Anda di halaman 1dari 21

BAB X

AKHLAK BERKOMUNIKASI

A. Pengertian Komunikasi

Manusia sebagai makhluk yang sempurna ditandai dengan kemampuan

berkomunikasi antar mereka. Berkomunikasi berkaitan dengan kemampuan berpikir

dan mengungkapkan pikirannya melalui media komunikasi. Manusia sebagai

makhluk sosial yang senantiasa saling berinteraksi, dituntut untuk dapat

berkomunikasi satu dengan yang lainnya.

Istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin, yaitu communicare yang berarti

berpartisipasi, juga berasal dari commoness yang berarti sama dengan common.

Secara sederhana jika seseorang yang berkomunikasi berarti mengharapkan agar

orang lain dapat ikut serta berpartisipasi atau bertindak sesuai dengan tujuan, harapan

atau isi pesan yang disampaikannya (Toto Tasmara, 1987: 1)..

Para ahli komunikasi mendefinisikan bahwa komunikasi adalah suatu proses

pengoperan lambang-lambang yang mengandung pengertian tertentu kepada

seseorang oleh orang lain. Proses tersebut meliputi unsur-unsur sebagai berikut:

Pertama, komunikator, yakni orang yang menyampaikan atau menyiarkan

pesan (message). Kedua, Pesan (message), adalah idea, informasi atau opini. Ketiga,.

komunikan (communicant), adalah orang yang menerima pesan. Keempat, channel

atau media untuk menyampaikan pesan sehingga dapat diterima oleh komunikan.

Kelima, efek (effect) yaitu pengaruh kegiatan komunikasi yang dilakukan

komunikator kepada komunikan (Onong Uchjana Effendi, 1986: 39-41).

301
Atas dasar itulah, komunikasi terjadi apabila antara kedua pihak terjadi

pengertian yang sama terhadap sesuatu. Komunikasi berarti pula mempengaruhi

orang lain, yaitu proses dimana sipenerima komunikasi (komunikan) mengikuti apa

yang disampaikan oleh sumber komunikasi (kominokator).

.
B. Prinsip Komunikasi dalam Islam

Komunikasi dalam Islam terdiri atas komunikasi dengan Allah; komunikasi

dengan sesama manusia, dan komunikasi dengan alam. Komunikasi dengan Allah

dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Komunikasi langsung melalui dzikir

dan shalat. Dzikir atau ingat kepada Allah adalah menjalin hubungan langsung

seseorang dengan Allah. Seperti firman-Nya:

‫ِن اَذْ ُك ْرُك ْم َوا ْش ُك ُرْوا ي ِْل َوالَ تَ ْك ُف ُرْو َن‬‫ي‬


ْ ‫فَاذْ ُك ُرْو‬
“ …ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah

kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari ni’mat-Ku” (QS. al-Baqarah, 2: 152).

Damapak dari komunikasi ini melahirkan suatu pengertian yang dirasakan

oleh orang yang dzikir dalam bentuk ketenangan batin:

‫يي ي يي ي ي‬ ‫ي‬ ‫ي‬


ُ ‫اَلَّذيْ َن َآمنُ ْوا َوتَطْ َمئ ُّن قُلُ ْوبُ ُه ْم بذ ْك يرهللا اَالَ بذ ْك ير هللا تَطْ َمئ ُّن الْ ُقلُ ْو‬
‫ب‬
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat

Allah. Ingatlah, bahwa sesungguhnya hanya dengan mengingat Allah hati akan

tentram” (QS. al-Ra’d, 13: 28).

302
Seseorang yang mendirikan shalat dengan khusyu’ akan merasakan terjadinya

dialog dengan Allah. Bagi orang yang shalat dengan khusyu, Allah akan dirasakannya

hadir dan begitu dekat, dan karena itu akan berpengaruh dan berdampak kuat kepada

kondisi orang itu di luar shalat.

َّ ‫اي َّن‬
‫الص الََة تَْن َهى َع ين الْ َف ْح َش ياء َوالْ ُمْن َك ير‬
“Sesungguhnya shalat itu mencegah (dari perbuatan-perbuatan) keji dan munkar”

(QS. al-‘Ankabut, 29: 45).

