Anda di halaman 1dari 7

ANALISIS DESKRIPTIF

MENGGUNAKAN COUNSELING COMMUNITY

(Disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Layanan Komunitas)

Dosen pengampu:

Hilma Fitriyani, M.Pd.

Disusun oleh:

Arif Rahmad Setiawan

NIM. 1106620071

Kelas B

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2023
A. Deskripsi Kasus
Dalam kasus ini, konseli merupakan seorang mahasiswa berinisial
DFR yang aktif berkuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta. Saat
ini konseli sedang menjalani perkuliahan di semester 8, di mana dirinya
sedang mengejar ketertinggalan mata kuliah yang ada di semester 6. Konseli
tinggal bersama keluarga kecilnya, di daerah Kalideres, Kota Jakarta Barat.
Konseli menghadapi isu yang sangat berat baginya, di mana isu ini berasal
dari lingkungan yaitu keluarganya.
Konseli lahir di keluarga yang menerapkan pola asuh otoriter, dirinya
tidak dapat mengekspresikan dirinya secara bebas. Dirinya seringkali
mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan baik dari ibu ataupun
ayahnya. Hal ini menyebabkan dirinya tidak dapat menjadi seseorang yang
dapat menyampaikan pendapatnya ketika berada di lingkungan keluarganya.
Bahkan saat ini konseli meskipun sudah dapat memiliki keterampilan asertif di
lingkungan selain rumah, namun tidak dengan lingkungan keluarga tertuama
ibunya. Sejak kecil, dirinya sering mendapatkan caci makian, hingga disakiti
secara fisik atas kesalahan kecil yang dilakukannya. Contohnya yaitu ketika
dirinya sedang mandi hujan yang padahal itu terjadi secara tidak sengaja
karena konseli ingin mengambil suatu barang yang membuatnya terkena
hujan. Namun, ibunya memperlakukan dirinya dengan keras yaitu dengan
memukulnya bahkan mengancamnya ingin ditenggelamkan di bagian yang
terkena banjir. Seiring berjalannya waktu, konseli tumbuh dengan rasa sakit
itu hingga menjadi kuat saat ini.
Ketika dirinya berusia 2 tahun, terjadi masalah yang sempat
membuatnya trauma belakangan ini, yaitu perceraian orang tua. Kejadian ini
disebabkan karena ayahnya malas bekerja dan hanya memanfaatkan harta
mertuanya. Kemudian, konseli tinggal bersama dengan ibu dan adiknya.
Ibunya kini berusaha untuk membesarkannya, karena semenjak perceraian,
ibunya tidak mendapatkan bantuan dari ayah kandung konseli, sehingga
dirinya harus bersusah payah berjuang untuk keluarga kecilnya. Dalam

1
perjalanan hidupnya, konseli merasa kesal dengan ayahnya karena tidak lama
sejak perceraian, konseli tidak dianggap anak oleh ayahnya. Konseli sempat
ingin membalas perbuatan ayahnya tersebut, namun tidak sampai terjadi.
Konseli sudah merasa tidak memiliki hubungan apapun dengan ayah
kandungnya, sudah tidak ingin mengenal dan mengetahui apapun tentang ayah
kandungnya. Kemudian ibunya menikah lagi, dan konseli memiliki adik tiri.
Saat ini, masalah yang mengganggu konseli mengenai konflik dengan
ibunya. Terdapat kejadian bahwa ibunya selalu mengoceh dan menuntutnya
untuk menafkahi keluarganya. Karena tuntutan ini konseli menjalani dua
peran, yaitu sebagai mahasiswa dan sebagai seorang pekerja. Konseli tidak
dapat fokus dengan perannya sebagai mahasiswa karena harus menafkahi
keluarganya. Saat semester 5 lalu, konseli mengalami kegagalan dalam
kuliahnya yang mengharuskan dirinya untuk mengejar ketertinggalan saat ini.
Konflik ini juga sangat mengganggu fokusnya dalam berkuliah karena
jika tuntutan dari ibunya tidak terpenuhi maka keluarganya akan mengalami
kesulitan dalam perekonomian. Ibunya selalu bergantung kepada dirinya
karena menganggap dirinya seperti ayahnya sehingga membuat persepsinya
untuk mewajibkan konseli berkuliah. Ada hal yang menyebabkan ibunya
menjadi bergantung kepada konseli karena sejak dahulu ibunya hidup enak
dengan orang tuanya sehingga seringkali dimanjakan. Karena kebiasaan inilah
menjadikan ibunya bergantung kepada konseli. Hal ini juga membuat konseli
berpikir bahwa menafkahi keluarga adalah kewajiban bagi anak laki-laki
pertama. Konseli sempat mengeluhkan ibunya yang tidak mau berusaha lebih
untuk membantu perekonomian keluarga, dan hanya bergantung kepada
konseli. Ayah tirinya juga tidak dapat diandalkan karena sudah sangat tua.
Masalah yang berkaitan dengan keluarga ini, terutama yang berakar
dari perceraian, kemudian masalah ekonomi juga menyebabkan konseli
merasa kurang asertif dan memendam pikiran serta perasaannya. Konseli
berkeinginan untuk tidak diganggu oleh ibunya dalam fokus berkuliah,
sementara itu konseli sudah berusaha untuk berbicara dengan ibunya. Namun,

