Ahmad
Ahmad
Lagu bahagia itu samar-samar terdengar di telinga Kamil. la sengaja menjauh dari
kerumunan anak-anak yang merayakan ulang tahun Fahri.
"Selamat ulang tahun sehat sentosa, selamat panjang umur dan bahagia...."
Sejenak suasana hening. Hujan mulai turun rintik- rintik, membuat Kamil terpaksa
meninggalkan taman sebuah panti asuhan Jayakarta itu dengan segera.
Jujur, sebenarnya bukan semata-mata karena turunnya hujan yang membuat Kamil
pergi, namun lebih dari itu. Hujaman rintiknya terasa pedih, menusuk ketegaran
hatinya, itulah yang membuat Kamil tersakiti.
Lelaki penuh kharisma itu melajukan mobil Ferrari terbaru berwarna merah.
Di satu sisi ia ingin segera pergi dari panti asuhan itu, namun satu sisi hatinya
terasa sangat berat. Terlalu banyak kenangan dan pesan di tempat harapan anak- anak
yatim piatu dan terlantar itu.
Panti Asuhan Jayakarta, merupakan tempat terakhir Kamil berbagi. Tahun ini,
adalah tahun pertama, Kamil merayakan ulang tahun Fahri dengan anak-anak panti,
tanpa kehadiran putra semata wayangnya yang sangat dicintai secara sungguh dan
penuh itu.
Senja itu mulai merubung,tampak lelaki berusia 40 tahun itu mendatangi Panti
Asuhan Jayakarta.Sebuah panti asuhan yang nampak asri dengan banyaknya tanaman
bunga mawar dan anggrek di dalam pot maupun pohon-pohon akasia yang tumbuh
lebat di sepanjang jalan masuknya.
Juna, lelaki dengan mata teduh itu juga membawa 100 kotak kue dan paket
makanan dari sebuah produk ayam goreng dalam negeri. Selain itu, juga ada 5
keranjang besar buah-buahan, dan 20 dus minuman soft drink yang ia serahkan
kepada Bu Hani, pengasuh panti. Ia hanya minta semua makanan dibagi untuk anak-
anak panti, tak lupa ia selipkan sebuah amplop putih berisi uang.
Tanpa ia duga, Bu Hani nampaknya sudah siapkan sebuah acara sederhana, doa
dan nyanyi bersama untuk merayakan ulang tahun Fahri. Lilin mulai dinyalakan,
mereka semua menundukkan kepala, berdoa, dipimpin Bu Hani sendiri.
"Anak-anak, hari ini adalah hari ulang tahun ke 6 Muhammad Fahri Hamzah.
Sekarang kita bernyanyi untuknya ya... Selamat Ulang Tahun kami ucapkan...."
Lagu ucapan selamat dan doa itu terus berlanjut, dinyanyikan seluruh penghuni
panti yang berusia antara 1-12 tahun dengan penuh semangat dan hikmat.
Hanya beberapa menit Kamil kuat melihat adegan itu. Begitu sampai bait lagu
terakhir dinyanyikan, hatinya terasa begitu gamang. Ia yakin, setelah lagu itu selesai,
tentu Bu Hani akan minta sepatah dua patah kata darinya, dan itu tidak akan ia
penuhi. Kamil keluar dari ruangan tengah panti, berjalan menuju taman, sekedar
ingin menahan air matanya keluar.
Namun akhirnya ia menyerah kalah. Ia pun bergegas pergi meninggalkan panti, tak
peduli teriakan Bu Hani dan permohonan Pak Abdul penjaga panti. la hanya
melambaikan tangan, masuk ke dalam mobil, melajukannya, dan segera menghilang
dari Jalan Jayapura.
Dengan dada terasa penuh tusukan ribuan paku baja membara, panas, sakit, ia
menahan tangis dan berkata begitu lirih dengan menekan perih bibirnya kuat- kuat.
