Anda di halaman 1dari 31

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Kesulitan Makan

a. Definisi

Palmer et al. (2003) mendefinisikan kesulitan makan

sebagai ketidakmampuan untuk makan atau penolakan makanan

tertentu diakibatkan karena disfungsi neuromotorik, lesi obstruktif,

atau faktor psikososial atau kombinasi dua atau lebih penyebab

tersebut yang mempengaruhi makan. Kesulitan makan terjadi

paling tidak selama satu bulan dengan pertanda tidak bisa makan

dalam jumlah yang adekuat sehingga tidak bisa mencapai berat

badan yang seharusnya, bahkan kehilangan berat badan, pada usia

sebelum 6 tahun (Waugh et al., 2010).

Makan adalah suatu proses fisiologis yang berkembang

secara alamiah. Seiring dengan bertambahnya usia, keterampilan

makan bayi (oromotor skills) juga terus berkembang. Setelah usia 6

bulan bayi mulai memperlihatkan minat terhadap makanan lain

selain yang berbentuk susu (ASI atau formula). Makan merupakan

suatu keterampilan sehingga perlu dilatih (Rosen, 2010). Pada

sebagian besar anak, belajar makan merupakan suatu proses yang


commit to user

5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
6

berjalan secara alami. Perkembangan keterampilan makan dimulai

dari gerakan otomatis (refleks), selanjutnya belajar dari

pengalaman sensorik dan motorik, dan akhirnya mencapai pola

gerakan yang terampil (Chatoor, 2009).

Keluhan mengenai anak yang sulit makan menjadi masalah

yang sering diungkapkan oleh orang tua ketika membawa anaknya

ke dokter. Keluhan ini terjadi hampir merata tanpa membedakan

jenis kelamin, etnis, dan status sosial ekonomi (Pudjiadi, 2001).

Beberapa masalah makan yang sering muncul antara lain rewel,

muntah, pilih-pilih makanan, fobia makan, makan dengan lambat,

dan penolakan makanan.

Walaupun terkadang kesulitan makan hanya bersifat

sementara, beberapa kasus penolakan makan yang menetap

dijumpai pada 3-10% anak (Claude&Bonnin, 2006). Survei di

Italia mengungkapkan 6% bayi mengalami kesulitan makan,

kemudian meningkat 25-40% pada saat fase akhir pertumbuhan

(Sacrato et al., 2010). Sekitar 25% dari populasi anak normal dan

80% anak dengan gangguan perkembangan mengalami kesulitan

makan (Chatoor, 2009).

Data American Academy of Pediatrics menyebutkan tiga

perempat anak dengan kesulitan makan mulai menolak untuk

makan pada tahun pertama kehidupan berlanjut hingga usia dua

tahun, dan setelah itu menetap diikuti dengan berat badan yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
7

kurang. Sebuah penelitian oleh The Gateshead Millenium Baby

Study pada tahun 2006 di Inggris menyebutkan 20% orangtua

melaporkan anaknya mengalami masalah makan, dengan

prevalensi tertinggi anak hanya mau makan-makanan tertentu

(Wright et al., 2007). Studi lain di Amerika Serikat menyebutkan

19-50% orang tua mengeluhkan anaknya sangat pemilih dalam

makan sehingga terjadi defisiensi zat gizi tertentu

(Piazza&Hernandez, 2004).

b. Etiologi

Kesulitan makan disebabkan oleh 2 faktor yaitu faktor

organik dan non organik.

1) Faktor organik, antara lain:

a) Ketidakmampuan menerima nutrisi secara adekuat

Meliputi: disfagia (abnormalitas struktural

nasofaring, laring, trakea, dan esophagus), kelainan

neurologis (palsi serebralis, malformasi Arnold-Chiari,

mielomeningokel, distrofi muskular, distrofi okulofaringeal,

myasthenia gravis, sindrom Mobius), serta penyakit

sistemik yang berkaitan dengan anoreksia.

b) Ketidakmampuan untuk menggunakan kalori secara

adekuat

Meliputi: muntah terus-menerus, refluks

gastroesofageal, ruminasi, malabsorpsi atau maldigesti,


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8

bibir sumbing, diare kronik, penyakit inflamasi usus,

kelainan saluran cerna, usus pendek, fibrosis kistik, asidosis

tubulus renal, kelainan metabolisme bawaan, penyakit

coeliac, serta alergi atau intoleransi makanan tertentu.

c) Peningkatan kebutuhan kalori

Meliputi: demam, hipertiroid, penyakit jantung

bawaan, dan displasia bronkopulmonar.

d) Perubahan atau gangguan potensi pertumbuhan

Meliputi: anomali kongenital, aberasi kromosom,

prematur, hambatan pertumbuhan janin, paparan obat atau

toksin, serta endokrinopati

2) Sedangkan faktor non-organik, antara lain:

a) Ketidakmampuan untuk menyediakan kalori secara adekuat

Meliputi: faktor sosial ekonomi buruk, produksi ASI

tidak adekuat, dan pemberian MP-ASI yang tidak

mencukupi.

