturunan sebagai berikut :

NO

NAMA

MASA BERKUASA

1.

Saffah ibn Muhammad

(132 H/750 M)
2.

Abu Ja’far al-Manshur ibn Muhammad

(136 H/754 M)

3.

Mahdi ibn al-Manshur

(158 H/775 M)

4.

Hadi ibn Mahdi

(169 H/785M)

5.

Harun al-Rasyid ibn Mahdi

(170 H/786M)

6.

Amin ibn Harun

(193 H/804 M)

7.

Ma’mun ibn Harun


(198 H/813 M)

8.

Mu’tashim ibn Harun

(218 H/833 M)

9.

Watsiq ibn Mu’tashim

(227 H/842 M)

10.

Mutawakkil ibn Mu’tashim

(232 H/848 M)

Dalam perkembangannya, di bawah khalifah Saffah, ibu kota negara berada di kota Anbar dekat kufah
dengan istana yang diberi nama al-Hasyimiyah. Namun demi menjaga stabilitas negara yang baru berdiri
itu akhirnya pada tahun 762 M al-Manshur memindahkan ibu kota negara ke Baghdad dengan istana al-
Hasyimiyah II. Dengan demikian, pusat pemerintahan daulah Bani Abbas berada di tengah-tengah
bangsa Persia.

Diantara langkah-langkah yang diambil al-Manshur dalam menertibkan pemerintahannya antara lain :

1. Mengangkat pejabat di lembaga ekskutif dan yudikatif.

2. Mengangkat wazir (menteri) sebagai koordinator departemen. Dan wazir pertama yang diangkatnya
adalah Khalid ibn Barmak berasal dari kota Balkh Persia

3. Mengangkat sekretaris negara dan kepolisian negara dan membenahi angkatan bersenjata

4. Memaksimalkan peranan kantor pos. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku
gubernur setempat kepada khalifah.

5. Berdamai dengan kaisar Constantine V, dan selama gencatan senjata, Bizantium membayar upeti
tahunan.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulah Abbasiyah diletakkan oleh Shaffah dan al-Manshur, maka
puncak keemasan dari dinasti ini berada pada beberapa khalifah sesudahnya. Popularitas daulah
Abbasiyah mencapai klimaks kesuksesan adalah pada masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid dan
puteranya al-Ma’mun.

Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan
politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik yang ada, para
sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode dengan karakteristik
yang berbeda-beda pula :

1. Periode pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama

2. Periode kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama

3. Periode ketiga, (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam
pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.

4. Periode keempat, (447 H/1055 M – 590 H/1194 M) masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam
pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.

5. Periode kelima, (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain,
tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad.

c.Keberhasilan Yang Dicapai

Dalam hal ini terbagi menjadi dua, yaitu material dan immaterial

a). Bidang Material :

Pada zaman al-Mahdi, sebenarnya perekonomian sudah mulai menggeliat dengan peningkatan di sektor
pertanian, melaluai irigasi dan peningkatan hasil pertambangan. Diantara prestasi-prestasi yang berhasil
diraih al-Mahdi antara lain:

1. Dia membangun gedung-gedung sepanjang jalan menuju Makkah.

2. Masjid Agung di Madinah diperbesar tetapi menghapus nama khalifah bani Umayyah, Walid dari
dinding masjid itu dan mengganti dengan namanya.

3. Membangun tempat pelayanan pos antara Makkah dan Madinah kemudian Yaman yang berfungsi
sebagai tempat pembayaran ongkos perjalanan tiap mil.

4. Membuat benteng di beberapa kota khususnya Rusafa di bagian Baghdad Timur

Popularitas daulah bani Abbasiyah mencapai puncak peradaban dan kemakmurannya di zaman Harun al-
Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang banyak, dimanfaatkan Harun
untuk keperluan sosial. Istana-istana besar, rumah sakit, lembaga pendidikan, dokter dan farmasi
didirikan. Bahkan menurut sebagian ahli sejarah menyatakan bahwa sebenarnya Harun ingin
menggabungkan laut tengah dengan laut merah. Namun Yahya ibn Khalid (dari keluarga barmak) tidak
menyetujui gagsan itu. Pada masa al-Ma’mun menjadi khalifah, ia banyak mendirikan sekolah-sekolah.
Salah satu karya terbesarnya adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi
sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang sangat besar.
Baghdad, kota kuno yang didirikan oleh orang-orang Persia, merupakan tempat perdagangan yang kerap
kali dikunjungi oleh pedagang dari India dan Cina. Para Insinyur, tukang batu, dan para pekerja tangan
didatangkan dari Syiria, Bashra, Kufa untuk membantu didalam memperindah kota. Bahkan di daerah
pinggir kota ini sudah terbagi menjadi empat bagian pemukiman yang masing-masing mempunyai
seorang pemimpin yang dipercaya untuk mendirikan pasar di pemukimannya. Demikianlah di zaman
Abbasiyah pertama. Baghdad menjadi kota terpenting di dunia sebagai sentral perdagangan, ilmu
pengetahuan dan kesenian. Masjid-masjid dan bangunan-bangunan lain semakin bertambah banyak
dan menjadi hal menarik dalam kesenian muslim.

a). Bidang Imaterial :

Kemajuan yang dicapai dinasti Abbasiyah mencakup ilmu agama, filsafat dan sain (Harun Nasution,
2001:65-69). Ilmu agama yang dikembangkan pada masa ini mencakup:

a. Ilmu Hadits

Tokohnya: Al-Bukhori dengan kitabnya al-Jam’i al-Shahih dan Tarikh al-Kabir, Muslim dengan kitabnya
Shahih Muslim, Ibnu Majjah, Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan al-Nasa’i.

b. Ilmu Tafsir

Tokohnya: Ibnu Jarir Ath Thabari dengan karyanya Jami al-Bayan fi Tafsir al- Qur’an sebagai pegangan
pokok bagi mufassir hingga sekarang, Abu Muslim Muhammad Ibn Bahar al-Ashfahani dengan tafsirnya
Jami’ut Ta’wil, Ar-Razy dengan tafsirnya Al-Muqthathaf.

c. Ilmu Fiqih

Tokohnya: Abu Hanifah dengan kitabnya Musnad al-Imam al-A’dhom atau Fiqh al-Akbar, Malik dengan
kitabnya al-Muwatha’, Syafi’i dengan kitabnya al-Um dan al-Fiqh al-Akbar fi al-Tauhid, dan Ibn Hambal
dengan kitabnya al-Musnad.

d. Ilmu Tasawuf atau Mistisisme Islam

Tokohnya: Abu Bakr Muhammad al-Kalabadi dengan karyanya al-Ta’arruf li Mazhab Ahl al-Tasawuf, Abu
Nasr as-Sarraj al-Tusi dengan karyanya al-Luma’, Abu Hamid al-Ghazali dengan karyanya Ihya ‘Ulum al-
Din, dan Abu Qasim Abd al-Karim al- Qusyairi dengan karyanya Maqamat. Tokoh lainnya, Zunnun al-
Misri, Abu Yazid al-Bustami, Husain Ibn Mansur al-Hallaj, dsb.

e. Ilmu Kalam atau Theologi

Tokohnya seperti Washil bin Atha’, Ibn al-Huzail, al-Allaf, dll dari golongan Mu’tazilah, Abu al-Hasan al-
Asy’ari dan al-Maturidi dari ahli sunnah.

f. Ilmu Tarikh atau Sejarah

Tokohnya: Ibn Hisyam (abad VIII), Ibn Sa’d (abad IX), dll.

g. Ilmu Sastra

Tokohnya: Abu al-Farraj al-Isfahani dengan karyanya Kitab al-Aghani, al-Jasyiari dengan karyanya Alfu
Lailah wa Lailah di pertengahan abad X. h. Ilmu agama lainnya seperti ilmu al-Qori’ah, ilmu Bahasa, dan
Tata Bahasa. Di antara ilmu yang menarik pada masa dinasti Abbasiyah adalah Filsafat. Ilmu ini berasal
dari Yunani kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, bahkan juga buku-buku yang berasal dari
Persia maupun Spanyol. Dari gerakan ini muncul para filosof Islam, seperti:

a. Al-Kindi (185-260 H/801-873 M)

Al-Kindi lahir di Kufah, karyanya sekitar 270 buah yang dikelompokkan oleh ibn Nadim dan al-Qifti
menjadi 17, yaitu: filsafat, logika, ilmu hitung, globular, musik, astronomi, geometri, sperikal, medis,
astrologi, dialektika, psikologi, politik,240 meteorology, dimensi, benda-benda pertama, dan spesies
tertentu logam dan kimia.

b. Al-Razi (251-313 H/865-925 M)

Nama latinnya adalah Rhazes, lahir di Rayy dekat Teheran. Buku-buku filsafatnya antara lain: Al-Tibb al-
Ruhani, Al-shirat al-Falsafiyyah, Amarat Iqbal al-Daulah, Kitab al-Ladzdzah, Kitab al-Ilm al-Ilahi, dll.

c. Al-Farabi (258-339 H/870-950 M)

Di Barat dikenal dengan nama Alpharbiu, lahir di Wasij (suatu desa di Farab/ Transoxania). Selain seorang
filosof, ia juga ahli dalam bidang logika, matematika, dan pengobatan. Dalam bidang fisika, ia menulis
kitab al-Musiqa. Di antara karyanya adalah: al-Tanbih ‘ala Sabil al-Sa’adat, Ihsha al-Ulum, al-Jam’ bayn
Ra’y al-Hakimayn, Fushush al-Hikam, dll.

d. Ibn Sina (370-428 H/980-1037 M)

Nama latin Ibn Sina adalah Avicenna, lahir di Afsyana (dekat Bukhara). Selain ahli filsafat dan
kedokteran, beliau juga memiliki karya dalam bidang logika, matematika, astronomi, fisika,
mineralogy, ekonomi, dan politik. Karyanya antara lain: Kitab al-Syifa, Kitab al-Nadjat, Al-Isyarat wat-
Tanbihat, Al-Hikmat al-Masyriqiyyah, dll.

e. Al-Ghazali (455-507H/1059-1111 M)

Beliau bergelar hujjatul Islam, lahir di Ghazaleh dekat Tus di Khurasan. Karyanya antara lain: Al-Munqidz
min ad-Dlalal, Tahafut al-Falasifah, Ihya Ulumuddin, Qawaid al-‘Aqaid, Misykat al-Anwar, dll.

f. Ibn Rusyd (520-595 H/1126-1198 M)

Di Barat namanya Averroes, lahir di Cordova. Bukunya yang terpenting ada empat: Bidayatul Mujtahid,
Faslul Maqal fi ma baina al-Hikmati was Syari’at min al- Ittisal, Manahij al-Adillah fi Aqaidi Ahl al-Millah,
dan Tahafut at-Tahafut.

g. Ibn Bajjah (w. 533 H/1138 M)

Beliau lahir di Saragossa dan karyanya berupa risalah antara lain: Al-Ittisal, al- Wada’, Tadbir al-
Mutawahhid, dll.

h. Ibn Tufail (506-581 H/1110-1185 M)