Kepedihan yang teramat sangat ia rasa sore itu.
Kamil semakin merasakan kesakitan yang luar biasa mendengar lagu yang tak
sengaja mengingatkan tentang duka yang ia rasakan.Lalu ia segera mematikan radio.
Namun hatinya terasa berat, tak berapa lama ia kembali menghidupkan radio, dan
terdengarlah reffrein lagu yang menyentuh itu.Kamil tak kuasa mendengar lagu
itu.Kemudian ia memutuskan mematikan radio kembali.
BAB II. Mengingat Kembali Kenangan
Malam itu, sepulang dari kantor, wajah letihnya terasa segar kembali saat ia akan
mengganti celana Fahri
Bayi lelaki montok berumur 6 bulan itu tiba-tiba memuncratkan air, seperti air
mancur ke wajahnya. Kamil begitu kaget, lalu tersenyum dan bergumam lirih, ini
baru salah satu sensasi menjadi ayah dan ibu! la menghibur diri sendiri sambil
mengusap air kencing Fahri yang sukses membasahi seluruh wajahnya.
Fahri saat itu berumur 2 tahun, tidurnya nampak begitu gelisah karena suhu
tubuhnya naik. la demam. Mbok Iyem kebetulan juga sakit.Kamil tak tega
membangunkan wanita tua itu untuk menenangkan Fahri.
Malam penuh kebodohan, Kamil baru sadar persediaan obat-obatan di rumah sudah
menipis, dan penurun panas untuk Fahri pun habis. Dungunya si ayah yang apoteker
ini! Rutuknya dalam hati.
Tak berapa lama, Fahri terlelap, nyenyak tidurnya, begitupun dengan Kamil.
Tengah malam Kamil baru terbangun dan segera merebahkan Fahri di tempat tidur.
Tangannya mengambil termometer yang menunjukkan suhu tubuh Fahri kembali
normal. Mata Kamil berbinar, diciumnya dahi Fahri yang tiba sembuh karena
pelukannya. Entah darimana logika ilmiahnya, yang jelas ia spontan melakukannya
karena naluri seorang IBU!
"Sebentar.... Mbok!"
Kamil memanggil Mbok Iyem, namun segera Fahri membalikkan badan, menutup
bibir ayahnya, menatapnya lekat, memohon.
Kamil gembira sekali melihat Fahri sudah mau minum susu di gelas.
"Di gelas? Hore! Anak ayah pintar. Sudah gede, nggak ngedot lagi!"
Tak berapa lama Mbok Iyem yang juga turut senang karena Fahri sudah mau
minum susu di gelas, mengantarkan segelas susu coklat hangat ke Fahri, lalu ia
tersenyum dan segera keluar, mengintip Fahri minum susu dari lipatan pintu ruang
kerja Kamil.
Kamil merasa takjub, pertama kali memperhatikan Fahri minum susu dari gelas,
membuat hatinya berbunga,
Namun tak berapa Fahri menumpahkan susu yang baru sedikit diminumnya itu di
laptop Kamil dengan sengaja.
"Fahri!"
Spontan Kamil kaget dan segera menurunkan Fahri dari pangkuannya. Fahri segera
berlari dari ruang kerja ayahnya. Mbok Iyem menahan senyum, lalu mengangkap .
Kamil hanya bisa melihatnya dengan kesal, karena data-data yang baru saja
diketiknya belum sempat ia simpan, hilang tak berbekas. Laptop langsung error, dan
besoknya masuk rumah sakit komputer!
Hikmah besar dipetiknya, kehadirannya sebagai seorang ayah dan ibu begitu
penting bagi Fahri!
BAB III. Kenangan Berlanjut
Laju mesin mobil Kamil terasa berat, seperti ikut terbebani sekian ton beban luka
hatinya. Hujan yang turun deras semakin membuat hatinya pandangannya berkabut.
