1 SM PDF
1 SM PDF
Abstrak Gender merupakan karakteristik kepribadian seseorang dan dipengaruhi oleh peran gender yang
dimilikinya. Identitas dan peran gender merupakan sebuah karakteristik yang memiliki determinan
lingkungan yang kuat dan berkaitan dengan dimensi maskulin versus feminine. Keberadaan suku bugis
yang memiliki tradisi dan kebudayaan yang begitu unik dan berbeda dengan masyarakat indoensia pada
umumnya, yaitu memiliki lima gender yang berbeda dan memiliki peran masing-masing, menimbulkan
pertanyaan bagaimana fungsi identitas dan peran gender pada masyarakat bugis tersebut. Data
dikumpulkan dengan strudi litelatur, menggunakan pendekatan kualitataif deskriptif analitis. Hasil dari
penelitian ini menunjukan bahwa identitas dan Peran gender masih tetap melekat pada setiap individu
walau dengan identitas gender yang lebih beragam. Dan dengan resiko terjadinya diskriminasi dan
penolakan dari lingkungan sekitar mereka
Kata kunci: Identitas Gender, Peran Gender, Suku Bugis
Dalam identitas seseorang terdapat beberapa masing. Eksistensi keberagaman bduaya dan etnis
aspek yang bersama-sama membentuk identitas masyarakat Indonesia memegang peran penting
diri yang utuh. Identitas diri seseorang adalah inti dalam membangun bangsa Indonesia.
dari pemaknaan diri seseorang terhadap identitas Masyarakat Suku Bugis merupakan salah satu
gender seseorang yang erat kaitannya dengan suku yang mempertahankan budaya dan adat
peran serta fungsi sosial dan dibentuk dalam istiadatnya di Indonesia. Terdapat nilai-nilai suku
berbagai konteks sosial (Kaplan, 1990 dalam Bugis yang dapat diambil nilai-nilainya. Dari
Meissner, 2005). begitu banyak kearifan lokal yang terdapat disuku
Identitas gender merupakan bagian dari bugis, ada satu sistem yang tidak biasa dengan
identitas utuh seseorang yang didalamnya sistem yang berlaku di Indonesia, yaitu sistem
terdapat keterkaitan antara gagasan seseorang gender yang diterapkan di masyarakat suku Bugis
tentang gendernya di masa lalu dan harapan Makassar. Masyarakat suku Bugis Makassar
kedepannya yang berkaitan dengan gender. terdapat kepercayaan mengenai sistem 5 gender,
Gender memang merupakan permasalahan atau kata lain terdapat 5 sistem gender yang
budaya yang mengelompokan laki-laki dan berbeda. Jika di Indonesia mengakui 2 sistem
perempuan untuk bersifat maskulin dan feminism gender, yaitu laki-laki dengan kemaskulinannya
dan setiap kebudayaan memiliki cara yang dan permpuan dengan feminitasnya, sedangkan
berbeda dalam memberikan atribusi, sifat, dan Masyarakat suku Bugis mempercayai ada 5
peran kepada perempuan dan laki-laki. Pada sistem gender dengan peran yang berbeda-beda,
dasarnya laki-laki memang berbeda dengan yaitu Oroane (laki-laki), Makkunrai (perempuan),
perempuan jika dilihat dari jenis kelaminnya dan Calalai(perempuan dengan peran dan fungsi laki-
perbedaan tersebut bersifat biologis atau tidak laki), Calabai (laki-laki dengan peran dan fungsi
dapat dirubah, akan tetapi (Atmadja, 2004) perempuan), dan Bissu (perpaduan dua gender
menambahkan bahwa perbedaan tersebut akan yaitu perempuan dan laki-laki dalam satu tubuh).