b) Faktor psikososial

Meliputi: trauma yang berhubungan dengan proses

makan, interaksi yang kurang baik antara ibu dan anak,

gangguan perilaku, orang tua tunggal, lingkungan sosial

tidak mendukung, serta keluarga tidak harmonis.

c) Informasi yang salah tentang cara pemberian makan pada

anak
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9

Meliputi: kesalahan menyiapkan susu formula,

konsumsi jus buah yang berlebihan, persepsi yang salah

tentang diet dan cara pemberian makan pada anak,

kepercayaan atau adat-istiadat tentang pola makan yang

salah (Stein, 2000).

c. Picky Eater

Berdasarkan keluhan utama saat proses makan berlangsung,

Irene Chatoor (2009) mengelompokkan kesulitan makan sebagai

berikut: gangguan pengaturan pola makan, gangguan interaksi bayi

dan pengasuh, anoreksia infantile, sensory food aversion, gangguan

makan pasca trauma, serta gangguan makan terkait penyakit

organik.

Kesulitan makan sensory food aversion sering disebut juga

picky eaters, selective eaters, choosy eaters, atau food neophobia.

Sesuai dengan namanya, anak dengan gangguan ini sangat pemilih

dalam hal memilih makanan. Anak biasanya akan makan dalam

jumlah sedikit, secara pelan-pelan, dan tidak tertarik pada makanan

dengan karakteristik tertentu. Chatoor mengenalkan istilah sensory

food aversions untuk menggambarkan penolakan yang konsisten

selama minimal 1 bulan terhadap makanan tertentu dikarenakan

rasa, tekstur, bau, atau penampilan makanan tersebut (Chatoor,

2009). Chatoor mengemukakan hipotesis bahwa masalah makan ini

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10

disebabkan fisiologi abnormal, yaitu perubahan papil pengecap

(altered taste buds).

Timmi et al. pada tahun 1997, mendefinisikan selective

eaters sebagai suatu perilaku pada anak yang sangat keras hati

menolak makanan di luar rentang makanan yang disukai,

mencakup upaya penolakan seperti tersedak, meludahkan

makanan, perilaku yang mengganggu saat makan, memainkan

makanan saat makan, makan sangat pelan, dan kesulitan

mengunyah makanan.

Rydell et al. (1995) mendiskripsikan choosy eaters sebagai

anak-anak yang pemilih, dimana menolak makanan, makan hanya

sedikit, dan menunjukkan ketidaktertarikan terhadap suatu

makanan. Dove et al. (2008) menjelaskan terdapat dua hal dalam

masalah penolakan makanan, yaitu food neophobia dan picky

eater. Perbedaannya hanya dalam teori dan perilaku. Food

neophobia adalah bagian dari picky eater. Food neophobia secara

umum diartikan sebagai keengganan makan-makanan baru atau

penolakan makanan baru. Sebaliknya, picky eater didefinisikan

sebagai anak-anak yang menolak untuk mengonsumsi berbagai

makanan yang tidak lazim serta asing dengan jumlah yang tidak

memadai.

Picky eater juga dikaitkan dengan konsumsi makan yang

sedikit, lama, dan penerimaan jumlah makanan yang terbatas


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11

(Wright et al., 2007). UKK nutrisi dan penyakit metabolik

menganut literatur yang meyatakan bahwa picky eater masih

merupakan fase normal dalam perkembangan seorang anak.

Kriteria diagnosis picky eater adalah anak yang menolak makanan

tertentu atau pilih-pilih makan, namun masih mengonsumsi

makanan dari empat kelompok makanan, yaitu karbohidrat,

protein, sayur atau buah, dan susu (Sjarif, 2011). Picky eater terjadi

pada masa Batita (Boquin et al., 2014). Asupan nutrisi berupa

karbohidrat, vitamin, dan zat besi pada anak picky eaters secara

signifikan menunjukkan hasil di bawah anak yang tidak mengalami

masalah makan (Carruth et al., 2004).

Alasan anak dengan picky eater sangat kompleks, bisa

karena rendahnya kualitas makanan, ketidakcocokan tingkah laku

makan dari keluarga maupun pengasuh, sedikitnya variasi

makanan, serta pengaruh dukungan keluarga dalam pembentukan

pola makan (Alarcon et al., 2003). Faktor yang mempengaruhi

terjadinya food neophobia dan picky eater antara lain tekanan

dalam proses makan, tipe kepribadian, parental feeding styles, dan

pengaruh lingkungan (Dovey et al., 2008).