Kamil keluar dari kamar dengan tergesa- gesa, sambil memakai dasi, bertanya pada
Mbok Iyem yang sedang merapikan tas Fahri ke atas meja belajar majikan kecilnya
itu.
Kamil menatapnya dengan sedih, merasa sangat bersalah, karena lembur semalam
suntuk, hingga bangun kesiangan, dan tidak sempat memandikan Fahri seperti
biasanya.
Kamil menerima segelas susu coklat Fahri yang masih utuh dari Mbok Iyem.
Kesempatan ia bicara dan beralasan meminta Fahri untuk minum susu. Lalu ia duduk
di samping kanan Fahri.
"Fahri,minum susunya."
Fahri hanya diam. Tangan kirinya meraih tempat makanan ikan yang diambilnya
dari bawah meja kayu, tepat di belakangnya. Lalu ia melempar beberapa butir pakan
ikan ke arah kolam di depannya. Nampak ikan- ikan koi Jepang mahal itu rebutan
makan.
"Ikan itu butuh makan untuk hidup. Agar badannya sehat, bisa tumbuh kembang
dengan baik. Demikian dengan Fahri. Susu akan menambah energi. Fahri nanti bisa
lebih mudah menyerap pelajaran di sekolah."
"Kenapa?"
"Merayakan apa?"
"Hari Ibu..."
Jawaban Fahri begitu lirih, dan ia beranikan diri menatap Kamil yang kaget dengan
Jawaban Fahri.
Kamil mati kata, tidak kuasa menolak permintaan Fahri. la baru sadar, Fahri anak
yang cerdas, sudah mulai berontak dengan keadaan, protes. Ia bukan lagi anak TK
yang bisa dengan mudah dibujuk rayu. Ia sudah kelas 1 SD. Tentu sudah mulai
berpikir tentang kesempurnaan keluarganya.
Fahri kembali mati kata, dengan langkah gontai ia menuruti jejak kaki kecil Fahri
meninggalkan rumah teh, menuju sekolah Fahri dengan sekian ratus ibu-ibu
merayakan Hari Ibu. Tak terbayangkan!
"Teman-teman... Fahri juga punya ibu yang sangat baik... baik sekali!"
Merawatku
Menyayangiku
Mencintaiku
Mengasihiku selalu
Semua yang hadir terharu. Mereka bertepuk tangan memberi apresiasi bagus,
karena Fahri satu- satunya murid yang berpuisi tanpa membawa teks.
Matanya menatap Kamil dengan berbinar, memohon Kamil maju ke depan, seperti
teman-temannya yang lain, ketika selesai membaca puisi, sang ibu selalu ke maju ke
depan.
Kamil ragu-ragu melangkah, namun Bu Indah, sang ibu guru yang ramah, tahu
kondisi mereka, segera memohon Juna maju.
Kamil spontan memeluk dan mengangkat tubuh Mada yang begitu girang, berhasil
membawa "sang ibu" ke sekolah. Ibu berwujud ayah!
Rumah besar bercat putih itu tampak begitu sunyi sekali.Dengan tiang-tiangnya
yang kokoh bearksitektur Belanda.Cluster mewah yang berhadapan dengan tanaman
air,sebuah danau buatan yang bening.
Langkah tegap pengemudi mobil yang baru saja turun,menginjak bebatuan jalan
setapak di taman rumah yang dihiasi beberapa bonsai mahal.Rumah mewah itu
nampak cantik karena halaman depannya,ad ataman dengan miniature dari
pemandangan alam.
Tampak seorang lelaki tua yang berusia 52 tahun mengaggukan kepalanya yang
sebagian telah beruban setelah menerima kunci mobil dari lelaki berambut lurus.
Kamil langsung masuk ke sebuah kamar yang berada dibawah tangga.Kamar besar
dengan berbagai gambar di dinding dan beberapa mobil balap.
“Keren ya yah!”