2
karena ibu memiliki watak yang keras, perasaan dan pikiran konseli belum
tersampaikan sepenuhnya, sehingga dirinya saat ini masih merasa terbebani.
B. Analisis Kasus dengan Layanan Komunitas
Berdasarkan deskripsi kasus, strategi layanan komunitas yang
kemungkinan dapat membantu yaitu facilitating human development: broad-
based strategies. Pada strategi ini, intervensi perkembangan/pencegahan
memungkinkan konselor komunitas untuk mendidik atau melatih anggota
populasi secara luas. Tujuan dari strategi ini yaitu membantu anggota
masyarakat mendapatkan pengetahuan dan keterampilan baru yang berguna
dalam menghadapi tantangan yang belum diketahui yang mungkin mereka
hadapi dalam hidup mereka. Dengan ini, komunitas akan membantu individu
atas kesadaran mereka akan potensi tantangan hidup dan mengembangkan
keterampilan yang dapat membantu mereka menghadapi tantangan ini dengan
lebih kompeten (Lewis, Lewis, Daniels, & D'Andrea, 2010).
Tujuan dari strategi ini tentunya perlu adanya rangkaian dari rencana
dan kegiatan, hal ini disebut juga sebagai program. Program yang dapat
dijalankan yaitu mulai dari seminar hingga pelatihan perilaku asertif, dari
kursus dalam pengambilan keputusan dan perencanaan hidup hingga
lokakarya dalam pemahaman lintas budaya, dari pelatihan relaksasi hingga
aktivitas lintas budaya (Lewis, Lewis, Daniels, & D'Andrea, 2010). Dari
beberapa program tersebut, program yang mungkin sesuai dijalankan untuk
konseli yaitu seminar dan pelatihan asertif. Seminar yang diadakan dapat
bertemakan mengenai dampak keluarga yang kurang harmonis (perceraian,
konflik rumah tangga, dan lain-lain) terhadap kesehatan mental, dan peran
gender (laki-laki dan perempuan). Kemudian, latihan asertif juga
memungkinkan untuk adanya wadah terlebih dahulu untuk konseli
mengekspresikan pikiran dan perasaan yang terpendam, kemudian
membiasakan diri untuk selalu bersikap asertif baik di rumah, maupun di
lingkungan lainnya.
Pada kasus tersebut, sumber masalah berasal dari lingkungan
keluarganya. Salah satu teori konseling menekankan hubungan antara orang

3
dan lingkungan, di mana lingkungan memiliki kekuatan untuk memelihara dan
membatasi perkembangan manusia menjadi semakin jelas. Individu akan terus
berinteraksi dengan lingkungannya dengan cara membantu atau
merugikannya. Seseorang akan berkembang jika dapat menjadikan interaksi
dengan lingkungannya sebagai pembelajaran dan dukungan (Lewis, Lewis,
Daniels, & D'Andrea, 2010). Dalam hal ini, konseli terlihat belajar dari
lingkungan keluarganya yang tidak harmonis, yaitu dapat survive dari trauma
masa lalu terkait perceraian. Konseli merasa semuanya akan sembuh seiring
berjalannya waktu, sementara itu dirinya sudah ikhlas dan mampu bangkit
setelah beberapa kali jatuh. Konseli dahulu merasa tertekan dengan hal yang
sedang menimpanya, namun berbeda dengan saat ini, konseli menjadi
bersyukur karena jika tidak ada kejadian yang buruk di masa lalu, mungkin
dirinya tidak akan menjadi kuat saat ini.
Lingkungan juga dapat mempengaruhi individu negatif dengan
menghambat pertumbuhan dan membatasi perkembangannya (Lewis, Lewis,
Daniels, & D'Andrea, 2010). Dalam hal ini, konseli pernah merasakan
kegagalan di semester 5 karena tekanan ekonomi yang mengharuskan dirinya
untuk bekerja menafkahi keluarga. Tuntutan ini terus dilakukan oleh ibunya
sehingga konseli harus merelakan perannya sebagai mahasiswa. Setelah itu,
saat ini konseli merasa terhambat dalam proses perkuliahannya karena adanya
konflik yang berasal dari keluarga, yaitu konflik dengan ibunya. Konseli
membayangkan situasi ketika dirinya tidak mengalami konflik, maka dirinya
akan menjadi lebih tenang sehingga memungkinkan tidak adanya hambatan
dalam dirinya yang berkaitan dengan lingkungan.
Layanan atau konseling komunitas memberikan bantuan kepada
individu ataupun kelompok masyarakat yang membutuhkan dan berkelanjutan
demi mewujudkan terlaksananya layanan yang memberikan dukungan dan
perubahan untuk memperbaiki keadaan masyarakat. Dalam kasus tersebut,
konseli merasa tidak adanya dukungan dari keluarganya sehingga ketika
adanya layanan komunitas mungkinkan konseli mendapatkan dukungan dari
lingkungan lain di luar lingkungan keluarganya. Hal ini tentunya akan