Beliau lahir di Granada. Karangannya tentang filsafat, fisika, metafisika, kejiwaan dan sebagainya tidak
sampai kepada kita kecuali satu yaitu risalah Hay bin Yaqzhan.
Kemajuan sains pada masa dinasti Abbasiyah didukung oleh Science Policy, yakni antara lain dengan
didirikannya akademi, sekolah dan observatorium (lembaga ilmiah yang melakukan penelitian dan
pengajarannya sekaligus) di samping perpustakaan. Dengan kebijakan tersebut menimbulkan
kemajuan-kemajuan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti:

a. Kedokteran

Tokohnya: Al-Razi dengan karyanya al-Hawi, Ibn Sina dengan karyanya al-Qanun fi al-Tibb (Canon of
Medicine) dan Materia Medica yang memuat 760 obat-obatan.

b. Ilmu Kimia

Tokohnya: Jabir Ibn Hayyan yang berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat
diubah menjadi emas atau perak dengan menggunakan obat rahasia. Ia mengetahui cara membuat asam
belerang, asam sendawa, dan aqua regia yang dapat menghancurkan emas dan perak.Ia juga
memperbaiki teori aristoteles mengenai campuran logam.241

c. Astronomi

Tokohnya: Al-Biruni dengan kitabnya al-Hind dan al-Qanun al-Mas’udi fi al-Hai’a wa al-Nujum, Nasiruddin
Tusi menyusun tabel astronomi Ilkanian, Ibn Yunus membuat perbaikan tabel astronomi dan Hakemite
Tables, Moh. Targai Ulugh Begh (cucu Timur Lenk) menyusun kitab al-Zij al-Sulthani al-Jadid yang berisi
1018 bintang.

d. Matematika

Tokohnya yang populer adalah al-Khawarizmi yang menemukan angka 0 (aljabar) pada abad IX. Angka 1-
9 berasal dari angka-angka Hindu di India.

e. Optik

Tokohnya adalah Ali al-Hasan ibnul Haitsam yang dikenal Alhazen, menulis sebuah buku besar tentang
optic “Optical Thesaurus”, mengoreksi teori Euclid dan Ptolemy. Ia juga mengembangkan teori
pemfokusan, pembesaran, dan inversi dari bayangan.

f. Fisika

Tokohnya Abdul Rahman al-Khazini, menulis kitab Mizanul Hikmah (The Scale of Wisdom) tahun 1121 M.

g. Geografi

Tokohnya: Zamakhsyari (w.1144) seorang Persia, menulis kitabul Amkina wal Jibal wal Miyah (The Book
of Places, Mountains and Waters), Yaqut menulis Mu’jamul Buldan (The Persian Book of Places) tahun
1228, Al-Qazwini menulis Aja’ib al-Buldan (The Wonders of Lands), dll.

h. Sains lainnya

Seperti Botani (Abd Latif), Antidote/penawar racun (Ibn Sarabi), Trigonometri (Jabir ibn Aflah), dan Musik
(Nasiruddin Tusi, Qutubuddin, Asy- Syirazi, dan Safiuddin).
d. Kemunduran Dinasti Abbasiyah

Setelah kekuasaan bani Seljuk berakhir, khalifah bani Abbasiyah berkuasa kembali dan titak lagi berada di
bawah pengaruh satu dinasti tertentu. Namun demikian, banyak dinasti-dinasti kecil Islam yang
independent. Wilayah kekuasaan bani Abbasiyah menyempit di Baghdad dan sekitarnya yang
menunjukkan pada kelemahan politik mereka. Keadaan ini dibaca oleh tentara Mongol dan Tartar untuk
menyerang Baghdad yang akhirnaya bisa mereka kuasai.

Masa kemunduran bani Abbasiyah sebenarnya sudah dimulai sejak periode kedua. Namun karena
khalifah yang berkuasa sangat kuat, benih kehancuran dinasti ini masih belum sempat berkembang.
Dalam sejarah kekuasaan bani Abbasiyah terlihat bahwa apabila khalifah yang berkuasa kuat, para
menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil yang hanya mendapatkan bayaran, tetapi jika
khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan sepenuhnya. Di samping
kelemahan khalifah yang menjadi penyebab kemunduran, ada beberapa faktor lain yang menjadi sebab
kemunduran khilafah bani Abbasiyah, antara lain:

1. Persaingan Antar Bangsa

Dalam berdirinya khilafah bani Abbasiyah, mereka lebih memilih bersekutu dengan bangsa Persia dari
pada bangsa Arab. Persekutuan ini disebabkan karena mereka sama-sama tertindas selama bani
Umayyah berkuasa. Di sisi lain, bangsa Arab beranggapan bahwa mereka lebih istimewa dibandingkan
dengan bangsa non Arab di dunia Islam. Pada waktu itu tidak ada kesadaran untuk merajut elemen-
elemen yang beraneka ragam tersebut dengan kuat. Akibatnya yang muncul adalah fanatisme kearaban
dan fanatisme antar bangsa. Setelah al-Mutawakkil naik tahta, dominasi Turki dalam kepemerintahan tak
terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan khilafah bani Abbasiyah sebenarnya sudah berakhir berganti ke
tangan orang-orang Turki, bani Buwaih, dan bani Seljuk.

2. Kemerosotan Ekonomi

Khilafah bani Abbasiyah juga mengalami kemunduran dalam bidang ekonomi bersamaan dengan
kemunduran dalam bidang politik. Walaupu periode pertama terbilang sukses perekonomiannya, namun
memasuki periode kedua mengalami kemerosotan. Pendapatan negara menurun, sementara
pengeluaran meningkat lebih besar. Hal ini disebabkan menyempitkan wilayah kekuasaan mereka dan
banyaknya kerusuhan yang mengganggu perekonomian bangsa.

Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian semakin memburuk. Sebaliknya,
perekonomian yang buruk semakin memperlemah kondisi polotik dinasti Abbasiayah, kedua faktor ini
saling berkaitan dan tak terpisahkan.

3. Konflik Keagamaan

Pada periode pertama sudah bermunculan gerakan-gerakan keagamaan yang membuat beberapa
khalifah waktu itu merasa berang dan berusaha untuk memberantasnya. Al-Mahdi bahkan mendirikan
jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan
memberantas bid’ah. Akan tetapi semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik di antara
merekapun bermunculan. Mulai dari polemik tentang ajaran sampai pada konflik bersenjata yang
menumpahkan darah diantara kedua belah pihak.
Konflik keagamaan tidak terbatas antar muslim dan zindiq atau Sunni dengan Syi’ah, melainkan juga
antar aliran dalam Islam. Mu’tazilah yang cenderung rasional, dituduh sebagai pembuat bid’ah oleh
golongan salaf. Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh al-Ma’mun saat menjabat sebagai
khalifah dengan menjadikan Mu’tazilah sebagai madzhab resmi dinasti Abbasiyah. Pada masa al-
Mutawakkil, giliran golongan salaf yang menjadi madzhab resmi, sementara Mu’tazilah dibatalkan.

4. Ancaman dari Luar

Setidaknya ada dua Faktor eksternal yang mempengaruhi kemunduran dinasti Abbasiyah. Pertama,
perang salib yang berlangsung dalam beberapa gelombang yang menelan banyak korban. Kedua,
serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Begitu juga orang-orang Kristen Eropa terpanggil
untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II mengeluarkan seruan kepada umat Kristen Eropa supaya
melakukan perang suci yang lebih dikenal dengan sebutan perang Salib.

BAB III

KESIMPULAN PENUTUP

a. Kesimpulan

- Bani Umayyah

Bani Umayah merupakan salah satu dinasti Islam yang cukup masyhur seperti yang penguasa-penguasa
muslim yang lain. Bahkan pada masa ini, perubahan demi perubahan dilakukan, setidaknya keberanian
Bani Umayah untuk keluar dari tradisi Arab dalam masalah pergantian kepemimpinan serta pemindahan
pusat kekuasaan dari Jazirah Arab ke Damaskus (luar jazirah Arab) menjadi bukti sederhana tentang
dinamika yang terjadi pada masa Bani Umayah berkuasa.

Tulisan di atas walaupun sangat singkat telah memberikan gambaran tentang pergulatan kekuasan Bani
Umayah dengan segala dinamikan yang terjadi selama berkuasa kurang lebih 90 tahun lamanya, di satu
sisi telah menorehkan banyak catatan kemajuan bagi Islam, tetapi pada sisi yang lain tidak juah beda
dengan penguasa-penguasa sebelumnya, yaitu ketidakmampuan dalam meminimalisir konflik politik,
yang acapkali melahirkan berbagai tragedi pertempuran di kalangan umat Islam.

Namun demikian, Bani Umayah tetaplah bagian penting dan menarik dalam sejarah umat Islam yang
harus terus dijadikan sebagai pengalaman sangat berharga, karena tidak semua yang dilakukan Bani
Umayah itu jelek, tetapi juga memiliki sisi penting yang harus ditiru oleh umat Islam. Kekuasaan Bani
Umayah yang hampir seabad lamanya dalam memimpin umat Islam, tetaplah sebuah prestasi yang harus
diapreasi secara kritis.

- Bani Abbasiyah

Masa kekuasaan bani Abbasiyah yang terbagi dalam lima periode terbilang cukup lama. Dengan
menerapkan sistem kekuasaan absolutisme, mereka telah menguasai dunia Islam lebih dari 500 tahun.
Pada saat itu pula masa kejayaan Islam direngkuh. Kemajuan yang dicapai dalam bidang fisik, ilmu
pengetahuan, poltik, ekonomi, dan banyaknya ilmuwan Islam saat itu adalah bukti konkrit bahwa Islam
mencapai puncak kejayaannya. Berbagai peristiwa penting, seperti perluasan wilayah Islam ke berbagai
daerah, juga beberapa peperangan termasuk perang dengan Byzantium, Mongol, Tartar, penumpasan
gerakan Zindiq, dan perang Salib ikut mewarnai perjalanan kepemerintahan dinasti Abbasiyah.

Bila kita cermati, dalam sejarah kekuasaan bani Abbasiyah terlihat bahwa apabila khalifah yang berkuasa
kuat, maka kepemerintahan akan berjalan baik pula. Kekuasaan sepenuhnya ada di tangan khalifah. Para
menteri cenderung hanya berperan sebagai kepala pegawai sipil. Tetapi jika yang menjabat sebagai
khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan sepenuhnya. Bahkan dalam
pengangkatan atau pemberhentian khalifah mereka sendirilah yang menentukan.

Sistem kekuasaan absolutisme yang mereka jalankan, ditengarai menjadi salah satu penyebab
kemunduran dinasti Abbasiyah. Dengan sistem yang demikian, tidak mungkin dipungkiri akan
menimbulkan kecemburuan di kalangan keluarga mereka sendiri. Apalagi dengan banyaknya kerusuhan,
baik di kalangan umat Islam sendiri ataupun serangan-serangan dari Negara lain adalah penyebab utama
kehancuran dinasti Abbasiyah.

Penutup

Alhamdullilah, makalah ini terselesaikan dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Mudah-mudahan
menjadi penumbuh ide atau isnpirasi kita bersama.