Kamil teringat percakapan mereka malam itu setelah Fahri membaca sebuah artikel
tentang mobil balap terbaru keluaran Nissan.
"Kaulah pemenang!"
Kamil bergumam sendiri, setelah kembali teringat kalimat Fahri karena aura foto
mereka yang baru saja dilihatnya.
"Ayah lelah."
Kamil lalu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Menutup wajahnya dengan
bantal. Tak berapalama ia tertidur pulas, sebelum ia mengingat kembali
percakapannya dengan Fahri saat mereka memancing di danau Cibubur dua tahun
lalu.
"Apa saja?"
"Ya!"
Kalimat terakhir Kamil terucap dengan lembut dan kedua matanya terkatup, ia
tertidur dengan sekian berat rasa tanpa melepas sepatu lars Esprit coklat tuanya.
Ruangan ber - AC itu nampaknya tidak membuat tubuhnya sejuk. Hem putih polos
lengan panjangnya yang terpadu dengan celana jeans biru tua terlihat basah di bagian
dadanya. Hatinya yang resah membuatnya begitu lelah.
Bunyi petir yang menyambar langit menelan malam, membuat Juna terbangun.
Tidurnya tiada lelap. pikirnya masih terus meratap. la segera menutup jendela kamar
yang masih terbuka dan nampak kain gordyn putihnya terbabit angin.
Wajahnya basah tertempa deraan hujan yang terhantar kencangnya angin. Lalu ia
duduk merenung. menatap foto Fahri terpajang di sisi kiri jendela. Nampak Fahri
memakai wearpack lengkap dengan sepatu balapnya terlihat tampan berdiri di depan
mobil Jeep Sport sang ayah.
Kembali kilatan guntur menyambar langit. Kamil menatap sejenak ke arah jendela,
terlihat kain gorden. nya hanya menutup sebagian kaca jendela, hingga nampak jelas
derasnya hujan diantara kilatan petir.
Teriakan Mbok Iyem, pembantu setia Kamil yang selama ini merawat Fahri sejak
kecil tidak digubris Fahri.Bocah berusia 6 tahun berpipi gembul itu semakin asyik
memainkan kakinya bergulat dengan bola di tengah taman teh yang berada di
halaman belakang rumah.
Bonsai tanaman favorit semua orang yang melambangkan kesabaran dan kreatifitas
yang tinggi dari pemiliknya.
Minum teh sore hari di rumah teh yang nyaman dan asri, menjadi salah satu
kebiasaan Kamil dan Fahri sebagai sarana rekreasi sederhana. Komunikasi yang
mahal harganya, mengingat kesibukan Kamil sebagai seorang apoteker yang
memiliki beberapa apotek dan perusahaan farmasi, sangat sedikit waktunya terluang
untuk Fahri.
Kamil terus menyemangati Fahri, mereka menikmati hujan di sore itu dengan
kehangatan.
Kamil memberi contoh menendang bola ke arah Fahri, lalu berusaha sigap
menerima tendangan Fahri,
Mereka berdua terus asyik larut bermain bola hingga petang menjelang. Langit
semakin gelap, hujan pun semakin deras. Dari jauh Mbok Iyem dengan wajah cemas
sudah siap-siap membawa handuk besar berwarna biru, bergambar tokoh hero
Superman, kesukaan majikan kecilnya. Pak Ji, suaminya hanya menggelengkan
kepala, tersenyum bahagia melihat dua majikan itu bermain bola.
Suara petir menyambar kencang diiringi kilatan cahayanya yang kuat. Segera
Kamil memeluk dan menggendong Fahri, membawanya ke teras belakang, dan
bergegas Mbok Iyem menyambut Fahri dengan pelukan hangat.
"Ayo masuk!"
Kamil segera membikinkan susu coklat hangat. la nampak tersenyum melihat Fahri
dimandikan Mbok Iyem. Bibir Fahri tidak lagi biru. Matanya berbinar senang
melihat ayahnya masuk ke dalam kamar mandi, menyodorkan segelas susu coklat
kepadanya.