Komunikasi dengan Allah pada dasarnya merupakan momentum untuk

menyegarkan iman dan mendorong semangat hidup manusia sehingga kehidupan di

dunia dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Rasulullah Saw melakukan

komunikasi diawali dengan khalwat di gua Hira yang dapat digambarkan dengan

dzikir. Selanjutnya melalui wahyu yang turun dan mencapai puncaknya pada

peristiwa Isra’ mi’raj. Dampak dari komunikasi dengan Allah itu digambarkan

dalam Alquran sebagai salah satu ciri orang yang beriman:

‫اًن َو َعلَى َرِّبيي ْم يَتَ َوَّكلُ ْو َن‬ ‫ي‬ ‫ي ي‬ ‫ي ي‬


‫ت َعلَْي يه ْم آايَتُهُ َز َادتْ ُه ْم ا ْْيَ ا‬ ْ َ‫ا َذا ذُكَر هللاُ َويزل‬
ْ َ‫ت قُلُ ْوبُ ُه ْم َوا َذا تُلي‬
“Apabila disebut nama Allah, maka bergetarlah hati mereka dan apabila dibacakan

ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah imannya, dan hanya kepada Tuhan merekalah,

berserah diri” (QS. al-Anfal, 8: 2).

Dalam ayat di atas nampak juga bahwa ingat kepada Allah berpengaruh

kepada jiwa orang yang mengingatnya. Demikian pula ketika ayat-ayat Allah

dibacakan akan bertambah imannya. Hal ini merupakan dampak dari komunikasi

303
dengan Allah. Begitu juga, seorang muslim yang membaca Alquran akan merasakan

komunikasi yang sangat intens dengan Allah. Terkait dengan dampak komunikasi

tersebut, maka komunikasi dalam Islam dapat terjadi dalam tiga arah; Pertama,

komunikasi dengan Allah secara langsung dan dengan dirinya sendiri. Bentuk

komunikasi ini akan berpengaruh dan membentuk atau melahirkan perubahan sikap

yang lahir dari suatu proses penyadaran diri. Kedua, komunikasi dengan Allah secara

tidak langsung yang dilakukan dengan melihat dan memperhatikan alam ketika suatu

fenomena alam memberikan pengertian tentang kemahakuasaan Allah, menyentuh

hati dan membangkitkan kesadaran diri, maka di situ telah terjadi komunikasi.

Ketiga, komunikasi dengan sesama manusia dilakukan melalui bahasa dan isyarat

sebagai alat ungkapannya dan lingkungan sebagai media penunjanganya. Komunikasi

seperti ini diajarkan dalam Alquran sebagai berikut:

1. Segi bahasa, seperti firman Allah Swt:


‫ي‬
ِ‫َن الَتُ ْش يرْك يبهللي ا َّن ي‬
‫الش ْرَك لَظُْل ٌم َع يظْي ٌم‬ ََّ ُ‫َايب‬
“Wahai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah, sesungguhnya

menyekutukan Allah itu suatu kezholiman yang besar” (QS. Luqman, 31: 13).

Untuk menyebut dan memanggil anak, dalam ayat tersebut digunakan kata ya

bunayya (wahai anakku), bukan kata ya walidi (wahai anakku). Perbedaan kedua

kata tersebut terletak pada isi dan nuansanya. Kata Ya bunayya mengandung

nuansa kasih sayang yang tidak terdapat pada kata Ya walidi, sehingga memanggil

tidak hanya diarahkan kepada pendengaran, tetapi jauh menusuk kepada hati dan

304
perasaannya. Pesan yang disampaikan tidak hanya sampai kepada pengertian atau

pemahaman, tetapi juga sampai kepada kesadaran yang kemudian merubah dan

membentuk perilaku. Pesan yang disampaikan tidak hanya dengan cara informatif

tetapi diberi tekanan dan diperkuat sehingga dampaknya sangat kuat dalam

membentuk perilaku. Hal tersebut dalam ayat di atas diungkapkan dalam bentuk

pemberian kata penguat (taukid), yaitu inna (sesungguhnya), dan hurup lam untuk

penguat yang artinya sungguh. Kata penguat itu akan membangkitkan perhatian

kepada penerima pesan bahwa pesan tersebut sangat penting dan tidak boleh

diabaikan.

2. Segi lingkungan, seperti firman Allah:

‫ت‬ ‫ص ْد يِف م ْشيك وا ْغضض يمن صوتيك اي َّن اَنْ َكراْأل ي‬


‫واقْ ي‬
ُ ‫ص ْو‬
َ َ‫َص َوات ل‬
ْ َ َ َْ ْ ْ ُ َ َ َ َ
“Sederhanakanlah jalanmu dan rendahkanlah suaramu, sesungguhnya seburuk-

buruknya suara adalah suara himar” (QS. Luqman, 31: 19). Lingkungan yang

digunakan dalam komunikasi ini adalah himar atau keledai, yaitu sejenis binatang

yang mirip kuda yang merupakan binatang yang sangat akrab bagi masyarakat

Arab. Ketika ayat itu turun dengan mengambil lingkungan sebagai media

perumpamaan, maka pesan yang dikomunikasikan segera dapat dipahami dan

dihayati oleh umat pada saat itu. Esensi pesan yang disampaikan adalah bahwa

orang tidak boleh sombong dan berbicara buruk.