Mengenai penyebab picky eater belum ada penelitian

empiris yang menyebutkan dengan pasti. Namun secara genetik

beberapa orang memiliki sensitivitas terhadap rasa dan tekstur

terentu, bahkan kadang terhadap lingkungan. Seperti misalnya


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12

tidak suka bila lingkungan di sekitarnya kotor, tidak senang bila

tangannya kotor, dan lebih mudah merasa cemas. Pada keadaan

demikian anak akan menolak untuk makan. Perilaku pemaksaan

oleh orang tua dapat meningkatkan terjadinya penolakan dan anak

menjadi tidak tertarik dengan makanan tersebut. Orang tua

menentukan pola konsumsi makanan anak, faktor pendidikan

sangat mempengaruhi pemenuhan makanan. Orang tua dengan

tingkat pendidikan dan pendapatan tinggi mempengaruhi konsumsi

makanan yang lebih sehat. Faktor lingkungan memberikan

pengaruh langsung yang sangat luas, termasuk kepercayaan, tradisi

makan, dan kesempatan terhadap tingkat konsumsi makan anak.

Apabila terdapat kesulitan dalam pemenuhan makanan, anak akan

mengganti pilihan makanan yang baru dengan makanan yang

sudah ada tanpa mau mencoba makanan yang lainnya (Gregory et

al., 2010).

Bagi anak akan lebih menarik untuk mencoba makanan

baru apa yang orangtuanya makan, daripada dipaksa makan.

Orangtua dapat membiarkan anaknya melihat apa yang dimakan

sampai anak meminta untuk mencoba makanan tersebut. Anak

cenderung lebih antusias mencoba makanan tersebut tanpa begitu

mempedulikan rasa atau teksturnya (Chatoor, 2009).

Bentuk neofobia yang menetap dan patologis adalah food

selectivity atau selective eater, didefinisikan sebagai keterbatasan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13

penerimaan terhadap makanan yang tidak sesuai dengan usia dan

tahap perkembangan (Cox et al., 2004). Penolakan makan ini

menjadi bermasalah karena menyebabkan hilangnya asupan salah

satu dari keempat kelompok makanan sehingga anak berisiko

mengalami defisiensi makronutrien atau mikronutrien tertentu

(Galloway, 2003).

d. Pedoman Pemberian Makan

Pemberian makan tidak sekedar untuk memenuhi

kebutuhan gizi namun juga merupakan bentuk komunikasi,

pembelajaran, dan bentuk kasih sayang antara orangtua dan anak,

sehingga tercipta suasana yang menyenangkan saat proses makan

berlangsung. Terdapat sembilan pedoman pemberian makan pada

anak atau yang dikenal dengan basic feeding rules (Sjarif et al.,

2011):

1) Membuat jadwal makan secara teratur, jangan diberikan

camilan, jus, atau susu 3-4 jam sebelum makan. Bila anak haus

diberikan air putih.

2) Menyediakan porsi kecil dan membiarkan anak sendiri yang

menambah porsi sesuai yang diinginkan.

3) Mengajari anak untuk duduk tenang di kursi makan hingga

anak memahami arti dari kenyang.

4) Tidak menawarkan lebih dari 3 jenis makanan yang berbeda

dalam satu waktu.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14

5) Makan tidak boleh lebih dari 30 menit.

6) Memuji kemampuan anak untuk makan sendiri.

7) Tidak memberikan anak mainan, buku, televisi, dan lain-lain

yang dapat menarik perhatian saat makan.

8) Tidak memberikan makanan sebagai hadiah, tanda kepuasan,

atau bentuk kasih sayang. Bila anak menginginkannya

makanan dapat diberikan sebagai makanan penutup.

9) Memberikan pengertian dan larangan anak untuk bermain

dengan makanan dan berbicara terlalu banyak saat makan

Rasio makanan padat dan cair juga harus diperhatikan,

untuk anak usia satu tahun, dianjurkan makanan padat sebanyak

70% dan makanan dalam bentuk cair (susu) sebanyak 30% dari

total kalori yang dibutuhkan dalam sehari (Dewey&Brown, 2003).

Intervensi perilaku berupa pengenalan makanan baru sejak

usia dini merupakan salah satu upaya pencegahan picky eater

(Dovey et al., 2008). Tata laksana food neophobia, picky eater,

maupun selective eater adalah mengatasi ketidaksukaan terhadap

makanan dengan pengenalan sistematik terhadap makanan baru

(systematic introduction of new food), menggunakan prinsip

berikut:

1) Sajikan makanan dalam porsi kecil

2) Pilihan makanan orang tua akan mempengaruhi menu yang

disajikan bagi anak (Carruth et al., 2002). Oleh karena itu,


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15

perlu diperhatikan agar orangtua menyajikan berbagai jenis

makanan walaupun makanan tersebut bukan kesukaan orang

tua.

3) Paparkan anak terhadap makanan baru sebanyak 10-15 kali.