"Mimik susunya."
"Sop ayam."
"Superman terbang!"
Ayah dan anak itu nampak kompak. Fahri seperti naik burung elang, terbang bebas
dengan kedua tangan terbentang, sementara kedua tangan Kamil menyangga tubuh
anak sehat itu dengan kuat.
"Toast!"
Fahri menyambut tangan kiri Kamil yang berada tepat di depan wajahnya.
"Toast!"
Kedua tangan ayah dan anak itu menyatu. Lalu Kamil mencari baju di dalam
lemari Fahri.
Diambilnya sebuah celana hitam, kaos dalam putih, dan baju tidur, piyama biru
muda bergambar Superman. Lalu ia memakaikankannya ke Fahri setelah melumuri
tubuh berisi bocah yang tidak bisa diam itu dengan minyak kayu putih. Nampak
Fahri terlihatceria bercermin saat Juna menyisir rambut gondrong sebahunya yang
tanpa poni.
"Ya. Tapi jika sekolah tidak melarang, ya tetap gondrong saja nggak papa."
"Tapi kata teman-teman cewek, Fahri kayak cewek kalau gondrong. Cantik
katanya."
"Hahaha... karena Fahri tampan, ganteng, putih. Jadi mereka bilang begitu."
"Yes!"
Ajakan Mbok Iyem disambut hangat Fahri langsung berdiri, dan menatap Juna.
Buuuk!
Kamil terjatuh dari tempat tidur. la terbangun. Kenangan yang masuk sebagian
dalam mimpinya malam itu menyisakan luka. Ia lalu duduk, menyandarkan tubuhnya
ke tepi tempat tidur. Kepalanya terasa sangat pening.
Tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah album putih yang berada di rak buku kecil
tepat di depannya. Segera ia meraih dan membuka album besar itu. Lembar hitam
pertama nampak tulisan tangan dengan spidol berwarna perak "Muhammad Fahri
Hamzah Si Superman.”
Kamil tersenyum kecil membaca tulisan tangan Fahri. Lalu arah pandangnya
tertuju pada sebuah foto Fahri kecil memakai baju Superman. Fahri berpose dengan
kedua telentang dan topeng nampak tidak bisa menutupi senyum cerianya. Fahri
terlihat senang memakai Superman.
BAB IV. KISAH SEBENARNYA DIMULAI
“Fahri…tunggu…”
“Kenapa Nisa?”
“Siapa?”
“Ia sedang riset.Anak Arkeolog.Sudah,pokoknya aku pinjam buku itu ya! Kamu
juga anak Kedokteran kenapa juga baca buku sejarah.”
"Bisa saja. Tapi jangan sampai hilang ya. Itu buku warisan."
"Tenang saja! Kapan aku bisa ambil?" "Besok saja aku bawa kuliah,"
"Eh jangan! Keisha butuhnya malam ini. Besok pagi dia mau jalan ke Jawa
Timur."
"Yah. Mendadak begini? "Jam 7 malam ya kami ambil. Aku sekarang ada kuliah
tambahan."
Fahri menggelengkan kepalanya. Nisa salah satu teman baiknya yang sering
konyol, bolos kuliah karena lupa jadwal dan tugas.
Penyakit lupa Nisa sering membuat kacau hidupnya. Banyak mata kuliah yang
harus diulang hanya gara-gara ia tidak bisa ikut ujian akhir karena sering bolos
kuliah disebabkan faktor lupa. Sementara banyak dosen senior yang sangat disiplin
dan tidak bisa ditolerir.
Hanya berselang dua jam dari pembicaraan Nisa dengan Fahri sore itu, tepat jam 7
malam pintu kos kamar Fahri ada yang mengetuk.
"Kulo nuwun...permisi..."
