Anda di halaman 1dari 10

BEBERAPA CATATAN PENTING UNTUK KETERANGAN AHLI

Pertanyaan Pertama :
1. Menurut Saudara Saksi (Ahli) apakah dibenarkan bagi Bank untuk
menggabungkan dua (2) Jenis fasilitas kredit yang berbeda; debiturnya;
berbeda Jenis Kreditnya (Peruntukannya) serta berbeda Jaminannya ? Yaitu
Kredit Modal Kerja (KMK) atas nama debitor PT. ILHAM ALIFA yang dalam
hal ini diwakili oleh Direkturnya Sdr. Ir. Hedrawati Sida Djapara; digabung
dengan Kredit Investasi (KI) atas nama Ir. Hedrawati Sida Djapara selaku
pribadi, dengan alasan one obligor ?

Jawab :

Konsep One Obligor pada dasarnya mengacu pada Pasal 5 Peraturan


Bank Indonesia (PBI) No. 7/2/PBI/2005 tentang Kualitas Aktiva Produktif ;
yang berbunyi :

(1). Bank wajib menerapkan kualitas yang sama terhadap beberapa rekening
Aktiva Produktif yang digunakan untuk membiayai 1 (satu) debitur.
(2). Penerapan kualitas yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berlaku pula untuk Aktiva Produktif yang diberikan oleh lebih dari 1
(satu) Bank.
(3). Dalam hal terdapat penetapan kualitas Aktiva Produktif yang berbeda
untuk 1 (satu) debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), kualitas masing-masing Aktiva Produktif mengikuti kualitas Aktiva
Produktif yang paling rendah.

Dari bunyi Pasal 5 PBI No. 7/2/PBI/2005 Tentang Kualitas Aktiva Produktif
tersebut ; maka tidak ada dasar hukum yang kuat bagi Bank untuk malakukan
Penggabungan Kredit dengan alasan One Obligor ; karena antara Kredit
yang diberikan Bank BRI kepada PT. ILHAM ALIFA yang berupa Kredit
Modal Kerja (KMK) dengan Kredit Investasi yang diberikan oleh Bank BRI
kepada pribadi Ir. Hedrawati Sida Djapara adalah berbeda; dengan
pertimbangan sebagai berikut :

a. PT. ILHAM ALIFA adalah subyek hukum berbentuk Perseroan Terbatas


(PT) yaitu suatu badan hukum yang merupakan persekutuan modal,
didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan
modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham ; yang tunduk pada
UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas) ; Sedangkan Ir.
Hedrawati Sida Djapara adalah Subyek Hukum Perorangan (Naturlijk
Persoon) yang padanya berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam
Hukum Perikatan (KUH Perdata).

b. Perjanjian Kredit (KMK) antara BRI denga PT. ILHAM ALIFA adalah suatu
Perjanjian yang terpisah dengan Perjanjian Kredit (KI) antara BRI dengan
Ir. Hedrawati Sida Djapara ; sehingga tidak tepat apabila terjadi
Penggabungan terhadap kedua Perjanijan Kredit tersebut ; karena antara
PT. ILHAM ALIFA dengan Ir. Hedrawati Sida Djapara adalah subyek
hukum yang berbeda karena masing-masing tunduk pada peraturan
perundang-undangan yang berbeda.

c. Dilihat dari jenis penggunaannya maka terdapat perbedaan mendasar


antara Jenis Kredit Modal Kerja (KMK) dengan Kredit Investasi (KI) ;
Kredit investasi merupakan kredit yang diberikan oleh bank kepada
debitur untuk mendanai pengadaan barang modal ataupun aktiva tetap
lainnya, yang mempunyai nilai ekonomis lebih dari satu tahun.Kredit
investasi ini bernominal besar, maka biasanya jangka waktu kreditnya
lebih dari satu tahun. Sedangkan Kredit modal kerja (KMK) merupakan
kredit yang digunakan untuk modal kerja perusahaan dalam rangka
pembiayaan aktiva lancar perusahaan yang biasanya habis dalam satu
siklus produksi.Kredit modal kerja ini diberikan dalam jangka pendek, yaitu
kurang dari satu tahun.
Pertanyaan Kedua :

