Anda di halaman 1dari 12

BATIK RIFA’IYAH SEBAGAI WARISAN BUDAYA DI KABUPATEN

BATANG
oleh:
Gallah Akbar Mahardhika (0204521007)

BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam jenis kebudayaan.


Dalam menanggapi fakta tersebut, pemerintah Indonesia membuat peraturan sebagai
upaya untuk memajukan kebudayaan. Peratuan tersebut tertuang dalam UU No. 5
tahun 2017, yang membahas tentang Pemajuan Kebudayaan (Wuryasti, 2019). Hal
tersebut menunjukkan betapa pentingnya pelestarian budaya bagi bangsa Indonesia.
Batik menjadi salah satu budaya Indonesia, yang penting untuk dilestarikan.
Sebab, batik telah menjadi budaya Indonesia yang bahkan telah diakui oleh dunia.
UNESCO telah mengakui batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan
dan Nonbendawi pada 2 Oktober 2009 (KWRI UNESCO, 2017). Hal ini sekaligus
memperkuat alasan untuk lebih mengeksplorasi informasi-informasi mengenai batik
di Indonesia.
Batik sendiri memiliki karakteristik yang berbeda-beda, dari tiap-tiap daerah
di Indonesia. Perbedaan-perbadaan ini dapat meliputi motif, warna, hingga
filosofinya. Hal ini juga menjadi daya tarik tersendiri bagi daerah-daerah penghasil
batik.
Kabupaten Batang menjadi salah satu daerah penghasil batik yang memiliki
batik dengan karakteristik menarik. Daerah yang berbatasan dengan Kota Pekalongan
ini memiliki jenis batik yang terkenal, yaitu batik Rifa’iyah. Batik jenis ini menarik
untuk dibahas, karena mengandung nilai-nilai politik dan keagamaan dalam sejarah
dan proses pembuatannya.

1
BAB II
PEMBAHASAN

1.1 Kabupaten Batang


Berdasarkan situs resmi Pemerintah Daerah Kabupaten Batang yaitu
batangkab.co.id (2016), Kabupaten Batang memiliki letak secara geografis
yakni pada 6o 51‟ 46” sampai 7o 11‟ 19” lintang selatan, dan antara 109o 40‟
19” sampai 110o 03‟ 06” bujur timur di pantai utara Jawa Tengah. Kabupaten
Batang memiliki luas daerah sebesar 78.864,16 Ha. Kabupaten Batang
memiliki batas-batas wilayah yakni sebelah utara Laut Jawa, sebelah selatan
Kabupaten Wonosobo, sebelah timur Kabupaten Kendal dan Kabupaten
Banjarnegara, sebelah barat Kabupaten dan Kota Pekalongan.
Jarak Kabupaten Batang terhadap daerah lain yaitu sebagai berikut:
a. Pekalongan : 9 Km
b. Pemalang : 43 Km
c. Tegal : 72 Km
d. Cirebon : 144 Km
e. Jakarta : 392 Km
f. Kendal : 64 Km
g. Semarang : 93 Km
h. Surabaya : 480 Km
Kondisi wilayah Kabupaten Batang terdiri atas wilayah pantai, dataran
rendah serta pegunungan. Namun, lokasi dari penghasil batik itu sendiri terletak
di antara pantai dan dataran rendah, yaitu Kalipucang Wetan Kecamatan
Batang.

1.2 Batik Rifa’iyah


Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 0239:2014 batik adalah
kerajinan tangan sebagai hasil pewarnaan secara perintangan menggunakan
malam (lilin) batik panas sebagai perintang warna dengan alat utama pelekat
lilin batik berupa canting tulis dan/atau canting cap untuk membentuk motif
tertentu yang mempunyai makna (Nugroho, 2016). Selain merupakan hasil
kerja artistik batik juga mengandung nilai luhur karena penuh dengan arti
simbolik yang kompleks sebagai ungkapan visual dari filosofi dan pandangan
orang Jawa mengenai dunia (Mustika, S. (2018). Nilai-nilai tersebut juga yang
membedakan antara batik Rifa’iyah dengan karya-karya batik dari daerah lain.
Batik Rifa’iyah merupakan salah satu jenis batik yang ada di kabupaten
Batang. Batik asli Kabupaten Batang ini sampai sekarang masih diproduksi di
daerah Kalipucang Wetan, Kecamatan Batang. Batik ini memiliki beberapa
karakteristik yang membedakan dengan batik dari daerah lain. Berikut akan
dijelaskan karakteristik dari batik Rifa’iyah.