DAFTAR PUSTAKA

- Ahmed, Dr. Akbar S. Citra Muslim Tinjauan Sejarah dan Sosiologi. Jakarta : Erlangga, 1992

- Al-Mukhdhori, Muhammad Tarikh Tasyri’ al-Islami. Tempat dan penerbit tidak disebutkan, 1981

- Gibb, H.A.R. Islam dalam Lintasan Sedjarah. Jakarta : Yayasan Franklin, 1953

- Hassan, Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam, Yogyakarta, Kota Kembang

- Khaeruman, Badri, Otentisitas Hadist : Studi Kritis Atas Hadist Kontemporer. Bandung, Rosda, 2004

- Lewis, Bernard. The Crisis of Islam : Holy War and Unholy Terror, terj. Muhammad Hariri Marzuki.
Surabaya : Jawa Pos Press, 2004

- Mughni, Syafiq A. Dinamika Intelektual Islam Pada Abad Kegelapan . Surabaya : LPAM, 2002

- Sulaiman Schwartz, Stephen. Dua Wajah Islam : Modernisme vs Fundamentalisme dalam Wacana
Global, terj. Hodri Ariv. Jakarta : Balantika, 2007

- Syalabi, Prof. Dr. A. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2. Jakarta : Pustaka al-Husna, 2003

- Yatim, M.A, Drs. Badri. Sejarah Peradaban Islam . Jakarta : PT. Grafindo Persada, 1998

[1] Islam pada awalnya berkembang di tengah-tengah orang Arab dan bangsa Semit lainnya, kemudian
Islam berkembang di Iran, Kaukasus, orang kulit putih laut tengah, Slavia, Turki dan Tartar, Tinghwa,
India, Indonesia, Banu dan Negro dari Afrika Barat. H.A.R. Gibb, Islam dalam Lintasan Sedjarah (Jakarta,
Yayasan Franklin, 1953),lm. 25
[2] Bernard Lewis, The Crisis of Islam : Holy War and Unholy Terror, terj. Muhammad Hariri Marzuki
(Surabaya, Jawa Pos Press, 2004), hlm. 18

[3] Prof. Dr. A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2 (Jakarta : Pustaka al-Husna, 2003), hlm. 21

[4] Ibid. hlm. 64

[5] H.A.R. Gibb, Islam dalam Lintasan Sejarah…t. hlm. 12

[6] Drs. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta, PT. Grafindo Persada, 1998), hlm. 42

[7] Drs. Badri Khaeruman, M.Ag, Otentisitas Hadist : Studi Kritis Atas Kajian Hadst Kontemporer
(Bandung, Rosda, 2004), hlm. 39

[8] C.A. Qadir, Filsafat Dan ilmu Pengetahuan dalam Islam (Jakarta, Pustaka Obor, 2002), hlm. 37

[9] Badri Yatim, Otentisitas Hadist…. hlm. 48-49

Oleh : Ahmad Zaki Mubarak

Asal-Usul dan Pembentukan Daulah Abbasiyah

Kekuasaan dinasti Bani Abbas, atau Abbasiyah, dinamakan demikian karena para pendiri dan penguasa
dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Daulah Abbasiyah didirikan oleh
Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abass. Kekuasaannya berlangsung dalam
rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M). [1]

Berbicara tentang berdiri dan terbentuknya Abbasiyah tidak bisa terlepas dari Umayyah. Statemen ini
merupakan suatu hal yang tidak bisa diingkari, karrena berdiri dn terbentuknya Abbasiyah adalah setelah
runtuhnya Umayyah.

Pemerintahan dinasti Abbasiyah berhasil didirikan setelah munculnya berbagai pemberontakan yang
dilakukan oleh keturunan al-Abbas dan para penentang lainnya terhadap kekuasaan dinasti Umayyah di
Damaskus. Ketidak berdayaan menghadapi pemberontakan massal yang berkepanjangan menyebabkan
tumbangnya dinasti Umayyah pada tahun 750 M / 132 H dengan dikalahkannya Khalifah Marwan II.

1. “Barisan Sakit Hati” : Identifikasi Motif-Motif Gerakan Anti Umayyah

Adapun yang faktor melatarbelakangi munculnya pemberontakan atau gerakan-gerakan anti Umayyah
ini sebetulnya berbeda-beda. Ada kelompok yang mengusung sentimen keagamaan, klan (kesukuan),
bahkan kekecewaan-kekecewaan karena perlakuan diskriminatif dinasti Umayyah secara sosial-ekonomi.

Kelompok Syi’ah misalnya, mereka mengusung sentimen keagamaan sekaligus kesukuan bahkan
nampaknya ada motif “sakit hati” dalam gerekan anti umayyah yang mereka usung. Mereka tidak pernah
menyetujui pemerintahan Umayyah dan menyebut dinasti Umayyah sebagai “perebut kekuasaan” yang
sah karena mereka yakin dengan pendirian mereka bahwa pewaris tunggal dan sah dari kepemimpinan
Islam setelah Rasulullah saw adalah kalangan keluarga Nabi (Ahl Bait) termasuk keyakinan bahwa
penerus Rasulullah adalah Ali ibn Abi Thalib. Mereka juga tidak pernah memaafkan kesalahan Umayyah
terhadap Ali dan Husen. [2]
Perhatian dan ketulusan mereka terhadap keturunan Nabi, lambat laun memperoleh simpati
masyarakat, walaupun kekecewaan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap dinasti Umayyah pada
awalnya bukan atas dasar sentimen yang sama dengan keyakinan kaum Syi’ah. Di Irak misalnya, yang
mayoritas masyarakatnya menganut paham Syi’ah, penentangan pada pemerintah Umayyah, pada
awalnya dipicu oleh kekecewaan karena mendapatkan diskriminasi politik, sosial, dan ekonomi, lambat
laun mulai mewujud dalam sentimen keagamaan yang diusung oleh kaum Syi’ah. Selain kelompok Syi’ah,
kaum suni sekalipun mereka mengecam pemerintah Umayyah, tapi dengan dalih bahwa para khalifah
terlalu mementingkan kehidupan duniawi dan mengabaikan hukum al-Qur'an dan Hadis.[3]

Selain kedua kelompok diatas, ada satu kekuatan destruktif lainnya yang mulai aktif bergerak dengan
mempropagandakan hak keluarga Hasyim. Mereka adalah bani Abbas, para keturunan paman Nabi al-
Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim. Mereka mengusung sentimen kedekatan hubungan nasab dengan
Nabi sebagai otoritas pemegang kekuasaan Islam.[4] Mereka dengan cerdik bergabung dengan kelompok
Syi’ah untuk menentang pemerintah Umayyah dengan menekankan hak bani Hasyim.

Dengan memanfaatkan kekecewaan publik dan mengidentifikasi diri sebagai gerakan pembela Islam yang
sejati, para keturunan Abbas segera menjadi pioner pergerakan anti Umayyah.

Selain kelompok barisan sakit hati yang dimotori oleh Bani Abbas-Syi’ah ini, ada juga kelompok sosial
masyarakat yang disebut dengan Mawali (masyarakat Islam non Arab –khususnya orang Persia-- yang
dianggap kelompok sosial kelas dua ) yang merasa diperlakukan diskriminatif dan dianak tirikan oleh
penguasa Umayyah yang Arab sentris. Mereka secara umum diposisikan sebagai mantan budak (mawla)
yang tidak pernah lepas dari kewajiban membayar pajak kepala yang biasa dikenakan kepada masyarakat
non-muslim. Selain kecewa atas perlakuan diskriminatif tersebut, hal lain yang semakin menegaskan
kekecewaan mereka adalah kenyataan bahwa mereka memiliki budaya yang lebih tinggi dan lebih tua,
kenyataan yang bahkan diakui oleh orang Arab sendiri[5].

Kekecewaan kaum mawali ini direspon secara cerdas oleh kelompok Bani Abbas - Syi’ah yang terlebih
dulu berkoalisi. Mereka seolah-olah menemukan lahan yang subur untuk menyebar benih propaganda
mereka yang selanjutnya terbentuklah koalisi Syi’ah, Persia (Mawali) dan Bani Abbas yang dipimpin oleh
golongan Abbasiyah.

Namun demikian, secara diam-diam bani Abbasiyah telah mempunyai niat untuk merebut kursi
kekhalifahan dari Umayyah. Mereka melakukan gerakan bawah tanah dengan sikap sangat hati-hati dan
perhitungan sebelum muncul dalam revolusi terbuka. Selain itu ketika mengorganisir pemberontakan
anti Umayyah di Khurasan, bani Abbasiyyah dengan cerdik menjaga dan menyembunyikan kepentingan
politis mereka untuk merebut kekuasaan dengan memakai kedok mengatas namakan “keturunan Nabi”
(bani Hasyim). Langkah politis ini diambil selain untuk menghindari deteksi intelijen dinasti Umayyah,
juga untuk mendapatkan dukungan sepenuhnya dari kaum Syi’ah yang beranggapan bahwa gerakan anti
Umayyah ini adalah untuk memenangkan keturunan Ali (Alawiyah), serta untuk mengakomodir
kepentingan kelompok-kelompok lain dalam satu platform perjuangan. [6]

2. Awal Mula Revolusi Abbasiyah

Kesempatan yang paling baik yang diperoleh oleh bani Abbasiyah dalam melakukan propaganda adalah
pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz. Pada masa ini, kebenaran dan keadilan lebih tinggi dari
segala-galanya. Tidak ada keistimewaan keturunan Umayyah dari umat Islam lainnya. Rakyat bebas
menyatakan pendapat mereka.[7]Sungguhpun tindakan Umar ini benar secara normatif, akan tetapi
secara politis tindakannya ini telah melemahkan pemerintahannya sendiri.

Pada masa pemerintahan Hisyam ibn Abdul Malik, gerakan oposisi yang dilakukan oleh bani Abbasiyah
telah memperoleh pengikut yang banyak. Muhammad ibn Ali, [8] sebagai promotor dari gerakan
tersebut setelah memilih tiga daerah sebagai pusat gerakan yaitu Hamimah, Kufah dan Khurasan. Daerah
Hamimah adalah posko utama yang mengontrol seluruh kegiatan. Daerah Kufah adalah sebagai tempat
bertemunya kader-kader utusan dari Hamimah dan kader-kader propaganda dari Khurasan. Sedangkan
Khurasan sendiri adalah sebagai tempat untuk melakukan kegiatan propaganda.[9]

Langkah pertama yang memperoleh sukses besar dalam propaganda tersebut dipelopori oleh Abu
Muslim al-Khurasani.[10] Bentuk-bentuk propaganda yang dilakukannya adalah menyebarkan informasi
kepada masyarakat dengan mengatakan bahwa golongan Abbasiyah termasuk golongan ahlul bait.
Disamping itu dia juga menyalakan api kebencian dan kemarahan terhadap Umayyah karena selalu
melakukan intimidasi terhadap golongan ahlul bait. Kemudian terhadap orang-orang mslim non arab
(mawali) isu yang disebarkannya adalah persamaan derajat, sehingga dari hari-kehari api kebencian umat
Islam semakim menyala dan memanas.[11]

Pada tahun 125 H Muhammad ibn Ali wafat.[12] Sebelum wafatnya ia telah meninggalkan wasiat kepada
anaknya Ibrahim ibn Muhammad untuk melanjutkan perjuangannya. Namun demikian, ternyata Ibrahim
tidak diberi waktu yang cukup lama untuk memimpin revolusi ini, karena tidak lama kemudian ia juga
meninggal dunia, yaitu pada tahun 129 H.[13] Setelah itu pimpinan puncak dari gerakan revolusi
tersebut dipegang oleh saudaranya Abdullah ibn Muhammad (Abu al-Abbas) ditangan dialah gerakan
revolusi ini memperlihatkan taringnya.

Sebelum wafatnya, Ibrahim sudah memerintahkan kepada Abu Muslim untuk menggerakan revolusi fisik
secara terang-terangan. Namun demikian, ia tertangkap dan dipenjarakan.