2. Setelah terjadinya Penggabungan Kredit berdasarkan Konsep One Obligor


yaitu penggabungan antara Kredit Modal Kerja (KMK) atas nama PT. ILHAM
ALIFA dengan Kredit Investasi (KI) atas nama Ir. Hedrawati Sida Djapara,
ternyata Kredit Gabungan tersebut masuk dalam kategori kolektibilitas
MACET, padahal sebelum terjadinya penggabungan Kredit Investasi Express
adalah masuk kategori Lancar dan berakhir pada bulan Juni 2017. Menurut
Saksi (Ahli) apakah konsep One Obligor yang dijadikan alasan dari pihak
Bank untuk melakukan penggabungan dapat dibenarkan oleh hukum ?

Jawab :
Menurut Pendapat Saya, bahwa Konsep One Obligor sebagaimana diatur
dalam pada Pasal 5 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.
7/2/PBI/2005 tentang Kualitas Aktiva Produktif ;yang berbunyi :

ii
“ Dalam hal terdapat penetapan kualitas Aktiva Produktif yang berbeda untuk
1 (satu) debitur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
kualitas masing-masing Aktiva Produktif mengikuti kualitas Aktiva Produktif
yang paling rendah”

Isi Pasal 5 ayat (3) menurut saya sangat merugikan Debitur maupun
merugikan Bank sendiri, karena apabila satu orang debitur yang
mendapatkan beberapa fasilitas kredit yang berbeda, dimana untuk satu jenis
kreditnya masuk dalam kategori DIRAGUKAN (Kol. IV) sedangkan untuk jenis
kredit yang lain masih masuk dalam kolektibilitas LANCAR (Kol. I), maka
jenis kredit yang masih masuk dalam kolektibilitas Lancar tersebut berubah
menjadi Kolektibilitas MACET ; dengan kondisi yang demikian maka secara
reputasi debitur dirugikan sedangkan bagi Bank sendiri dirugikan karena
harus menambah pencadangan yang tadinya pencadangan hanya sebesar
1% untuk kolektibility LANCAR menjadi pencadangan 100% untuk kolektibility
MACET.
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor : 14/15/PBI/2012
Tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum yang secara langsung
mencabut Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/2/PBI/2005 tentang Kualitas
Aktiva Produktif ; maka dalam Pasal 7 Peraturan Bank Indonesia (PBI)
Nomor : 14/15/PBI/2012 Tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum,
dimungkinkan untuk Bank tidak menetapkan Konsep One Obligator
sepanjang hal tersebut dilaporkan kepada Bank Indonesia. Adapun isi Pasal
7 disebutkan sebagai berikut :

(1) Bank dapat tidak menetapkan kualitas yang sama untuk Aset
Produktif yang diberikan kepada 1 (satu) debitur yang sama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 6 ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) sepanjang debitur memenuhi persyaratan paling kurang sebagai
berikut :
a. Debitur memiliki beberapa proyek yang berbeda ; dan
b. Terdapat pemisahan yang tegas antara arus kas (cash flow) dari
masing-masing proyek.

(2) Bank yang tidak menetapkan kualitas yang sama untuk Aset Produktif
yang diberikan kepada 1 (satu) debitur sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib :
a. Menginformasikan kepada Bank Indonesia daftar yang memuat nama
debitur beserta rincian masing-masing debitur yang meliputi proyek
yang dibiayai, plafon dan baki debet Aset Produktif, kualitas yang

iii
ditetapkan oleh Bank, kualitas yang ditetapkan oleh bank lain, dan
alasan penetapan kualitas yang berbeda ; dan
b. Mendokumentasikan hal-hal yang terkait dengan penetapan kualitas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ;

(3) Apabila berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia, diketahui bahwa


penilaian yang dilakukan Bank tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penilaian yang digunakan
adalah penilaian sesuai ketentuan yang berlaku.