1.2.1 Karakteristik Batik Rifa’iyah


Karakteristik batik Rifa’iyah dapat diamati yang pertama dari corak
yang digunakan. Menurut Jaeni (2017), corak dalam batik ini sangat dihindari
gambar-gambar makhluk hidup, seperti halnya gambar-gambar hewan. Jika
ingin menggambar hewan seperti halnya burung, bentuknya tidak boleh utuh.
Biasanya salah satu dari anggota tubuh hewan tersebut harus dihilangkan atau
diganti dengan objek gambar yang lain. Seperti contoh gambar burung yang
kakinya hilang atau diganti dengan dahan atau ranting pohon. Atau membuat
gambar burung yang lehernya diberi garis codetan seakan-akan ia telah
disembelih, sehingga hewan tersebut dianggap sudah tidak bernyawa. Model
penggambaran batik hewan seperti ini memiliki peran dakwah, yang dalam
hal ini manusia tidak boleh menggambar makhluk yang bernyawa.
Kedua, selain dari coraknya, karakteristik batik Rifa’iyah juga terdapat
pada warnanya. Mustika (2018) mengungkapkan bahwa warna batik
Rifa’iyah terdiri atas dua warna atau yang disebut bangbiron (bang: merah dan
biron: biru). Ada juga yang memiliki tiga warna (tiga negeri), yaitu merah,
biru, dan cokelat.
Selanjutnya yang ketiga, karakteristik batik Rifa’iyah dapat pula
dilihat dari motif-motifnya. Menurut Miftakhutin dalam Mustika (2018) para
pembatik saat ini mengenal 24 motif batik Rifa’iyah. Motif-motif tersebut
terdiri atas; pelo ati, kotak kitir, banji, sigar kupat, lancur, tambal, kawung
ndog, kawung jenggot, dlorong, materos satrio, ila ili, gemblong sairis, dapel,
nyah pratin, romo gendong, jeruk no‟i, keongan, krokotan, liris, klasem,
kluwungan, jamblang, gendaghan dan wagean. Dari beberapa motif tersebut,
motif pelo ati (hati dan ampela ayam) menjadi motif yang paling mencirikan
batik Rifa’iyah.

Gambar 1Batik rifaiyah motif pelo ati, Sumber:Kompasiana.com

Mustika (2018) mengungkapkan bahwa motif pelo ati


menggambarkan ajaran sufisme dari Kiai Rifa‟i yang tersurat dalam kitab
Tarujumah (Asnal Miqashad 11:407) karangan Kiai Rifa‟i. Di dalam hati
manusia terdapat delapan sifat kebaikan, yaitu zuhud (tidak mementingkan
keduniawian), qana‟at (merasa cukup atas karunia-Nya), shabar (sabar),
tawakal (berserah diri kepada-Nya), mujahadah (bersungguh-sungguh), ridla
(rela), syukur, dan ikhlas. Semua sifat ini mengandung makna kahauf (takut),
mahabbah (rasa cinta), dan makrifat (perenungan kepada Allah). Sebaliknya,
ampela menggambarkan tempat kotoran yang melambangkan sifat-sifat buruk
manusia, yaitu hubbu al-dunya (mencintai dunia secara berlebihan), thama‟
(rakus), itba‟ al-hawa (mengikuti hawa nafsu), „ujub (suka mengagumi diri
sendiri), riya (suka dipuji), takabur (sombong), hasad (dengki) dan sum‟ah
(suka membicarakan amal kebajikannya pada orang).
Keempat, karakteristik batik Rifa’iyah dapat dilihat dari
penggunaannya. Batik Rifa’iyah pada masyarakat Rifa’iyah biasanya
digunakan dalam upacara-upacara keagamaan seperti pengajian, puputan,
perayaan maulid nabi, dan sebagai kain penutup jenazah. Pengajian di sini
biasanya adalah pengajian yang diselenggarakan oleh masyarakat Rifa’iyah
itu sendiri.
Terakhir, karakteristik batik Rifa’iyah terletak pada proses
pembuatannya. Membatiknya sering kali diiringi kidung syair berbahasa Jawa
dan Arab yang berisi nasihat kepada manusia dan lingkungan alam semesta
(Miftakhutin dalam Nugroho, 2018). Selain itu, dilakukan salat Duha terlebih
dahulu sebelum mulai membatik.