Penelitian menunjukkan 10 atau lebih paparan dibutuhkan

untuk meningkatkan penerimaan terhadap makanan pada anak

usia 2 tahun (Birch et al., 1995), sedangkan untuk anak usia 4-5

tahun dibutuhkan 8 sampai 15 kali paparan (Sullivan&Birch,

1990). Untuk pengenalan awal, sebaiknya makanan disajikan di

piring orang tua.

4) Sajikan makanan di meja pada jarak yang terjangkau oleh anak,

tanpa menawarkan ke anak. Batita umumnya lebih tertarik

mencoba makanan baru bila memegang kontrol, namun bila

Batita diminta atau disuruh memakan sesuatu, maka umumnya

secara spontan akan menolak.

5) Orang tua memberikan contoh makan yang menyenangkan

tanpa menawarkan makanan sampai ketakutan anak

menghilang dan anak mengekspresikan ketertarikan pada

makanan. Semakin banyak orang di sekitar anak yang makan-

makanan serupa, maka anak akan makin tertarik.

6) Jika paparan terhadap makanan menyebabkan anak ingin

muntah atau bahkan muntah, hentikan makanan tersebut dan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16

cobalah makanan yang lebih mendekati makanan yang disukai

anak.

7) Campurlah sedikit makanan baru dengan makanan yang sudah

disukai anak dan perlahan-lahan tingkatkan proporsi makanan

baru.

Orang tua harus tetap bersikap dan berpikir netral dan

tenang dalam menyikapi asupan makanan anak.

2. Status Gizi

a. Definisi

Status gizi merupakan suatu keadaan tubuh yang

diakibatkan oleh keseimbangan antara asupan zat gizi dengan

kebutuhan, dimana terlihat dari variabel-variabel pertumbuhan

berat badan, tinggi atau panjang badan, lingkar kepala, lingkar

lengan, dan panjang tungkai (Gibson, 2005). Almatsier (2011)

menjelaskan bahwa status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat

konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Faktor-faktor

yang mempengaruhi status gizi adalah konsumsi makanan dan

penggunaan zat-zat gizi dalam tubuh. Tubuh yang memperoleh

cukup zat-zat gizi dan digunakan secara efisien akan mencapai

status gizi yang optimal. Defisiensi zat gizi makro seperti

karbohidrat, protein, dan lemak memberi dampak pada penurunan

status gizi dalam waktu singkat. Defisiensi zat gizi mikro seperti

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17

vitamin dan mineral memberi dampak pada status gizi dalam waktu

yang lama.

b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi

Menurut Warmani et al. (2005) status gizi dipengaruhi oleh

internal factor, distal factor, intermediate factor, dan proximal

factor.

1) Internal Factor

Internal factor meliputi umur dan jenis kelamin.

Warmani et al. (2005) mengungkapkan bahwa umur dan jenis

kelamin anak berhubungan secara langsung dengan status gizi.

Simondon et al. (2001) dalam penelitiannya menunjukkan usia

pada pengenalan makanan pendamping mempunyai hubungan

dengan status gizi dimana ibu lebih sering mengenalkan

makanan tambahan sangat awal ketika bayi memiliki status gizi

yang kurang.

Umur seseorang sangat mempengaruhi status gizinya.

Hal ini dapat dilihat pada anak usia Balita yang ada dalam masa

pertumbuhan, anak memerlukan makanan yang bergizi relatif

lebih banyak dibandingkan dengan orang dewasa. Kecepatan

bertambahnya berat badan maupun panjang badan pada anak

yang sehat tidak sama, dimana pada triwulan pertama lebih

cepat daripada triwulan kedua, pada triwulan kedua lebih cepat

dibandingkan triwulan ketiga dan berlangsung sampai anak


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18

pada usia 12 bulan dengan kenaikan berat badan mencapai 3

kali berat badan lahir (Pudjiadi, 2001).

Kebutuhan zat gizi pada pria akan lebih besar daripada

wanita karena pria mempunyai kegiatan lebih banyak sehingga

memerlukan zat tenaga dan protein yang lebih banyak.

Sebaliknya wanita akan memerlukan zat besi lebih banyak

karena secara teratur mengalami menstruasi dan mengeluarkan

darah dalam jumlah cukup banyak (Pudjiadi, 2001).

2) Distal Factor

Distal factor meliputi pendidikan orang tua,

kesejahteraan keluarga, kepemilikan barang rumah tangga.

Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu mengenai gizi

berhubungan dengan status gizi anak. Balita dengan status gizi

kurang cenderung memiliki ibu dengan pendidikan akhir

setingkat sekolah dasar.

Pada umunya tingkat konsumsi tergantung pada

pendapatan sehari-hari. Jika pendapatan naik, maka jenis

makanan dan jumlahnya akan ikut membaik. Hal ini berkaitan

dengan tingkat kemampuan keluarga tersebut dalam

pemenuhan buah-buahan makanan berkualitas tinggi

(Andarwati, 2007).