Selanjutnya, dengan keahliannya Abu Muslim mampu menghimpun kekuatan untuk mengempur
Umayyah melalui revolusi fisik. Ia berhasil memanfaatkan situasi permusuhan antara orang-orang Yaman
dengan orang-orang Mudar di wilayah Khurasan. Yang menjadi gubernur di Khurasan waktu itu adalah
Nasr ibn Sayar, seorang keturunan Mudar. Dengan taktik devide et impera, gubernur Nasr dapat
dikalahkan. Setelah itu ia juga berhasil menguasai kota Maru dan Naisabur. Sehingga seluruh kekuatan
Umayyah di selatan dapat dikuasainya.[14] Bersamaan dengan itu, Abdullah ibn Muhammad juga telah
bergerak untuk menggempur ibu kota Umayyah, Damaskus. Sehingga Marwan ibn Muhammad Khalifah
Umayyah yang terakhir tidak sasnggup menghadapi serbuannya. Ia melarikan diri dari Damaskus ke
Mesir namun akhirnya dapat ditangkap oleh pasukan Abdullah ibn Muhammad.

Dua pasukan tersebut yaitu pasukan Abu Muslim al-Khurasani dan pasukan Abdullah ibn Muhammad
bertemu di Kufah. Disana telah menunggu Abu Salamah al-Khalal,[15] ia mengundang seluruh penduduk
Kufah untuk berkumpul di mesjid untuk memilih seorang khalifah. Dalam pidatonya ia mengatakan:

“Abu Muslim telah berhasil membela agama Islam dan menghancurkan Umayyah yang penuh dosa. Oleh
karena itu kita harus memilih seorang imam atau khalifah yang akan memimpin umat Islam. Tidak ada
yang lebih utama dalam hal kesalehan, kemampuan dalam segala kebajikan yang diperlukan untuk
kedudukan tersebut selain dari Abdullah ibn Muhammad”.
Dialah yang diusulkan kepada umat Islam supaya dipilih menjadi khalifah. Mendengar penjelasan
tersebut seluruh orang yang hadir di mesjid Kufah pada waktu itu mengatakan setuju dengan
mengumandangkan takbir. Sejak itu resmilah Abdullah ibn Muhammad (Abu Abbas as-Saffah) menjadi
khalifah.[16]

Peristiwa ini terjadi pada hari kamis tanggal 30 Oktober 749 M,[17] dan merupakan hal yang sangat
penting sekali artinya karena seseorang tidak akan sampai ketampuk Pemerintahan sebelum dilakukan
pembaiatan terhadapnya. Pembai’atan tersebut adalah semacam penobatan yang dilakukan oleh rakyat,
dan merupakan satu-satunya pegangan yang pasti bagi seseorang untuk menaiki tahta kekhalifahannya.
[18]

Abdullah ibn Muhammad dalam pidato pertamanya setelah dibaiat, mengatakan : “dan sesungguhnya
aku berharap kalian tidak akan lagi didatangi oleh kezaliman pada saat kebaikan telah datang kepada
kalian, tidak pula kehancuran pada saat perbaikan telah kalian dapatkan”. Setelah itu berdiri pula
pamannya, Daud ibn Ali dan menegaskan kepada orang banyak : “demi Allah gerakan yang telah kami
lakukan sama sekali tujuannya bukanlah untuk menumpuk harta, membangun istana atau yang lainnya,
akan tetapi sesungguhnya kami telah bertindak demi memprotes perampasan hak kami, dan demi
membela putra-putra paman kami (Ali ibn Abi Thalib), juga dikarenakan buruknya perlakuan Umayyah
terhadap kalian, baik penghinaan mereka terhadap kalian maupun monopoli mereka terhadap harta
yang menjadi hak kalian. Maka dengan ini kami berjanji kepada kalian demi kesetiaan kami kepada Allah
dan Rasulnya, dan demi kehormatan Abbas untuk memimpin kalian semua sesuai dengan apa yang
diturunkan oleh Allah, melaksanakan kitab Allah, dan berjalan baik dikalangan umum maupun khusus,
dengan teladan Rasulullah saw”.[19]

Sejak saat itulah Daulah Abbasiyah dinyatakan berdiri dengan khalifah pertamanya Abu al-Abbas as-
Saffah. Daulah ini berlangsung kurang lebih sampai tahun 1258 M (sekitar 5 abad). Masa yang panjang
itu dilaluinya dengan pola pemerintahan dan kebijakan politik yang berubah-ubah sesuai perubahan
iklim politik, sosial dan budaya penguasa. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu,
para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:[20]

Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.

Periode Kedua (232 H/847 M-334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki pertama.

Periode Ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan
khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.

Periode Keempat (447 H/1055 M-590 H/l194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam
pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.

Periode Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi
kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.

3. Faktor-Faktor Keberhasilan Revolusi Abbasiyah


keberhasilan menumbangkan rezim Umayyah tersebut, tidak bisa dilepaskan dari beberapa faktor
yaitu, :

Gencarnya propaganda yang dilakukan oleh bani Abbas kepada penduduk yang merasa kecewa
dengan kepemerintahan rezim Umayyah.

Kecerdikan para pemimpin revolusi untuk mencari dukungan dari masyarakat yang termasuk barisan
“sakit hati” yang disebabkan perlakuan rezim Umayyah yang diskriminatif dengan mengusung materi-
materi propaganda yang sensitif yang menimbulkan kebencian terhadap rezim Umayyah sehingga
memudahkan mobilisasi massa.

Mempunyai strategi politik yang cantik dalam mengemas kepentingan golongan (bani Abbas) menjadi
common platform perjuangan yang disepakati bersama guna melawan rezim Umayyah.

Kepemerintahan Umayyah yang “zalim” dan korup ikut menyumbang naiknya saham kebencian
masyarakat.

Konflik internal yang dialami oleh rezim Umayyah serta kebijakan-kebijakannya turut memperlemah
kekuasaan mereka sendiri.[21]

[1] Ibn Katsir, al-Bidayah wa al-Nihayah, Jld. V (Beirut: Dar al-Fikr, 1933), hlm. 39-40; lihat juga Abu Ja’far
Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, Tarikh al-Thabari Juz. VIII (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), hlm. 8-9.

[2] Lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Hakim dan Dedi Slamet Riyadi,
(Jakarta: Serambi, 2005), hlm. 351-352.

[3] Ibid.

[4] Namun selain itu nampaknya ada sentimen kesukuan yang tersembuni dibalik argumen mereka yang
tidak bisa dinafikan, yaitu faktor persaingan supremasi kesukuan atau kabilah antara bani Hasyim dan
Bani Umayyah yang memang bani Hasyim pada masa dinasti Umayyah berada dipihak yang
terpinggirkan. Dalam kultur Arab membela kepentingan kabilah merupakan kewajiban untuk menjaga
kehormatan atau supremasi, bahkan kalau perlu dengan nyawa sekalipun. Lihat Ibn Khaldun,
Muqadimah, terj. Ahmadi Thoha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986) hlm. 53.

[5] Philip K. Hitti, History…. , hlm. 353

[6] John L. Esposito (ed.), Islam : Kekuasaan Pemerintah, Doktrin Iman dan Realitas Sosial, terj. M. Khoirul
Anam (Depok: Inisiasi Press, 2004), hlm. 41

[7] Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam I (Jakarta: PT. Ikhtiyar Baru Van Hoeve, 1994), h. 4

[8] Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Abbas. Ia dikenal sebagai seorang
pemuda yang tajam akal pikirannya, bijaksana dan bercita-cita tinggi. Dia banyak belajar dari
pengalaman kaum Syi’ah yang selalu gagal dalam setiap pemberontakannya. Hal ini yang membuatnya
sangat berhati-hati sekali dalam melakukan gerakan revolusi, lihat A. Sya’labi, Sejarah dan Kebudayaan
Islam. (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993), hlm. 10.

[9] Ibid.

[10] Abu Muslim al-Khurasani adalah seorang ahli strategi terbesar dalam gerakan bawah tanah dan
militer pada masa selanjutnya. Ditangan dialah pecah revolusi terbesar dalm sejarah Islam yang
berakibat dia digelari Great Revolution on Islam. Lihat Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulah Abbasiyah I
(Jakarta: Bulan Bintang 1988), hlm. 13-14.

[11] JJ. Saunders, a History of Medieval Islam (London: Routledge and Kegan Paul, 1980), hlm. 101.

[12] A. Sya’labi, Op.Cit., hlm. 14.

[13] Joesoef Sou’yb, Op.Cit, h. 17.

[14] Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam I (Jakarta: PT. Ikhtiyar Baru Van Hoeve, 1994),
hlm. 45.

[15] Abu Salamah al-Khalal adalah seorang yang bijak dibidang politik dan pemerintahan, seorang yang
kaya, cakap dalam bertindak terhadap segala problem yang dihadapi oleh gerakan Abbasiyah. Di kufah ia
ditunjuk sebagai tali penghubung antara al-Khurasan dan Hamimah, lihat A. Sya’labi, Op.Cit, hlm. 27.

[16] Syed Amir Ali, Short History of The Saracend (NewDelhi: Kitab Bhayan, 1981), hlm. 208.

[17] Philip. K. Hitti, History…, hlm. 355; lihat juga W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam : Kajian Kritis dari
Tokoh Orientalis (Jogjakarta, Tiara Wacana, 1990), h. 31.

[18] Philips K. Hitti, Op.Cit, h. 14.

[19] Abu A’la al-Mawdudi, Khilafah dan Kerajaan (Bandung: Mizan, 1992), cet. IV, hlm. 248-249.

[20] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 49

[21] Beberapa faktor yang disinyalir menjadi penyebab kemunduran Dinasti Umayyah antara lain
Pertama, karena kebijakan pemerintah untuk melakukan ekspansi Islam ke berbagai wilayah baru sangat
menyita konsentrasi dan energi. Kedua, lambatnya pemerintah dalam merespon perubahan sosial
politik yang bergeser kearah kosmopolitanisme, dimana pada pasca tahun 700 H jumlah kaum mawali
melebihi jumlah orang muslim Arab yang tentunya membutuhkan suatu perubahan kebijakan sosial
politik yang signifikan. Ketiga, Konflik Internal dalam keluarga Umayyah dan Keempat, gaya hidup
hedonistik anak-anak khalifah dan pejabat membuat mereka tidak siap dan tidak mampu memikul beban
negara yang demikian berat.

PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah Swt. Tuhan Seru Sekalian Alam, Dzat Yang
Maha Tinggi Sumber Kebajikan dan Kearifan, atas rahmat dan karunia-Nya makalah ini dapat selesai.
Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan semesta alam, Rasulullah Muhammad Saw. yang
selalu mengajarkan untuk tawadhu dan bijak dengan ilmu yang dimiliki.
Makalah ini dibuat dengan maksud memaparkan sejarah singkat tentang kemunduran dan
Runtuhnya Dinasti Abbasiyah.

Diharapkan makalah ini dapat menjadi sumber referensi; pendobrak minat baca; pendobrak motivasi
hidup; menjadi ilmu yang terus mengalir manfaatnya sepanjang jaman, tanpa menafikan bahwa pada
dasarnya makalah ini dapat digunakan untuk semua kalangan, karena setiap manusia, tua atau muda
mempunyai otak dengan berbagai potensi pikiran yang dimilikinnya.

Tak lupa, Penulis akui makalah ini jauh dari kesempurnaan Penulis mohon maaf apabila ada
kesalahan atau kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk perbaikan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri umumnya bagi pembaca.