1.2.2 Sejarah Batik Rifa’iyah


Batik yang biasanya orang–orang kenal berasal dari kota Pekalongan,
Solo, Yogya, dan lain–lain. Namun, ternyata di Kabupaten Batang, Jawa
Tengah, terdapat batik khas yang syarat akan makna spiritual, dari motif hingga
proses membatiknya dengan melantunkan kidung syair berbahasa Jawa. Batik
ini berasal dari Desa Kalipucang Wetan, Kecamatan Batang. Berdasarkan
wawancara dengan ibu Miftakhutin selaku ketua Kelompok Tunas Harapan
Batik Rifaiyah, batik ini berkembang karena mengadopsi ajaran K.H. Ahmad
Rifa‟i yang kemudian dikenal dengan sebutan Batik Rifa’iyah.
Dilihat dari sejarah masa lampau, nama Batik Rifa’iyah berasal dari
nama Kyai Rifa‟i yang pernah hidup pada zaman penjajahan Belanda yakni
sekitar tahun 1780-an. Sang Kyai ingin membebaskan rakyatnya dari pajak saat
itu, sehingga sang Kyai mengajak masyarakat untuk bersyair lewat batik. Salah
satu syairnya yang terkenal, jika diartikan dalam bahasa Indonesia, ialah “Yuk
jangan mau bayar pajak, ini tanah kita”. Dibalik syairnya yang lembut dan
halus sebenarnya terselip bentuk perlawanan kepada Belanda.
Syair-syair tersebut dituliskan ke dalam sebuah kitab, menggunakan
huruf Arab Pegon. Bahkan hingga terdapat 50 lebih judul kitab, yang berisi
ribuan syair. Namun, Miftakhutin menyampaikan bahwa kitab-kitab yang ada
di Kalipucang hanyalah kitab salinan. Kitab aslinya sendiri sekarang berada di
Leiden University, Belanda. Meski begitu, isi dari kitab salinan tersebut masih

Gambar 3Isi kitab syair Rifaiyah, Sumber: Gallah Gambar 2Kitab syair Rifaiyah, Sumber: Gallah
(2021) (2021)

sama dan ditulis menggunakan tangan oleh santri-santri pada masa itu.
Tidak hanya sebagai sebuah karya seni tetapi Batik Rifa’iyah adalah
salah satu bukti dari perjuangan dan perlawanan terhadap kolonialisme. Dalam
buku Rembug Batik karya Budi Mulyawan, dkk, diungkapkan bahwa K.H.
Ahmad Rifa‟i mengharamkan batik Belanda pada saat itu. Ahmad Rifa‟i
menolak batik Belanda sebab menganggap penjajahan Belanda bukan hanya
pada luar ataupun busana saja yang ingin dikuasai, melainkan juga sampai
wilayah dalam atau keimanan seseorang. Sampai kemudian beliau harus
diasingkan karena berbahaya jika sampai ditangkap oleh para penjajah.
Berdasar keterangan dari ibu
Miftakhutin, ajaran dari K.H. Ahmad
Rifa‟I dilanjutkan oleh muridnya
yaitu Syekh Ilham. Sehingga
ajarannya terus berkembang hingga
sekarang di beberapa pondok

Gambar 4Madrasah Rifaiyah, Sumber: Gallah


(2021)
pesantren sekitar Kabupaten Batang. Namun, untuk pondok pesantren asli di
Kalipucang sejak adanya K.H. Ahmad Rifa‟i sendiri sudah tidak ada. Meski
begitu, ajaran tersebut masih diturunkan di kalangan masyarakat Rifa’iyah,
melalui lembaga madrasah.