Fahri kaget, tidak ada satu pun teman kos maupun kuliah yang terbiasa mengentuk
pintu dengan kata-kata kulo nuwun. Suara lirih dan lembut itu membuat Fahri segera
bangkit dari tempat tidurnya.
"Ya..."
Fahri membuka pintu dan kaget dengan hadirnya sosok cantik, berkulit kuning,
bermata sipit, dan rambutnya dikuncir seperti ekor kuda.
"Siapa ya?"
"Keisha..."
"Oh Keisha.."
"Hmm..."
Fahri kagum dengan kesantunan Keisha berbahas Jawa halus. Dia jadi malu karena
sering lupa dengar bahasa ibunya itu.
"Mampir boleh."
"Ohh mampir…monggo..."
Fahri mempersilakan Keisha masuk ke dalam kamarnya yang lumayan luas. Meski
ayahnya sebenarnya ingin membelikan rumah di Yogya, namun Fahri memilih kos
dekat kampus. la ingin membaur dengan teman- temannya dari berbagai suku.
Keragaman adat dan budaya membuatnya semakin hidup, itu slogan-nya. la tidak
ingin orang tahu ada darah biru, ningrat dengan sekian gelar di depan namanya.
Baginya itu sama dengan memenjara diri. Dan membuatnya tidak percaya diri.
"Ini bukunya."
Fahri menyerahkan dua buku sejarah, warisan kakeknya kepada Keisha yang baru
duduk di kursi sofa sudut kamarnya.
Fahri tersenyum lebar menatap wajah mulus dan bersih perempuan dari negeri
matahari terbit itu.
Kamu seperti matahari, bintang raksasa, penuh cahaya hangat, Fahri berkata dalam
hati dengan senang.
Sejak pertemuan malam itu,Fahri sering menitip salam kepada Nisa untuk Keisha.
Dan tanpa duga, Keisha menyambut balik salam Fahri.
Minggu demi minggu, bulan demi bulan. Hubungan mereka semakin akrab.
Juan, sahabat Fahri meledek sikap Fahri yang terus terbuai asmara, mabuk
kepayang.
"Keisha, nama yang indah, artinya seorang gadis berkelas, pintar dan cerdas,
suka belajar, mencintai alam dan terorganisir."
"Terus!"
"la juga type gadis menyenangkan, memiliki senyum indah, kulitnya halus dan
cerah."
"Lanjut!"
"Berhati emas dan senang membuat tersenyum serta tertawa. Unik dan tentu
sangat menarik! orang
"Juan! Kau belum rasakan sensasi cinta mati yang sangat luar biasa!"
"Logika lelaki yang termakan rasa, hingga lupa semua rumusan cinta!"
"Tidak terhitung jumlah rasa itu! Jadi cinta yang datang tiada ternilai
nikmatnya."
"Kamu yang terus bercerita tiada henti tentan Keisha-mu itu! Jadi ikut mikir!"
"Hahaha... getar rasa Keisha memang tera dimanapun nama itu kusebut!"
"Keisha Ozawa... nama yang bermakna wanita kuat, menarik dan punya cahaya
bulan yang indah."
"Ya selama ini aku tidak pernah memberi harapan ke mereka. Cinta itu milik
semua orang. Sah-sah saja mereka punya cinta ke Muhammad Fahri Hamzah.”
"Sombong!"
"Kenyataannya begitu. Cool man! Kamu tahu aku! Hanya dengan Keisha aku
norak dan kampungan, biarlah! Aku yang merasakan, menjalani. Sekokoh apapun
tembok penghalang, jika rasa itu telah kuat, akan bisa menembusnya bung!"
"Teori cintamu selangit hai aktifis kampus terhormat! Akankah kau sanggup
buktikan?"
"Aku lelaki! Tentu aku akan pegang teguh janji melaksanai cintaku ke Keisha!
Segera!"
"Aamiiiiiiin!"
"Siapppppppp!"