Selanjutnya pada bulan Oktober 2015 dalam rangka memberikan


STIMULUS bagi perekonomian nasional beberapa kebijakan telah
diluncurkan untuk membangkitkan pertumbuhan ekonomi nasional, OJK telah
menerbitkan enam kebijakan stimulus ekonomi di sektor keuangan, salah
satu diantaranya adalah ”Penegasan implementasi one project concept
dalam penetapan kualitas kredit” dimana disana dijelaskan bahwa ;
Mengenai penilaian kualitas asset bank umum tahun 2012, telah diatur
bahwa bank wajib menetapkan kualitas yang sama terhadap kredit yang
digunakan untuk membiayai satu debitur atau satu proyek yang sama, baik
yang diberikan oleh satu bank atau lebih dari satu bank. Dalam rangka
menerapkan manajemen resiko kredit terhadap satu debitur yang
memperoleh fasilitas kredit dari beberapa bank, maka ditegaskan kembali
bahwa dalam hal terdapat pemisahan arus kas maka penetapan kualitas
kredit yang diberikan kepada beberapa proyek dari debitur yang sama, dpat
ditetapkan berbeda (one project concept)

Dengan demikian menurut Saya, bahwa penggabungan kredit Modal Kerja


(KMK) PT. ILHAM ALIFA digabung dengan Kredit Investasi (KI) atas nama
debitor Ir. Hedrawati Sida Djapara ; sehingga menurunkan penilaian
kolektibilitas menjadi MACET adalah selain bertentangan dengan prinsip-
prinsip keadilan dalam suatu proses perjanjian kredit, juga penggabungan
tersebut sangat merugikan debitur dan tidak membawa faedah apapun bagi
debitur maupun pihak Bank. Apalagi ketentuan mengenai penggabungan
tersebut tidak dicantumkan dalam perjanjian kredit, maka dilakukannya
penggabungan kredit debitor PT. ILHAM ALIFA dengan kredit debitor Ir.
Hendrawati Sida Djapara adalah merupakan perbuatan melawan hukum dan
dinyatakan tidak sah karena penggabungan tersebut dilakukan secara
sepihak oleh BRI tanpa adanya kesepakatan dengan Ir. Hendrawati Sida
Djapara dan hal bertentangan dengan apa yang diatur dalam Pasal 1320
KUHperdata yang menyatakan untuk sahnya suatu persetujuan perlu

iv
dipenuhi 4 (empat) syarat dimana syarat pertama adalah “adanya
kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya”; disini jelas banhwa
penggabungan tersebut diatas tidak ada persetujuan dari debitor.

Pertanyaan Ketiga :

3. Pada tanggal 29 September 2015 Bank BRI selaku kreditor telah


mengundang PT. ILHAM ALIFA untuk menyelesaikan dan mencari solusi
atas kredit kredit yang bermasalah yaitu sepakat untuk dilakukan
Restrukturisasi Kredit, dalam pertemuan tersebut telah disepakati,
namun kesepakatan bersama tersebut tidak ditindak lanjuti oleh pihak Bank
BRI. Menurut Saudara Saksi Ahli bagaimana tahapan proses sehingga
restrukturisasi tersebut dapat dilaksanakan ?

Jawab :

BERDASARKAN PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 14/ 15


/PBI/2012 TENTANG PENILAIAN KUALITAS ASET BANK UMUM.

Dalam Pasal 1 butir 25 PBI No. 14/15/PBI/2012 disebutkan bahwa


“Restrukturisasi Kredit adalah upaya perbaikan yang dilakukan Bank dalam
kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk
memenuhi kewajibannya, yang dilakukan antara lain melalui :
a. penurunan suku bunga Kredit;
b. perpanjangan jangka waktu Kredit;
c. pengurangan tunggakan bunga Kredit;
d. pengurangan tunggakan pokok Kredit;
e. penambahan fasilitas Kredit; dan/atau
f. konversi Kredit menjadi Penyertaan Modal Sementara