dikontruksikan secara sosialcultural sehingga Hal ini sangatlah menarik untuk dikaji lebih
melahirkan gender, yaitu tanggung jawab, pola dalam dasi sisi sosiologi, bagaimana identitas dan
perilaku, peran, kualitas-kualitas, dan lainnya peran gender yang masyarakat suku Bugis
yang bersifat maskulin dan feminin. percayai tersebut yang berkaitan dengan budaya
Lalu, bagaimana dengan identitas dan peran dan adat istiadat setempat. Untuk dapat
gender di masyarakat suku Bugis, dimana memahami gender terletak pada kata pembagian,
kontruksi yang dibangun dalam suku Bugis yang dapat dibagi kedalam dua sifat, yaitu
berbeda dengan kontruksi dalam masyarakat pada pemabagian sifat kodrati dan pembagian yang
umumnya. Sifat maskulin belum tentu dimiliki sifatnya berubah-ubah sehingga dapat
oleh laki-laki, begitupun perempuan belum tentu dipertukarkan. Pembagian yang pertama
memiliki sifat feminine dengan segala merupakan pemberian Tuhan yang tidak dapat
keharusannya. Hal ini terjadi pada suku Bugis, dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan
yang mempercayai ada 5 identitas gender dalam dinamakan sebagai pembagian seksual.
kebudayaannya. Di mana seseorang yang berjenis Sedangkan pembagian peran, sifat dan watak
kelamin laki-laki tetapi memiliki sifat feminine serta tanggungjawab yang dapat dipertukarkan
dengan peran dan fungsinya seperti perempuan antara laki-laki dan perempuan itulah yang
dan sebaliknya dengan perempuan yang memiliki dinamakan gender (Khanafi, 2009).
sifat maskulin dengan peran dan fungsinya Menurut (Eckert, 1998) praktek gender
sebagai laki-laki. Bahkan dalam satu tubuh berbeda antara budaya yang lain, dari suatu
memilki gabungan dua identitas gender, bahkan tempat ketempat yang lain, dari kelompok yang
dapat disebut netral antara maskulin dan satu dengan kelompok lainnya. Hal ini menjadi
feminine. Dari uraian diatas maka peneliti merasa perhaian penulis untuk mengetahui bagaimana
perlu untuk melakukan penelitian dengan pemahaman gender di suku Bugis Makassar yang
melakukan kajian dari berbagai litelatur mengenai mempercayai 5 jenis gender dalam suku mereka.
“Identitas dan Peran Gender pada Masyarakat sementara dalam pemahaman yang ditanamankan
Suku Bugis”, dimana tujuan dari penelitian ini masyarakat khususnya di Indonesia, peran gender
untuk mengetahui bagaimana identitas dan peran melekat pada individu yang ditentukan secara
gender pada masyarakat suku Bugis dengan 5 budaya yang mencerminkan suatu perilaku dan
gender yang berbeda pada budaya dan tradisi sikap yang umum pada masyarakat sebagai
yang mereka percayai. maskulin dan feminine dalam suatu buadaya
tertentu (Lindzey dan Aronson, 1969).
2 KAJIAN PUSTAKA Peran gender yang terbentuk mengikuti
Indonesia terdiri dari berbagai macam suku identitas gender yang dimiliki oleh individu.
dengan kebudayaan dan kearifan lokal yang Dalam identitas seseorang terdapat beberapa
berbeda-beda dan memiliki ciri khas masing- aspek yang bersama-sama membentuk identitas
459
SOSIETAS, VOL. 8, NO. 1, 2018
memiliki populasi yang rendah tidak menjadi peran gender yang jalankan oleh perorangan
suatu penghalang bagi mereka yang memutuskan dalam struktur masyarakat. Laki-laki yang terlahir
untuk memilih menjadi calalai, clabai atau Bissu secara biologis sebagai laki-laki maupun yang
dan masyarakat Bugis pun menerima hal tersebut dibesarklan sebagai laki-laki (Calalai) atau
karena sudah menjadi suatu tradisi kebudayaan perempuan yang dilahirkan secara bilogis sebagai
dari para leluhur sebelum agama islam masuk ke perempuan, maupun dibesarkan sebagai
tanah Bugis. perempuan (calabai) masih beranggapan bahwa
Pemahaman gender dalam kata pembagian laki-laki dan perempuan memiliki tugas masing-
dapat dibedakan pada dua pertukarkan. masing yang berbeda. Maka ketika Calabai
Pembagian yang pertama merupakan pemberian menikah dengan Calalai maka peran gender
Tuhan yang tidak dapat dipertukarkan antara laki- mereka akan bertukar.Calabai yang secara
laki dan perempuan dinamakan sebagai biologisnya adalah laki-laki maka akan bekerja di
pembagian seksual. Sedangkan pembagian peran, ranah domestik, sebaliknya Calalai yang secara
sifat dan watak serta tanggungjawab yang dapat bilogis adalah perempuan memiliki kewajiban
dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan bekerja sebagai kepala rumah tangga dan bekerja
itulah yang dinamakan gender. Dari pembagian mencari nafkah.