Berdasarkan berbagai penelitian ditemukan bahwa

penyakit gizi kurang yang berakibat menurunnya daya tahan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19

tubuh terhadap infeksi banyak diderita oleh masyarakat

golongan ekonomi lemah. Hal ini terjadi karena

kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan akan pangan

sangat rendah, baik secara kualitatif maupun kuantitatif

(Khumaidi, 1994).

3) Intermediate factor

Intermediate factor meliputi paritas dan status

imunisasi. Semakin banyak jumlah anggota keluarga, maka

kebutuhan pangan juga akan semakin banyak. Jika kemampuan

untuk memenuhi kebutuhan pangan terbatas, maka keluarga

dengan anggota keluarga yang lebih banyak akan mendapatkan

bagian yang lebih kecil dibandingkan keluarga dengan sedikit

anggota keluarga. Hal itu akan berdampak pada terbatasnya

asupan gizi yang diperoleh oleh anggota keluarga (Sediatoma,

2002).

Hong (2006) menemukan bahwa prevalensi anak yang

mempunyai status gizi kurang dengan paritas satu (27%)

mempunyai signifikansi lebih tinggi dibandingkan dengan anak

paritas 2-3. Hal ini dikarenakan berhubungan dengan umur dan

kompetisi untuk mendapatkan makanan biasanya lebih besar

pada rumah tangga dengan anak banyak. Status imunisai yang

lengkap mempunyai hubungan yang bermakna dengan status

gizi kurang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20

4) Proximal Factor

Proximal factor meliputi status pemberian ASI,

frekuensi pemberian makanan pendamping, dan status

kesehatan. Penelitian Gupta et al. (2007) menemukan bahwa

bayi umur 3 bulan pertama yang mulai diberi air dan diberikan

makanan pendamping ASI sebelum umur 6 bulan bila dikaitan

dengan pertumbuhan, maka akan mempunyai berat badan yang

kurus dan mempunyai tubuh yang pendek. Hong (2006) dalam

penelitiannya mengungkapkan bahwa prevalensi gizi kurang

lebih tinggi terjadi pada anak yang tidak pernah mendapatkan

ASI dibandingkan dengan yang diberi ASI saja.

Gizi kurang menghambat reaksi imunologis dan

berhubungan dengan prevalensi dan beratnya penyakit infeksi.

Status gizi atau tingkat konsumsi pangan merupakan bagian

penting dari status kesehatan seseorang. Tidak hanya status gizi

yang mempengaruhi kesehatan, tapi status kesehatan juga

mempengaruhi status gizi. Kuman-kuman yang tidak terlalu

berbahaya pada anak-anak dengan status gizi baik, akan bisa

menyebabkan kematian pada anak dengan status gizi kurang

(Andarwati, 2007).

c. Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi dilakukan secara langsung maupun

tidak langsung. Penilaian langsung dibagi menjadi empat penilaian


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21

meliputi: antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Sedangkan

tidak langsung meliputi: survei konsumsi makanan, statistik vital

dan faktor ekologi. Metode yang sering digunakan di masyarakat

untuk menentukan status gizi pada Balita adalah antropometri dan

survei konsumsi makanan (Supariasa et al., 2002).

1) Antropometri

Penilaian antopometri gizi adalah metode penilaian

status gizi dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh

dan beberapa komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan

tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh yang digunakan

antara lain berat badan, tinggi badan, panjang badan, lingkar

lengan atas, lingkar kepala, lingkar dada, dan tebal lemak di

bawah lipatan kulit.

Antopometri sangat umum digunakan untuk mengukur

status gizi dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan

energi dan protein. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola

pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak,

otot, dan jumlah air di dalam tubuh. Penelitian antopometri

memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan (Supariasa et al.,

2002).

a) Kelebihan

(1) Alatnya mudah didapat dan digunakan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22

(2) Prosedurnya sederhana, aman, dan dapat dilakukan

dengan jumlah sampel yang besar

(3) Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, tetapi cukup

dilakukan oleh tenaga yang sudah dilatih

(4) Alatnya murah, mudah dibawa, tahan lama dapat

dipesan, dan dibuat di daerah setempat

(5) Metode ini tepat dan akurat karena dapat dibatalkan

(6) Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di

masa lalu

(7) Dapat mengidentifikasi status gizi sedang, kurang, dan

buruk karena sudah ada ambang batas yang jelas

(8) Dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode

tertentu atau dari satu generasi ke generasi berikutnya

(9) Dapat digunakan untuk penapisan kelompok yang

rawan terhadap gizi

b) Kelemahan

(1) Tidak sensitif karena metode ini tidak dapat mendeteksi

status gizi dalam waktu singkat, di samping itu tidak

dapat membedakan kekurangan zat gizi tertentu seperti

Zink dan Fe

(2) Faktor dari luar (penyakit, genetik, dan penurunan

penggunaan energi) dapat menurunkan spesifikasi dan

sensitivitas pengukuran
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
23

(3) Kesalahan yang terjadi saat pengukuran dapat

mempengaruhi presisi, akurasi, dan validitas

pengukuran.