4
memberikan konseli kekuatan untuk bertahan dalam konflik yang sedang
dihadapinya. Sehingga layanan komunitas dapat membantu konseli mengenali
dan membangun kekuatan dan sumber daya mereka (Lewis, Lewis, Daniels, &
D'Andrea, 2010).
Individu ataupun masyarakat yang memerlukan layanan konseling
komunitas seperti individu yang mengalami kelelahan dalam menjalankan
peran ganda terkait identitas gendernya sehingga membuat dirinya terhambat
dalam perkembangannya sebagai individu. Pemberian layanan konseling
komunitas tentunya tepat diberikan bagi individu yang mengalami
diskriminasi peran gender. Dengan ini, tentunya individu dan kelompok
masyarakat akan terbantu dengan pemahaman dan sikap menghargai peran
gender, demi mewujudkan masyarakat multikultur yang menjunjung
kesetaraan dan kesejahteraan dalam hidup.

C. Isu Budaya
Lingkungan yang paling berpengaruh bagi isu yang dimiliki konseli
yaitu lingkungan keluarga. Keluarga merupakan lembaga terkecil dari
masyarakat dan negara, yang memiliki struktur sosial serta sistemnya sendiri
(Aisyah, 2013). Keluarga merupakan tempat paling awal bagi seorang
individu dalam penanaman nilai, termasuk pengalaman budaya. Setiap
individu tentunya memiliki pengalaman budaya yang berbeda-beda karena
pola asuh serta rutinitas relasi sosial yang terbentuk dalam suatu keluarga juga
berbeda-beda. Keluarga hidup berdampingan dengan lingkungan masyarakat
sehingga seringkali budaya yang ada di keluarga tidak jauh dari budaya di
masyarakat. Terdapat sebuah konsturksi sosial budaya di masyarakat yang
membedakan peran berdasarkan gender (Aisyah, 2013).
Dalam kasus tersebut, pola asuh yang diterapkan oleh orang tua
konseli adalah pola asuh otoriter, di mana hal ini membuat konseli tidak dapat
mengekspresikan pikiran dan perasaannya di lingkungan keluarganya.
Ayahnya memegang keputusan tertinggi dalam keluarganya sehingga pihak

5
ibu dan anak menjadi pihak yang pasif. Namun, setelah bercerai, ibunya
menjadi dominan dan anak tetap menjadi pihak yang pasif.
Selain itu, isu budaya yang muncul dalam kasus tersebut yaitu
mengenai perceraian. Perceraian orang tua tentunya banyak berakibat buruk
bagi anaknya, termasuk dampaknya yaitu membuat anak menjadi kurang
mendapatkan kasih sayang dan dukungan, serta yang tampak pada konseli
yaitu masalah pada ekonominya. Ketika kedua orang tuanya bercerai, konseli
hidup bersama dengan ibunya. Hal ini merupakan isu budaya yang tampak,
sesuai dengan pendapat M. Yusuf (2014), bahwa pada umumnya ketika terjadi
perceraian orang tua, anak-anak akan ikut bersama ibunya, dan semua biaya
hidupnya yang seharusnya menjadi tanggung jawab ayah tetap menjadi
tanggung jawab si ibu.
Selanjutnya, isu budaya yang terlihat mengenai peran gender, di mana
seorang laki-laki anak pertama biasanya akan memiliki tanggung jawab lebih
untuk bekerja dalam menafkahi keluarganya (Aisyah, 2013). Hal ini tentunya
menjadi beban tersendiri bagi seorang konseli di mana dirinya masih memiliki
peran sebagai mahasiswa, sementara itu yang seharusnya menafkahi adalah
orang tua yaitu ibunya. Namun, karena ibunya bergantung kepadanya, maka
konseli merasa memiliki tanggung jawab penuh untuk menafkahi keluarganya.

DAFTAR PUSTAKA:
Aisyah, N. (2013). Relasi gender dalam institusi keluarga (pandangan teori sosial
dan feminis). Muwazah: Jurnal Kajian Gender, 5(2).
Lewis, J. A., Lewis, M. D., Daniels, J. A., & D'Andrea, M. J. (2010). Community
counseling: A multicultural-social justice perspective. Cengage Learning.
M Yusuf, M. Y. (2014). Dampak perceraian orang tua terhadap anak. Jurnal Al-
Bayan: Media Kajian dan Pengembangan Ilmu Dakwah, 20(1).

Anda mungkin juga menyukai