Memahami pesan Alquran di atas, maka komunikasi hendaknya menggunakan

bahasa dan kata-kata yang tepat dan disesuaikan dengan pemahaman dan pengalaman

305
orang yang dianggap bicara. Dari segi psikologi, latar belakang pengalaman orang

yang diajak bicara itu disebut apersepsi atau field experience. Efektivitas komunikasi

ini disebutkan pula dalam Hadits Nabi Saw:

‫اس َعلَى قَ ْد ير عُ ُق ْوليي ْم‬ ‫ي‬


َ َّ‫َخاطبُ ْوا الن‬
"Ajaklah manusia itu berbicara, sesuai dengan kemampuan akal pikirannya. (HR. al-

Dailami)

A. Akhlak Berkomunikasi

Akhlak berkomunikasi menurut Islam tentunya tidak bisa dilepaskan dari

norma-norma yang bersumber dari Alquran dan Hadits. Menurut kedua sumber ini

bahwa yang menjadi dasar dalam pandangan Islam, ialah tauhid. Pandangan tauhid

akan memberikan landasan normatif bagi praksis sosial, termasuk praksis media.

Dengan demikian, perspektif Islam bila konsep tauhid dilaksanakan, akan

memberikan bimbingan asasi menetapkan batas-batas legitimasi politik, sosial dan

kultural, oleh satu sistem komunikasi. Pertimbangan etis ini menempatkan fungsi

tatanan komunikasi dalam masyarakat Islam untuk memusnahkan berhala-berhala,

menghilangkan ketergantungan kepada pihak luar dan menyusun ummah atau

komunitas Islam dalam gerak menuju masa depan, termasuk di dalamnya semua

institusi komunikasi sosial seperti pers, radio, televisi dan bioskop, mapun individu

sebagai anggota komunitas muslim. Apalagi bila dikaji lebih lanjut, bahwa Islam

306
adalah agama dakwah, perhatian Islam terhadap isi atau pesan komunikasi, cara dan

teknik komunikasi dan keadaan khalayak atau komunikan, sangatlah besar.

Tentang prinsip-prinsip komunikasi, para ilmuawan komunikasi muslim telah

menemukan sejumlah konsep yang bersumber dari Alquran. Dalam Alquran banyak

dimuat simbol dan petunjuk dalam berkomunikasi, yang diistilahkan dengan kata

qaulan dan semua derivasinya. Kata ini mengandung arati pembicaraan atau

perkataan. Kontek kata-kata ini ada yang berbentuk amr (perintah) dan ada yang

berbentuk khobariyah (kalimat berita):

Term komunikasi yang pertama adalah dalam bentuk amr (perintah). Dengan

memperhatikan bahasa komunikasi dalam Alquran, terdapat beberapa term

komunikasi dalam bentuk amr atau perintah. Kalimat amr menurut para ahli Ushul

Fiqh pada dasarnya menunjukan wajib. Atas dasar ini, maka suatu keharusan bagi

para komunikator untuk menerapkan terminologi komunikasi ini. Term-term

komunikasi tersebut adalah:

1. Qaulan Sadidan:

‫ش الَّ يذيْ َن لَ ْو تَ َرُك ْوا يم ْن َخ ْل يف يه ْم ذُِيريَّةا يض َعافاا َخافُ ْوا َع لَْي يه ْم فَ ْليَ تَّ ُق ْوا هللاَ َولْيَ ُق ْولُْو قَ ْوالا َس يديْ ادا‬
َ ‫َولْيَ ْخ‬
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandinya meninggalkan di

belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap

kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan

hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar (Qaulan Sadidan) (QS. al-

Nisa, 4: 9). Dalam ayat lainnya disebutkan dalam surat al-Ahzab, 33: 70-71.

307
Para ahli tafsir menafsirkan Qaulan sadidan ini dengan perkataan yang tepat,

jujur dan benar, artinya perkataan dhohir-nya (lisannya) sesuai dengan batinnya.

Alquran menyatakan bahwa berbicara yang benar dan menyampaikan pesan yang

benar adalah pangkal kemaslahatan dan kebaikan aktivitas manusia. Kerusakan

individu dan sosial banyak diakibatkan oleh pesan komunikasi yang tidak benar.

Seorang komunikator muslim sudah seharusnya berkata yang benar, jujur

sahaja dan jangan berdusta kerana sekali berkata dusta, seterusnya ia akan berdusta

untuk menutupi dustanya yang pertama dan begitulah seterusnya, sehingga

bibirnyapun selalu berbohong tanpa merasa berdosa. Siapapun tak ingin dibohongi,

seorang isteri akan sangat sakit hatinya bila mengetahui suaminya berbohong, begitu

juga sebaliknya. Rakyat pun akan murka bila dibohongi pemimpinnya. Juga tidak

kurang pentingnya dalam menyampaikan kebenaran, adalah keberanian untuk

bersikap tegas, jangan ragu-ragu dan takut, apalagi jelas dasar hukumnya Alquran dan

Hadits.