itulah kemudian muncul perbedaan gender. Peran gender pada Bissu (gabungan anatara
Calabai yang merupakan laki-laki secara laki-laki dan perempuan) akan berbeda dengan
biologis, tidak dapat menukarkan dirinya menjadi identitas gender yang lainnya. Selain dianggap
seorang perempuan seutuhnya, akan tetapi peran sebagai orang suci dan memiliki peran sosial yang
dan identitas gender dia tetap sebagai perempuan, penting pada masyarakat Bugis. Bissu pun tidak
berpakaian dan memiliki sifat feminine adalah boleh menonjolkan salah satu identitas gendernya,
keputusan yang timbul dari hati karena merasa baik itu sifat perempuannya atau laki-laki, jadi
dirinya memiliki faktor X yang menyebabkan dia disini seorang Bissu harus bersifat netral. Lalu
memutuskan menjadi Calabai. Begitupun dengan bagaimana dengan peran gender seorang Bissu,
Calalai yang merupakan perempuan secara hal ini menjadi tidak sesuai dengan ‘idealnya’
biologis akan tetapi memilih melakukan peran masyarakat umum. Tapi sekali lagi karena Bissu
laki-laki dalam masyarakat Bugis. Hal tersebut terdapat pada masyarakat tradisional, tepatnya
tidak menjadi masalah bagi masyarakat Bugis masyarakat Bugis maka hal ini tidak dapat
yang masih tradisional dengan latarbelakang disalahkan juga, bahka untuk menjadi seorang
tradisi da budaya, akan tetapi hal ini menjadi Bissu bukanlah hal yang mudah, selain tidak
suatu pertanyaan dan masalah ketika masuk boleh condong terhadap jenis kelamin tertentu,
kedalam pandangan masyarakat umum. Ditambah seorang Bissu pun harus memiliki keahlian-
ketika hal itu dihubungkan dengan orientasi keahlian tertentu.
seksual mereka, ketika calabai yang pada Kembali kepada masyarakat Indonesia secara
dasarnya laki-laki tapi memiliki peran sebagai umum yang sudah merekontruksi bahwa peran
perempuan dan menikah dengan seorang calalai gender pada individu yaitu laki-laki maskulin dan
yang pada dasarnya adalah perempuan tapi perempuan feminine menjadi dasar penilaian
mengambil peran sebagai laki-laki. Disini akan bahwa hal diluar itu dianggap tidak ‘ideal’ dengan
terjadi disfungsi peran gender dalam rumah harapan masyarakat. Begitupun terjadi pada
tangga mereka. masyarakat Bugis sendiri. meskipun dalam
Menurut Basow (1992) dalam Wathani struktur masyarakat Bugis keberadaan lima
(2009), peran gender merupakan istilah psikologi gender tersebut sudah ada selama ribuan tahun,
dan kultural, diartikan sebagai perasaan subjektif bukan berarti mereka bebas dari diskriminasi dan
seseorang mengenai ke-pria-an (maleness) atau kemudian dengan otomatis diterima oleh
kewanitaan (femaleness). masyarakat. Terlebih sejak masuknya Islam yang
Secara umum peran gender adalah ajarannya bertentangan dengan budaya tradisional
sekumpulan pola perilaku yang menjadi harapan suku Bugis.
sosial untuk ditampilkan secara berbeda oleh laki-
laki dan perempuan sesuai jenis kelamin.
(Weinreich, 2003) menjelaskan bahwa identitas
gender seseorang merupakan hasil bentukan dari
4 KESIMPULAN
pengalaman-pengalaman di masa lalu dan secara
berkesinambungan dengan harapan seseorang Berdasarkan rumusan masalah mengenai
sesuai dengan identitas gendernya. bagaimana identitas dan peran gender pada
Peran gender pada Calabai dan Calalai masyarakat Bugis dapat disimpulkan bahwa
menjadi terbalik antara perempuan dan laki-laki identitas gender pada suku Bugis menjadi salah
hal ini menjadi sebuah permasalahan tersendiri satu ke khasan tersendiri bagi suku
karena patriarki berperan menentukan ‘fungsi’ Bugis,pembentukan identitas gender tersebut
461
SOSIETAS, VOL. 8, NO. 1, 2018
sudah ada sejak mereka menyadari adanya faktor Mustadjar, M. (2013). Gender in the Cultural
tertentu yang menyondogkan mereka untuk Frame and Religious Value ( Case Study of
memilih salah satu dari kelima identitas gender Bugis Couple Family ), 4(2), 431–437.
yang mereka pervayai. Dengan keberagaman http://doi.org/10.5296/jsr.v4i2.4718
identitas gender yang diberlakukan bukan berarti Weinreich, P & Saunderson, W. 2003. Analyzing
peran gender menjadi berubah. Peran gender Identity: Cross-cultural Societal, and
masih tetap melekat pada setiap individu walau Clinical Context. USA: Routledge
dengan identitas gender yang lebih beragam. Dan
dengan resiko terjadinya diskriminasi dan
penolakan dari lingkungan sekitar mereka.
REFERENSI
Abdullah, H. (1985). Manusia Bugis Makassar:
Suatu tinjauan historis terhadap pola tingkah
laku dan pandangan hidup manusia Bugis
Makassar. Jakarta: Inti Idayu Press.
Abidin, Zainal. (2007). Analisis eksistensial.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Brawn, D. M. (1993). Immanent domains: Ways
of l iving in Bone, Indonesia. Ph.D Thesis.
Anthropology Department, Michigan:
the University of Michigan.
Eckert, Penelope. 1998. Gender and
Sociolingustic Variation. In Jennifer Coates.
Language and Gender. Massachusets:
Blackwell Publisher, Ltd, pp 64-75
Fakih, Mansour. (2013). Analisis Gneder dan
Transformasi Sosial.
Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Hyde, Janet Shibley. 2007. Half the Human
Experience: The Psychology of Women.
USA: Houghton Mifflin Company
Idrus, N. I. (2003). To take each other: Bugis
practice of gender, sexuality, and
marriage. Ph.D Thesis. Canberra:
Research School of Pacific and Asian
Studies. Australian National University.
Khanafi, Imam. Makalah disampaikan pada acara
workshop “Integrasi Adil Gender Dalam
Proses Pembelajaran di Madrasah”,
(Pekalongan, tp: 2009).
Lindzey and Aronson. 1969. The Handbook of
Social Psychology. Vol. I. New York: John
Wiley and Sons.
Mahmud, M. (2017). The Roles of Social Status ,
Age , Gender , Familiarity , and Situation in
Being Polite for Bugis Society, 9(5), 58–72.
http://doi.org/10.5539/ass.v9n5p58
Meissner, W. W. (2005). Gender Identity and the
Self: Gender Formation in General and in
Masculinity. Psychoanalitic Review, 92, 1.
Millar, S. . (1983). on interpreting gender in
Bugis society, 477–493.
Millar, S. (1989). Bugis Weddings: Rituals of
Social Location in Modern Indonesia.
Berkeley: Center for South and Southeast
Asia Studies, University of
California.