Bukan hanya dengan Juan, Fahri berdebat tentang kekuatan cintanya. Kepada
siapapun ia tak sungkan akan katakan cintanya tulus dan murni apa adanya buat
Keisha. Banyak teman perempuan, pemuja rahasianya yang patah hati dan jadi
membencinya setelah seluruh kampus tahu hubungan Fahri dengan Keisha sangatlah
serius.
Tepat sebelas bulan perkenalan mereka, menjelang hari ulang tahun Keisha ke 21,
Fahri mengatakan cintanya,cinta ada karena kebiasaan bertemu, begitu ucap Fahri
saat Keisha berkata...
“Kamu adalah laki-laki terbaik yang pernah aku temui,kamu selalu ada disaat
aku membutuhkanmu dan selalu setia menemaniku hingga di titik kita akan lulus
kuliah.”
“Jadi,apa kesimpulan dari jawabanmu Keisha?”
Sontak jawaban itu membuat Fahri tak bisa berkata-kata,dan Fahri berencana ingin
mengurus visa ke Belanda.
Setelah mendengar jawaban dari Keisha,Fahri pun bertanya kepada Nisa tentang
niatan dia melamar Keisha.
“Nisa,aku sudah mendengar jawaban yang keluar dari mulut Keisha,ternyata dia
menerimaku.Aku berniat membawanya bertemu dengan orang tua ku terlebih
dahulu,jikalau orang tua ku sudah merestuinya aku berniat pergi bersama Keisha ke
Belanda untuk menemui orang tuanya.”
“Makasih Nisa,kalau kamu tidak ada mungkin kami tidak akan bertemu.
Ngomong-ngomong kamu lihat Juan nggak?”
“Ohhhh oke makasih yah Nis,aku juga mau memberitahu kabar baik ini ke dia.”
“Siapppppp.”
“Hahaha selamat,nggak nyangka bakalan ada yang dluan nikah nih,moga lancer
ya…”
Dikarenakan Fahri ingin serius terhadap hubungan mereka dan dia berniat melamar
Keisha sesegera mungkin,dia pun berniat memperkenalkan Keisha kepada Ayahnya.
BAB V. Asmara Dimulai
Pada pagi harinya Fahri dan Keisha Pergi ke Jayapura untuk menemui ayah dari
Fahri.Disaat perjalanan Fahri dan Keisha berbincang tentang hubungan mereka
sembari bercanda gurau.
Setibanya di rumah Ayah Fahri, mereka disambut dengan baik oleh Mbak
Iyem,Pak Ji,dan juga ayahnya.Mereka pun berbincang-bincang tentang kelanjutan
dari hubungan mereka.Lalu ayahnya mempersilahkan untuk masuk ke dalam dan
duduk di sofa sembari ayah menuruh Mbak Iyem untuk membuatkan teh.
“Kalau sudah saling mengenal satu sama lain,ayah memberikan lampu hijau
untuk nak Fahri melamarnya.Ayah berpesan jagalah kepercayaan hati satu sama
lain.Ingat untuk saling melengkapi sampai akhir hayat.”
Setelah selesai berbincang Fahri dan Keisha pamit pulang ke Jakarta dan akan
melanjutkan perjalanan ke Belanda untuk meminta restu dari orang tua Keisha.
Tibalah dimana hari mereka akan berangkat sesuai jadwal tiket yang mereka
beli.Mereka pun pergi ke bandara dan menunggu jadwal keberangkatan yang
ditetapakan tepat pada pukul 08.00 Wib.
Saat sudah di pesawat mereka pun sekilas membicarakan tentang keinginan
rancangan pada saat acara pernikahan nanti.Dan waktu pun berlanjut hingga mereka
berdua sampai di Belanda.
Selesai makan, mereka kembali duduk di ruang tengah dimana smua keluarga
Kesha berkumpul. Fahri lansung saja mengatakan maksud dan tujuannya datang ke
rumah Keisha.