Pasal 51 Peraturan Nomor 14/15/PBI/2012 Tentang Penilaian Kualitas Aset


Bank Umum, bank hanya dapat melakukan restrukturisasi terhadap debitur
yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Debitur mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga kredit;
2. Debitur memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi
kewajiban setelah kredit direstrukturisasi;

v
Pasal 52 :
Bank dilarang melakukan restrukturisasi kredit dengan tujuan untuk hanya
untuk menghindari :
a. Penurunan penggolongan kualitas kredit;
b. Peningkatan pembentukan penyisihan penghapusan asset (PPA); atau
c. Penghentian pengakuan pendapatan bunga secara akrual.

Tujuan Restrukturisasi
Restrukturisasi kredit merupakan upaya yang dilakukan oleh bank untuk
memperbaiki kegiatan perkreditan dimana debitur mengalami kesulitan dalam
membayar kewajibannya. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan dari
restrukturisasi adalah :

a. Untuk menghindarkan kerugian bagi bank karena bank harus menjaga kualitas
kredit yang telah diberikan;

b. Untuk membantu memperingan kewajiban debitur sehingga dengan


keringanan ini debitur mempunyai kemampuan untuk melanjutkan kembali
usahanya dan dengan menghidupkan kembali usahanya akan memperoleh
pendapatan yang sebagian dapat digunakan untuk melanjutkan kegiatan
usahanya;

c. Dengan restrukturisasi maka penyelesaian kredit melalui lembaga-lembaga


hukum dapat dihindarkan karena penyelesaian melalui lembaga hukum dalam
praktiknya memerlukan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit dan
hasilnya lebih rendah dari utang yang ditagih.

TAHAPAN PROSES RESTRUKTURISASI KREDIT

Dalam Pasal 54 ayat (1) PBI Nomor 14/15/PBI/2012 Tentang Penilaian


Kualitas Aset Bank Umum, disebutkan bahwa :”Bank wajib memiliki
kebijakan dan prosedur tertulis mengenai Restrukturisasi Kredit” dengan
demikian setiap Bank memiliki kebijakan dan prosedur tertulis yang mengatur
mekanisme restrukturisasi kredit termasuk didalamnya Tahapan Proses
Restrukturisasi Kredit.

vi
Pada umumnya Pelaksanaan proses restrukturisasi kredit macet dilakukan
dengan tahapan sebagai berikut :

a. Prakarsa Restrukturisasi Kredit ;


b. Negosiasi dengan debitur untuk penentuan skema restruturisasi;
c. Analisis dan evaluasi;
d. Putusan restrukturisasi;
e. Dokumentasi restrukturisasi
f. Monitoring / pengawasan.

Prakarsa restrukturisasi kredit diawali dengan memanggil debitur dan


mengajukan peringatan serta penagihan sebanyak 3 (tiga) kali. Setelah
melakukan pendekatan terhadap debitur yang mana disampaikan bahwa
kondisi keuangan debitur mengalami penurunan pemasukan, dalam hal ini
bank menawarkan dan memutuskan untuk melakukan penyelamatan kredit.
Kemudian dilakukan negoisasi baik sebelum maupun setelah analisis dan
evaluasi restrukturisasi kredit. Kredit yang akan direstrukturisasi wajib
dianalisis berdasarkan usaha dan kemampuan usaha debitur sesuai proyeksi
arus kas. Setiap tahapan analisis wajib didokumentasikan secara lengkap
dan jelas. Hasil dari analisis dituangkan dalam Memorandum Analisis
Restrukturisasi Kredit.

Putusan restrukturisasi dilakukan oleh pejabat pemutus kredit dengan


kewenangan setingkat lebih tinggi dari pejabat pemutus pada saat pemberian
kredit terakhir sebelum restrukturisasi kredit. Pengawasan restrukturisasi
kredit dilakukan oleh pejabat kredit lini (pejabat pemrakarsa) secara berkala
yang bertujuan untuk memantau kesanggupan atau perkembangan debitur.
Pejabat tersebut wajib memastikan kesanggupan debitur untuk melakukan
pembayaran kembali sesuai dengan persyaratan dalam perjanjian
restrukturisasi kredit serta melaporkan perkembangan usaha debitur.