2. Qaulan Balighan:

‫ض َعْن ُه ْم َو يعظْ ُه ْم َوقُ ْل َلُْم يِف أنْ ُف يس يه ْم قَ ْوالا بَليْي ااا‬ ‫يي‬ ‫اُولَئي ي‬
ْ ‫ك الَّذيْ َن يَ ْع لَ ُم هللاُ َما يِف قُلُ ْوّب ْم فَاَ ْع ير‬
َ ْ
“Mereka itu adalah orang-orang yang mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka,

karena itu berpalinglah kamu dari mereka dan berilah mereka pelajaran, dan

katakanlah kepada mereka dengan perkataan yang jelas, tegas dan membekas (Qaulan

Balighon) pada jiwa mereka.” (QS. al-Nisa, 4: 63).

308
Qaulan balighon, berarti perkataan yang jelas, sederhana, tepat sasaran dan

menghindari kata-kata yang rancu serta selalu mengulang kembali gagasan yang

disampaikannya. Al-Qosimi menafsirkan qaulan balighon dengan perkataan yang

membekas dalam lubuk hati, sampai pada hakikat tujuan yang diharapkan. Qaulan

Balighon, dapat diartikan pula dengan perkataan yang sampai, mengenai sasaran dan

mencapai tujuan. Perkatan seperti ini akan terjadi bila komunikator mengetahui,

memahami dan menyesuaikan pembicaraannya dengan karakteristik komunikan.

Seperti sabda Rasul: “Berbicaralah kepada manusia itu sesuai dengan kadar

kecerdasannya” (HR. Muslim). Dalam bahasa komunikasi, pesan komunikator akan

efektif bila dalam penyampaiannya disesuaikan dengan kerangka rujukan dan medan

pengalaman komunikan (fram of reference dan field of experience). Para rasul

menyeru kaumnya dengan bahasa mereka sehingga komunikasi dapat berjalan dengan

efektif dalam segala bentuk tingkatan dan jenisnya. Firman Allah:

‫ي ي ي يي ي‬ ‫ي‬
َ ِ‫َوَما أ َْر َس ْلنَا م ْن َّر ُس ْوٍل االَّ بيل َسان قَ ْومه ليُبَ ي‬
‫ّي َلُْم‬
“Tidaklah Kami mengutus seorang rasul, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya

ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” (QS. Ibrahim, 14: 4).

3. Qaulan Layyinan:

‫ب اي ََل فيْر َع ْو َن اينَّهُ طَاَى فَ ُق ْوالَ لَهُ قَ ْوالا لَيِناا لَ َعلَّه يَتَ َذ َّك ُر اَْو ََيْ َشى‬ ‫ي‬
ْ ‫ا ْذ َه‬
“Pergilah kamu berdua (Musa dan Harun) kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah

melampau batas. Maka bicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang

309
lemah lembut (Qaulan Layyinan), mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha,

20: 43-44).

Qaulan layyinan berarti kata-kata yang halus; tidak kasar, lemah lembut dan

bersahabat. Ayat ini mengisyaratkan bahwa seseorang yang hendak mengajak dan

menyeru atau berkomunikasi hendaklah menerapkan term komunikasi ini, yaitu

perkataan yang halus dan lemah lembut, sehingga ia memberi kesan yang baik kepada

komunikan. Sebab dalam Hadits disebutkan: “Sikap halus dalam sesuatu hal, akan

memperindah sesuatu itu, dan bersikap kasar dalam sesuatu hal, akan memperburuk

sesuatu itu.” (HR. Muslim).

.)‫ف يِف َش ْي ٍء ايالَّ َشانَهُ (رواه املسلم‬ ‫ٍي‬


ُ ‫الرفْ ُق يِف َش ْيء االَّ َزانَهُ َوالَ َكا َن الْعُْن‬
‫َما َكا َن ِي‬

Qaulan layyinan berarti juga tidak mengeraskan suara, seperti membentak,

meninggikan suara. Siapapun tentu tidak suka bila berbicara dengan orang-orang

yang kasar. Rasullulah Saw selalu bertuturkata dengan lemah lembut, hingga setiap

kata yang beliau ucapkan sangat menyentuh hati siapapun yang mendengarnya.