Bandung, Oktober 2013

Penulis,

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah

Roda kepemimpinan tidak selalu di kendalikan oleh orang atau sekelompok orang. Oleh karena itu,
sering kali terjadi perubahan tatanan dalam suatu kepemimpinan yang menganggap bahwa perombakan
adalah salah satu jalan untuk meraih kesejatian dalam kepemimpinan tersebut. Yang pasti adalah untuk
meraih suatu kebaikan maka juga harus ditempuh melalui jalur yang baik pula.

Agama Islam yang dalam hal ini memberikan corak kepemimpinan yang disebut sebagai khalifah
tentunya memiliki tawaran tersendiri yang memang dianggap pas untuk menjadi penengah di dunia
Islam. Salah satu potensi yang dimiliki oleh orang-orang Islam yang menjadikan Al-Qur’an sebagai
pedoman adalah, Islam betul-betul mampu menawarkan pemecahan yang damai terhadap segala
penyakit sosial. Kedua, mampu menyediakan kesempatan dalam spectrum.

.Daulat Bani Abbas yang terbentuk pada tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M) juga berangkat dari
dasar lalu menciptakan pola pembangunan bangsa hingga mencapai puncak kejayaannya. Lalu pada
babakan selanjutnya mengalami kemunduran hingga mengalami keruntuhan.

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari uraian di atas, dapat diangkat suatu permasalahan yaitu mengapa dunia Islam mengalami
kemunduran dalam peradaban dunia?, agar permasalahan tersebut tidak meluas, maka akan diuraikan
sub permasalahan berikut ini:

1. Apa faktor intern yang menyebabkan terjadinya kehancuran pada Dinasti

Bani Abbasiyah ?

2. Apa faktor intern yang menyebabkan terjadinya kehancuran pada Dinasti

Bani Abbasiyah ?

C. Tujuan dan Mamfaat Penulisan

Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata kuliah Sejarah Peradaban Islam (SPI).
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk Menjadi bahan renungan bagi generasi Islam masa
sekarang maupun masa depan mengenai penyebab keruntuhan suatu peradaban dan Memperkaya
khasanah penulisan sejarah peradaban dunia, khususnya

Kebudayaan Islam, dan lebih spesifik lagi sejarah yang terkait dengan runtuhnya

kekuasaan Bani Abbasiyah.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Faktor-faktor penyebab kemunduran

Berahirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atau Kahalifah Abbasiyah merupakan awal dari
periode kelima. Pada periode ini, Khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu Dinasti
tertantu, walaupun banyak sekali Dinasti Islam yang berdiari. Ada diantaranya yang cukup besar, namun
yang terbanyak adalah Dinasti terkecil. Para Khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembai,
tetapihanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan Khalifah yang sempit ini menunjukkan
kelemahan politiknya. Pada pada saat inilah tentara Mongol dan tatar menyerang menyerang Baghdad.
Baghdad dapat direbut dan dihancurkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat
tentara Mongol ini adalah awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.

Sebagaimana terliahat peridiosiasi Khalifah Abbasiyah, masa kemunduran di mulai dengan periode
kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-
benihnya sudah dapat terlihat diperiode pertama, hanya karena Khalifah pada periode ini sangat kuat,
benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Dinasti terlihat bahwa apabila
Khalifah kuat, para mentri cendrung berperan sebagai kepada pegawai sipil, tetapi jika Khalifah lemah,
mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.

Di samping kelemahan Khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan Khalifah Abbasiyah menjadi
mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya sebagai
berikut:

a. Factor intern

1) Kemewahan hidup di kalangan penguasa

Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Dinasti Abbasiyah pada
periode pertama telah mendorng para penguasa untuk hidup mewah dari pada pendahulunya. Kondisi
ini member peluang kepada tentara professional asal Turki untuk mengambil alih kendali pemerintahan.

2) Perebutan kekuasaan antara keluarga Bani Abbasiyah

Perbutan kekuasaan dimulai sejak masa Al-Ma’mun dengan Al-Amin. Ditambah dengan masuknya unsur
Turki dan Parsi. Setelah Al- Mutawakkil wafat, pergantian Khalifah terjadi secara tidak wajar. Dari kedua
belas Khalifah pada periode Dinasti Abbasiyah, hanya empat orang yang wafat dengan wajar. Sebaliknya,
para Khalifah itu wafat karena dibunuh atau diracun dan diturunkan secara paksa.
3) Konflik Keagamaan

Sejak terjadinya konflik antara Muawiyahdan Khalifah Ali yang berakhir dengan lahirnya tiga
kelompok umat: pengikut Muawiyah, Syi’ah, dan Khawarij. Ketiga kelompok ini senantiasa berebut
pengaruh. Yang senantiasa berpengaruh pada kekhalifaan Abbasiyah adalah kelompok Sunni dan
kelompok Syi’ah. Walaupun pada masa-masa tertentu antara kelompok Sunni dan Kelompok Syi’ah saling
mendukung, misalnya pada masa pemerintahan Buwaihi, antara kedua kelompok tak pernah ada satu
kesepakatan. Gerakan al-afsin qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.

Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi’ah, sehingga
banyak aliran Syi’ah yang dipandang ghulat (ekstrem) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi’ah
sendiri. Aliran Syi’ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yangberhadapan dengan paham
Ahlussunnah. Antara keduanya, sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-
Mutawakkil, misalnya , agar makam husein di Karbela dihancurkan. Namun, anaknya , Al-Muntashir (861-
862M), kembali memperkenalkan orang Syi’ah menziarahi makam Husein tersebut. Syi’ah pernah
berkuasa didalam Khlifah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di
Maroko dan Khalifah Fatimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi’ah memerdekakan diri dari Baghdad yang
Sunni.

Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan Zindiq atau
Ahlussunnah dengan Syi’ah saja, tetapi juga antar aliran dalam Islam. Mu’tazilah yang cenderung
nasional dituduh sebagai pembuat bid’ah oleh golongan salaf . Perselisihan antara dua golongan ini
dipertajam oleh Al-ma’mun. Khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah ( 813-833M.), dengan menjadikan
Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara dan melakukan mihnah. Pada masa Al-Mutawakkil (847-861),
aliran Mu’tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan salaf kembali naik daun. Tidak toleranya
pengikut Hambali itu (salaf) terhadap Mu’tazilah yang rasional telah menyempitkan horizon intelektual.

Aliran Mu’tazilah bangkit kembali pada masa dinasti Buwaih. Namun, pada masa dinasti Seljuk yang
menganut aliran Asy’ariyah, penyingkiran golongan Mu’tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan
dukungan penguasa aliran Asy’ariyah tumbuh subur dan Berjaya. Pikiran-pikiran Al-Gazali yang
mendukung aliran ini menjadi cirri utama paham Ahlussunnah. Pemikiran-pemikiran tersebut
mempunyai efek yang tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas intelektual Islam, konon
sampai sekarang.

Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan:

“Agama Muhammmad SAW. Seperti juga agama Isa a.s, terkeping-terkeping oleh perpecahan dan
perselisihan dari dalam. Perbedaaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak munkin ada
kepastianya dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih
besar dan permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam
lingkungan pengetahuan manusia … Soal kehendak bebas manusia… telah menyebabkan kekacauan yang
rumit yang rumit dalam Islam… Pendapat bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah…
menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga.

b. Factor ekstrn

1) Banyakanya pemberontakan

Banyaknya daerah yang tidak dikuasai oleh Khalifah, akibat kebijakan yang lebih
menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayan Islam, secara real, daerah-daerah itu berada
dibawah kekuasaan gubernur-gubernur yang bersangkutan. Akibatnya, Provinsi-provinsi tersebut banyak
melepaskan diri dari genggaman penguasa Bani Abbas. Adapun cara Provinsi-provinsi tersebut
melepasakan diri dari kekuasaan Baghdad adalah: Pertama, seorang pemimpin local memimpin suatau
pemberontakan dan berhasil memperoleh kemenangan penuh, seperti Daulah Umayyah di Spanyol dan
Idrisiyah di Maroko. Kedua, seorang yang ditunjuk gubernur oleh Khalifah, kedudukanya semakin
bertambah kuat, kemudian melepaskan diri, seperti Daulat Aglabiyah di Tunisia dan Tahariyah di
Kurasan.

2) Ancaman dari luar

Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Disamping itu, ada pula faktor-faktor eksternal
yang menyebabkan Khalifah Abbasiyah lebah dan akhirnya hancur.Pertama, perang Salib yang
berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban. Kedua, seranagan tentara
Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah disebutkan, bahwa orang-orang Kristen Eropa
terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urabanus II (1088-1099M) mengeluarkan fatwanya. Perang
Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada diwilayah kekuasaan
Islam. Namun, diantara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang
tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara salib itu.

Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuaan tentara Mongol.

Disebutkan bahwa Hulaguku Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak
dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasiosiasi dengan
orang-orang Mongol yang anti-Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahl al-kitab. Tentara Mongol,
setelah menghancurleburkan pisat-pusat Islam , ikut memperbaiki Yerussalem.

B. Sebab-sebab kehancuran Dinasti Abbasiyah

1. Faktor Intern

a) Lemahnya semangat petriotisme Negara, menyebabkan jiwa jihad yang diajarkan Islam tidak
berdaya lagi menahan segala amukan yang datang, baik dari dalam maupun dari luar.
b) Hilangnya sifat dalam segala perjanjian yang dibuat, sehingga kerusakan moral dan kerendahan
budi menghancurkan sifat-sifat baik yang mendukung Negara selama ini.

c) Tidak percaya terhadap kekuatan sendiri. Dalam mengatasi berbagai pemberontakan, Khalifah
mengundang kekuatan asing. Akibatnya, kekuatan asing tersebut memanfaatkan kelemahan Khalifah.

d) Fanatik madzhab persaingan dan perebutan yang tiada henti antara Abbasiyah dan Alawiyah
menyebanbkan kekuatan umat Islam menjadi lemah, bahkan hancur berkeping-keping.

Perang idelogi antara syi’ah dari Fatimiah melawan Ahlu Sunnah dari Abbasiyah , bayak menimbulkan
korban. Aliran Qaramithah yang sangat ektrem dalam tindakan-tindakanya yang dapat menimbulkan
bentrokan di masyarakat. Kelompok hashshashin yang dipimpin oleh Hasan bin Shabah yang berasal dari
thus di Parsi merupakan aliran Islamiyah, salah satu sakte Syi’ah adalah kelompok yang sangat dikenal
kekejamanya, yang sering melskukan pembunuhan terhadap penguasa Bani Abbasiyah yang beraliran
Sunni.Pada saat terakhir dari hayatnya Abbasiyah, tentara Tartar yang datang dari luardibantu dari dalam
dan dibukakan jalanya oleh golongan Awiliyin dipimpin oleh Alqamiy.

e) Kemerosotan ekonomi terjadi karena banyaknya aggaran yang digunakan untuk tentara, benyaknya
pemberontakan dan kebiasaan penguasa utuk berfoya-foya, kehidupan para Khalifah dan keluarga serta
pejabat-pejabat Negara yang hidup mewah, jenis pengeluaran yang makin beragam, serta pejabat
korupsi, dan semakin sempitnya wilayah kekuasaan Khalifah karena banyak Provinsi yang telah
memisahkan diri.

2.Faktor Ekstern

Disentegrasi, akibat kebijakan untuk lebih mengutamakan pembinaan dan kebudayaan Islam dari pada
politik, provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai melepaskan [diri] dari genggaman penguasa Dinasti
Abbasiyah. Mereka bukan sekedar melepaskan diri dari kekuasaan Khalifah, tetapi memberontak dan
berusaha merebut pusat kekuasaan di Baqdad. Hal ini dimanfaatkan oleh pihak luar dan banyak
mengorbangkan umat Sumber Daya Manusia (SDM).