Untuk mengetahui apakah berat badan dan tinggi badan

normal, lebih rendah atau lebih tinggi dari yang seharusnya,

dilakukan pembandingan dengan suatu standar internasional

yang ditetapkan oleh WHO.

a) Indikator Berat Badan/Umur (BB/U)

Indikator BB/U dikategorikan dalam keadaan

normal, rendah atau lebih setelah dibandingkan dengan

standar WHO. Apabila BB/U normal, digolongkan pada

status gizi baik. Bila BB/U rendah digolongkan pada status

gizi kurang atau buruk dan dikategorikan sebagai berat

badan rendah atau underweight. Bila BB/U tinggi dapat

digolongkan pada status gizi lebih (Soekiman, 2000).

Berat badan merupakan parameter yang sangat labil.

Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan antara

konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat

badan berkembang mengikuti umur. Berdasarkan

karakteristik berat badan ini, maka indeks berat badan

menurut umur digunakan sebagai salah satu cara untuk

pengukuran status gizi. Mengingat karakteristik berat badan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
24

yang labil, maka indeks BB/U lebih menggambarkan status

gizi seseorang saat ini (Supariasa et al., 2002).

Ada beberapa kelebihan dan kelemahan indikator

BB/U:

(1) Kelebihan

(a) Dapat dengan mudah dan cepat dimengerti oleh

masyarakat umum.

(b) Sensitif untuk melihat perubahan status gizi dalam

jangka waktu pendek.

(c) Dapat mendeteksi kegemukan.

(2) Kelemahan

(a) Interpretasi status gizi keliru apabila terdapat

pembengkakan atau oedema.

(b) Data umur yang akurat sering sulit diperoleh

terutama di negara-negara berkembang.

(c) Kesalahan pada saat pengukuran karena pakaian

anak yang tidak dilepas atau dikoreksi apabila anak

bergerak terus.

(d) Masalah sosial budaya setempat yang

mempengaruhi orang tua untuk tidak mau

menimbang anaknya karena dianggap seperti barang

dagangannya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25

Pemantauan pertumbuhan yang menggunakan

indikator BB/U hendaknya tidak digunakan sebagai ukuran

tunggal dalam menentukan gagal tumbuh, karena anak

dengan berat badan kurang dan pendek mungkin saja

mempunyai jaringan lemak yang cukup atau tingkat

kegemukan yang normal.

b) Indikator Tinggi Badan/Umur(TB/U) atau Panjang

Badan/Umur (PB/U)

Indikator TB/U atau PB/U dikategorikan dalam

keadaan normal, kurang, dan tinggi menurut standar WHO.

Apabila TB/U kurang digolongkan sebagai stunted atau

pendek tidak sesuai umur (Soekirman, 2000).

Tinggi badan merupakan antropometri yang

menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Khusus

pengukuran PB/U dipakai untuk anak umur 0-24 bulan.

Pada keadaan mormal, tinggi badan tumbuh seiring dengan

pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak sesuai

seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah

kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh

defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak

dalam waktu yang relatif lama. Berdasarkan karakteristik di

atas, maka indeks TB/U atau PB/U lebih menggabarkan

status gizi seseorang di masa lalu (Supariasa et al., 2002).


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
26

Ada beberapa kelebihan dan kelemahan indikator

TB/U atau PB/U:

(1) Kelebihan

(a) Dapat memberikan gambaran riwayat keadaan gizi

masa lalu.

(b) Dapat dijadikan indikator keadaan sosial ekonomi

penduduk.

(2) Kelemahan

(a) Akan mendapat kesulitan dalam melakukan

pengukuran panjang badan pada kelompok usia

Balita.

(b) Tidak dapat menggambarkan keadaan gizi saat ini.

(c) Memerlukan data umur yang akurat yang sering

sulit diperoleh di negara-negara berkembang.

(d) Kesalahan sering dijumpai pada pembacaan skala

umur, terutama bila dilakukan oleh petugas non-

profesional.

Gangguan pertumbuhan pada panjang badan

berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama, oleh

karena itu indikator PB/U memberikan indikasi masalah

gizi kronis, indikasi panjang badan tidak dapat digunakan

untuk indikasi adanya masalah gizi akut (Abas, 2002).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
27

c) Indikator Berat Badan/Tinggi Badan (BB/TB)

Pengukuran antropometri yang terbaik adalah

menggunakan indikator BB/TB. Ukuran ini dapat

menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif

dan spesifik. Apabila BB/TB kurang digolongkan sebagai

kurus atau wasted (Soekiman, 2000).