“Pak.. Bu.. maksud saya datang jauh kemari karena saya sangat mencintai Kesha.
Kesha adalah orang yang pertama kali membuka hati saya, dan Kesha adalah
wanita yang sangat baik. Saya meminta ijin kepada bapak dan ibu karena saya ingin
melamar Kesha dan berniat untuk menikahinya."
Seketika Fahri langsung menangis karena tak kuasa menahan air mata kesenangan
atas keberaniannya datang ke Belanda seorang diri dan akhirnya direstui juga.
BAB VI. CINTA PUN TERGAKAPAIKAN
Akhirnya Fahri dan Keisha pun selesai kuliah dan keduanya meraih cumlaude.Dan
pernikahan pun terjadi dengan restu keluarga di daerah Jakarta.Fahri merasakan
kenyamanan dengan Keisha sebagai belahan jiwa,demikian dengan Keisha.Dasarnya
mereka memang cerdas dan cerdik hingga bisa saja mengambil peluang bagus untuk
masa depan mereka.
Setelah 1 bulan menikah akhirnya Fahri menjadi seorang dokter dan Keisha
menjadi asisten dokter.Dan pada akhirnya Keisha hamil.Mereka sama-sama
menyambut kehamilan itu dengan rasa syukur.Kehamilan itu juga disambut penuh
suka cita oleh keluarga,sahabat,dan tetangga.Beberapa tetangga juga ikut serta dalam
membantu Keisha mulai dari membantu memijat Keisha dan banyak memberikan
jamu tradisional dengan sepengetahuan Fahri.
“Kalau perempuan?”
“Adina Wulandari.”
“Bagus ayah.”
Fahri rajin membuatkan jus buah untuk asupan gizi kehamilan Keisha.
Diantaranya, jus jeruk yang mengurangi resiko janin lahir cacat, dan meningkatkan
kekebalan tubuh agar tidak mudah influensa.
Jus wortel, yang akan jadi energi instant jika Keisha merasa letih lesu, karena
kelelahan dengan kegiatan kampus maupun segala penelitian di luar kampus yang
menyita tenaganya. Jus wortel ini juga mencegah pre eklampsia (keracunan
kehamilan).
Varian jus yang dibuat Fahri selalu bergizi tinggi. Ada juga jus apel dan sedikit
daun seledri, untuk mengatasi gangguan tidur yang diderita Keisha selama hamil,
Sementara jus mentimun mengatasi sakit punggung, kram otot karena Keisha sering
mengetik tanpa kenal waktu.
Keisha menuruti apa kata dokter,tempat biasa ia konsul danFahri sebagai suami
siaga yang juga asisten apoteker. la merasa nyaman berada di lingkungan yang
mendukung kesehatan kehamilannya dengan baik. Namun di satu sisi ia sering
mencuri waktu untuk segera menyelesaikan pekerjaannya.
"Enak kan?"
"Enak kan?"
"Hahaha....!"
Fahri memeluk Keisha, lalu menatapnya dengan lembut, hatinya begitu bahagia
melihat ibu dari calon anaknya nampak semakin cantik setelah hamil.
BAB VII. MENYAYANGI TANPA AKHIR
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba,anak dari Fahri dan Keisha akhirnya
lahir.Namun dibalik kesenangan tersimpan kepedihan yang mendalam yang dialami
Fahri.Karena istrinya yaitu Keisha turut meninggal ketika selesai melahirkan
anaknya.
Fahri pun menjadi orang tua tunggal,yang harus mengurus anaknya sendirian,
sebagai single parent.Dia pun mulai mengurusi anaknya mulai dari balita hingga
dewasa.Hal tersebut mengingatkan dia tentang kisah hidupnya semasa kecil.Yang
dimana ia juga dirawat dari kecil oleh ayahnya sendiri.Suka dan duka telah dirasakan
oleh ayahnya ketika merawatnya semasa kecil.