BAB III

PENUTUP
Demikianlah makalah ini dibuat untuk menguraikan beberapa data penting terkait Faktor Kemundurah
dan Kehancuran Khalifah Bani Abbasiyah. Beberapa catatan penting yang menjadi inti dari pembahasan
di atas dapat diuraikan sebagai berikut, yaitu:

1. Catatan yang mengurai secara ringkas tentang faktor penyebab kemunduran Dinasti Bani Abbas
yaitu faktor internal dimana keluarga penguasa cenderung mengejar kemewahan hidup, perebutan
kekuasaan antara keluarga Banis Abbasiyah serta adanya konflik keagamaan. Sedangkan faktor eksternal
yaitu banyaknya pemberontakan banyaknya pemberontakan akibatnya luasnya wilayah kekuasaan yang
semakin tidak terkontrol, adannya dominasi bangsa Turki.

2. Faktor yang paling berbahaya dan menjadi ancaman terbesar bagi kekuasaan khalifah Bani
Abbasiya adalah karena mereka telah melupakan salah satu pilar terpenting dari Rukun Islam, yakni
Jihad. Andaikata mereka mengarahkan potensi dan energi umat untuk melawan orang-orag salib, tidak
akan muncul pemberontakan-pemberontakan yang muncul didalam negeri yang ujungnya hanya
mengghancurkan pemerintahan Abbasiyah. Akhirnya, Munculnya serangan orang-orang Mongolia yang
mengakhiri semua perjalanan pemerintahan Bani Abbasiyah.

Demikianlah uraian singkat makalah ini, semoga memberi manfaat untuk kita semua, terutama bagi
pribadi penyusun.

DAFTAR PUSTAKA

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (DIrasah Islamiyah II), Cet. XXIII, Penerbit Rajawali Press, Jakarta,
tahun 2011.

Supriyadi Dedi, Sejarah Peradaban Islam), Cet. X, Penerbit Pustaka Setia, Jakarta,

tahun 2008.

Berita Politik Humaniora Ekonomi Hiburan Olahraga Lifestyle Wisata Kesehatan Tekno Media Muda
Green Jakarta Fiksiana Freez

Home

Humaniora

Sejarah

Artikel

Sejarah

Harun Al Rasyid
Pembelajar Sejati

Jadikan Teman | Kirim Pesan

Faktor-faktor Penyebab Kemunduran Abbasiyyah

REP | 28 February 2014 | 00:00 Dibaca: 238 Komentar: 0 1

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB

KEMUNDURAN ABBASIYYAH

- Patut dicatat kemunduran Abbasiyyah tidak berarti berakhirnya kemakmuran; kehidupan intelektual
terus berkembang, perekonomian masyarakat tetap membaik; maka kemunduran itu hanya berarti:
transformasi sifat kerajaan dan kegagalan mempersatukan kemaharajaan yang luas ke dalam suatu
kesatuan politis.

- Faktor-faktor di sini adalah yang secara jelas menyebabkan keruntuhan Dinasti Abbasiyyah. Mungkin
ada pula faktor yang lain, karenanya, sayangnya, subjek ini, masih diteliti secara belum lengkap.

1. Luasnya wilayah yang harus dikendalikan.

- Lambatnya komunikasi [tentu saja, antisipasi dan solusi menyertai], meskipun dapat diatasi, oleh
karena itu yang paling mendesak adalah

- suatu tingkat tertentu saling percaya antara: penguasa-penguasa utama dan para pelaksana
pemerintahan. Mis.

- Syari’ah tidak pernah diterapkan dalam hubungan antara para menteri dan pejabat tinggi satu sama lain
dan kepada khalifah.

Imbalan jabatan amat besar, tetapi kesempatan menikmati di masa tua sangat kecil; hukuman mati,
penyiksaan, adalah perlakuan biasa terhadap wazir yang diberhentikan; pemenjaraan dan penyitaan
harta adalah praktik normal.
- Akibatnya, setiap orang akan berusaha mencari keuntungannya sendiri dengan merugikan yang lain;

- Lalu, makin sulit bagi khalifah untuk memperoleh orang-orang yang akan ditunjuk sebagai gubernur
propinsi yang bisa dipercaya untuk mengirim ke Baghdad surplus pajak.

2. Meningkatnya ketergantungan pada tentara bayaran dan, bisa jadi, berkaitan dengan perkembangan
teknologi militer.

- Meskipun masalah ini disadari, tetapi para khalifah tampaknya menganggap tidak mungkin kembali ke
model tentara milisi yang terdiri dari warga kota.

- Maka, menjadi penting bagi khalifah dan gubernur untuk memiliki tentara yang setia pada dirinya
pribadi dengan membayar mereka secara tetap.

- Pemakaian tentara bayaran juga berarti bahwa makin banyak uang dikeluarkan makin kuat tentara yang
dimiliki.

- Maka, untuk mempertahankan posisinya khalifah memerlukan kekuatan militer yang cukup untuk
menanggulangi para pembangkang, namun beresiko: semakin beban keuangan sulit diatasi.

- Barangkali, karena adanya esprit de corps, para tentara jauh lebih dekat dengan perwira-perwira yang
berasal dari ras yang sama ketimbang “orang asing” yang berwenang; maka, sebenarnya, hanya uanglah
yang bisa membeli kesetiaan mereka.

3. Yang terpenting adalah faktor keuangan.

- Sampai dengan 919 uang dalam jumlah besar masih dikirim ke Baghdad.

- Namun, menjadi kebiasaan untuk mengumpulkan uang ini melalui “sistem pemborongan” pajak;
kadang-kadang hak untuk mengumpulkan pajak dalam satu daerah diborongkan pada para pemimpin
tentara yang dianggap efisien.
- Ketika kekuatan militer merosot, khalifah tidak sanggup mengirim militer untuk memungut pajak, maka
pemasukan menurun; dan ini bisa berarti ada pemberontakan oleh tentara atau kekuatan militernya
berkurang sehingga berkurang pula kemampuannya mengumpulkan pajak.

- Yang terjadi kemudian: penerapan denda yang besar atau menyitanya begitu saja dari orang-orang kaya
yang, betapapun juga, kekayaaannya mungkin didapat secara tidak sah.

- Cara lain: tentara diberi tanah bukan uang, dan ini, pada gilirannya mengurangi jumlah yang harus
dibayar ke perbendaharaan negara.

Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al Abbas dan Abu
ja’far Al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu
al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775-786 M), Harun al-Rasyid (786-809 M), al-Ma’mun (813-833 M), al-
Mu’tashim (833-842 M), al-Wasiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).

Kalifah Harun al-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang mencintai seni dan ilmu. Ia banyak meluangkan
waktunya untuk berdiskusi dengan kalangan ilmuwan dan mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap
seni.

Al-Rasyid mengembangkan satu akademi Gundishapur yang didirikan oleh Anushirvan pada tahun 555
M. pada masa pemerintahannya lembaga tersebut dijadikan sebagai pusat pengembangan dan
penerjemahan bidang ilmu kedokteran, obat dan falsafah.

Dari gambaran diatas terlihat bahwa, Dinasti Bani Abbas pada periode pertama lebih menekankan
pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. disinilah perbedaan pokok
antara Bani Abbas dan Bani Umayyah.

Kehancuran Dinasti Bani Abbas

Berakhirnya kekuasaan dinasti Seljuk atas Baghdad atau khalifah Abbsiyah merupakan awal dari periode
kelima. Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada dibawah kekuasaan suatu dinasti tertentu,
walaupun banyak sekali Dinasti islam berdiri. Ada diantaranya dinasti yang cukup besar, namun yang
terbanyak adalah dinasti kecil. Para khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi
hanya di Baghdad sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukan kelemahan
politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan tatar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan
dihancurluluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol
ini adalah awal babak baru dalam sejarah islam, yang disebut masa pertengahan.

Sebagaimana

1. Persaingan Antarbangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan
dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya
sama-saama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan
persekutuan itu. Menurut Stryzewska,11 ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia
daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada
masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan
adanya Ashabiyyah kesukuan. Dengan demikian, khilafah Abbasiyyah tidak ditegakkan di atas
`ashabiyyah tradisional.

Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan
raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu, bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir
di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia
Islam.

Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa
yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka disatukan dengan
bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang
bermacam-macam tersebut dengan kuat.12 Akibatnya, disamping Fanatisme kearaban, muncul juga
fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu`ubiyah.

Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal
khalifah Abbasiyyah berdiri. Akan tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu
menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah Al-Mutawakkil, seorang khlaifah
yang lemah, naik tahta, dominasi tentara turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas
sebenarnya telah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut
oleh Bani Buwaih, bangsa Persia pada periode ketiga dan selanjutnya beralih kepada dinasti Saljuk pada
periode keempat.

2. Kemerosotan Ekonomi

Khalifah Abbasiyyah juga mengalami kemunduran dibidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di
bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya.
Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta. Pertambahan
dana yang besar diperoleh dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi.

Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan Negara menurun, sementara pengeluaran
meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan Negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya
wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya
pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti.
Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat
semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam, dan para pejabat melakukan korupsi.

3. Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak
sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme,
Zoroasterisme dan Mazdakisme. Gerakan ini dikenal dengan gerakan Zindiq yang menyebabkan menurut
para khalifah dan orang-orang yang beriman harus diberantas, sehingga menyebabkan konflik diantara
keduanya, mulai polemik tentang ajaran hingga berlanjut kepada konflik bersenjata yang menumpahkan
darah dari kedua belah pihak.

Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung dibalik ajaran Syi`ah, sehingga
banyak aliran syi`ah yang dipandang ghulat (ekstrem) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi`ah
sendiri. Aliran Syi`ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan faham
Ahlussunnah wal Jama`ah.

Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindik atau
ahlussunnah dengan syi`ah saja, tetapi juga antaraliran dalam Islam. Mu`tazilah yang cenderung rasional
dituduh sebagai pembuat bidah oleh golongan salaf.

Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan:

“Agama Muhammad Saw. seperti juga Agama Isa as., terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan
dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya
dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan
permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam
lingkungan pengetahuan manusia…soal kehendak bebas manusia …telah menyebabkan kekacauan yang
rumit dalam Islam…pendapat bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah mustahil berbuat
salah…menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga”.

4. Ancaman dari luar

Apa yang disebutkan di atas adalah factor-faktor internal. Disamping itu, ada pula factor-faktor eksternal
yang menyebabkan khalifah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur. Pertama, perang salib yang
berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban. Kedua, serangan tentara
Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa
terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang
Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan
Islam. Namun, di antara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang
tertarik dengan dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib itu.13

Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan,
panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha
dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti-Islam itu
dan diperkeras di kantong-kantong ahl al-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancurleburkan pusat-
pusat Islam, ikut memperbaiki yerussalem.

Berbagai faktor yang telah menyokong tegaknya imperium Abbasiyah, yakni kalangan elite imperium dan
bentuk-bentuk kulturnya, sekaligus juga menyokong kehancuran dan transformasi imperium tersebut.
Bahkan kemerosotan Abbasiyah telah berlangsung disaat berlangsung konsolidasi. Ketika rezim ini
sedang memperkuat militernya dan institusi pemerintahan, dan sedang mendorong sebuah kemajuan
ekonomi dan kultur, terjadi beberapa peristiwa yang pada akhirnya mengharubirukan nasib imperium
Abbasiyah.