Ada beberapa kelebihan dan kelemahan indikator

BB/TB:

(1) Kelebihan

(a) Independen terhadap umur dan ras.

(b) Dapat menilai status kurus dan gemuk serta keadaan

marasmus atau kekurangan energi kronik berat

lainnya.

(2) Kelemahan

(a) Kesalahan pada saat pengukuran karena pakaian

anak yang tidak dilepas dan anak bergerak terus.

(b) Masalah sosial budaya setempat yang

mempengaruhi orang tua untuk tidak mau

menimbang anaknya karena dianggap seperti barang

dagangan.

(c) Akan mendapat kesulitan dalam melakukan

pengukuran panjang badan pada kelompok usia

Balita.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
28

(d) Kesalahan sering dijumpai pada pembacaan skala

umur, terutama bila dilakukan oleh petugas non-

profesional.

(e) Tidak dapat membedakan apakah anak tersebut

pendek normal atau jangkung.

2) Penilaian Klinis

Penilaian klinis merupakan suatu metode yang sangat

penting untuk menilai status gizi masyarakat. Untuk

mempelajari dan mengevaluasi tanda fisik yang ditimbulkan

sebagai akibat dari gangguan kesehatan dan penyakit kurang

gizi termasuk hambatan pertumbuhan dan perkembangan yang

ditentukan dengan membandingkan individu atau kelompok

dengan nilai-nilai normal (Roedijito& Djiteng, 1987).

Kelebihan metode ini adalah penyakit kurang gizi

menimbulkan atau memberikan gejala-gejala klinis yang khas,

seperti rambut yang jarang, tipis, mudah dicabut, pucat, dan

oedema.

Kelemahan metode ini adalah sering terjadi kesalahan

dalam mendiagnosis gejala penyakit yang hampir sama antara

satu penyakit kurang gizi dengan bukan penyakit kurang gizi

dan harus dikerjakan oleh tenaga klinik.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
29

3) Penilaian Biokimiawi

Penilaian biokimiawi merupakan suatu metode yang

menggunakan sarana laboraturium untuk menilai status gizi

dengan cara mengukur kandungan berbagai zat gizi dan

substansi kimianya dalam darah dan urin, di antaranya adalah

mengukur kadar albumin dalam darah untuk membedakan

Kurang Energi Protein (KEP) berat karena defisit energi atau

bersamaan dengan defisit protein (Supariasa et al., 2002).

4) Penilaian Biofisik

Penilaian status gizi secara biofisik adalah metode

penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi

jaringan dan melihat perubahan struktur dan jaringan.

Penggunaan metode ini umumnya digunakan dalam situasi

tertentu seperti kejadian buta senja yang menggunakan tes

adaptasi gelap (Supariasa et al., 2002).

5) Survei Konsumsi Makanan

Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan

status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan

jenis zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi

makanan dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan zat

gizi (Supariasa et al., 2002).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
30

6) Statistik Vital

Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah

menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka

kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian, dan

data lainnya yang berhubungan dengan gizi (Supariasa et al.,

2002).

7) Faktor Etiologi

Menurut Bengoa (Supariasa et al., 2002), malnutrisi

merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa

faktor fisik, biologis, dan lingkungan budaya. Jumlah makanan

yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti

iklim, tanah, dan irigasi.

d. Standar Penentuan Status Gizi

Indikator status gizi yang dipilih harus peka terhadap

perubahan status gizi penduduk pada suatu saat tertentu maupun

yang akan datang, dalam arti ini bahwa suatu perubahan yang kecil

pada status gizi masih dapat ditunjukkan oleh indikator tersebut

dengan nyata sehingga dapat menjadi penentu apakah perlu atau

tidak dilakukan suatu program intervensi gizi (Reksodikusumo,

1989).

Standar baku untuk memantau status gizi dan pertumbuhan

Balita di Indonesia adalah standar baku WHO-NCHS. Klasifikasi

status gizi pada Balita sebagai berikut:


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
31

Tabel 2.1 Klasifikasi Status Gizi Balita


No. Indeks Interpretasi Nilai Z-score
1. Berat Badan menurut Gizi lebih > +2 SD
Umur (BB/U) Gizi baik ≥ -2 SD sampai + 2 SD
Gizi kurang < -2 SD sampai ≥ -3 SD
Gizi buruk < -3 SD
2. Tinggi Badan menurut Normal ≥ 2 SD
Umut (TB/U) Pendek < - 2 SD
3. Berat Badan menurut Gemuk >+2 SD
Tinggi Badan (BB/TB) Normal ≥ -2 SD sampai + 2 SD
Kurus < -2 SD sampai ≥ -3 SD
Kurus sekali < -3 SD
(Depkes, 2002)