Seperti ayat pembuka di atas Allah melarang bersikap keras dan kasar dalam

berkomunikasi, karena kekerasan akan mengakibatkan kegagalan dalam mencapai

tujuan komunikasi. Dalam berdoapun Allah memerintahkan agar dengan lemah

lembut: “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lemah

lembut, sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas,” (QS. al-

A’raaf, 7: 55)

4. Qaulan Maysura:

310
‫ي‬
َ ِ‫ض َّن َعْن ُه ُم ابْتياَاءَ َر ْْحٍَة يِم ْن َّربي‬
‫ك تَ ْر ُج ْوَها فَ ُق ْل َلُْم قَ ْوالا َمْي ُس ْوارا‬ َ ‫َوا َّما تُ ْع ير‬
“Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang

kamu harapkan, maka ucapkanlah kepada mereka dengan ucapan yang pantas” (QS.

al-Isra, 17: 28).

Menurut para ahli tafsir menjelaskan pengertian Qaulan Maysuron, yaitu

perkataan yang mudah dan lembut atau mempermudah perkataan. Sebagai contoh,

jika kamu berpaling dari kaum kerabat, ibnu sabil dan orang-orang miskin karena

kamu tidak mempunyai sesuatu untuk mereka, maka ucapkanlah kepada mereka

dengan kata-kata yang halus, lemah lembut dan sampaikanlah janji yang baik dengan

tidak melupakan haknya. Sebagian ahli tafsir lagi mengartikan Qaulan Maysuron

adalah perkataan yang indah, mudah, pantas dan lembut.

Komunikasi akan efektif bila komunikator dalam menyampaikan pesannya

menggunakan bahasa yang mudah diterima oleh komunikan, menjauhi istilah-istilah

asing yang kurang tepat pada tempatnya. Di samping itu tidak banyak menggunakan

bahasa isti’arah (ibarat atau kiasan), tasybih (cerita perumpamaan), dan talmih

(sindiran), isyaroh (simbul) yang jauh tersembunyi. Dalam ilmu komunikasi

pembicaraan yang baik adalah pembicaraan yang bersifat figurative dan metaphoric,

yaitu pembicaraan yang dipadukan dengan sikap kelembutan, kelunakan,

kesederhanaan serta tamtsil yang mudah dipahami.

1. Qaulan Ma’rufan.

311
Kata Qaulan Ma’rufan disebut dalam Alquran sebanyak empat kali, yang

salah satunya adalah:

‫االس َف َهاءَ اَْم َولَ ُك ُم الَّيِت َج َع َل هللاُ لَ ُك ْم قي يَ ااما َّو ْارُزقُ ْوُه ْم في ْي َها َوا ْك ُس ْوُه ْم َوقُ ْولُْوا َلُْم قَ ْوالا َّم ْع ُرْوفاا‬
ُ ‫َوالَ تُ ْؤتُ ْو‬
“Janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya (harta

mereka yang ada di dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah pokok kehidupannya.

Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu), dan ucapkanlah kepada

mereka kata-kata yang baik (qaulan ma’rufan)” (QS. al-Nisa, 4: 5). Ayat-ayat

lainnya teradapat dalam QS. al-Nisa, 4: 8; QS. al-Baqarah, 2: 235; dan QS. al-Ahzab,

33: 32.

Term qaulan ma’rufan hubungannya dengan komunikasi yaitu menyampaikan

pesan yang baik. Alquran berbicara tentang ahsanu qaulan (QS. Fush-Shilat, 41: 33),

maksudnya tidak ada seorangpun yang lebih baik perkataannya, melainkan perkataan

orang yang menyeru manusia agar taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Orang yang

beriman akan senantiasa berkata baik (qaulan ma’rufan), dan jika tidak, maka ia akan

“diam”. Selain itu perkataan yang baik (qaulan ma’rufan) adalah media untuk

menyampaikan pesan amal ma’ruf nahi munkar. Walhasil orang-orang yang

menyampaikan qaulan ma’rufan akan selalu mendatangkan kebaikan, dan sebaliknya

orang yang selalu berkata munkar akan selalu mendatangkan kerusakan.

6. Qaulan Kariman:

‫اًن ايَّم ا يَ ْب لُاَ َّن يعْن َد َك الْ يكبَ ُر اَ َا ُد ُُهَا اَْو كيالَ ُُهَ ا فَ الَ تَ ُق ْل‬ ‫ي ي‬ ‫ي ي‬
‫ك اَالَّ تَ ْعبُ ُد ْوا االَّ ا َّايهُ َويبلْ َوال َديْ ين ا ْا َس ا‬
َ ُّ‫ض ى َرب‬َ َ‫َوق‬
‫ف َّوالَ تَْن َه ْرُُهَا َوقُ ْل َلَُما قَ ْوالا َك يرْْياا‬ِ ُ‫َلَُما ا‬

312
“Tuhanmu memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah

berbuat baik kepada kedua Ibu Bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika mereka telah

berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah sekali-kali mengatakan uf

(ah), jangan membentak mereka dan hendaklah kamu ucapkan kepada mereka

dengan perkataan yang mulia (qaulan kariman). (QS. al-Isra, 17: 23).