1.2.3 Perkembangan Batik Rifa’iyah


Batik Rifa’iyah masih terus berkembang hingga sekarang. Salah satu
perkembangan yang terjadi adalah pada penggunaan pewarna. Pewarna batik
yang dulunya menggunakan pewarna alami dari tumbuh-tumbuhan, sekarang
beralih ke pewarna kimia yang lebih praktis (Mustika, 2018). Dengan begitu,
produksi batik menjadi lebih mudah. Meski begitu, Miftakhutin dalam Nugroho
(2018) menuturkan bahwa batik Rifa’iyah murni merupakan batik tulis. Warga
tidak mau mengubahnya menggunakan mesin karena demi mempertahankan
tradisi, sehingga hanya melayani pesananan terbatas.
Pada perkembangannya di zaman sekarang, Miftakhutin menuturkan
bahwa prosesi membatik dengan salat Duha dan menyanyikan syair sekarang
sudah jarang dilakukan. Mungkin hanya pembatik senior-senior yang berumur
lebih dari 50 tahun saja yang masih melakukan prosesi tersebut. Sehingga
proses pembuatan batik Rifa’iyah sekarang ini menjadi lebih fleksibel. Meski
begitu, syair-syair ajaran K.H. Ahmad Rifa‟I masih diajarkan hingga sekarang.
Bahkan kitab-kitabnya telah dicetak secara modern dan diperjual-belikan.
Dari segi penggunaan, masyarakat Rifaiyah sendiri masih sering
menggunakan batik tersebut untuk jarik atau penutup tubuh bagian bawah.
Dalam adat masyarakat memang penggunaannya hanya sebatas itu, tidak untuk
dijahit dan dibuat berbagai jenis pakaian. Meski begitu, penggunaannya tidak
melulu pada acara-acara adat tertentu. Masyarakat lebih menggunakannya
sebagai pakaian sehari-hari saja. Miftakhutin juga menyampaikan bahwa
penggunaan batik Rifa‟iyah diperbolehkan bagi masyarakat umum tanpa harus
mengikuti adat masyarakat Rifa‟iyah dalam menggunakannya. Sehingga
penggunaan batik dapat disesuaikan dengan kebutuhan penggunanya secara
bebas.
Perkembangan batik Rifa’iyah juga didukung oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten Batang. Berdasarkan keterangan ibu Miftakhutin, pemerintah
memberi bantuan kepada para perajin batik berupa kain mori, kompor, bak
yang dapat digunakan untuk membuat batik Rifa’iyah. Selain itu, dukungan
pemerintah dapat dilihat dari banyaknya beragam pelatihan kepada perajin agar
lebih banyak berinovasi serta diadakan pameran budaya dari Provinsi hingga
Nasional baik di dalam maupun di luar negeri yaitu negeri Singapura, Laos dan
Jepang. Pembeli juga bisa membeli di pameran dengan harga yang beraneka
ragam.
Pemerintah Kabupaten Batang juga kini mengembangkan pariwisata
melalui budaya batik Rifaiyah. Hal ini dilakukan dengan diresmikannya
Kalipucang Wetan sebagai Desa Wisata Kampung Batik Rifaiyah. Kampung
tersebut juga memiliki galeri, yang biasa digunakan untuk pelatihan dan
pameran.

Gambar 6 Gapura Kampung Wisata, Gambar 5 Gedung galeri dan pelatihan, Sumber:
Sumber:infopublik (2019) Desa Kalipucang Wetan (2018)
BAB III
KESIMPULAN

Batik Rifa‟iyah merupakan batik asal Kabupaten Batang dengan beberapa


karakteristik, yang membedakan dengan batik-batik dari daerah lain. Karakteristik
tersebut dapat dilihat dari segi corak, warna, motif, penggunaan, serta proses
pembuatannya.
Nama batik Rifa‟iyah diambil dari nama seorang kiyai yang hidup di zaman
penjajahan Belanda, yaitu K.H. Ahmad Rifa‟i. Beliau hidup di masa penjajahan
Belanda di Indonesia pada tahun 1780-an. Melalui kegiatan membatik, beliau
mengajarkan tentang ajaran islam dan mengajak masyarakat untuk menolak
kolonialisme. Hal ini dilakukan dengan melantunkan syair-syair selama proses
pembuatan batik.
Batik Rifa‟iyah masih berkembang hingga sekarang. Perkembangan tersebut
terjadi pada 1) penggunaan warna dari alami ke pewarna kimia, 2) proses pembuatan
batik secara ritual yang lebih fleksibel, 3) penggunaan batik secara bebas bagi
masyarakat umum. Perkembangan batik Rifa‟iyah juga didukung oleh Pemerintah
Kabupaten Batang. Hal ini diwujudkan dengan penyediaan sarana dan prasarana
membatik, serta dengan peresmian kampung batik Rifa‟iyah.
DAFTAR PUSTAKA

Nugroho, H., (2016) Pengertian Batik, Ciri Batik dan Tiruan Batik serta Paduan
Batik. [Online]. 2016. Balai Besar Kerajinan dan Batik. Available from:
https://bbkb.kemenperin.go.id/index.php/pos
t/read/pengertian_batik__ciri_batik_dan_tiru an_batik_serta_paduan_batik_0
[Accessed: 25 April 20x18].
Wuryasti, Fetry, (2019), Mewujudkan Indonesia sebagai Negara Berbudaya,
https://mediaindonesia.com/humaniora/232166/mewujudkan-indonesia-
sebagai-negara-berbudaya, diakses 1 Desember 2021.
Pemkab Batang (2016), Letak Geografis.
https://www.batangkab.go.id/?p=2&id=2#:~:text=Geografis%20Letak%20Ge
ografis&text=Kabupaten%20Batang%20terletak%20pada%206,utama%20ya
ng%20menghubungkan%20Jakarta%2DSurabaya, diakses 1 Desember 2021.
KWRI UNESCO, (2017), Hari Ini 8 Tahun Lalu, UNESCO Akui Batik sebagai
Warisan Dunia Asal Indonesia, https://kwriu.kemdikbud.go.id/berita/hari-ini-8-
tahun-lalu-unesco-akui-batik-sebagai-warisan-dunia-asal-indonesia/, diakses 1
Desember 2021.
Jaeni, M. (2017). SENI BUDAYA RIFA’IYAH: DARI SYI‟AR AGAMA HINGGA
SIMBOL PERLAWANAN (Menggali nilai-nilai seni budaya dalam Kitab
Tarajumah dan Kehidupan Masyarakat Rifa’iyah). Sabda : Jurnal Kajian
Kebudayaan, 10(1), 1. https://doi.org/10.14710/sabda.v10i1.13298.
Mustika, S. (2018). Melestarikan Batik Tradisional Rifa’iyah Sebagai Identitas
Budaya Komunitas Rifa’iyah. Jurnal Penelitian Komunikasi, 21(1), 29–42.
https://doi.org/10.20422/jpk.v21i1.489.
Mulyawan, Budi, dkk, Rembug Batik, Yoyakarta: Diandra Kreatif, 2015.
Nugroho, Fajar Eko, (2018), Cerita Batik Rifa’iyah Batang yang Bikin Gubernur
Jateng Merinding, https://www.liputan6.com/lifestyle/read/3657364/cerita-
batik-Rifa’iyah-batang-yang-bikin-gubernur-jateng-merinding
LAMPIRAN

1. Wawancara dengan Ibu Miftakhutin

Sumber: Gallah (2021)


2. Kunjungan ke Pengrajin Batik Rifaiyah

Sumber: Gallah (2021)


3. Kitab-Kitab Syair K.H. Ahmad Rifa’i

Sumber: Gallah (2021)


4. Link Video Proses Pembuatan Batik
https://drive.google.com/file/d/1POLb8MFprN3QDmRNomG224wlv_g8iY2b
/view?usp=sharing
Sumber: Gallah (2021)

Anda mungkin juga menyukai