3. Hubungan Picky Eater dengan Status Gizi

Asupan nutrisi dan makanan merupakan salah satu faktor

terpenting untuk menunjang pertumbuhan dan perkembangan

(Claude&Bonnin, 2006). Dimulainya peralihan asupan nutrisi utama

anak dari susu dan makanan komplementer menjadi makanan keluarga

pada usia 24 bulan kehidupan, atau disebut dengan masa penyapihan

(Carruth et al., 2004). Sifat perkembangan khas yang terbentuk turut

mempengaruhi pola makan anak. Hal tersebut menyebabkan anak

terkadang bersikap terlalu pemilih, misalnya Balita cenderung

menyukai makanan ringan sehingga menjadi kenyang dan menolak

makan saat jam makan utama. Anak juga sering rewel dan memilih

bermain saat orang tua menyuapi makanan. Gangguan pola makan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
32

yang terjadi jika tidak segera diatasi dapat berkembang menjadi

masalah kesulitan makan (Barasi, 2007).

Penolakan berbagai macam makanan dimulai pada saat usia 1

tahun, dimana anak-anak mulai berkembang dalam memilih makanan

yang disukainya dan nafsu makan mulai terjadi penurunan. Makanan

yang tidak disukai oleh anak, apabila diberikan secara berulang-ulang,

maka anak akan selalu mencoba dan merasakan makanan tersebut dan

hal ini dapat meningkatkan kemungkinan anak akan dapat menyukai

makanan tersebut. Selama periode prasekolah, penolakan makanan

baru dapat diubah menjadi penerimaan dengan menyajikan makanan

baru tersebut selama 8-15 kali sekitar 2 minggu. Kebalikannya,

menyingkirkan makanan yang tidak disukai dan mengganti dengan

makanan yang disukai hanya akan semakin memperkuat penolakan

anak dan dapat menambah kemungkinan terjadinya masalah

dikemudian hari (Chatoor, 2009).

Anak dengan kesulitan makan cenderung pemilih (picky eater),

sehingga asupan makanan lebih sedikit. Masalah kesulitan makan pada

anak mempengaruhi pertumbuhan, terutama berat badan. Pilihan

makanan pada anak Balita sering berubah, namun pada anak dengan

picky eater biasanya konsisten terhadap satu jenis makanan. Anak

dengan picky eater menolak beberapa kelompok makanan, yang paling

banyak sayuran, buah, dan kacang. Nutrisi pada anak-anak yang

menolak sayuran dan buah-buahan sering terjadi defisiensi vitamin,


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
33

sedangkan pada anak yang menolak minum susu atau daging biasanya

kekurangan protein, Zink dan zat besi (Chatoor, 2009). Status gizi yang

baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-

zat gizi yang digunakan secara efisien sehingga memungkinkan

pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan

kesehatan secara umum. Apabila kebutuhan zat gizi tidak tercukupi

akan mengakibatkan penurunan status gizi (Almatsier, 2011).

Kesulitan makan juga dapat dihubungkan dengan malnutrisi

dan kejadian gagal tumbuh (failure to thrive), walaupun tidak semua

anak dengan kesulitan makan menunjukkan gagal tumbuh

(Piazza&Hernandez, 2004). Apabila terjadi berkepanjangan, selain

menimbulkan stres pada anak dan orang tua, kesulitan makan dapat

mempengaruhi kondisi kesehatan anak hingga mengancam nyawa

(Sacrato, 2010). Pada saat pemberian makan, orang tua sebaiknya tetap

fleksibel dengan membiarkan anak mengembangkan keterampilan

makan walaupun masih kacau. Sistem regulasi alami untuk asupan gizi

bekerja selama satu tahun kehidupan dan hal ini memastikan bahwa

anak dalam kondisi gizi yang adekuat (Forestell&Manneella, 2007).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
34

B. Kerangka Pemikiran

Kesulitan Makan

Faktor Organik Faktor Non Organik

1. Kelainan Neurologis, Anoreksia, a. Sosial Ekonomi


Disfagia b. Psikososial
2. Refluk Gastroesofageal, Malabsorbsi c. Salah cara pemberian makan
3. Demam, Hipertiroid
4. Anomali Kongenital, Endokrinopati

a) Tekanan dalam proses makan 1) Gangguan pengaturan pola makan


b) Tipe kepribadian 2) Gangguan interaksi bayi & pengasuh
c) Parental feeding styles 3) Anoreksia infantile
d) Pengaruh lingkungan 4) Gangguan makan pasca trauma

5) Picky eater

(1) Umur
(2) Jenis Kelamin Asupan nutrisi
(3) Pendidikan Ibu
(4) Pendapatan Keluarga Status Gizi

Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti

Gambar 2.1. Skema Kerangka Pemikiran


Hubungan Picky Eater dengan Status Gizi pada Anak Usia 1-3 Tahun
di Puskesmas
commitGrogol,
to userSukoharjo.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
35

C. Hipotesis

Terdapat hubungan antara picky eater dengan status gizi pada anak

usia 1-3 tahun.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai