Anda di halaman 1dari 2

Literasi keuangan adalah suatu kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan

keyakinan masyarakat agar mereka mampu mengelola keuangan pribadi mereka dengan lebih baik.
(Roestanto, 2017: 1). Dari sini, penulis menyimpulkan bahwa inti dari literasi keuangan adalah
bagaimana mengelola keuangan dan harta secara baik, tentu setelah uang atau harta itu diterima atau
dimiliki. Jadi intinya adalah tentang pengelolaan atau manajemen.

Allah Swt. berfirman:

َ ‫ك يَ ْب ُسطُ الر ِّْز‬


‫ق لِ َم ْن يَشَا ُء َويَ ْق ِد ُر ِإنَّهُ َكانَ بِ ِعبَا ِد ِه‬ ْ ‫ك َم ْغلُولَةً ِإلَى ُعنُقِكَ َواَل تَ ْبس‬
َ َّ‫) ِإ َّن َرب‬29( ‫ُطهَا ُك َّل ْالبَ ْس ِط فَتَ ْق ُع َد َملُو ًما َمحْ سُورًا‬ َ ‫َواَل تَجْ َعلْ يَ َد‬
)30( ‫صيرًا‬ ِ َ‫َخبِيرًا ب‬

“Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu
mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan menyesal. Sungguh, Tuhanmu
melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi (bagi siapa yang Dia kehendaki);
sungguh, Dia Maha Mengetahui, Maha Melihat hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Isra’ [17]: 29-30)

Ayat ini merupakan perintah agar kita tidak pelit untuk menginfakkan harta dalam kebaikan, yang mana
digambarkan dengan tangan yang diborgol dan kita tak mampu melepasnya. Juga, ayat ini merupakan
larangan agar tak terlalu boros, sehingga harta akan cepat habis. (Lajnah Ulama Al-Azhar, 1995: 414)

Ada beberapa hal yang bisa kita pelajari dari tafsir di atas:

Pertama. Infak dalam ayat di atas, tidak melulu dalam arti sedekah, donasi, hibah, dan sejenisnya,
sebagaimana orang Indonesia pahami. Infak dalam bahasa Al-Qur’an memiliki makna yang lebih luas.
Salah satunya adalah membelanjakan atau menggunakan harta secara umum.

Kedua. Larangan di atas berlaku untuk pembelanjaan harta yang memiliki nilai kebaikan. Hal ini—
menurut penulis—karena sudah menjadi rahasia bersama bahwa membelanjakan harta dalam
keburukan adalah suatu yang terlarang.
Ketiga. Hal pertama yang disebut dalam ayat di atas adalah larangan untuk berbuat pelit. Baru kemudian
larangan berbuat boros. Menurut penulis, ini bisa jadi menjadi sinyal bahwa pelit merupakan sifat dasar
manusia. Mereka selalu tak ingin apa yang dimiliki berpindah kepada orang lain.

Di sisi yang lain, ketika sudah memiliki harta, manusia acapkali lupa daratan. Mereka membelanjakan
harta dengan semaunya hingga akhirnya habis dalam waktu singkat. Mereka tidak memperhitungkan
bagaimana kehidupan di masa yang akan datang (tidak menabung atau investasi).

Tentu, pelit dan boros itu kembali kepada keadaan masing-masing. Tidak bisa diukur dengan nominal.
Tak sama satu orang dengan orang lainnya. Pasalnya, kebutuhan dan nominal keuangan setiap orang
berbeda. Bisa jadi, bagi kita pelit atau boros, bagi orang lain tidakatau sebaliknya.

Mengenal literasi keuangan bukan berarti membuat kita menjadi pribadi yang materialistis. Bukan juga
kita tak percaya dengan rezeki dari Allah. Sekali lagi, bukan. Menguasai literasi keuangan adalah salah
satu ikhtiar agar pemberian dari-Nya bisa terkontrol dengan baik.

Dewasa ini, tak sulit untuk belajar bagaimana cara mengatur keuangan secara baik. Sudah banyak sekali
para ahli yang berbagi ilmu secara gratis di jagat maya. Tinggal kita mau atau tidak.

Walhasil, uang (dan apa pun itu) adalah pemberian Allah yang harus kita kelola dengan baik agar dapat
memiliki daya guna yang tepat sasaran. Jika tidak, kita akan termasuk golongan orang yang berbuat
zalim kepada harta. Na’udzubillah.

Anda mungkin juga menyukai