Semenjak awal pemerintahan Harun al-Rasyid (786-809) problem suksesi menjadi sangat kritis. Harun
telah mewasiatkan tahta kekhalifahan kepada putra mertuanya, al-Amin, dan kepada putranya yang lebih
muda yang bernama al-Makmun, seorang gubernur Khurasan dan orang yang berhak menjabat tahta
khilafah sepeninggal kakaknya. Setelah kematian Harun, al-Amin berusaha mengkhianati hak adiknya dan
menunjuk anak laki-lakinya sebagai penggantinya kelak. Akibatnya pecahlah perang sipil. Al-amin
didukung oleh militer Abbasiyah di Baghdad, sementara al-Makmun harus berjuang untuk
memerdekakan Khurasan dalam rangka untuk mendapatkan dukungan dari pasukan perang Khurasan.
Al-makmun berhasil mengalahkan saudara tuanya, al-Amin , dan mengklaim khilafah pada tahun 813.
Namun peperangan sengit tersebut tidak hanya melemahkan kekuatan militer Abbasiyah melainkan juga
melemahkan warga iraq dan sejumlah propinsi lainnya.

Al-Makmun berusaha menghadapi musuh-musuhnya dan sejumlah warga yang tidak mau berdamai
dengan sebuah kebijakan ganda. Satu sisi kebijakan tersebut bertujuan untuk mempertahankan
legitimasi kekhilafan dengan menguasai seluruh urusan keagamaan. Kebijakan ini, sebagaimana yang
telah kita lihat, tidak membawa hasil dan gagal. Kebijakan ini justru menghilangkan dukungan
masyarakat umum terhadap sang khalifah.Al-Makmun juga mengambil sebuah kebijakan politik, untuk
menguasai kekhilafahan secara mutlak, al-Makmun menggantungkan dukungan seorang panglima
khurasan, yang bernama Thahir, yang diberikan imbalan sebagai gubernur khurasan (820-822) dan
menjadi jenderal militer Abbasiyah diseluruh imperium dan disertai janji bahwa jabatan-jabatan tersebut
dapat diwariskan kepada keturunannya, selain mendatangkan manfaat yang bersifat sementara konsesi
atas sebuah jabatan gubernur yang dapat diwariskan menggagalkan tujuan Abbasiyah untuk menyatukan
sebuah wilayah propinsi besar menjadi sebuah system pemerintahan politik yang memusat ditangan
pemerintahan pusat. Upaya untuk menyatukan kalangan elit dibawah arahan khalifah tidak akan
terwujud dan sebagai gantinya imperium dikuasai oleh sebuah persekutuan khalifah dengan kuasa
gubernuran besa

1. Persaingan Antarbangsa

Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan
dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya
sama-saama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan
persekutuan itu. Menurut Stryzewska,11 ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia
daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada
masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan
adanya Ashabiyyah kesukuan. Dengan demikian, khilafah Abbasiyyah tidak ditegakkan di atas
`ashabiyyah tradisional.

Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan
raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu, bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir
di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia
Islam.
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa
yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka disatukan dengan
bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang
bermacam-macam tersebut dengan kuat.12 Akibatnya, disamping Fanatisme kearaban, muncul juga
fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu`ubiyah.

Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal
khalifah Abbasiyyah berdiri. Akan tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu
menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah Al-Mutawakkil, seorang khlaifah
yang lemah, naik tahta, dominasi tentara turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas
sebenarnya telah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut
oleh Bani Buwaih, bangsa Persia pada periode ketiga dan selanjutnya beralih kepada dinasti Saljuk pada
periode keempat.

2. Kemerosotan Ekonomi

Khalifah Abbasiyyah juga mengalami kemunduran dibidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di
bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya.
Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta. Pertambahan
dana yang besar diperoleh dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi.

Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan Negara menurun, sementara pengeluaran
meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan Negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya
wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya
pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti.
Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat
semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam, dan para pejabat melakukan korupsi.

3. Konflik Keagamaan

Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak
sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme,
Zoroasterisme dan Mazdakisme. Gerakan ini dikenal dengan gerakan Zindiq yang menyebabkan menurut
para khalifah dan orang-orang yang beriman harus diberantas, sehingga menyebabkan konflik diantara
keduanya, mulai polemik tentang ajaran hingga berlanjut kepada konflik bersenjata yang menumpahkan
darah dari kedua belah pihak.

Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung dibalik ajaran Syi`ah, sehingga
banyak aliran syi`ah yang dipandang ghulat (ekstrem) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi`ah
sendiri. Aliran Syi`ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan faham
Ahlussunnah wal Jama`ah.

Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindik atau
ahlussunnah dengan syi`ah saja, tetapi juga antaraliran dalam Islam. Mu`tazilah yang cenderung rasional
dituduh sebagai pembuat bidah oleh golongan salaf.
Berkenaan dengan konflik keagamaan itu, Syed Ameer Ali mengatakan:

“Agama Muhammad Saw. seperti juga Agama Isa as., terkeping-keping oleh perpecahan dan perselisihan
dari dalam. Perbedaan pendapat mengenai soal-soal abstrak yang tidak mungkin ada kepastiannya
dalam suatu kehidupan yang mempunyai akhir, selalu menimbulkan kepahitan yang lebih besar dan
permusuhan yang lebih sengit dari perbedaan-perbedaan mengenai hal-hal yang masih dalam
lingkungan pengetahuan manusia…soal kehendak bebas manusia …telah menyebabkan kekacauan yang
rumit dalam Islam…pendapat bahwa rakyat dan kepala agama mustahil berbuat salah mustahil berbuat
salah…menjadi sebab binasanya jiwa-jiwa berharga”.

4. Ancaman dari luar

Apa yang disebutkan di atas adalah factor-faktor internal. Disamping itu, ada pula factor-faktor eksternal
yang menyebabkan khalifah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur. Pertama, perang salib yang
berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban. Kedua, serangan tentara
Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa
terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang
Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan
Islam. Namun, di antara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang
tertarik dengan dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib itu.13

Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan,
panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha
dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti-Islam itu
dan diperkeras di kantong-kantong ahl al-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancurleburkan pusat-
pusat Islam, ikut memperbaiki yerussalem.

Berbagai faktor yang telah menyokong tegaknya imperium Abbasiyah, yakni kalangan elite imperium dan
bentuk-bentuk kulturnya, sekaligus juga menyokong kehancuran dan transformasi imperium tersebut.
Bahkan kemerosotan Abbasiyah telah berlangsung disaat berlangsung konsolidasi. Ketika rezim ini
sedang memperkuat militernya dan institusi pemerintahan, dan sedang mendorong sebuah kemajuan
ekonomi dan kultur, terjadi beberapa peristiwa yang pada akhirnya mengharubirukan nasib imperium
Abbasiyah.

Semenjak awal pemerintahan Harun al-Rasyid (786-809) problem suksesi menjadi sangat kritis. Harun
telah mewasiatkan tahta kekhalifahan kepada putra mertuanya, al-Amin, dan kepada putranya yang lebih
muda yang bernama al-Makmun, seorang gubernur Khurasan dan orang yang berhak menjabat tahta
khilafah sepeninggal kakaknya. Setelah kematian Harun, al-Amin berusaha mengkhianati hak adiknya dan
menunjuk anak laki-lakinya sebagai penggantinya kelak. Akibatnya pecahlah perang sipil. Al-amin
didukung oleh militer Abbasiyah di Baghdad, sementara al-Makmun harus berjuang untuk
memerdekakan Khurasan dalam rangka untuk mendapatkan dukungan dari pasukan perang Khurasan.
Al-makmun berhasil mengalahkan saudara tuanya, al-Amin , dan mengklaim khilafah pada tahun 813.
Namun peperangan sengit tersebut tidak hanya melemahkan kekuatan militer Abbasiyah melainkan juga
melemahkan warga iraq dan sejumlah propinsi lainnya.
Al-Makmun berusaha menghadapi musuh-musuhnya dan sejumlah warga yang tidak mau berdamai
dengan sebuah kebijakan ganda. Satu sisi kebijakan tersebut bertujuan untuk mempertahankan
legitimasi kekhilafan dengan menguasai seluruh urusan keagamaan. Kebijakan ini, sebagaimana yang
telah kita lihat, tidak membawa hasil dan gagal. Kebijakan ini justru menghilangkan dukungan
masyarakat umum terhadap sang khalifah.Al-Makmun juga mengambil sebuah kebijakan politik, untuk
menguasai kekhilafahan secara mutlak, al-Makmun menggantungkan dukungan seorang panglima
khurasan, yang bernama Thahir, yang diberikan imbalan sebagai gubernur khurasan (820-822) dan
menjadi jenderal militer Abbasiyah diseluruh imperium dan disertai janji bahwa jabatan-jabatan tersebut
dapat diwariskan kepada keturunannya, selain mendatangkan manfaat yang bersifat sementara konsesi
atas sebuah jabatan gubernur yang dapat diwariskan menggagalkan tujuan Abbasiyah untuk menyatukan
sebuah wilayah propinsi besar menjadi sebuah system pemerintahan politik yang memusat ditangan
pemerintahan pusat. Upaya untuk menyatukan kalangan elit dibawah arahan khalifah tidak akan
terwujud dan sebagai gantinya imperium dikuasai oleh sebuah persekutuan khalifah dengan kuasa
gubernuran besa

KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN DINASTI ABBASIYAH

Youchenky Salahuddin Mayeli | Jumat, Mei 02, 2014 | 1komentar

Telah tercatat dalam sejarah bahwa Islam telah berjaya dan mengalami kemajuan dalam segala bidang
selama beratus-ratus tahun, namun disisi lain umat islam juga pernah mengalami kemunduran dan
keterbelakangan.

Dinasti Bani Abbasiyah, sebagai dinasti kedua dalam sejarah pemerintahan umat Islam setelah dinasti
Bani Umayyah, dalam sejarah perjalanannya mengalami fase-fase yang sama dengan dinasti Umayyah,
yakni fase kelahiran, perkembangan, kejayaan, kemudian memasuki masa-masa sulit dan akhirnya
mundur dan jatuh.

Kemunduran dan kehancuran Dinasti Abbasiyah yang menjadi awal kemunduran dunia Islam terjadi
dengan proses kausalitas sebagaimana yang dialami oleh dinasti sebelumnya. Konflik internal, ketidak
mampuan khalifah dalam mengkonsolidasi wilayah kekuasaannya, budaya hedonis yang melanda
keluarga istana dan sebagainay, disamping itu juga terdapat ancaman dari luar seperti serbuan tentara
salib ke wilayah-wilayah Islam dan serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Dalam
makalah ini penulis akan membahas sebab-sebab kemunduran dan kehancuran Dinasti Abbasiyah serta
dinamikanya.

Tak ada gading yang tak retak. Mungkin pepatah inilah yang sangat pas untuk dijadikan cermin atas
kejayaan yang digapai bani Abbasiah. Meskipun Daulah Abbasiyah begitu bercahaya dalam mendulang
kesuksesan dalam hampir segala bidang, namun akhirnya iapun mulai menurun dan akhirnya runtuh.
Menurut beberapa literatur, ada beberapa sebab keruntuhan daulah Abbasyiah, yaitu:
A. Faktor Internal

Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak
datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah
pada periode ini sangat kuat, sehingga benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah
kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai
kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.

Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi
mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah
sebagai berikut:[1]

1. Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan

Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan
dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa.
Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap
mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih
orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan
Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri
terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak
ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.

Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan
raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir
di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab ('ajam)
di dunia Islam.

Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para
khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai
dan tentara. Khalifah Al-Mu’tashim (218-227 H) yang memberi peluang besar kepada bangsa Turki untuk
masuk dalam pemerintahan. Mereka di diangkat menjadi orang-orang penting di pemerintahan, diberi
istana dan rumah dalam kota. Merekapun menjadi dominan dan menguasai tempat yang mereka diami.
[2]
Setelah al-Mutawakkil (232-247 H), seorang Khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki
semakin kuat, mereka dapat menentukan siapa yang diangkat jadi Khalifah. Sejak itu kekuasaan Bani
Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian
direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga (334-447), dan selanjutnya beralih kepada
Dinasti Seljuk, bangsa Turki pada periode keempat (447-590H).[3]

2. Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil Yang Memerdekakan Diri

Wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama hingga masa keruntuhan sangat luas, meliputi
berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Walaupun
dalam kenyataannya banyak daerah yang tidak dikuasai oleh Khalifah, secara riil, daerah-daerah itu
berada di bawah kekuasaaan gubernur-gubernur bersangkutan. Hubungan dengan Khalifah hanya
ditandai dengan pembayaran upeti.[4]

Ada kemungkinan penguasa Bani Abbas sudah cukup puas dengan pengakuan nominal, dengan
pembayaran upeti. Alasannya, karena Khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk, tingkat
saling percaya di kalangan penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah dan juga para penguasa
Abbasiyah lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.
[5] Selain itu, penyebab utama mengapa banyak daerah yang memerdekakan diri adalah terjadinya
kekacauan atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan oleh bangsa Persia dan
Turki.[6] Akibatnya propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani
Abbas. Dinasti yang lahir dan memisahkan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, di
antaranya adalah:

Yang berkembasaan Persia: Thahiriyyah di Khurasan (205-259 H), Shafariyah di Fars (254-290 H),
Samaniyah di Transoxania (261-389 H), Sajiyyah di Azerbaijan (266-318 H), Buwaihiyyah, bahkan
menguasai Baghdad (320-447).

Yang berbangsa Turki: Thuluniyah di Mesir (254-292 H), Ikhsyidiyah di Turkistan (320-560 H),
Ghaznawiyah di Afganistan (352-585 H), Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya

Yang berbangsa Kurdi: al-Barzukani (348-406 H), Abu Ali (380-489 H), Ayubiyah (564-648 H).

Yang berbangsa Arab: Idrisiyyah di Marokko (172-375 h), Aghlabiyyah di Tunisia (18-289 H), Dulafiyah
di Kurdistan (210-285 H), Alawiyah di Tabaristan (250-316 H), Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil (317-
394 H), Mazyadiyyah di Hillah (403-545 H), Ukailiyyah di Maushil (386-489 H), Mirdasiyyah di Aleppo
414-472 H).

Yang Mengaku sebagai Khalifah : Umawiyah di Spanyol dan Fatimiyah di Mesir.[7]

3. Kemerosotan Perekonomian
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang
masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta. Perekonomian masyarakat
sangat maju terutama dalam bidang pertanian, perdagangan dan industri. Tetapi setelah memasuki masa
kemunduran politik, perekonomian pun ikut mengalami kemunduran yang drastis.[8]

Setelah khilafah memasuki periode kemunduran ini, pendapatan negara menurun sementara
pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin
menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian
rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi
membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para
khalifah dan pejabat semakin mewah. jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan
korupsi.[9]

Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi
ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah, faktor ini saling berkaitan dan tak
terpisahkan.

4. Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Keagamaan

Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai untuk menjadi penguasa, maka kekecewaan itu
mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme.
Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah.

Khalifah Al-Manshur yang berusaha keras memberantasnya, beliau juga memerangi Khawarij yang
mendirikan Negara Shafariyah di Sajalmasah pada tahun 140 H.[10] Setelah al Manshur wafat digantikan
oleh putranya Al-Mahdi yang lebih keras dalam memerangi orang-orang Zindiq bahkan beliau mendirikan
jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan mereka serta melakukan mihnah dengan tujuan
memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum
beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik
tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak.
Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.

Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga
banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah
sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham
Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-
Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun
anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan orang syi'ah "menziarahi" makam
Husein tersebut.[11] Syi'ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari
seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah
yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.

Selain itu terjadi juga konflik dengan aliran Islam lainnya seperti perselisihan antara Ahlusunnah dengan
Mu'tazilah, yang dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan
menjadikan mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil
(847-861 M), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan ahlusunnah kembali naik
daun. Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa dinasti Seljuk yang
menganut paham Asy'ariyyah penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis.
Dengan didukung penguasa, aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya.[12]

B. Faktor Eksternal

Selain yang disebutkan diatas, yang merupakan faktor-faktor internal kemunduran dan kehancuran
Khilafah bani Abbas. Ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan
akhirnya hancur.

1. Perang Salib

Kekalahan tentara Romawi telah menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang kristen
terhadap ummat Islam. Kebencian itu bertambah setelah Dinasti Saljuk yang menguasai Baitul Maqdis
menerapkan beberapa peraturan yang dirasakan sangat menyulitkan orang-orang Kristen yang ingin
berziarah kesana. Oleh karena itu pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II menyerukan kepada ummat
kristen Eropa untuk melakukan perang suci, yang kemudian dikenal dengan nama Perang Salib.

Perang salib yang berlangsung dalam beberapa gelombang atau periode telah banyak menelan korban
dan menguasai beberapa wilaya Islam. Setelah melakukan peperangan antara tahun 1097-1124 M
mereka berhasil menguasai Nicea, Edessa, Baitul Maqdis, Akka, Tripoli dan kota Tyre.[13]

2. Serangan Mongolia ke Negeri Muslim dan Berakhirnya Dinasti Abbasiyah


Orang-orang Mongolia adalah bangsa yang berasal dari Asia Tengah. Sebuah kawasan terjauh di China.
Terdiri dari kabilah-kabilah yang kemudian disatukan oleh Jenghis Khan (603-624 H).

Sebagai awal penghancuran Bagdad dan Khilafah Islam, orang-orang Mongolia menguasai negeri-negeri
Asia Tengah Khurasan dan Persia dan juga menguasai Asia Kecil.[14] Pada bulan September 1257, Hulagu
mengirimkan ultimatum kepada Khalifah agar menyerah dan mendesak agar tembok kota sebelah luar
diruntuhkan. Tetapi Khalifah tetap enggan memberikan jawaban. Maka pada Januari 1258, Hulagu khan
menghancurkan tembok ibukota.[15] Sementara itu Khalifah al-Mu’tashim langsung menyerah dan
berangkat ke base pasukan mongolia. Setelah itu para pemimpin dan fuqaha juga keluar, sepuluh hari
kemudian mereka semua dieksekusi. Dan Hulagu beserta pasukannya menghancurkan kota Baghdad dan
membakarnya. Pembunuhan berlangsung selama 40 hari dengan jumlah korban sekitar dua juta orang.
[16] Dan Dengan terbunuhnya Khalifah al-Mu’tashim telah menandai babak akhir dari Dinasti Abbasiyah.

KESIMPULAN

Dari uraian masalah di atas, maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:

1. Kemunduran dinasti Abbasiyah, secara umum disebabkan oleh dua faktor; Internal dan Eksternal.

- Secara internal dapat dirinci sebagai berikut:

Tampilnya penguasa lemah yang sulit mengendalikan wilayah yang sangat luas ditambah sistem
komunikasi yang masih sangat lemah dan belum maju menyebabkan lepasnya daerah satu per satu.

Kecenderungan para penguasa untuk hidup mewah, mencolok dan berfoya-foya kemudian diikuti oleh
para hartawan dan anak-anak pejabat ikut menyebabkan roda pemerintahan terganggu dan rakyat
menjadi miskin.

Dualisme pemerintahan, secara de jure dipegang oleh Abbasiyah, tetapi secara de facto digerakkan
oleh oleh tentara profesional asal Turki yang semula diangkat oleh al-mu’tashim untuk mengambil
kendali pemerintahan.

Praktek korupsi oleh penguasa diiringi munculnya nepotisme yang tidak profesional di berbagai
propinsi.
Perang saudara antara al-Amin dan al-Ma’mun secara jelas membagi Abbasiyah dalam dua kubu, yaitu
kubu Arab dan Persia, Pertentangan antara Arab-non Arab, perselisihan antara muslim dengan non-
muslim, dan perpecahan di kalangan umat Islam sendiri.

- Secara ekternal disebabkan oleh karena Abbasiyah menghadapi perlawanan yang sangat gencar dari
dunia luar. Pertama, mereka mendapat serangan secara tidak langsung dari pasukan Salib di Barat.
Kedua, serangan secara langsung dari orang Mongol yang berasal dari Timur ke wilayah kekuasaan Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, K., Sejarah Islam Tarikh Pra Modern, Cet. IV; Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2003.

al-Isy, Yusuuf, Tarikh ‘Ashr Al-Khilafah Al-‘Abbasiyyah, Terj. Arif Munandar, Jakarta Pustaka Al-Kautsar,
2007.

al-Usyairy, Ahmad, Attarikh al-Islami, Terj. Samson Rahman, Jakarta: Akbar, 2003.

Amstrong, Karen, Islam A Short History, New York: Moder Library, 2000, diterjemahkan oleh. Ira puspito
Rini, Sepintas Sejarah Islam, Yokyakarta: Ikon Teralitera, 2002.

Hasan, Ibrahim Hasan, Sejarah Kebudayaan Islam, Yogyakarta: Penerbit Kota Kembang, 1989.

Hitti, Philip K., History Of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi, 2008.

Yatim, Badari , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II, Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2000.

Karim, M. Abdul., Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Book Publisher,
2007.
[1] Badari yatim , sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2000),
h.80

[2] Yusuuf al-Isy, Tarikh ‘Ashr Al-Khilafah Al-‘Abbasiyyah, Terj. Arif Munandar, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2007), h. 102-104

[3] Badari yatim , op.cit., h. 50

[4] Ibid., h.63

[5] Ibid.,

[6] Yusuuf al-Isy, op. cit., h. 137

[7] Badari yatim ,op. cit., h. 65-66. lihat juga Yusuuf al-Isy, Tarikh ‘Ashr Al-Khilafah Al-‘Abbasiyyah, Terj.
Arif Munandar, hlm. 261- 297

[8] Philip K. Hitti, History Of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, (Jakarta: Serambi, 2008), h. 436 dan
618

[9] Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, Jil. 1, Kairo, Lajnah al-Ta’lif wa al-Nasyr. yang dikutip Badari yatim ,
sejarah peradaban Islam Dirasah islamiayah II. h. 82

[10] Ahmad al-Usyairy, Attarikh al-Islami, Terj. Samson Rahman, (Jakarta: Akbar, 2003), h. 224

[11] Badari yatim, op.cit., h. 83

[12] Ibid. h. 84
[13] Ibid. h. 76-79. K. Ali, Sejarah Islam Tarikh Pra Modern, (Cet. IV; Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,
2003), h. 411. Karen Amstrong, Islam A Short History, (New York: Moder Library, 2000), terj. Ira puspito
Rini, Sepintas Sejarah Islam, (Yokyakarta: Ikon Teralitera, 2002), h.114

[14] Ahmad al-Usyairy, Attarikh al-Islami, terj. Samson Rahman, (Jakarta: Akbar, 2003). h. 258

Anda mungkin juga menyukai