Ungkapan qaulan kariman dalam ayat ini berkenaan dengan perintah Allah

kepada manusia agar berbuat baik kepada orang tua setelah beribadah dan bertauhid

kepada-Nya. Ali al-Shabuni mengartikan ayat ini dengan perkataan yang baik, lemah

lembut, sopan santun, hormat dan mengagungkan. Menurut al-Syaukani qaulan

kariman mengandung perkataan yang lemah lembut dan halus (qaulan layyinan wa

lathifan), yaitu sebaik-baik perkataan yang manis dengan penuh kelembutan dan

kemuliaan yang disertai dengan etika (ta’dib) rasa hormat dan mengagungkan, rasa

malu dan sopan santun.

Para ahli tafsir di samping mengartika qaulan kariman dengan perkataan yang

mulia juga mengkatagorikannya kepada kata-kata yang baik (hasanan), lemah lembut

(layyinan), sopan santun (ta’diban), halus (lathifan) dan mengagungkan (ta’zhiman).

Jika dilihat dari makna-makna tersebut, maka qaulan kariman mencakup semua term

komunikasi, baik dalam bentuk ‘amr ataupun dalam bentuk khabariyah. Komunikasi

akan lebih akrab dan harmonis jika menggunakan perkataan yang baik dan mulia.

Sebab secara naluriah, manusia adalah makhluk yang mulia, dan kemuliaan yang

313
dimilikinya adalah asli sesuai dengan esensinya sebagai manusia. Oleh karenanya, ia

harus disentuh dengan sikap-sikap dan kata-kata yang mulia. Firman Allah:

‫اه ْم َعلَى َكثي ٍْْي‬ ‫ولََق ْد َكَّرمنَا ب يِن آدم و َْح ْلنَاهم يِف الْب ير والْبح ير ورزقْ نَاهم يمن الطَّيب ي‬
ُ َ‫ض ْلن‬
َّ َ‫ات َوف‬َِ َ ْ ُ َ َ َ ْ َ َ ِ َ ْ ُ َ َ َ َ َ ْ َ
‫ََّّمَّن خلَ ْقنَا تَ ْف ي‬
.‫ضْيالا‬ َ ْ
“Kami benar-benar telah memuliakan anak Adam, dan membawa mereka di daratan

dan lautan. Kami beri mereka urusan-urusan yang baik, dan Kami lebihkan mereka

atas makhluk-makhluk lain yang telah Kami ciptakan” (QS. al-Isra, 17: 70).

Term komunikasi yang kedua adalah dalam bentuk khobariyah (kalimat

berita). Term komunikasi dalam Alquran yang berbentuk kalimat berita (khabariyah)

adalah:

1. Qaulan Tsaqilan.

Kata Qaulan tsaqilan terdapat dalam Alquran surat al-Muzammil, 73: 5, yaitu

pernyataan Allah kepada nabi Muhammad Saw bahwa Dia menurunkan kepadanya

perkataan yang berat:

‫ي‬
‫ك قَ ْوالا ثَيقْي الا‬ ‫ي‬
َ ‫ا ًَّن َسنُ ْلقى َع لَْي‬
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat (Qaulan

tsaqilan” (QS. al-Muzammil, 73: 5). Qaulan tsaqilan dalam ayat ini diartikan oleh

sebagian ahli tafsir sebagai ungkapan yang terdapat di dalam Alquran (wahyu) yang

mengandung keagungan dan kebesaran Allah serta mengandung kehebatan yang luar

biasa. al-Syaukani mengartikannya adalah perkataan yang simpel dan berbobot atau

314
bernilai. Kontek ayat ini adalah kata-kata yang diungkapkan oleh nabi Muhammad di

luar wahyu, keberadaannya sangat simpel, bernilai dan berbobot.

Hubungannya dengan komunikasi adalah bahwa komunikator dalam

menyampaikan pesan hendaknya singkat, tepat, cara penyampaiannya sederhana dan

mudah dimengerti tetapi berbobot dan penuh dengan makna. Dalam teori ilmu

pengetahuan, disebut dengan berfikir ilmiah; logis, sistimatis dan mampu berpikir

secara konseptual, dalam arti tidak jelimet, tidak berbelit-belit, sulit dipahami dan

dicerna. Qaulan tsaqilan dalam kontek pengertian ini lebih tepat digunakan untuk

menghadapi orang-orang cerdik dan pandai yang selalu menggunakan argumentasi-

argumentasi ilmiah. Operasionalnya dapat diterapkan dalam seminar, simposium,

diskusi-diskusi ilmiah dan sebagainya.