Dengan demikian mengingat telah adanya kesepakatan antara debitor


dengan pihak bank mengenai rencana pelaksanaan restrukturisasi kredit,

vii
maka adalah kelalaian pihak bank apabila tidak dilakukan restrukturisasi
mengingat pihak debitor telah sepakat itu itu.

Pertanyaan Keempat :

Menyambung pertanyaan kami diatas dan sesuai penjelasan Saksi; setelah


pertemuan antara Bank BRI dengan PT. ILHAM ALIFA pada tanggal 29
September 2015 dimana disepakati untuk dilakukan Restrukturisasi Kredit ; dan
pada tanggal 30 September 2015 PT. Ilham Alifa telah menyetor uang ke
rekeningnya sebesar Rp. 235.000.000,- sebagai angsuran pembayaran dalam
rangka menurunkan hutang pokok, dan penyetoran pada tanggal 1 Oktober 2015
sebesar Rp. 30.000.000,- dengan harapan bahwa pihak Bank BRI akan
melakukan pendebetan untuk angsuran kredit PT. Ilham Alifa sesuai kesepakatan
tanggal 29 September 2015, namun ternyata itikad baik dari PT. Ilham Alifa
tersebut tidak ditanggapi oleh Bank BRI yaitu dengan tidak melanjutkan proses
tahapan restrukturisasi berikutnya, hal mana dapat diketahui bahwa Setoran
sebesar Rp. 235.000.000,- dan Rp. 30.000.000,- tidak dilakukan pendebetan oleh
pihak Bank BRI, malahan sebaliknya Pihak Bank BRI mendesak terus PT. Ilham
Alifa maupun Ir. Hedrawati Sida Djapara untuk menjual jaminan. Apakah menurut
Saksi Ahli PT. Ilham Alifa yang dalam hal ini diwakili oleh Ir. Hedrawati Sida
Djapara selaku Direktur telah melakukan hal yang benar sesuai peraturan
perundang-undangan yag berlaku ?

Jawab :

Menurut Saya selaku saksi ahli bahwa apa yang dilakukan oleh PT. Ilham Alifa
dan Ir. Hedrawati Sida Djapara sudah sesuai dengan ketentuan hukum dan telah
sesuai dengan kesepakatan awal dalam proses negosiasi untuk restrukturisasi
kredit. Sebaliknya apa yang dilakukan oleh pihak Bank BRI dengan tidak
melanjutkan proses restrukturisasi ke tahap berikutnya dan tidak melakukan
pemotongan terhadap dana yang telah disetor adalah tidak sesuai Azas
konsensualisme . Menurut Prof.Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H. dalam bukunya
“Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak” yang diterbitkan oleh PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2014, pada halaman 3 menyebutkan :”.. Azas konsensualisme

viii
sering diartikan bahwa dibutuhkan kesepakatan untuk lahirnya kesepakatan.
Pengertian ini tidak tepat karena maksud asas konsensualisme ini adalah bahwa
lahirnya kontrak ialah pada saat terjadinya kesepakatan. Dengan demikian,
apabila tercapai kesepakatan anatara para pihak, lahirlah kontrak, walaupun
kontrak tersebut belum dilaksanakan pada saat itu. Hal ini berarti bahwa dengan
tercapainya kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi
mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah bersifat obligatoir,
yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.

Bahwa berdasarkan penjelasan tersebut diatas bahwa dalam tahap negoisasi


antara pihak Bank selaku Pemrakarsa dengan Pihak Debitur yang menyetujui
untuk dilakukan Restrukturisasi Kredit ; yang secara hukum telah terjadi
kesepakatan (Azas Konsensualisme) dengan demikian sudah mengikat kedua
belah pihak untuk ditindak lanjuti apa yang telah disepakati tersebut.

ix
x

Anda mungkin juga menyukai