2. Qaulan ‘Azhiman:

‫ّي َو َّاَّتَ َذ يم َن الْ َمالَئي َك ية اي ًَن ََث اينَّ ُك ْم لَتَ ُق ْولُْو َن قَ ْوالا َع يظْي اما‬ ‫ي‬
َ ْ ‫ص َفا ُك ْم َربُّ ُك ْم يبلْبَن‬
ْ َ‫اَفَا‬
“Maka apakah patut Tuhan memilihkan bagimu anak-anak laki-laki sedang Dia

sendiri mengambil anak-anak perempuan di antara para malaikat? Sesungguhnya

kamu benar-benar mengucapkan kata-kata yang besar dosanya (Qaulan azhiman).”

(QS. al-Isra, 17: 40)

Istilah qaulan ‘azhiman mengandung dua pengertian; pertama adalah

perkataan yang mengandung dosa besar, dusta atau menyusahkan, jika asal kata

‘azhiman terambil dari kata ‘azhuma. Kedua adalah perkataan yang agung dan mulia

atau karismatik jika asal kata ‘azhima terambil dari kata ‘azhzhoma. Adapun kontek

315
pengertian qaulan ‘azhiman dalam ayat ini adalah pernyataan celaan Allah terhadap

orang-orang kafir yang mengatakan bahwa malaikat itu adalah anak-anak perempuan

Allah.

Para ahli tafsir, seperti al-Maroghi dan al-Syaukani menyatakan dalam

tafsirnya bahwa ayat ini berkenaan dengan orang-orang kafir yang menganggap

bahwa para malaikat itu adalah anak-anak perempuan Allah dan mereka

menyembahnya. Mereka telah berbuat kesalahan atau dosa besar, sehingga Allah

berfirman kepada mereka: Innakum lataquluuna qaulan azhiman (sesungguhnya

kalian benar-benar telah mengatakan ucapan yang besar dosanya, berdusta kepada

Allah dan menisbatkan-Nya dengan makhluk).

Adapun qaulan ‘azhiman dalam pengertian “perkataan yang agung dan mulia

(karismatik)” disandarkan kepada ungkapan “al-Quran al-‘Azhim” yaitu Alquran

yang agung dan mulia, seperti yang banyak diungkapkan di dalam ayat-ayat Alquran

itu sendiri. Hubungannya dalam berkomunikasi adalah bahwa setiap perkataan yang

dikomunikasikan (qaulan ‘azhiman) kepada komunikan, baik berupa perintah atau

larangan segera dilaksanakan dengan penuh ketaatan dan keikhlasan. Operasionalnya

sering diterapkan dalam kepemimpinan, yaitu oleh seorang pemimpin terhadap yang

dipimpinnya atau para pengikutnya.

Simbol-simbol akhlak berkomunikasi dalam Islam tersebut, implikasinya

terhadap media massa sangat fungsional, terutama media massa televisi. Qaulan

316
sadidan berhubungan dengan isi pesan yang benar dan jujur, atau istilah dalam ilmu

komunikasi disebut dengan stright to the point. Prinsip ini penting dikedepankan,

mengingat adanya praktek-praktek penyiaran yang agak mengabaikan sifat akurasi,

objektivitas dan manipulasi informasi. Televisi dewasa ini lebih banyak

mendistorsikan realitas yang memaksakan ilusi-ilusinya kepada khalayaknya.

Tayangan berupa iklan ataupun hiburan dalam acara televisi hampir seluruhnya

bersifat manipulatif.

Konsep Qaulan ma’rufan, atau istilah Yusuf Ali word of kindness and justice

sangat penting dikedepankan, mengingat tayangan-tayangan hiburan dan iklan, justru

menunjukan dan menyerukan Qaulan munkaron. Begitu juga Qaulan balighon yang

bermakna pesan-pesan yang menyentuh kalbu atau hati nurani komunikan dan sesuai

dengan kebutuhannya. Sementara pesan televisi justru lebih sering menjauhkan

pemirsanya dari kemahabesaran Tuhan. Padahal esensi dan strategi komunikasi

dalam Islam, isi dan cakupan pesannya mestilah berorientasi pada upaya

mengembalikan jiwa manusia kepada Allah.

Simbul-simbul komunikasi yang terdapat dalam Alquran seperti tersebut di

atas, secara operasional, atau dalam bentuk perbuatan sehari-hari adalah sebagai

berikut:

1. Berkata baik atau diam. Nabi Saw dalam berbicara selalu berhati-hati dan

memikirkan terlebih dahulu sebelum berkata-kata. Setelah direnungkan bahwa

kata-kata itu baik, maka hendaknya ia mengatakannya. Sebaliknya, bila kata-

kata yang ingin diucapkannya jelek, maka hendaknya ia menahan diri dan

317
lebih baik diam, karena sedikit bicara atau diam adalah lebih utama: “Diam itu

baik, dan sangat sedikit orang yang dapat melakukannya”

2. Tidak baik membicarakan setiap yang didengar. Dunia kata di tengah umat

manusia adalah dunia yang campur aduk. Seperti manusianya sendiri yang

beragam dan campur aduk; shalih, fasik, munafik, musyrik dan kafir. Karena

itu, kata-kata umat manusia tentu ada yang benar, yang dusta; ada yang baik

dan ada yang buruk. Karena itu, ada kaidah dalam Islam soal kata-kata, ‘Siapa

yang membicarakan setiap apa yang didengarnya, berarti ia adalah pembicara

yang dusta’. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam.

3. Jangan mengutuk dan berbicara kotor. Mengutuk dan sumpah serapah dalam

kehidupan modern yang serba materialistis sekarang ini seperti menjadi hal

yang dianggap biasa. Seorang yang sempurna akhlaknya adalah orang yang

paling jauh dari kata-kata kotor, kutukan, sumpah serapah dan kata-kata keji

lainnya. Begitu juga kita hendaknya menghindari sikap mengejek,

memperolok-olok dan memandang rendah orang yang berbicara.

4. Jangan senang berdebat meski benar. Saat ini, di alam yang katanya

demokrasi, perdebatan menjadi hal yang lumrah bahkan malah digalakkan.

Ada debat calon presiden, debat calon gubernur dan seterusnya. Pada kasus-

kasus tertentu, menjelaskan argumentasi untuk menerangkan kebenaran yang

berdasarkan ilmu dan keyakinan memang diperlukan dan berguna. Tetapi,

berdebat yang didasari ketidaktahuan, ramalan, masalah ghaib atau dalam hal

318
yang tidak berguna hanya membuang-buang waktu dan berpengaruh pada

retaknya persaudaraan dan menimbulkan permusuhan.

5. Dilarang berdusta untuk membuat orang tertawa. Dunia hiburan

(entertainment) menjadi dunia yang digemari oleh sebagian besar umat

manusia. Salah satu jenis hiburan yang digandrungi orang untuk

menghilangkan stress dan beban hidup yang berat adalah lawak. Dengan

suguhan lawak ini orang menjadi tertawa terbahak-bahak, padahal di

dalamnya campur baur antara kebenaran dan kedustaan, seperti memaksa diri

dengan mengarang cerita bohong agar orang tertawa. Mereka inilah yang

mendapat ancaman melalui lisan Rasulullah Saw dengan sabda beliau:

“Celakalah orang yang berbicara lalu berdusta untuk membuat orang-orang

tertawa. Celakalah dia, dan celakalah dia!”

6. Hendaknya berbicara dengan suara yang dapat didengar, tidak terlalu keras

dan tidak pula terlalu rendah. Ungkapannya jelas dapat dipahami oleh semua

orang dan tidak dibuat-buat atau dipaksakan.

7. Jangan membicarakan sesuatu yang tidak berguna. Hadis Rasulullah Saw

menyatakan: “Termasuk kebaikan islamnya seseorang adalah meninggalkan

sesuatu yang tidak berguna.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

8. Tenang dalam berbicara dan tidak tergesa-gesa. Aisyah Ra telah

menuturkan, “Sesungguhnya Nabi apabila membicarakan sesuatu

pembicaraan, sekiranya ada orang yang menghitungnya, niscaya ia dapat

menghitungnya.” (Muttafaq ‘alaih).

319
9. Menghindari perbuatan menggunjing (ghibah) dan mengadu domba. Allah

berfirman: “Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang

lain.” (QS. Al-Hujarat, 49: 12).

10. Mendengarkan pembicaraan orang lain dengan baik dan tidak memotongnya,

juga tidak menampakkan bahwa kamu mengetahui apa yang dibicarakannya,

tidak mengganggap rendah pendapatnya atau mendustakannya.

11. Menghindari perkataan kasar, keras, dan ucapan yang menyakitkan perasaan,

dan tidak mencari-cari kesalahan pembicaraan orang lain dan kekeliruannya,

karena hal tersebut dapat mengundang kebencian, permusuhan, dan

pertentangan.

Pembahasan terakhir tentang akhlak berkomunikasi ini, pada intinya adalah

terdapat dalam dua ayat Alquran sebagai berikut: “Hai orang-orang yang beriman,

janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu

berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian

kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu

sedangkan kamu tidak menyadari.” (QS. al-Hujurat, 49: 2). Ayat lainnya: “Dan

sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-

buruk suara ialah suara keledai.” (QS. Luqman, 31: 19)

Demikianlah diantara akhlak atau etika Islam dalam berbicara atau

berkomunikasi. Sekalipun tulisan ini diperuntukan buat mahasiswa tapi juga sangat

penting untuk diperhatikan oleh setiap pembaca, karena tiada hari yang kita lalui

pasati kita pernah berbicara dan berkomunikasi.

320
321

Anda mungkin juga menyukai